program studi perbandingan mazhab fakultas …repository.uinjambi.ac.id/2881/1/muhammad yassir -...

79
KEDUDUKAN WAKAF DALAM ISLAM STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I SKRIPSI MUHAMMAD YASSIR NIM: SPM 152139 PEMBIMBING: Dr. H. BAHRUL MA’ANI, M. Ag ALHUSNI, S. Ag., M. HI PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 1440 H / 2019

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • KEDUDUKAN WAKAF DALAM ISLAM STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I

    SKRIPSI

    MUHAMMAD YASSIR NIM: SPM 152139

    PEMBIMBING: Dr. H. BAHRUL MA’ANI, M. Ag

    ALHUSNI, S. Ag., M. HI

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

    JAMBI 1440 H / 2019

  • iv

    MOTTO

    1

    “Orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-

    orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan

    Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”. (Surah Ali Imran ayat 134)

    1 Kemenag RI, Al-qur‟an dan Terjemah, (Jakarta, Raudhatul Jannah, 2010), hlm., 67

  • v

    PERSEMBAHAN

    Kupersembahkan skripsi ini kepada Ibunda dan Ayahanda Tercinta,

    Sebagai tanda bakti, hormat dan rasa terima kasih yang tiada terhingga

    Kupersembahkan skripsi ini kepada ayahanda Musthafa Anshori dan Ibunda

    Rogayah Binti Ibrahim yang telah berjuang dengan penuh Keikhlasan, yang telah

    menorehkan segala kasih sayangnya dengan Penuh rasa ketulusan yang tidak

    mengenal lelah dan batas waktu Serta telah mendidik dan mengasuhku dari kecil

    hingga dewasa.

    Adinda tercinta, Muhammad Hanif dan Indah Kamila yang menjadi

    motivasi tersendiri bagiku. Dan juga skripsi ini kupersembahkan kepada Pak buya

    Ahmad Tarmizi & ibu Habibah yang turut memberikan dukungan materi maupun

    non materi. Tiada kata yang bisa di ucapkan, selain ucapan terima kasih untuk

    semuanya.

  • vi

    ABSTRAK Muhammad Yassir, SPM 152139; Kedudukan Wakaf dalam Islam Studi Perbandingan Antara Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i.

    Skripsi yang berjudul, Kedudukan Wakaf Dalam Islam Studi Perbandingan Antara Mazhab Hanafi Dan Mazhab Syafi‟i. Skripsi ini adalah untuk mengungkap bagaimanakah hukum islam menyikapi tentang penarikan harta yang telah d wakafkan, kemudian bagaimana persamaan dan perbedaan ulama tentang kedudukan harta yang telah wakafkan tersebut. Seperti yang di ketahui sekarang bahwa, maraknya penarikan harta yang telah di kalangan masyarakat. Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Mazhab Hanafi membolehkan menarik kembali, menukar, dan menjual benda wakaf dengan ketentuan dan syarat yang berlaku dalam mazhab Hanafi. Sedangkan Mazhab Syafi‟i berpendapat sebaliknya, yaitu tidak memperbolehkan menarik kembali, menukar dan menjual harta wakaf, karena Mazhab Syafi‟i memegang Asas keabadian benda wakaf. Hasil penelitian ini untuk membuka wawasan dan pemahaman baru mengenai perihal wakaf ini, agar bisa menjadi refrensi untuk membandingkan pendapat yang relevan di dalam kondisi problema yang terjadi di tengah masyarakat. Kata Kunci : Hukum Islam, Mazhab, Penarikan Wakaf

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadrat Allah

    SWT atas segala rahmat dan kurnia-Nya. Shalawat dan Salam turut dilimpahkan

    kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang sangat dicintai.

    Alhamdulillah dalam usaha menyelesaikan skripsi ini penulis sentiasa diberi

    nikmat kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

    yang berjudul “Kedudukan Wakaf Dalam Islam Studi Perbandingan Antara

    Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i”.

    Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan

    ilmu syariah dalam bagian perbandingan mazhab dan juga memenuhi sebagian

    persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan

    Perbandingan Mazhab pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan

    Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia.

    Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima

    hambatan dan halangan baik dalam masa pemgumpulan data maupun

    penyusunannya. Situasi yang sulit dari awal hingga akhir membuat penulis

    menambahkan semangat serta usaha & Do‟a untuk menyelesaikan skripsi ini. Dan

    berkat kesabaran dan dukungan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat juga

    diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.

    Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima

    kasih kepada semua pihak yang turut membantu, baik secara langsung maupun

    secara tidak langsung di dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

  • viii

    1) Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA Rektor UIN STS Jambi, Indonesia.

    2) Bapak Dr. AA. Miftah, M. Ag, Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi,

    Indonesia.

    3) Bapak H. Hermanto Harun, Lc, M. HI, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang

    Akademik, Ibu Dr Rahmi Hidayati, S. Ag, M.HI, Wakil Dekan Bidang

    Administrasi Umum, Perancanaan dan Keuangan dan Ibu Dr. Yulianti, S.

    Ag. MHI, Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerjasama di lingkungan

    Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.

    4) AlHusni, S. Ag., M. HI, Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Bapak

    Yudi Armansyah, M. Hum, Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab,

    Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.

    5) Bapak Dr. H. Bahrul Ma‟ani, M.Ag Pembimbing I dan Bapak Al Husni, S.

    Ag., M. HI Pembimbing II skripsi ini yang telah banyak memberi

    masukan, tunjuk ajar dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan

    skripsi ini.

    6) Bapak dan ibu dosen yang telah mengajar sepanjang perkuliahan, asisten

    dosen serta seluruh karyawan dan karyawati yang telah banyak membantu

    dalam memudahkan proses menyusun skripsi di Fakultas Syariah UIN

    STS Jambi, Indonesia.

    7) Teman-teman seperjuanganku di jurusan Perbandingan Mazhab angkatan

    2015 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

    Tiada kata selain ucapan terima kasih. Semoga Allah SWT memberikan

    balasan kebaikan atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis.

  • x

    DAFTAR ISI

    Table of Contents HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

    PERNYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR ......................................... ii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... iii

    MOTTO ................................................................................................................ iv

    PERSEMBAHAN .................................................................................................. v

    ABSTRAK ............................................................................................................ vi

    KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii

    DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

    PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... xii

    DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah 1

    B. Rumusan Masalah 5

    C. Batasan Masalah 5

    D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 6

    1. Tujuan penelitian 6

    2. Kegunaan penelitian 6

    E. Kerangka Teori 6

    F. Tinjauan Pustaka 11

    G. Metode Penelitian 12

    H. Sistematika Penulisan 14

    BAB II PEMBAHASAN

    A. Biografi Imam Abu Hanifah 16

    1. Pendiri Mazhab Hanafi 16

    2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abu Hanifah dalam Menetapkan Hukum Islam 18

    3. Karya Abu Hanifah, Murid-muridnya Serta Penyebaran Dan Perkembangan Mazhabnya 20

  • xi

    B. Biografi Imam Syafi‟i Serta Latar Belakang Pendidikannya 22

    1. Pendiri Mazhab Syafi‟i 22

    2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Syafi‟i dalam Menetapkan Hukum Islam 25

    3. Karya-karya Imam Syafi‟i, Murid-muridnya dan Penyebarannya serta Perkembangan Mazhabnya 27

    BAB III GAMBARAN UMUM

    A. Sejarah Wakaf 29

    1. Masa Rasulullah 29

    2. Masa Dinasti-Dinasti Islam 33

    B. Pengertian Wakaf 34

    C. Dasar Hukum Wakaf 37

    1. Alqur‟an 37

    2. Sunnah Rasulullah SAW 38

    D. Rukun-Rukun dan Syarat Wakaf 40

    1. Rukun-rukun Wakaf 40

    2. Syarat-syarat wakaf 41

    BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    A. PANDANGAN MAZHAB HANAFI DAN SYAFI‟I TENTANG KEDUDUKAN BENDA WAKAF 48

    1. Penarikan Harta Wakaf Menurut Hanafiyah 48

    2. Penarikan Harta Wakaf Menurut Syafi‟iyyah 51

    B Analisis Penulis Tentang Penarikan Harta Wakaf 53

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan 57

    B. Saran-saran 58

    DAFTAR PUSTAKA

    A. Literatur 59

    Lain-Lain 61

  • xii

    PEDOMAN TRANSLITERASI 2

    A kh sy g n

    B d ṣ f w T ż ḍ Q h

    ṡ R ṭ K ˋ

    J z ẓ L y

    ḥ s ʻ M

    â = a panjang î = u panjang û = u panjang Au = Ay =

    2 Departemen Agama RI (Al Hidayah Al-Quran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka),

    Ciputat Timur. Hlm. IV.

  • xiii

    DAFTAR SINGKATAN

    H : Hijriah

    M : Masehi

    Kemenag : Kementerian Agama

    UIN STS : Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin.

    SWT : Subhanahuwata „ala.

    SAW : Sallallahu „alaihiwasallam.

    ra. : Radiallahu „an.

    No. : Nomor.

    Q.S : Al-Quran Surah.

    H.R : Hadits Riwayat

    cet. : Cetakan.

    hlm : Halaman.

    t.t : Tanpa Tahun

    KHI : Kompilasi Hukum Islam

    Depag : Departemen Agama

    RI : Republik Indonesia

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Harta dalam pandangan Islam mempunyai fungsi sosial dan milik

    personal, harta benda yang ada pada seseorang adalah sesuatu yang dipercayakan

    oleh Allah kepada hamba-NYA untuk digunakan sesuai dengan ajaran-Nya.

    Ditengah problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan

    kesejahteraan ekonomi akhir – akhir ini, maka wakaf juga menjadi salah satu

    faktor yang cukup diperhitungkan untuk kesejahteraan ditengah masyarakat, dan

    juga wakaf merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spritual.

    Karena itu, pendefenisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih

    relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting3.

    Wakaf sebagai salah satu ibadah yang memiliki dimensi sosial serta

    penyempurnaan harta bagi umat Islam serta memiliki peran yang signifikan dalam

    berbagai aspek kehidupan. Tidak haya di sisi ekonomi, namun wakaf juga dapat

    menjadi instrumen kebangkitan umat. Secara nyata wakaf bisa mengentaskan

    kemiskinan sekaligus bisa memberdayakan umat.

    Wakaf adalah suatu ibadah yang hukumnya didapati melalui jalan ijtihad.

    Alqur‟an tidak menyatakan secara tegas mengenai aturannya. Namun berdasarkan

    konteks ayat yang dipahami sebagai sebuah amal kebaikan dan menjadi dasar

    utama disyari‟atkannya Wakaf adalah Q.S Ali Imron ayat 92 yang berbunyi ;

    3 Departemen Agama, Paradigma baru wakaf di indonesia, (Jakarta : Direktorat

    Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm. 1

  • 2

    4

    Artinya:

    Ayat Alqur‟an tersebut menurut para ahli dapat digunakan sebagai dasar

    umum Wakaf.

    Wakaf telah dikenal dalam Islam sejak masih ada nabi Muhammad SAW.,

    yaitu sejak beliau hijrah ke madinah, disyari‟atkannya pada tahun kedua

    Hijriyyah. Para ulama berpendapat bahwa peristiwa atau pelaksanaan Wakaf yang

    pertama terjadi ialah Wakaf yang dilaksanakan oleh sahabat Umar bin Khattab

    terhadap tanahnya di Khaibar.

    Wakaf berasal dari bahasa arab, yaitu waqofa-yaqifu-waqfan yang berarti

    „‟berhenti‟‟ atau „‟menahan‟‟

    Dalam peristilahan syara‟ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian

    yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (Tahbisul

    ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum5.

    Menanggapi persoalan kedudukan benda wakaf ulama mazhab berbeda

    pendapat termasuk di dalamnya mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanafi.

    4Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bogor : PT. Syigma Axamedia

    Arkanleema, 2007), Hlm., 62 5Departemen Agama, Paradigma baru wakaf di indonesia, (Jakarta : Direktorat

    Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm. 1

  • 3

    Mazhab Hanafi didirikan oleh Abu Hanifah An-Nu‟man Bin Tsabit Bin

    Zufi At-Tamimi. Ia dilahirkan di kuffah pada tahun 80 H/ 699 M. Abu Hanifah

    menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana.

    Kemudian beliau memperdalam belajar Alqur‟an dan ilmu fiqh, guru Abu

    Hanifah di antaranya adalah Anas Bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail

    Amir dan lain sebagainya, dan dari mereka beliau juga mendalami ilmu hadits.

    Imam Abu Hanifah pernah belajar Fiqih kepada Humad Bin Abu sulaiman, ulama

    yang paling terpandang pada masa itu, tidak kurang dari 18 tahun lamanya.

    Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767 M, pada usia 70 tahun.

    Sepeninggal beliau, ilmu-ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang

    cukup banyak, di antaranya ialah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarok, Waqi‟ bin

    Jarrah ibn Hasan Al-syaibani, dan lain-lain.

    Kitab-kitab karangan imam Abu hanifah di antaranya ialah, Almausuah

    (kitab hadits yang dikumpulkan oleh murid-muridnya), Al-Makharij, kitab ini

    dinisbahkan kepada imam Abu Hanifah diriwayatkan oleh Abu yusuf). Dan Fiqh

    Al-Akbar (Kitab fiqh yang lengkap).6

    Mazhab Syafi‟i di dirikan oleh Imam Abu Abdillah Muhammad Idris Al-

    Qurasy Al-Hasyimi Al-Muthalibi, ia dilahirkan di Gaza palestina tahun 150

    Hijriyah tahun wafat nya Abu Hanifah dan ia meninggal di Mesir tahun 204

    Hijriyah. Setelah meninggal ayah nya di Gaza dan sudah berusia 2 tahun dia

    dibawa oleh ibunya ke mekkah dalam keadaan yatim.

    6 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab Terjemahan Kitab Al-Fiqh „Ala Mazahibil Khamsah, (Jakarta, Penerbit Lentera, 2013), Cet. 28, Hlm. XXV

  • 4

    Di mekkah Imam Syafi‟i belajar dengan seorang ulama ternama dan mufti

    negri mekkah bernama Muslim bin Khalid Al-Zanji. Pada usia 5 tahun beliau

    telah di izinkan oleh gurunya tersebut untuk memberikan fatwa. Kemudian beliau

    berangkat ke Madinah menimba ilmu fiqh dengan Anas bin Malik, dan

    mendengar pengajian muwatha‟ dengan imam malik dan menghafalkan nya pada

    waktu yang sangat singkat sekali yaitu 9 malam, beliau memiliki 2 mazhab dan

    murid yaitu mazhab qadim dan mazhab jadid.

    Dan beliau meninggalkan karya monomental dalam mazhab jadid nya

    yaitu Ar-Risalah kitab Ushul Fiqh pertama dan Al-Umm dalam bidang Fiqh

    Mazhab jadid nya. Beliau juga memiliki murid-murid yang meneruskan

    pemahaman hukum islam nya seperti yusuf bin yahya al-buwaithi,abu ibrahim

    ismail bin yahya al-muzami dan lainnya.7

    Sebagai pendiri mazhab imam Syafi‟i meletakkan dasar-dasar mazhab nya

    pada Al Quran, Sunnah, ijma dan qiyas. Dan tidak menjadikan pendapat sahabat

    sebagai ladasan dalil hukumnya.8

    Para jumhur ulama berpendapat wakaf adalah untuk selama-lamanya dan

    salah satu menjadi syarat sahnya wakaf yang dalam bahasa mereka disebut ta‟bid

    al-waqf ( keabadian benda wakaf ). Hal ini menjadi penting dalam perwakafan.

    Para ulama menjadikan ta‟bid alwaqf sebagai salah satu syarat sahnya wakaf. Jika

    wakaf dilakukan hanya untuk sementara waktu, setelah waktu yang ditentukan

    7 Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu Juz Awal, (Damaskus ; Darul

    Fikri, 1989), Hlm.,35-37 8 Wahbah Az Zhuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu Juz Awal, (Damaskus ; Darul

    Fikri, 1989), Hlm,.36

  • 5

    habis lalu benda yang telah diwakafkan ditarik kembali, maka rasanya tidak cukup

    etis dengan kehidupan bersosial.

    Tentang persoalan wakaf di atas, ada suatu permasalahan yang muncul,

    yaitu menyikapi benda yang telah diwakafkan. Apakah benda yang telah

    diwakafkan boleh ditarik kembali ataukah tidak, benda seperti apakah yang bisa

    diwakafkan, bagaimana pendapat para ulama tentang hal tersebut.

    Fenomena yang terjadi pada saat ini, banyak sekali benda yang telah di

    wakafkan oleh pewakif, namun kemudian di ambil kembali/ ditarik kembali oleh

    ahli warisnya. Lalu, bagaimanakah kedudukan wakaf yang sebenarnya dalam

    islam ini?

    Melihat kondisi tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul

    „‟Kedudukan Wakaf Dalam Islam Studi Perbandingan Antara Mazhab Hanafi Dan

    Mazhab Syafi‟i„‟

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimanakah Kedudukan Benda Yang Telah Diwakafkan Menurut

    Hanfiyah Dan Syafi‟iyyah

    2. Bagaimanakah Persamaan dan Perbedaan Pandangan Antara Hanafiyah Dan

    Syafi‟iyyah Mengenai Kedudukan Benda Wakaf.

    C. Batasan Masalah

    Dalam penelitian ini, agar tidak terjadi perluasan pada pokok pembahasan,

    maka penulis memikirkan perlunya ada batasan masalah. Penulis akan

    memfokuskan kajian tentang kedudukan benda wakaf menurut pandangan mazhab

    hanafi dan mazhab syafi‟i, dengan membatasi pada pembahasan status benda yang

  • 6

    telah diwakafkan, terkhusus penarikan benda wakaf dengan memaparkan dalil-

    dalil hukum menurut Alqur‟an dan Hadits dan pendapat-pendapat 2 mazhab

    tersebut.

    D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan penelitian

    Adapun tujuan dan kegunaan penelitian tentang Kedudukan Wakaf Dalam

    Islam Menurut Mazhab Hanafi Dan Mazhab Syafi‟i dalam penilitian ini adalah

    untuk:

    a. Untuk mengetahui Kedudukan Benda Yang Telah Diwakafkan Menurut

    Mazhab Hanfi Dan Syafi‟i

    b. Untuk mengetahui Persamaan dan Perbedaan Pandangan Antara Mazhab

    Hanafi Dan Syafi‟i Mengenai Kedudukan Benda Wakaf

    2. Kegunaan penelitian

    a. Guna untuk menambah pengetahuan dan pembelajaran yang sangat penting

    untuk kita semua, dan khususnya untuk penulis baik secara teoritis maupun

    praktis tentang penelitian ini.

    b. Sebagai persyaratan guna menyelesaikan program sarjana strata satu (S.1)

    dalam ilmu-ilmu hukum Islam.

    E. Kerangka Teori

    Untuk mempermudah penulis memahami pembahasan di atas, maka

    penulis mengemukakan kerangka teori yang berkaitan dengan judul diatas:

  • 7

    Hukum Islam merupakan istilah Khas Indonesia, karena tidak ditemukan

    dalam Al-Qur‟an maupun Hadits Rasulullah SAW. Istilah hukum Islam

    merupakan terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al-

    syari‟ah al-islamy. Walaupun tidak ditemukan istilah al-hukm al-islamy dalam

    Al-Qur‟an dan As-Sunnah, tapi yang dipakai istilah kata syari‟at yang dalam

    penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh.9

    Para Ulama memiliki pendapat yang berbeda dalam mendefenisikan

    hukum syar‟i ini. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya mengutip pendapat

    pendapat dari Ibnu Hajib menulis:10

    “Hukum (Syar‟i) adalah tuntutan Allah yang berhubungan dengan

    perbuatan orang dewasa dengan kehendak (tuntutan) atau pilihan atau

    adanya kejadian (al-Wadh‟i)”.

    Ulama lain, Abdul Wahab Khalaf, lebih mempertajamkan lagi tentang

    defenisi hukum islam dan membedakan antara defenisi menurut ahli ushul dan

    ahli fiqh:11

    9 Drs. Baharuddin Ahmad, MHI., dan Dr. Illy Yanti, M.Ag., Eksistensi dan Implementasi

    Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar, 2015), hlm. 1. 10 Dr. Badri khaeruman, M.Ag., Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, (Bandung: CV.

    Pustaka Setia, 2010), hlm. 20.

  • 8

    Hukum Syar‟i menurut ahli ushul adalah tuntutan syar‟i (Allah) yang

    berhubungan dengan perbuatan orang dewasa yang berupa perintah, pilihan, atau

    hubungan sesuatu dengan yang lain. Adapun menurut fuqaha adalah bekas atau

    pengaruh yang dikehendaki oleh Khitab Allah dan terwujud dalam bentuk

    perbuatan, seperti wajib, haram, serta boleh (ibahah).

    Di dalam menetapkan suatu masalah maka pasti ada nama rujukan. Nah, di

    dalam hukum islam sendiri jika menetapkan masalah juga ada rujukan yaitu:

    Dalam pengertian ini, kata sumber hanya dapat digunakan untuk Al-

    Qur‟an dan Al-Sunnah. Tentang Ijma‟ ulama, harus dipisahkan antara ijma‟ dalam

    proses yaitu kegiatan melakukan kesepakatan dalam menetapkan hukum, dengan

    ijma‟ ulama dalam arti yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan ulama mujtahid

    dalam kesepakatannya.12

    Kerangka teori yang penulis ambil ialah ;

    1. Al Quran

    13

    kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

    11 Ibid. 12 Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2014), hlm. 189. 13 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bogor : PT. Syigma Axamedia

    Arkanleema, 2007), Hlm., 62

  • 9

    Secara umumnya, ayat tersebut menunjukkan tentang berinfaq dijalan

    kebaikan. Dalam kategori ini, tentulah wakaf termasuk di dalamnya. Karena

    wakaf itu menginfaqkan harta di jalan kebaikan.

    2. Hadist

    14

    Artinya ;Apabila anak adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya,

    kecuali tiga perkara : shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat,

    dan anak sholeh yang mendo‟akan orang tuanya

    Hadis tersebut menjelaskan tentang terputusnya amal manusia ketika

    mereka meninggal dunia, kecuali tiga perkara, dan salah satu di antara tiga

    perkara tersebut ialah sedekah jariah, dan yang termasuk daripada sedekah jariah

    ialah wakaf.

    3. Manfaat benda wakaf

    Manfaat benda wakaf dalam kajian ini adalah, pemanfaatan wakaf atau

    benda wakaf sebagai penunjang ekonomi umat. Dalam berbagai jenis benda yang

    diwakafkan yang bisa dimanfaatkan dan sesuai dengan syari‟at Islam.

    4. Hukum Islam

    14 HR. Muslim, No. 1631

  • 10

    Hukum Islam yang dimaksud dalam penulisan ini adalah kumpulan

    hukum-hukum syara‟ yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci15. Hal ini

    mencakup seluruh hukum-hukum yang wajib sunat haram makruh dan yang di

    bolehkan dan lain sebagai nya. dalam hal pemanfataan ini tidak terlepas dari salah

    satu hukum tersebut.

    5. Mazhab

    Mazhab menurut bahasa adalah tempat pergi yaitu jalan. Menurut istilah

    mazhab ialah hukum-hukum yang mencakup berbagai masalah dari pengertian ini

    dapat dipahami bahwa mazhab adalah aliran hukum tentang berbagai masalah.

    Termasuk di dalam nya persoalan wakaf dengan demikian mazhab Hanafi adalah

    aliran hukum dalam berbagai masalah dari pendapat imam Hanafi dan mazhab

    Syafi‟i adalah aliran hukum terhadap berbagai masalah dari pendapat Imam

    Syafi‟i.

    6. Studi Perbandingan

    Studi perbandingan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kajian tentang

    kedudukan benda wakaf dalam Islam dari segi mazhab Hanafi dan mazhab

    Syafi‟i, hal ini mencakup kajian tentang dasar-dasar pandangan mereka tentang

    15Wahbah al-Zhuhaili, Al wajiz fii usul al fiqh , (Damaskus, Darul Fikri, 1997), hlm ,. 14.

  • 11

    kedudukan benda wakaf mencari persamaan dan perbedaan dalam kesimpulan

    hukum serta penyebab terjadi nya perbedaan pandangan dua mazhab tersebut.

    F. Tinjauan Pustaka

    Tinjauan Pustaka pada penelitian, pada dasarnya untuk mendapatkan

    gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin pernah

    dilakukan oleh penelitian lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak adanya

    pengulangan materi penelitian secara mutlak.

    Sejauh penelitian peneliti terhadap karya-karya ilmiah yang berupa

    pembahasan tentang wakaf secara luas dan umum dibahas didalam karya ilmiah

    namun peneliti belum menemukan karya-karya ilmiah yang membahas secara

    khusus tentang status kedudukan benda wakaf dalam Islam study perbandingan

    menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i melalui penelitian kepustakaan.

    1. Risti Gustina dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Mazhab Syafi‟i

    terhadap undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf (pasal 1, 6, 40,

    dan 41)” hasil penelitiannya adalah berfokus kepada pengaruh Mazhab

    Syafi‟i terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

    berbeda dengan skripsi yang saya bahas yang hanya berfokus tentang

    kedudukan benda wakaf, skripsi dibuat pada tahun 2015.

    2. Irvan Jauhari dalam skripsinya yang berjudul „‟Wakaf Berjangka Dalam

    Perspektif Pemikiran As-Sayid Sabiq Dalam Relevansinya Dengan Aturan

    Wakaf Yang Berlaku Di Indonesia‟‟ hasil penelitiannya yaitu berfokus

    kepada pemikiran sayyid sabiq terhadap wakaf berjangka, dan berbeda

  • 12

    dengan Skripsi yang penulis bahas, penulis membahas tentang kedudukan

    benda wakaf didalam perspektif Hanafiyyah dan Syafi‟iyyah, dan lebih

    dikhususkan kepada penarikan benda wakaf menurut kedua mazhab tersebut

    G. Metode Penelitian

    Dalam penulisan proposal ini penulis menggunakan metode sebagai

    berikut:

    1. Jenis penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

    kepustakaan atau library research, oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk

    menelusuri dan mengkaji bahan-bahan pokok yang ada diliteratur-literatur yang

    relevan dengan kajian yang diangkat.

    Penelitian ini di lakukan karna ada dua pertimbangan.

    Pertama, karena data-data dalam penelitian ini hanya diperoleh melalui

    sumber kepustakaan berupa kitab-kitab dan buku-buku yang di tulis oleh para

    ahli.

    Kedua, karena penelitian ini hanya memfokuskan pada penafsiran dan

    pemahaman peneliti terhadap pandangan ulama-ulama yang membahas masalah

    yang di teliti.

    2. Sumber data

    Sumber data yang digunakan dalam penulisan proposal ini adalah sumber

    data yang diambil dari sumber data primer dan sekunder.

  • 13

    a. Sumber data primer

    Dari hukum Islam, dengan merujuk pada sumber data yang diambil dari

    Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

    Data-data primer dari mazhab Hanafi adalah karya-karya dari Imam

    Hanafi dan karya-karya dari pengikut mazhab Imam Hanafi (Hanafiah), dari data

    yang penulis kumpulkan dalam pembuatan skripsi ini, penulis mengutip pendapat

    Imam Hanafi dari pengikutnya dan dari kitab-kitab Muqorronah, seperti fiqh

    sunnah karya Sayyid Sabiq dan fiqh al-Islami karya Wahbah Azzuhaili.

    Dan data primer dari Mazhab Syafi‟i ialah, kitab-kitab mazhab Syafi‟i

    seperti al umm karya imam Syafi‟i, al majmu‟ karya imam Nawani, tuhfah karya

    Ibnu hajar haitami, nihayah karya Imam Ramli dan kitab-kitab lainnya yang di

    karang oleh pengikut mazhab Syafi‟i ( Syafi‟iyah).

    b. Sumber data sekunder

    Yakni data-data yang diperoleh dari pendapat-pendapat para ulama,

    cendekiawan dan ahli hukum yang sudah disusun dalam sebuah buku. Dengan

    demikian data sekunder yang dijadikan rujukan dalam penyusunan skripsi ini

    adalah: dari hukum Islam, yang didasarkan pada buku-buku fiqh. Dan data

    sekunder dari kedua mazhab tersebut adalah kitab-kitab fiqh yang bukan dari

    kedua mazhab tersebut, namun menceritakan tentang pendapat kedua mazhab

    tersebut, seperti kitab-kitab:

    1) Fiqhul Islam karya Wahbah al-Zuhaili

    2) Fiqh sunnah karya Sayyid Sabiq dan lain-lain sebagainya

  • 14

    H. Sistematika Penulisan

    Skiripsi ini di bagi kepada lima bab. Dan masing-masing bab nya memiliki

    pembahasan-pembahasan tersendiri untuk memudahkan mendapat gambaran

    tentang isi kandungan skripsi ini akan di jelaskan sebagai berikut:

    BAB I : Dalam bab satu ini akan dipaparkan latar belakang masalah,

    perumusan masalah, batasan masalah, tujuan kegunaan dan penelitian, kerangka

    teori, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Setelah itu

    penulis akan melanjutkan bab II

    BAB II : Dalam bab dua ini penulis akan memaprkan gambaran mazhab

    Hanafi dan mazhab Syafi‟i yang memuat pembahasan tentang pendiri mazhab

    Hanafi, ulama-ulama pengembang mazhab Hanafi karya-karyanya dan sumber

    hukum Islam menurut mazhab Hanafi. Demikian juga gambaran umum tentang

    mazhab Syafi‟i yang membuat uraian mazhab Syafi‟i, ulama-ulama pengembang

    karyanya dan sumber hukum Islam menurut mazhab Syafi‟i. Setelah uraian bab

    dua penulis melangkah kepada bab tiga.

    BAB III : Dalam bab tiga ini penulis menyampaikan uraian tentang

    pembahasan umum mengenai wakaf yang mencakup pembahasan, sejarah wakaf,

    pengertian wakaf, dasar hukum wakaf, syarat dan rukun wakaf. Selanjutnya

    pembahasan ini akan di kaji secara hukum Islam pada bab empat dengan

    pendekatan perbandingan mazhab Hanafi dan Syafi‟i pada empat.

    BAB IV: Dalam bab empat ini penulis menyampaikan pembahasan

    tentang pandangan mazhab Hanafi dan Syafi‟i tentang Kedudukan Benda wakaf

    yang mencakup, pandangan mazhab Hanafi tentang Kedudukan benda wakaf,

  • 15

    pandangan mazhab Syafi‟i tentang kedudukan benda wakaf, titik kesamaan dan

    perbedaan dua mazhab, sebab terjadinya dua pendapat mazhab. Untuk menutup

    uraian semua tersebut penulis akan mengakhiri tulisan ini dengan bab lima.

    BAB V : Dalam bab lima ini penulis akan menjadikannya bab penutup

    yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata penutup.

  • 16

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Biografi Imam Abu Hanifah

    1. Pendiri Mazhab Hanafi

    Imam Hanafi dilahirkan di kota kuffah pada tahun 80 hijriyyah (699

    Masehi), pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan16. Nama kecil Abu

    Hanifah ialah Nu‟man Bin Tsabit Bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai

    pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali Bin Abi Thalib, Imam Ali

    bahkan pernah berdo‟a bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya,

    tak heran jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang ulama besar

    seperti Abu Hanifah17.

    Imam Hanafi adalah pendiri Mazhab Hanafi yang terkenal dengan “al-

    Imam al-A‟zham‟‟ ( ) yang berarti imam terbesar.

    Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena ia

    mempunyai seorang putra yang bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak

    menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (bapak/ Ayah),

    sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah18.

    Tetapi menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah, karena ia berteman

    dengan tinta, dan kata Hanifah ( , menurut bahasa Arab berarti tinta. Abu

    16 Abdul Aziz Asy-Syinawi, Al-Aimah Al-Arba‟ah, yang di alih bahasakan oleh Abdul

    Majid, Arif mahmudi, Abbas Sungkar dengan judul Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta : Ummul Qura, 2016), hlm. 57

    17 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab Terjemahan Kitab Al-Fiqh „Ala Mazahibil Khamsah, (Jakarta : Penerbit Lentera, 2013), Cet. 28, Hlm. XXV

    18 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung

    Persada Press, 2011), hlm., 105-106

  • 17

    Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan

    yang diperoleh dari teman-temannya.

    Abu Hanifah dikenal dengan sangat rajin belajar, taat ibadah dan sungguh-

    sungguh dalam mengerjakan kewajiban agama. Kata Hanif ( ) dalam bahasa

    arab berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Abu hanifah pada

    mulanya gemar belajar ilmu qiro‟at, hadits, nahwu, sastra, syi‟ir, teologi, dan

    ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang

    diminatinya ialah teologi, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang

    dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis

    serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.

    Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu

    itu pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di irak terdapat

    Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas‟ud (wafat 63 H/ 682 M).

    Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih Ibrahim al-Nakha‟i, lalu

    Hammad Ibn Abi Sulaiman al-Asy‟ari (wafat 120 H). Hammad Ibn Sulaiman

    adalah salah seorang Imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari „Alqomah

    Ibn Qais dan al-Qadhi Syuiah, keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang

    terkenal di kufah dari golongan tabi‟in. Dari Hammad ibn Sulaiman itulah Abu

    Hanifah belajar fiqih dan hadits. Sepeninggal Hammad, Majelis Madrasah Kufah

    sepakat mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala Madrasah19.

    Adapun guru-guru Imam Abu hanifah yang banyak jasanya dan selalu dan

    selalu memberi nasihat kepadanya, antara lain adalah: Imam Amir ibn Syahril al-

    19 Ibid, hlm., 106-107

  • 18

    Sya‟bi dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy‟ari. Ia mempelajari qiro‟at dan tajwid

    dari Idris „Ashim. Beliau sangat rajin dan selalu taat serta patuh pada perintah

    gurunya20.

    Abu hanifah juga berguru kepada Ikrimah murid Ibn Abbas, Nafik, murid

    Abdullah Bin Umar, dan Atha‟ bin Rabah, ahli fiqih Mekah. Abu Hanifah juga

    berguru kepada Zaid bin Ali, Muhammad Al-Baqir, dan Abu Muhammad

    Abdullah bin Hasan, ketiga orang ini adalah orang-orang yang terpercaya di

    bidang ilmu fiqih21.

    2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abu Hanifah dalam Menetapkan Hukum Islam

    Menurut sejarawan, bahwa pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan

    Abbasiyah, Abu Hanifah pernah ditawari beberapa jabatan resmi, seperti di kufah

    yang ditawarkan oleh Yazid bin Umar (Pembesar kerajaan), akan tetapi Abu

    Hanifah menolaknya. Pada masa dinasti Abbasiyah, Abu ja‟far al-Manshur pernah

    pula meminta kedatangannya di baghdad untuk diberi jabatan sebagai hakim,

    namun ia menolaknya. Akibat penolakan itu ia dipenjarakan sampai meninggal

    dunia22.

    Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18

    tahun pada dinasti Abbasiyah. Alih kekuasaan dari umayyah yang runtuh kepada

    20 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung

    Persada Press, 2011), hlm., 107 21 Abdul Aziz Asy-Syinawi, Al-Aimah Al-Arba‟ah, yang di alih bahasakan oleh Abdul

    Majid, Arif mahmudi, Abbas Sungkar dengan judul Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta : Ummul Qura, 2016), hlm., 38

    22 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2011), hlm., 107-108

  • 19

    Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum

    pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh Khalifah kedua

    Abbasiyah, Abu Ja‟far Al-Manshur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan tahun

    762 M.

    Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra‟yi. Dalam menetapkan

    hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari Alqur‟an ataupun hadits, beliau

    banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra‟yi dari Khabar ahad.

    Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan

    jalan qiyas dan istihsan.

    Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan

    beliau sendiri, “Sesungguhnya saya mengambil kitab suci Al-Qur‟an dalam

    menetapkan hukum, apabila tidak didapatkan dalam Al-qur‟an, maka saya

    mengambil Sunnah Rasul SAW yang Shahih dan tersiar dikalangan orang-orang

    terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari keduanya, maka saya mengambil

    pendapat orang-orang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak

    keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim al-

    Sya‟by, Hasan ibn Sirin dan Sa‟id ibn Musayyab, maka saya berijtihad

    sebagaimana mereka ber-ijtihad”.23

    Abu hanifah tidak fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan,

    inilah “Inilah pendapat saya, dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang

    lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang paling benar”.

    23 Ibid, hlm., 108-109

  • 20

    Dari keterangan di atas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam

    beristidlal atau menetapkan hukum syara‟ yang tidak ditetapkan dalalahnya

    secara qath‟iy dari Al-Qur‟an atau dari hadits yang diragukan keshahihannya, ia

    selalu menggunakan ra‟yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadits. Imam Abu

    Hanifah memperhatikan mu‟amalat manusia, adat istiadat serta „urf mereka.

    Beliau berpegang kepada qiyas dan apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan

    qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak,

    maka beliau berpegang kepada adat dan „urf.

    Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan

    hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal

    Rasul SAW, yang banyak mengetahui hadits. Di samping itu, kufah sebagai kota

    yang berada di tengah kebudayaan persia, kondisi kemasyarakatannya telah

    mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul

    problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya, karena

    problem itu belum pernah terjadi di zaman Nabi, atau zaman Sahabat dan Tabi‟in,

    maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra‟yi. Hal inilah penyebab

    perbedaan perkembangan pemikiran hukum di Kufah (Irak) dengan di Madinah

    (Hijaz).24

    3. Karya Abu Hanifah, Murid-muridnya Serta Penyebaran Dan Perkembangan Mazhabnya

    Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu; Fiqh al-Akbar, al-„Alim

    wa al-Muta‟alim dan Musnad fiqh al-Akbar. Abu Hanifah juga membentuk badan

    24 Ibid, hlm., 110

  • 21

    yang terdiri tokoh-tokoh cendikiawan dan ia sendiri sebagai ketuanya. Badan ini

    berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam dalam bentuk tulisan

    dan mengalihkan Syari‟at Islam ke dalam undang-undang.

    Karya-karya Imam Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwa beliau

    maupun ijtihad-ijtihadnya semasa beliau masih hidup belum dikodifikasikan. Lalu

    setelah beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan

    pengikut-pengikutnya sehingga menjadi mazhab ahli ra‟yi yang hidup dan

    berkembang. Madrasah ini kemudian dikenal dengan beberapa nama, yaitu

    madrasah Hanafi dan madrasah ahli ra‟yi, disamping namanya menurut versi

    sejarah hukum islam sebagai “Madrasah Kufah”.25

    Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kufah dan

    membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam adalah ;

    1. Abu Yusuf Ya‟qub ibn Ibrahim al-Anshary (113-182 H).

    2. Muhammad ibn Hasan al-Syaibany (132-189 H)

    3. Zufar ibn Huzail ibn al-Kufy (110-158)

    4. Al-Hasan ibn Ziyad al-Lu‟lu‟iy (133-204)

    Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah pikiran Abu

    Hanifah adalah Muhammad al-Syaibany yang terkenal dengan al-Kutub al-Sittah

    (enam kitab), yaitu;

    1. Kitab al-Mabsuth

    2. Kitab al-Ziyadat

    3. Kitab al-Jami‟ al-Shaghir

    25

    Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2011), hlm., 112

  • 22

    4. Kitab al-Jami‟ al-Kabir

    5. Kitab al-Sair al-Shaghir

    6. Kitab al-Sair al-Kabir

    Disamping itu, muridnya yang bernama Abu Yusuf yang menjadi Qadhy

    al-Qudhat di zaman Khilafah Harun al-Rasyid, menulis kitab al-Kharaj yang

    membahas tentang hukum yang berhubungan dengan pajak tanah.26

    Dengan karya-karya tersebut, Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh

    besar dalam dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunni. Para

    pengikutnya tersebar di berbagai negara, seperti Irak, Turky, Asia Tengah,

    Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syria, Mesir, dan Lebanon.

    Mazhab Hanafi pada masa Khilafah Bani Abbas merupakan mazhab yang

    paling banyak di antut oleh umat Islam dan pada pemerintahan kerajaan Utsmani,

    mazhab ini merupakan mazhab resmi negara. Sekarang penganut mazhab ini tetap

    termasuk golongan mayoritas, di samping mazhab Syafi‟i27.

    B. Biografi Imam Syafi’i Serta Latar Belakang Pendidikannya

    1. Pendiri Mazhab Syafi’i

    Pendiri Mazhab Syafi‟i ialah, Imam Syafi‟i, beliau adalah Imam Abu

    Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin „Ustman bin Syafi‟ bin Sa‟ib bin

    „Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin „Abdu Manaf Al-Mutholibi

    al-Qurosyy, beliau di kuniahkan dengan Abu Abdillah.28

    26 Ibid, hlm., 113 27 Ibid, 113-114 28 Akrom Yusuf Umar al-Qowasimi, Al-Madkhol Ila Mazhab Al-Imam As-Syafi‟i,

    (Jordan: Dar an-Nafa‟is, 2003), hlm., 34

  • 23

    Imam Syafi‟i memiliki garis keturunan yang bagus karena Nasab Imam

    Syafi‟i bertemu dengan nasabnya Rasulullah SAW pada datuknya yang bernama

    „Abdu Manaf bin Qushoi. Ada pelajaran yang sangat indah untuk dipetik pada

    kehidupan Imam Syafi‟i ketika kecil, pertama; Tidak lama setelah lahirnya Imam

    Syafi‟i, Ayahnya meninggal dunia, lalu Imam Syafi‟i hidup dalam keadaan yatim,

    kedua; Imam Syafi‟i tidak hidup dalam keluarga yang sangat „Alim, namun

    ibunya adalah seorang yang sangat cinta dengan „Ilmu, ketiga; dimasa kecilnya,

    Imam Syafi‟i hidup dalam keadaan faqir.29 Begitulah kehidupan Imam Syafi‟i

    ketika kecil, namun beliau memiliki seorang ibu yang shalehah.

    Imam Syafi‟i dilahirkan pada tahun 150 H, disebuah daerah yang bernama

    ghaza, palestina30. Imam Syafi‟i dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan fakir.

    Dalam asuhan ibunya, ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur 7 tahun sudah

    dapat menghafal Al-Qur‟an. Ia mempelajari Al-Qur‟an pada Isma‟il ibn

    Qasthanthin, qori‟ kota mekkah31.

    Untuk mempelajari bahasa Arab, Imam Syafi‟i pergi kesebuah desa yang

    bernama Huzail, karena disana terdapat pengajar-pengajar bahasa Arab yang fasih

    dan asli. Imam Syafi‟i tinggal di Huzail kurang lebih selama 10 tahun. Dan disana

    beliau belajar sastra Arab sampai mahir, dan banyak menghafal Syi‟ir-syi‟ir dari

    Imru‟ul qais, Zuhaer dan Jarir. Dengan mempelajari Sastra Arab, beliau terdorong

    untuk memahami kandungan Alqur‟an yang berbahasa Arab, yang fasih, yang asli

    29Akrom Yusuf Umar al-Qowasimi, Al-Madkhol Ila Mazhab Al-Imam As-Syafi‟i, (Jordan:

    Dar an-Nafa‟is, 2003), hlm., 41 30Ibid, hlm., 42 31Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung Persada

    Press, 2011), hlm., 135

  • 24

    dan murni. Imam syafi‟i menjadi orang terpercaya dalam soal syi‟ir-syi‟ir kaum

    Huzail.

    Imam Syafi‟i belajar hadits dari Imam Malik di Madinah. Dalam usia 13

    tahun ia telah dapat menghafal al-Muwatha‟. Ia mengahafal seluruh isi kitab

    Muwatha‟ selama sembilan hari32

    Menurut Khudhari Bek, sebelum Imam Syafi‟i pergi ke Baghdad, ia telah

    mempelajari hadits dari dua orang ahli hadits kenamaan, yaitu Sufyan bin

    „Uyainah di Makkah dan Imam Malik di Madinah. Keduanya merupakan

    “Syaikh” Imam Syafi‟i yang terbesar, sekalipun ada “Syaikh” lainnya.

    Imam Syafi‟i belajar fiqh dari Khalid al-Zanjiy seorang mufti Makkah.

    Kemudian ia ke Madinah dan menjadi murid Imam Malik serta mempelajari al-

    Muwatha‟ yang telah dihafalnya, sehingga Imam Malik menilai bahwa Imam

    Syafi‟i termasuk orang yang sangat cerdas dan kuat ingatannya. Oleh sebab itu

    Imam Malik sangat mengormati dan dekat dengannya.

    Menurut Ibn Hajar al-„Asqalany, selain kepada Muslim ibn Khalid al-

    Zanjiy, Malik dan Sufyan ibn „Uyainah, Imam Syaf‟i belajar pula kepada Ibrahim

    ibn Sa‟id ibn Salim al qadah, al-Darawardiy, Abd Wahhab al-Tsaqofiy, Ibn

    „Ulayyah, Abu Damrah, Hatim ibn Isma‟il, Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi

    Yahya, Isma‟il ibn Ja‟far, Muhammad ibn Khalid al-Jundiy, Umar ibn

    Muhammad ibn „Ali ibn Syafi‟i, „Athaf ibn Khalid al-Mahzumiy, Hisyam ibn

    Yusuf al-Shan‟any, dan sejumlah ulama lainnya33.

    32 Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Alkaff, Attaqriirotu al-Sadiidah fii al-

    Masaaili al-Mufiidah, (Surabaya; Dar al-„Ulum al-Islamiyah, 2004), hlm., 31 33 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung

    Persada Press, 2011),, hlm., 137

  • 25

    Imam Syafi‟i belajar kepada Imam Malik, dan belajar pula kepada

    muridnya Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibany. Imam

    Syafi‟i mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab,

    di samping pengetahuan hadits yang ia peroleh dari beberapa negeri. Sedangkan

    pengetahuannya dalam bidang fiqh meliputi fiqih Ashab al-Ra‟yi di Irak dan fiqih

    Ashab al-Hadits di Hijaz.

    2. Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Syafi’i dalam Menetapkan Hukum Islam

    Aliran keagamaan Imam Syafi‟i sama seperti Imam-Imam Mazhab34

    lainnya, yaitu golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Ahlu al-Sunnah wa al-

    Jama‟ah dalam bidang furu‟ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu al-Hadits

    dan aliran Ahlu al-Ra‟yi. Imam Syafi‟i termasuk Ahlu al-Hadits. Imam Syafi‟i

    pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik, dan pergi ke Irak

    untuk menuntut Ilmu kepada Muhammad ibn Hasan, salah seorang murid Imam

    Abu Hanifah.

    Karena itu, meskipun Imam Syafi‟i digolongkan sebagai seorang yang

    beraliran Ahlu al-Hadits, namun pengetahuannya tentang fiqih ahli al-Ra‟yi tentu

    akan memberikan pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan hukum35.

    Menurut Musthafa al-Siba‟iy bahwa Imam Syafi‟i lah yang meletakkan

    dasar pertama tentang kaidah periwayatan hadits, dan ia pula yang

    mempertahankan Sunnah melebihi gurunya, yaitu Malik bin Anas. Dalam bidang

    34 Imam Mazhab yang dimaksud disini ialah, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam

    Hanbali 35 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung

    Persada Press, 2011), hlm., 138-139

  • 26

    hadits, Syafi‟i berbeda dengan Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Menurut Imam

    Syafi‟i, apabila suatu hadits sudah shahih sanadnya dan muttashil (bersambung

    sanadnya) kepada Nabi Muhammad SAW, maka sudah wajib diamalkan tanpa

    harus dikaitkan dengan amalan ahlu al-Madinah, sebagaimana yang disyaratkan

    oleh Imam Malik, dan tidak pula perlu ditentukan syarat yang terlalu banyak

    dalam penerimaan hadits sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Abu Hanifah.

    Karena itu, Imam Syafi‟i dijuluki sebagai Nashir al-Sunnah (penolong sunnah).

    Imam Syafi‟i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan Qoul al-

    Qadim dan Qaul al-Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya al-Hujjah, yang

    dicetuskan di Irak. Qoul Jadid terdapat dalam kitabnya Al-Umm, yang dicetuskan

    di Mesir.

    Pokok pikiran Imam Syafi‟i dalam mengistinbathkan hukum ialah :

    a. Al-Qur‟an dan al-Sunnah

    b. Ijma‟

    c. Qiyas

    Imam Syafi‟i menerim Hadits ahad, namun mensyaratkan beberapa hal,

    yaitu ;

    1. Perawinya terpercaya, ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak

    dipercaya.

    2. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.

    3. Perawinya dhabith (kuat ingatannya).

    4. Perawinya benar-benar mendengarkan sendiri hadits itu dari orang yang

    menyampaikan kepadanya.

  • 27

    5. Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu.

    3. Karya-karya Imam Syafi’i, Murid-muridnya dan Penyebarannya serta Perkembangan Mazhabnya

    Kitab-kitab Imam Syafi‟i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada

    muridnya, maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:

    1. Kitab Al-Risalah, tentang Ushul fiqih (riwayat rabi‟)

    2. Kitab Al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula

    sejumlah kitabnya.

    a. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila

    b. Kitab Khilaf Ali wa Ibn Mas‟ud, sebuah kitab yang menghimpun

    permasalahn yang diperselisihkan antara Ali dan dengan Ibn Mas‟ud dan

    antara Imam Syafi‟i dengan Abi Hanifah

    c. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Syafi‟i

    d. Kitab Jama‟i al-„Ilmi

    e. Kitab Radd „ala Muhammad Ibn Hasan

    f. Kitab Siyar al-Auza‟iy

    g. Kitab Ikhtilaf al-Hadits

    h. Kitab Ibthalul Istihsan

    3. Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Umm yang

    dilengkapi dengan sanad-sanadnya

    4. Al-Imla‟

    5. Al-Amaliy

    6. Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya)

  • 28

    7. Mukhtasar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi‟i)

    8. Mukhtasar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi‟i)

    9. Kitab Ikhtilaf al-Hadits (penjelasan Imam Syafi‟i tentang Hadits-hadits nabi

    SAW)36.

    Imam Syafi‟i ketika datang ke Mesir, pada umumnya dikala itu penduduk

    Mesir, mengikuti mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Kemudian setelah ia

    membukukan kitabnya (qoul jadid), ia mengajarkannya di Masjid „Amr bin „Ash,

    maka mulai berkembanglah pemikiran mazhabnya di Mesir, apalagi dikala itu

    yang menerima pelajaran darinya banyak dari kalangan ulama‟, seperti;

    Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam, Isma‟il ibn Yahya, al-Buwaithi, al-

    Rabi‟, al-Jiziy, Asyhab ibn al-Qasim, dan Ibn Mawaz. Mereka adalah ulama yang

    berpengaruh di Mesir. Inilah yang mengawali tersiarnya mazhab Syafi‟i sampai

    ke seluruh pelosok37.

    36 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung

    Persada Press, 2011), hlm., 151-152 37 Ibid, hlm., 152-153

  • 29

    BAB III

    GAMBARAN UMUM

    A. Sejarah Wakaf

    1. Masa Rasulullah

    Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena

    wakaf disyari‟atkan setelah nabi SAW berhijrah ke Madinah pada tahun kedua

    Hijriyyah. Ada dua pendapat yang berkembang dikalangan Fuqoha‟ tentang siapa

    yang pertama kali melaksanakan Syari‟at wakaf. Menurut sebagian pendapat

    ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah

    Rasulullah SAW, ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

    Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari

    „Amr bin Sa‟ad bin Mu‟ad, ia berkata :

    Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa‟ad bin Mu‟ad

    berkata : “kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam, orang

  • 30

    Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor

    mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.38

    38

    Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 4

  • 31

    Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyyah pernah mewakafkan tujuh

    kebun kurma di madinah, di antaranya ialah kebun A‟raf, Shafiyah, Dalal,

    Barqoh, dan kebun lainnya. Menurut sebagian ulama mengatakan bahwa yang

    pertama kali melaksanakan Syari‟at wakaf adalah Umar bin Khattab. Pendapat ini

    berdasarkan Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar R.A

  • 32

    Dari Ibnu Umar R.A berkata39 : “Bahwa sahabat Umar R.A memperoleh

    sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah SAW. Untuk

    meminta petunjuk. Umar berkata “Hai Rasulullah SAW, saya mendapatkan

    sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka

    apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila

    engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).

    “kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak

    dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar

    menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum

    kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi

    yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik

    (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud

    menumpuk harta” (HR. Muslim).

    Kemudian Syari‟at wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin

    Khattab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya,

    kebun “baihara”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW lainnya, seperti Abu

    Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan

    kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan

    hartanya yang di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur.

    Mu‟adz bin Jabbal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar al-

    39 Ibid, hlm., 5

  • 33

    Anshar). Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin

    Umar, Zubair bin Awwam, dan „Aisyah Istri Rasulullah SAW. 40

    2. Masa Dinasti-Dinasti Islam

    Praktek wakaf mejadi lebih luas pada masa dinasti Umayyah dan dinasti

    Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf

    tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal

    untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan

    membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan

    mahasiswanya. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik

    perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk

    membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

    Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat

    baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada

    aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya

    lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan

    baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola,

    memelihara, dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau

    secara individu atau keluarga.

    Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin

    Ghar al-Hadhramiy pada masa Khalifah Hisam bin Abdul Malik. Ia sangat

    perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga

    40Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf

    Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 5-6

  • 34

    wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim.

    lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam Administrasi wakaf di

    Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah

    mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di

    bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya

    disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

    Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan

    “Shadrul Wuquf” yang mengurus Administrasi dan memilih staf pengelola

    lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada dinasti Umayyah dan

    Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh Masyarakat, sehingga lembaga

    wakaf berkembang searah dengan pengaturan Administrasinya.

    B. Pengertian Wakaf

    Perkataan waqf menjadi wakaf dalam bahasa indonesia, berasal dari kata

    kerja bahasa Arab „‟waqofa-yaqifu-waqfan‟‟ berarti “ragu-ragu, berhenti,

    memberhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengaitkan, memperlihatkan,

    meletakkan, memperhatikan, mengabdi, dan tetap berdiri.‟‟41.

    Wakaf menurut Imam Syafi‟i adalah

    41

    Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm. 127

  • 35

    Artinya ; “ Wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan, serta

    kekal bendanya dengan tidak melakukan tindakan hukum terhadap harta

    benda wakaf tersebut, disalurkan kepada sesuatu yang diperbolehkan

    yang ada ”.42

    Berdasarkan pengertian di atas, bahwa wakaf berpindah status

    kepemilikan dari orang yang berwakaf kepada si penerima wakaf. Namun si

    penerima wakaf itu tidak diperbolehkan melakukan tindakan hukum terhadap

    harta benda wakaf tersebut, seperti menjual, mewariskan, menghibahkan, atau

    yang lainnya.

    Wakaf menurut Imam Hanafi adalah, penghentian benda tidak bergerak

    dari kepemilikan si waqif secara umum, dan menyedekahkan manfaatnya secara

    umum. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Qadir karya Ibnu Hammam,

    mengenai pendapat Imam Abu Hanifah

    43

    Artinya ; “Abu Hanifah berkata, tidak hilang kepemilikan si Waqif atas

    hartanya oleh sebab wakaf kecuali adanya keputusan hakim atau ketika

    42 Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, (Beirut : Dar

    Al-Kotob Al-Ilmiah, 2009), hlm., 126 43 Imam Kamaluddun Muhammad bin Abdul Wahid al-Syairasy al-Hanafi, Fathul Qodir,

    Darul kutub al-Ilmiyah, Cet. ke-I, Juz VI, 2003, hlm., 188

  • 36

    sebelum ia meninggal dunia, ia mengatakan; “ketika saya meninggal

    dunia, saya akan mewakafkan rumah saya.”

    Berdasarkan pengertian di atas, Imam Hanafi berpendapat bahwa barang

    yang telah di wakafkan tidak lepas dari kepemilikan si Waqif, dan sah bagi waqif

    untuk menariknya kembali, serta boleh menjualnya, dengan ketentuan/ Syarat

    yang berlaku yang telah di tetapkan oleh Imam hanafi.

    Wakaf menurut Malikiyah adalah

    44

    Artinya ; “ Wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik

    berupa sewa kah iya, atau hasilnya, seperti dirham kepada orang yang

    berhak menerimanya dengan shighot selama waktu yang dikehendakinya”.

    Wakaf menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

    adalah;

    1. Peraturan Perundang-undangan No. 28 Tahun 1977

    Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang

    memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan

    kelembagaannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau

    keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam45.

    44 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, al-Juz‟u Tsaminu, (Damaskus, Dar

    al-Fikr, 1989), hlm., 155 45 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf

  • 37

    2. Kompilasi Hukum Islam

    Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat 1, yaitu

    perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang

    memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

    selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya

    sesuai dengan ajaran Islam.

    3. Undang-undang Wakaf No.41 Tahun 2004 dan PP No. 42 Tahun 2006

    Wakaf menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 1, Wakaf

    adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ menyerahkan

    sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk

    jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan

    ibadah dan/ kesejahteraan umum menurut syariah.

    C. Dasar Hukum Wakaf

    Ada beberapa Dalil yang menjadi dasar disyari‟atkannya ibadah wakaf

    yaitu ;

    1. Alqur‟an Q.S al-Hajj : 77

    46

    “Perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.

    Q.S al-Baqarah : 261

    46 Kemenag RI, Al-qur‟an dan Terjemah, (Jakarta, Raudhatul Jannah, 2010), hlm., 341

  • 38

    47

    “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maga luas Maha Mengetahui”

    Q.S Ali Imran : 92

    48

    “kamu tidak akan memperoleh kebajian, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui”

    2. Sunnah Rasulullah SAW

    49

    Apabila anak adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga

    perkara : shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang

    mendo‟akan orang tuanya.

    47 Ibid, hlm., 44 48 Ibid, hlm., 62 49 H.R Muslim, No. 1631

  • 39

    50

    Dari Ibnu Umar R.A berkata51 : “Bahwa sahabat Umar R.A memperoleh

    sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah SAW. Untuk

    meminta petunjuk. Umar berkata “Hai Rasulullah SAW, saya mendapatkan

    sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka

    apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila

    engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).

    “kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak

    50 Abi abdillah muhammad bin yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah juz 2, Hadits ke

    2396, hlm., 801 51 Ibid, hlm., 5

  • 40

    dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar

    menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum

    kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi

    yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik

    (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud

    menumpuk harta” (HR. Muslim).

    D. Rukun-Rukun dan Syarat Wakaf

    1. Rukun-rukun Wakaf

    Meskipun para mujtahid berbeda pendapat dalam merumuskan defenisi

    wakaf, namun mereka sepakat bahwa dalam pembentukan wakaf diperlukan

    beberapa rukun.

    Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur pokok

    dalam pembentukan sesuatu hal. Perkataan rukun berasal dari bahasa Arab yaitu

    “ruknun” yang berarti tiang, penopang, atau sandaran. Sedangkan menurut istilah,

    rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perbuatan.

    Dengan demikian, tanpa rukun, sesuatu tersebut tidak akan bisa berdiri

    tegak. Wakaf sebagai suatu lembaga Islam mempunyai beberapa rukun. Tanpa

    adanya rukun-rukun yang telah ditetapkan, wakaf tidak dapat berdiri. Menurut

    Abdul wahhab khallaf, rukun Wakaf ada empat macam52;

    52Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :

    Penamadani, 2005), hlm. 134-135

  • 41

    1. Ada orang yang berwakaf atau waqif, yakni pemilik harta benda yang

    melakukan tindakan hukum.

    2. Ada harta yang diwakafkan atau mauquf bih sebagai objek perbuatan

    hukum

    3. Ada tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf, disebut dengan

    mauquf „alaih

    4. Ada pernyataan wakaf dari si waqif yang disebut shighat/ ikrar wakaf.

    Begitu pun Imam Ar-Ramli, beliau menyebutkan rukun Wakaf dalam

    karyanya yang berjudul Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj bahwa, rukun wakaf

    itu ada 4 ;

    1. Mauquf,

    2. Mauquf „alaih,

    3. Shighat,

    4. Waqif53.

    2. Syarat-syarat wakaf

    a. Syarat waqif

    Menurut sebagai besar ulama, seorang waqif harus memenuhi syarat-

    syarat tertentu. Suatu perwakafan sah dan dapat dilaksanakan apabila waqif

    mempunyai kecakapan untuk melakukan “tabarru”, yaitu melepaskan hak milik

    tanpa mengharapkan imbalan material.

    Orang dapat dikatakan mempunyai kecakapan melakukan “tabarru” dalam

    hal perwakafan, apabila orang tersebut merdeka, benar-benar pemilik harta yang

    53Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, (Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2009), hlm., 127, Juz 4

  • 42

    diwakafkan, akal sehat, baligh dan rasyid. Kemampuan melakukan “tabarru”

    dalam perbuatan wakaf ini sangat penting,karena wakaf merupakan pelepasan

    benda dari pemilikny untuk kepentingan umum.

    Oleh karena itu, syarat waqif yang amat penting adalah kecakapan

    bertindak. Orang itu telah mampu mempertimbangkan baik buruknya perbuatan

    yang dilakukannya, dan benar-benar menjadi pemilik harta yang diwakafkan itu.

    Mengenai kecakapan bertindak di dalam buku fiqih-fiqh Islam, ada dua

    istilah yang perlu dipahami, yaitu baligh dan rasyid. Baligh dititik beratkan pada

    umur, dalam hal ini umumnya ulama berpendapat umur 15 tahun.54

    Adapun yang dimaksud denga rasyid adalah cerdas, atau kematangan

    dalam bertindak. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, tidak ada wakaf yang

    bisa dilakukan oleh orang bodoh atau pailit (bangkrut).

    Sedangkan golongan hanafiyyah berpendapat bahwa tidak dapat

    dilaksanakan wakaf dari orang yang berhutang dan pailit, kecuali dengan izin

    orang yang memberi hutang. Jadi, jelas bahwa suatu perwakafan menjadi sah bila

    telah terpenuhi syarat-syarat menjadi waqif (orang yang mewakafkan hartanya).

    b. Syarat Mauquf bih

    Semua harta yang akan di wakafkan menjadi sah, apabila memenuhi

    syarat-syarat tertentu. Adapun Syarat-syarat tersebut adalah :

    1) Harta yang di wakafkan harus mutaqowwim55

    54Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :

    Penamadani, 2005), hlm., 135-136 55Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf

    Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 27

  • 43

    Sebagian ulama sepakat bahwa harta yang di wakafkan itu harus

    mutaqawwam (al mal al-mutaqawwam) adalah barang yang dimiliki itu

    boleh dimanfaatkan menurut syari‟at Islam dalam keadaan apapun,

    misalnya kitab-kitab dan barang-barang yang tidak bergerak.

    Kemudian, benda tersebut dapat di ambil manfaatnya dan dapat

    dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tidak habis dipakai.

    2) Benda yang di wakafkan harus jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya.

    Syarat ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan yang mungkin

    terjadi dikemudian hari setelah harta tersebut diwakafkan.

    3) Harta yang diwakafkan tersebut benar-benar milik wakif secara sempurna.

    4) Benda yang diwakafkan harus kekal.56

    c. Syarat Mauquf ‘Alaih (tujuan wakaf)

    Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan

    diperbolehkan dalam syari‟at Islam. Syarat mauquf „alaih adalah qurbat atau

    pendekatan diri kepada Allah. Wakaf adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk

    mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu yang menjadi objek tujuan

    wakafnya haruslah objek kebajikan (Khairi) yang termasuk kedalam pendekatan

    diri kepada Allah.

    Menurut Sayyid Sabiq dalam karyanya yang berjudul Fiqh al-Sunnah

    mengatakan bahwa, wakaf itu ada dua macam yaitu, Wakaf Ahli (Zurri) dan

    Wakaf Khairi57.

    56Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :

    Penamadani, 2005), hlm., 136-139

  • 44

    Wakaf ahli adalah wakaf yang diperuntukkan bagi anak cucu atau kaum

    kerabat, atau para fakir miskin. Sedangkan wakaf Khairi adalah wakaf yang di

    peruntukkan untuk kepentingan umum. Seperti wakaf yang diserahkan untuk

    keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah skit, panti asuhan anak

    yatim, dan lain sebagainya.58

    d. Sighot Wakaf dan Syarat-Syaratnya

    Sighat wakaf termasuk salah satu daripada rukun wakaf. Shighot

    merupakan pernyataan wakif yang menyerahkan barang yang diwakafkannya.

    Sighat wakaf cukup dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qobul dari

    mauquf „alaih.

    Menurut golongan Hanafiyah dan Hanabilah, meskipun wakaf di tujukan

    untuk orang tertentu, tetapi cukup dengan Ijab. Para ulama sepakat bahwa wakaf,

    baik mauquf „alaihnya Mu‟ayyan (orang tertentu), maupun ghairu mu‟ayyan

    (untuk kepentingan umum) sighatnya cukup dengan Ijab.

    Sedangkan golongan Malikiyah, Syafi‟iyyah, dan sebagian dari golongan

    Hanabilah berpendapat, jika mauquf „alaihnya mu‟ayyan maka harus dengan Ijab

    dan Qabul. Apabila mauquf „alaihnya menolak, maka haknya itu gugur dan dapat

    dipindahkan haknya pada orang atau pihak lain59.

    57 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), hlm., 378 58 Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan

    Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 16 59Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :

    Penamadani, 2005), hlm., 146

  • 45

    Secara garis umum, syarat sahnya sighat ijab, baik berupa ucapan maupun

    tulisan ialah60 :

    1) Sighat harus munjazah (terjadi seketika/ selesai). Maksudnya ialah shighat

    tersebut menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah

    sighat ijab diucapkan atau ditulis, misalnya : “saya mewakafkan tanah

    saya”, atau ; “saya sedekahkan tanah saya sebagai wakaf”.

    2) Sighat tidak diikuti syarat bathil (palsu). Maksudnya ialah syarat yang

    menodai atau mencederai dasar wakaf atau meniadakan hukumnya, yakni

    kelaziman dan keabadian.

    3) Sighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu dengan kata lain bahwa

    wakaf tersebut tidak untuk selamanya.

    4) Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang

    sudah dilakukan.

    e. Nazhir wakaf

    Nazhir berasal dari kata bahasa Arab yang berasal dari Tashrif

    -- Yang mempunyai arti, melihat/ mengawasi61dan

    dapat juga diartikan memelihara dan mengelola62. Kata merupakan isim

    60Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf

    Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 59-60 61A.W Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,

    1997), hlm., 1433

    62Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm., 151

  • 46

    fa‟il dari yang dapat diartikan ke dalam bahasa indonesia yaitu pengawas

    (penjaga)63 dan bisa juga di artikan sebagai petugas64.

    Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi

    wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Adapun syarat-

    syarat nazhir itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Para ahli fiqh

    menetapkan syarat-syarat yang luwes (pantas dan tidak kaku), seperti hendaklah

    orang yang pantas dan layak memikul tugasnya.

    Adapun persyaratan Nazhir wakaf yaitu dapat di ungkapkan sebagai

    berikut65 ;

    1) Syarat moral

    a) Paham tentang hukum wakaf, baik dalam tinjauan syari‟ah maupun

    perundang-undangan negara RI

    b) Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses

    pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf

    c) Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan

    d) Punya kecerdasan, baik emosional maupun spritual

    e) Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership

    f) Visioner

    g) Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan

    pemberdayaan

    63Ibid, hlm., 151 64 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, (jepara: El-Falah, 2004), hlm., 644 65Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf

    Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 61-63

  • 47

    h) Profesional dalam bidang pengelolaan harta

    2) Syarat bisnis

    a) Mempunyai keinginan

    b) Mempunyai pengalaman dan siap utnuk dimagangkan

    c) Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya

    enterpreneur66.

    66 Ibid, hlm., 62-63

  • 48

    BAB IV

    PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    A. PANDANGAN MAZHAB HANAFI DAN SYAFI’I TENTANG KEDUDUKAN BENDA WAKAF

    1. Penarikan Harta Wakaf Menurut Hanafiyah

    Pada mulanya pemerintah tidak mengatur tata cara orang yang

    mewakafkan hartanya, pemeliharaan benda-benda wakaf, serta pengelolaannya

    secara lebih efektif dan lebih produktif. Akibat belum adanya pengaturan dari

    pemerintah tersebut, seringkali terjadi keadaan-keadaan yang merugikan orang

    yang berwakaf.

    Hal-hal yang dirasa merugikan masyarakat itu adalah, misalnya:

    a. benda-benda wakaf tidak diketahui keadaannya lagi;

    b. benda-benda wakaf dijual kembali oleh ahli waris si waqif;

    c. benda-benda wakaf menjadi barang sengketa di antara ahli waris;

    d. benda-benda yang diwakafkan oleh si wakif bukan miliknya secara

    sempurna;

    e. benda-benda wakaf yang belum dimanfaatkan sesuai dengan tujuan orang

    yang berwakaf.

    Lalu, bagaimana hukum Islam memandang tentang problem penarikan

    harta wakaf itu sendiri?,

  • 49

    Menurut Imam Abu Hanifah, wakaf adalah penghentian harta tidak

    bergerak dari kepemilikan si waqif secara hukum dan menyedekahkan manfaatnya

    untuk kepentingan umum.

    Oleh karena itu, barang yang telah di wakafkan tidak harus lepas dari

    pemiliknya- si waqif, dan sah bagi si waqif menariknya lagi, serta boleh

    menjualnya.

    Namun wakaf itu tidak tetap/ boleh ditarik kembali, kecuali dengan salah

    satu dari tiga perkara67, yaitu;

    Pertama, hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi apabila

    terjadi persengketaan antara si waqif dan nazhir.

    Kedua, hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif.

    Misalnya, si waqif mengatakan, “Jika aku mati, maka aku wakafkan rumahku”,

    maka wakaf itu haus dilaksanakna sebagaimana wasiatnya. Dan dilaksanakan

    setelah si waqif meninggal dunia, bukan sebelum si waqif meninggal.

    Ketiga, apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid, dan

    memisahkan dari miliknya, dan ia mengizinkan didalam wakaf tersebut untuk

    shalat. Maka, apabila telah ada seseorang shalat di masjid tersebut, niscaya

    hilanglah kepemilikan wakaf tersebut dari si waqif.

    Dalam hal tersebut, Abu Hanifah mengemukakan 2 dalil. Dalil yang

    pertama ialah, Hadits riwayat Daruquthni,

    “Dari Ibnu Abbas berkata, bersabda Rasulullah SAW; “Tidak ada

    penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah.68” Berkata Ali Rahimahullah69, hadits

    67 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, al-Juz‟u Tsaminu, (Damaskus, Dar

    al-Fikr, 1989), hlm., 153

  • 50

    ini tidak disandarkan kepada siapapun kecuali kepada ibnu luhai‟ah dari

    saudaranya dan keduanya lemah” (Hadits Riwayat Daruqutni).

    Berdasarkan hadits di atas, Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya

    wakaf itu adalah mengeluarkan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si waqif,

    niscaya hal itu merupakan penahanan dari ketentuan Allah. Karena sesungguhnya,

    wakaf itu berkisar antara warisan dan bagian-bagian mereka yang telah

    ditentukan.

    Tetapi, menurut Al-Zuhaili, hadits ini dengan kelemahannya, tidak

    menunjukkan apa yang dimaksud oleh Imam (Abu Hanifah). Karena, makna yang

    dimaksudkan oleh Hadits itu adalah, batalnya kebiasaan orang-orang jahiliyah

    yang membatasi kewarisan hanya untuk laki-laki dewasa, tidak untuk wanita dan

    anak-anak kecil.70

    Dalil Imam Abu Hanifah yang kedua ialah,

    “Dari Abi „Aun dari Syuraih berkata : “Telah datang Muhammad dengan

    menjual Habs”. (Hadits diriwayatkan oleh Baihaqi).

    Lalu, Abu Hanifah menyatakan, apabila Rasulullah SAW datang dengan

    hal yang demikian (menjual habs atau waqf), maka tidak perlu kita menciptakan

    habs atau wakaf yang lain. Sebab, wakaf itu artinya menahan „ain barang yang

    68 69 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :

    Penamadani, 2005), hlm., 128 70 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, al-Juz‟u Tsaminu, (Damaskus, Dar

    al-Fikr, 1989), hlm., 154

  • 51

    diwakafkan, sedangkan melepaskan barang yang diwakafkan yaitu tidak

    disyari‟atkan dalam Islam71.

    2. Penarikan Harta Wakaf Menurut Syafi’iyyah

    Syafi‟iyyah berpendapat bahwa, wakaf adalah melepaskan harta yang di

    wakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif

    tidak boleh melakukan apasaja terhadap benda yang sudah di wakafkan, seperti

    perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain,

    baik dengan pertukaran ataupun tidak.

    Jika waqif wafat, maka harta yang diwakafkannya tersebut tidak dapat

    diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang di

    wakafkannya kepada mauquf „alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang

    mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut.

    Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar

    memberikannya kepada mauquf „alaih. Karena itu Mazhab Syafi‟i

    mendefenisikan Wakaf adalah : “Tidak melakukan tindakan atas suatu benda,

    yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya

    kepada suatu kebajikan (sosial)”.72

    Syafi‟iyyah berpendapat bahwa, benda yang sudah tidak bisa berfungsi,

    tetap tidak boleh dijual, ditukar, diganti, dan dipindahkan. Karena dasar wakaf itu

    71 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Islam, (Jakarta :

    Penamadani, 2005), hlm., 129 72

    Departemen Agama, Fiqh Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm., 3

  • 52

    sendiri bersifat abadi. Sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus

    dibiarkan sedemikian rupa.

    Dasar yang digunakan oleh mereka adalah hadits nabi yang diriwayatkan

    oleh Ibnu Umar, dimana dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak

    boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.

  • 53

    73

    Nah, Hadits inilah yang menunjukkan bahwa, benda yang di wakafkan itu tidak

    boleh dijual pokoknya, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh pula di hibahkan.

    Sedangkan hasil wakaf tersebut bisa di shodaqohkan kepada Fuqoro‟, kerabat-

    kerabat, budak, sabilillah, musafir, dan tamu-tamu.

    B. Analisis Penulis Tentang Penarikan Harta Wakaf

    Dari pembahasan di atas, dapat kita ketahui bahwa masing-masing ulama

    memiliki dalil dan argumentasi yang kuat mengenai persoalan penarikan harta

    benda wakaf tersebut. Baik yang membolehkan maupun yang melarang penarikan

    benda wakaf.

    Hanafiyah membolehkan penarikan benda wakaf, sedangankan Syaf‟iyyah

    melarang penarikan bena wakaf. Namun dalam menyikapi perbedaan ulama

    tersebut, perlu adanya sikap yang sesuai dengan situasi yang di hadapi. Dan harus

    relevan dengan keadaan yang ada di lingkungan masyarakat.

    Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa, melakukan tindakan penarikan harta

    yang telah diwakafkan, agaknya sangat bertentangan dengan nilai sosial yang ada

    di tengah masyarakat kita, dan itu merupakan perbuatan yang tidak baik.

    73 Ibnu Hajar al-„Asqolani, Bulughul Maram, (Surabaya : Dar an-Nisymil Mishriyah, tt),

    hlm., 191

  • 54

    Hal ini selaras pula dengan sebuah Hadits yang menjadi Asas keabadian

    manfaat benda wakaf, yang mana hukum tersebut diperpegangi oleh Imam

    Syafi‟i, hadits tersebut berbunyi ;

  • 55

    Dari Ibnu Umar R.A berkata74 : “Bahwa sahabat Umar R.A memperoleh

    sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah SAW. Untuk

    meminta petunjuk. Umar berkata “Hai Rasulullah SAW, saya mendapatkan

    sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka

    apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila

    engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).

    “kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak

    dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar

    menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum

    kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi

    yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik

    (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud

    menumpuk harta”

    Disisi lain, jika harta yang telah di wakafkan tersebut tidak di gunakan

    sebagaimana semestinya, dan bertentangan dengan nilai-nilai syari‟at, ataupun

    harta wakaf tersebut terbengkalai maka, perbuatan untuk menarik kembali harta

    wakaf tidak bisa di halangi. Karena telah melenceng dari tujuan wakaf itu sendiri.

    Sebagaimana bunyi daripada salah satu dalil wakaf Yang menyeru untuk

    berbuat kebajikan, .

    “Perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.

    74H.R Muslim, dan disebutkan pula di dalam kitab Ibanatul Ahkam, bahwa hadits ini

    muttafaq „alaih

  • 56

    jika tidak ada kebaikan, maka itu sudah bertentangan dengan dalil wakaf itu

    sendiri. Seperti halnya Imam Abu Hanifah yang membolehkan menukar atau

    menjual harta wakaf yang sudah tidak memiliki nilai manfaat. karna, kemanfaatan

    untuk kebajikan umum lebih baik dibandingkan dengan hanya menjaga benda-

    benda tersebut tanpa memiliki kemanfaatan yang lebih nyata.

  • 57

    BAB V

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    1. Kedudukan benda yang telah diwakafkan menurut Hanafiyah dan

    Syafi‟iyyah

    Terjadinya perbedaan pendap at diantara Ulama merupakan hal yang biasa

    terjadi. Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui sebabnya terjadi perbedaan

    pendapat di kalanan Syafi‟i dan Hanafi mengenai Penarikan Wakaf tersebut.

    Ulama Hanafi berpendapat bahwa harta wakaf tersebut tidak serta merta

    lepas dari kepemilikan si wakif dan diperbolehkannya menarik harta wakaf itu

    kembali, namun dengan beberapa Syarat;

    a. hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi apabila terjadi

    persengketaan antara si waqif dan nazhir.

    b. hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif.

    c. apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid, dan

    memisahkan dari miliknya, dan ia mengizinkan didalam wakaf tersebut

    untuk shalat.

    Sebaliknya Ulama Syafi‟i berpendapat bahwa, harta wakaf sama sekali tak

    boleh ditarik. Harta yang telah diwakafkan tersebut bukan lagi miliknya, akan

    tetapi telah berubah menjadi milik Allah SWT/ milik Ummat. Itu dikarenakan

    Imam Syafi‟i berpendapat bahwa wakaf adalah menahan harta yang dapat

    dimanfaatkan, serta kekal bendanya dengan tidak melakukan tindakan hukum

    terhadap harta benda wakaf tersebut.

  • 58

    B. Saran-saran

    Berdasarkan dari kesimpulan di atas, maka penulis akan menyampaikan

    beberapa saran sebagai berikut ;

    1. Penulis berharap, skripsi ini bisa menambah khazanah keilmuan bagi para

    akademisi, agar bisa membuat karya yang lebih lengkap mengenai

    perwakafan.

    2. Di dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya kita bisa menerapkan nilai-nilai

    Syari‟ah, sehingga bisa menjalankan kehidupan sesuai tuntunan. Dan di

    dalam menyikapi perbeda