makalah hukum taklifi

22
MAKALAH HUKUM TAKLIFI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ushul Fiqh Yang dibimbing oleh: Bpk. H. Sutrisno, R.S, M.Hi Disusun Oleh: Kelompok V Anwar Nuris NIM: 083091011 Ernawati Dewi NIM: 083091013 Faizatul Karimah NIM: 083091014 1

Upload: anwar-nuris

Post on 25-Jun-2015

5.976 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: makalah hukum taklifi

MAKALAH

HUKUM TAKLIFIDiajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ushul Fiqh

Yang dibimbing oleh: Bpk. H. Sutrisno, R.S, M.Hi

Disusun Oleh: Kelompok V

Anwar Nuris NIM: 083091011

Ernawati Dewi NIM: 083091013

Faizatul Karimah NIM: 083091014

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER

JURUSAN SYARIAH

PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

1

Page 2: makalah hukum taklifi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat

lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam

Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi

terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.

Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum

syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh.

Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang

berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang

berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-

sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum

syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang

mukallaf, baik berupa iqtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan),

maupun berupa wadh’i (sebab akibat), yang dimaksud dengan ketetapan Allah

ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan

dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah,

mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan

kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu, kami katakan merupakan

objek pembahasan ilmu Ushul fiqh

Dari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas

tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi.

Keduanya merupakan satu sub bab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,

oleh karena itu disini kami lebih memfokuskan pembahasan kepada Hukum

taklifi yang menjadi tugas utama kami dalam perkuliahan ini .

Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman

dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh, khususnya terhadap Hukum taklifi.

2

Page 3: makalah hukum taklifi

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi hukum Taklifi?

2. Sebutkan dan jelaskan pembagian hukum taklifi !

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Memahami pengertian hukum Takilifi.

2. Memahami pembagian dan macam-macam hukum taklifi.

3

Page 4: makalah hukum taklifi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Taklifi

Secara garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ pada

dua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi menurut

para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan

langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk

melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk member

kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat1.

Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk

melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan

meninggalkan2. Hal senada juga diungkapkan oleh Chaerul Uman dkk, bahwa

hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala

perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir3.

Untuk memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum

wadh’i secara sekilas. Hal ini perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi

dan Hukum Wadh’i mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Wadh’i

adalah hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’

(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi)4.

Jadi, jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah,

larangan atau pilihan antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadh’i

adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi

menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadh’i

menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadi

sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat maghrib.

Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum Taklifi dalam berbagai

macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, sedangkan

1. H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm41 .2 .Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 296.

3 .Chaerul Uman, Ushul Fiqh 1, (bandung: CV Pustak Setia, 1998), hlm. 2164. H. Satria Efendi, Ibid,..

4

Page 5: makalah hukum taklifi

hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan

merupakan aktifitas manusia5.

Contoh, seperti firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk

melakukan sesuatu perbuatan:

Artinya: “Dan dirikanlah Shalat, tunaikan zakat dan taatilah rasul

supaya kamu diberi rahmat”. (QS. An-Nur: 56)6. Ayat ini menunjukkan

kewajiban shalat, menunaikan zakat dan mentaati Rasul. Sedangkan Firman

Allah yang bersifat memilih (fakultatif), yaitu:

Artinya: “ dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari

benang hitam, yaitu fajar”. (QS. Al-Baqarah: 187)7.

2.2 Pembagian Hukum Taklifi Dan Macam-Macam Dari Masing-Masing

Pembagiannya.

Memang di kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaan

istilah dalam menjelaskan spesifikasi hukum taklifi. Seperti rachmat Syafe’i

menggunakan istilah bentuk-bentuk hukum Taklifi, Chaerul Uman dkk

menggunakan pembagian/ macam-macam hukum taklifi. Sedangkan Satria

Efendi lebih menggunakan kata Pembagian untuk menunjuk spesifikasi hukum

Taklifi8. Akan tetapi apapun istilah yang digunakan oleh para penulis tersebut

yang jelas bahwa hukum Taklifi memiliki spesifikasi-spesifikasi yang disebut

dengan pembagian. Masing-masing pembagian tersebut memiliki jenis-jenis

sesuai dengan klasifikasi masing-masing.

Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang

juga disebut dengan maqashid As-Sari’ah al-Khamsah yaitu:

5. Lihat H. Satria Efendi, Ibid,. 6 Rachmat Syafe’i, Ibid,.

7 Ibid.8 Lihat Rachmat Syafe’i, Op. Cit., hlm. 297. Lihat pula Satria Efendi, Op.Cit., hlm. 42 dan

Chaerul Uman, Op. Cit., 219 .

5

Page 6: makalah hukum taklifi

1. Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang

mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang

mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah

sesuatu yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan.

Seperti firman Allah:

Arinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikalah zakat”. (QS. An-Nur:

56).

2. Nadb (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan

yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga

seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya9. Misalnya, surat Al-

Baqarah: 282, Allah SWT berfirman:

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah

tidak secara tunai untik waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya”. (Al-Baqarah: 282).

3. Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti

untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Tahrim

adalah antonim dari wajib. Dikerjakan mendapat siksa/ berdosa

sedangkan ditinggalkan mendapat pahala. Seperti firman Allah:

Artinya: “Diharamkan bagimu ( memakan) bangkai, darah, daging babi

(daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS. Al-

Maidah: 3).

4. Karahah, yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meningalkan

suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Karahah adalah antonim dari

Nadb. Seperti hadits Nabi:

9 Racmat Syafe’i, Op. Cit. Hlm. 298. Yang"

6

Page 7: makalah hukum taklifi

Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata bahwa Nabi SAW. Melarang

untuk membeli suatu barang yang masih dalam tawaran orang lain

daan melarang seseorang untuk meminang seorang wanita yang ada

dalam pinangan orang lain sampai mendapat izin atau telah

dirnggalkannya”. (HR. al-Bukhari)

5. Ibahah, yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk

melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain,

dikerjakan tidak mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga tidak

mendapat apa-apa --disisi Allah. Seperti firman Allah:

Artinya:” Apabila kamu telah selelsai melaksanakan ibadah haji, maka

bolehlah kamu berburu. (QS. Al-Maidah: 2).

Selanjutnya, dari masing-masing pembagian hukum Taklifi tersebut memiliki

pembagian lagi. Pembagian-pembagian tersebut akan kami jelaskan secara rinci

sebagai berikut:

A. Ijab

Sebagaimana yang telah kami singgung di muka, bahwa masing-masing

pembagian hukum Taklifi memiliki pembagian lagi. Termasuk juga Ijab.

Para ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hokum wajib itu bias

dibagi dari berbagai segi, yaitu dilihat dari segi waktunya, wajib dibagi

menjadi dua, yaitu:

1. Wajib Muthlaq, yaitu sesuatu yang dituntut syar’i untuk

dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Mislanya,

kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang

melanggar sumpahnya.

7

Page 8: makalah hukum taklifi

2. Wajib Muwaqqat, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan orang

mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa

Ramadhan. Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.

Demikian halnya puasa Ramadhan, sehingga apabila belum

masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.

Kemudian wajib Muwaqqat dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu10:

1. Wajib Muwassa’ (kewajiban yang mempunyai batas waktu

lapang), yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan

perbuatan yang diwajibkan itu lebih luas dari pada waktu

mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu shalat Dzuhur

lebih luas dari pada waktu mengerjakan shalat Dzuhur.

2. Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang memunyai batas waktu

sempit), yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus

diperuntukkan bagi suatu amalan, dan waktunya itu tidak bisa

digunakan untuk kewajiban lain yang sejenis. Maksudnya,

waktu yang tersedia persis sama dengan waktu mengerjakan

kewajiban itu, seperti puasa bulan Ramadhan.

3. Wajib Dzu Asy-Syibhaini, yaitu kewajiban yang mempunyai

waktu yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk

melakukan amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya,

waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksankan

beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang

diperhitungkan syara’ hanya satu saja. Akan tetapi ulama’

syafi’iyyah berpendapat bahwa untuk ibadah haji, termasuk

dalam wajib muthlaq, karena seseorang boleh melaksanakannya

kapanpun ia mau selama hidupnya. Juga dalam pembahasan

wajib Muwaqqat, ulama’ syafi’iyyah mengemukakan tentang

persoalan ‘Ada’, I’adah dan Qadha11.

‘da’ A menurut Ibnu Hajib adalah melaksanakan suatu amalan

untuk pertamakalinya pada waktu yang diitentukan syara’.

10 Rachmat Syafe’i, Op. Cit. Hlm. 303.11 Op.Cit. hlm 303-304

8

Page 9: makalah hukum taklifi

I’adah adalah suautu amalan yang diekrjakan untuk kedua

kalinya untuk waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang

dikerjakan pertama kali tidak sah atau mengandung uzur.

Qadha’, adalah suatu amalan yang dikerjakan dluar waktu yang

telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Seperti puasa

ramadhan tidak bisa dikerjakan oleh wanita yang haid pada

bulan ramadha itu, tetapi harus menggantinya pada waktu

lainnya.

Chaerul Uman, dkk12 menjelaskan pembagian wajib dari segi

waktunya menjadi dua, yaitu: wajib alal faur dan wajib alat tarakhi.

Wajib ‘Alal Faur adalah apabila telah tercapai semua syarat, wajib segera

dilaksanakan tanpa menunda. Seperti, melaksanakan zakat wajib segera

dikueluarkan apabila haul dan nisab sudah terpenuhi. Sedangkan wajib

‘Alat Tarakhi adalah pelaksanaan kewajiabn itu masih dapat ditunda

selama syarat wajibnya tidak akan hilang dari diri orang yang diwajibkan

untuk melakukan perbuatan itu. Seperti haji.

Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum, dibagi

menjadi dua, yaitu13:

1. Wajib Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap

orang yang sudah baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali.

Misalnya, shalat fardhu lima waktu. Kaitannya dengan wajib

‘Ain, muncul suatu pertanyaan di waktu tidak mampu

melaksanakan sendiri atau telah meninggal dunia, apakah bisa

gugur kewajiban itu dengan dilaksanakan orang lain?. Ulama’

ushul fiqh membagi hal itu menjadi tiga kategori.

Pertama, yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban

membayar zakat atau kewajiban mengembalikan titipan orang

lain kepada pemiliknya. Kewajiban seperti ini disepakati

pelaksanaanya bisa digantikan orang lain; Kedua, kewajiban

dalam bentuk ibadah Mahdhah, seperti Shalat dan Puasa.

Kewajiban seperti ini, disepakati tidak bisa digantikan oleh orang

12 Caherul Uman, dkk, Op. Cit., hlm. 228-22913 Satria Efendi, M. Zein, Op.Cit, hlm. 44-47

9

Page 10: makalah hukum taklifi

lain.; dan Ketiga, kewajiban yang mempnyai dua dimensi, yaitu

dimensi ibadah fisik dan dimensi harta. Dalam hal ini ulama’

berbeda pendapat. Ada yang berpendapat tidak sah digantikan

orang lain, dan yang lainnya yaitu mayoritas ulama’ berpendapat

Haji sah digantikan orang lain14.

2. Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara

kolektif.

Ditinjau dari segi kuantitasnya

1. Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas kadarnya

(jumlahnya).

2. Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan

batas kadarnya.

Ditinjau dari segi kandungan perintah

1. Wajib mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah

tertentu tanpa ada pilihan lain. Seperti membayar zakat.

2. Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari

alternative yang ada. Seperti, membayar kafarat, boleh dengan

member makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian, atau

memerdekakan budak.

B. Nadb (Sunnah)/ mandub, macam-macamnya yaitu:

Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:

1. Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu

dikerjakan oleh Rasul. Seperti, shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah

yang mengiringi shalat fardhu lima waktu.

2. Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib

kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja

ditinggalkan. Seperti, puasa setiap hari senin dan kamis.

3. Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul

sebagai manusia. Seperti, cara makan, cara tidur, dan cara berpakaian

rasul15.

14 Lihat Satria Efendi, M. Zein, Op. Cit. hlm.44-4515 . Rachmat Syafe’i, Op. Cit. hlm.306-307

10

Page 11: makalah hukum taklifi

C. Tahrim (haram), menurut para ulama’ Ushul Fiqh antara lain Abdul

Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:

1. Haram Li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat

karena esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan

manusia, dan kemudharatan itu tidak dapat terpisah dari zatnya.

Misalnya, larangan meminum khamr.

2. Haram Lighairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena

esensinya karena secara esensial tidak mengandung

kemudharaatan, namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang

karena ada pertimbangan eksternal yang membawa pada sesuatu

yang dilarang secara esensial. Seperti, larangan berjual beli/

transaksi bisnis waktu adzan shalat jum’at.

D. Karahah (Makruh), macam-macamnya yaitu:

1. Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan

diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan

siksa. Seperti memakan daging kuda dan meminum susunya dikala

sangat butuh diwaktu peperangan.

2. Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar

hukukmnya tidak pasti. Seperti, larangan mengkhitbah wanita yang

sedang dalam khitbahan orang lain16.

E. Ibahah (kebolehan)/ Mubah. Pembagian mubah menurut Abu Ishaq Asy-

Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi Mubah kepada tiga

macam, yaitu:

1. Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang pada sesuatu hal

yang wajib dilakukan. Misalnya, makan dan minum merupakan

suatu hal yang mubah, namun berfungsi mengantarkan seseorang

sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang telah

dibebankan kepadanya. Seperti, shalat. Demikian Abu Ishaq

Asy-Syatibi dalam menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam

16 Lihat Staria Efendi, Op. Cit., hlm. 58-59

11

Page 12: makalah hukum taklifi

hal memilih makanan halal mana yang akan dimakan. Akan

tetapi seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih antara

makan atau tidak, karena meninggalkan makan samasekali dalam

hal ini akan membahayakan dirinya.

2. Sesuatu baru dianggap Mubah hukumnya bilamana dilakukan

sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.

Seperti, bermain atau mendengarkan nyanyian hukumnya adalah

mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya

menghabiskan waktu hanya untuk bermain atau mendengarkan

nyanyian.

3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk

mencapai sesuatu yang mubah pula. Mislanya, membeli perabot

rumah tangga hanya untuk kepentingan kesenangan (tersier)17.

Pada dasarnya, pembagian mubah didasarkan atas pertimbangan

sejauhmana keterkaitannya dengan kemudharatan atau kemanfaatannya.

Sehingga dua pertimbangan tersebut menyebabkan implikasi hukum

mubah pada hukum lain.

Demikian macam-macam hukum Taklifi serta pembagiannya menurut mayoritas

Fuqahah’. Namun demikian, sebagai bandingan saja, kami sampaikan bentuk-

bentuk hukum taklifi menurut ulama’ Hanafiyah18 sebagai berikut:

1. Iftiradh.

2. Ijab.

3. Ibahah.

4. Karahah Tanziyyah.

5. Karahah Tahrimiyyah.

6. Tahrim.

17 Ibid,,.18 Rachmat Syafe'I, Op. Cit., hlm. 301-302.

12

Page 13: makalah hukum taklifi

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum Taklifi adalah hukum yang berisi perintah, larangan atau pilihan

antara berbuat atau tidak berbuat. Hukum taklifi erat kaitannya dengan maqaashid

syariah yang lima. Yaitu, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Masing-

masing dari kelima tersebut memiliki pembagian ditinjau dari beberapa segi oleh

beberapa imam.

13

Page 14: makalah hukum taklifi

DAFTAR PUSTAKA

H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009 .

Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.

Chaerul Uman, Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustak Setia, 1998.

14

Page 15: makalah hukum taklifi

15