laporan refreshing
DESCRIPTION
hTRANSCRIPT
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
1/63
Pendahuluan
Penyakit Saraf dan Otot adalah merupakan bagian dari penyakit saraf yang
disebabkan terganggunya fungsi saraf tepi atau otot. Untuk memahami penyakit
tersebut perlu dikuasai anatomi, fisiologi, biokemistri dan farmakologi sistem sarafbaik pusat maupun tepi. Susunan Saraf Pusat terdiri dari Otak dan Medula Spinalis
sedangkan Susunan Saraf Tepi terdiri dari sel saraf dan serabut-serabutnya yang
dapat berasal dari otak seperti saraf kepala (saraf kranialis) atau medula spinalis
seperti radiks dan nervi spinales.
Anatomi
Saraf Tepi yang termasuk saraf kepala meliputi
1. n. olfaktorius
2. n. optikus
3. n. oftalmikus
4. n. trokhlearis
5. n. trigeminus
6. n. abduscens
7. n. fasialis
8. n. vestibulocochlearis
9. n glossofaringeus
10.n. vagus
11.n. accessorius12. n. hipoglosus
Saraf Tepi yang termasuk saraf spinales kebanyakan bergabung menjadi satu
sehingga dikenal sebagai nervi servikales, nervi torakales, nervi lumbales, dan nervi
sakrales. Gabungan saraf tepi semacam ini disebut juga pleksus, sehingga dikenal
pleksus servikotorakales (gabungan radiks C1-8 dan T1) dan pleksus lumbosakrales
(gabungan radiks L1-5 dan S1-5).
Patomekanisme
Gangguan faal pada saraf tepi dapat berasal dari gangguan biokemistri seperti
terganggunya keseimbangan air dan elektrolit, inflamasi (radang), proses keganasan,
trauma dan lain sebagainya.
Untuk mempercepat hantaran impuls yang berupa muatan listrik dari proksimal ke
distal serabut saraf (akson) mempunyai selubung yang disebut mielin. Mielin
diproduksi oleh sel Schwann yang membalut akson dan pada titik tertentu
mempunyai takik yang disebut nodus Ranvier. Adanya nodus Ranvier memungkinkan
hantaran listrik meloncat sehingga lebih cepat sampai ke efektor (serabut saraf
eferen), atau sebaliknya dari reseptor lebih cepat sampai ke sentral (serabut saraf
aferen). Tidak semua serabut saraf bermielin, ada juga serabut saraf yang kecil dan
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
2/63
pendek tidak bermielin dan saling menghubungkan sesama sel saraf di otak. Pada
penyakit saraf tepi kerusakan dapat terjadi pada akson, disebut aksonopati, atau
pada mielin (mielinolisis) dan kombinasi keduanya dapat saja terjadi. Pada gangguan
di akson, proses kesembuhan berlangsung lama, tidak demikian halnya bila pada
mielin lebih besar kemungkinan cepat kembali seperti semula.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
3/63
BAB II
PENYAKIT-PENYAKIT GANGGUAN SARAF TEPI
I. SINDROMA GUILLAIN BARRE
2.1. Definisi
Sindroma Guillain Barre, adalah polineuropati yang menyeluruh , dapat
berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi secara spontan atau sesudah suatu
infeksi. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita
penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang.
Sindroma Guillain-Barre (SGB) mempunyai banyak sinonim, antara lain polyneuritis
akut pasca-infeksi, polineuritis akut toksik, polyneuritis febril, poli radikulopati dan
acute ascending paralysis. Ditandai dengan kelemahan motorik progresif dan
arefleksia. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas fungsi sensorik otonom dan
batang otak. Gejala-gejala tersebut biasanya adalah gejala yang mengikuti demam
dan atau penyakit yang disebabkan oleh virus.
Penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh
Landry pada tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detil dengan apa yang ia
sebut sebagai febril polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916, Guillain,
Barre, dan Strohl memperluas deskripsi klinis SGB dan pertama sekali
mengemukakan penilaian melalui cairan serebrospinal (CSF), disosiasi
albinositologik (peningkatan protein CSF terhadap hitung sel CSF normal ).
Penilaian CSF digabungkan dengan gejala-gejala klinis tertentu, akan mengarah
kepada poliradiopati demielinisasi yang membedakannya dengan poliomyelitis dan
neuropati lainnya.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
4/63
2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 2,0 per
100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang
ada di Amerika Serikat
Internasional : angka kejadian sama yakni 1 3 per 100.000 orang
per tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa,
kecuali di China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter
memiliki predileksi pada musim panas.
Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa
muda. Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh
penurunan mekanisme imunosupresor.
Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1
Berkaitan dengan faktor resiko genetik yaitu FcRIIa-H131 dan alel
homozigot (vs R131)
2.3. Etiologi
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir
ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut
sekarang adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune
responde maupun immune mediated process.
Sindrom terlihat dicetuskan oleh infeksi virus atau bakteri akut, seperti
infeksi saluran pernapasan atau infeksi saluran gastrointestinal yang muncul 1 atau
3 minggu sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan pada saat infeksi menyerang
selubung myelin yang melapisi sel-sel neuron dan kemudian menyebabkan
paralysis, kelemahan otot dan kelemahan fungsi sensoris. Sindrom ini dapat pula
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
5/63
didahului oleh vaksinasi, kehamilan, atau setelah pembedahan pada bulan sebelum
terjadinya sindrom.
Klasifikasi:
Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) gangguan
terutama terjadi berupa kerusakan selubung saraf myelin dari sel.
Miller Fisher syndrome (MFS) adalah jenis yang jarang karena berupa
kelumpuhan yang menurun dari atas ke bawah jadi kebalikan dari GBS.
Mula-mula otot mata yang terserang sehingga terjadi trias ophthalmoplegia,
ataxia, dan areflexia. Antibodi Anti-GQ1b sering dijumpai pada 90% kasus.
Acute motor axonal neuropathy (AMAN),[8] atau Chinese Paralytic
Syndrome, menyerang motorik yaitu pada nodes of Ranvier dan banyak
(prevalen) di China dan Mexico. Merupakan serangan auto-immune pada
axoplasm saraf tepi. Sering terjadi pada musim tertentu dan penyembuhan
lebih cepat. Pada pasen akan terdapat anti-GD1a antibodi[9]. Antibody
Anti-GD3 banyak dijumpai pada AMAN.
Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN) serupa dengan AMAN hanya
juga disertai serangan pada serabut saraf sensorik dengan kerusakan
aksonal. Seperti AMAN juga disebabkan serangan oto imun terhadap
aksoplasma saraf tepi. Penyembuhan lambat dan inkomplit.
Acute panautonomic neuropathy imerupakan jenis yang jarang dari GBS
sering disertai ensefalopati dengan mortalitas yang tinggi. Kematian
disebabkan pembesaran jantung dan disritmia, gangguan berkeringat dan
kekurangan air mata. Fotofobia, keringnya rongga hidung dan mukosa
mulut, gatal, mual dan muntah sering terjadi dan disfagia. Konstipasi juga
dapat terjadi yang tidak hilang dengan laksan. Dan bisa pula berganti
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
6/63
dengan diare. Gejala awal biasanya lelah dan lemas seperti lethargy,
fatigue, sakit kepala, dan menurunnya kemauan, malas, lalu diikuti
gangguan otonomik seperti pusing bila berdiri, mata kabur, nyeri perut,
diare, mata kering, dan gangguan kencing. Yang paling sering adalah pusing
bila berdiri, gangguan gastrointestinal dan kencing dan gangguan
berkeringat.
Bickerstaffs brainstem encephalitis (BBE), jenis lain dari Guillain-Barr
syndrome. Ditandai oleh acute onset ophthalmoplegia, ataxia, gangguan
kesadaran, hyperreflexia or Babinskis sign (Bickerstaff, 1957; Al-Din et
al.,1982). Perjalanan penyakit monofasik atau sering relaps. Gangguan
patologi terutama di batang otak, pons, midbrain, dan medulla. Meski pada
fase awal terlihat parah prognosis bai
2.4. Patofisiologi
Terjadi reaksi inflamasi (infiltrat) dan edema pada saraf yang terganggu.
Infiltrat terdiri dari atas sel mononuclear. Sel-sel infiltrate terutama terdiri dari sel
limfosit berukuran kecil, sedang, dan tampak pula mikrofag serta sel
polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel
mast. Seranut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal.
Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversible dan
menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakam perwujudan reaksi
imunopatologik walaupun segenap radiks terkena, namun yang berada di
intumesensia servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami kerusakan
keadaan patologik itu dikenal sebagai poliradikulopatia atau polyneuritis post
infeksiosa. Atau lebih dikenal sebagai Sindroma Gullain Barre.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
7/63
2.5. Gambaran Klinis
Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi
progresifitasnya akan berhenti setelah berjalan selama 4 minggu, lebih kurang 50%
akan terjadi kelemahan menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan lebih
dari 90% selama 4 minggu.
Pasien dengan SGB dijumpai adanya kelemahan disertai dengan diestesia,
perasaan kebas, geli pada ekstremitas, kelemahan ini terutama pada otot-otot
proksimal, kaki lebih sering terkena dibandingkan lengan. Parestesia terjadi
menjalar secara proksimal tetapi jarang meluas melewati pergelangan tangan dan
pergelangan kaki. Refleks tendon melemah, bahkan bisa menghilang dalam
beberapa hari perjalanan penyakit.
Kelumpuhan terjadi secara simetris lebih dari satu anggota gerak, jarang
yang asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja dan
dapat pula terjadi paralysis total keempat anggota gerak terjadii secara cepat,
dalam waktu kurang dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis.
Gejala motorik biasanya timbul lebih awal daripada gangguan sensorik
Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan
kaus kaki, tetapi kadang-kadang gangguan tampak segmental, otot-otot proksimal
dan distal terganggu dan reflek tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung
biasanya ditemukan.
Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50%
kasus dan sering bilateral. Saraf kranialis lainnya dapat pula terkena,khususnya
yang mengurus lidah, otot-otot menelan, dan otot-otot motorik ekstra ocular.
Terlibatnya nervi kraniles dapat merupakan awal sindrom Guillain-Barre.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
8/63
Fungsi saraf autonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia jantung,
hipotensi postural, hipertensi, atau gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi
gejala dan tanda klinik sindrom ini.
Proses penyembuhan biasanya dimulai setelah 2-4 minggu terhentinya
progesifitas klinik. Namun demikian, proses penyembuhan bisa tertunda selama 4
bulan. Secara klinis banyak penderita yang bisa sembuh secara fungsional.
2.6. Diagnosa
1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang terdiri dari
kelemahan motorik (terutama bagian proksimal) yang meluas ke atas,
arefleksia, gangguan sensorik bagian distal yang ringan, dan kelemahan otot
wajah bilatelar (merupakan petunjuk penting).
2. Punksi lumbal biasanya menunjukkan peningkatan protein dalam cairan
serebrospinal tanpa disertai peningkatan jumlah leukosit yang bermakna.
Pada saat awal, protein dalam cairan serebrospinal dapat normal tetapi
meningkat dalam beberapa hari. Dijumpai peningkatan protein > 0,55 g/dL,
tanpa pleositosis ( jumlah sel-sel abnormal dari CSF).
3. Pengobatan beratnya kelemahan motorik pada SGB tidak dapat dipastikan
pada awal penyakit. Oleh karena itu, dokter harus mengenal penderita
polyneuritis inflamatorik akut dan melakukan pemantauan fungsi pernafasan
dengan teliti, termasuk analisa gas darah serta kapasitas vital paru hungga
kelemahan motorik mencapai titik terendah (menetap). Hal ini merupakan
hal yang penting.
4. Elektrodiagnostik (EMG) memberikan tanda-tanda demielinisasi yabg
terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantaran
saraf, blok hantar saraf (conduction blok) atau disperse temporal, dan
gelombang F (F-wave) yang hilang atau memanjang. Kelainan hantar saraf
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
9/63
paling dini tampak setelah 3 10 hari dan terdiri dari F-wave yang
melambat karena terkenanya radiks , didikuti kemudian oleh adanya
tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang menyebabkan
terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction blok) dan lalu mengenai
badan sarafnya sendiri yang terlihat dari penurunan kecepatan hantar saraf
yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.
2.7. Diagnosa Banding
Peradangan akut/kronis demielinisasi poliradikuloneuropati
Sindrom, Kauda Equina
Sindrom Konus Medullaris
HIV-1 dengan peradangan kronis demielinisasi poliradikulopati
HIV-1 dengan nyeri polineuropati sensorimotor distal
HIV-1 dengan mononeuropati multiple
HIV-1 dengan komplikasi neuromuscular
HIV-1 dengan poliradikulopati progresif
HIV-1 dengan mielopati
Penyakit Lynne
Myastenia Gravis
Neuropati toksik
Keracunan organophospat
2.8. Pemeriksaan
1. Diagnosa didasarkan atas adanya gejala kelemahan ascenden dengan
arefleksi. Pemeriksaan punksi lumbal, elektrodiagnosis, atau kadang MRI
hanya sebagai pendukung diagnosis
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
10/63
2. Khas pada pemeriksaan punksi lumbal atas dugaan demielinisasi ( yakni
peningkatan protein) tanpa disertai adanya tanda infeksi aktif (kurangnya
pleositosis LCS), merupakan temuan Guillain Barre.
Nilai NCS bisa saja normal dalam 2 minggu ke atas sejak adanya
gejala, dan kadang proteinnya bisa jadi tidak bertambah tinggi
dalam 1 minggu.
Sebagian besar pasien memiliki leukosit di bawah 10 per cc, tapi
kadang ditemukan sedikit meningkat (10-50 per cc).
3.
Kriteria terjadinya kegagalan nafas pada SGB :
Kapasitas vital < 1L ; diperlukan observasi di ICU
33% memerlukan intubasi
Indikasi intubasi:
- Kapasitas vital < 12-15 ml/Kg, khususnya dengan derajat
cepat
- Inspirasi paksa negative ; 25 cmH2O
- Hipoxemia ; PaO2 80mmHg
- Kesulitan sekresi
- Waktu onset ; 7 hari
Waktu bernafas ; 50% < 3 minggu
Kadang-kadang berhubungan dengan aspirasi
2.9. Terapi
Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif
dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang utama,
jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada penyakit, kebanyakannya akan
mengalami kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati dapat memburuk dengan cepat
dan diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dalam 24 jam selama
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
11/63
onset gejala. Oleh karena itu, semua pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit
untuk diobservasi tertutup untuk kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi
kranialis, dan ketidakstabilan system autonom. Disfungsi system saraf autonom
dapat bermanfestasi ; tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia,
psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. Profilaksis untuk trombosis vena
dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak selama
beberapa minggu.
Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi.
Pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi.
Penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang
cepat sangat diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya
adalah :
Waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari
Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur
Tidak sanggup berdiri
Peninggian kadar enzim hati
Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk
memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi
dapat meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan Gabapentin (nerontin) telah
digunakan sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada SGB. Pada pasien
dengan paralysis memiliki jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan
diskusi tentang fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress
psikologi.
Belum ada drug of choice yan tepat untuk SGB. Yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat
perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
12/63
Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi
otot-otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau
immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis menggunakan suatuplasma
exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg selama beberapa hari) secara
bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada pasien SGB, namun
beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg.
The Dutch Guillain-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan
IVIg (400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan
dengan plasma exchange.Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan
dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pemberian
IVIg dibandingkanplasma exchange.
IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak
diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah
digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga
yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang
juga mahal, namun lebih murah dibandingkan dengan IVIg. Tidak ada studi tentang
keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg danplasma exchange, sehingga hanya
salah satu terapi saja yang digunakan.
Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan, seperti
sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. Jika plasma
beku digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan virus
seperti hepatitis dan HIV.
IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma juga
dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal Insuffiensi.
Pasien-pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan muntah,
tetapi gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien juga dapat
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
13/63
mnegalami meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. Riwayat alergi
sebelumnya terhadap penggunaan IVIg merupakan kontra indikasi pengobatan.
Manfaat kortikosteroid untuk SGB masih controversial. Namun demikian,
apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka
kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus diiringi
dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.
Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga
telah terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila
didapati keadaan seperti ini.
Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu
dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan
dan cairan.
Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses
pemulihan.
2.10. Prognosis
Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit
tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan
tidak terjadi kelumpuhan total.
Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan fungsi
dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset,
bagimanapun pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia,
dan parestesia. Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap
termasuk bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori ataxia, dan
disestesia. Angka kematian
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
14/63
kematian biasanya berupa sindrom distress pernafasan, sepsis, emboli paru, dan
henti jantung.
Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat
memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu, usia > 60 tahun, berat,
memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek secara
langsung berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada
pengobatan spesifik.
II. Polineuritis
Definisi:
Sindroma klinik akibat gangguan fungsi saraf tepi yang luas yang terjadi secara
bersamaan
Patologi :
Degenerasi saraf tepi
Demielinisasi selubung mielin
Demielinisasi axon
Etiologi :
Toksik metal : arsen, timah, tembaga
Bahan organik : kobalt, INH, streptomicin
Defisiensi dan metabolik : penyakit kronik, defisiensi asam folat, DM,
uremia
Infeksi : dipteri, TBC, sepsis, tetanus
Penyakit kolagen : SLE
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
15/63
Gejala Klinik :
Didahului ISPA
Kelumpuhan LMN (Distal lebih berat dari proksimal)
Gangguan sensorik berupa pola sarung tangan dan kaus kaki (stocking and
gloves)
Reflek tendon berkurang
Kadang-kadang melibatkan saraf kranial
Pemeriksaan Penunjang
Lumbal Punksi : LCS normal
EMG : untuk menentukan lokasi kerusakan (otot, saraf perifer, sel kornu
anterior)
KHS : untuk menentukan derajat kerusakan
Diagnosis:
Gambaran klinis
LP : normal
EMG : KHS menurun
Terapi :
Hilangkan penyebab
Simptomatis
Fisioterapi
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
16/63
III. Spasmofilia
Definisi:
Suatu kondisi dimana saraf motorik memperlihatkan sensitivitas yang tidak normal,
baik terhadap rangsangan mekanik maupun listrik, sehingga otot cenderung
spasme, tetani ataupun kejang. Biasanya ditandai dengan gangguan kedutan otot,
kram dan kejang carpopedal, jika kondisinya parah dapat menyebabkan kejang-
kejang.
Kondisi ini terjadi karena ketidakseimbangan elektrolit didalam darah yang bias
karena kekurangan kalsium (Hypokalemia) atau kekurangan serum magnesium yang
mungkin terkait dengan hiperventilasi, hipoparatiroidism, rahhitis, uremia atau
kondisi lain
Patogenesis:
- Saraf mudah terangsang bila kadar Ca++, Mg++, H+menurun atau kadar K+,
Na+dan OH-meningkat
Gejala Klinis:
Badan selalu terasa lemas
Mudah sekali merasa lelalh
Rasa lelah sangat berlebihan, tidak bisa melalkukan apa-apa selain
berbaring
Sering sesak napas
Kaki sering sakit setelah beraktifitas
Diagnosis:
Cvhostec sign : Memukul ringan 2cm didepan Tragus telinga
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
17/63
+ 1 : sudut bibir berkontraksi
+ 2 : ujung hidung turut berkontraksi
+ 3 : mata berkontraksi
+ 4: otot muka turut berkontraksi
Trousseau sign + : penekanan arteri brakhialis dengan manset timbul rasa
kesemutan pada ujung ekstremitas, lalu timbul kejang pada jari-jari dan
tangan
Pemeriksaan Laboratorium: Kadar Kalsium dan Magnesium dalam darah
Elektromiografi (EMG)
Elektroensefalografi (EEG) untuk membedakan dengan Epilepsi
IV. Bells Palsy
2.1 Definisi
Bells palsyadalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara
akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain
yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat
proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus
atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan.1,3
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
18/63
2.2 Epidemologi
Insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderita tidak hanya
berobat ke dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat kepada dokter
umum, dokter THT maupun dokter mata. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah
sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh
kasus neuropati dan terbanyak pada usia 2130 tahun. Lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun
dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin seperti naik kendaraan dengan kaca terbuka, tidur di lantai atau bergadang
sebelum menderita bells palsy.2,4
2.3 Etiologi
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu:2,4
1. Teori iskemik vaskuler
Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi vasokontriksi
arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi
transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe
sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akanlebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
19/63
2. Teori infeksi virus
Bells palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus,
sehingga menurut teori ini penyebab bells palsy adalah virus. Juga dikatakan
bahwa perjalanan klinis bells palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf
perifer lainnya.
3. Teori herediter
Penderita bells palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bells
palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita bells palsy diberikan pengobatan
kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam
kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi timbulnya Bells Palsy secara pasti masih dalam perdebatan.
N.VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan kanalis
fasialis. Adanya edema dan ischemia menyebabkan kompresi dari N.VII dalam
kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di dalam foramen stilomastoideum dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi N.VII ini dapat dilihat dengan
MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen labyrinthine
adalah bagian yang paling sempit, meatus foramien ini memiliki diameter 0,66 mm.
Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada
N.VII pada Bells Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit
maka terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling
mungkin terjadi. Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bells Palsy bersifat perifer
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
20/63
dari nukleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di
ganglion genikulatum. Jika lesinya timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum
maka akan timbul kelumpuhan motorik disertai dengan ketidak abnormalan fungsi
gustatorium dan otonom. Apabila lesi terletak di foramen stilomastoideus dapat
menyebabkan kelumpuhan fasial saja.4,5,6,7
2.5 Gambaran Klinis dan Keluhan
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhanpada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat
gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya
lebih rendah. Bells palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa
hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang
terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang,
sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak
mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi
menghilang.1,2,3
Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada
sisi yang lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang mempersyarafi
m.orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat
menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan
kornea karena mata tetap terbuka sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering
dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis.
Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
21/63
(lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang
maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam
mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung.
Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh.
Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang
mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bells palsy.2,3,7
Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari
2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila
saraf yang menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis.
Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri.Pada kasus yang lebih
berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya
produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion genikulatum dan dapat
diperiksa dengan pemeriksaan tes Schirmer.2,4,5
Komplikasi ke bagian mata antara lain :4,5,8
- Lagoftalmus
- Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah
- Alis Jatuh
- Retraksi kelopak mata atas
- Erosi Kornea
-
Crocodile-tears tearing
Komplikasi ke bagian telinga antara lain: 4,5,8
Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada
bagian belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala
Bell Palsy, namun pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum
timbulnya Bell Palsy. Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada
telinga ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat sekunder dari
kelemahan otot stapedius.
Gangguan Pengecapan:4,5,8
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
22/63
Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80%
dari penderita Bell Palsy mengalami penurunan kemampuan merasa.
Spasme Fasial4,5,8
Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat
kontraksi tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat
stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan pembuluh
darah, tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering
menyerang pada usia 50 atau 60an. Selain itu juga dapat timbul Synkinesis yaitu
suatu kontraksi abnormal dari otot wajah saat tersenyum atau menutup mata, contoh
yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum atau ketika
mengedipkan mata.
Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :1,4,5
a. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih
berada disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan
mencong ke sisi yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya
lebih tinggi kedudukannya daripada posisi yang sehat, maka penderitanya
tidak dapat bersiul, mengedip dan menutupkan matanya. Lakrimalis yang
berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak bisa menutup mata
sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa angin, debu dan
sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi karena proses
regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata pada
waktu makan
b.
Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani.
Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi
pengecapan dua pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.
c. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenal muskulus stapedius
Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis.
d. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
23/63
Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali
akut dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Herpes Zoster pada
tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus
fasilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bells yang disertai herpes Zoster
pada ganglion geniculatum, lesi lesi herpetik terlihat pada membrana
tympani, canalis auditorium eksterna, dan pada pinna.
e. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus
Gejala - gejala Bells Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus
VIII.
f.
Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons
Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar
nervus fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi
pada daerah tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectus
lateralis atau gerakan melirik kearah lesi.
g.
Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan
involunter yang dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab danmekanisme sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai sebabnya
adalah suatu rangsangan iritatif di ganglion feniculatum. Namun demikian
gerakan - gerakan otot wajah involunter bisa bangkit juga sebagai suatu
pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut
muka terangkat dan kelompok mata memejam secara berlebihan.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
24/63
2.6 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik,
dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis. Untuk menegakkan diagnosis suatu bells
palsy harus ditetapkan dulu adanya paresis fasialis tipe perifer, kemudianmenyingkirkan semua kemungkinan penyebabnya paresis fasialis tersebut.2
Paresis fasialis perifer berbeda dari tipe sentral. Pada tipe sentral yang
terganggu atau paresis hanya pada bagian bawah wajah saja.
Anamnesa :4,5,8
-
Rasa nyeri.
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
-
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
-
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
Pemeriksaan :4,5,8
1.
Pemeriksaan neurologi
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
25/63
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dan
dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:
a.
Pemeriksaan motorik nervus fasialis.4
- Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang
sehat saja.
- Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat
-
Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak mata
tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke atas
dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat
dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat
dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal
sebagai Lagoftalmus.
- Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat
dikembungkan.
- Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh
meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat
diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga
sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
26/63
b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis.4,5,8
Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis
diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa
asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam sitrat.
Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang tidak sehat
kurang tajam.
c. Pemeriksaan Refleks.4,5,8
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bells Palsy
adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung
dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yangsakit kedipan mata yang terjadi lebih lambat atau tidak ada sama sekali.
Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra pada orang sehat
pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab
dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada paresis
facialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularis oculi
(pemejaman mata pada sisi sakit).
Beberapa pemeriksaan sederhana lain yang dapat dilakukan untuk
membantu penegakkan diagnosa antara lain :
-
Stethoscope Loudness Test
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi dari
muskulus stapedius. Pasien diminta menggunakan stetoskop kemudian
dibunyikan garpu tala pada membran stetoskop, maka suara yang keras
akan terlateralisasi ke sisi muskulus stapedius yang lumpuh
- Schirmer Blotting Test.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
27/63
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi lakrimasi. Digunakan
benzene yang menstimulasi refleks nasolacrimalis sehingga dapat
dibandingkan keluar air mata dapat dibandingkan antara sisi yang
lumpuh dan yang normal.
2. Pemeriksaan radiologis.4,5,8
Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bells Palsy
antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada pasien
dengan Bell Palsy dapat timbul gambaran kelainan pada nervus fasialis. Selain
itu pemeriksaan MRI juga berguna apabila penderita mengalami Kelumpuhan
wajah yang berulang, agar dapat dipastikan apakah kelainan itu hanya
merupakan gangguan pada nervus Fasialis ataupun terdapat tumor.
2.7 Diagnosa Banding2,3,4
1.
Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
Disamping kemungkinan adanya paresis fasialis, maka ditemukan adanya rasa
nyeri di dalam atau di belakang telinga. Pada foto mastroid ditemukangambaran infeksi. Pada otitis media terjadi proses radang di dalam kavum
timpani sehingga dinding tulang kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan
sehingga terjadi paresis fasialis.
2. Herpes Zoster Oticus
Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum. Di samping adanya
paresis fasialis juga ditemukan adanya tuli persetif dan tampak vesikel-vesikel
yang terasa amat nyeri di daun telinga. Karena adanya proses inflamasi maka
akan menimbulkan pembengkakan, timbunan metabolit di dalam kanalis
Fallopii dan selanjutnya menyebabkan iskemia dan paresis fasialis. Pada
pemeriksaan darah didapatkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap virus
varisela-zoster.
3. Trauma kapitis
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
28/63
Paresis fasialis terdapat pada trauma kapitis (misalnya fraktur os temporal,
fraktur basis kranii atau trauma lahir/forceps) atau karena operasi. Pada cedera
kepala sering terjadi fraktura os temporale parspetrosus yang selalu terlihat
pada foto rontgen.
4. Sindroma GuillainBarre dan Miastenia Gravis
Pada kedua penyakit ini, perjalanan dan gambaran penyakitnya khas dan
paresis hampir selalu bilateral.
5.
Tumor Intrakranialis
Semua neoplasma yang mengenai sepanjang perjalanan N.VII dapat
menyebabkan paresis fasialis. Tumor intra kranial yang tersering yaitu tumor
sudut serebelo pontis. Di sini selain terdapat paresis N.VII juga biasanya
ditemukan adanya lesi N.V dan N.VIII. tumor yang lain misalnya Ca-
nasofaring (biasanya disertai dengan kelainan saraf kraniales lain) dan tumor
kelenjar parotis.
6.
Leukimia
Paresis fasialis disebabkan karena infiltrat sel-sel lekemia. Paresis terjadi
bilateral dan simultan. Diawali dengan rasa nyeri di dalam kepala atau telinga
dan tuli.
2.8 Terapi
1. Terapi medikamentosa :2,9
- Kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah prednison atau
methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan diturunkan secara bertahap
(tappering off) selama 7 hari.2,9
- Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid. Penggunaan
Aciclovir 400 mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama 10 hari. Atau
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
29/63
penggunaan Valacyclovir 500 mg sebanyak 2 kali per hari P.O selama lima
hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek yang lebih baik.2,9
Kortikosteroid oral mengurangi peradangan saraf wajah pada pasien
dengan Bells palsy. Tiemstra JD and Khathare N melalui penelitian Meta-
analisis dari tiga uji coba terkontrol secara acak membandingkan
kortikosteroid dengan plasebo ditemukan pengurangan kecil dan secara
statistik tidak signifikan dalam persentase.10
Ada Karena Peran Kemungkinan HSV-1 dalam penyebab Bell palsy,
obat antivirus acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex) telah
mempelajari tulang manfaat dalam pengobatan. Asiklovir 400 mg lima kali
per hari selama tujuh hari atau valacyclovir 1 g tiga kali per hari selama tujuh
hari. Dua terakhir uji coba terkontrol plasebo menunjukkan pemulihan penuh
dalam persentase yang lebih tinggi pasien diobati dengan obat antivirus dalam
kombinasi dengan prednisolon dibandingkan dengan prednisolon saja (100
persen dengan 91 persen dan 95 persen dengan 90 persen).10
Namun, tidak bermanfaat terlihat Ketika pengobatan tertunda lebih
dari empat hari setelah timbulnya gejala (86 persen dengan 87 persen).Mengingat profil keamanan kortikosteroid oral asiklovir, valasiklovir, dan
jangka pendek. Pasien yang hadir di dalam-tiga hari dari timbulnya gejala dan
yang tidak harus menentukan kontraindikasi obat harus ditawarkan terapi
kombinasi. Pasien yang datang dengan kelumpuhan saraf wajah lengkap
memiliki tingkat lebih rendah pemulihan spontan dan mungkin lebih mungkin
memperoleh manfaat dari pengobatan.10
Penelitian lain Numthavaj .P et al menyimpulkan dalam mengobati
Bells palsy dengan antiviral ditambah kortikosteroid dapat menyebabkan
sedikit lebih tinggi tingkat pemulihan dibandingkan dengan mengobati dengan
prednison saja tapi ini tidak cukup bermakna secara statistik, prednisone
merupakan pengobatan berbasis bukti terbaik.11
Berbeda dengan Frank M et al yang menyatakan pasien dengan Bells
palsy, perawatan dini dengan prednisolon secara signifikan meningkatkan
kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 dan 9 bulan. Tidak ada bukti dari
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
30/63
manfaat mengingat pengobatan tunggal atau manfaat tambahan dalam
kombinasi dengan prednisolon atau asiklovir.12
Goudakos JK and Markou KD pada penelitian meta-analisis,
berdasarkan bukti yang tersedia menunjukkan bahwa agen antivirus untuk
kortikosteroid pengobatan Bells palsy tidak terkait meningkat dalam tingkat
pemulihan lengkap dari fungsi motorik wajah.13.
-
Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros dengan
ACTH im 40-60 satuan selama 2 minggu dapat dipercepat penyembuhan.2,9
- Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri.2,9
2. Terapi operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:2
- Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
- Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
-
Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA.
Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain dekompresi nervus
Fasialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF), Implantasi alat ke dalam kelopak
mata, tarsorrhapy, transposisi otot muskulus temporalis, facial nerve graftingdan
direct brow lift.2
Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of Neurology saat
ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bells palsy. Komplikasi
yang paling umum dari pembedahan adalah pasca operasi yaitu berkurangnya
pendengaran yang mempengaruhi 3 sampai 15 persen pasien. Berdasarkan potensi
yang signifikan untuk kerugian dan kurangnya manfaat data pendukung, American
Academy of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk
Bells palsy.10
McAllister K pada penelitian juga menyimpulkan demikian bahwa ada
bukti kualitas yang sangat rendah dan ini tidak cukup untuk memutuskan apakah
operasi akan bermanfaat atau merugikan pada pengelolaan palsy Bell. Penelitian
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
31/63
ini tidak secara statistik membandingkan kelompok tetapi nilai dan ukuran
kelompok menyarankan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara
statistik. Studi kedua melaporkan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan
antara kelompok mereka dioperasikan dan kontrol. Satu pasien yang dioperasikan
dalam studi pertama memiliki 20 dB kehilangan pendengaran sensorineural dan
vertigo yang persisten. Penelitian lebih lanjut ke dalam peran operasi tidak
mungkin dilakukan karena pemulihan spontan terjadi dalam banyak kasus. 14
3.
Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan
guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan
penyandang cacat mencapai integritas sosial.9
Tujuan rehabilitasi medik adalah :9
Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan
bekerja dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan
efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter,
fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial
medik dan perawat rehabilitasi medik.9
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu
dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bells
palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan
membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat
melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan
adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik
prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak
berperan. 9
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
32/63
1) Program Fisioterapi4,5,9
- Pemanasan
a. Pemanasan superfisial dengan infra red.
b. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy.
- Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses
regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan
faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari
aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
- Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut.
Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi,menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup
(dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh
dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy
diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage
memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan
mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep
Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep
Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah
vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,
mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan
meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.
Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi.
Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
33/63
2) Program Terapi Okupasi 4,5,9
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk
permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi
penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan
berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,
latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.
3) Program Sosial Medik 4,5,9
Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari
pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja
dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan
menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja
pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah
biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau
melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan
penderita.
4)
Program Psikologik 4,5,9
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat
menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita
muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia
sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat
diperlukan.
5) Program OrtotikProstetik 4,5,9
Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut
mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y
plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada
penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
34/63
teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur.
6)
Home Program: 4,5,9
a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari
sisi wajah yang sehat
c.
Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,
minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
4.
Perawatan mata :2,4,15,16
Tindakan yang dilakukan antara lain:
a. Memakai salep mata (golongan artifial tears) 3x sehari dan salep mata.
b. Mamakai kaca mata untuk mencegah iritasi debu dan cahaya.
c.
Kelopak mata diplaster agar tetap dalam keadaan tertutup.
d.
Bila keadaan terlalu berat maka dilakukan tarsorafi ataupun blefarofati dengan
menjahit dan mendekatkan kedua kelopak atas dengan bawah. Pada tempat
jahit diberikan salep antibiotika.
2.9 Komplikasi2,4,9
a.
Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang
salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke
kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
b. Synkinesis
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
35/63
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan bersama. Contohnya yaitu:
Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan
(involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.
Pada saat meperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita pada sisi
sakit manjadi tertutup.
Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua otot wajah
pada sisi lumpuh manjadi kontraksi.
Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah/keliru.
c. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm)
Timbul kedutan (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi wajah saja
tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya. Bila mengenai
kedua sisi wajah, maka tidak terjadi bersamaan pada kedua sisi wajah.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi
ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan
atau 1-2 tahun kemudian. Kecuali sebagai komplikasi bells palsy, maka
hemifacial spasm dapat disebabkan oleh kompresi N.VII oleh tumor atau
aneurisme pada daerah sudut serebelo pontis atau lengkungan arteri serebeler
antero inferior yang berlebihan atau arteri auditorius internus.
d. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis
lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi
bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot
wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
36/63
2.10 Prognosis1
Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.
Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan tanda prognosis
baik. Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu menunjukkan bahwa terjadi
degenerasi aksonal dan hal demikian ini menunjukkan pemulihan yang lebih lama dan
tidak sempurna.
Pemulihan daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan biasanya
berkaitan dengan pemulihan paralisis secara sempurna. Apabila lebih 14 hari, maka
hal tersebut menunjukkan prognosis yang buruk.
V. Poliomyelitis
VI. Myasthenia Gravis
2.1 DEFINISI
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission
atau pada neuromuscular junction3.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi
pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50
tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
37/63
Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28
tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun3,4.
2.3 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION
2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat
suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular4,5.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction4.
Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction4
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
38/63
2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi5.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)4,5.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion
kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai
pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke
membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin
yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik4,5.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:6
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
39/63
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel
dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar
10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)
akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate
miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat
transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+dari
ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ini memerankan peranan yang esensial
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke
dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian
yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin
(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.
Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end
plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut
saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
40/63
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di
mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri
dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein
beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat
bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi
depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan
suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut
excitatory postsynaptic potential(potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan
gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada
membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot4,5.
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah
sebagai berikut:6
Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)
Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.
Mengandung lima subunit, terdiri dari ?2???
Hanya subunit ? yang mengikat asetilkolin dengan afinitas tinggi.
Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na+maupun K+.
Bisa ular ?-bungarotoksin berikatan dengan erat pada subunit ? dan dapat
digunakan untuk melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas
untuk memurnikannya.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
41/63
Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia grafis.
Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction5
2.4 PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain4.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada
otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot
penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada
reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot
pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor
(anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired
myasthenia gravis generalisata2.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
42/63
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana
antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.
Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.
Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya
muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik4.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site
dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin
akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa
cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-
reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis4.
2.5GEJALA KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis
miastenia gravis antara lain :
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
43/63
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus
okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis.
Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun
ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap
lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.
Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular
(ptosis)
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot
leher, hingga ke otot ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya.
2.6 KLASIFIKASI
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
44/63
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a)
Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.
b) Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c)
Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d)
Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
e)
Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f)
Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g) Klas IIIb
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
45/63
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
h)
Klas IV
tot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat.
i)
Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-
otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j)
Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakanfeeding tubetanpa dilakukan intubasi.
k)
Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-
gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun3.
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah
ini3:
1) Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
46/63
2) Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot
untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota
tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
3) Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan
otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat
meninggal dunia.
2.7 DIAGNOSIS
2.7.1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam
berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal
dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks
tendon biasanya masih ada dalam batas normal4.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan
pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan
timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang
horizontal4.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot
palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung
(nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat
cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga
dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
47/63
tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu
penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta
ekstensi dari leher4.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota
tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.
Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada
ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi
panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal
napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal
serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan
berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat
terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan4.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan
tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis.
Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
48/63
miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang
disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi4.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut3:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan
menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-
menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita
menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh
beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan
ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara
lain3:
1) Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang
memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
49/63
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,
karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2)
Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-
gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak
lama kemudian akan lenyap.
3)
Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala
seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji
ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti
2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
50/63
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymomatanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody4.
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang
dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis
Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate
generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak
dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
51/63
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes
ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan
suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis.
2.7.2.2 Imaging4
Chest x-ray(foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
52/63
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan
untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak.
CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass (thymoma) in a
patient with myasthenia gravis.
2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik4:
Repetitive Nerve Stimulation(RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
53/63
A typical recording of compound muscle action potentials with repetitive
nerve stimulation at low frequency in a patient with myasthenia gravis.
Note the gradual decline in the amplitude of the compound muscle
action potential with slight improvement after the fifth or sixth
potential.
Single-fiber Electromyography(SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor
unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
2.7.3 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis,
antara lain3,4:
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
54/63
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan
pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif
pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga
pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering,
dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz)
tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).
Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik
sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana
pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah
asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi
untuk menimbulkan depolarisasi.
2.8 PENATALAKSANAAN
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
55/63
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang
pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling
dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada psien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin4.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan
dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mapu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia
gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset
lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan2.
2.8.1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
2.8.1.1 Plasma Exchange(PE)2
Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan
intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan
karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan
anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya
titer antibodi.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
56/63
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka
pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada
pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien
yang kesulitan menjalani periode postoperative.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk
5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat
bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran
cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium,
dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia
dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada
terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang
dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-
frozen plasmatidak diperlukan.
2.8.1.2 Intravenous Immunoglobulin(IVIG)2
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-
activating aggregatesyang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody
tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
57/63
tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG
dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya
beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak
terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak
pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk
pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang
dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri
kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24
jam pertama.
2.8.1.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak
ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon
masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.
Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi
kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga.
Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
-
5/19/2018 Laporan Refreshing
58/63
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangka