lp bronkiektasis.doc
DESCRIPTION
lpTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
(BRONKIEKTASIS)
Dosen : Yeria Allen, S.Kep.,Ns
DISUSUN OLEH :
1. Neniwandari
2. Ricka Missida
YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
2012
LAPORAN PENDAHULUAN
(BRONKIEKTASIS)
1.1 PENGERTIAN
Bronkiektasis merupakan dilatasi kronik bronkus dan bronkiulus permanen. dilatasi
bronkus ini bisa setempat (focal) dengan melibatkan alan napas yang memasok bagian
parenkim paru yang terbatas, atau bisa juga difus dengan melibatkan jalan napas dalam
distribusi yang tersebar lebih luas (Isselbacher. et al,2000).
Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, muncul karena berbagai penyebab
dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mengenai dinding bronkial, baik secara
langsung maupun tidak, yang menggangu sistem pertahanan. keadaan ini mungkin
menyebar luas, atau mngkin muncul di satu atau dua tempat.
Diagnosis bronkiektasis kerap kali ditunjukkan oleh konsekuensi klinis infeksi yang
kronik atau yang rekuren pada jalan napas yang melebar dan oleh sekret yang menyertai
serta bertumpuk di dalam jalan napas tersebut.
Seseorang mungkin saja akan menderita bronkiektasis sebagai akibat dari riwayat
sakit infeksi respirasi saat kecil, seperti campak, influenza, tuberkulosis, dan gangguan
kekebalan tubuh (immunodeficiency). Bronkiektasis akan timbul jika klien tidak dapat
batuk efektif setelah pembedahan, hal ini dapat mengakibatkan obstruksi mukus pada
bronkus dan atelektasis.
1.2 ETIOLOGI
Bronkiektasis dapat disebabkan oleh beberapa kondisi berikut :
a. Infeksi paru dan obstruksi dari bronkus.
b. Aspirasi benda asing, muntahan atau material yang berasal dari saluran napas bagian
atas.
c. Tekanan dari tumor, dilatasi pembuluh darah, dan pembesaran kelenjar limfe.
1.3 TANDA DAN GEJALA
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas
dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut.
Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya
hemoptisis dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat
pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang
ringan.
Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala,
sebagai berikut :
a. Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung
kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi,
umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi
tidur atau bangun. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang
apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut
yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob akan
menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat
tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang
sudah berat, misalnya pada sacular type brokiektasis, sputum jumlahnya banyak
sekali, purulen dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga
lapisan: 1. Lapisan teratas agak keruh terdiri atas mukus, 2. Lapisan tengah jernih
terdiri atas saliva dan 3. Lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan
nekrosis dari bronkus yang rusak.
b. Hemoptosis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan
ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah
dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan
sampai perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat
hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari
peredaran darah sistemik).
Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya, karena
jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah
menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya
minimal. Dapat diambil pelajaran, bahwa apabila kita menemukan kasus hemoptisis
hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang
jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini. Hemoptisis pada bronkiektasis
walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal. Pada tuberkulosis paru, bronkiektasis
(sekunder) ini merupakan penyebab utama komplikasi hemoptisis.
c. Sesak nafas (dispnea)
Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak nafas. Timbul dan
beratnya sesak nafas tergantung pada seberapa luasnya bronkitis kronis yang terjadi
serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi
sebagai akibat infeksi berulang (ISPA), yang bisanya menimbulkan fibrosis paru dan
emfisema yang menimbulkan sesak nafas tadi. Kadang-kadang ditemukan wheezing,
akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat lokal atau tersebar tergantung pada
distribusi kelainannya.
d. Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi
berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam.
e. Kelainan Fisik
Pada saat pemeriksaan fisis, mungkin pasien sedang mengalami batuk-batuk dengan
pengeluaran sputum, sesak nafas demam atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisis
umum yang dapat ditemukan meliputi sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis
komplikasi bronkiektasis. Pada kasus yang berat dan lebih lanjut dapat ditemukan
tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun payah jantung kanan. Kelainan paru yang
timbul tergantung pada beratnya serta tempat kelainan bronkiektasis terjadi dan
kelainannya apakah lokal atau difus. Pada pemeriksaan fisis paru, kelainannya harus
dicari pada tempat predisposisi. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronkhi basah
yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu
ke waktu, atau ronkhi basah ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural
dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta
kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan berikut: terjadi retraksi dinding
dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi
penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila terdapat komplikasi
pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan pneumonia. Wheezing sering
ditemukan apabila terjadi obstruksi bronkus.
f. Sindrom Kartagener
Sindrom ini terdiri atas gejala-gejala berikut: (1) Bronkiektasis kongenital, sering
disertai dengan silia bronkus imotil, (2) Situs invertus atau pembalikan letak organ-
organ dalam, dalam hal ini terjadi dekstrokardia, left sided gall bladder, left sided
liver, right sided spleen dan sebagainya, dan (3) Sinusitis paranasal atau tidak
terdapatnya sinus frontalis. Semua elemen gejala sindrom kartagener ini adalah
kelainan kongenital (suatu kebersamaan). Bagaimana asosiasi tentang keberadaannya
yang demikian ini belum diketahui dengan jelas.
g. Bronkolitiasis
Kelainan ini merupakan kalsifikasi kelenjar limfe yang biasanya merupakan gejala
sisa kompleks primer tuberkulosis paru primer. Kelainan ini bukan merupakan tanda
klinis bronkiektasis. Kelainan ini sering mengakibatkan erosi bronkus di dekatnya dan
dapat masuk ke dalam bronkus menimbulkan sumbatan dan infeksi. Selanjutnya
terjadilah bronkiektasis. Erosi dinding bronkus oleh bronkus tadi dapat mengenai
pembuluh darah di situ dan dapat merupakan penyebab timbulnya hemoptisis hebat.
h. Kelainan Laboratorium
Umumnya tidak khas. Pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru
dapat ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya
normal. Sering-sering ditemukan anemia, yang menunjukkan adanya infeksi kronik,
atau ditemukannya leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi supuratif.
Urin umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi amiloidosis akan
ditemukan proteinuria. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat
dilakukan untuk menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan
kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada
kecurigaan adanya infeksi sekunder. Perlu segera dicurigai adanya infeksi sekunder
apabila misalnya dijumpai sputum pada hari-hari sebelumnya warnanya putih jernih,
yang berubah menjadi warna kuning atau hijau.
i. Kelainan Radiologis
Gambaran foto dada (plain film) pasien bronkiektasis posisi berdiri sangat bervariasi,
tergantung berat ringannya kelainan serta letak kelainannya. Dengan gambaran foto
dada tersebut kadang-kadang dapat ditemukan kelainannya, tetapi kadang-kadang
sukar. Gambaran radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-
kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambraran sarang tawon pada daerah yang
terkena. Gambaran seperti ini hanya dapat ditemukan pada 13% kasus. Kadang-
kadang gambaran radiologis paru menunjukkan adanya bercak-bercak pneumonia,
fibrosis atau kolaps (atelektasis), bahkan kadang-kadang gambaran seperti pada paru
normal (7% kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada bronkogram.
j. Kelainan Faal Paru
Tergantung pada luas dan beratnya penyakit. Fungsi ventilasi dapat masih normal bila
kelainannya ringan. Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital (KV) dan
kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama (FEV1) terdapat tendensi
penurunan, karena terjadinya obstruksi aliran udara pernafasan. Pada bronkiektasis
dapat terjadi perubahan gas darah berupa penurunan PaO2 derajat ringan sampai
berat, tergantung pada beratnya kelainan. Penurunan PaO2 ini menunjukkan adanya
abnormalitas regional (maupun difus) distribusi ventilasi, yang berpengaruh pada
perfusi paru.
k. Tingkatan Beratnya Penyakit
Tingkatan beratnya penyakit bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat. Brewis
membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi derajat ringan, sedang dan berat.
1. Bronkiektasis Ringan
Ciri klinis: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi sesudah demam (ada
infeksi sekunder), produksi sputum terjadi dengan adanya perubahan posisi tubuh,
biasanya ada hemoptisis sangat ringan, pasien tampak sehat dan fungsi paru
normal. Foto dada normal.
2. Bronkiektasis sedang
Ciri klinis: Batuk-batuk produktif terjadi tiap saat, sputum timbul setiap saat
(umumnya warna hijau dan jarang mukoid, serta bau mulut busuk), sering-sering
ada hemoptisis, pasien umumnya masih tampak sehat dan fungsi paru normal,
jarang terdapat jari tabuh. Pada pemeriksaan fisis paru sering ditemukan ronkhi
basah kasar pada daerah paru yang terkena, gambaran foto dada boleh dikatakan
masih normal.
3. Bronkiektasis berat
Ciri klinis: Batuk-batuk produktif dengan sputum banyak berwarna kotor dan
berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura.
Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada obstruksi saluran nafas akan dapat ditemukan
adanya dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Umumnya pasien mempunyai
keadaan umum kurang baik. Sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi
mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul pneumonia, septikemia, abses
metastasis, kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada pemeriksaan dapat ditemukan
ronkhi basah kasar pada daerah yang terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan
kelainan: (1) penambahan bronchovascular marking, (2) multiple cysts containing
fluid levels (honey comb appearance).
4. Perjalanan Klinis Penyakit
Sesudah seseorang menderita bronkiektasis, perjalanan klinis penyakit selanjutnya
tergantung pada luasnya penyakit, efektivitas drainase sputum dan efektivitas
pengobatan infeksi. Kalau penyakitnya luas atau pengobatannya tidak memuaskan,
dapat timbul beberapa komplikasi lanjut yang tidak menyenangkan. Apabila
penyakit ini berlanjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat menurun.
Sebagai akibat daya tahan tubuh yang menurun mudah timbul infeksi berulang,
nafsu makan berkurang menimbulkan malnutrisi dan sebagainya. Dalam keadaan
yang sangat jarang, pada pasien dapat timbul perubahan degeneratif yaitu terjadi
amiloidosis.
1.4 PATOFISIOLOGI
Infeksi merusakkan dinding bronkial, sehingga akan menyebabkan hilangnya struktur
penunjang dan meningkatnya produksi sputum kental yang akhirnya akan mengobstruksi
bronkus. Dinding secara permanen menjadi distensi oleh batuk yang berat. Infeksi
meluas kejaringan peribronkial, pada kondisi ini timbullah saccular bronchiectasis.
Setiap kali dilatasi, sputum kental akan berkumpul dan menjadi abses paru, eksudat
keluar secara bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya terlokalisasi dan
memengaruhi lobus atau segmen paru. Lobus bawah merupakan area yang paling sering
terkena.
Retensi dari sekret dan timbul obstruksi pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi
dan kolaps (atelektasis) alveoli distal. Jaringan parut (fibrosis) terbentuk sebagai reaksi
peradangan akan menggantikan fungsi dari jaringan paru. Pada saat ini kondisi klien
berkembang ke arah insufisiensi pernapasan yang ditandai dengan menurunnya kapasitas
vital (vital capasity) penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio residual volume terhadap
kapasitas total paru. Terjadi kerusakan pertukaran gas dimana gas inspirasi saling
bercampur (ventilasi-perfusi imbalance) dan juga terjadi hipoksemia.
1.5 MANIFESTASI KLINIS
Karakteristik gejala dari bronkiektasis antara lain sebagai berikut.
a. Batuk kronik dan produksi sputum purulen kehitaman.
b. Sejumlah besar dari klien mengalami hemoptisis (50-70% kasus dan dapat
disebabkan oleh perdarahan mukosa jalan napas yang rapuh atau adanya inflamasi).
c. Pneumonia berat.
d. Clubbing finger, terjadi akibat insufisiensi pernapasan.
e. Asimptomatik, pada beberapa kasus.
Bronkiektasis tidak dapat secara cepat didiagnosis, karena gejala-gejalanya mungkin
akan menyerupai dengan bronkitis kronis. Tanda yang definitif dari bronkiektasis adalah
riwayat batuk produktif dalam jangka waktu lama dengan sputum yang secara tetap
negatif terhadap basil tuberkel. Diagnosis ditegaskan berdasarkan hasil bronkografi,
bronkoskopi, dan CT-Scan yang akan menunjukkan ada atau tidaknya dilatasi bronkial.
1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Pemeriksaan Laboratorium
Sputum biasanya berlapis tiga. Lapisan atas terdiri dari busa, lapisan tengah adalah
sereus dan lapisan bawah terdiri dari pus atau sel-sel rusak. Sputum yang berbau busuk
menunjukkan infeksi oleh kuman anaerob. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan hasil
dalam batas normal, demikian pula dengan pemeriksaan urin dan EKG, kecuali pada
kasus lanjut.
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto thoraks normal tidak menyingkirkan kemungkinan penyakit ini. Biasanya
didapatkan corakkan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas corakkan menjadi kabur,
daerah yang terkena corakkan tampak mengelompok, kadang-kadang ada gambaran
sarang tawon serta kistik yang berdiameter sampai 2 cm dan kadang-kadang terdapat
garis-garis batas permukaan udara-cairan.
1.7 KOMPLIKASI
Ada beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat dijumpai pada pasien, yaitu sebagai
berikut.
1. Bronkitis kronik.
2. Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering mengalami infeksi
berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian atas, hal ini
sering terjadi pada mereka yang drainase sputumnya kurang baik.
3. Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia.
Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.
4. Efusi pleura atau empiema (jarang).
5. Abses metastasis di otak. Mungkin akibat septikemia oleh kuman penyebab infeksi
supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian.
6. Hemoptisis. Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis),
cabang arteri bronkialis atau anastomosis pembuluh darah. Komplikasi hemoptisis
hebat dan tidak terkendali merupakan indikasi tindakan bedah gawat darurat. Sering
pula hemoptisis masif yang sulit diatasi ini merupakan penyebab kematian utama
pasien bronkiektasis.
7. Sinusitis. Keadaan ini sering ditemukan dan merupakan bagian dari komplikasi
bronkiektasis pada saluran nafas.
8. Kor-pulmonal kronik (KPK). Komplikasi ini sering terjadi pada pasien bronkiektasis
yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa bagian paru. Pada kasus ini bila terjadi
anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus
(bronkiektasis, akan terjadi arteriovenous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah,
timbul sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi
hipertensi pulmonal, kor pulmonal kronik. Selanjutnya dapat terjadi gagal jantung
kanan.
9. Kegagalan pernafasan. Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien
bronkiektasis yang berat dan luas.
10. Amiloidosis. Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi
klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi amiloidosis ini
sering ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinuria.
1.8 PENATALAKSANAAN MEDIS
Ada empat tujuan utama dari penatalaksanaan medis pada klien bronkiektasis, yaitu
sebagai berikut.
a. Menemukan dan menghilangkan masalah yang mendasari.
b. Memperbaiki bersihan sekret trakeobronkial.
c. Mengendalikan obstruksi aliran udara pernapasan.
Pengontrolan infeksi dilakukan dengan pemberian obat antimikrobial, berdasarkan
hasil uji sensitivitas kultur organisme dari sputum. Klien mungkin akan diberikan obat
antibiotik selama bertahun-tahun dengan tipe antibiotik yang berbeda sesuai dengan
perubahan dalam interval. Beberapa dokter sering kali memberikan obat ketika penyakit
infeksi saluran atas timbul. Klien dianjurkan untuk divaksinasi ulang influenza dan
pneumonia.
Postural drainase merupakan dasar dari rencana penatalaksanaan, dikarenakan
drainase pada area bronkiektasis dilakukan dengan menggunakan gaya gravitasi. Dengan
demikian dapat mengurangi jumlah sekresi dan tingkat infeksi ( sering kali sputum
mukopurulen harus diangkat dengan bronkoskopi). Area dada yang terkena dilakukan
perkusi untuk membantu menaikkan sekresi. Postural drainase dimulai pada jangka waktu
pendek dan selanjutnya meningkat.
Bronkodilator dapat diberikan kepada orang yang juga mengalami penyakit jalan
napas obstruktif. Klien dengan bronkiektasis hampir selalu berhubungan dengan bronkitis.
Obat-obat simpatomimetik, biasanya β-adrenergik dapat digunakan untuk bronkodilatasi
dan untuk meningkatkan kerja mukosilliar dalam mengeluarkan sekresi.
Untuk meningkatkan ekspektorasi sputum, menambah intake cairan dan pemberian
aerosolised nebulizer dapat dilakukan. Face tent sangat ideal untuk memberikan
humidifikasi tambahan pada aerosol. Anjurkan klien untuk tidak merokok, karena hal
tersebut dapat merusak drainase bronchial akibat dari paralisis kerja silia, meningkatnya
sekresi bronchial, dan menyebabkan peradangan pada membrane mukosa yangn pada
akhirnya membuat hiperplasia kelenjar mukus.
Intervensi bedah, meskipun sering dilakukan, tetapi tindakan ini hanya diindikasikan
untuk klien yang mengalami ekspektorasi sputum yang berlanjut dalam jumlah besar dan
mrngalami pneumonia serta hemoptisis berulang pada klien yang tidak berobat secara
teratur.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BRONKIEKTASIS
2.1 PENGKAJIAN
1. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :
a. Merokok produk tembakau sebagai faktor penyebab utama.
b. Tinggal atau bekerja daerah dengan polusi udara berat.
c. Riwayat alergi pada keluarga.
d. Ada riwayat asam pada masa anak-anak.
2. Riwayat atau adanya faktor-faktor pencetus eksaserbasi seperti :
a. Allergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari atau jamur).
b. Sress emosional.
c. Aktivitas fisik yang berlebihan.
d. Polusi udara.
e. Infeksi saluran napas.
f. Kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.
3. Pemeriksaan fisik berdasarkan fokus pada sistem pernapasan yang meliputi :
a. Kaji frekuensi dan irama pernapasan.
b. Inpeksi warna kulit dan warna membran mukosa.
c. Auskultasi bunyi napas.
d. Pastikan bila pasien menggunakan otot-otot aksesori bila bernapas.
e. Mengangkat bahu pada saat bernapas.
f. Retraksi otot-otot abdomen pada saat bernapas.
g. Pernapasan cuping hidung.
h. Kaji bila ekspansi dada simetris atau asimetris.
i. Kaji bila nyeri dada pada pernapasan.
j. Kaji batuk (apakah produktif atau nonproduktif). Bila produktif tentukan warna sputum.
k. Tentukan bila pasien mengalami dispneu atau orthopneu.
l. Kaji tingkat kesadaran.
4. Pemeriksaan diagnostik meliputi :
a. Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi.
b. Sinar X dada memunjukkan peningkatan kapasitas paru dan volume cadangan.
c. Klutur sputum positif bila ada infeksi.
d. Esei imunoglobolin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum.
e. Tes fungsi paru untuk mengetahui penyebab dispneu dan menentukan apakah fungsi abnormal paru ( obstruksi atau restriksi).
f. Tes hemoglobolin.
g. EKG ( peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF dan aksis vertikal.
5. Kaji persepsi diri pasien.
6. Kaji berat badan dan masukan rata-rata cairan dan diet.
2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa bronkiektasis dapat ditegakkan apabila telah ditemukan adanya dilatasi dan
nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi dan melihat
bronkogram yang didapatkan. Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien
bronkiektasis, karena terikat oleh adanya indikasi, kontra indikasi, sarat-sarat kapan
melakukannya dan sebagainya. Oleh karena pasien bronkiektasis umumnya memberikan
gambaran klinis yang dapat dikenal, penegakan diagnosis bronkiektasis dapat ditempuh
melewati proses diagnosis yang lazim dikerjakan di bidang kedokteran, meliputi: (1)
anamnesis, (2) Pemeriksaan fisik, (3) Pemeriksaan penunjang, terutama pemeriksaan
radiologik.
Tanda-tanda penting :
1. Sputum dan napas berbau.
2. Rhonki (+).
3. Kadang disertai bunyi wheezing.
4. Jari tabuh.
5. Jantung dan trakea tertarik pada daerah yang terkena(IPD Kecil).
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau kita berhadapan
dengan bronkiektasis:
1. Bronkitis kronis (ingatlah definisi klinik bronkitis kronik).
2. Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa
bronkiektasis).
3. Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar).
4. Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru, adenoma paru dan
sebagainya.
5. Fistula bronkopleural dengan empiema.
2.3 INTERVENSI
Diagnosa I :Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret, sekret kental.
Tujuan :Mempertahakan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas.
Kriteria hasil :Menujukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas( batuk yang efektif, dan mengeluarkan sekret.
Rencana Tindakan :1. Kaji /pantau frekuensi pernafasan.Catat rasio inspirasi dan ekspirasi. R/ Tachipneu
biasanya ada pada beberapa derajat dapat ditemukan pada penerimaan atau selam stress/ proses infeksi akut. Pernapasan melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas. R/ Derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat /tak dimanisfestasikan adanya bunyi napas.
3. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman,Tinggi kepala tempat tidur dan duduk pada sandaran tempat tidur. R/ Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan mempergunakan gravitasi. Dan mempermudah untuk bernafas serta membantu menurunkan kelemahan otot-otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
4. Bantu latihan napas abdomen atau bibir. R/ Untuk mengatasi dan mengontrol dispneu dan menurunkan jebakan udara.
5. Observasi karakteriktik batuk dan bantu tindakan untuk efektifan upaya batuk. R/ Mengetahui keefktifan batuk.
6. Tingkatan masukan cairan samapi 3000ml/hari sesuai toleransi jantung serta berikan hangat dan masukan cairan antara sebagai penganti makan. R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan antara makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan diafragma.
7. Berikan obat sesuai indikasi R/ Mempercepat proses penyembuhan.
Diagnosa Keperawatan II :Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah,produksi sputum, dispneu.
Tujuan :Peningkatan dalam status nutrisi dan berta badan pasien
Kriteria hasil :Pasien tidak mengalami kehilangan berat badan lebih lanjut atau mempertahankan berat badan.
Rencana tindakan :
1. Pantau masukan dan keluaran tiap 8 jam, jumlah makanan yang dikonsumsi serta timbang berta badan tiap minggu. R/ Untuk mengidentifikasi adanya kemajuan atau penyimpangan dari yang diharapkan.
2. Ciptakan suasana yang menyenangkan ,lingkungan yang bebas dari bau selama waktu makan R/ suasana dan lingkungan yang tak sedap selama waktu makan dapat meyebakan anoreksia.
3. Rujuk pasien ke ahli diet untuk memantau merencanakan makanan yang akan dikonsumsi. R/ Dapat membantu pasien dalam merencanakan makan dengan gizi yang sesuai.
4. Dorong klien untuk minum minimal 3 liter cairan perhari, jika tidak mendapat infus. R/ untuk mengatasi dehidrasi pada pasien.
REFERENSI
Somantri, Irman. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
pernapasan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
http://ababar.blogspot.com/2008/12/bronkiektasis.html.