program studi perbandingan mazhab fakultas …repository.uinjambi.ac.id/2881/1/muhammad yassir -...
TRANSCRIPT
-
KEDUDUKAN WAKAF DALAM ISLAM STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I
SKRIPSI
MUHAMMAD YASSIR NIM: SPM 152139
PEMBIMBING: Dr. H. BAHRUL MA’ANI, M. Ag
ALHUSNI, S. Ag., M. HI
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI 1440 H / 2019
-
iv
MOTTO
1
“Orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan
Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”. (Surah Ali Imran ayat 134)
1 Kemenag RI, Al-qur‟an dan Terjemah, (Jakarta, Raudhatul Jannah, 2010), hlm., 67
-
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada Ibunda dan Ayahanda Tercinta,
Sebagai tanda bakti, hormat dan rasa terima kasih yang tiada terhingga
Kupersembahkan skripsi ini kepada ayahanda Musthafa Anshori dan Ibunda
Rogayah Binti Ibrahim yang telah berjuang dengan penuh Keikhlasan, yang telah
menorehkan segala kasih sayangnya dengan Penuh rasa ketulusan yang tidak
mengenal lelah dan batas waktu Serta telah mendidik dan mengasuhku dari kecil
hingga dewasa.
Adinda tercinta, Muhammad Hanif dan Indah Kamila yang menjadi
motivasi tersendiri bagiku. Dan juga skripsi ini kupersembahkan kepada Pak buya
Ahmad Tarmizi & ibu Habibah yang turut memberikan dukungan materi maupun
non materi. Tiada kata yang bisa di ucapkan, selain ucapan terima kasih untuk
semuanya.
-
vi
ABSTRAK Muhammad Yassir, SPM 152139; Kedudukan Wakaf dalam Islam Studi Perbandingan Antara Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i.
Skripsi yang berjudul, Kedudukan Wakaf Dalam Islam Studi Perbandingan Antara Mazhab Hanafi Dan Mazhab Syafi‟i. Skripsi ini adalah untuk mengungkap bagaimanakah hukum islam menyikapi tentang penarikan harta yang telah d wakafkan, kemudian bagaimana persamaan dan perbedaan ulama tentang kedudukan harta yang telah wakafkan tersebut. Seperti yang di ketahui sekarang bahwa, maraknya penarikan harta yang telah di kalangan masyarakat. Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Mazhab Hanafi membolehkan menarik kembali, menukar, dan menjual benda wakaf dengan ketentuan dan syarat yang berlaku dalam mazhab Hanafi. Sedangkan Mazhab Syafi‟i berpendapat sebaliknya, yaitu tidak memperbolehkan menarik kembali, menukar dan menjual harta wakaf, karena Mazhab Syafi‟i memegang Asas keabadian benda wakaf. Hasil penelitian ini untuk membuka wawasan dan pemahaman baru mengenai perihal wakaf ini, agar bisa menjadi refrensi untuk membandingkan pendapat yang relevan di dalam kondisi problema yang terjadi di tengah masyarakat. Kata Kunci : Hukum Islam, Mazhab, Penarikan Wakaf
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadrat Allah
SWT atas segala rahmat dan kurnia-Nya. Shalawat dan Salam turut dilimpahkan
kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang sangat dicintai.
Alhamdulillah dalam usaha menyelesaikan skripsi ini penulis sentiasa diberi
nikmat kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Kedudukan Wakaf Dalam Islam Studi Perbandingan Antara
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i”.
Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan
ilmu syariah dalam bagian perbandingan mazhab dan juga memenuhi sebagian
persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan
Perbandingan Mazhab pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima
hambatan dan halangan baik dalam masa pemgumpulan data maupun
penyusunannya. Situasi yang sulit dari awal hingga akhir membuat penulis
menambahkan semangat serta usaha & Do‟a untuk menyelesaikan skripsi ini. Dan
berkat kesabaran dan dukungan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat juga
diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.
Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima
kasih kepada semua pihak yang turut membantu, baik secara langsung maupun
secara tidak langsung di dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
-
viii
1) Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA Rektor UIN STS Jambi, Indonesia.
2) Bapak Dr. AA. Miftah, M. Ag, Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi,
Indonesia.
3) Bapak H. Hermanto Harun, Lc, M. HI, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik, Ibu Dr Rahmi Hidayati, S. Ag, M.HI, Wakil Dekan Bidang
Administrasi Umum, Perancanaan dan Keuangan dan Ibu Dr. Yulianti, S.
Ag. MHI, Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerjasama di lingkungan
Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
4) AlHusni, S. Ag., M. HI, Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Bapak
Yudi Armansyah, M. Hum, Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab,
Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
5) Bapak Dr. H. Bahrul Ma‟ani, M.Ag Pembimbing I dan Bapak Al Husni, S.
Ag., M. HI Pembimbing II skripsi ini yang telah banyak memberi
masukan, tunjuk ajar dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6) Bapak dan ibu dosen yang telah mengajar sepanjang perkuliahan, asisten
dosen serta seluruh karyawan dan karyawati yang telah banyak membantu
dalam memudahkan proses menyusun skripsi di Fakultas Syariah UIN
STS Jambi, Indonesia.
7) Teman-teman seperjuanganku di jurusan Perbandingan Mazhab angkatan
2015 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tiada kata selain ucapan terima kasih. Semoga Allah SWT memberikan
balasan kebaikan atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis.
-
x
DAFTAR ISI
Table of Contents HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
PERNYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR ......................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... iii
MOTTO ................................................................................................................ iv
PERSEMBAHAN .................................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Batasan Masalah 5
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 6
1. Tujuan penelitian 6
2. Kegunaan penelitian 6
E. Kerangka Teori 6
F. Tinjauan Pustaka 11
G. Metode Penelitian 12
H. Sistematika Penulisan 14
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Abu Hanifah 16
1. Pendiri Mazhab Hanafi 16
2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abu Hanifah dalam Menetapkan Hukum Islam 18
3. Karya Abu Hanifah, Murid-muridnya Serta Penyebaran Dan Perkembangan Mazhabnya 20
-
xi
B. Biografi Imam Syafi‟i Serta Latar Belakang Pendidikannya 22
1. Pendiri Mazhab Syafi‟i 22
2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Syafi‟i dalam Menetapkan Hukum Islam 25
3. Karya-karya Imam Syafi‟i, Murid-muridnya dan Penyebarannya serta Perkembangan Mazhabnya 27
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Wakaf 29
1. Masa Rasulullah 29
2. Masa Dinasti-Dinasti Islam 33
B. Pengertian Wakaf 34
C. Dasar Hukum Wakaf 37
1. Alqur‟an 37
2. Sunnah Rasulullah SAW 38
D. Rukun-Rukun dan Syarat Wakaf 40
1. Rukun-rukun Wakaf 40
2. Syarat-syarat wakaf 41
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. PANDANGAN MAZHAB HANAFI DAN SYAFI‟I TENTANG KEDUDUKAN BENDA WAKAF 48
1. Penarikan Harta Wakaf Menurut Hanafiyah 48
2. Penarikan Harta Wakaf Menurut Syafi‟iyyah 51
B Analisis Penulis Tentang Penarikan Harta Wakaf 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 57
B. Saran-saran 58
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur 59
Lain-Lain 61
-
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI 2
A kh sy g n
B d ṣ f w T ż ḍ Q h
ṡ R ṭ K ˋ
J z ẓ L y
ḥ s ʻ M
â = a panjang î = u panjang û = u panjang Au = Ay =
2 Departemen Agama RI (Al Hidayah Al-Quran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka),
Ciputat Timur. Hlm. IV.
-
xiii
DAFTAR SINGKATAN
H : Hijriah
M : Masehi
Kemenag : Kementerian Agama
UIN STS : Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin.
SWT : Subhanahuwata „ala.
SAW : Sallallahu „alaihiwasallam.
ra. : Radiallahu „an.
No. : Nomor.
Q.S : Al-Quran Surah.
H.R : Hadits Riwayat
cet. : Cetakan.
hlm : Halaman.
t.t : Tanpa Tahun
KHI : Kompilasi Hukum Islam
Depag : Departemen Agama
RI : Republik Indonesia
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Harta dalam pandangan Islam mempunyai fungsi sosial dan milik
personal, harta benda yang ada pada seseorang adalah sesuatu yang dipercayakan
oleh Allah kepada hamba-NYA untuk digunakan sesuai dengan ajaran-Nya.
Ditengah problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan
kesejahteraan ekonomi akhir – akhir ini, maka wakaf juga menjadi salah satu
faktor yang cukup diperhitungkan untuk kesejahteraan ditengah masyarakat, dan
juga wakaf merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spritual.
Karena itu, pendefenisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih
relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting3.
Wakaf sebagai salah satu ibadah yang memiliki dimensi sosial serta
penyempurnaan harta bagi umat Islam serta memiliki peran yang signifikan dalam
berbagai aspek kehidupan. Tidak haya di sisi ekonomi, namun wakaf juga dapat
menjadi instrumen kebangkitan umat. Secara nyata wakaf bisa mengentaskan
kemiskinan sekaligus bisa memberdayakan umat.
Wakaf adalah suatu ibadah yang hukumnya didapati melalui jalan ijtihad.
Alqur‟an tidak menyatakan secara tegas mengenai aturannya. Namun berdasarkan
konteks ayat yang dipahami sebagai sebuah amal kebaikan dan menjadi dasar
utama disyari‟atkannya Wakaf adalah Q.S Ali Imron ayat 92 yang berbunyi ;
3 Departemen Agama, Paradigma baru wakaf di indonesia, (Jakarta : Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm. 1
-
2
4
Artinya:
Ayat Alqur‟an tersebut menurut para ahli dapat digunakan sebagai dasar
umum Wakaf.
Wakaf telah dikenal dalam Islam sejak masih ada nabi Muhammad SAW.,
yaitu sejak beliau hijrah ke madinah, disyari‟atkannya pada tahun kedua
Hijriyyah. Para ulama berpendapat bahwa peristiwa atau pelaksanaan Wakaf yang
pertama terjadi ialah Wakaf yang dilaksanakan oleh sahabat Umar bin Khattab
terhadap tanahnya di Khaibar.
Wakaf berasal dari bahasa arab, yaitu waqofa-yaqifu-waqfan yang berarti
„‟berhenti‟‟ atau „‟menahan‟‟
Dalam peristilahan syara‟ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian
yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (Tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum5.
Menanggapi persoalan kedudukan benda wakaf ulama mazhab berbeda
pendapat termasuk di dalamnya mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanafi.
4Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bogor : PT. Syigma Axamedia
Arkanleema, 2007), Hlm., 62 5Departemen Agama, Paradigma baru wakaf di indonesia, (Jakarta : Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm. 1
-
3
Mazhab Hanafi didirikan oleh Abu Hanifah An-Nu‟man Bin Tsabit Bin
Zufi At-Tamimi. Ia dilahirkan di kuffah pada tahun 80 H/ 699 M. Abu Hanifah
menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana.
Kemudian beliau memperdalam belajar Alqur‟an dan ilmu fiqh, guru Abu
Hanifah di antaranya adalah Anas Bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail
Amir dan lain sebagainya, dan dari mereka beliau juga mendalami ilmu hadits.
Imam Abu Hanifah pernah belajar Fiqih kepada Humad Bin Abu sulaiman, ulama
yang paling terpandang pada masa itu, tidak kurang dari 18 tahun lamanya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767 M, pada usia 70 tahun.
Sepeninggal beliau, ilmu-ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang
cukup banyak, di antaranya ialah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarok, Waqi‟ bin
Jarrah ibn Hasan Al-syaibani, dan lain-lain.
Kitab-kitab karangan imam Abu hanifah di antaranya ialah, Almausuah
(kitab hadits yang dikumpulkan oleh murid-muridnya), Al-Makharij, kitab ini
dinisbahkan kepada imam Abu Hanifah diriwayatkan oleh Abu yusuf). Dan Fiqh
Al-Akbar (Kitab fiqh yang lengkap).6
Mazhab Syafi‟i di dirikan oleh Imam Abu Abdillah Muhammad Idris Al-
Qurasy Al-Hasyimi Al-Muthalibi, ia dilahirkan di Gaza palestina tahun 150
Hijriyah tahun wafat nya Abu Hanifah dan ia meninggal di Mesir tahun 204
Hijriyah. Setelah meninggal ayah nya di Gaza dan sudah berusia 2 tahun dia
dibawa oleh ibunya ke mekkah dalam keadaan yatim.
6 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab Terjemahan Kitab Al-Fiqh „Ala Mazahibil Khamsah, (Jakarta, Penerbit Lentera, 2013), Cet. 28, Hlm. XXV
-
4
Di mekkah Imam Syafi‟i belajar dengan seorang ulama ternama dan mufti
negri mekkah bernama Muslim bin Khalid Al-Zanji. Pada usia 5 tahun beliau
telah di izinkan oleh gurunya tersebut untuk memberikan fatwa. Kemudian beliau
berangkat ke Madinah menimba ilmu fiqh dengan Anas bin Malik, dan
mendengar pengajian muwatha‟ dengan imam malik dan menghafalkan nya pada
waktu yang sangat singkat sekali yaitu 9 malam, beliau memiliki 2 mazhab dan
murid yaitu mazhab qadim dan mazhab jadid.
Dan beliau meninggalkan karya monomental dalam mazhab jadid nya
yaitu Ar-Risalah kitab Ushul Fiqh pertama dan Al-Umm dalam bidang Fiqh
Mazhab jadid nya. Beliau juga memiliki murid-murid yang meneruskan
pemahaman hukum islam nya seperti yusuf bin yahya al-buwaithi,abu ibrahim
ismail bin yahya al-muzami dan lainnya.7
Sebagai pendiri mazhab imam Syafi‟i meletakkan dasar-dasar mazhab nya
pada Al Quran, Sunnah, ijma dan qiyas. Dan tidak menjadikan pendapat sahabat
sebagai ladasan dalil hukumnya.8
Para jumhur ulama berpendapat wakaf adalah untuk selama-lamanya dan
salah satu menjadi syarat sahnya wakaf yang dalam bahasa mereka disebut ta‟bid
al-waqf ( keabadian benda wakaf ). Hal ini menjadi penting dalam perwakafan.
Para ulama menjadikan ta‟bid alwaqf sebagai salah satu syarat sahnya wakaf. Jika
wakaf dilakukan hanya untuk sementara waktu, setelah waktu yang ditentukan
7 Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu Juz Awal, (Damaskus ; Darul
Fikri, 1989), Hlm.,35-37 8 Wahbah Az Zhuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu Juz Awal, (Damaskus ; Darul
Fikri, 1989), Hlm,.36
-
5
habis lalu benda yang telah diwakafkan ditarik kembali, maka rasanya tidak cukup
etis dengan kehidupan bersosial.
Tentang persoalan wakaf di atas, ada suatu permasalahan yang muncul,
yaitu menyikapi benda yang telah diwakafkan. Apakah benda yang telah
diwakafkan boleh ditarik kembali ataukah tidak, benda seperti apakah yang bisa
diwakafkan, bagaimana pendapat para ulama tentang hal tersebut.
Fenomena yang terjadi pada saat ini, banyak sekali benda yang telah di
wakafkan oleh pewakif, namun kemudian di ambil kembali/ ditarik kembali oleh
ahli warisnya. Lalu, bagaimanakah kedudukan wakaf yang sebenarnya dalam
islam ini?
Melihat kondisi tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul
„‟Kedudukan Wakaf Dalam Islam Studi Perbandingan Antara Mazhab Hanafi Dan
Mazhab Syafi‟i„‟
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Kedudukan Benda Yang Telah Diwakafkan Menurut
Hanfiyah Dan Syafi‟iyyah
2. Bagaimanakah Persamaan dan Perbedaan Pandangan Antara Hanafiyah Dan
Syafi‟iyyah Mengenai Kedudukan Benda Wakaf.
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, agar tidak terjadi perluasan pada pokok pembahasan,
maka penulis memikirkan perlunya ada batasan masalah. Penulis akan
memfokuskan kajian tentang kedudukan benda wakaf menurut pandangan mazhab
hanafi dan mazhab syafi‟i, dengan membatasi pada pembahasan status benda yang
-
6
telah diwakafkan, terkhusus penarikan benda wakaf dengan memaparkan dalil-
dalil hukum menurut Alqur‟an dan Hadits dan pendapat-pendapat 2 mazhab
tersebut.
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian tentang Kedudukan Wakaf Dalam
Islam Menurut Mazhab Hanafi Dan Mazhab Syafi‟i dalam penilitian ini adalah
untuk:
a. Untuk mengetahui Kedudukan Benda Yang Telah Diwakafkan Menurut
Mazhab Hanfi Dan Syafi‟i
b. Untuk mengetahui Persamaan dan Perbedaan Pandangan Antara Mazhab
Hanafi Dan Syafi‟i Mengenai Kedudukan Benda Wakaf
2. Kegunaan penelitian
a. Guna untuk menambah pengetahuan dan pembelajaran yang sangat penting
untuk kita semua, dan khususnya untuk penulis baik secara teoritis maupun
praktis tentang penelitian ini.
b. Sebagai persyaratan guna menyelesaikan program sarjana strata satu (S.1)
dalam ilmu-ilmu hukum Islam.
E. Kerangka Teori
Untuk mempermudah penulis memahami pembahasan di atas, maka
penulis mengemukakan kerangka teori yang berkaitan dengan judul diatas:
-
7
Hukum Islam merupakan istilah Khas Indonesia, karena tidak ditemukan
dalam Al-Qur‟an maupun Hadits Rasulullah SAW. Istilah hukum Islam
merupakan terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al-
syari‟ah al-islamy. Walaupun tidak ditemukan istilah al-hukm al-islamy dalam
Al-Qur‟an dan As-Sunnah, tapi yang dipakai istilah kata syari‟at yang dalam
penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh.9
Para Ulama memiliki pendapat yang berbeda dalam mendefenisikan
hukum syar‟i ini. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya mengutip pendapat
pendapat dari Ibnu Hajib menulis:10
“Hukum (Syar‟i) adalah tuntutan Allah yang berhubungan dengan
perbuatan orang dewasa dengan kehendak (tuntutan) atau pilihan atau
adanya kejadian (al-Wadh‟i)”.
Ulama lain, Abdul Wahab Khalaf, lebih mempertajamkan lagi tentang
defenisi hukum islam dan membedakan antara defenisi menurut ahli ushul dan
ahli fiqh:11
9 Drs. Baharuddin Ahmad, MHI., dan Dr. Illy Yanti, M.Ag., Eksistensi dan Implementasi
Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar, 2015), hlm. 1. 10 Dr. Badri khaeruman, M.Ag., Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2010), hlm. 20.
-
8
Hukum Syar‟i menurut ahli ushul adalah tuntutan syar‟i (Allah) yang
berhubungan dengan perbuatan orang dewasa yang berupa perintah, pilihan, atau
hubungan sesuatu dengan yang lain. Adapun menurut fuqaha adalah bekas atau
pengaruh yang dikehendaki oleh Khitab Allah dan terwujud dalam bentuk
perbuatan, seperti wajib, haram, serta boleh (ibahah).
Di dalam menetapkan suatu masalah maka pasti ada nama rujukan. Nah, di
dalam hukum islam sendiri jika menetapkan masalah juga ada rujukan yaitu:
Dalam pengertian ini, kata sumber hanya dapat digunakan untuk Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah. Tentang Ijma‟ ulama, harus dipisahkan antara ijma‟ dalam
proses yaitu kegiatan melakukan kesepakatan dalam menetapkan hukum, dengan
ijma‟ ulama dalam arti yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan ulama mujtahid
dalam kesepakatannya.12
Kerangka teori yang penulis ambil ialah ;
1. Al Quran
13
kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
11 Ibid. 12 Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2014), hlm. 189. 13 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bogor : PT. Syigma Axamedia
Arkanleema, 2007), Hlm., 62
-
9
Secara umumnya, ayat tersebut menunjukkan tentang berinfaq dijalan
kebaikan. Dalam kategori ini, tentulah wakaf termasuk di dalamnya. Karena
wakaf itu menginfaqkan harta di jalan kebaikan.
2. Hadist
14
Artinya ;Apabila anak adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya,
kecuali tiga perkara : shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak sholeh yang mendo‟akan orang tuanya
Hadis tersebut menjelaskan tentang terputusnya amal manusia ketika
mereka meninggal dunia, kecuali tiga perkara, dan salah satu di antara tiga
perkara tersebut ialah sedekah jariah, dan yang termasuk daripada sedekah jariah
ialah wakaf.
3. Manfaat benda wakaf
Manfaat benda wakaf dalam kajian ini adalah, pemanfaatan wakaf atau
benda wakaf sebagai penunjang ekonomi umat. Dalam berbagai jenis benda yang
diwakafkan yang bisa dimanfaatkan dan sesuai dengan syari‟at Islam.
4. Hukum Islam
14 HR. Muslim, No. 1631
-
10
Hukum Islam yang dimaksud dalam penulisan ini adalah kumpulan
hukum-hukum syara‟ yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci15. Hal ini
mencakup seluruh hukum-hukum yang wajib sunat haram makruh dan yang di
bolehkan dan lain sebagai nya. dalam hal pemanfataan ini tidak terlepas dari salah
satu hukum tersebut.
5. Mazhab
Mazhab menurut bahasa adalah tempat pergi yaitu jalan. Menurut istilah
mazhab ialah hukum-hukum yang mencakup berbagai masalah dari pengertian ini
dapat dipahami bahwa mazhab adalah aliran hukum tentang berbagai masalah.
Termasuk di dalam nya persoalan wakaf dengan demikian mazhab Hanafi adalah
aliran hukum dalam berbagai masalah dari pendapat imam Hanafi dan mazhab
Syafi‟i adalah aliran hukum terhadap berbagai masalah dari pendapat Imam
Syafi‟i.
6. Studi Perbandingan
Studi perbandingan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kajian tentang
kedudukan benda wakaf dalam Islam dari segi mazhab Hanafi dan mazhab
Syafi‟i, hal ini mencakup kajian tentang dasar-dasar pandangan mereka tentang
15Wahbah al-Zhuhaili, Al wajiz fii usul al fiqh , (Damaskus, Darul Fikri, 1997), hlm ,. 14.
-
11
kedudukan benda wakaf mencari persamaan dan perbedaan dalam kesimpulan
hukum serta penyebab terjadi nya perbedaan pandangan dua mazhab tersebut.
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka pada penelitian, pada dasarnya untuk mendapatkan
gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin pernah
dilakukan oleh penelitian lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak adanya
pengulangan materi penelitian secara mutlak.
Sejauh penelitian peneliti terhadap karya-karya ilmiah yang berupa
pembahasan tentang wakaf secara luas dan umum dibahas didalam karya ilmiah
namun peneliti belum menemukan karya-karya ilmiah yang membahas secara
khusus tentang status kedudukan benda wakaf dalam Islam study perbandingan
menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i melalui penelitian kepustakaan.
1. Risti Gustina dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Mazhab Syafi‟i
terhadap undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf (pasal 1, 6, 40,
dan 41)” hasil penelitiannya adalah berfokus kepada pengaruh Mazhab
Syafi‟i terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
berbeda dengan skripsi yang saya bahas yang hanya berfokus tentang
kedudukan benda wakaf, skripsi dibuat pada tahun 2015.
2. Irvan Jauhari dalam skripsinya yang berjudul „‟Wakaf Berjangka Dalam
Perspektif Pemikiran As-Sayid Sabiq Dalam Relevansinya Dengan Aturan
Wakaf Yang Berlaku Di Indonesia‟‟ hasil penelitiannya yaitu berfokus
kepada pemikiran sayyid sabiq terhadap wakaf berjangka, dan berbeda
-
12
dengan Skripsi yang penulis bahas, penulis membahas tentang kedudukan
benda wakaf didalam perspektif Hanafiyyah dan Syafi‟iyyah, dan lebih
dikhususkan kepada penarikan benda wakaf menurut kedua mazhab tersebut
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan proposal ini penulis menggunakan metode sebagai
berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan atau library research, oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk
menelusuri dan mengkaji bahan-bahan pokok yang ada diliteratur-literatur yang
relevan dengan kajian yang diangkat.
Penelitian ini di lakukan karna ada dua pertimbangan.
Pertama, karena data-data dalam penelitian ini hanya diperoleh melalui
sumber kepustakaan berupa kitab-kitab dan buku-buku yang di tulis oleh para
ahli.
Kedua, karena penelitian ini hanya memfokuskan pada penafsiran dan
pemahaman peneliti terhadap pandangan ulama-ulama yang membahas masalah
yang di teliti.
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan proposal ini adalah sumber
data yang diambil dari sumber data primer dan sekunder.
-
13
a. Sumber data primer
Dari hukum Islam, dengan merujuk pada sumber data yang diambil dari
Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
Data-data primer dari mazhab Hanafi adalah karya-karya dari Imam
Hanafi dan karya-karya dari pengikut mazhab Imam Hanafi (Hanafiah), dari data
yang penulis kumpulkan dalam pembuatan skripsi ini, penulis mengutip pendapat
Imam Hanafi dari pengikutnya dan dari kitab-kitab Muqorronah, seperti fiqh
sunnah karya Sayyid Sabiq dan fiqh al-Islami karya Wahbah Azzuhaili.
Dan data primer dari Mazhab Syafi‟i ialah, kitab-kitab mazhab Syafi‟i
seperti al umm karya imam Syafi‟i, al majmu‟ karya imam Nawani, tuhfah karya
Ibnu hajar haitami, nihayah karya Imam Ramli dan kitab-kitab lainnya yang di
karang oleh pengikut mazhab Syafi‟i ( Syafi‟iyah).
b. Sumber data sekunder
Yakni data-data yang diperoleh dari pendapat-pendapat para ulama,
cendekiawan dan ahli hukum yang sudah disusun dalam sebuah buku. Dengan
demikian data sekunder yang dijadikan rujukan dalam penyusunan skripsi ini
adalah: dari hukum Islam, yang didasarkan pada buku-buku fiqh. Dan data
sekunder dari kedua mazhab tersebut adalah kitab-kitab fiqh yang bukan dari
kedua mazhab tersebut, namun menceritakan tentang pendapat kedua mazhab
tersebut, seperti kitab-kitab:
1) Fiqhul Islam karya Wahbah al-Zuhaili
2) Fiqh sunnah karya Sayyid Sabiq dan lain-lain sebagainya
-
14
H. Sistematika Penulisan
Skiripsi ini di bagi kepada lima bab. Dan masing-masing bab nya memiliki
pembahasan-pembahasan tersendiri untuk memudahkan mendapat gambaran
tentang isi kandungan skripsi ini akan di jelaskan sebagai berikut:
BAB I : Dalam bab satu ini akan dipaparkan latar belakang masalah,
perumusan masalah, batasan masalah, tujuan kegunaan dan penelitian, kerangka
teori, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Setelah itu
penulis akan melanjutkan bab II
BAB II : Dalam bab dua ini penulis akan memaprkan gambaran mazhab
Hanafi dan mazhab Syafi‟i yang memuat pembahasan tentang pendiri mazhab
Hanafi, ulama-ulama pengembang mazhab Hanafi karya-karyanya dan sumber
hukum Islam menurut mazhab Hanafi. Demikian juga gambaran umum tentang
mazhab Syafi‟i yang membuat uraian mazhab Syafi‟i, ulama-ulama pengembang
karyanya dan sumber hukum Islam menurut mazhab Syafi‟i. Setelah uraian bab
dua penulis melangkah kepada bab tiga.
BAB III : Dalam bab tiga ini penulis menyampaikan uraian tentang
pembahasan umum mengenai wakaf yang mencakup pembahasan, sejarah wakaf,
pengertian wakaf, dasar hukum wakaf, syarat dan rukun wakaf. Selanjutnya
pembahasan ini akan di kaji secara hukum Islam pada bab empat dengan
pendekatan perbandingan mazhab Hanafi dan Syafi‟i pada empat.
BAB IV: Dalam bab empat ini penulis menyampaikan pembahasan
tentang pandangan mazhab Hanafi dan Syafi‟i tentang Kedudukan Benda wakaf
yang mencakup, pandangan mazhab Hanafi tentang Kedudukan benda wakaf,
-
15
pandangan mazhab Syafi‟i tentang kedudukan benda wakaf, titik kesamaan dan
perbedaan dua mazhab, sebab terjadinya dua pendapat mazhab. Untuk menutup
uraian semua tersebut penulis akan mengakhiri tulisan ini dengan bab lima.
BAB V : Dalam bab lima ini penulis akan menjadikannya bab penutup
yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata penutup.
-
16
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Abu Hanifah
1. Pendiri Mazhab Hanafi
Imam Hanafi dilahirkan di kota kuffah pada tahun 80 hijriyyah (699
Masehi), pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan16. Nama kecil Abu
Hanifah ialah Nu‟man Bin Tsabit Bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai
pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali Bin Abi Thalib, Imam Ali
bahkan pernah berdo‟a bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya,
tak heran jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang ulama besar
seperti Abu Hanifah17.
Imam Hanafi adalah pendiri Mazhab Hanafi yang terkenal dengan “al-
Imam al-A‟zham‟‟ ( ) yang berarti imam terbesar.
Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena ia
mempunyai seorang putra yang bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak
menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (bapak/ Ayah),
sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah18.
Tetapi menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah, karena ia berteman
dengan tinta, dan kata Hanifah ( , menurut bahasa Arab berarti tinta. Abu
16 Abdul Aziz Asy-Syinawi, Al-Aimah Al-Arba‟ah, yang di alih bahasakan oleh Abdul
Majid, Arif mahmudi, Abbas Sungkar dengan judul Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta : Ummul Qura, 2016), hlm. 57
17 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab Terjemahan Kitab Al-Fiqh „Ala Mazahibil Khamsah, (Jakarta : Penerbit Lentera, 2013), Cet. 28, Hlm. XXV
18 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung
Persada Press, 2011), hlm., 105-106
-
17
Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan
yang diperoleh dari teman-temannya.
Abu Hanifah dikenal dengan sangat rajin belajar, taat ibadah dan sungguh-
sungguh dalam mengerjakan kewajiban agama. Kata Hanif ( ) dalam bahasa
arab berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Abu hanifah pada
mulanya gemar belajar ilmu qiro‟at, hadits, nahwu, sastra, syi‟ir, teologi, dan
ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang
diminatinya ialah teologi, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang
dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis
serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu
itu pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di irak terdapat
Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas‟ud (wafat 63 H/ 682 M).
Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih Ibrahim al-Nakha‟i, lalu
Hammad Ibn Abi Sulaiman al-Asy‟ari (wafat 120 H). Hammad Ibn Sulaiman
adalah salah seorang Imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari „Alqomah
Ibn Qais dan al-Qadhi Syuiah, keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang
terkenal di kufah dari golongan tabi‟in. Dari Hammad ibn Sulaiman itulah Abu
Hanifah belajar fiqih dan hadits. Sepeninggal Hammad, Majelis Madrasah Kufah
sepakat mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala Madrasah19.
Adapun guru-guru Imam Abu hanifah yang banyak jasanya dan selalu dan
selalu memberi nasihat kepadanya, antara lain adalah: Imam Amir ibn Syahril al-
19 Ibid, hlm., 106-107
-
18
Sya‟bi dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy‟ari. Ia mempelajari qiro‟at dan tajwid
dari Idris „Ashim. Beliau sangat rajin dan selalu taat serta patuh pada perintah
gurunya20.
Abu hanifah juga berguru kepada Ikrimah murid Ibn Abbas, Nafik, murid
Abdullah Bin Umar, dan Atha‟ bin Rabah, ahli fiqih Mekah. Abu Hanifah juga
berguru kepada Zaid bin Ali, Muhammad Al-Baqir, dan Abu Muhammad
Abdullah bin Hasan, ketiga orang ini adalah orang-orang yang terpercaya di
bidang ilmu fiqih21.
2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abu Hanifah dalam Menetapkan Hukum Islam
Menurut sejarawan, bahwa pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan
Abbasiyah, Abu Hanifah pernah ditawari beberapa jabatan resmi, seperti di kufah
yang ditawarkan oleh Yazid bin Umar (Pembesar kerajaan), akan tetapi Abu
Hanifah menolaknya. Pada masa dinasti Abbasiyah, Abu ja‟far al-Manshur pernah
pula meminta kedatangannya di baghdad untuk diberi jabatan sebagai hakim,
namun ia menolaknya. Akibat penolakan itu ia dipenjarakan sampai meninggal
dunia22.
Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18
tahun pada dinasti Abbasiyah. Alih kekuasaan dari umayyah yang runtuh kepada
20 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung
Persada Press, 2011), hlm., 107 21 Abdul Aziz Asy-Syinawi, Al-Aimah Al-Arba‟ah, yang di alih bahasakan oleh Abdul
Majid, Arif mahmudi, Abbas Sungkar dengan judul Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta : Ummul Qura, 2016), hlm., 38
22 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2011), hlm., 107-108
-
19
Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum
pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh Khalifah kedua
Abbasiyah, Abu Ja‟far Al-Manshur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan tahun
762 M.
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra‟yi. Dalam menetapkan
hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari Alqur‟an ataupun hadits, beliau
banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra‟yi dari Khabar ahad.
Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan
jalan qiyas dan istihsan.
Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan
beliau sendiri, “Sesungguhnya saya mengambil kitab suci Al-Qur‟an dalam
menetapkan hukum, apabila tidak didapatkan dalam Al-qur‟an, maka saya
mengambil Sunnah Rasul SAW yang Shahih dan tersiar dikalangan orang-orang
terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari keduanya, maka saya mengambil
pendapat orang-orang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak
keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim al-
Sya‟by, Hasan ibn Sirin dan Sa‟id ibn Musayyab, maka saya berijtihad
sebagaimana mereka ber-ijtihad”.23
Abu hanifah tidak fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan,
inilah “Inilah pendapat saya, dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang
lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang paling benar”.
23 Ibid, hlm., 108-109
-
20
Dari keterangan di atas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam
beristidlal atau menetapkan hukum syara‟ yang tidak ditetapkan dalalahnya
secara qath‟iy dari Al-Qur‟an atau dari hadits yang diragukan keshahihannya, ia
selalu menggunakan ra‟yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadits. Imam Abu
Hanifah memperhatikan mu‟amalat manusia, adat istiadat serta „urf mereka.
Beliau berpegang kepada qiyas dan apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan
qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak,
maka beliau berpegang kepada adat dan „urf.
Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan
hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal
Rasul SAW, yang banyak mengetahui hadits. Di samping itu, kufah sebagai kota
yang berada di tengah kebudayaan persia, kondisi kemasyarakatannya telah
mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul
problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya, karena
problem itu belum pernah terjadi di zaman Nabi, atau zaman Sahabat dan Tabi‟in,
maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra‟yi. Hal inilah penyebab
perbedaan perkembangan pemikiran hukum di Kufah (Irak) dengan di Madinah
(Hijaz).24
3. Karya Abu Hanifah, Murid-muridnya Serta Penyebaran Dan Perkembangan Mazhabnya
Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu; Fiqh al-Akbar, al-„Alim
wa al-Muta‟alim dan Musnad fiqh al-Akbar. Abu Hanifah juga membentuk badan
24 Ibid, hlm., 110
-
21
yang terdiri tokoh-tokoh cendikiawan dan ia sendiri sebagai ketuanya. Badan ini
berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam dalam bentuk tulisan
dan mengalihkan Syari‟at Islam ke dalam undang-undang.
Karya-karya Imam Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwa beliau
maupun ijtihad-ijtihadnya semasa beliau masih hidup belum dikodifikasikan. Lalu
setelah beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan
pengikut-pengikutnya sehingga menjadi mazhab ahli ra‟yi yang hidup dan
berkembang. Madrasah ini kemudian dikenal dengan beberapa nama, yaitu
madrasah Hanafi dan madrasah ahli ra‟yi, disamping namanya menurut versi
sejarah hukum islam sebagai “Madrasah Kufah”.25
Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kufah dan
membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam adalah ;
1. Abu Yusuf Ya‟qub ibn Ibrahim al-Anshary (113-182 H).
2. Muhammad ibn Hasan al-Syaibany (132-189 H)
3. Zufar ibn Huzail ibn al-Kufy (110-158)
4. Al-Hasan ibn Ziyad al-Lu‟lu‟iy (133-204)
Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah pikiran Abu
Hanifah adalah Muhammad al-Syaibany yang terkenal dengan al-Kutub al-Sittah
(enam kitab), yaitu;
1. Kitab al-Mabsuth
2. Kitab al-Ziyadat
3. Kitab al-Jami‟ al-Shaghir
25
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2011), hlm., 112
-
22
4. Kitab al-Jami‟ al-Kabir
5. Kitab al-Sair al-Shaghir
6. Kitab al-Sair al-Kabir
Disamping itu, muridnya yang bernama Abu Yusuf yang menjadi Qadhy
al-Qudhat di zaman Khilafah Harun al-Rasyid, menulis kitab al-Kharaj yang
membahas tentang hukum yang berhubungan dengan pajak tanah.26
Dengan karya-karya tersebut, Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh
besar dalam dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunni. Para
pengikutnya tersebar di berbagai negara, seperti Irak, Turky, Asia Tengah,
Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syria, Mesir, dan Lebanon.
Mazhab Hanafi pada masa Khilafah Bani Abbas merupakan mazhab yang
paling banyak di antut oleh umat Islam dan pada pemerintahan kerajaan Utsmani,
mazhab ini merupakan mazhab resmi negara. Sekarang penganut mazhab ini tetap
termasuk golongan mayoritas, di samping mazhab Syafi‟i27.
B. Biografi Imam Syafi’i Serta Latar Belakang Pendidikannya
1. Pendiri Mazhab Syafi’i
Pendiri Mazhab Syafi‟i ialah, Imam Syafi‟i, beliau adalah Imam Abu
Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin „Ustman bin Syafi‟ bin Sa‟ib bin
„Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin „Abdu Manaf Al-Mutholibi
al-Qurosyy, beliau di kuniahkan dengan Abu Abdillah.28
26 Ibid, hlm., 113 27 Ibid, 113-114 28 Akrom Yusuf Umar al-Qowasimi, Al-Madkhol Ila Mazhab Al-Imam As-Syafi‟i,
(Jordan: Dar an-Nafa‟is, 2003), hlm., 34
-
23
Imam Syafi‟i memiliki garis keturunan yang bagus karena Nasab Imam
Syafi‟i bertemu dengan nasabnya Rasulullah SAW pada datuknya yang bernama
„Abdu Manaf bin Qushoi. Ada pelajaran yang sangat indah untuk dipetik pada
kehidupan Imam Syafi‟i ketika kecil, pertama; Tidak lama setelah lahirnya Imam
Syafi‟i, Ayahnya meninggal dunia, lalu Imam Syafi‟i hidup dalam keadaan yatim,
kedua; Imam Syafi‟i tidak hidup dalam keluarga yang sangat „Alim, namun
ibunya adalah seorang yang sangat cinta dengan „Ilmu, ketiga; dimasa kecilnya,
Imam Syafi‟i hidup dalam keadaan faqir.29 Begitulah kehidupan Imam Syafi‟i
ketika kecil, namun beliau memiliki seorang ibu yang shalehah.
Imam Syafi‟i dilahirkan pada tahun 150 H, disebuah daerah yang bernama
ghaza, palestina30. Imam Syafi‟i dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan fakir.
Dalam asuhan ibunya, ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur 7 tahun sudah
dapat menghafal Al-Qur‟an. Ia mempelajari Al-Qur‟an pada Isma‟il ibn
Qasthanthin, qori‟ kota mekkah31.
Untuk mempelajari bahasa Arab, Imam Syafi‟i pergi kesebuah desa yang
bernama Huzail, karena disana terdapat pengajar-pengajar bahasa Arab yang fasih
dan asli. Imam Syafi‟i tinggal di Huzail kurang lebih selama 10 tahun. Dan disana
beliau belajar sastra Arab sampai mahir, dan banyak menghafal Syi‟ir-syi‟ir dari
Imru‟ul qais, Zuhaer dan Jarir. Dengan mempelajari Sastra Arab, beliau terdorong
untuk memahami kandungan Alqur‟an yang berbahasa Arab, yang fasih, yang asli
29Akrom Yusuf Umar al-Qowasimi, Al-Madkhol Ila Mazhab Al-Imam As-Syafi‟i, (Jordan:
Dar an-Nafa‟is, 2003), hlm., 41 30Ibid, hlm., 42 31Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung Persada
Press, 2011), hlm., 135
-
24
dan murni. Imam syafi‟i menjadi orang terpercaya dalam soal syi‟ir-syi‟ir kaum
Huzail.
Imam Syafi‟i belajar hadits dari Imam Malik di Madinah. Dalam usia 13
tahun ia telah dapat menghafal al-Muwatha‟. Ia mengahafal seluruh isi kitab
Muwatha‟ selama sembilan hari32
Menurut Khudhari Bek, sebelum Imam Syafi‟i pergi ke Baghdad, ia telah
mempelajari hadits dari dua orang ahli hadits kenamaan, yaitu Sufyan bin
„Uyainah di Makkah dan Imam Malik di Madinah. Keduanya merupakan
“Syaikh” Imam Syafi‟i yang terbesar, sekalipun ada “Syaikh” lainnya.
Imam Syafi‟i belajar fiqh dari Khalid al-Zanjiy seorang mufti Makkah.
Kemudian ia ke Madinah dan menjadi murid Imam Malik serta mempelajari al-
Muwatha‟ yang telah dihafalnya, sehingga Imam Malik menilai bahwa Imam
Syafi‟i termasuk orang yang sangat cerdas dan kuat ingatannya. Oleh sebab itu
Imam Malik sangat mengormati dan dekat dengannya.
Menurut Ibn Hajar al-„Asqalany, selain kepada Muslim ibn Khalid al-
Zanjiy, Malik dan Sufyan ibn „Uyainah, Imam Syaf‟i belajar pula kepada Ibrahim
ibn Sa‟id ibn Salim al qadah, al-Darawardiy, Abd Wahhab al-Tsaqofiy, Ibn
„Ulayyah, Abu Damrah, Hatim ibn Isma‟il, Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi
Yahya, Isma‟il ibn Ja‟far, Muhammad ibn Khalid al-Jundiy, Umar ibn
Muhammad ibn „Ali ibn Syafi‟i, „Athaf ibn Khalid al-Mahzumiy, Hisyam ibn
Yusuf al-Shan‟any, dan sejumlah ulama lainnya33.
32 Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Alkaff, Attaqriirotu al-Sadiidah fii al-
Masaaili al-Mufiidah, (Surabaya; Dar al-„Ulum al-Islamiyah, 2004), hlm., 31 33 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung
Persada Press, 2011),, hlm., 137
-
25
Imam Syafi‟i belajar kepada Imam Malik, dan belajar pula kepada
muridnya Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibany. Imam
Syafi‟i mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab,
di samping pengetahuan hadits yang ia peroleh dari beberapa negeri. Sedangkan
pengetahuannya dalam bidang fiqh meliputi fiqih Ashab al-Ra‟yi di Irak dan fiqih
Ashab al-Hadits di Hijaz.
2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Syafi’i dalam Menetapkan Hukum Islam
Aliran keagamaan Imam Syafi‟i sama seperti Imam-Imam Mazhab34
lainnya, yaitu golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Ahlu al-Sunnah wa al-
Jama‟ah dalam bidang furu‟ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu al-Hadits
dan aliran Ahlu al-Ra‟yi. Imam Syafi‟i termasuk Ahlu al-Hadits. Imam Syafi‟i
pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik, dan pergi ke Irak
untuk menuntut Ilmu kepada Muhammad ibn Hasan, salah seorang murid Imam
Abu Hanifah.
Karena itu, meskipun Imam Syafi‟i digolongkan sebagai seorang yang
beraliran Ahlu al-Hadits, namun pengetahuannya tentang fiqih ahli al-Ra‟yi tentu
akan memberikan pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan hukum35.
Menurut Musthafa al-Siba‟iy bahwa Imam Syafi‟i lah yang meletakkan
dasar pertama tentang kaidah periwayatan hadits, dan ia pula yang
mempertahankan Sunnah melebihi gurunya, yaitu Malik bin Anas. Dalam bidang
34 Imam Mazhab yang dimaksud disini ialah, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam
Hanbali 35 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung
Persada Press, 2011), hlm., 138-139
-
26
hadits, Syafi‟i berbeda dengan Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Menurut Imam
Syafi‟i, apabila suatu hadits sudah shahih sanadnya dan muttashil (bersambung
sanadnya) kepada Nabi Muhammad SAW, maka sudah wajib diamalkan tanpa
harus dikaitkan dengan amalan ahlu al-Madinah, sebagaimana yang disyaratkan
oleh Imam Malik, dan tidak pula perlu ditentukan syarat yang terlalu banyak
dalam penerimaan hadits sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Abu Hanifah.
Karena itu, Imam Syafi‟i dijuluki sebagai Nashir al-Sunnah (penolong sunnah).
Imam Syafi‟i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan Qoul al-
Qadim dan Qaul al-Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya al-Hujjah, yang
dicetuskan di Irak. Qoul Jadid terdapat dalam kitabnya Al-Umm, yang dicetuskan
di Mesir.
Pokok pikiran Imam Syafi‟i dalam mengistinbathkan hukum ialah :
a. Al-Qur‟an dan al-Sunnah
b. Ijma‟
c. Qiyas
Imam Syafi‟i menerim Hadits ahad, namun mensyaratkan beberapa hal,
yaitu ;
1. Perawinya terpercaya, ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak
dipercaya.
2. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
3. Perawinya dhabith (kuat ingatannya).
4. Perawinya benar-benar mendengarkan sendiri hadits itu dari orang yang
menyampaikan kepadanya.
-
27
5. Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu.
3. Karya-karya Imam Syafi’i, Murid-muridnya dan Penyebarannya serta Perkembangan Mazhabnya
Kitab-kitab Imam Syafi‟i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada
muridnya, maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:
1. Kitab Al-Risalah, tentang Ushul fiqih (riwayat rabi‟)
2. Kitab Al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula
sejumlah kitabnya.
a. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila
b. Kitab Khilaf Ali wa Ibn Mas‟ud, sebuah kitab yang menghimpun
permasalahn yang diperselisihkan antara Ali dan dengan Ibn Mas‟ud dan
antara Imam Syafi‟i dengan Abi Hanifah
c. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Syafi‟i
d. Kitab Jama‟i al-„Ilmi
e. Kitab Radd „ala Muhammad Ibn Hasan
f. Kitab Siyar al-Auza‟iy
g. Kitab Ikhtilaf al-Hadits
h. Kitab Ibthalul Istihsan
3. Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Umm yang
dilengkapi dengan sanad-sanadnya
4. Al-Imla‟
5. Al-Amaliy
6. Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya)
-
28
7. Mukhtasar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi‟i)
8. Mukhtasar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi‟i)
9. Kitab Ikhtilaf al-Hadits (penjelasan Imam Syafi‟i tentang Hadits-hadits nabi
SAW)36.
Imam Syafi‟i ketika datang ke Mesir, pada umumnya dikala itu penduduk
Mesir, mengikuti mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Kemudian setelah ia
membukukan kitabnya (qoul jadid), ia mengajarkannya di Masjid „Amr bin „Ash,
maka mulai berkembanglah pemikiran mazhabnya di Mesir, apalagi dikala itu
yang menerima pelajaran darinya banyak dari kalangan ulama‟, seperti;
Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam, Isma‟il ibn Yahya, al-Buwaithi, al-
Rabi‟, al-Jiziy, Asyhab ibn al-Qasim, dan Ibn Mawaz. Mereka adalah ulama yang
berpengaruh di Mesir. Inilah yang mengawali tersiarnya mazhab Syafi‟i sampai
ke seluruh pelosok37.
36 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung
Persada Press, 2011), hlm., 151-152 37 Ibid, hlm., 152-153
-
29
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Wakaf
1. Masa Rasulullah
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena
wakaf disyari‟atkan setelah nabi SAW berhijrah ke Madinah pada tahun kedua
Hijriyyah. Ada dua pendapat yang berkembang dikalangan Fuqoha‟ tentang siapa
yang pertama kali melaksanakan Syari‟at wakaf. Menurut sebagian pendapat
ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah
Rasulullah SAW, ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari
„Amr bin Sa‟ad bin Mu‟ad, ia berkata :
Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa‟ad bin Mu‟ad
berkata : “kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam, orang
-
30
Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor
mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.38
38
Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 4
-
31
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyyah pernah mewakafkan tujuh
kebun kurma di madinah, di antaranya ialah kebun A‟raf, Shafiyah, Dalal,
Barqoh, dan kebun lainnya. Menurut sebagian ulama mengatakan bahwa yang
pertama kali melaksanakan Syari‟at wakaf adalah Umar bin Khattab. Pendapat ini
berdasarkan Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar R.A
-
32
Dari Ibnu Umar R.A berkata39 : “Bahwa sahabat Umar R.A memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah SAW. Untuk
meminta petunjuk. Umar berkata “Hai Rasulullah SAW, saya mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila
engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).
“kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak
dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta” (HR. Muslim).
Kemudian Syari‟at wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin
Khattab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya,
kebun “baihara”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW lainnya, seperti Abu
Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan
kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan
hartanya yang di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur.
Mu‟adz bin Jabbal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar al-
39 Ibid, hlm., 5
-
33
Anshar). Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin
Umar, Zubair bin Awwam, dan „Aisyah Istri Rasulullah SAW. 40
2. Masa Dinasti-Dinasti Islam
Praktek wakaf mejadi lebih luas pada masa dinasti Umayyah dan dinasti
Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf
tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal
untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan
membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan
mahasiswanya. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik
perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk
membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat
baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada
aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya
lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan
baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola,
memelihara, dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau
secara individu atau keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin
Ghar al-Hadhramiy pada masa Khalifah Hisam bin Abdul Malik. Ia sangat
perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga
40Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 5-6
-
34
wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim.
lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam Administrasi wakaf di
Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah
mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di
bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya
disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan
“Shadrul Wuquf” yang mengurus Administrasi dan memilih staf pengelola
lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada dinasti Umayyah dan
Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh Masyarakat, sehingga lembaga
wakaf berkembang searah dengan pengaturan Administrasinya.
B. Pengertian Wakaf
Perkataan waqf menjadi wakaf dalam bahasa indonesia, berasal dari kata
kerja bahasa Arab „‟waqofa-yaqifu-waqfan‟‟ berarti “ragu-ragu, berhenti,
memberhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengaitkan, memperlihatkan,
meletakkan, memperhatikan, mengabdi, dan tetap berdiri.‟‟41.
Wakaf menurut Imam Syafi‟i adalah
41
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm. 127
-
35
Artinya ; “ Wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan, serta
kekal bendanya dengan tidak melakukan tindakan hukum terhadap harta
benda wakaf tersebut, disalurkan kepada sesuatu yang diperbolehkan
yang ada ”.42
Berdasarkan pengertian di atas, bahwa wakaf berpindah status
kepemilikan dari orang yang berwakaf kepada si penerima wakaf. Namun si
penerima wakaf itu tidak diperbolehkan melakukan tindakan hukum terhadap
harta benda wakaf tersebut, seperti menjual, mewariskan, menghibahkan, atau
yang lainnya.
Wakaf menurut Imam Hanafi adalah, penghentian benda tidak bergerak
dari kepemilikan si waqif secara umum, dan menyedekahkan manfaatnya secara
umum. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Qadir karya Ibnu Hammam,
mengenai pendapat Imam Abu Hanifah
43
Artinya ; “Abu Hanifah berkata, tidak hilang kepemilikan si Waqif atas
hartanya oleh sebab wakaf kecuali adanya keputusan hakim atau ketika
42 Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, (Beirut : Dar
Al-Kotob Al-Ilmiah, 2009), hlm., 126 43 Imam Kamaluddun Muhammad bin Abdul Wahid al-Syairasy al-Hanafi, Fathul Qodir,
Darul kutub al-Ilmiyah, Cet. ke-I, Juz VI, 2003, hlm., 188
-
36
sebelum ia meninggal dunia, ia mengatakan; “ketika saya meninggal
dunia, saya akan mewakafkan rumah saya.”
Berdasarkan pengertian di atas, Imam Hanafi berpendapat bahwa barang
yang telah di wakafkan tidak lepas dari kepemilikan si Waqif, dan sah bagi waqif
untuk menariknya kembali, serta boleh menjualnya, dengan ketentuan/ Syarat
yang berlaku yang telah di tetapkan oleh Imam hanafi.
Wakaf menurut Malikiyah adalah
44
Artinya ; “ Wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik
berupa sewa kah iya, atau hasilnya, seperti dirham kepada orang yang
berhak menerimanya dengan shighot selama waktu yang dikehendakinya”.
Wakaf menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
adalah;
1. Peraturan Perundang-undangan No. 28 Tahun 1977
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
kelembagaannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam45.
44 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, al-Juz‟u Tsaminu, (Damaskus, Dar
al-Fikr, 1989), hlm., 155 45 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf
-
37
2. Kompilasi Hukum Islam
Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat 1, yaitu
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran Islam.
3. Undang-undang Wakaf No.41 Tahun 2004 dan PP No. 42 Tahun 2006
Wakaf menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 1, Wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/ kesejahteraan umum menurut syariah.
C. Dasar Hukum Wakaf
Ada beberapa Dalil yang menjadi dasar disyari‟atkannya ibadah wakaf
yaitu ;
1. Alqur‟an Q.S al-Hajj : 77
46
“Perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.
Q.S al-Baqarah : 261
46 Kemenag RI, Al-qur‟an dan Terjemah, (Jakarta, Raudhatul Jannah, 2010), hlm., 341
-
38
47
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maga luas Maha Mengetahui”
Q.S Ali Imran : 92
48
“kamu tidak akan memperoleh kebajian, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui”
2. Sunnah Rasulullah SAW
49
Apabila anak adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga
perkara : shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang
mendo‟akan orang tuanya.
47 Ibid, hlm., 44 48 Ibid, hlm., 62 49 H.R Muslim, No. 1631
-
39
50
Dari Ibnu Umar R.A berkata51 : “Bahwa sahabat Umar R.A memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah SAW. Untuk
meminta petunjuk. Umar berkata “Hai Rasulullah SAW, saya mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila
engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).
“kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak
50 Abi abdillah muhammad bin yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah juz 2, Hadits ke
2396, hlm., 801 51 Ibid, hlm., 5
-
40
dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta” (HR. Muslim).
D. Rukun-Rukun dan Syarat Wakaf
1. Rukun-rukun Wakaf
Meskipun para mujtahid berbeda pendapat dalam merumuskan defenisi
wakaf, namun mereka sepakat bahwa dalam pembentukan wakaf diperlukan
beberapa rukun.
Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur pokok
dalam pembentukan sesuatu hal. Perkataan rukun berasal dari bahasa Arab yaitu
“ruknun” yang berarti tiang, penopang, atau sandaran. Sedangkan menurut istilah,
rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perbuatan.
Dengan demikian, tanpa rukun, sesuatu tersebut tidak akan bisa berdiri
tegak. Wakaf sebagai suatu lembaga Islam mempunyai beberapa rukun. Tanpa
adanya rukun-rukun yang telah ditetapkan, wakaf tidak dapat berdiri. Menurut
Abdul wahhab khallaf, rukun Wakaf ada empat macam52;
52Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm. 134-135
-
41
1. Ada orang yang berwakaf atau waqif, yakni pemilik harta benda yang
melakukan tindakan hukum.
2. Ada harta yang diwakafkan atau mauquf bih sebagai objek perbuatan
hukum
3. Ada tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf, disebut dengan
mauquf „alaih
4. Ada pernyataan wakaf dari si waqif yang disebut shighat/ ikrar wakaf.
Begitu pun Imam Ar-Ramli, beliau menyebutkan rukun Wakaf dalam
karyanya yang berjudul Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj bahwa, rukun wakaf
itu ada 4 ;
1. Mauquf,
2. Mauquf „alaih,
3. Shighat,
4. Waqif53.
2. Syarat-syarat wakaf
a. Syarat waqif
Menurut sebagai besar ulama, seorang waqif harus memenuhi syarat-
syarat tertentu. Suatu perwakafan sah dan dapat dilaksanakan apabila waqif
mempunyai kecakapan untuk melakukan “tabarru”, yaitu melepaskan hak milik
tanpa mengharapkan imbalan material.
Orang dapat dikatakan mempunyai kecakapan melakukan “tabarru” dalam
hal perwakafan, apabila orang tersebut merdeka, benar-benar pemilik harta yang
53Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, (Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2009), hlm., 127, Juz 4
-
42
diwakafkan, akal sehat, baligh dan rasyid. Kemampuan melakukan “tabarru”
dalam perbuatan wakaf ini sangat penting,karena wakaf merupakan pelepasan
benda dari pemilikny untuk kepentingan umum.
Oleh karena itu, syarat waqif yang amat penting adalah kecakapan
bertindak. Orang itu telah mampu mempertimbangkan baik buruknya perbuatan
yang dilakukannya, dan benar-benar menjadi pemilik harta yang diwakafkan itu.
Mengenai kecakapan bertindak di dalam buku fiqih-fiqh Islam, ada dua
istilah yang perlu dipahami, yaitu baligh dan rasyid. Baligh dititik beratkan pada
umur, dalam hal ini umumnya ulama berpendapat umur 15 tahun.54
Adapun yang dimaksud denga rasyid adalah cerdas, atau kematangan
dalam bertindak. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, tidak ada wakaf yang
bisa dilakukan oleh orang bodoh atau pailit (bangkrut).
Sedangkan golongan hanafiyyah berpendapat bahwa tidak dapat
dilaksanakan wakaf dari orang yang berhutang dan pailit, kecuali dengan izin
orang yang memberi hutang. Jadi, jelas bahwa suatu perwakafan menjadi sah bila
telah terpenuhi syarat-syarat menjadi waqif (orang yang mewakafkan hartanya).
b. Syarat Mauquf bih
Semua harta yang akan di wakafkan menjadi sah, apabila memenuhi
syarat-syarat tertentu. Adapun Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Harta yang di wakafkan harus mutaqowwim55
54Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm., 135-136 55Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 27
-
43
Sebagian ulama sepakat bahwa harta yang di wakafkan itu harus
mutaqawwam (al mal al-mutaqawwam) adalah barang yang dimiliki itu
boleh dimanfaatkan menurut syari‟at Islam dalam keadaan apapun,
misalnya kitab-kitab dan barang-barang yang tidak bergerak.
Kemudian, benda tersebut dapat di ambil manfaatnya dan dapat
dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tidak habis dipakai.
2) Benda yang di wakafkan harus jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya.
Syarat ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan yang mungkin
terjadi dikemudian hari setelah harta tersebut diwakafkan.
3) Harta yang diwakafkan tersebut benar-benar milik wakif secara sempurna.
4) Benda yang diwakafkan harus kekal.56
c. Syarat Mauquf ‘Alaih (tujuan wakaf)
Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan
diperbolehkan dalam syari‟at Islam. Syarat mauquf „alaih adalah qurbat atau
pendekatan diri kepada Allah. Wakaf adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu yang menjadi objek tujuan
wakafnya haruslah objek kebajikan (Khairi) yang termasuk kedalam pendekatan
diri kepada Allah.
Menurut Sayyid Sabiq dalam karyanya yang berjudul Fiqh al-Sunnah
mengatakan bahwa, wakaf itu ada dua macam yaitu, Wakaf Ahli (Zurri) dan
Wakaf Khairi57.
56Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm., 136-139
-
44
Wakaf ahli adalah wakaf yang diperuntukkan bagi anak cucu atau kaum
kerabat, atau para fakir miskin. Sedangkan wakaf Khairi adalah wakaf yang di
peruntukkan untuk kepentingan umum. Seperti wakaf yang diserahkan untuk
keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah skit, panti asuhan anak
yatim, dan lain sebagainya.58
d. Sighot Wakaf dan Syarat-Syaratnya
Sighat wakaf termasuk salah satu daripada rukun wakaf. Shighot
merupakan pernyataan wakif yang menyerahkan barang yang diwakafkannya.
Sighat wakaf cukup dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qobul dari
mauquf „alaih.
Menurut golongan Hanafiyah dan Hanabilah, meskipun wakaf di tujukan
untuk orang tertentu, tetapi cukup dengan Ijab. Para ulama sepakat bahwa wakaf,
baik mauquf „alaihnya Mu‟ayyan (orang tertentu), maupun ghairu mu‟ayyan
(untuk kepentingan umum) sighatnya cukup dengan Ijab.
Sedangkan golongan Malikiyah, Syafi‟iyyah, dan sebagian dari golongan
Hanabilah berpendapat, jika mauquf „alaihnya mu‟ayyan maka harus dengan Ijab
dan Qabul. Apabila mauquf „alaihnya menolak, maka haknya itu gugur dan dapat
dipindahkan haknya pada orang atau pihak lain59.
57 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), hlm., 378 58 Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 16 59Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm., 146
-
45
Secara garis umum, syarat sahnya sighat ijab, baik berupa ucapan maupun
tulisan ialah60 :
1) Sighat harus munjazah (terjadi seketika/ selesai). Maksudnya ialah shighat
tersebut menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah
sighat ijab diucapkan atau ditulis, misalnya : “saya mewakafkan tanah
saya”, atau ; “saya sedekahkan tanah saya sebagai wakaf”.
2) Sighat tidak diikuti syarat bathil (palsu). Maksudnya ialah syarat yang
menodai atau mencederai dasar wakaf atau meniadakan hukumnya, yakni
kelaziman dan keabadian.
3) Sighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu dengan kata lain bahwa
wakaf tersebut tidak untuk selamanya.
4) Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang
sudah dilakukan.
e. Nazhir wakaf
Nazhir berasal dari kata bahasa Arab yang berasal dari Tashrif
-- Yang mempunyai arti, melihat/ mengawasi61dan
dapat juga diartikan memelihara dan mengelola62. Kata merupakan isim
60Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 59-60 61A.W Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), hlm., 1433
62Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm., 151
-
46
fa‟il dari yang dapat diartikan ke dalam bahasa indonesia yaitu pengawas
(penjaga)63 dan bisa juga di artikan sebagai petugas64.
Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi
wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Adapun syarat-
syarat nazhir itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Para ahli fiqh
menetapkan syarat-syarat yang luwes (pantas dan tidak kaku), seperti hendaklah
orang yang pantas dan layak memikul tugasnya.
Adapun persyaratan Nazhir wakaf yaitu dapat di ungkapkan sebagai
berikut65 ;
1) Syarat moral
a) Paham tentang hukum wakaf, baik dalam tinjauan syari‟ah maupun
perundang-undangan negara RI
b) Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses
pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf
c) Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan
d) Punya kecerdasan, baik emosional maupun spritual
e) Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership
f) Visioner
g) Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan
pemberdayaan
63Ibid, hlm., 151 64 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, (jepara: El-Falah, 2004), hlm., 644 65Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 61-63
-
47
h) Profesional dalam bidang pengelolaan harta
2) Syarat bisnis
a) Mempunyai keinginan
b) Mempunyai pengalaman dan siap utnuk dimagangkan
c) Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya
enterpreneur66.
66 Ibid, hlm., 62-63
-
48
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. PANDANGAN MAZHAB HANAFI DAN SYAFI’I TENTANG KEDUDUKAN BENDA WAKAF
1. Penarikan Harta Wakaf Menurut Hanafiyah
Pada mulanya pemerintah tidak mengatur tata cara orang yang
mewakafkan hartanya, pemeliharaan benda-benda wakaf, serta pengelolaannya
secara lebih efektif dan lebih produktif. Akibat belum adanya pengaturan dari
pemerintah tersebut, seringkali terjadi keadaan-keadaan yang merugikan orang
yang berwakaf.
Hal-hal yang dirasa merugikan masyarakat itu adalah, misalnya:
a. benda-benda wakaf tidak diketahui keadaannya lagi;
b. benda-benda wakaf dijual kembali oleh ahli waris si waqif;
c. benda-benda wakaf menjadi barang sengketa di antara ahli waris;
d. benda-benda yang diwakafkan oleh si wakif bukan miliknya secara
sempurna;
e. benda-benda wakaf yang belum dimanfaatkan sesuai dengan tujuan orang
yang berwakaf.
Lalu, bagaimana hukum Islam memandang tentang problem penarikan
harta wakaf itu sendiri?,
-
49
Menurut Imam Abu Hanifah, wakaf adalah penghentian harta tidak
bergerak dari kepemilikan si waqif secara hukum dan menyedekahkan manfaatnya
untuk kepentingan umum.
Oleh karena itu, barang yang telah di wakafkan tidak harus lepas dari
pemiliknya- si waqif, dan sah bagi si waqif menariknya lagi, serta boleh
menjualnya.
Namun wakaf itu tidak tetap/ boleh ditarik kembali, kecuali dengan salah
satu dari tiga perkara67, yaitu;
Pertama, hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi apabila
terjadi persengketaan antara si waqif dan nazhir.
Kedua, hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif.
Misalnya, si waqif mengatakan, “Jika aku mati, maka aku wakafkan rumahku”,
maka wakaf itu haus dilaksanakna sebagaimana wasiatnya. Dan dilaksanakan
setelah si waqif meninggal dunia, bukan sebelum si waqif meninggal.
Ketiga, apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid, dan
memisahkan dari miliknya, dan ia mengizinkan didalam wakaf tersebut untuk
shalat. Maka, apabila telah ada seseorang shalat di masjid tersebut, niscaya
hilanglah kepemilikan wakaf tersebut dari si waqif.
Dalam hal tersebut, Abu Hanifah mengemukakan 2 dalil. Dalil yang
pertama ialah, Hadits riwayat Daruquthni,
“Dari Ibnu Abbas berkata, bersabda Rasulullah SAW; “Tidak ada
penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah.68” Berkata Ali Rahimahullah69, hadits
67 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, al-Juz‟u Tsaminu, (Damaskus, Dar
al-Fikr, 1989), hlm., 153
-
50
ini tidak disandarkan kepada siapapun kecuali kepada ibnu luhai‟ah dari
saudaranya dan keduanya lemah” (Hadits Riwayat Daruqutni).
Berdasarkan hadits di atas, Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya
wakaf itu adalah mengeluarkan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si waqif,
niscaya hal itu merupakan penahanan dari ketentuan Allah. Karena sesungguhnya,
wakaf itu berkisar antara warisan dan bagian-bagian mereka yang telah
ditentukan.
Tetapi, menurut Al-Zuhaili, hadits ini dengan kelemahannya, tidak
menunjukkan apa yang dimaksud oleh Imam (Abu Hanifah). Karena, makna yang
dimaksudkan oleh Hadits itu adalah, batalnya kebiasaan orang-orang jahiliyah
yang membatasi kewarisan hanya untuk laki-laki dewasa, tidak untuk wanita dan
anak-anak kecil.70
Dalil Imam Abu Hanifah yang kedua ialah,
“Dari Abi „Aun dari Syuraih berkata : “Telah datang Muhammad dengan
menjual Habs”. (Hadits diriwayatkan oleh Baihaqi).
Lalu, Abu Hanifah menyatakan, apabila Rasulullah SAW datang dengan
hal yang demikian (menjual habs atau waqf), maka tidak perlu kita menciptakan
habs atau wakaf yang lain. Sebab, wakaf itu artinya menahan „ain barang yang
68 69 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm., 128 70 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, al-Juz‟u Tsaminu, (Damaskus, Dar
al-Fikr, 1989), hlm., 154
-
51
diwakafkan, sedangkan melepaskan barang yang diwakafkan yaitu tidak
disyari‟atkan dalam Islam71.
2. Penarikan Harta Wakaf Menurut Syafi’iyyah
Syafi‟iyyah berpendapat bahwa, wakaf adalah melepaskan harta yang di
wakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif
tidak boleh melakukan apasaja terhadap benda yang sudah di wakafkan, seperti
perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain,
baik dengan pertukaran ataupun tidak.
Jika waqif wafat, maka harta yang diwakafkannya tersebut tidak dapat
diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang di
wakafkannya kepada mauquf „alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang
mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut.
Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar
memberikannya kepada mauquf „alaih. Karena itu Mazhab Syafi‟i
mendefenisikan Wakaf adalah : “Tidak melakukan tindakan atas suatu benda,
yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya
kepada suatu kebajikan (sosial)”.72
Syafi‟iyyah berpendapat bahwa, benda yang sudah tidak bisa berfungsi,
tetap tidak boleh dijual, ditukar, diganti, dan dipindahkan. Karena dasar wakaf itu
71 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :
Penamadani, 2005), hlm., 129 72
Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 3
-
52
sendiri bersifat abadi. Sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus
dibiarkan sedemikian rupa.
Dasar yang digunakan oleh mereka adalah hadits nabi yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar, dimana dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak
boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.
-
53
73
Nah, Hadits inilah yang menunjukkan bahwa, benda yang di wakafkan itu tidak
boleh dijual pokoknya, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh pula di hibahkan.
Sedangkan hasil wakaf tersebut bisa di shodaqohkan kepada Fuqoro‟, kerabat-
kerabat, budak, sabilillah, musafir, dan tamu-tamu.
B. Analisis Penulis Tentang Penarikan Harta Wakaf
Dari pembahasan di atas, dapat kita ketahui bahwa masing-masing ulama
memiliki dalil dan argumentasi yang kuat mengenai persoalan penarikan harta
benda wakaf tersebut. Baik yang membolehkan maupun yang melarang penarikan
benda wakaf.
Hanafiyah membolehkan penarikan benda wakaf, sedangankan Syaf‟iyyah
melarang penarikan bena wakaf. Namun dalam menyikapi perbedaan ulama
tersebut, perlu adanya sikap yang sesuai dengan situasi yang di hadapi. Dan harus
relevan dengan keadaan yang ada di lingkungan masyarakat.
Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa, melakukan tindakan penarikan harta
yang telah diwakafkan, agaknya sangat bertentangan dengan nilai sosial yang ada
di tengah masyarakat kita, dan itu merupakan perbuatan yang tidak baik.
73 Ibnu Hajar al-„Asqolani, Bulughul Maram, (Surabaya : Dar an-Nisymil Mishriyah, tt),
hlm., 191
-
54
Hal ini selaras pula dengan sebuah Hadits yang menjadi Asas keabadian
manfaat benda wakaf, yang mana hukum tersebut diperpegangi oleh Imam
Syafi‟i, hadits tersebut berbunyi ;
-
55
Dari Ibnu Umar R.A berkata74 : “Bahwa sahabat Umar R.A memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah SAW. Untuk
meminta petunjuk. Umar berkata “Hai Rasulullah SAW, saya mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila
engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).
“kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak
dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta”
Disisi lain, jika harta yang telah di wakafkan tersebut tidak di gunakan
sebagaimana semestinya, dan bertentangan dengan nilai-nilai syari‟at, ataupun
harta wakaf tersebut terbengkalai maka, perbuatan untuk menarik kembali harta
wakaf tidak bisa di halangi. Karena telah melenceng dari tujuan wakaf itu sendiri.
Sebagaimana bunyi daripada salah satu dalil wakaf Yang menyeru untuk
berbuat kebajikan, .
“Perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.
74H.R Muslim, dan disebutkan pula di dalam kitab Ibanatul Ahkam, bahwa hadits ini
muttafaq „alaih
-
56
jika tidak ada kebaikan, maka itu sudah bertentangan dengan dalil wakaf itu
sendiri. Seperti halnya Imam Abu Hanifah yang membolehkan menukar atau
menjual harta wakaf yang sudah tidak memiliki nilai manfaat. karna, kemanfaatan
untuk kebajikan umum lebih baik dibandingkan dengan hanya menjaga benda-
benda tersebut tanpa memiliki kemanfaatan yang lebih nyata.
-
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kedudukan benda yang telah diwakafkan menurut Hanafiyah dan
Syafi‟iyyah
Terjadinya perbedaan pendap at diantara Ulama merupakan hal yang biasa
terjadi. Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui sebabnya terjadi perbedaan
pendapat di kalanan Syafi‟i dan Hanafi mengenai Penarikan Wakaf tersebut.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa harta wakaf tersebut tidak serta merta
lepas dari kepemilikan si wakif dan diperbolehkannya menarik harta wakaf itu
kembali, namun dengan beberapa Syarat;
a. hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi apabila terjadi
persengketaan antara si waqif dan nazhir.
b. hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif.
c. apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid, dan
memisahkan dari miliknya, dan ia mengizinkan didalam wakaf tersebut
untuk shalat.
Sebaliknya Ulama Syafi‟i berpendapat bahwa, harta wakaf sama sekali tak
boleh ditarik. Harta yang telah diwakafkan tersebut bukan lagi miliknya, akan
tetapi telah berubah menjadi milik Allah SWT/ milik Ummat. Itu dikarenakan
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa wakaf adalah menahan harta yang dapat
dimanfaatkan, serta kekal bendanya dengan tidak melakukan tindakan hukum
terhadap harta benda wakaf tersebut.
-
58
B. Saran-saran
Berdasarkan dari kesimpulan di atas, maka penulis akan menyampaikan
beberapa saran sebagai berikut ;
1. Penulis berharap, skripsi ini bisa menambah khazanah keilmuan bagi para
akademisi, agar bisa membuat karya yang lebih lengkap mengenai
perwakafan.
2. Di dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya kita bisa menerapkan nilai-nilai
Syari‟ah, sehingga bisa menjalankan kehidupan sesuai tuntunan. Dan di
dalam menyikapi perbeda