material teaching of pmh after mid

26
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT DALAM PERBUATAN MELANGGAR HUKUM 1 A. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (THE DARLING OF ACADEMIC MIND) Hubungan sebab akibat dalam beberapa bahasa, antara lain: 1. Bahasa Jerman : Verursachung 2. Bahasa Spanyol : Causalidad 3. Bahasa Perancis : Causalite 4. Bahasa Belanda : Oorzakelijk Verband atau Causaliteit Masalah hubungan sebab akibat ini menjadi isu sentral dalam hukum tentang perbuatan melanggar hukum, karena fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggungjawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Hubungan sebab akibat, merupakan faktor yang mengkaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan orang lain. Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh kita masih menganggap hubungan sebab akibat sebagai hal yang masih dapat diterima oleh hukum. Dengan kata lain, kapankah dapat dikatakan bahwa suatu kerugian adalah “FAKTA” (the fact), atau “KEMUNGKINAN” (proximate) dan kapan pula dianggap “TERLALU JAUH” (too remote). 1 Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum. 2012. Material Teaching After Mid Semester: Perbuatan Malanggar Hukum “Hubungan Sebab Akibat”. Law Faculty of Jember University-Jember East Java. 1

Upload: dyah-nur

Post on 10-Mar-2016

239 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Material Teaching Of PMH After Mid

TRANSCRIPT

Page 1: Material Teaching Of  PMH After Mid

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT DALAM PERBUATAN MELANGGAR HUKUM1

A.HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (THE DARLING OF ACADEMIC MIND) Hubungan sebab akibat dalam beberapa bahasa, antara lain:

1. Bahasa Jerman : Verursachung2. Bahasa Spanyol : Causalidad3. Bahasa Perancis : Causalite4. Bahasa Belanda : Oorzakelijk Verband atau Causaliteit

Masalah hubungan sebab akibat ini menjadi isu sentral dalam hukum tentang perbuatan melanggar hukum, karena fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggungjawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain.

Hubungan sebab akibat, merupakan faktor yang mengkaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan orang lain. Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh kita masih menganggap hubungan sebab akibat sebagai hal yang masih dapat diterima oleh hukum. Dengan kata lain, kapankah dapat dikatakan bahwa suatu kerugian adalah “FAKTA” (the fact), atau “KEMUNGKINAN” (proximate) dan kapan pula dianggap “TERLALU JAUH” (too remote).

Menurut HLA. Hart tahap pertama dalam dispute mengenai kasus-kasus perbuatan melanggar hukum, adalah menginterpretasikan hukum tentang fakta apakah yang mesti diketengahkan untuk

1 Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum. 2012. Material Teaching After Mid Semester: Perbuatan Malanggar Hukum “Hubungan Sebab Akibat”. Law Faculty of Jember University-Jember East Java.

1

Page 2: Material Teaching Of  PMH After Mid

menunjukkan bahwa fakta tersebut mempunyai kaitannya dengan kerugian.

Metode yang disarankan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah sebagai berikut:1. Jika perbuatan melanggar hukum tersebut mempunyai hubungan

sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.2. Jika perbuatan yang melanggar hukum tersebut tidak perlu

mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.

3. Jika perbuatan tergugat tidak perlu ada kesalahan, tetapi mesti mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.

B.HUBUNGAN SEBAB AKIBAT YANG FAKTUAL Hubungan sebab akibat secara faktual (Causation in fact) hanyalah

merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terjadi tanpa ada penyebabnya.Dalam hukum tentang perbuatan melanggar hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran ini.

Tes “but for” biasanya digunakan terhadap penyebab faktual. Tes tersebut akan membatasi tanggungjawab dari tergugat, hanya jika kejadian tersebut tidak akan pernah terjadi jika penyebabnya tidak pernah dilakukan. Beberapa ilustrasi berikut ini menunjukkan bahwa si tergugat tidak pernah dapat dimintakan tanggungjawabnya jika diterapkan tes “but for”,antara lain: 1. Jika sapi liar lepas dari kandangnya, dan jatuh ke dalam sebuah

lubang dimana pagar semestinya dibuat, maka kegagalan

2

Page 3: Material Teaching Of  PMH After Mid

membuat pagar tersebut bukan merupakan penyebab dari jatuhnya sapi liar tersebut, karena walaupun ada pagar pembatas, pagar tersebut tidak akan dapat menahan sapi liar itu.

Terhadap kasus-kasus penyebab ganda (Concurrent Cause), yakni keadaan dimana penyebab kejadian tersebut lebih dari 1 (satu) faktor, maka diterapkan tes “Faktor Substansial” (substansial Faktor Test), yang menyatakan bahwa:“Pihak tergugat tidak perlu menjadi faktor satu-satunya yang menyebabkan timbulnya kerugian.”

Kasus-kasus penyebab ganda ini sering disebut juga sebagai:1. Distinct Harms2. Successive Injuries3. Innocent Cause4. Contributory Negligence5. Incapably-devided harm

PERHATIKAN CONTOH KASUS DALAM TEORI-TEORI KASUS PENYEBAB GANDA BERIKUT INI:1. Teori Distinct Harm

Jika A ditembak mati oleh B dan C secara bersamaan, tetapi independent, dan diketahui A tidak mati karenanya, tetapi terdapat luka di tangannya yang disebabkan oleh tembakan B dan luka di kakinya akibat tembakan C, maka secara praktis dan logis, B hanya bertanggungjawab terhadap tangan A, dan C bertanggungjawab atas kaki A.

2. Teori Succesive InjuriesJika A menabrak B dengan mobilnya dan meretakkan tulang jempol kaki B, kemudian meninggalkannya begitu saja di jalan, lalu C datang menabrak B lagi dan mematahkan kaki B. Maka

3

Page 4: Material Teaching Of  PMH After Mid

dalam hal ini, A bertanggungjawab terhadap B dari kerugian, tetapi tidak termasuk terhadap kakinya yang patah itu.

3. Teori Divisible HarmJika A memiliki 3 ekor anjing herder, B mempunyai 2 ekor anjing herder, kemudian semua anjing herder tersebut masuk ke ladang C dan membunuh 10 ekor kambing punya C, sementara tidak ada bukti anjing herder mana yang membunuh kambing yang mana, maka penyelesaiannya adalah A bertanggungjawab untuk memberi ganti terhadap 6 ekor kambing, sementara B untuk 4 ekor domba.

4. Teori Innocent CauseA mederita penyakit asam urat akut di pangkal siku lengannya, sehingga lengannya hanya berfungsi 70%, tetapi kemudian dia ditabrak dengan otopet oleh B yang menyebabkan tangannya sama sekali tidak berfungsi lagi, maka B hanya bertanggungjawab atas 70% atas lengannya A, sementara yang 30% dianggap disebabkan oleh Innocent Cause.

5. Teori Contributory NegligenceJika A karena kecerobohannya telah melukai tangan B, sementara B, karena kelalaiannya tidak menghubungi dokter sehingga dalam sepersekian detik tangannya tidak berfungsi sama sekali, maka A tidak bertanggungjawab terhadap tidak berfungsinya tangan B yang disebabkan kelalaian B sendiri. Dalam kasus ini, kesalahan B sendiri ikut mengkontribusi terhadap tidak berfungsinya tangan tersebut.

6. Teori Incapably-Devided HarmJika becak A dan becak B bertubrukkan dan salah satu dari becak tersebut terlempar sehingga mengenai C yang sedang berjalan

4

Page 5: Material Teaching Of  PMH After Mid

kaki dan akibatnya C meninggal dunia, maka yang bertanggungjawab seluruhnya atas kematian C adalah A dan B.

Dalam sistem hukum Belanda, Hoge Raad, disana telah lama berpendapat dalam kasus-kasus PMH bahwa seandainya terdapat lebih dari 1 (satu) penyebab yang sama-sama berkontribusi sehingga menimbulkan kerugian, maka penyelesaiannya adalah sebagai berikut:1. Setiap pelaku harus bertanggungjawab secara keseluruhan.2. Terhadap tanggungjawab antar pelaku diberlakukan ketentuan

bahwa masing-masing harus menanggung beban sesuai besarnya kontribusi masing-masing terhadap kerugian tersebut.

C.HUBUNGAN SEBAB AKIBAT YANG DIKIRA-KIRA (PROXIMATE CAUSE) Secara historis,kata “Proximate Cause” berasal pada masa Lord

Chancellor Bacon di Inggris, dngan ucapan berupa Injure non Remota Cause, Sed Proxima, Spectatur, yang artinya bahwa dalam hukum, penyebab yang dekat dilihat, bukan penyebab yang jauh.

Ajaran Proximate Cause, mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kewajiban” (duty) seseorang karena kedua-duanya mencoba mencari jawaban atas pertanyaan apakah tindakan tergugat termasuk dalam ruang lingkup tugasnya yang melindungi pihak korban dari kerugian yang didritanya. Akan tetapi, dalam ilmu hukum secara tradisi, kedua masalah tersebut diberlakukan secara terpisah, di mana masalah kewajiban berusaha untuk menjelaskan hubungan antara korban dengan pelaku, sementara Proximate Cause berusaha untuk menjelaskan hubungan antara perbuatan dengan akibat dari perbuatan tersebut.

Yang paling lazim dilakukan untuk mengukkur ada tidaknya Proximate Cause dalam kaitannya dengan “tempat kejadian” adalah

5

Page 6: Material Teaching Of  PMH After Mid

dengan menggunakan teori berupa “Zona Kejadian” (Inside The Zone). Dalam hal iniseseorang diasumsi bahwa dia dapat mengantisipasi bahwa seseorang dalam zona berbahaya, yaitu tempat yang biasanya memang terancam bahaya dari tindakan perbuatan melanggar hukum oleh pihk pelaku. Misalnya: seseorang tidak dapat mengantisipasi adanya bahaya dari seseorang pada tempat dengan jarak tertentu yang biasanya tidak akan mendapat bahaya yang ditimbulkan oleh pihak pelaku perbuatan melanggar hukum.

Disamping Teori Inside The Zone, masih banyak teori-teori lain yang digunakan untuk menentukan apakah ada unsur Proximate Cause tersebut dalam suatu peristiwa. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:1. The Nearest Cause2. The Last Human Wrongdoer3. Cause and Condition4. The Substansial Factor5. Justly Attachable Cause6. System of Rules

Beberapa contoh penggunaan teori tersebut diatas;1. The Nearest Cause (sebab terdekat)

Dalam kata Proximate Cause ada terkandung makna “kedekatan”, maka elemen Proximate Cause hanya ditujukan kepada kejadian yang mempunyai akibat yang dianggap “dekat” dengan perbuatan si pelaku dalam dimensi waktu dan ruang.Misalnya: dalam hal dimana seseorang pelaku menyalakan api dan akhirnya rumah pihak korban terbakar karenanya, dalam hal ini api itu sendiri yang merupakan sebab “terdekat”, bukan perbuatan si pelaku dalam menyulut api tersebut.

2. The Last Human Wrongdoer (perbuatan manusia terakhir)

6

Page 7: Material Teaching Of  PMH After Mid

Dalam teori ini, tanggungjawab hukum mesti diletakkan pada pelaku yang terakhir dan mengesampingkan semua perbuatan sebelumnya. Teori ini banyak mengandung kelemahan, sehingga banyak menimbulkan kritikan, antara lain:a. Bila juga terjadi bahwa si pelaku perbuatan terakhir yang

meng-kontribusi terhadap kejadian yang menimbulkan kerugian tersebut, sebenarnya tidak significant atau setidak-tidaknya tidak menimbulkan risiko yang besar atau mungkin ada faktor intervensi unsur lain yang tidak dikontrolnya.

b. Kelemahan yang lain dari teori ini adalah karena faktor yang lebih dahulu terjadi mungkin juga mesti bertanggungjawab jika dia mempunyai kewajiban untuk melindungi korban terhadap tindakan dari pihak pelaku kemudian.

3. Teori Cause and ConditionMenurut teori ini, seseorang akan bertanggungjawab erhadap kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya jika perbuatannya itu merupakan “penyebab yang aktif” (Acive Cause) terhadap kerugian tersebut.

Setidaknya ada 6 faktor yang harus dipertimbangkan dalam hal menetapkan tentang ada atau tidaknya elemen Proximate Cause ini, yaitu:1. Kerugian adalah terlalu jauh (too remote) dari kelalaian.2. Kerugian diluar profesi dari kelalaian pihak pelaku.3. Adalah terlalu luar biasa bahwa kelalaian tersebut menimbulkan

kerugian bagi orang lain.4. Membenarkan adanya pemberian ganti rugi akan merupakan

beban yang sangat tidak reasonable atas pihak pelaku.5. Membenarkan adanya pemberian ganti rugi akan menimbulkan

kemungkinan timbulnya claim yang berlebihan.6. Adalah tidak masuk akal jika dibenarkan adanya pemberian ganti

rugi tersebut.

7

Page 8: Material Teaching Of  PMH After Mid

Dalam hubungan dengan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan beberapa orang, secara garis besar ada 2 teori yang digunakan sebagai tolok ukurnya, yaitu:1. Teori Khusus

Teori khusus ini disebut juga individualiserende theorie, yang mengajarkan bahwa untuk menentukan siapa/apa penyebab terjadinya perbuatan yang mendatangkan kerugian adalah dengan jalan melihat kepada keadaan yang nyata (konkrit). Teori khusus ini terbagi lagi menjadi 3 sub teori, yaitu:

a. Sub teori pengaruh besar (Van de meest werkzame factor theorie)Teori ini mengajarkan bahwa faktor yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap kerugian tersebut, itulah penyebabnya.Sub teori ini dianut oleh Birmeyer.

b. Sub teori faktor terkuat secara kualitatif.Teori ini mengajarkan bahwa faktor yang secara kualitatif sangat penting untuk timbulnya kerugian, itulah yang harus bertanggungjawab.Sub teori ini dianut antara lain oleh Kohler.

c. Sub teori keseimbangan nilai.Teori ini mengajarkan bahwa untuk menentukan syarat yang menjadi sebab dari suatu kerugian adalah dengan jalan mendahulukan syarat-syarat positif (syarat yang menyebabkan akibat) dari syarat yang negatif (yakni syarat yang mencegah terjadinya akibat).

2. Teori Umum (Generalisrende Theorie/Adaequate Theorie/Adaequate Veroorzaking) Menurut teori ini, faktor yang harus dianggap mengkontribusikan terhadap suatu kerugian haruslah seimbang (adaequate) dengan

8

Page 9: Material Teaching Of  PMH After Mid

akibat yang terjadi. Penganut teori ini antara lain adalah: Von Kris, Von Buri dan Rumelin

D. INTERVENSI PENYEBAB LAIN Teori tentang “penyebab intervensi” (intervening cause) pada

prinsipnya mengajarkan bahwa jika penyebab/perbuatan/kekuatan paksa secara reasonable oleh si pelaku dapat dibayangkan akan terjadi, maka si pelaku tersebut mesti bertanggungjawab, karena kerugian yang terbit adalah masih dalam ruang lingkup “penyebab kira-kira”. Sebaliknya dalam kasus-kasus tanpa unsur “reasonable forseeability”, maka penyebab intervensi tersebut dianggap sebagai “penyebab pengganti” (superseeding), karena itu perbuatan si pelaku bukan merupakan Proximate Cause terhadap kerugian yang timbul.

Penyebab intervensi dapat berupa tindakan manusia, tetapi dapat juga berupa bencana alam. Beberapa kemungkinan yuridis yang mungkin timbul dalam kasus yang menyangkut dengan penyebab intervensi adalah sebagai berikut:1. Ada atau tidaknya penyebab intervensi tidak berpengaruh

terhadap besarnya tanggungjawab pelaku perbuatan melanggar hukum.

2. Penyebab intervensi dapat mengurangi tanggungjawab dari pelaku PMH.

3. Penyebab intervensi dapat membebaskan tanggungjawab dari pelaku PMH

9

Page 10: Material Teaching Of  PMH After Mid

Penyebab yang dapat dianggap intervensi antara lain adalah sebagai berikut:1. Bencana alam (act of God)2. Tindakan pihak ketiga3. Tindakan oleh hewan

Penyebab yang tidak dapat dianggap sebagai penyebab intervensi antara lain:1. Tindakan oleh korban sendiri. Penyebab seperti ini termasuk ke

dalam doktrin kelalaian kontribusi/komparatif.2. Kondisi korban sebelum kejadian yang ikut mengkontribusi

terhadap kerugian. 3. Jika korban tidak berbuat sesuatu untuk mencegah terjadinya

kerugian.

10

Page 11: Material Teaching Of  PMH After Mid

TANGGUNGJAWAB MUTLAK (STRICT LIABILITY) ATAS TERJADINYA PERBUATAN MELANGGAR

HUKUM2

A. PENGERTIAN Yang dimaksudkan dengan tanggungjawab mutlak adalah suatu

tanggungjawab hukum yang dibebankan kepada pelaku PMH tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur perbuatan kesalahan ataupun tidak, dalam hal ini pelaku dapat dimintakan tanggungjawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan.

Dalam ilmu hukum, suatu tanggungjawab mutlak sering diperuntukkan tidak terhadap fakta-fakta biasa dan normal, tetapi diterapkan terhadap fakta-fakta sebagai berikut:1. Terhadap benda-benda atau aktivitas yang luar biasa

(extraordinary).2. Terhadap eksistensi benda atau aktivitas yang merupakan

pengecualian (exceptional) dari hal yang biasa.3. Terhadap eksistensi benda atau aktivitas yang abnormal.

Di samping hal-hal diatas, faktor-faktor berikut ini juga sangat dominan untuk menentukan apakah suatu tanggungjawab mutlak dapat diberlakukan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:

2 Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum. 2009. Material Teaching After Mid Semester: Perbuatan Melanggar Hukum “Tanggungjawab Mutlak”. Law Faculty Of Jember University-Jember East Java.

11

Page 12: Material Teaching Of  PMH After Mid

1. Tempat dimana hal tersebut terjadi.2. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat.3. Kesanggupan secara alami.4. Penerimaannya untuk suatu tujuan tertentu.

B. HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN TANGGUNGJAWAB MUTLAKPada perkembangannya, tangggungjawab mutlak diberlakukan

terhadap hal-hal sebagai berikut ini:

1. Tanggungjawab Mutlak karena Hewan Piaraan Pada Umumnya.Tanggungjawab mutlak karena hewan piaraan terbagi menjadi 2, yaitu:a. Tanggungjawab mutlak karena hewan yang menerobos.

Terhadap hewan yang menerobos harta benda milik orang lain, alas pikir dari hukum tradisional adalah bahwa jika suatu hewan karena kesalahan hewan itu sendiri, tanpa kehendak dan pengetahuan dari pemiliknya merusak milik orang lain, maka pemilik hewan tersebut harus dihukum. Hal tersebut disebabkan hukum menganggap (fiksi hukum) bahwa pemilik hewan tersebut juga melakukan penerobosan bersama hewan miliknya tersebut.

Kaidah hukum menyatakan bahwa seseorang harus menjaga hewan-hewannya agar hewan tersebut tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Di kacamata hukum, tanggungjawab seorang pemilik hewan yang menerobos adalah serupa dengan apabila yang menerobos adalah pemiliknya.

b. Tanggungjawab mutlak karena hewan yang tidak menerobos.

Terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan yang tidak menerobos tanah orang lain, dalam kasus-kasus tertentu layak dimintakan tanggungjawab terhadap pemilik hewan tersebut. Misalnya tanggungjawab mutlak untuk kerusakan/kerugian yang dilakukan oleh hewan berbahaya.

12

Page 13: Material Teaching Of  PMH After Mid

Terkait dengan hal ini yang ditekankan adalah “hewan yang berbahaya”, karenanya hukum harus menjelaskan jenis-jenis binatang mana saja yang dianggap berbahaya, sehingga penjaganya diharuskan untuk memikul tanggungjawab secara mutlak. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap hewan tentu mempunyai sesuatu resiko yang tidak normal (abnormal risk) terhadap masyarakat di mana hewan tersebut dijaga. Oleh sebab itu, penjaga hewan terlibat dalam aktivitas yang mengandung resiko dan melibatkan orang lain untuk kemungkinan dikenai oleh resiko tersebut. Tindakan melibatkan orang lain untuk kemungkinan terkena resiko merupakan alasan pembenar untuk diberlakukannya tanggungjawab mutlak atas penjaga hewan.

2. Tanggungjawab Mutlak Dalam Hubungan Dengan Api.

Tanggungjawab mutlak juga layak dibebankan terhadap kasus-kasus kebakaran, dan hal ini telah lama dikenal dalam sejarah hukum. Pada perkembangannya, hukum menempatkan tanggungjawab yang lebih besar kepada pemilik tempat asalnya api, berdasarkan pertimbangan bahwa api mempunyai aktivitas yang berkarakter

berbahaya.

3. Tanggungjawab Mutlak Tentang Benda dan Aktivitas Yang Berbahaya.

Tanggungjawab mutlak terhadap kondisi dan aktivitas yang berbahaya secara abnormal merupakan doktrin yang terbilang baru, yang di negara-negara Common Law, merupakan pengembangan dari kasus di Inggris (leading case), yaitu Rylands Vs. Flecher (1868). Pada Kasus ini, pihak pelaku PMH yaitu pemilik suatu pabrik di Lancashire , membangun tempat simpanan air diatas tanah mereka. Air keluar dari tempat simpanannya dan mengalir membanjiri melalui suatu tempat,

13

Page 14: Material Teaching Of  PMH After Mid

selanjutnya sampai ke suatu tambang yang tidak begitu jauh dari tempat milik korban.

Pekerjaan pembangunan tempat penampungan air tersebut dikerjakan oleh kontraktor lepas (independent contractor), di mana di dalam kasus ini, pemilik penyimpanan air dikenai kewajiban memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah yang tanahnya digenangi air.

Di Amerika, dalam Restatement kedua tentang PMH, memakai istilah “aktivitas berbahaya yang tidak normal” (abnormality dangerous activities) dan kemudian memperinci 6 (enam) faktor yang mesti dipertimbangkan, yaitu:1. Adanya resiko besar dari bahaya terhadap orang, tanah dan ternak

orang lain;2. Adanya kemungkinan bahwa bahaya yang mengancam itu besar;3. Ketidaksanggupan meniadakan resiko walaupun dilakukan dengan

kahati-hatian yang masuk akal (reasonable care);4. Aktivitas tersebut tidak biasanya dilakukan;5. Tidak layaknya pelaksanaan aktivitas di tempat yang

bersangkutan;6. Manfaat aktivitas tersebut terhadap masyarakat lebih kecil dari

bahaya yang ada.Keenam faktor tersebut berusaha memasukkan pemikiran-

pemikiran sebagai berikut:1. Pembangunan yang tidak alami dan luar biasa (extraordinary)2. Keseriusan dari sifat yang berbahaya yang mengancam;3. Aktivitas tersebut tidak biasanya dilakukan.

4. Tanggungjawab Mutlak Karena Energi Nuklir, Roket dan Pesawat Terbang.

14

Page 15: Material Teaching Of  PMH After Mid

Penerbangan pada mulanya dipandang sebagai kegiatan yang sangat berbahaya, karena merupakan kegiatan yang riskan dan sangat layak dibebankan tanggungjawab mutlak untuk setiap kerusakan terhadap tubuh atau benda diatas tanah yang tertimpa pesawat terbang. Restatement I (satu) di Amerika Serikat tentang PMH, menentukan bahwa penerbangan dianggap tidak aman, sehingga perlu dibebankan tanggungjawab mutlak.

Selanjutnya, dalam hubungan dengan tanggungjawab mutlak berhubungan dengan nuklir adalah jelas mereka yang memproduksi, mengepak, untuk pengiriman bahan nuklir, terlibat dalam aktivitas berbahaya yang tidak normal, dalam arti bahwa terdapatnya kesadaran akan timbulnya bahaya yang serius (dalam kenyataannya bahkan merupakan bencana), dan umumnya kegiatan tersebut tidak dilaksanakan oleh banyak orang, maka tanggungjawab mutlak wajar dibebankan kepada pihak yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain.

5. Tanggungjawab Mutlak dari MajikanPenerapan prinsip tanggungjawab mutlak juga dilakukan terhadap

majikan untuk memberikan ganti rugi kepada para pekerja, yang umumnya dilakukan dengan berlandaskan kepada teori asuransi sosial. Kemungkinan perolehan gantirugi oleh pekerja yang dirugikan, terbatas pada kasus-kasus dimana majikan telah gagal melaksanakan kehati-hatiannya (proper case) terhadap hal-hal tertentu. Selanjutnya, tanggungjawab majikan dinatasi pula oleh “trinitas” penolakan perolehan ganti rugi versi common law, yaitu:1. Kontribusi kelalaian.2. Asumsi Resiko.

15

Page 16: Material Teaching Of  PMH After Mid

3. Hukum teman sejawat (Fellow Servant Rule)

6. Tanggungjawab Produk Tanpa Kesalahan Tanggungjawab produk (product liability) di Amerika Serikat secara

luas terjadi dengan menuruti pendapat yang sejajar (concurring opinion) dalam kasus tahun 1944, yaitu kasus Escola Vs. Coca Cola Bottling Co (1944). Pada kasus ini seorang pelayan wanita pada sebuah kedai menggugat pihak pengisi botol terhadap kerugiannya, karena meledaknya botol, yang dibeli oleh pekerja tersebut. Pengadilan memenangkan gugatan pelayan wanita tersebut atas dasar bahwa pihak pengisi botl telah melakukan kelalaian.

7. Asuransi Mobil Tanpa Melihat KesalahanDi Amerika Serikat, terjadi perkembangan di mana pada tahun 1972,

Konferensi Nasional dari para komisioner tentang penyeragaman hukum negara-negara bagian (sebuah badan yang setengah resmi dari beberapa negara bagian), menyetujui Undang-Undang tentang ganti rugi terhadap kecelakaan mobil yang seragam (Uniform Motor Vehicle Accident Reparation Act), Undang-Undang yang seragam ini berpengaruh terhadap perkembangan legislatif dimasa yang akan datang. Tema-tema pokok dalam undang-undang yang uniform ini, antara lain:1. Ganti rugi terbatas terhadap kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

kecelakaan lalu lintas mobil tetap diberikan, bahkan jika pengemudi dalam keadaan lalai (kelalaian kontribusi). Pembayaran dalam bentuk no fault benefits dijamin oelh asuransi wajib.

2. Pihak korban berhak atas ganti rugi.3. Semua biaya perawatan obat ditanggung.4. Terhadap hilangnya pendapatan karena kecelakaan yang tidak

melebihi US.$ 200 (dua ratus dolar AS) 1 minggu, dan harus dikurangi dengan benefit-benefit lain yang diterima dari sumber lain. Pengurangan ini termasuk pendapatan dari pekerjaan ganti, benefit

16

Page 17: Material Teaching Of  PMH After Mid

dari jaminan sosial, ganti rugi pekerja (workmen’s compensation), dan tabungan-tabungan dari pajak pendapatan.

5. Pembayaran tanpa kesalahan (no-fault payments) dari asuransi tidak diberikan kepada pihak korban, yang secara sengaja melukai dirinya sendiri, dan terhadap pencuri mobil yang luka ketika menggunakan mobil curian tersebut.

6. Tidak diperlukan perubahan (dengan legislasi) yang dapat mempengaruhi tanggungjawab terhadap pengendara mobil, yang untuk menghindari kewajiban hukumnya masuk dalam asuransi yang tidak mensyaratkan kesalahan tersebut, atau tanggungjawab pengemudi yang dengan sengaja melukai korbannya, pengendara mobil tunduk pada tanggungjawab perbuatan melawan hukum yang penuh (dengan semua batasan yang normal) terhadap hilangnya pendapatan korban yang terjadi lebih dari 6 (enam) bulan setelah tanggal berlakunya kecelakaan.

7. Biasanya, korban yang lukanya kecil tidak berhak memperoleh ganti rugi terhadap kerugiannya berupa “sakit dan derita” (pain and suffering)

8. PENERAPAN “TANGGUNGJAWAB” DALAM TATA HUKUM INDONESIA

Secara umum, pasal 1365 BW masih mensyaratkan unsur kesalahan (kesengajaan atau kelalaian), tetapi pengakuan ke arah diterimanya doktrin tanggungjawab mutlak ini juga terus berkembang dan semakin luas. Baik secara umum, dengan perluasan pengertian kesalahan setelah tahun 1919 di negeri Belanda maupun secara khusus lewat berbagai perundang-undangan khusus di Indonesia. Selain dari prinsip umum perbuatan melawan hukum dengan unsur kesalahan seperti yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, Indonesia juga mengenal semacam tanggungjawab

17

Page 18: Material Teaching Of  PMH After Mid

tanpa kesalahan (tanggungjawab mutlak) dalam arti yang terbatas, sebagaimana yang terlihat dalam pasal 1367 BW, pasal 1368 BW, yakni dengan model-model tanggungjawab sebagai berikut:1. Tanggungjawab guru terhadap tindakan muridnya.2. Vis Maior, yakni tanggungjawab orang tua terhadap perbuatan

anaknya.3. Tanggungjawab kepala tukang/mandor terhadap para tukang dibawah

pengawasannya.4. Tanggungjawab majikan atas perbuatan yang dilakukan oleh buruh

atau tanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh binatang miliknya/piarannya.

5. Res Ruinosa, yakni tanggungjawab pemilik gedung atas robohnya gedung tersebut.

Pesatnya perkembangan hukum bisnis asuransi telah memperluas cakrawala penerimaan doktrin tanggungjawab tanpa kesalahan ini. Ada pengakuan langsung terhadap tanggupjawab mutlak secara an sich, tetapi lebih banyak lagi lewat doktrin penyangga, seperti pengakuan doktrin pembuktian terbalik dalam legislasi di Indonesia. Dapat kita lihat dalam hukum kontrak, bahwa dalam kontrak jual beli, maka kewajiban menanggung adalah dari pihak penjual (Ps. 1491 BW), juga dalam praktik ditafsirkan secara liberal, sehingga merupakan semacam tanggungjawab mutlak, dalam hal ini tanggungjawab produk yang dibebankan kepada penjual.Hal ini diperkuat lagi dengan pengakuan terhadap hak-hak konsumen lewat Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan sebutan undang-undang anti Monopoli dan Persaingan Curang, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya.

Jika kita melihat dalam hukum adat, maka kita akan menemukan bahwa doktrin hukum adat tentang perbuatan melanggar hukum yang sangat berorientasi kepada korban dan fungsi perlindungan sosial dari hukum. Dimana hukum adat tidak mempersoalkan adanya unsur kesalahan dari pelakunya, juga menjadi dasar yang kokoh terhadap

18

Page 19: Material Teaching Of  PMH After Mid

doktrin tanggungjawab tanpa kesalahan di Indonesia ini. Teori hukum adat dan kebiasaan pada prinsipnya menerapkan tanggungjawab mutlak yaitu dengan menerapkan “Teori Kantong Tebal” (deep pocket theory) artinya yang harus bertanggungjawab adalah yang paling mungkin membayar, yaitu pihak yang uangnya lebih banyak, misalnya majikan, produsen, pengendara mobil yang menabrak pejalan kaki, dll.

***** IF YOU WANT TO BE SUCCES, DON’T EVER SAY “I CAN’T” *****

19

Page 20: Material Teaching Of  PMH After Mid

20

Page 21: Material Teaching Of  PMH After Mid

21