modul metal 2015.pdf

35
Modul Praktikum Analisis Struktur Material dan HST 2015 LABORATORIUM METALOGRAFI dan HST

Upload: muh-fadhil-albab

Post on 20-Nov-2015

169 views

Category:

Documents


47 download

TRANSCRIPT

  • Modul Praktikum Analisis Struktur Material dan HST 2015

    LABORATORIUM METALOGRAFI dan HST

  • PENDAHULUAN

    TEKNIK PENGUJIAN METALOGRAFI

    Metalografi didefinisikan sebagai ilmu pengamatan bentuk dan struktur dari material,

    dengan tujuan untuk kontrol kualitas material. Metalografi secara umum dibagi menjadi:

    Pengamatan Makroskopi; pengamatan dengan perbesaran 10X 100X.

    Pengamatan Mikroskopi; pengamatan dengan perbesaran lebih dari 100X. Perbesarannya

    tergantung sifat struktur yang akan diamati. Pengamatan dapat dilakukan dengan:

    Mikroskop optik (sampai 1000X),

    Scanning Electron Microscope (SEM) (sampai 50000X), atau

    Transmission Electron Microscope (sampai 500000X).

    Tujuan umum penggunaan mikroskop optik adalah untuk mengamati susunan geometri

    dari butir dan fasa pada material. Hasil pengamatan pada umumnya dibuat foto struktur mikro

    dengan angka perbesaran yang selalu dicantumkan pada pojok kanan bawah foto atau dengan

    keterangan perbesaran, misal 100X, dsb.

    Pengamatan struktur mikro material sangat penting karena erat hubungannya dengan sifat

    mekanis material. Sebagai contoh, A menunjukkan fasa dan struktur butir yang lebih homogen

    dan halus dari material B, dapat diantisipasi material A akan menunjukkan sifat pada temperatur

    ruang yang lebih tinggi dari material B.

    Secara umum teknik uji metalografi memiliki tujuan sebagai berikut:

    Setelah melakukan percobaan ini peserta diharapkan mampu melakukan proses persiapan

    sampel metalografi berbagai logam dengan benar.

    Peserta dapat mengidentifikasi struktur mikro dari logam dan paduan yang diberikan, dan

    menghubungkan dengan sifat mekanisnya.

    Setelah melaksanakan pengujian struktur mikro ini peserta diharapkan mampu:

    Melakukan teknik persiapan sampel berbagai material yaitu baja, aluminium, besi tuang.

    Melakukan identifikasi fasa yang terdapat pada berbagai paduan dengan menggunakan

    standar atau membandingkannya dengan atlas struktur mikro.

    Melakukan penghitungan besar butir dan perbandingan fasa pada material.

  • MODUL I

    PREPARASI/PERSIAPAN SAMPEL (MOUNTING, AMPLAS, POLES, DAN ETSA)

    I.1 PERSIAPAN SAMPEL METALOGRAFI

    Prosedur dasar persiapan sampel metalografi :

    1. Penentuan ukuran sampel; tergantung pada sifat material dan informasi yang akan di

    dapat. Umumnya bervariasi antara 5 30 mm, dan ketebalan lebih kecil dibanding

    dimensi panjang dan lebarnya.

    2. Mounting sampel; umunya dilakukan jika sampel berukuran terlalu kecil.

    3. Amplas kasar (coarse grinding); umumnya untuk menghaluskan permukaan yang tergores

    cukup dalam pada proses pemotongan.

    4. Amplas halus (fine grinding); dilakukan menggunakan amplas dengan partikel SiC.

    Terdapat berbagai ukuran kertas amplas halus, yaitu antara 400 1200 mesh. Setiap

    berganti ukuran amplas, sampel diputar 90o dari posisi sebelumnya untuk menghilangkan

    goresan pada tahap sebelumnya.

    5. Poles kasar (rough polishing); dilakukan dengan menggunakan partikel alumina atau

    intan, dengan besar partikel sekitar 5 m, untuk menghilangkan goresan yang masih

    tersisa dan untuk meminimalisir sisa daerah yang terdeformasi dari amplas halus.

    6. Poles halus (final polihing); untuk menghilangkan goresan yang amat halus dan daerah

    daerah deformasi yang dihasilkan selama proses kasar, dengan menggunakan partikel

    poles alumina atau intan kurang dari 1 m (biasanya 0,5 m). Hasil poles ini

    menunjukkan permukaan yang bebas goresan dan siap untuk dietsa.

    7. Etsa; dilakukan pasa sampel yang telah dikeringkan setelah poles halus dengan

    menggunakan zat kimia bersifat asam atau basa. Zat etsa akan menyerang berbagai daerah

    permukaan. Terjadi karena adanya afinitas kimia yang berbeda antara detail satu dan

    lainnya, serangan zat kimia akan menyebabkan pantulan sinar yang berbeda ke lensa

    objektif yang menyebabkan dapat membedakan antara fasa satu dan lainnya. Setelah

    proses etsa, sampel siap diamati dengan mikroskop optik.

  • I.2 MOUNTING

    I.2.1 TUJUAN PERCOBAAN

    Percobaan bertujuan untuk menempatkan sampel pada suatu media, untuk memudahkan

    penanganan sampel yang berukuran kecil dan tidak beraturan dengan tanpa merusak sampel.

    I.2.2 DASAR TEORI

    Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit

    untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh

    adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis, dll.

    Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen spesimen tersebut harus ditempatkan

    pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat syarat yang harus dimiliki bahan

    mounting adalah:

    Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa).

    Sifat eksotermis rendah.

    Viskositas rendah.

    Penyusutan linier rendah.

    Sifat adhesi baik.

    Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel.

    Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah, dan bentuk ketidakteraturan yang terdapat

    pada sampel.

    Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujia SEM, bahan mounting harus kondukstif.

    Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang

    akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya

    dapat berupa:

    1. Resin (castable resin) yang dicampur dengan hardener atau bakelit. Penggunaan

    castable resin lebih mudah dan alat yang digunaskan lebih sederhana dibandingkan

    bakelit karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable

    resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (bersifat lunak), sehingga kurang

    cocok untuk material material yang keras.

  • 2. Thermosetting mounting dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa

    bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam, membutuhkan alat khusus karena

    membutuhkan aplikasi tekanan ( 4200 lb/in2) dan panas ( 149

    oC) pada mold saat

    mounting.

    Jenis-jenis cacat yang dapat terbentuk ketika proses mounting:

    Tabel 1.1 Jenis-jenis cacat pada mounting

    Masalah Penampakan Penyebab

    Cracking

    Kurangnya curing di

    udara sebelum curing

    di oven; temperatur

    curing oven terlalu

    tinggi; perbandingan

    resin dengan hardener

    tidak sesuai

    Bubbles

    Pengadukan yang

    terlalu cepat

    Discoloration

    Rasio hardener

    dengan resin yang

    tidak sesuai; hardener

    mengalami oksidasi

    Soft mount

    Rasio resin dengan

    hardener tidak sesuai;

    campuran resin-

    hardener yang tidak

    tepat

    I.2.3 PROSEDUR PERCOBAAN

    I.2.3.1 Castable Mounting

    1. Siapkan cetakan, dengan menutup salah satu bagian ujung dari silinder dengan isolasi

  • 2. Letakkan sampel pada dasar cetakan

    3. Siapkan resin sebanyak 1/3 bagian cetakan

    4. Campur resin dengan 15 tetes hardener

    5. Tuangkan resin yang telah dicampur hardener ke dalam cetakan

    6. Biarkan selama 25-30 menit hingga resin mengeras

    7. Keluarkan mounting dari cetakan

    I.2.3.2 Compression Mounting

    1. Persiapkan permukaan sampel

    2. Letakkan piston hingga naik ke bagian atas silinder

    3. Letakkan permukaan sampel hingga menempel pada permukaan piston

    4. Kurangi tekanan sehingga piston turun

    5. Tuangkan bubuk bakelit ke dalam silinder secukupnya

    6. Tutup bagian atas silinder dengan dies penutup

    7. Pasang pemanas pada tempatnya

    8. Tambahkan tekanan berdasarkan standar

    9. Aktifkan pemanas

    10. Pertahankan tekanan sesuai standar

    Resin+hardener

    Sampel

  • 11. Setelah tekanan stabil, tunggu 5 menit, kemudian lepaskan pemanas, setelah itu pasang

    blok pendingin

    12. Setelah dingin, turunkan tekanan hingga 1 atm, kemudian buka dies penutup sehingga

    sampel bisa dikeluarkan

    Gambar 1.1 Alat dan bahan compress mounting

    I.3 PENGAMPELASAN/GRINDING

    I.3.1 TUJUAN PERCOBAAN

    Untuk meratakan dan menghaluskan permukaan sampel dengan cara menggosokan

    sampel pada kain abrasif/amplas.

    I.3.2 DASAR TEORI

    Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan

    yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk

    dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir

    abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh

    yang rendah (hingga 150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga 600 mesh). Ukuran grit

    pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang

    ditimbulkan oleh pemotongan. Lihat tabel 1.1 berikut:

    Tabel 1.1 Ukuran grit pada pengamplasan pertama dengan alat potong yang berbeda

    Jenis alat potong Ukuran kertas amplas (grit) untuk

    pengamplasan pertama

    Gergaji pita 60 120

  • Gergaji abrasif 120 240

    Gergaji kawat/intan kecepatan

    rendah 320 400

    Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air. Dalam hal ini

    air berfungsi sebagai pemindah geram dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal

    lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah

    yang baru adalah 45o atau 90

    o terhadap arah sebelumnya dengan tujuan menghilangkan goresan

    pada tahap sebelumnya.

    I.3.3 PROSEDUR PERCOBAAN

    1. Potong kertas amplas (120#) membentuk lingkaran seperti pada gambar

    2. Pasang kertas ampas pada mesinnya

    3. Nyalakan mesin pada kecepatan rendah, kemudian tuangkan air pada permukaan kertas

    amplas secara kontinyu

    4. Pegang erat sampel, kemudian letakkan sampel pada permukaan kertas amplas

    5. Tambah kecepatan putaran sesuai kebutuhan

    6. Ubah arah pengamplasan 45o atau 90o terhadap arah sebelumnya

    7. Ganti kertas amplas dengan grit yang lebih tinggi, hingga diperoleh permukaan yang halus

    dan rata.

    I.4 PEMOLESAN/POLISHING

    I.4.1 TUJUAN PERCOBAAN

    Pemolesan bertujuan untuk mendaptkan permukaan sampel yang halus dan mengkilat

    seperti kaca tanpa gores.

  • I.4.2 DASAR TEORI

    Permukaan sampel yang akan diamati dibawah mikroskop harus benar-benar rata.

    Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan

    sulit untuk dilakukan dikarenakan cahaya yang datang dari mikroskop akan dipantulkan secara

    acak oleh permukaan sampel. Hal ini dapat dijelaskan pada gambar berikut:

    Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan

    dengan pemolesan halus.

    I.4.3 PROSEDUR PERCOBAAN

    1. Pasang kain poles pada mesin poles (umumnya digunakan bahan beludru)

    2. Tuangkan sedikit alumina pada permukaan kain poles

    3. Nyalakan mesin poles pada kecepatan rendah

    4. Letakkan sampel pada permukaan kain poles

    5. Lakukan pemolesan dengan memutar sampel pada porosnya secara kontinyu dan perlahan

    6. Tambahkan lagi alumina jika perlu

    7. Lakukan pemolesan hingga diperoleh permukaan yang mengkilat

    Semua prosedur persiapan sample di atas dilakukan untuk sample metalografi dan sample

    Perlakuan panas yang diberikan pasa setiap peserta.

    Permukaan halus Permukaan Kasar

  • I.5 ETSA

    I.5.1 TUJUAN PERCOBAAN

    1. Mengamati dan mengidentifikasi detil struktur logam dengan bantuan mikroskop optik

    setelah terlebih dahulu dilakukan proses etsa pada sampel.

    2. Mengetahui perbedaan antara etsa kimia dengan elektro etsa serta aplikasinya.

    3. Dapat melakukan preparasi sampel metalografi secara baik dan benar

    I.5.2 TEORI SINGKAT Etsa merupakan suatu proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan

    terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun

    listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan

    terlihat dengan jelas dan tajam.

    I.5.2.1 Jenis Etsa

    1.5.2.1.1 Etsa Kimia

    Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia dimana zat etsa yang

    digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan

    sampel yang akan diamati. Sebagai contoh yakni:

    a. Nitrid acid/nital: asam nitrit + alkohol 95% (khusus untuk baja karbon) yang bertujuan

    untuk mendapatkan perlit, ferit, dan ferit dari martensit.

    b. Picral: asam picric + alkohol (khusus untuk baja) yang bertujuan untuk mendapatkan

    perlit, ferit, dan ferit dari martensit.

    c. Ferric chloride: ferric chloride + HCL + air untuk melihat struktur pada SS, nikel

    austenitic, dan paduan tembaga.

    d. Hydroflouric acid: HF + air untuk mengamati struktur pada alumunium dan paduannya.

    Keterangan:

    1. Hindari waktu etsa yang terlalu lama (umumnya sekitar 4 30 detik).

    2. Setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol kemudian

    dikeringkan dengan hair dryer.

  • Tabel 1.2 Jenis zat etsa yang biasa digunakan pada berbagai logam dan paduannya

  • 1.5.2.1.2 Elektro Etsa (Etsa Elektrolitik)

    Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektroetsa. Cara ini dilakukan

    khusus untuk stainless steel karena dengan etsa kimia susah untuk mendapatkan detil

    strukturnya. Skema peralatan elektro etsa standar dapat dilihat pada gambar 1.2 yaitu sbb:

    Gambar 1.2 Instalasi elektrolitik polishing dan etching

    Gambar diatas merupakan rangkaian dasar alat elektro etsa yang umum digunakan dalam

    skala percobaan laboratorium. Hubungan kuat arus dan tegangan dalam etsa dapat dijelaskan

    pada gambar 1.3 dibawah ini, dimana kurva tersebut terbagi menjadi beberapa daerah

    karakteristik, antara lain yaitu:

  • Gambar 1.3 Skema peralatan elektro etsa standar

    Daerah A B; daerah proses etsa, dimana ion logam sebagai anoda, larut dalam larutan

    elektrolit.

    Daerah B C; daerah tidak stabil, karena permukaan logam merupakan gabungan dari

    daerah pasif dan aktif yang disebabkan oleh perbedaan energi bebas antara butir dan batas

    butir.

    Daerah C D; daerah poles, terjadi kestabilan arus , meskipun tegangan ditambahkan .

    Hal ini disebabkan oleh stabilnya larutan. Meskipun pada daerah ini logam berubah

    menjadi logam oksida, tetapi oleh larutan elektrolit logam itu dilarutkan kembali.

    Daerah D E; terjadi evolusi oksigen pada anoda, dimana gelembung gas melekat dan

    menetap pada permukaan anoda untuk waktu yang lama, sehingga menyebabkan pitting.

    Dengan penambahan tegangan, rapat arus melonjak tinggi tak terkendali.

    I.5.3 ALAT DAN BAHAN

    I.5.3.1 Alat

    1. Blower/dryer

    2. Cawan gelas dan pipet.

  • 3. Alat elektro-etsa (rectifier, amperemeter, penjepit sampel konduktif)

    I.5.3.2 Bahan

    1. Zat etsa: FeCl3, Nital 2 %, HF 0.5 %, dan asam oksalat (H2C2O4) 15 g/100ml air.

    2. Air, alkohol, tissue.

    I.5.4 PROSEDUR PRAKTIKUM

    I.5.4.1 Pengujian Etsa

    I.5.4.1.1 Etsa Kimia

    1. Bersihkan sampel yang telah dipoles dengan air dan alkohol untuk menghilangkan lemak.

    2. Pengetsaan dilakukan dengan cara meneteskan zat etsa (atau mencelupkan sampel ke

    dalam zat etsa) selama beberapa detik. Untuk baja gunakan nital 2% (sekitar 5-10 detik),

    untuk paduan alumunium gunakan HF 0,5 % (selama < 5 detik), dan untuk paduan

    tembaga gunakan FeCl3 (selama 10 -15 detik). Pengetsaan jangan sampai menghanguskan

    permukaan sampel.

    3. Setelah itu bersihkan dengan alkohol dan keringkan dengan blower lalu dilap dengan

    tissue.

    I.5.4.1.2 Etsa Elektrolitik

    1. Menyusun alat dan bahan seperti gambar berikut (rectifier jangan dihidupkan terlebih

    dahulu, mintalah bantuan asisten).

    2. Tentukan daerah yang akan dietsa.

    3. Aturlah besarnya arus yang akan digunakan ( tanyakan asisten).

    4. Setelah selesai, bilas dengan air dan HNO3 lalu keringkan dengan hair dryer.

  • MODUL II

    PEMBUATAN FOTO DAN ANALISA STRUKTUR MAKRO DAN MIKRO

    II.1 TUJUAN PERCOBAAN 1. Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur

    2. Mengetahui bentuk-bentuk perpatahan pada sampel makro

    3. Menganalisa struktur mikro dan sifat-sifatnya

    4. Mengenali fasa-fasa dalam struktur mikro

    II.2 TEORI SINGKAT Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik mikrostruktur suatu

    logam dan paduannya serta hubungannya dengan sifat-sifat logam dan paduannya tersebut. Ada

    beberapa metode yang dipakai yaitu: mikroskop (optik maupun elektron), difraksi ( sinar-X,

    elektron dan neutron), analasis (X-ray fluoresence, elektron mikroprobe) dan juga stereometric

    metalografi. Pada praktikum metalografi ini digunakan metode mikroskop, sehingga pemahaman

    akan cara kerja mikroskop dapat diketahui, khususnya mikroskop optik.

    Pengamatan metalografi dengan mikroskop umumnya dibagi menjadi dua, yaitu:

    1. Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10 100 kali

    2. Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran diatas100 kali

    Sebelum dilakukan pengamatan mikrostruktur dengan mikroskop maka diperlukan

    proses-proses persiapan sampel. Langkah-langkah persiapan sampel untuk mikroskop telah

    diterangkan dalam modul sebelumnya.

    II.2.1 MAKROSTRUKTUR II.2.1.1 Mode Perpatahan Material

    Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan seperti

    ditunjukkan oleh gambar 2.1 di bawah ini:

  • Gambar 2.1 Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahan benda uji tarik sesuai dengan tingkat

    keuletan/kegetasan (semakin kekiri semakn ulet)

    Perpatahan ulet memberikan karakteristik berserabut (fibrous) dan gelap (dull), sementara

    perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang berbutir (granular) dan terang.

    Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet umumnya lebih tangguh dan

    memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya kerusakan.

    a. Perpatahan Ulet; memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Dapat terlihat dengan jelas deformasi plastis yang terjadi.

    2. Karakteristik berserabut (fibrous) dan gelap (dull).

    b. Perpatahan Getas; memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material.

    2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah atom-atom

    material (transgranular).

    3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat pola-pola

    yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang keluar dan daerah

    awal kegagalan.

    4. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya dan

    mulus.

  • Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat dilakukan baik dengan mata telanjang

    maupun dengan bantuan stereoscan macroscope. Pengamatan lebih detil dimungkinkan

    dengan penggunaan SEM (Scanning Electron Microscope).

    II.2.2 MIKROSTRUKTUR

    II.2.2.1Mikrostruktur Baja Karbon

    Struktur yang terdapat pada material adalah tergantung pada komposisi unsur-unsur

    pembentuk, yang dapat dilihat dari diagram fasa. Berbagai fasa pada diagram fasa dapat

    diterangkan sebagai berikut:

    Ferrit () memiliki kelarutan karbon maksimal 0,022%, amat lunak.

    Austenite () kelarutan karbon dalam baja yang terdapat pada suhu tinggi dan

    mengadung karbon maksimal 2,11%.

    Cementite (Fe3C) suatu senyawa karbon dan baja dengan kadar karbon lebih dari

    6.7%

    Pearlite (+ Fe3C) fasa campuran dengan kadar karbon 0,77%.

    Contoh fasa pada baja dapat dilihat pada diagram fasa Fe-Fe3C.

  • Gambar 2.2 Diagram Fe - Fe3C. ( Metals Handbook: Metallography, Structures and Phase Diagrams, vol.8, 8th

    edition, ASM Handbook Committee, T. Lyman, Editor, ASM, 1973, hal.275).

    Baja didefinisikan sebagai material ferrous dengan kadar karbon kurang dari 2,14%. Baja

    karbon dibagi menjadi 2 yaitu, baja hipoeutektoid dan baja hipereutektoid, dengan kadar karbon

    0,8% sebagai batas. Pada kadar karbon 0,8% akan terbentuk fasa perlit, yaitu fasa yang terbentuk

    lamel-lamel yang merupakan paduan antara ferit sebagai matriksnya dan sementit sabagai

    lamelnya. Fasa sementit merupakan fasa yang terbentuk dengan kadar karbon meksimum 6,67%.

    Sementara ferit pada kadar karbon maksimum 0,02%.

    Fasa yang ada pada temperatur ruang pada diagram tersebut didapat dengan metode

    pendinginan kontinyu yang amat lambat, struktur yang terbentuk adalah struktur stabil. Fasa

    yang didapat dengan pendinginan yang tidak kontinyu, akan mendapatkan struktur yang

    metastabil seperti martensit atau bainit.

  • II.2.2.1.1 Mikrostruktur Baja Karbon pada Heat & Surface Treatment

    Perlakuan panas adalah rangkaian siklus pemanasan dan pendinginan terhadap material

    logam dalam keadaan padat, yang bertujuan untuk menghasilkan sifat-sifat (mekanis, fisik, dan

    kimia) yang diinginkan. Dasar dari perlakua panas baja adalah transformasi fasa dan

    dekomposisi austenit. Ada beberapa macam proses perlakuan panas yaitu annealing,

    spheroidisasi, normalisasi, tempering, dan quenching. Masing-masing memiliki proses maupu

    media pendingin yang berbeda.

    Dasar dari transformasi fasa pada heat treatment adalah diagram TTT (Transformation

    Temperature Time) dan CCT (Continuous Cooling Transformation). Perlakuan panas ini akan

    menyebabkan pembentukan fasa martensit dan bainit.

    Perlakuan permukaan adalah suatu perlakuan yang menghasilkan terbentuknya kulit

    lapisan pada permukaan logam dimana lapisan tersebut memiliki sifat-sifat lebih baik

    dibandingkan dengan bagian dalam logam. Beberapa contoh kasus perlakuan permukaan yaitu

    karburisasi, nitridisasi, sianidisasi, karbonitridisasi, flame hardening, dan induction hardening.

    Sampel yang digunakan di sini merupakan hasil karburisasi dimana terjadi difusi karbon ke

    dalam permukaan logam Fe akibat reaksi dekomposisi:

    CO CO2 + C(Fe)

    II.2.2.2 Mikrostruktur Besi Tuang Besi tuang pada dasarnya merupakan perpaduan antara besi dan karbon, dimana pada

    diagram Fe-Fe3C terlihat bahwa besi tuang mengandung kadar karbon lebih besar dibandingkan

    dengan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan austenit pada temperatur eutektik, yaitu pada

    rentang 2,14 6,67%. Secara komersial besi tuang yang dipakai adalah besi tuang dengan kadar

    karbon 2,5 4%, karena kadar karbon yang terlalu tinggi membuat besi tuang sangat rapuh.

    Secara metalografi besi tuang dibagi dalam 4 tipe yang didasarkan pada variabel kadar karbon,

    kadar pengotor dan paduan, serta proses perlakuan panasnya. Tipe-tipe tersebut antara lain:

    Besi tuang putih; merupakan besi tuang dimana semua kadar karbonnya terpadu dalam

    bentuk sementit.

    Besi tuang malleable; dimana hampir semua karbonnya dalam bentuk partikel tak

    beraturan yang dikenal dengan karbon temper. Besi tuang malleable diperoleh dengan

    memberikan perlakuan panas pada besi tuang putih.

    Besi tuang kelabu; dimana semua atau hampir semua karbonnya dalam bentuk flake.

  • Besi tuang nodular; dimana semua atau hampir semua karbonnya dalam bentuk

    spheroidal. Bentuk spheroidal ini terjadi akibat adanya penambahan elemen paduan

    khusus yang dikenal sebagai nodulizer.

    II.2.2.3 Mikrostruktur Baja Perkakas

    Pada umumnya semua baja dapat digunakan sebagai baja perkakas. Namun istilah baja

    perkakas dibatasi hanya pada baja dengan kualitas tinggi yang mampu digunakan sebagai

    perkakas. Ada beberapa macam klasifikasi yang digunakan untuk baja perkakas. Tingginya

    kualitas baja perkakas diperoleh dari penambahan paduan-paduan seperti Cr, W, dan Mo,

    ditambah perlakuan-perlakuan khusus. Mikrostruktur yang dihasilkan pada umumnya adalah

    matriks martensit dengan adanya partikel-partikel karbida, grafit, serta presipitat.

    Klasifikasi baja perkakas berdasarkan AISI (American Iron and Steel Institute) dibagi

    dalam 7 kelompok utama:

    Tabel 2.1 Klasifikasi Baja Perkakas

    GRUP SIMBOL TIPE

    Water-hardening W

    Shock-resisting S

    Cold-work

    O Oil hardening

    A Medium alloy air-hardening

    D High-carbon high-chromium

    Hot-work H

    H1 H19 : Chromium base

    H20 H39 : Tungsten base

    H40 H59 : Molybdenum base

    Mold P P1P19 : termasuk dalam karbon rendah

    P20-P39 : termasuk tipe lain Low-alloy

    Special-purpose L Karbon-tungsten

    F

    II.2.2.4 Mikrostruktur Paduan Alumunium Mikrostruktur hampir semua paduan alumunium terdiri dari kristal utama padatan

    alumunium (biasanya berbentuk dendritik) ditambah dengan produk hasil reaksi dengan paduan.

    Elemen paduan yang tidak berada dalam keadaan padat biasanya membentuk fasa campuran

  • pada eutectik, kecuali silikon yang muncul sebagai produk utama. Pada paduan alumunium-

    silikon, eutektik terjadi pada sekitar 12% Si.

    II.2.2.5 Mikrostruktur Paduan Tembaga

    Paduan tembaga yang akan dibahas di sini adalah paduan tembaga dengan elemen dasar

    seng. Kuningan merupakan paduan tembaga seng, dengan elemen-elemen lainnya seperti timbal,

    timah dan alumunium. Pada diagram fasa Cu-Zn, kelarutan seng dalam larutan padatan fasa

    meningkat dari 32,5% pada temperatur 903 oC ke 39% pada temperatur 454

    oC. Fasa berbentuk

    FCC, sementara fasa berbentuk BCC.

    II.2.2.6 Mikrostruktur Material Hasil Lasan

    Fasa yang terbentuk sebagai hasil proses las pada baja akan membentuk fasa sesuai

    dengan kecepatan pendinginan dari fasa (austenit). Semakin dekat dengan daerah fusi,

    temperatur baja semakin tinggi, dan kecepatan pendinginan akan semakin tinggi. Pada gambar

    2.2 di bawah menggambarkan berbagai daerah pada produk las baja.

    Gambar 2.3 Diagram skematis menunjukkan lima daerah pada baja yang dilas

    Daerah pada produk las dimulai dari daerah logam las:

    a. Daerah logam las (daerah fusi); daerah logam filler yang cair bercampur dengan logam

    induk yang dipanaskan sampai temperatur cair. Bentuknya butir columbar dan

  • widmanstatten, yaitu bentuk memanjang karena logam cair mendapat pendinginan yang

    amat cepat, seperti struktur produk cor.

    b. Daerah pertumbuhan butir, dimana logam induk yang tidak mencair akan membesar

    karena pemanasan yang amat tinggi akibat proses pengelasan.

    c. Daerah penghalusan butir (Daerah rekristalisasi), karena temperatur sedikit lebih rendah

    dari daerah b, austenit mengalami rekristalisasi, pembentukan butir baru yang lebih halus,

    pada pendinginan akan terjadi ferit dan perlit yang lebih halus.

    d. Daerah transisi, waktu proses welding sebagian fasa austenit sebagian masih ferit, jadi

    waktu pendinginan,terdapat campuran ferit baru dan ferit yang ada sebelumnya. Daerah b,

    c, dan e disebut daerah terpengaruh panas (Heat Affected Zone).

    e. Daerah tak terpengaruh panas (Unaffected Zone), fasa logam induk yang tidak berubah

    fasa karena tidak terkena panas pada pengelasan.

    II.2.2.7 Contoh Beberapa Struktur Mikro Logam

    Gambar 2.4 Baja AISI 1008 hasil cold roll, a) reduksi 10%, b) 50%, c) 60%, 4% natal, 250X

    struktur ferit dan sejumlah kecil perlit

    a b c

    a b

  • Gambar 2.5 Baja Karbon rendah (0,1% C) setelah a) cold rolling 90%, dianil selama 7 menit pada 550 oC,

    rekristalisasi 40%, dan b) dianil 14,5 menit pada 550 oC, rekristalisasi 80%, nital, 1000x

    II.2.3 METALOGRAFI KUANTITATIF

    Sampel yang telah dipoles dan dietsa dapat dianalisis secara kuantitatif dengan melihat

    mikrostruktur material tersebut. Analisis dari ruang dua dimensi dapat dilakukan untuk menduga

    morfologi sampel dalam tiga dimensi. Analisis tersebut dinamakan metalografi kuantitatif atau

    disebut juga stereology kuantitatif. Analisis kuantitatif umumnya meliputi penentuan jumlah fasa

    dan ukuran butir. Parameter-parameter ini dapat dihubungkan dengan sifat mekanis, terutama

    kekuatan logam.

    Gambar 2.6 Baja HSLA (0,2% C),

    yang di hot rolling. Struktur adalah

    ferit dan perlit. 4% picral,200x

    Gambar 2.7 Baja 1008 Al killed,

    dinormalisasi setelah cold rolling

    60%. Struktur ferit dengan perlit

    halus pada batas butir. Nital 4%,

    1000x,

    Gambar 2.8 Baja 0,2%C, Quench

    (celup) air. Struktur lath martensit.

    8% Na2S2O3,500x

    Gambar 2.9 Baja Fe-0.22C-0.88Mn-

    0.55Ni-0.50Cr-0.35Mo, diambil 38

    mm dari end quench dari Batang

    Jominy test. Strukturnya adalah

    Bainit, Picral 4%, 1000x

  • II.2.3.1 Klasifikasi Metalurgi Kuantitatif

    II.2.3.1.1 Metalografi Kuantitatif Manual

    Merupakan metode manual yang masih digunakan untuk menentukan mikrostruktur dari

    logam secara kuantitatif. Metode-metode metalografi kuantitatif manual ini meliputi:

    a. Chart Method

    Standard chart method meliputi mengamati sampel dan membandingkannya

    dengan referensi dari standard chart yang berisi mikrografi pada perbesaran yang sama

    dengan parameter-parameter yang berbeda. Proses ini menjadikan sampel dapat

    dibandingkan dengan sampel standard dan merupakan penentuan mikrostruktur yang

    paling representatif.

    b. Counting Method

    Merupakan pengukuran / perhitungan dari parameter metalografi secara langsung.

    Contoh metalografi kuantitatif manual secara umum adalah penentuan jumla grain size,

    (n). Grain size number dapat ditemukan dari persamaan berikut:

    n = 2G-1

    Dimana n = jumlah butir per inch kuadrat pada perbesaran 100x

    G = ASTM grain size number

    Tabel 1.3 memperlihatkan hubungan antara grain size number (G) dan butir per

    inch kuadrat pada 100X.

    Tabel 2.2 ASTM Grain Sizes (Tabel yang lengkap dapat dilihat dalam ASTM E112)

    Grain Size Number Grain/in2 pada 100x

    1 1.0

    2 2.0

    3 4.0

    4 8.0

    5 16.0

    6 32.0

  • c. Jeffries Planimetric Method (measurement units, mm)

    Sebuah lingkaran digambar pada foto mikrostruktur dengan diameter 79.8 mm

    (luas area 5000 mm2). Gambar 2.10 adalah contoh dari mikrostruktur baja austenitic

    dengan beberapa pearlite halus.

    Gambar 2.10 Contoh Gambar untuk Perhitungan Metode Jeffries dan Triple Point

    Jumlah butir per mm2 dihitung dengan persamaan:

    (

    ), dimana

    M adalah perbesaran foto, adalah jumlah butir dalam area dan adalah jumlah butir

    yang memotong keliling lingkaran. Besar butir ASTM dihitung dengan persamaan

    [ ] .

    d. Triple Point Method (satuan pengukuran, mm)

    Seperti metode Jeffries, sebuah lingkaran digambar pada foto mikrostruktur

    dengan diameter 79.8 mm (luas area 5000 mm2). Contoh gambar dapat dilihat pada

    gambar 1.4. Nilai NA dihitung dengan menggunakan persamaan

    , dimana P

    adalah jumlah triple point dari grain boundary dan AT adalah area lingkaran pada

    perbesaran 1x. Besar butir ASTM dihitung dengan persamaan [ ]

    .

  • MODUL III

    A. PERCOBAAN JOMINY

    A.1 TUJUAN PERCOBAAN

    1. Mendapatkan hubungan antara jarak permukaan pada pendinginan langsung dengan sifat

    kemampukerasan bahan.

    2. Mendapatkan hubungan antara kecepatan pendinginan dengan fasa yang terbentuk serta

    mendapatkan sifat kekerasan dari fasa tersebut.

    A.2 DASAR TEORI

    Proses kombinasi pemanasan dan pendinginan yang bertujuan mengubah struktur mikro

    dan sifat mekanis logam disebut perlakuan panas (heat treatment). Logam yang didinginkan

    dengan kecepatan yang berbeda dengan media pendingin yang berbeda, misalnya air, udara, atau

    minyak/oli akan mengalami perubahan struktur mikro yang berbeda. Setiap struktur mikro

    misalnya fasa martensit, bainit, ferit, dan perlit merupakan hasil transformasi fasa, yakni dari

    fasa austenit. Masing-masing fasa tersebut terjadi dengan kondisi pendinginan yang berbeda-

    beda dimana untuk setiap paduan bahan dapat dilihat pada diagram Continous Cooling

    Transformation (CCT) dan Time Temperature Transformation (TTT) diagram. Masing-masing

    fasa di atas mempunyai nilai kekerasan yang berbeda. Dengan pengujian jominy maka dapat

    diketahui laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan kekerasan bahan yang berbeda.

  • Gambar 3.1 Pembentukkan fasa pada percobaan jominy dilihat dari diagram CCT

    Oleh karena kekerasan salah satu faktor yang penting dalam mendesain suatu material

    maka akan lebih ekonomis apabila spesifikasi material didasarkan atas perlakuan panas material

    tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengujian yang dapat memprediksikan

    kemampukerasan dari material tersebut. Pada baja, pendinginan yang cepat dari fasa austenit

    menghasilkan fasa martensit yang tinggi kekerasannya. Kemampuan baja untuk menghasilkan

    fasa martensit diseluruh bagian produk disebut sebagai kemampukerasan baja. Semakin besar

    persentase martensit pada logam, semakin besar kemampukerasan material tersebut. Baja dengan

    paduan C, Cr, Mo, V, dan Cr akan mempertinggi kemampukerasan baja. Bahan dengan

    kemampukerasan tinggi, memiliki 100% fasa martensit pada pendinginan cepat.

    Pengujian yang sangat luas dipakai ialah end-quench hardenability test atau jominy test.

    Pengujian ini telah distandardisasikan oleh ASTM, SAE, dan AISI. Perlakuan yang sangat

    penting dalam pengujian jominy ialah setiap bagian dari sampel akan merespon pendinginan

    yang diperlakukan. Salah satu parameter pengujiannya adalah derajat pendinginan yang

    menentukan terbentuknya fasa martensit. Pengukuran kemampukerasan didapat dengan

    mengukur kekerasan sepanjang batang sampel. Nilai kekerasan diukur mulai dari ujung batang

    yang dekat dengan media pendingin yang akan didapat 100% martensit, pada ujung sebaliknya

  • yang akan didapat 0% martensit dan terdapat fasa campuran ferit dan perlit, serta diantaranya

    yang akan didapat gabungan antara martensit dan ferit perlit. Hasil kekerasan yang diperoleh

    dapat menggambarkan kinetika dekomposisi austenit pada baja dalam proses pendinginan, dan

    kurva jominy dapat digunakan untuk memplot profil kekerasan dari suatu bagian.

    Gambar 3.2 Pengujian jominy

    Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks perlit yang ditampilkan dan

    kekerasan makin turun . Penambahan kadar karbon atau paduan atau bertambah besarnya

    ukuran butir akan menyebabkan grafik bergeser ke kanan sehingga memudahkan pembentukan

    struktur martensit. Pergeseran grafik ke kanan juga menggambarkan sifat kemampukerasan

    bahan/tersebut. Untuk pendinginan lambat akan mendapatkan struktur:

    a. Bainit bawah; struktur seperti jarum, mirip martensit

    b. Bainit atas; struktur seperti perlit dengan sifat lapisan yang lebih halus

    c. Perlit halus; struktur perlit yang halus dengan lapisan ferit dan sementit

    d. Perlit kasar; struktur sama dengan perlit halus namum lamel lebih kasar dan kekerasan

    lebih rendah.

    A.3 ALAT DAN BAHAN

    1. Batang baja sebagai benda uji, dengan d = 2,5 cm, L = 10 cm

    2. Oven Muffle temperatur max. 1100 oC

    3. Kran air dengan tekanan cukup

  • 4. Amplas

    5. Alat penguji Kekerasan Brinell

    6. Mikroskop pengukur jejak

    A.4. PROSEDUR PERCOBAAN

    Setiap grup diberikan 1 batang Jominy dengan diameter 1 inch dan panjang 10 cm.

    1. Siapkan batang benda ujii, amplas salah satu sisi batang diratakan dengan gerinda untuk

    penjejakan.

    2. Panaskan batang uji dalam oven dengan temperatur preheating 350 oC selama 15 menit

    dan temperatur austenisasi 900oC selama 30 menit.

    3. Keluarkan batang dari oven dengan cepat dan letakkan batang tersebut pada alat bangku

    Jominy, dimana ujung bawah logam mengalami penyemprotan air, biarkan sampai

    dingin.

    4. Bersihkan bagian untuk penjejakan dengan amplas.

    5. Lakukan penjejakan Brinell pada 15 titik yang berjarak sama.

    6. Ukur besarnya diameter jejak yang di dapat.

    7. Hitung kekerasan pada setiap lokasi penjejakan dengan mrnggunakan rumus Kekerasan

    Brinell

    Dimana; P = Beban yang digunakan, Kg

    D = Diameter bola, mm, dan

    d = diameter indentasi, mm

    B. AGEING

    B. 1. DASAR TEORI

    AGE HARDENING

    Kekuatan dan kekerasan beberapa paduan logam dapat ditingkatkan melalui pembentukan

    partikel halus dengan fasa berbeda yang terdispersi ke dalam matriks berupa (fasa awal). Proses ini

    disebut precipitation hardening atau age hardening. Contoh paduan yang dapat dilakukan perlakuan

    precipitation hardening yaitu aluminum-copper, copper-beryllium, copper-tin, dan magnesium-aluminum.

  • Penjelasan prosedur perlakuan panas dapat menggunakan diagram fasa. Langkah-langkah age

    hardening dijelaskan seperti dibawah ini.

    Gambar. Diagram fasa precipitation hardenable alloy.

    Solution Heat Treating

    Age hardening dilakukan melalui dua tahap perlakuan panas. Tahap pertama adalah solution heat

    treatment dimana semua atom terlarut membentuk satu fasa. Seperti pada diagram fasa diatas, dimana

    sebuah paduan dengan komposisi C0 dipanaskan hingga daerah satu fasa pada temperatur T0 dan tunggu

    hingga semua fasa terlarut.

    Kemudian paduan dilakukan pendinginan cepat ke temperature T1 melewati batas kelarutan

    menyebabkan terjadinya supersaturated solid solution dimana setiap difusi dan pembentukan fasa tidak

    dapat terjadi. Pada keadaan ini paduan relatif lembut dan lemah.

    Precipitation Heat Treating

    Untuk tahap kedua atau precipitation heat treatment, paduan supersaturated solid solution hasil

    quench dipanaskan pada temperatur T2 dalam daerah fasa + dimana proses difusi dapat terjadi.

    Precipitate mulai terbentuk sebagai partikel halus dari komposisi C. Setelah waktu ageing yang

  • ditentukan telah tercapai, paduan didinginkan ke temperatur ruang; umumnya kecepatan pendinginan

    tidak terlalu dipertimbangkan.

    Dua tahap perlakuan panas ini dapat dirangkum dan direpresentasikan dengan plot temperature-

    versus-time pada gambar.

    Gambar. Skema perlakuan panas age hardening.

    Sifat mekanik yang dihasilkan akibat pengaruh waktu ageing diperlihatkan pada gambar.

    Peningkatan waktu menyebabkan kekuatan atau kekerasan meningkat, mencapai maksimum, dan

    kemudian menurun. Pada tahap awal hardening, atom copper berkumpul dalam jumlah sedikit,

    diperkirakan tebalnya satu atau dua atom dan 25 atom untuk diameternya. Cluster ini disebut zones.

  • Gambar. Diagram yang memperlihatkan pengaruh lamanya waktu penahanan terhadap sifat mekanis

    serta ilustrasi mikrostrukturnya selama precipitation hardening.

    Tetapi, dengan bertambahnya waktu, zones menjadi partikel yang lebih besar. Partikel precipitate

    ini tumbuh melalui dua fasa transisi ( dan ), sebelum membentuk fasa ekuilibrium . Precipitate dapat

    meningkatkan kekuatan material karena adanya distorsi kisi disekitarnya yang menghambat pergerakan

    dislokasi.

    Ageing dapat dilakukan dengan berbagai jenis kriteria perlakuan, misalnya untuk Alumunium sebagai

    berikut :

    T1 Cooled from hot working and naturally aged (at room temperature)

    T2 Cooled from hot working, cold-worked, and naturally aged

    T3 Solution heat treated and cold worked

    T4 Solution heat treated and naturally aged

  • B.2 TUJUAN PERCOBAAN

    Aging bertujuan untuk membentuk partikel kecil dari fasa yg berbeda (presipitat) menyebar

    secara merata pada matriks. Pada matriks akan terbentuk inklusi secondary phase yang memperkuat

    material. Hal tersebut terjadi karena adanya latticed distortion di sekitar secondary phase yang

    menghalangi gerakan dislokasi.

    B. 3 ALAT DAN BAHAN

    1. Paduan Aluminum

    2. Furnace

    3. Penjepit sampel

    4. Media quench

    5. Mikroskop optic

    B. 4 PROSEDUR PERCOBAAN

    1. Siapkan benda uji

    2. Masukkan benda uji ke dalam furnace dengan menggunakan penjepit sampel dan letakkan

    dengan baik

    3. Panaskan benda uji pada temperatur satu fasa dan waktu yang telah ditentukan oleh asisten

    laboratorium

    4. Keluarkan benda uji dengan menggunakan penjepit dari furnace dan lakukan pendinginan dalam

    media yang telah ditentukan asisten laboratorium

    5. Masukkan kembali ke furnace dan panaskan pada temperatur dua fasa dan waktu yang telah

    ditentukan asisten kemudian dinginkan

    6. Lakukan pengamatan dengan mikroskop optik

    T5 Cooled from hot working and artificially aged (at elevated temperature)

    T6 Solution heat treated and artificially aged

    T7 Solution heat treated and stabilized

    T8 Solution heat treated, cold worked, and artificially aged

    T9 Solution heat treated, artificially aged, and cold worked

    T10 Cooled from hot working, cold-worked, and artificially aged