makalah perbandingan mazhab fiqh.docx

27
PERBANDINGAN MAZHAB TENTANG WASIAT, HIBAH DAN WARIS MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Perbandingan Mazhab Fiqh Dosen Pengampu: Dr. H. Mashudi, M.Ag Oleh Zumrotus Sa’adah 122111134 Mochamad Firdaos 122111137 Muhammad Rifqi Ihsani 122111138 Susilo Wario 122111139 AKHWAL AS-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

Upload: alvhanz-freezy

Post on 27-Sep-2015

85 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PERBANDINGAN MAZHAB TENTANG WASIAT, HIBAH DAN WARISMAKALAHDisusun Guna Memenuhi TugasMata Kuliah: Perbandingan Mazhab FiqhDosen Pengampu: Dr. H. Mashudi, M.Ag

Oleh

Zumrotus Saadah122111134Mochamad Firdaos122111137Muhammad Rifqi Ihsani122111138Susilo Wario122111139

AKHWAL AS-SYAKHSIYAHFAKULTAS SYARIAHUNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGOSEMARANG2015BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam adalah agama Rahmatan lil Alamin permasalahan yang dibahas tidak hanya dalam masalah ibadah namun juga hablum minannas. Terdapat banyak anjuran Islam yang mengajarkan, mengarahkan dan menuntut manusia dalam menjalani kehidupan bersosial. Selain itu dalam Islam juga membahas masalah harta baik yang berkaitan ketika manusia masih hidup maupun sesudah mati.Dalam makalah ini akan sedikit membahas pendapat para imam Mazhab mengenai harta peninggalan yaitu wasiat, hibah dan waris. Agar kita semua dapat menjalani syariat Islam dengan benar dengan landasan hukum yang tepat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian wasiat, hibah dan waris?2. Bagaimana dasar hukum tentang wasiat, hibah dan waris?3. Bagaimana pendapat para Imam Mazhab tentang wasiat, hibah dan waris?

BAB IIPEMBAHASAN

A. Wasiat1. Pengertian WasiatUntuk dapat memahami masalah wasiat, perlu kiranya penulis jelaskan lebih dahulu pengertian perkawinan baik secara bahasa (etimologi) maupun secara istilah (terminologi) yang diambil dari pendapat-pendapat para ulama.Pengertian wasiat menurut bahasa berarti menetapkan, memerinthakan, menyampaikan. Kata wasiatberasal dari bahawa Arab- - (menyampaikan sesuatu).Menurut para fuqaha, wasiat adalah akad yang boleh (jaiz/tidak mengikat), dalam arti bahwa wasiat tersebut dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak. Dan dalam ha ini adalah oleh pihak pemberi wasiat, berdasarkan kesepakatan fuqaha. Yakni bahwa pemberi wasiat dapat mencabut kembali apa yang telah diwasiayatkannya. Fuqaha telah sependapat bahwa barang wasiat baru menjadi wajib (tetap) bagi orang yng diberi wasiat setelah meninggalnya orang yang memberi wasiat.[footnoteRef:1] [1: Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Jafari, Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Terj. Maykur, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007). Cet. Ketujuh. hal.455-456 ]

Sedangkan menurut al Sayyid al Sabiqdalam kitabnya Fiqh Sunnah, wasiat adalah:[footnoteRef:2] [2: Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,juz. V, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hal.]

"Pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, piutang atau manfaat, agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal."

2. Dasar Hukum WasiatDalamAl-Qur`an, ketentuan tentang wasiat diterangkan secara tegas dalam Q.S. al Baqarah (2) ayat : 180 Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Ketentuanmengenai wasiat ini juga diatur dalam Q.S. al Maidah (5) ayat 106: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".

Hadits Nabi yang menerangkan wasiat adalah ( )Artinya :Dari `Amir ibn Sa`ad dari ayahnya, ia pernah berkata, "Rasulullah SAW pernah pada waktu haji Wada` mengunjungi saya waktu saya sakit yang bakal membawa mati saya, lalu saya bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah, sudah sampai pada diri saya sakit seperti yang telah engkau lihat sendiri sedangkan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada yang bakal mewarisi saya kecuali anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua pertiga harta saya ini?" Beliau bersabda : "Tidak". Saya bertanya lagi, "Saya sedekahkan setengahnya ?" Beliau bersabda : "Tidak, sepertiga dan sepertiga itu banyak". Sesungguhnya kamu meningggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan meminta-minta kepada orang lain." (H.R. Muslim)3. Pendapat Ulama Tentang Wasiata. Penerima Wasiat Fuqaha telah sependapat mengenai penerima wasiat, bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, berdasarkan sabda Nabi SAW: (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).Kemudian jumhur ulama berselisih pendapat tentang kebolehan memberikan wasiat kepada selain karib kerabat (keluarga dekat). Jumhur ulama berpendapat bahwa wasiat boleh diberikan kepada selain karib kerabat, tetapi makruh. Sementara al-Hasan dan Thawus berpendapat bahwa wasiat kepada selain kelurga ditolak. Ishaq juga berpendapat seperti ini. Golongan ini beralasan dengan lahiriah firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 180

Huruf alif lam (al) pada kata al-walidain dan al-aqrabin berarti pembatasan (al-hashr, yakni pembatasan kepada kedua golongan yang tersebut dalam ayat).[footnoteRef:3] [3: Op. Cit, Muhammad Jawad Mughniyah, hal. 449-450.]

b. Batas WasiatWasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit ataupun sehat. Adapun jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut kesepakatan para madzhab, membutuhkan izin dari para ahli waris. Jika semua mengizinkan, wasiat itu berlaku, tapi jika ia menolak batallah wasiat tersebut.Madzhab Imamiyah mengatakan: jika para ahli waris telah memberi izin, maka mereka tidak berhak menarik kembali izin mereka baik izin itu diberikan pada saat pemberi wasiat masih hidup atau sesudah meninggalnya.Madzhab Hanafi, Syafii dan Hambali mengatakan: penolakan ataupun izin hanya berlaku sesudah meninggalnya pemberi wasiat, maka jika mereka memberi izin ketika dia masih hidup, kemudian berbalik pikiran dan menolak melakukannya setelah pemberi wasiat meninggal, mereka berhak melakukan itu, baik izin itu mereka lakukan ketika pemberi wasiat berada dalam keadaan sehat atapun ketika sakit.Madzhab Maliki mengatakan: jika mereka mengizinkan ketika pemberi wasiat berada dalam keadaan sakit, mereka boleh menolak melakukannya. Tapi jika mereka memberi izin ketika ia sehat, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak waris mereka dan mereka tidak boleh menolak.[footnoteRef:4] [4: Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Jafari, Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Terj. Maykur, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007). Cet. Ketujuh. hal. 513. ]

Mengenai kebolehan wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris dengan jumlah lebih dari sepertiga yang diperselisihkan oleh para fuqaha, maka menurut imam Malik dan Al-Auzai tidak boleh. Sementara Imam Hanafi dan Ishaq membolehkannya.Silang pendapat dalam masalah ini berpangkal pada: apakah ketentuan tersebut hanya khusus berkenaan dengan alasan (illat) yang dikemukankan oleh syara ataukah tidak khusus berkaitan dengan itu, yaitu tidak meninggalkan ahli waris sebagai orang miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.Bagi fuqaha yang menganggap sebab tersebut sebagai suatu alasan yang khusus, maka mereka berpendapat bahwa ketentuan tersebut harus gugur dengan gugurnya alasan tersebut. Senliknya, bagi fuqaha yang memberlakukan alasannya, atau menjadikan (mengangap) kaum muslim semuanya dalam hal ini seperti ahli waris, maka mereka berpendapat bahwa pemberian wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga secara mutlak.[footnoteRef:5] [5: Op. Cit, Muhammad Jawad Mughniyah, hal. 454-455]

B. Hibah1. Pengertian HibahSecara bahasahibahadalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilahhibahyaitu akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela. Di dalamsyarasendiri menyebutkanhibahmempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebutijarah(pinjaman).Adapum definisihibahdari empat mazhab yaitu: Menurut mazhab Hanafi,hibahadalah memberikan suatu benda tanpa menjanjikan imbalan seketika. Mazhab Hanafi memberikan definisi yang lebih rinci, yaitu pemilikan harta dari seorang terhadap orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu ketika masih hidup dan tanpa mengharap imbalan.Menurut mazhab Maliki,hibah adalah memberikan suatu barang milik sendiri tanpa mengharap suatu imbalan kepada orang yang diberi.Mazhab Syafii memberikan definisihibahsecara singkat, yaitu memberikan barang milik sendiri secara sadar sewaktu hidup.Menurut mazhab Hambali, hibahadalah pemberian milik yang dilakukan oleh orang dewasa yang pandai yang berhak menggunakan sejumlah harta yang diketahui atau tidak diketahui namun sulit mengetahuinya, harta tersebut memang ada, dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam keadaan masih hidup dan tanpa imbalan.

2. Macam-macam HibahSetelah membahasa pengertian hibah secara bahasa dan istilah pada sub bab ini penulis akan menjelaskan macam-macam hibah. Hibah menurut para ulama dibagi menjadi dua macam yaitu:a) Hibah Muabbaddisini dimaksudkan pada kepemilikan penerima hibah terhadap barang hibah yang diterimanya. Katamuabbad sendiri dapat diartikan dengan selamanya atau sepanjang masa.Hibahdalam kategori ini tidak bersyarat, barang sepenuhnya menjadi milikmauhublah. Sehingga dia mampu melakukan tindakan hukum pada barang tersebut tanpa ada batasan waktu.b) Hibah muaqqatmerupakanhibahyang dibatasi karena ada syarat-syarat tertentu dari pemberihibahberkaitan dengan tempo atau waktu. Harta yang dihibahkan biasanya hanya berupa manfaat, sehingga penerimahibahtidak mempunyai hak milik sepenuhnya untuk melakukan tindakan hukum.Terdapat dua bentukhibahyang bersyarat, yaitual-umradanal-ruqba.Al-umraadalahhibahyang hanya diberikan pada seseorang (penerimahibah) sepanjang hidupnya. Jika penerimahibahitu meninggal maka harta yang dihibahkan kembali pada penghibahatau ahli warisnya.[footnoteRef:6]Apabila seseorang menyuruh orang lain mendiami rumahnya dengan mengatakan: rumah ini aku berikan kepadamu agar engkau diami sepanjang umurmu, maka hal itu berarti ia telah memberikan manfaat kepadanya untuk mendiami rumah tersebut sepanjang hidupnya. Jika ia telah meninggal, rumah tersebut kembali kepada pemiliknya, yaitu orang yang memberikannya. Hibahseperti ini diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat: Pertama, bahwahibahtersebut merupakanhibahyang terputus sama sekali. Yakni bahwa hibahtersebut adalahhibahterhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan oleh Syafii, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya. [6: Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,juz. V, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hal. 547]

Kedua,bahwa orang yang diberihibahitu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibahatau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan para pengikutnya, apabila dalam akad tersebut disebutkan keturunan sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberihibahatau ahli warisnya.Ketiga, bahwa apabila pemberihibahberkata:barang ini, selama umurku masih ada, untukmu dan keturunanmu, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberihibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggalnya orang yang diberihibah, barang tersebut kembali kepada pemberihibahatau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud dan Abu Tsaur.Selanjutnya yaitual-ruqbayang artinya mengawasi satu sama lain. Di sini antara pemberi dan penerimahibahsaling mengawasi siapakah di antara mereka yang memiliki umur lebih panjang maka dialah yang akan memiliki harta tersebut sampai ke anak cucu atau ahli waris mereka, oleh karena itu barang yang dihibahkan secara otomatis langsung berpindah kepemilikannya pada pihak yang masih hidup ketika salah satu dari mereka meninggal dunia.[footnoteRef:7]Memberihibahsecararuqba, yaitu seorang mengatakan: rumahku untukmu jika aku meninggal sebelummu, kamu gabungkan pada rumahmu, dan rumahmu untukku jika engkau meninggal sebelumku, maka gabunglah pada rumahku, maka hukumnya adalah sah. Demikian menurut pendapat Syafii, Hambali dan Abu Yusuf. Sedangkan menurut pendapat Maliki, Hanafi dan Muhammad bin al-Hasanhibah ruqbaadalah tidak sah. [7: Ibid, hal. 565]

3. Pendapat Fuqaha Tentang Hibaha. Barang Yang Dapat DihibahkanBarang yang dapat dihibahkan ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki. Fuqaha telah sependapat bahwa seseorang itu boleh menghibahkan seluruh hartanya kepada orang asing (bukan ahli waris).Kemudian mereka berselisih pendapat tentang orang tua yang mengutamakan (pilih kasih terhadap) sebagian anaknya atas sebagian yang lain dalam soal hibah, atau dalam soal penghibahan seluruh hartanya kepada sebagiannya tanpa sebagian yang lain. Jumhur Fuqaha amshar (negeri-negeri besar) berpendapat bahwa seperti itu makruh hukumnya. Tetapi apabila terjadi, maka menurut pendapat mereka sah pula. Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa pengutamaan hibah atas sebagian anak tidak boleh. Terlebih lagi penghibahan seluruh harta kepada mereka.Jumhur fuqaha berpendapat bahwa menghibahkan seluruh hartanya kepada anaknya diperbolehkan hal ini berpegangan bahwa ijma tentang bolehnya seseorang dalam keadaan sehatnya memberikan hartanya kepada orang asing sama sekali diluar anak-anaknya. Jika pemberian ini dapat terjadi untuk orang asing, maka terlebih lagi terhadap anak. Alasan mereka adalah hadits dari Abu Bakar yang terkenal, bahwa ia memberi Aisyah pecahan-pecahan seberat 20 wasaq dari harta karun.[footnoteRef:8] [8: Ibnu Kasya, Tarjamah Kitab Bidayatul Mujtahid Juz 3, (Semarang: Asy Syafa,ttd ) hal.433-434.]

b. Penguasaan Orang Tua atas Hibah Untuk AnakJumhur fuqaha amshar berpendapat bahwa seorang ayah boleh menguasai barang yang diberikan olehnya sendiri kepada anaknya yang kecil yang berada dalam kekuasaanya, juga kepada orang dewasa yang bodoh. Demikian pula ia boleh menguasai hibah yang diberikan orang lain kepada keduanya. Dan cukup baginya dalam hal penguasaan itu untuk mempersaksikan adanya hibah dan mengumumkannya. Semua ini adalah pada selain emas dan perak serta barang yang tidak tertentu.Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat tentang harus adanya penguasaan pada barang yang ditempati dan dipakai. Jika barang pemberian tersebut berupa rumah yang ditempati maka rumah tersebut harus dikosongkan. Begitu pula halnya pakaian. Jika pakaian tersebut dipakai (sendiri oleh pemberi hibah), maka hibah tersebut batal.Adapun pada barang-barang lainnya, maka mereka sependapat dengan para fuqaha lainnya. Yakni bahwa dalam hal ini cukup dengan pemberitahuan dan persaksian. Mengenai emas dan perak, maka pendapat yang diriwayatkan dari Imam Malik berbeda-beda. Diriwayatkan daripadanya tentang tidak bolehnya seorang ayah menguasai hibahnya sendiri kepada anaknya yang berupa emas dan perak. Kecuali jika ia mengeluarkannya dari penguasaannya kepada penguasaan orang lain. Tetapi dariadanya juga diriwayatkan tentang kebolehannya. Yakni jika ia menempatkan emas dan perak itu pada suatu wadah (peti) dan dikunci, serta dipersaksikan kepada beberapa saksi. Sementara menurut Imam Hanafi berpendapat bahwa ibu itu dapat menempati kedudukan ayah. Imam syafii berpendapat bahwa kakek itu sama kedudukannya dengan ayah.[footnoteRef:9] [9: Ibid, hal 439-440]

C. Waris1. Pengertian WarisAl-miirats () dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ( ) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.[footnoteRef:10] [10: Hasbi Ash-shiddieqy, Fiqhul Mawaris : Hukum-hukum warisan dalam Syariat Islam, Bulan Bintang (Jakarta : 1973), hal. 17]

2. Dasar Hukum Waris

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Pendapat Ulama Tentang Pembgian WarisMenurut Muhammad Syahrur dalam teori limitasinya ia berpendapat bahwa ayat waris di atas QS. An-Nissa: 11 menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Konkretnya, jika beban ekonomi keluarga sepenuhnya atau 100% ditanggung oleh pihak laki-laki, sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak terlibat atau 0%, dalam kondisi ini, batasan Allah dapat diterapkan, yaitu memberikan dua bagian kepada pihak laki-laki dan satu bagian untuk pihak perempuan. Dari segi prosentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33%, sedangkan bagian maksimal laki-laki adalah 66%. Oleh karenanya, jika kita memberi laki-laki sebesar 75% dan perempuan 25%, kita telah melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh Allah. Namun jika kita membagi 60% untuk laki-laki dan 40% untuk perempuan, kita tidak melanggar batasan hukum Allah karena kita masih berada di antara batas-batas hukum Allah.[footnoteRef:11] [11: Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hal.38-39]

Lebih lanjut, pembagian waris dalam kitab fiqh lima madzhab adalah sebagai berikut. Al- Furudh (bagian tetap) adalah bagian yang telah ditetapkan dalam kitabullah dan jumlahnya menurut kesepakatan para madzhab ada enam, yaitu seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam.Seperdua warisan merupakan bagian bagi anak perempuan tunggal mayit, sepanjang tidak ada anak laki-laki. Anak perempuan dari anak laki-laki mayit menurut madzhab sama dengan anak perempuan langsung, yang bagi Imamiyah berkedudukan sama dengan ayahnya. Bagian seperdua, tersebut juga diberikan kepada saudara perempuan tunggal mayit yang sekandung atau seayah, serta diberikan kepada suami manakala iasterinya tidak mempunyai anak.Seperempat warisan diberikan kepada suami, manakala isterinya (yang meninggal) mempunyai anak, dan diberikan pula pada isteri, manakala suainya, (yang meninggal) itu tidak mempunyai anak.Seperdelapan warisan diberikan kepada isteri manakala suaminya (yang meninggal) itu mempunyai anak.Sementara itu, dua pertiga warisan diberikan kepada dua orang anak perempuan atau lebih, sepanjang tidak ada anak laki-laki, dan kepada dua saudara perempuan atau lebih yng sekandung atau sayah, sepanjang tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau seayah.Sepertiga warisan diberikan kepada ibu, sepanjang tiak ada anak laki-laki dari mayit dan tidak adapula saudara-saudara dari si mayit. Bagian sepertiga ini juga diberikan kepada dua atau lebih saudara perempuan atau laki-laki dari jalur ibu.Seperenam bagian, diberikan kepada ayah bila tidak ada anak dari mayit dan kepada ibi dengan adanya anak laki-laki dari si mayit atau saudara-saudaranya. Selanjutnya bagian seperenam ini diberikan kepada saudara laki-laki atau perempuan si mayit dari jalur ibu. Bila dia hanya seorang.[footnoteRef:12] [12: Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Jafari, Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Terj. Maykur, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007). Cet. Ketujuh. hal. 550]

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanSetelah membahas pada bab II beberapa pendapat ulama dan imam-imam mazhab tentang wasiat, hibah dan waris. Dapat kita simpulkan bahwa sudut pandang para imam mazhab terhadap suatu permasalahan diambil dari berbagai sudut, mulai dari Al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas dan lain-lain. Hal itu tidak lain hanya untuk kemaslahatan umat dalam menghadapi masalah yang ada, khususnya dalam masalah harta peninggalan mayat (wasiat, hibah dan waris) yang berkaitan antara hak dan kewajiban seseorang yang ditinggal mati. Selain itu dengan adanya perbedaan mazhab semakin menambah khazanah keilmuan untuk umat Islam.

B. PenutupSyukur Alhamdulillah dengan rahmat dan hidayah Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari dalam penulisan dan pembahasan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun isinya. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris : Hukum-hukum warisan dalam Syariat Islam, Bulan Bintang Jakarta : 1973.Jawad Mughniyah, Muhammad, Fiqh Lima Mazhab: Jafari, Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Terj. Maykur, Jakarta: Penerbit Lentera, 2007.Kasya, Ibnu, Tarjamah Kitab Bidayatul Mujtahid Juz 3, Semarang: Asy Syafa, ttd.Syahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin, Yogyakarta: Elsaq Press, 2007.Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnahjuz. V, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.Perbandingan Mazhab Fiqh | 17