my journal

25
Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Luffa acutangula terhadap Tingkat Penurunan Parasitemia pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei Effect of L. acutangula seeds extract to decrease the level of parasitemia in mice infected by P. berghei Agus Amin Sukresno, Aceng Ruyani, Wahyu Sudarsono ABSTRACT Agus Amin Sukresno. H1A009002. 2014. Effect of L. acutangula seeds extract to decrease the level of parasitemia in mice infected by P. berghei. Thesis. Faculty of Medicine and Health Sciences. University of Bengkulu, Bengkulu. Background: Malaria is an infectious disease of WHO concern for eradication can be done, especially in the Province of Bengkulu which is a malaria endemic area. People often take advantage of L. acutangula seeds as antimalaria drugs. In L. acutangula seeds contains elements that have activity as an antimalaria such as alkaloids, saponins, triterpenoids and flavonoids, therefore this study aimed to know the effect of L. acutangula seed extract to decreased levels of parasitemia and to know the corelation level of parasitemia with body temperature of mice infected by P. berghei. Methods : This study is an experimental research laboratory used a completely randomized design with 5 treatments with 4 each repetitions. P1 (negative control) were mice infected P. berghei without giving chloroquine and L. acutangula seed extract. P2 (positive control) were mice infected P. berghei chloroquine were given 25 mg/kg bw for 3 days. P3 is mice infected P. berghei given the L. acutangula seeds extract dose of 100 mg/kg bw for 3 days. P4 is mice 1

Upload: ariefsuwarni

Post on 12-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jk

TRANSCRIPT

Page 1: My Journal

Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Luffa acutangula terhadap Tingkat Penurunan Parasitemia

pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei

Effect of L. acutangula seeds extract to decrease the level of parasitemia

in mice infected by P. berghei

Agus Amin Sukresno, Aceng Ruyani, Wahyu Sudarsono

ABSTRACT

Agus Amin Sukresno. H1A009002. 2014. Effect of L. acutangula seeds extract to decrease the level

of parasitemia in mice infected by P. berghei. Thesis. Faculty of Medicine and Health Sciences.

University of Bengkulu, Bengkulu.

Background: Malaria is an infectious disease of WHO concern for eradication can be done, especially in the Province of Bengkulu which is a malaria endemic area. People often take advantage of L. acutangula seeds as antimalaria drugs. In L. acutangula seeds contains elements that have activity as an antimalaria such as alkaloids, saponins, triterpenoids and flavonoids, therefore this study aimed to know the effect of L. acutangula seed extract to decreased levels of parasitemia and to know the corelation level of parasitemia with body temperature of mice infected by P. berghei.Methods : This study is an experimental research laboratory used a completely randomized design with 5 treatments with 4 each repetitions. P1 (negative control) were mice infected P. berghei without giving chloroquine and L. acutangula seed extract. P2 (positive control) were mice infected P. berghei chloroquine were given 25 mg/kg bw for 3 days. P3 is mice infected P. berghei given the L. acutangula seeds extract dose of 100 mg/kg bw for 3 days. P4 is mice infected P. berghei given the L. acutangula seed extract dose of 150 mg/kg bw for 3 days. P5 is mice infected P. berghei given the L. acutangula seed extract dose of 200 mg/kg bw for 3 days. Observation percentage of parasitemia performed using a microscope on thin blood smears were Giemsa stained. Observation of clinical symptoms the body temperature is done by using an infrared thermometer inserted into the ears of mice, with observation time in the afternoon. Percentage parasitaemia data described by using tables and graphs. Body temperature data and level of parasitemia were analyzed with correlation and regression.Results: Percent inhibition of L. acutangula seed extract against P. berghei at a dose 100 mg/kgbw, 150 mg/kgbw and 200 mg/kg is 91.34%, 100% and 100%. Correlation of level parasitemia and body temperature of mice infected P. berghei statistically there is not significant correlation, with a correlation value is 0.256.Conclusion: L. acutangula seed extract has the effect of a decrease in the level of parasitemia in mice infected P. berghei. Correlation and regression between level of parasitemia and body temperature of mice showed that a very weak relationship in mice infected body temperature of P. berghei.Keywords: L. acutangula seed extract, parasitemia, body temperature.

1

Page 2: My Journal

PENDAHULUAN

Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan

kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria

secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Malaria masih

merupakan penyakit infeksi yang menjadi perhatian WHO untuk dapat dilakukan eradikasi disamping

tuberkulosis dan HIV/AIDS (Harijanto, 2011).

Penyebab infeksi malaria ialah Plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi

binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk jenis Plasmodium dari famili

plasmodidae (Harijanto, 2009). Plasmodium penyebab malaria yang ada di Indonesia terdapat

beberapa jenis yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium

ovale (Noviyanti, 2010).

Malaria Falsiparum yang resisten terhadap klorokuin in vitro atau in vivo pernah dilaporkan di

27 propinsi Indonesia dengan bervariasi dari derajat RI – RIII. Resistensi terhadap sulfadoksin-

pirimetamin di 11 propinsi Indonesia dengan derajat RI – R II, resisten terhadap kina di 5 propinsi

(Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Irian Jaya dan Kalimantan Timur) sedangkan terhadap meflokuin di 3

propinsi (Jawa Tengah, Irian Jaya dan Kalimantan Timur) dengan derajat RI – RIII. Dalam 5 tahun

terakhir perkembangan kasus resistensi sudah demikian meluas, tercatat sudah lebih dari 10 propinsi

yang mengalami resistensi lebih dari 25% terhadap obat klorokuin maupun sulfadoksin-pirimetamin

(Harijanto, 2009).

Beberapa senyawa yang telah terbukti memiliki aktivitas sebagai antimalaria adalah alkaloid,

triterpenoids (Praptiwi dkk, 2008), antrakuinon dan beberapa senyawa antioksidan seperti flavonoid,

saponin yang juga memiliki pengaruh terhadap penurunan tingkat parasitemia. Oleh karena itu

pemanfaatan tumbuhan obat tradisional diharapkan dapat mengatasi resistensi obat malaria, salah

satunya adalah biji gambas (Luffa acutangula). Biji L. acutangula sering digunakan oleh masyarakat

sebagai obat malaria. Biji L. acutangula memiliki aktivitas antioksidan, anti-inflamasi dan analgesik.

Hasil fitokimia ekstrak biji L. acutangula menunjukkan adanya senyawa triterpenoid, carbohydrate,

coumarin glycoside, alkaloid (Suryani, 2007), steroide, taninne, flavonoids yang memiliki efek

antioksidan (Gill dkk, 2011).

Biji L. acutangula diperkirakan memiliki aktivitas melawan Plasmodium, namun informasi

mengenai hal ini masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian aktivitas biji L. acutangula terhadap

penyakit malaria ini yang nantinya dapat memberikan tambahan informasi yang berguna dalam

2

Page 3: My Journal

pengobatan penyakit ini. Dari hasil penelitian sebelumnya bahwa alkaloid, triterpenoid, flavonoid dan

saponin yang terdapat dari banyak tanaman mempunyai aktivitas sebagai antiplasmodial (Asmila dkk,

2010; Praptiwi dkk, 2010). Biji L. acutangula merupakan satu diantara tanaman yang memiliki

kandungan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian ekstrak biji gambas (L.

acutangula) terhadap tingkat penurunan parasitemia pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei

dan untuk mengetahui hubungan angka parasitemia dengan suhu tubuh mencit yang diinfeksi P.

berghei.

SUBJEK DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Oktober 2013 di Kebun Biologi, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu dan di Laboratorium Basic Science, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu.

Biji gambas yang digunakan adalah biji gambas yang diambil dari tanaman gambas yang tumbuh

di kawasan Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu pada bulan April 2013. Identifikasi tanaman

dilakukan di Kebun Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu, sebagai

Luffa acutangula.

Pemeliharaan dan perlakuan pada mencit dilakukan di kandang hewan percobaan Kebun Biologi,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu.

Bahan hewan uji

Penelitian ini menggunakan hewan uji mencit (Mus musculus) jantan galur swiss, dengan berat

20 – 30 gram, yang berumur 7 – 12 minggu. M. musculus jantan yang terinfeksi P. berghei di

datangkan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta Pusat.

Bahan tanaman

Bahan tanaman berupa biji L. acutangula di dapat di daerah perkebunan di Kabupaten Lebong.

Biji L. acutangula yang diambil adalah biji dari buah L. acutangula yang sudah tua dan berwarna

hitam.

Bahan lainnya adalah etanol, minyak emersi, antikoagulan Ethylene Diamine Tetra Acetate

(EDTA), pakan mencit, larutan giemsa.

Alat

Alat yang digunakan antara lain handscoon, pipet tetes, mikroskop binokuler, alat gavage, jarum

suntik (spuit), minor set, objek gelas, kaca penutup, rotary evaporator, kandang mencit, gelas ukur,

3

Page 4: My Journal

timbangan, tabung reaksi, thermometer infrared, neraca analitik, erlenmeyer 2000 mL, gelas ukur 25

mL, tissue, pisau, corong, dan kertas saring.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dengan

masing-masing 4 kali pengulangan. Dalam rancangan ini subjek dibagi menjadi 5 kelompok. Perlakuan

pemberian klorokuin saja diberikan kepada satu kelompok, 3 kelompok lain diberi perlakuan

pemberian ekstrak biji gambas dengan dosis yang berbeda dan perlakuan lain sebagai kontrol negatif.

Setelah waktu yang ditentukan, semua kelompok diobservasi atau dilakukan pengukuran terhadap

variabel efek yang diteliti.

Persiapan

Pembuatan ekstrak biji gambas

Bubuk kasar biji gambas (764 g) yang kering diekstrak secara maserasi menggunakan 2 L

(sampai terendam semua) pelarut etanol 96% selama 6 hari, kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh

dievaporasi menggunakan rotary evaporator pada suhu 40o C hingga diperoleh ekstrak etanol pekat.

Preparasi Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan hewan uji mencit (M. musculus) jantan galur swiss, dengan berat 20-

30 g, yang berumur 7-12 minggu. Hewan tersebut diperoleh dari Kebun Biologi, Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu. Mencit dipelihara dalam kandang yang cukup untuk 1-2

mencit. Kandang yang digunakan terbuat dari bak plastik yang diberi sekam padi sebagai alas dan

ditutup dengan ram kawat. M. musculus dipelihara di dalam kandang dan diberi penerangan 12 jam

(jam 06.00-18.00 WIB), selama pemeliharaan mencit rata-rata suhu ruangan minimum 23,6 o C dan

maksimum 26o C, serta kelembaban 80,6%. Hewan uji tersebut diadaptasikan terlebih dahulu dengan

lingkungan penelitian selama 1 minggu.

Pakan yang diberikan untuk mencit secara tanpa batasan (ad libitum). Air minum diberikan

dengan menggunakan botol minum mencit. Pakan yang digunakan untuk hewan coba ini yaitu berupa

pelet ikan yang sudah diatur komposisinya sehingga memenuhi nilai nutrisi.

Percobaan

Inokulasi Plasmodium berghei pada mencit

P. berghei yang digunakan diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Jakarta Pusat. P. berghei ditransfer dari M. musculus yang telah terinfeksi dengan cara mengambil

darah dari jantung dengan spuit injeksi 1 mL yang sebelumnya telah diisi dengan anti koagulan yaitu

EDTA sebanyak 0,1 mL. Kemudian M. musculus diperiksa derajat parasitemia. Setelah parasitemia

4

Page 5: My Journal

mencapai ≥ 3%, maka M. musculus tersebut digunakan sebagai sumber inokulum untuk menginfeksi

hewan coba. Darah diinjeksikan ke M. musculus sehat dengan volume ± 0,1 mL secara intraperitoneal.

Perlakuan pada hewan uji M. musculus

M. musculus yang telah mengalami adaptasi dan diinfeksi P. berghei secara intraperitoneal

diinkubasi selama 24 jam. Untuk memastikan bahwa hewan uji sudah positif malaria maka diuji

dengan menggunakan sediaan apus darah tipis. Pada hari ke-1, 2 dan 3 mulai dilakukan pemberian

ekstrak biji L. acuutangula dan klorokuin dengan cara pemberian peroral menggunakan alat gavage

sesuai perlakuan berikut :

1) Perlakuan 1 (P1) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei tanpa diberikan ekstrak biji L.

acutangula maupun klorokuin (kontrol negatif),

2) Perlakuan 2 (P2) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei yang diberi klorokuin dengan dosis 25

mg/kg Berat Badan (kontrol positif),

3) Perlakuan 3 (P3) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei yang diberi ekstrak biji L. acutangula

dengan dosis 100 mg/kg BB

4) Perlakuan 4 (P4) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei yang diberi ekstrak biji L. acutangula

dengan dosis 150 mg/kg BB

5) Perlakuan 5 (P5) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei yang diberi ekstrak biji L. acutangula

dengan dosis 200 mg/kg BB

Pada hari ke-1, 2, 3, 4 dan 5 dilakukan pengamatan sel darah merah yang terinfeksi P. berghei

untuk melihat aktivitas ekstrak biji L. acutangula ini dalam menurunkan tingkat parasitemia.

Penilaian Parasitemia, Persen Pertumbuhan dan Persen Penghambatan P. berghei

Pemeriksaan parasitemia dilakukan dengan cara darah diambil dari ekor mencit kemudian dibuat

apusan darah tipis, sediaan difiksasi dengan metanol absolut selama 5 menit kemudian digenangi

larutan Giemsa 80% selama 10-15 menit, setelah dicuci diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan

pembesaran 100× dengan diberi minyak emersi. Untuk melihat persentase parasitemia, seluruhnya

diperiksa 1000 eritrosit, baik yang mengandung parasit maupun tidak. Perhitungan persentase

parasitemia dilakukan dengan menggunakan rumus (Harijanto, 2009) :

Persentase parasitemia = nm

× 100%

Keterangan:

n : jumlah eritrosit yang terinfeksi

m : jumlah eritrosit yang dihitung (1000)

5

Page 6: My Journal

Kemudian dihitung persen pertumbuhan dan persen penghambatan dengan cara perhitungan

sebagai berikut (Hafid dkk, 2011):

% pertumbuhan = P ( d1−d0 )+P (d2−d1 )+…+P (d5−d 4 )

jumlahhari pengamatan−1

Keterangan :

P (d x−dx−1 ) : % parasitemia hari x - % parasitemia

hari sebelumnya

% penghambatan = 100% - [ Xe

Xk

×100 % ] Keterangan :

Xe : % pertumbuhan rata-rata parasit pada

tiap kelompok uji

Xk : % pertumbuhan rata-rata parasit pada

kontrol negatif.

Pengamatan gejala klinis

Pengamatan ini dilakukan dengan melihat suhu tubuh mencit. Pengukuran suhu tubuh mencit

diukur menggunakan thermometer infrared yang dimasukkan ke dalam telinga mencit, dengan waktu

pengamatan pada sore hari selama 5 hari. Termometer di tahan beberapa saat sampai suhu konstan.

Analisis Data

Data angka parasitemia, persen pertumbuhan dan persen penghambatan parasit dideskripsikan

dalam bentuk tabel dan grafik. Kemudian data kualitatif seperti suhu tubuh mencit akan dijadikan data

pendukung dimana akan dicari hubungan antara angka parasitemia dan suhu tubuh mencit dengan

menggunakan analisis uji korelasi dan regresi menggunakan program SPSS 16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Ekstraksi Biji L. acutangula

Setelah melakukan proses maserasi dan menggunakan rotary evaporator untuk memisahkan

ekstrak dengan pelarut didapatkan pasta kental ekstrak biji L. acutangula dari serbuk kering yang

berwarna hijau kehitaman seberat 764 g menjadi 18,7 g dengan nilai rendemen yang diperoleh adalah

2,45%. Setelah menjadi pasta kental berwarna hijau kecoklatan.

6

Page 7: My Journal

Hasil Uji Efektifitas Ekstrak Biji L. acutangula terhadap parasitemia pada mencit yang diinfeksi

Plasmodium berghei

Pada Tabel 1. dapat dijelaskan bahwa terlihat adanya pengaruh pemberian ekstrak biji L.

acutangula terhadap penurunan parasitemia pada mencit yang diinfeksi P. berghei. Rata-rata

parasitemia mencit yang diinfeksi P. berghei setelah di beri ekstrak biji L. acutangula selama 3 hari

mengalami penurunan baik pada dosis ekstrak biji L. acutangula 100 mg/kg BB, 150 mg/kg BB dan

200 mg/kg BB.

7

Page 8: My Journal

PerlakuanPengulangan

(n)

Rata-rata Parasitemia (%)

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5

Kontrol negatif (P1) 4 15,25 18,12 27,32 30,00 34,67

Kontrol positif (P2) 4 17,65 18,02 15,47 15,27 8,30

Dosis 100 mg/kg BB

(P3)

4 20,60 26,77 27,20 22,35 22,27

Dosis 150 mg/kg BB

(P4)

4 25,72 24,75 18,30 11,47 10,70

Dosis 200 mg/kg BB

(P5)

4 24,50 26,95 15,47 13,87 12,20

Tabel 1. Rata-rata parasitemia (eritrosit yang terinfeksi dalam 1000 sel eritrosit) mencit yang diinfeksi

P. berghei selama 5 hari pengamatan yang di beri ekstrak biji L. acutangula selama 3 hari.

8

Page 9: My Journal

H a r i 1 H a r i 2 H a r i 3 H a r i 4 H a r i 50

5

10

15

20

25

30

35

40

Kontrol positifKontrol negatifDosis 100 mgDosis 150 mgDosis 200 mg

Hari pengamatan

pARA

SITE

IMIA

(%)

Gambar 1. Grafik rata-rata angka parasitemia (%) selama 5 hari pengamatan.

Tabel 2. Persen pertumbuhan dan persen penghambatan parasit selama 5 hari pengamatan pada mencit

yang diinfeksi P. berghei.

KelompokPengulangan

(n)

% Pertumbuhan % Penghambatan

D1 – D5 D1 – D5

Kontrol Negatif (P1)

Kontrol Positif (P2)

Dosis 100 mg/kg BB (P3)

Dosis 150 mg/kg BB (P4)

Dosis 200 mg/kg BB (P5)

4

4

4

4

4

4,85

0

0,42

0

0

0

100

91,34

100

100

Pada P1 (kontrol negatif), mencit yang diinfeksi P. berghei tanpa diberikan ekstrak biji L.

acutangula maupun kolorkuin mengalami peningkatan parasitemia dari hari ke-1 pengamatan hingga

hari ke-5 pengamatan dan mengalami pertumbuhan parasit yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh

tidak adanya perlakuan untuk mencegah perkembangan P. berghei sehingga menyebabkan parasit

bermultiplikasi dengan baik di dalam eritrosit secara aseksual. Hasil penelitian ini juga sama dengan

yang dilakukan oleh Hafid dkk, (2011) bahwa terjadi peningkatan parasitemia dari hari ke-1

pengamatan kemudian meningkat terus sampai hari ke-5 pengamatan.

Pada P2 (kontrol positif), mencit yang diinfeksi P. berghei diberikan obat antimalaria yaitu

klorokuin dengan dosis 25 mg/kgBB menyebabkan penurunan prosentase parasitemia dari hari ke-1

pengamatan hingga hari ke-5 pengamatan dan dengan memiliki daya hambat 100%. Hal ini disebabkan

oleh adanya aktivitas antimalaria pada klorokuin. Klorokuin memiliki aktivitas antimalaria, klorokuin

hanya efektif terhadap parasit dalam fase eritrosit, sama sekali tidak efektif terhadap parasit di jaringan.

9

Page 10: My Journal

Salah satu mekanisme kerja klorokuin yang diketahui adalah adanya penghambatan aktivitas

polimerase heme plasmodia. Polimerase heme plasmodia berperan mendetoksifikasi heme

ferriprotoporphyrin IX menjadi bentuk hemozin yang tidak toksik. Heme ini merupakan senyawa yang

bersifat membranolotik dan terbentuk dari pemecahan hemoglobin di vakuol makanan parasit.

Peningkatan heme di dalam parasit menimbulkan lisis membran parasit (Syarif dan Zunilda, 2009).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Syamsudin dkk, (2006) dan

Nugroho (2011) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan parasitemia pada mencit yang diinfeksi P.

berghei dengan perlakuan pemberian klorokuin.

Kemudian pada perlakuan pemberian ekstrak biji L. acutangula dibagi menjadi 3 variasi dosis

yaitu P3 (dosis 100 mg/kg BB), P4 (dosis 150 mg/kg BB) dan P5 (dosis 200 mg/kg BB). Secara umum

semua perlakuan pemberian ekstrak biji L. acutangula memiliki pengaruh dalam menurunkan

parasitemia pada mencit yang diinfeksi P. berghei.

Pada P3 terjadi kenaikan parasitemia pada hari ke-2 kemudian pada hari berikutnya terjadi

penurunan parasitemia hingga hari ke-5 pengamatan dan mengalami pertumbuhan parasit hingga hari

ke-5 pengamatan. Hal ini disebabkan oleh kecilnya jumlah pemberian dosis ekstrak yang diberikan

kepada mencit yang diinfeksi P. berghei, sehingga senyawa yang terdapat pada biji L. acutangula

kurang efektif menghambat pertumbuhan P. berghei.

Pada P4 terjadi penurunan parasitemia secara terus-menerus sejak hari ke-1 pengamatan hingga

hari ke-5 pengamatan dengan persen pertumbuhan dan persen penghambatan sama dengan kontrol

positif. Pada P5 (dosis 200 mg/kg BB) terjadi kenaikan parasitemia pada hari ke-2 kemudian terjadi

penurunan parasitemia pada hari perikutnya hingga hari ke-5 pengamatan melebihi angka parasitemia

hari ke-1. Walaupun terjadi kenaikan pada hari ke-2 tetapi pada P5 memiliki persen pertumbuhan dan

persen penghambatan yang sama dengan kontrol positif yang diberikan obat antimalaria yaitu

klorokuin. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa dalam biji L. acutangula yang memilki

aktivitas antimalaria, tetapi belum ada penelitian sebelumnya yang menjelaskan secara langsung efek

biji L. acutangula terhadap penurunan parasitemia. Banyak senyawa-senyawa dari berbagai tumbuhan

yang telah diteliti yang memiki efek antimalaria, seperti senyawa alkaloid, flavonoid, triterpenoid. Biji

L. acutangula memiliki aktivitas antioksidan, anti-inflamasi dan analgesik. Hasil fitokimia ekstrak biji

L. acutangula menunjukkan adanya senyawa triterpenoid, carbohydrate, coumarin glycoside, alkaloid

(Suryani, 2007), steroide, taninne, flavonoids yang memiliki efek antioksidan (Gill dkk, 2011). Sugito

dalam Asmila dkk, (2010) menjelaskan bahwa senyawa terpenoid dan flavonoid dapat bekerja

menghambat pertumbuhan P. berghei pada mencit. Menurut Robinson dalam Praptiwi dkk, (2008)

10

Page 11: My Journal

menjelaskan bahwa senyawa flavonoid dapat menghambat reaksi oksidasi dan penampung yang baik

radikal hidroksi dan superoksida sehingga dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang

merusak. Pada malaria terjadi peningkatan radikal bebas. Hal ini terjadi karena parasit hidup dalam

lingkungan prooksidan yang mengandung besi dan oksigen. Keadaan ini memungkinkan terbentuknya

Reactive Oxygen Species (ROS) melalui reaksi Fenton. Hemoglobin diambil oleh parasite dan dibawa

ke dalam vakuola makannya yang bersifat asam sehingga menyebabkan terjadinya oksidasi spontan

Fe2+ menjadi Fe3+ dan selanjutnya menghasilkan anion superoksida (Tjahjani dkk, 2010). Biji L.

acutangula diketahui memiliki kandungan antioksidan (Gill dkk, 2011). Senyawa antioksidan dapat

melawan efek radikal bebas dengan cara menghambat peroksidasi lemak sehingga dinding sel eritrosit

menjadi lebih kuat dan tidak mudah ruptur dan mengurangi penyebaran plasmodium (Tjahjani dkk,

2010). Praptiwi dkk, (2008) juga menjelaskan quassinoid merupakan terpenoid teroksigenasi yang

menghambat sintesis protein pada sel mamalia dan juga parasit malaria. Wilcox dkk, dalam Praptiwi

dkk, (2008) menjelaskan bahwa senyawa alkaloid juga dapat bersifat antimalaria meskipun aktivitasnya

lebih rendah dari quassinoid. Alkaloid bekerja menghambat pertumbuhan P. berghei dengan cara

berikatan dengan DNA parasit dan menghambat sintesis protein parasit, sehingga pertumbuhan parasit

terhambat.

A B

11

Page 12: My Journal

Gambar 4.2 Gambaran eritrosit yang terinfeksi P. berghei pada hari ke-5 pengamatan dengan

menggunakan pewarnaan Giemsa yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran

100×. Keterangan: (A) Kontrol negatif (P1), (B) Kontrol Positif (P2).

A B C

Gambar 4.3. Gambaran eritrosit yang terinfeksi P. berghei pada hari ke-5 pengamatan dengan

menggunakan pewarnaan Giemsa yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran

100×. Keterangan: (A) Dosis 100 mg/kg BB (P3), (B) Dosis 150 mg/kg BB (P4) dan (C)

dosis 200 mg/kg BB (P5).

Berdasarkan hasil pengamatan dengan apusan darah tipis di bawah mikroskop dengan

perbesaran 100× menunjukkan perbedaan karakteristik eritrosit normal dan eritrosit yang terinfeksi.

Eritrosit yang normal berbentuk cakram bikonkaf dan tidak memiliki inti, sedangkan eritrosit yang

terinfeksi mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma (Harijanto, 2009). Eritrosit yang

terinfeksi mulai terlihat rata-rata sejak hari ke-4 setelah diinfeksi P. berghei, dan setelah dilakukan

perhitungan parasitemia ≥ 3% rata-rata terjadi pada hari ke-5 setelah diinfeksi P. berghei secara

intraperitoneal.

Pada gambar 4.2 menunjukkan bahwa pada P1 eritrosit yang terinfeksi pada hari ke-5

pengamatan lebih banyak dibandingkan dengan P2 yang merupakan kontrol positif dengan pemberian

obat antimalaria. Kemudian gambar 4.3 dapat dilihat perbedaan eritrosit yang terinfeksi pada masing-

masing pemberian variasi dosis ekstrak biji L. acutangula, pada P3 eritrosit yang terinfeksi lebih

12

Page 13: My Journal

banyak dibandingkan dengan eritrosit yang terinfeksi pada P4 dan P5. Pada P2, P3, P4 dan P5 dapat

dilihat masih terdapatnya eritrosit yang terinfeksi hingga hari ke-5 pengamatan, tetapi telah terjadi

pengurangan parasitemia sejak hari ke-1 pengamatan hal ini menunjukkan bahwa pemberian klorokuin

dan ekstrak biji L. acutangula selama 3 hari memberikan efek dalam menurunkan dan menahan laju

perkembangan P. berghei hingga hari ke-5. Pada pengamatan hari ke-5 angka parasitemia pada setiap

perlakuan masih tinggi yaitu ≥ 3%, hal ini dapat meningkatkan laju pertumbuhan P. berghei untuk

bermultiplikasi (Dewi dkk, 1993). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dilakukan Hutomo dkk,

(2005) mengenai uji antimalaria ekstrak buah Morinda citriflia yang menyatakan terjadi penurunan

parasitemia pada hari ke-5 pengamatan tetapi angka parasitemia masih ≥ 3%, sehingga memudahkan P.

berghei dapat berkembang lagi tanpa adanya pemberian obat antimalaria maupun ekstrak tumbuhan

yang kita gunakan.

Hasil Pengukuran Suhu Tubuh pada Mencit yang Diinfeksi P. berghei

Pada Gambar 2. dapat dilihat bahwa suhu tubuh mencit yang diinfeksi P. berghei bervariasi

pada setiap perlakuan. Pada P1 terlihat adanya kenaikan suhu tubuh mencit pada hari ke-4 pengamatan

yaitu 37,30 C, sedangkan pada P2 terjadi kenaikan suhu tubuh pada hari ke-1 pengamatan yaitu 37,30 C

kemudian pada hari ke-2 dan ke-3 pengamatan kembali normal namun pada hari ke-4 pengamatan

kembali terjadi kenaikan suhu tubuh yaitu 37,370 C. Pada P3 terjadi kenaikan suhu tubuh diatas normal

pada hari ke-2 pengamatan yaitu 37,070 C kemudian terjadi lagi kenaikan suhu tubuh diatas normal

pada hari ke-5 pengamatan yaitu 37,530 C.

13

Page 14: My Journal

H a r i 1 H a r i 2 H a r i 3 H a r i 4 H a r i 534.5

35

35.5

36

36.5

37

37.5

38

Kontrol positif Kontrol negatif Dosis 100 mgDosis 150 mg Dosis 200 mg

Hari pengamatan

Suhu

tubu

h range suhu tubuh mencit normal

Gambar 2.Grafik hasil pengukuran rata-rata suhu tubuh mencit yang diinfeksi P.

berghei

pada sore hari.

Pada perlakuan dengan pemberian ekstrak biji L. acutangula yaitu pada P4 dan P5 tidak terjadi

kenaikan atau penurunan suhu tubuh dari keadaan normal di bandingkan dengan P2 yang diberikan

obat antimalaria klorokuin. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa yang dimiliki oleh biji L.

acutangula yaitu flavonoid yang memiliki aktivitas antiinflamasi sehingga dapat menghambat pirogen

yang berperan dalam mekanisme terjadinya demam (Gill dkk, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh

Andriana (2007) mengenai zat aktif flavonoid yang menyatakan bahwa flavonoid telah dikenal

memiliki efek anti inflamasi, bahkan juga memiliki efek antipiretik. Flavonoid bekerja sebagai inhibitor

cyclooxygenase (COX). Cyclooxygenase (COX) berfungsi memicu pembentukan prostaglandin,

prostaglandin berperan dalam proses inflamasi dan meningkatkan suhu tubuh. Dengan dihambatnya

prostaglandin maka tidak terjadinya peningkatan suhu tubuh.

Tabel 3. Hasil Korelasi Parasitemia dengan Suhu Tubuh Mencit yang Diinfeksi P. berghei.

Suhu Parasitemia

Suhu

Parasitemia

Pearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)N

1

100.256*.010100

.256*

.0101001

100

14

Page 15: My Journal

Dari tabel 3. dapat dilihat bahwa nilai korelasi antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh

adalah sebesar 0,256 dengan tanda positif dan nilai signifikansinya adalah 0,01, yang berarti bahwa

hubungan yang sangat lemah antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit yang diinfeksi P.

berghei. Hubungan antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit dikatakan memiliki hubungan

yang kuat jika nilai korelasinya > 0,51.

Gambar 4. Grafik hasil korelasi dan regresi antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit

yang diinfeksi P. berghei.

Pada Gambar 4 dapat dilihat hasil korelasi dan regresi yang digambarkan dalam bentuk garis

linier antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit bernilai positif yang artinya semakin

meningkat angka parasitemia semakin meningkat juga suhu tubuh, namun hubungan angka parasitemia

dengan peningkatan suhu tubuh masih lemah sebagaimana yang digambarkan pada gambar 2.

Di duga terjadinya perubahan suhu tubuh berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya

merozoit/skizon). Akhir-akhir ini peningkatan suhu tubuh ini dihubungkan dengan pengaruh GPI

(glycosyl phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin dan atau toksin lain (Harijanto, 2009). Hasil

penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2011) yang menyatakan

bahwa pada tingkat parasitemia tertentu bisa terjadi kenaikan dan penurunan suhu tubuh. Peningkatan

suhu tubuh pada awal infeksi terjadi karena hewan mengalami demam setelah infeksi, setelah itu

diikuti dengan penurunan temperatur. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada mencit yang diinfeksi

P. berghei mengalami penurunan suhu tubuh, hal ini terjadi karena adanya gangguan pada susunan

syaraf pusat terutama pada sistem termoregulator yang tidak berfungsi dengan baik atau panas yang

terbentuk akibat dari proses peradangan lebih banyak dikeluarkan dari tubuh dari pada menaikkan suhu

15

Page 16: My Journal

tubuh dan ini sesuai dengan penelitian lain bahwa mencit yang terinfeksi P. berghei tidak menunjukkan

adanya demam melainkan penurunan temperatur (Nugroho, 2011). Penurunan suhu tubuh ini juga

terjadi pada penelitian Curfs (1993) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan suhu tubuh saat mencit

terinfeksi oleh P. berghei.

KESIMPULAN

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji L. acutangula memiliki aktivitas

menurunkan parasitemia pada mencit yang diinfeksi P. berghei. Dosis esktrak biji L. acutangula yang

paling efektif dalam penelitian ini adalah dosis 150 mg/kg BB dimana persen pertumbuhan dan persen

penghambatan terhadap P. berghei sama dengan persen pertumbuhan dan persen penghambatan pada

perlakuan yang diberikan obat antimalaria yaitu klorokuin. Dan juga dosis 150 mg/kg BB terjadi

penurunan tingkat parasitemia secara terus menerus dari hari ke-1 pengamatan hingga hari ke-5

pengamatan.

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit

yang diinfeksi P. berghei. Dari hasil pengukuran suhu tubuh mencit yang diinfeksi P. berghei dapat

juga disimpulkan bahwa perlakuan dengan pemberian ekstrak biji L. acutangula dengan dosis 150

mg/kgBB dan dosis 200 mg/kgBB tidak terjadi peningkatan atau penurunan suhu tubuh dari batas

normal suhu tubuh mencit dibandingkan dengan kontrol positif yang diberikan klorokuin dimana

terjadi perubahan suhu tubuh di atas normal.

16

Page 17: My Journal

DAFTAR PUSTAKA

Asmila N, Sugito, Rahmi E, Febrianto N .2010. Pengaruh ekstrak etanol daun jaloh (Salix tetrasperma

Roxb) terhadap persentase parasitemia pada mencit (Mus muculus) yang diinfeksi Plasmodium

berghei. Jurnal Kedokteran Hewan, 4(1): 39-43.

Curfs J H, Meide P H, Billiau A, Mevwissen J H, Eling WM. 1993. Plasmodium berghei: recombinant

interferon-gamma and the development of parasitemia and cerebral lesions in malaria-infected

mice. Exp Parasitol. 77(2): 212-213.

Gill N S, Arora R, Kumar S R .2011. Evaluation of antioxidant, anti-inflammatory and ananlgesic

potential of the Luffa acutangula Roxb. Var. Amara. Research Journal of Phytochemistry, 5(4):

201-208.

Hafid A F, Tyas M W, Widyawaruyanti A. 2011. Model terapi kombinasi ekstrak etanol 80% kulit

batang cempedak (Artocarpus Champeden Spreny) dan artesunat pada mencit terinfeksi parasit

malaria. Jurnal Indonesia Medical Association. 61(4): 161-167.

Harijanto P N .2011. Eliminasi malaria pada era desentralisasi: Buletin Jendela Data dan Informasi

Kesehatan Vol. 1 Triwulan 1. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, pp: 23-28.

Harijanto P N .2009. Malaria . Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S

(eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Jakarta: Interna Publishing, pp: 2813-2825.

Hutomo R, Sutarno, Winarno W, Kusmardi .2005. Uji antimalaria ekstrak buah Morinda citrofilia dan

aktivitas makrofag pada mencit (Mus muculus) setelah diinfeksi Plasmodium berghei.

Biofarmasi, 3(2): 61-69.

Mohan G K, Sanjay J S. 2010. Pharmacognostic and phytochemical investigation of Luffa acutangula

var. Amara fruits. International Journal of PharmTech Research. 2(2): 1609-1614.

Nugroho A Y. 2011. Aktifitas antimalaria (in vivo) kombinasi buah sirih (Piper bettle L), daun miyana

(Plectrantus pcutellarioidies (L). R. BR), madu dan kuning telur pada mencit yang diinfeksi

Plasmodium berghei. Buletin Penelitian Kesehatan. 39(3): 129-137.

Noviyanti R .2009. Patogenesis molekuler Plasmodium falciparum: kajian gen parasit yang berkaitan

dengan virulensi. Dalam: Harijanto P N, Nugroho A, Gunawan C A (eds). Malaria dari molekuler

ke klinis edisi 2. Jakarta: EGC, pp: 17-37.

Praptiwi, Chairul .2008. Pengaruh pemberian ekstrak pauh kijang (Irvingia malayana Oliv. ex. A.

Benn) terhadap tingkat penurunan parasitemia pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei.

Biodiversitas, 9(2): 201-208.

17

Page 18: My Journal

Suryani Y .2007. Karakteristik simplisia dan isolasi senyawa saponin dari biji tumbuhan gambas

(Luffa acutangula Roxb. L). Medan, Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara. Skripsi.

Syamsudin, Marlina S, Dewi M R. 2006. Efek antiplasmodium dari eksrak kulit batang asam kandis

(Garcinia parvifolia Miq) yang diberikan secara intraperitoneal pada mencit yang diinfeksi

dengan Plasmodium yoelii. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 11(2): 81-87.

Syarif A, Zunilda D S. 2009. Obat malaria. Dalam: Gunawan S, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth.

Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 556-570.

Tjahjani S, Khiong K .2010. Potensi buah merah sebagai antioksidan dalam mengatasi malaria

berghei pada mencit strain Balb/C. Majalah Kedokteran Indonesia, 60(12): 571-575.

18