my journal
DESCRIPTION
jkTRANSCRIPT
Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Luffa acutangula terhadap Tingkat Penurunan Parasitemia
pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei
Effect of L. acutangula seeds extract to decrease the level of parasitemia
in mice infected by P. berghei
Agus Amin Sukresno, Aceng Ruyani, Wahyu Sudarsono
ABSTRACT
Agus Amin Sukresno. H1A009002. 2014. Effect of L. acutangula seeds extract to decrease the level
of parasitemia in mice infected by P. berghei. Thesis. Faculty of Medicine and Health Sciences.
University of Bengkulu, Bengkulu.
Background: Malaria is an infectious disease of WHO concern for eradication can be done, especially in the Province of Bengkulu which is a malaria endemic area. People often take advantage of L. acutangula seeds as antimalaria drugs. In L. acutangula seeds contains elements that have activity as an antimalaria such as alkaloids, saponins, triterpenoids and flavonoids, therefore this study aimed to know the effect of L. acutangula seed extract to decreased levels of parasitemia and to know the corelation level of parasitemia with body temperature of mice infected by P. berghei.Methods : This study is an experimental research laboratory used a completely randomized design with 5 treatments with 4 each repetitions. P1 (negative control) were mice infected P. berghei without giving chloroquine and L. acutangula seed extract. P2 (positive control) were mice infected P. berghei chloroquine were given 25 mg/kg bw for 3 days. P3 is mice infected P. berghei given the L. acutangula seeds extract dose of 100 mg/kg bw for 3 days. P4 is mice infected P. berghei given the L. acutangula seed extract dose of 150 mg/kg bw for 3 days. P5 is mice infected P. berghei given the L. acutangula seed extract dose of 200 mg/kg bw for 3 days. Observation percentage of parasitemia performed using a microscope on thin blood smears were Giemsa stained. Observation of clinical symptoms the body temperature is done by using an infrared thermometer inserted into the ears of mice, with observation time in the afternoon. Percentage parasitaemia data described by using tables and graphs. Body temperature data and level of parasitemia were analyzed with correlation and regression.Results: Percent inhibition of L. acutangula seed extract against P. berghei at a dose 100 mg/kgbw, 150 mg/kgbw and 200 mg/kg is 91.34%, 100% and 100%. Correlation of level parasitemia and body temperature of mice infected P. berghei statistically there is not significant correlation, with a correlation value is 0.256.Conclusion: L. acutangula seed extract has the effect of a decrease in the level of parasitemia in mice infected P. berghei. Correlation and regression between level of parasitemia and body temperature of mice showed that a very weak relationship in mice infected body temperature of P. berghei.Keywords: L. acutangula seed extract, parasitemia, body temperature.
1
PENDAHULUAN
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan
kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria
secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Malaria masih
merupakan penyakit infeksi yang menjadi perhatian WHO untuk dapat dilakukan eradikasi disamping
tuberkulosis dan HIV/AIDS (Harijanto, 2011).
Penyebab infeksi malaria ialah Plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi
binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk jenis Plasmodium dari famili
plasmodidae (Harijanto, 2009). Plasmodium penyebab malaria yang ada di Indonesia terdapat
beberapa jenis yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium
ovale (Noviyanti, 2010).
Malaria Falsiparum yang resisten terhadap klorokuin in vitro atau in vivo pernah dilaporkan di
27 propinsi Indonesia dengan bervariasi dari derajat RI – RIII. Resistensi terhadap sulfadoksin-
pirimetamin di 11 propinsi Indonesia dengan derajat RI – R II, resisten terhadap kina di 5 propinsi
(Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Irian Jaya dan Kalimantan Timur) sedangkan terhadap meflokuin di 3
propinsi (Jawa Tengah, Irian Jaya dan Kalimantan Timur) dengan derajat RI – RIII. Dalam 5 tahun
terakhir perkembangan kasus resistensi sudah demikian meluas, tercatat sudah lebih dari 10 propinsi
yang mengalami resistensi lebih dari 25% terhadap obat klorokuin maupun sulfadoksin-pirimetamin
(Harijanto, 2009).
Beberapa senyawa yang telah terbukti memiliki aktivitas sebagai antimalaria adalah alkaloid,
triterpenoids (Praptiwi dkk, 2008), antrakuinon dan beberapa senyawa antioksidan seperti flavonoid,
saponin yang juga memiliki pengaruh terhadap penurunan tingkat parasitemia. Oleh karena itu
pemanfaatan tumbuhan obat tradisional diharapkan dapat mengatasi resistensi obat malaria, salah
satunya adalah biji gambas (Luffa acutangula). Biji L. acutangula sering digunakan oleh masyarakat
sebagai obat malaria. Biji L. acutangula memiliki aktivitas antioksidan, anti-inflamasi dan analgesik.
Hasil fitokimia ekstrak biji L. acutangula menunjukkan adanya senyawa triterpenoid, carbohydrate,
coumarin glycoside, alkaloid (Suryani, 2007), steroide, taninne, flavonoids yang memiliki efek
antioksidan (Gill dkk, 2011).
Biji L. acutangula diperkirakan memiliki aktivitas melawan Plasmodium, namun informasi
mengenai hal ini masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian aktivitas biji L. acutangula terhadap
penyakit malaria ini yang nantinya dapat memberikan tambahan informasi yang berguna dalam
2
pengobatan penyakit ini. Dari hasil penelitian sebelumnya bahwa alkaloid, triterpenoid, flavonoid dan
saponin yang terdapat dari banyak tanaman mempunyai aktivitas sebagai antiplasmodial (Asmila dkk,
2010; Praptiwi dkk, 2010). Biji L. acutangula merupakan satu diantara tanaman yang memiliki
kandungan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian ekstrak biji gambas (L.
acutangula) terhadap tingkat penurunan parasitemia pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei
dan untuk mengetahui hubungan angka parasitemia dengan suhu tubuh mencit yang diinfeksi P.
berghei.
SUBJEK DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Oktober 2013 di Kebun Biologi, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu dan di Laboratorium Basic Science, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu.
Biji gambas yang digunakan adalah biji gambas yang diambil dari tanaman gambas yang tumbuh
di kawasan Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu pada bulan April 2013. Identifikasi tanaman
dilakukan di Kebun Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu, sebagai
Luffa acutangula.
Pemeliharaan dan perlakuan pada mencit dilakukan di kandang hewan percobaan Kebun Biologi,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu.
Bahan hewan uji
Penelitian ini menggunakan hewan uji mencit (Mus musculus) jantan galur swiss, dengan berat
20 – 30 gram, yang berumur 7 – 12 minggu. M. musculus jantan yang terinfeksi P. berghei di
datangkan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta Pusat.
Bahan tanaman
Bahan tanaman berupa biji L. acutangula di dapat di daerah perkebunan di Kabupaten Lebong.
Biji L. acutangula yang diambil adalah biji dari buah L. acutangula yang sudah tua dan berwarna
hitam.
Bahan lainnya adalah etanol, minyak emersi, antikoagulan Ethylene Diamine Tetra Acetate
(EDTA), pakan mencit, larutan giemsa.
Alat
Alat yang digunakan antara lain handscoon, pipet tetes, mikroskop binokuler, alat gavage, jarum
suntik (spuit), minor set, objek gelas, kaca penutup, rotary evaporator, kandang mencit, gelas ukur,
3
timbangan, tabung reaksi, thermometer infrared, neraca analitik, erlenmeyer 2000 mL, gelas ukur 25
mL, tissue, pisau, corong, dan kertas saring.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dengan
masing-masing 4 kali pengulangan. Dalam rancangan ini subjek dibagi menjadi 5 kelompok. Perlakuan
pemberian klorokuin saja diberikan kepada satu kelompok, 3 kelompok lain diberi perlakuan
pemberian ekstrak biji gambas dengan dosis yang berbeda dan perlakuan lain sebagai kontrol negatif.
Setelah waktu yang ditentukan, semua kelompok diobservasi atau dilakukan pengukuran terhadap
variabel efek yang diteliti.
Persiapan
Pembuatan ekstrak biji gambas
Bubuk kasar biji gambas (764 g) yang kering diekstrak secara maserasi menggunakan 2 L
(sampai terendam semua) pelarut etanol 96% selama 6 hari, kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh
dievaporasi menggunakan rotary evaporator pada suhu 40o C hingga diperoleh ekstrak etanol pekat.
Preparasi Hewan Coba
Penelitian ini menggunakan hewan uji mencit (M. musculus) jantan galur swiss, dengan berat 20-
30 g, yang berumur 7-12 minggu. Hewan tersebut diperoleh dari Kebun Biologi, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu. Mencit dipelihara dalam kandang yang cukup untuk 1-2
mencit. Kandang yang digunakan terbuat dari bak plastik yang diberi sekam padi sebagai alas dan
ditutup dengan ram kawat. M. musculus dipelihara di dalam kandang dan diberi penerangan 12 jam
(jam 06.00-18.00 WIB), selama pemeliharaan mencit rata-rata suhu ruangan minimum 23,6 o C dan
maksimum 26o C, serta kelembaban 80,6%. Hewan uji tersebut diadaptasikan terlebih dahulu dengan
lingkungan penelitian selama 1 minggu.
Pakan yang diberikan untuk mencit secara tanpa batasan (ad libitum). Air minum diberikan
dengan menggunakan botol minum mencit. Pakan yang digunakan untuk hewan coba ini yaitu berupa
pelet ikan yang sudah diatur komposisinya sehingga memenuhi nilai nutrisi.
Percobaan
Inokulasi Plasmodium berghei pada mencit
P. berghei yang digunakan diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Jakarta Pusat. P. berghei ditransfer dari M. musculus yang telah terinfeksi dengan cara mengambil
darah dari jantung dengan spuit injeksi 1 mL yang sebelumnya telah diisi dengan anti koagulan yaitu
EDTA sebanyak 0,1 mL. Kemudian M. musculus diperiksa derajat parasitemia. Setelah parasitemia
4
mencapai ≥ 3%, maka M. musculus tersebut digunakan sebagai sumber inokulum untuk menginfeksi
hewan coba. Darah diinjeksikan ke M. musculus sehat dengan volume ± 0,1 mL secara intraperitoneal.
Perlakuan pada hewan uji M. musculus
M. musculus yang telah mengalami adaptasi dan diinfeksi P. berghei secara intraperitoneal
diinkubasi selama 24 jam. Untuk memastikan bahwa hewan uji sudah positif malaria maka diuji
dengan menggunakan sediaan apus darah tipis. Pada hari ke-1, 2 dan 3 mulai dilakukan pemberian
ekstrak biji L. acuutangula dan klorokuin dengan cara pemberian peroral menggunakan alat gavage
sesuai perlakuan berikut :
1) Perlakuan 1 (P1) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei tanpa diberikan ekstrak biji L.
acutangula maupun klorokuin (kontrol negatif),
2) Perlakuan 2 (P2) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei yang diberi klorokuin dengan dosis 25
mg/kg Berat Badan (kontrol positif),
3) Perlakuan 3 (P3) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei yang diberi ekstrak biji L. acutangula
dengan dosis 100 mg/kg BB
4) Perlakuan 4 (P4) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei yang diberi ekstrak biji L. acutangula
dengan dosis 150 mg/kg BB
5) Perlakuan 5 (P5) adalah mencit yang terinfeksi P. berghei yang diberi ekstrak biji L. acutangula
dengan dosis 200 mg/kg BB
Pada hari ke-1, 2, 3, 4 dan 5 dilakukan pengamatan sel darah merah yang terinfeksi P. berghei
untuk melihat aktivitas ekstrak biji L. acutangula ini dalam menurunkan tingkat parasitemia.
Penilaian Parasitemia, Persen Pertumbuhan dan Persen Penghambatan P. berghei
Pemeriksaan parasitemia dilakukan dengan cara darah diambil dari ekor mencit kemudian dibuat
apusan darah tipis, sediaan difiksasi dengan metanol absolut selama 5 menit kemudian digenangi
larutan Giemsa 80% selama 10-15 menit, setelah dicuci diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan
pembesaran 100× dengan diberi minyak emersi. Untuk melihat persentase parasitemia, seluruhnya
diperiksa 1000 eritrosit, baik yang mengandung parasit maupun tidak. Perhitungan persentase
parasitemia dilakukan dengan menggunakan rumus (Harijanto, 2009) :
Persentase parasitemia = nm
× 100%
Keterangan:
n : jumlah eritrosit yang terinfeksi
m : jumlah eritrosit yang dihitung (1000)
5
Kemudian dihitung persen pertumbuhan dan persen penghambatan dengan cara perhitungan
sebagai berikut (Hafid dkk, 2011):
% pertumbuhan = P ( d1−d0 )+P (d2−d1 )+…+P (d5−d 4 )
jumlahhari pengamatan−1
Keterangan :
P (d x−dx−1 ) : % parasitemia hari x - % parasitemia
hari sebelumnya
% penghambatan = 100% - [ Xe
Xk
×100 % ] Keterangan :
Xe : % pertumbuhan rata-rata parasit pada
tiap kelompok uji
Xk : % pertumbuhan rata-rata parasit pada
kontrol negatif.
Pengamatan gejala klinis
Pengamatan ini dilakukan dengan melihat suhu tubuh mencit. Pengukuran suhu tubuh mencit
diukur menggunakan thermometer infrared yang dimasukkan ke dalam telinga mencit, dengan waktu
pengamatan pada sore hari selama 5 hari. Termometer di tahan beberapa saat sampai suhu konstan.
Analisis Data
Data angka parasitemia, persen pertumbuhan dan persen penghambatan parasit dideskripsikan
dalam bentuk tabel dan grafik. Kemudian data kualitatif seperti suhu tubuh mencit akan dijadikan data
pendukung dimana akan dicari hubungan antara angka parasitemia dan suhu tubuh mencit dengan
menggunakan analisis uji korelasi dan regresi menggunakan program SPSS 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ekstraksi Biji L. acutangula
Setelah melakukan proses maserasi dan menggunakan rotary evaporator untuk memisahkan
ekstrak dengan pelarut didapatkan pasta kental ekstrak biji L. acutangula dari serbuk kering yang
berwarna hijau kehitaman seberat 764 g menjadi 18,7 g dengan nilai rendemen yang diperoleh adalah
2,45%. Setelah menjadi pasta kental berwarna hijau kecoklatan.
6
Hasil Uji Efektifitas Ekstrak Biji L. acutangula terhadap parasitemia pada mencit yang diinfeksi
Plasmodium berghei
Pada Tabel 1. dapat dijelaskan bahwa terlihat adanya pengaruh pemberian ekstrak biji L.
acutangula terhadap penurunan parasitemia pada mencit yang diinfeksi P. berghei. Rata-rata
parasitemia mencit yang diinfeksi P. berghei setelah di beri ekstrak biji L. acutangula selama 3 hari
mengalami penurunan baik pada dosis ekstrak biji L. acutangula 100 mg/kg BB, 150 mg/kg BB dan
200 mg/kg BB.
7
PerlakuanPengulangan
(n)
Rata-rata Parasitemia (%)
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5
Kontrol negatif (P1) 4 15,25 18,12 27,32 30,00 34,67
Kontrol positif (P2) 4 17,65 18,02 15,47 15,27 8,30
Dosis 100 mg/kg BB
(P3)
4 20,60 26,77 27,20 22,35 22,27
Dosis 150 mg/kg BB
(P4)
4 25,72 24,75 18,30 11,47 10,70
Dosis 200 mg/kg BB
(P5)
4 24,50 26,95 15,47 13,87 12,20
Tabel 1. Rata-rata parasitemia (eritrosit yang terinfeksi dalam 1000 sel eritrosit) mencit yang diinfeksi
P. berghei selama 5 hari pengamatan yang di beri ekstrak biji L. acutangula selama 3 hari.
8
H a r i 1 H a r i 2 H a r i 3 H a r i 4 H a r i 50
5
10
15
20
25
30
35
40
Kontrol positifKontrol negatifDosis 100 mgDosis 150 mgDosis 200 mg
Hari pengamatan
pARA
SITE
IMIA
(%)
Gambar 1. Grafik rata-rata angka parasitemia (%) selama 5 hari pengamatan.
Tabel 2. Persen pertumbuhan dan persen penghambatan parasit selama 5 hari pengamatan pada mencit
yang diinfeksi P. berghei.
KelompokPengulangan
(n)
% Pertumbuhan % Penghambatan
D1 – D5 D1 – D5
Kontrol Negatif (P1)
Kontrol Positif (P2)
Dosis 100 mg/kg BB (P3)
Dosis 150 mg/kg BB (P4)
Dosis 200 mg/kg BB (P5)
4
4
4
4
4
4,85
0
0,42
0
0
0
100
91,34
100
100
Pada P1 (kontrol negatif), mencit yang diinfeksi P. berghei tanpa diberikan ekstrak biji L.
acutangula maupun kolorkuin mengalami peningkatan parasitemia dari hari ke-1 pengamatan hingga
hari ke-5 pengamatan dan mengalami pertumbuhan parasit yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh
tidak adanya perlakuan untuk mencegah perkembangan P. berghei sehingga menyebabkan parasit
bermultiplikasi dengan baik di dalam eritrosit secara aseksual. Hasil penelitian ini juga sama dengan
yang dilakukan oleh Hafid dkk, (2011) bahwa terjadi peningkatan parasitemia dari hari ke-1
pengamatan kemudian meningkat terus sampai hari ke-5 pengamatan.
Pada P2 (kontrol positif), mencit yang diinfeksi P. berghei diberikan obat antimalaria yaitu
klorokuin dengan dosis 25 mg/kgBB menyebabkan penurunan prosentase parasitemia dari hari ke-1
pengamatan hingga hari ke-5 pengamatan dan dengan memiliki daya hambat 100%. Hal ini disebabkan
oleh adanya aktivitas antimalaria pada klorokuin. Klorokuin memiliki aktivitas antimalaria, klorokuin
hanya efektif terhadap parasit dalam fase eritrosit, sama sekali tidak efektif terhadap parasit di jaringan.
9
Salah satu mekanisme kerja klorokuin yang diketahui adalah adanya penghambatan aktivitas
polimerase heme plasmodia. Polimerase heme plasmodia berperan mendetoksifikasi heme
ferriprotoporphyrin IX menjadi bentuk hemozin yang tidak toksik. Heme ini merupakan senyawa yang
bersifat membranolotik dan terbentuk dari pemecahan hemoglobin di vakuol makanan parasit.
Peningkatan heme di dalam parasit menimbulkan lisis membran parasit (Syarif dan Zunilda, 2009).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Syamsudin dkk, (2006) dan
Nugroho (2011) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan parasitemia pada mencit yang diinfeksi P.
berghei dengan perlakuan pemberian klorokuin.
Kemudian pada perlakuan pemberian ekstrak biji L. acutangula dibagi menjadi 3 variasi dosis
yaitu P3 (dosis 100 mg/kg BB), P4 (dosis 150 mg/kg BB) dan P5 (dosis 200 mg/kg BB). Secara umum
semua perlakuan pemberian ekstrak biji L. acutangula memiliki pengaruh dalam menurunkan
parasitemia pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
Pada P3 terjadi kenaikan parasitemia pada hari ke-2 kemudian pada hari berikutnya terjadi
penurunan parasitemia hingga hari ke-5 pengamatan dan mengalami pertumbuhan parasit hingga hari
ke-5 pengamatan. Hal ini disebabkan oleh kecilnya jumlah pemberian dosis ekstrak yang diberikan
kepada mencit yang diinfeksi P. berghei, sehingga senyawa yang terdapat pada biji L. acutangula
kurang efektif menghambat pertumbuhan P. berghei.
Pada P4 terjadi penurunan parasitemia secara terus-menerus sejak hari ke-1 pengamatan hingga
hari ke-5 pengamatan dengan persen pertumbuhan dan persen penghambatan sama dengan kontrol
positif. Pada P5 (dosis 200 mg/kg BB) terjadi kenaikan parasitemia pada hari ke-2 kemudian terjadi
penurunan parasitemia pada hari perikutnya hingga hari ke-5 pengamatan melebihi angka parasitemia
hari ke-1. Walaupun terjadi kenaikan pada hari ke-2 tetapi pada P5 memiliki persen pertumbuhan dan
persen penghambatan yang sama dengan kontrol positif yang diberikan obat antimalaria yaitu
klorokuin. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa dalam biji L. acutangula yang memilki
aktivitas antimalaria, tetapi belum ada penelitian sebelumnya yang menjelaskan secara langsung efek
biji L. acutangula terhadap penurunan parasitemia. Banyak senyawa-senyawa dari berbagai tumbuhan
yang telah diteliti yang memiki efek antimalaria, seperti senyawa alkaloid, flavonoid, triterpenoid. Biji
L. acutangula memiliki aktivitas antioksidan, anti-inflamasi dan analgesik. Hasil fitokimia ekstrak biji
L. acutangula menunjukkan adanya senyawa triterpenoid, carbohydrate, coumarin glycoside, alkaloid
(Suryani, 2007), steroide, taninne, flavonoids yang memiliki efek antioksidan (Gill dkk, 2011). Sugito
dalam Asmila dkk, (2010) menjelaskan bahwa senyawa terpenoid dan flavonoid dapat bekerja
menghambat pertumbuhan P. berghei pada mencit. Menurut Robinson dalam Praptiwi dkk, (2008)
10
menjelaskan bahwa senyawa flavonoid dapat menghambat reaksi oksidasi dan penampung yang baik
radikal hidroksi dan superoksida sehingga dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang
merusak. Pada malaria terjadi peningkatan radikal bebas. Hal ini terjadi karena parasit hidup dalam
lingkungan prooksidan yang mengandung besi dan oksigen. Keadaan ini memungkinkan terbentuknya
Reactive Oxygen Species (ROS) melalui reaksi Fenton. Hemoglobin diambil oleh parasite dan dibawa
ke dalam vakuola makannya yang bersifat asam sehingga menyebabkan terjadinya oksidasi spontan
Fe2+ menjadi Fe3+ dan selanjutnya menghasilkan anion superoksida (Tjahjani dkk, 2010). Biji L.
acutangula diketahui memiliki kandungan antioksidan (Gill dkk, 2011). Senyawa antioksidan dapat
melawan efek radikal bebas dengan cara menghambat peroksidasi lemak sehingga dinding sel eritrosit
menjadi lebih kuat dan tidak mudah ruptur dan mengurangi penyebaran plasmodium (Tjahjani dkk,
2010). Praptiwi dkk, (2008) juga menjelaskan quassinoid merupakan terpenoid teroksigenasi yang
menghambat sintesis protein pada sel mamalia dan juga parasit malaria. Wilcox dkk, dalam Praptiwi
dkk, (2008) menjelaskan bahwa senyawa alkaloid juga dapat bersifat antimalaria meskipun aktivitasnya
lebih rendah dari quassinoid. Alkaloid bekerja menghambat pertumbuhan P. berghei dengan cara
berikatan dengan DNA parasit dan menghambat sintesis protein parasit, sehingga pertumbuhan parasit
terhambat.
A B
11
Gambar 4.2 Gambaran eritrosit yang terinfeksi P. berghei pada hari ke-5 pengamatan dengan
menggunakan pewarnaan Giemsa yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
100×. Keterangan: (A) Kontrol negatif (P1), (B) Kontrol Positif (P2).
A B C
Gambar 4.3. Gambaran eritrosit yang terinfeksi P. berghei pada hari ke-5 pengamatan dengan
menggunakan pewarnaan Giemsa yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
100×. Keterangan: (A) Dosis 100 mg/kg BB (P3), (B) Dosis 150 mg/kg BB (P4) dan (C)
dosis 200 mg/kg BB (P5).
Berdasarkan hasil pengamatan dengan apusan darah tipis di bawah mikroskop dengan
perbesaran 100× menunjukkan perbedaan karakteristik eritrosit normal dan eritrosit yang terinfeksi.
Eritrosit yang normal berbentuk cakram bikonkaf dan tidak memiliki inti, sedangkan eritrosit yang
terinfeksi mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma (Harijanto, 2009). Eritrosit yang
terinfeksi mulai terlihat rata-rata sejak hari ke-4 setelah diinfeksi P. berghei, dan setelah dilakukan
perhitungan parasitemia ≥ 3% rata-rata terjadi pada hari ke-5 setelah diinfeksi P. berghei secara
intraperitoneal.
Pada gambar 4.2 menunjukkan bahwa pada P1 eritrosit yang terinfeksi pada hari ke-5
pengamatan lebih banyak dibandingkan dengan P2 yang merupakan kontrol positif dengan pemberian
obat antimalaria. Kemudian gambar 4.3 dapat dilihat perbedaan eritrosit yang terinfeksi pada masing-
masing pemberian variasi dosis ekstrak biji L. acutangula, pada P3 eritrosit yang terinfeksi lebih
12
banyak dibandingkan dengan eritrosit yang terinfeksi pada P4 dan P5. Pada P2, P3, P4 dan P5 dapat
dilihat masih terdapatnya eritrosit yang terinfeksi hingga hari ke-5 pengamatan, tetapi telah terjadi
pengurangan parasitemia sejak hari ke-1 pengamatan hal ini menunjukkan bahwa pemberian klorokuin
dan ekstrak biji L. acutangula selama 3 hari memberikan efek dalam menurunkan dan menahan laju
perkembangan P. berghei hingga hari ke-5. Pada pengamatan hari ke-5 angka parasitemia pada setiap
perlakuan masih tinggi yaitu ≥ 3%, hal ini dapat meningkatkan laju pertumbuhan P. berghei untuk
bermultiplikasi (Dewi dkk, 1993). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang dilakukan Hutomo dkk,
(2005) mengenai uji antimalaria ekstrak buah Morinda citriflia yang menyatakan terjadi penurunan
parasitemia pada hari ke-5 pengamatan tetapi angka parasitemia masih ≥ 3%, sehingga memudahkan P.
berghei dapat berkembang lagi tanpa adanya pemberian obat antimalaria maupun ekstrak tumbuhan
yang kita gunakan.
Hasil Pengukuran Suhu Tubuh pada Mencit yang Diinfeksi P. berghei
Pada Gambar 2. dapat dilihat bahwa suhu tubuh mencit yang diinfeksi P. berghei bervariasi
pada setiap perlakuan. Pada P1 terlihat adanya kenaikan suhu tubuh mencit pada hari ke-4 pengamatan
yaitu 37,30 C, sedangkan pada P2 terjadi kenaikan suhu tubuh pada hari ke-1 pengamatan yaitu 37,30 C
kemudian pada hari ke-2 dan ke-3 pengamatan kembali normal namun pada hari ke-4 pengamatan
kembali terjadi kenaikan suhu tubuh yaitu 37,370 C. Pada P3 terjadi kenaikan suhu tubuh diatas normal
pada hari ke-2 pengamatan yaitu 37,070 C kemudian terjadi lagi kenaikan suhu tubuh diatas normal
pada hari ke-5 pengamatan yaitu 37,530 C.
13
H a r i 1 H a r i 2 H a r i 3 H a r i 4 H a r i 534.5
35
35.5
36
36.5
37
37.5
38
Kontrol positif Kontrol negatif Dosis 100 mgDosis 150 mg Dosis 200 mg
Hari pengamatan
Suhu
tubu
h range suhu tubuh mencit normal
Gambar 2.Grafik hasil pengukuran rata-rata suhu tubuh mencit yang diinfeksi P.
berghei
pada sore hari.
Pada perlakuan dengan pemberian ekstrak biji L. acutangula yaitu pada P4 dan P5 tidak terjadi
kenaikan atau penurunan suhu tubuh dari keadaan normal di bandingkan dengan P2 yang diberikan
obat antimalaria klorokuin. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa yang dimiliki oleh biji L.
acutangula yaitu flavonoid yang memiliki aktivitas antiinflamasi sehingga dapat menghambat pirogen
yang berperan dalam mekanisme terjadinya demam (Gill dkk, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh
Andriana (2007) mengenai zat aktif flavonoid yang menyatakan bahwa flavonoid telah dikenal
memiliki efek anti inflamasi, bahkan juga memiliki efek antipiretik. Flavonoid bekerja sebagai inhibitor
cyclooxygenase (COX). Cyclooxygenase (COX) berfungsi memicu pembentukan prostaglandin,
prostaglandin berperan dalam proses inflamasi dan meningkatkan suhu tubuh. Dengan dihambatnya
prostaglandin maka tidak terjadinya peningkatan suhu tubuh.
Tabel 3. Hasil Korelasi Parasitemia dengan Suhu Tubuh Mencit yang Diinfeksi P. berghei.
Suhu Parasitemia
Suhu
Parasitemia
Pearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)N
1
100.256*.010100
.256*
.0101001
100
14
Dari tabel 3. dapat dilihat bahwa nilai korelasi antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh
adalah sebesar 0,256 dengan tanda positif dan nilai signifikansinya adalah 0,01, yang berarti bahwa
hubungan yang sangat lemah antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit yang diinfeksi P.
berghei. Hubungan antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit dikatakan memiliki hubungan
yang kuat jika nilai korelasinya > 0,51.
Gambar 4. Grafik hasil korelasi dan regresi antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit
yang diinfeksi P. berghei.
Pada Gambar 4 dapat dilihat hasil korelasi dan regresi yang digambarkan dalam bentuk garis
linier antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit bernilai positif yang artinya semakin
meningkat angka parasitemia semakin meningkat juga suhu tubuh, namun hubungan angka parasitemia
dengan peningkatan suhu tubuh masih lemah sebagaimana yang digambarkan pada gambar 2.
Di duga terjadinya perubahan suhu tubuh berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya
merozoit/skizon). Akhir-akhir ini peningkatan suhu tubuh ini dihubungkan dengan pengaruh GPI
(glycosyl phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin dan atau toksin lain (Harijanto, 2009). Hasil
penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2011) yang menyatakan
bahwa pada tingkat parasitemia tertentu bisa terjadi kenaikan dan penurunan suhu tubuh. Peningkatan
suhu tubuh pada awal infeksi terjadi karena hewan mengalami demam setelah infeksi, setelah itu
diikuti dengan penurunan temperatur. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada mencit yang diinfeksi
P. berghei mengalami penurunan suhu tubuh, hal ini terjadi karena adanya gangguan pada susunan
syaraf pusat terutama pada sistem termoregulator yang tidak berfungsi dengan baik atau panas yang
terbentuk akibat dari proses peradangan lebih banyak dikeluarkan dari tubuh dari pada menaikkan suhu
15
tubuh dan ini sesuai dengan penelitian lain bahwa mencit yang terinfeksi P. berghei tidak menunjukkan
adanya demam melainkan penurunan temperatur (Nugroho, 2011). Penurunan suhu tubuh ini juga
terjadi pada penelitian Curfs (1993) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan suhu tubuh saat mencit
terinfeksi oleh P. berghei.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji L. acutangula memiliki aktivitas
menurunkan parasitemia pada mencit yang diinfeksi P. berghei. Dosis esktrak biji L. acutangula yang
paling efektif dalam penelitian ini adalah dosis 150 mg/kg BB dimana persen pertumbuhan dan persen
penghambatan terhadap P. berghei sama dengan persen pertumbuhan dan persen penghambatan pada
perlakuan yang diberikan obat antimalaria yaitu klorokuin. Dan juga dosis 150 mg/kg BB terjadi
penurunan tingkat parasitemia secara terus menerus dari hari ke-1 pengamatan hingga hari ke-5
pengamatan.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat parasitemia dengan suhu tubuh mencit
yang diinfeksi P. berghei. Dari hasil pengukuran suhu tubuh mencit yang diinfeksi P. berghei dapat
juga disimpulkan bahwa perlakuan dengan pemberian ekstrak biji L. acutangula dengan dosis 150
mg/kgBB dan dosis 200 mg/kgBB tidak terjadi peningkatan atau penurunan suhu tubuh dari batas
normal suhu tubuh mencit dibandingkan dengan kontrol positif yang diberikan klorokuin dimana
terjadi perubahan suhu tubuh di atas normal.
16
DAFTAR PUSTAKA
Asmila N, Sugito, Rahmi E, Febrianto N .2010. Pengaruh ekstrak etanol daun jaloh (Salix tetrasperma
Roxb) terhadap persentase parasitemia pada mencit (Mus muculus) yang diinfeksi Plasmodium
berghei. Jurnal Kedokteran Hewan, 4(1): 39-43.
Curfs J H, Meide P H, Billiau A, Mevwissen J H, Eling WM. 1993. Plasmodium berghei: recombinant
interferon-gamma and the development of parasitemia and cerebral lesions in malaria-infected
mice. Exp Parasitol. 77(2): 212-213.
Gill N S, Arora R, Kumar S R .2011. Evaluation of antioxidant, anti-inflammatory and ananlgesic
potential of the Luffa acutangula Roxb. Var. Amara. Research Journal of Phytochemistry, 5(4):
201-208.
Hafid A F, Tyas M W, Widyawaruyanti A. 2011. Model terapi kombinasi ekstrak etanol 80% kulit
batang cempedak (Artocarpus Champeden Spreny) dan artesunat pada mencit terinfeksi parasit
malaria. Jurnal Indonesia Medical Association. 61(4): 161-167.
Harijanto P N .2011. Eliminasi malaria pada era desentralisasi: Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan Vol. 1 Triwulan 1. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, pp: 23-28.
Harijanto P N .2009. Malaria . Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S
(eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Jakarta: Interna Publishing, pp: 2813-2825.
Hutomo R, Sutarno, Winarno W, Kusmardi .2005. Uji antimalaria ekstrak buah Morinda citrofilia dan
aktivitas makrofag pada mencit (Mus muculus) setelah diinfeksi Plasmodium berghei.
Biofarmasi, 3(2): 61-69.
Mohan G K, Sanjay J S. 2010. Pharmacognostic and phytochemical investigation of Luffa acutangula
var. Amara fruits. International Journal of PharmTech Research. 2(2): 1609-1614.
Nugroho A Y. 2011. Aktifitas antimalaria (in vivo) kombinasi buah sirih (Piper bettle L), daun miyana
(Plectrantus pcutellarioidies (L). R. BR), madu dan kuning telur pada mencit yang diinfeksi
Plasmodium berghei. Buletin Penelitian Kesehatan. 39(3): 129-137.
Noviyanti R .2009. Patogenesis molekuler Plasmodium falciparum: kajian gen parasit yang berkaitan
dengan virulensi. Dalam: Harijanto P N, Nugroho A, Gunawan C A (eds). Malaria dari molekuler
ke klinis edisi 2. Jakarta: EGC, pp: 17-37.
Praptiwi, Chairul .2008. Pengaruh pemberian ekstrak pauh kijang (Irvingia malayana Oliv. ex. A.
Benn) terhadap tingkat penurunan parasitemia pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei.
Biodiversitas, 9(2): 201-208.
17
Suryani Y .2007. Karakteristik simplisia dan isolasi senyawa saponin dari biji tumbuhan gambas
(Luffa acutangula Roxb. L). Medan, Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Syamsudin, Marlina S, Dewi M R. 2006. Efek antiplasmodium dari eksrak kulit batang asam kandis
(Garcinia parvifolia Miq) yang diberikan secara intraperitoneal pada mencit yang diinfeksi
dengan Plasmodium yoelii. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 11(2): 81-87.
Syarif A, Zunilda D S. 2009. Obat malaria. Dalam: Gunawan S, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 556-570.
Tjahjani S, Khiong K .2010. Potensi buah merah sebagai antioksidan dalam mengatasi malaria
berghei pada mencit strain Balb/C. Majalah Kedokteran Indonesia, 60(12): 571-575.
18