kontestasi identitas di perbatasan

25
KONTESTASI IDENTITAS DI PERBATASAN: Memahami Identitas Sosial Komunitas di Perbatasan Kalimantan Aris Munandar FISIP Universitas Nasional [email protected]  Ab st rac t This paper explores a sociological analysis of the reconstruction of social identity in the local communities in Indonesia-Malaysia border. Social identity is the collective orientation has been being formed of dynamic social interaction. Politics, economic, and socio-cultural  factors, is an important pull factor in constructing national identity in the border communities are highly liquid. Therefore, the governme nt's development policy is required in order to be a driving factor so that Indonesia become internalized social identity in the life of local communities, and thus became the pillars of state sovereignty at the border.  Key words: ide ntity, nationalism, con testation, border communities, so vereignity Pendahuluan Proses terbentuknya negara-bangsa di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari  pembagian terit ori wilayah di masa kolonial pada abad 19-20, ketika para penguasa kolonial membagi Asia Tenggara berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka, tanpa sepengetahuan para subyek jajahan mereka. Faktor-faktor kultural, agama, linguistik, pola mobilitas, formasi-formasi hubungan sosial maupun jaringan  perdagangan tradisional tidak menjadi dasar pertimbangan bagi penentuan batas negara. Akibatnya, batas-batas negara di Asia Tenggara tidak dapat berpotongan dengan batas-batas kultural secara persis (Lumenta, 2009). Hal ini pula yang berlaku  pada perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan, awalnya adalah garis di atas peta yang ditorehkan melalui perjanjian dua negara penjajah, Belanda dan Inggris pada 20 Juni 1891. Pulau Borneo pun kemudian dibelah memanjang dari timur ke barat. Munculnya negara sebagai realitas sosial „barumenyebabkan masyarakat di kedua sisi batas, yang sebagian masih bertalian saudara „dipaksauntuk memiliki identitas kebangsaan (politik) yang berbeda. Sebelah selatan garis menjadi wilayah kekuasaan  Dutch Borneo dan sebelah utara berada di bawah  British Protectorates. Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia,  pulau yang terbelah secara paksa itu diwariskan kepada bekas jajahannya masing- masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo di sebelah selatan,

Upload: aris-munandar

Post on 13-Apr-2018

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 1/25

KONTESTASI IDENTITAS DI PERBATASAN:

Memahami Identitas Sosial Komunitas di Perbatasan Kalimantan

Aris Munandar

FISIP Universitas [email protected]

Abstract

This paper explores a sociological analysis of the reconstruction of social identity in thelocal communities in Indonesia-Malaysia border. Social identity is the collective orientationhas been being formed of dynamic social interaction. Politics, economic, and socio-cultural factors, is an important pull factor in constructing national identity in the bordercommunities are highly liquid. Therefore, the government's development policy is required inorder to be a driving factor so that Indonesia become internalized social identity in the life

of local communities, and thus became the pillars of state sovereignty at the border. Key words: identity, nationalism, contestation, border communities, sovereignity

Pendahuluan

Proses terbentuknya negara-bangsa di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari

 pembagian teritori wilayah di masa kolonial pada abad 19-20, ketika para penguasa

kolonial membagi Asia Tenggara berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka,

tanpa sepengetahuan para subyek jajahan mereka. Faktor-faktor kultural, agama,

linguistik, pola mobilitas, formasi-formasi hubungan sosial maupun jaringan

 perdagangan tradisional tidak menjadi dasar pertimbangan bagi penentuan batas

negara. Akibatnya, batas-batas negara di Asia Tenggara tidak dapat berpotongan

dengan batas-batas kultural secara persis (Lumenta, 2009). Hal ini pula yang berlaku

 pada perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan, awalnya adalah garis di

atas peta yang ditorehkan melalui perjanjian dua negara penjajah, Belanda dan

Inggris pada 20 Juni 1891. Pulau Borneo pun kemudian dibelah memanjang dari

timur ke barat.

Munculnya negara sebagai realitas sosial „baru‟ menyebabkan masyarakat di

kedua sisi batas, yang sebagian masih bertalian saudara „dipaksa‟ untuk memiliki

identitas kebangsaan (politik) yang berbeda. Sebelah selatan garis menjadi wilayah

kekuasaan  Dutch Borneo  dan sebelah utara berada di bawah  British Protectorates.

Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia,

 pulau yang terbelah secara paksa itu diwariskan kepada bekas jajahannya masing-

masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo di sebelah selatan,

Page 2: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 2/25

2

sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei. Dilihat dari sudut kepentingan negara,

wilayah perbatasan dianggap sebagai titik persinggungan antara kepentingan

kedaulatan nasional dan negara tetangga sehingga ditempatkan sebagai wilayah yang

rawan, sebuah  frontier   yang harus dijaga dari ancaman luar. Akibatnya, mobilitas

lintas negara yang kerap dilakukan warga komunitas di perbatasan ditafsirkan

sebagai gejala yang menyimpang dan dianggap sebagai indikasi lunturnya rasa

nasionalisme.

 Namun demikian, kehadiran negara dengan batas-batas teritorial sebagai

realitas politik, tampaknya tidak serta merta menjadi „fakta sosial‟   baru yang bisa

menggantikan atau mengeliminasi norma-norma dan nilai-nilai kultural sebagai

 pattern of behavior,  yang menjadi pedoman warga komunitas lokal di perbatasan

dalam berperilaku dan menjalin hubungan sosial di antara mereka. Garis batas fisik

negara tidak dapat menghapus realitas sosial-budaya yang sudah ada sebelumnya.

Sampai saat sekarang, individu dan unit-unit sosial yang berada di antara garis batas

tetap meneruskan irisan itu, terutama dalam hal migrasi penduduk, perdagangan, dan

 penggarapan lahan. Pada akhirnya, di mata sebagian masyarakat tradisional di

 perbatasan, batas negara yang ditorehkan secara paksa oleh kolonial Inggris dan

Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Malaysia dan Indonesia, adalah garis batas

wilayah yang imajiner. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian sebagian

warga perbatasan memiliki identitas kewarganegaraan ganda. Kebanyakan yang

terjadi adalah warga negara Indonesia yang kemudian berpindah menetap ke

kampung di Malaysia (Kompas, 14 Agustus 2009).

Memperhatikan fenomena dan realitas sosial yang berkembang di daerah

 perbatasan Indonesia-Malaysia, secara umum ada tiga dimensi permasalahan pokok

yang terjadi yaitu:  Pertama, permasalahan yang berdimensi lokal, yaitu gambarankemiskinan sebagai akibat dari tidak fokusnya intervensi kebijakan di masa lalu

sehingga terabaikannya pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, kemudian

diikuti dengan penanganan perbatasan yang masih kental dengan nuansa sentralistik.

 Kedua, permasalahan yang berdimensi nasional, yaitu munculnya kegiatan ekonomi

ilegal diantaranya illegal logging , TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in

 persons), eksploitasi sumber daya alam secara tidak beraturan, lemahnya sistem

 pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta

Page 3: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 3/25

3

gejala degradasi nasionalisme.  Ketiga, permasalahan yang berdimensi regional

antarnegara, lebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk negeri sendiri

dengan negeri tetangga, pergeseran atau hilangnya patok tapal batas negara sehingga

menimbulkan konflik mengenai garis batas dan kasus-kasus lainnya (Tirtosudarmo,

2004).

Ketiga permasalahan yang berkembang di daerah perbatasan baik dalam

dimensi lokal, nasional, maupun regional antar negara, sebagaimana digambarkan di

atas pada dasarnya lebih mencerminkan disparitas sosial-ekonomi antar negara, yang

 berdampak pada disparitas sosial-ekonomi antar warga negara. Kondisi ini menjadi

ancaman potensial bagi berkembangnya masalah yang lebih kompleks di wilayah

 perbatasan, seperti menurunnya loyalitas dan kepercayaan masyarakat terhadap

 pemerintah, meningkatnya arus migrasi keluar dan pelanggaran tapal batas, ditambah

dengan semakin terbukanya wilayah perbatasan, memungkinkan mobilitas warga

komunitas di wilayah perbatasan semakin meningkat untuk mengejar kesempatan

sosial-ekonomi yang lebih baik di negara tetangga. Dalam beberapa derajat tertentu,

kondisi ini akan menjadi ancaman bagi kedaulatan negara (Indonesia). Oleh karena

itu, kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan yang berorientasi pada pembangunan

sosial-ekonomi dan bermuara pada pembangunan negara-bangsa (nation-building )

merupakan suatu program prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Tulisan ini merupakan telaah kritis dengan menggunakan perspektif

sosiologi untuk memahami keunikan identitas sosial pada komunitas lokal di wilayah

 perbatasan negara. Informasi dan data sekunder yang terbatas mengenai komunitas

lokal di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di pulau Kalimantan, dijadikan

sebagai subyek analisis untuk menggambarkan bagaimana kontestasi dan konstruksi

identitas sosial komunitas terbentuk. Namun demikian, untuk memahami realitassosial secara lebih kritis dan mendalam perlu dilakukan penelitian empiris lebih

lanjut.

Konstruksi Identitas: Etnisitas versus Kebangsaan

Kehidupan komunitas lokal di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di

Kalimantan Barat dihadapkan pada realitas sosial yang kompleks. Pertama, realitas

yang terkonstruksikan dari dinamika budaya etnisitas yang memandu kehidupan

mereka sehari-hari. Kedua, realitas yang dikonstruksikan oleh kekuatan struktur

Page 4: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 4/25

4

 politik nasional, yang memberi identitas kepada mereka sebagai warga negara. Di

samping itu, mereka juga dihadapkan pada realitas dinamika sosial, ekonomi, dan

 politik yang berlangsung terus menerus di daerah perbatasan sehingga menuntut

warga komunitas untuk selalu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi tersebut.

Persoalan identitas sosial komunitas perbatasan menjadi isu krusial dalam

studi ini, khususnya terkait dengan etnisitas dan kebangsaan, yang secara geopolitik

maupun geokultural melibatkan dua negara yang berbeda -- Indonesia dan Malaysia.

Dalam konteks geopolitik (nation-state), komunitas perbatasan merupakan bagian

dari warga negara dengan identitas politik atau kebangsaan tertentu. Identitas

tersebut membedakan dan memisahkannya dengan warga negara lain. Sedangkan

secara geokultural (ethnicity), pemisahan batas politik tersebut tidak berarti

merupakan pemisahan batas etnik yang secara historis telah hadir sebelum batas

 politik terbentuk. Konsekuensinya, perbedaan kewarganegaraan tidak mencerminkan

 perberdaan etnik. Dengan kata lain, meskipun komunitas lokal di perbatasan berbeda

secara geopolitik, tetapi secara geokultural mereka merupakan komunitas yang sama.

Konsekuensinya, identitas nasional tidak kongruen dengan identitas etnis,

 batas kultural tidak berpotongan (cross-cutting ) dengan batas politik. Kondisi ini

terjadi karena komunitas etnis sebagai realitas sosial-budaya telah hadir jauh sebelum

munculnya negara-bangsa dengan batas teritorialnya yang terbentuk kemudian oleh

kekuatan kolonial. Implikasi lebih lanjut, kehadiran negara sebagai realitas politik

tidak dengan serta merta membatasi hubungan sosial, budaya, dan ekonomi yang

sudah terbangun dalam kerangka hubungan etnisitas pada komunitas di perbatasan. 

Selain faktor historis dan sosial-kultural, tak dapat dipungkiri adanya

ketimpangan yang tajam dalam dinamika pembangunan antara Sarawak-Kalimantan

Barat dan Sabah-Kalimantan Timur, menjadi faktor krusial yang dapat memberikankontribusi terhadap perubahan orientasi dan idenfikasi sosial penduduk di

 perbatasan. Di mana, pengalaman masa lalu -- sebelum diberlakukannya Undang-

Undang Otonomi Daerah -- kawasan perbatasan secara politis dianggap sebagai

kawasan yang rawan terhadap penyelundupan, penyusupan, ataupun kegiatan

kriminal lainnya yang dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas keamanan negara

(Wirjanto, 2003). Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan melalui

 pendekatan keamanan (security approach)  dengan menempatkan aparat militer di

Page 5: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 5/25

5

setiap kawasan perbatasan. Selain itu, kawasan perbatasan ditempatkan sebagai

halaman belakang negara (outward looking ) sehingga masyarakat di sepanjang

kawasan perbatasan menjadi terisolir dari dinamika pembangunan.

Kondisi yang sangat timpang tampak di sepanjang perbatasan Kalimantan

yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pemerintah Malaysia menganggap

negara Indonesia bukan merupakan ancaman bagi negaranya dalam mengelola

kawasan perbatasan, mereka sudah sejak lama menerapkan pendekatan kemakmuran

(prosperity approach). Dengan kebijakan tersebut, daerah di sepanjang kawasan

 perbatasan Malaysia dibangun infrastruktur yang lengkap, sehingga daerah

 perbatasannya berkembang dengan pesat. Kesenjangan sosial yang tajam membuat

 penduduk perbatasan Indonesia yang terisolasi akses kehidupan sehari-harinya

cenderung berorientasi ke negara tetangga yang mempunyai sarana dan prasarana

yang jauh lebih lengkap serta kegiatan ekonomi yang lebih maju. Apalagi

kebanyakan dari mereka terdiri dari kelompok etnis yang serumpun dan bersaudara

dengan masyarakat di negara tetangga. (Husnadi, 2006).

Anderson (1983) mencatat bahwa terdapat perbedaan pandangan terhadap

wilayah perbatasan antara negara modern dan tradisional. Di Asia Tenggara negara

tradisional ditentukan oleh pusatnya dan bukan oleh wilayah perbatasannya. Oleh

karena itu, tidak mengherankan apabila pemerintahan negara-negara itu memberikan

 perhatian kepada pusat pemerintahannya dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang

dianggap jauh dari jangkauan pusat. Ini pula yang menyebabkan mengapa penduduk

di wilayah perbatasan yang dianggap sebagai kelompok minoritas seringkali merasa

kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Kondisi ini terjadi pada komunitas

 perbatasan di Kalimantan, mereka masih ditempatkan sebagai halaman belakang dari

negara sehingga kurang mendapatkan perhatian yang memadai, khususnya dalam pembangunan sosial-ekonomi yang dapat menunjang pencapaian tingkat

kesejahteraan di daerah perbatasan. Dalam beberapa derajat tertentu, kondisi ini

akan menjadi ancaman bagi kedaulatan negara Indonesia, mengingat wilayah

 perbatasan negara tetangga menunjukkan perkembangan sosial-ekonomi yang lebih

maju. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan yang berorientasi

 pada pembangunan sosial-ekonomi dan bermuara pada pembangunan negara-bangsa

Page 6: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 6/25

6

(nation-building ) merupakan suatu program prioritas yang harus dilakukan oleh

 pemerintah.

Perspektif Sosiologis tentang Konstruksi Identitas

1.  Identitas Sosial

Identitas sosial dipahami sebagai hubungan kategoris, yaitu didefinisikan

oleh batas yang mengecualikan beberapa anggota lain dari kelas yang sama. Identitas

yang diatribusi atau dihubungkan dengan orang lain dalam upaya untuk

menempatkan mereka dalam ruang sosial. Biasanya didasarkan pada peran sosial

yang mapan, atau kategori sosial yang lebih luas atau lebih inklusif, seperti kategori

gender atau kategori etnis dan nasional, dan sering disebut sebagai "identitas peran"

(Stryker, 1980) dan "identitas kategoris" (Calhoun, 1997). Namun, apapun basis

spesifik sosio-kultural mereka, identitas sosial adalah fundamental bagi interaksi

sosial di mana mereka menyediakan suatu orientasi.

Dengan demikian, identitas sosial adalah konsep yang merepresentasikan

suatu gagasan yang menunjukkan orientasi “kekitaan” dalam kelompok dan

menekankan kesamaan atribut-atribut sosial tertentu di antara anggota-anggota yang

tergabung dalam suatu kelompok atau komunitas tertentu. Giddens mengemukakan

 bahwa identitas sosial terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu

kelompok sosial, yang di dalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting

yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya (Giddens, 2003:44).

Sebagai kategori sosial yang dikonstruksikan melalui relasi dan interaksi

sosial di dalam masyarakat, maka identitas sosial bukan warisan biologis yang

dibawa bersama dengan kelahiran seseorang. Sebagaimana dikemukakan Berger

 bahwa setiap biografi individu adalah suatu episode dalam sejarah masyarakat yang

sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut sesudahnya. Di dalam masyarakat

lah dan sebagai hasil dari proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi. Ia

memperoleh dan berpegang pada suatu identitas dan ia melaksanakan berbagai

aktivitas yang menjadi bagian kehidupannya. Sebagai anggota masyarakat, individu

terlibat dalam proses dialektika antara identifikasi oleh orang lain dan identifikasi

oleh diri sendiri, antara identitas yang diperoleh secara obyektif dan identitas

subyektif. Individu tidak hanya mengambil peran dan sikap dari orang lain, tetapi

 juga mengambil dunianya, sehingga landasan sosial dan proses sosial itu diperlukan

Page 7: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 7/25

7

untuk memeliharanya. Dengan demikian, identitas harus dipahami dalam dua tataran

konstruksi; tataran identitas personal dan tataran kolektif atau identitas sosial

(Berger, 1991:3).

Identitas sosial bersifat multi-facet . Individu dalam keberadaannya sebagai

anggota dari suatu kelompok atau komunitas tertentu, menyandang berbagai identitas

sosial yang merepresentasikan keberadaan kelompok atau komunitasnya tersebut.

Melalui identitas sosial individu menempatkan dirinya dalam berbagai posisi dalam

kehidupan masyarakat. Atau dengan kata lain, individu ada di dalam konteks struktur

sosial. Sebagaimana dikemukakan Cooley (1902), Coleman (1990), dan Stryker

(2002) bahwa individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari koin yang sama.

Masyarakat (struktur sosial) diciptakan oleh tindakan individu, dan di sisi lain

tindakan tersebut dihasilkan dalam konteks struktur sosial, mereka menciptakan dan

dipengaruhi oleh konteks ini. Jadi, karakteristik individu dan karakteristik

masyarakat saling mempengaruhi secara timbal balik (Burke & Stets, 2009:4).

Berbagai definisi identitas sosial yang dikemukakan para sarjana di atas,

 pada dasarnya menunjukkan bahwa identitas sosial terbentuk melalui proses sosial

yang dinamis dan dialektis, melibatkan negosiasi dan kontestasi di antara para pelaku

dengan berbagai struktur atau kekuatan sosial yang muncul di dalam masyarakat,

atau dengan kata lain, konstruksi identitas merupakan produk dari proses negosiasi

aktor dengan situasi sosial atau kekuatan eksternal yang saling berkontestasi.

Sebagaimana dikemukakan Giddens (2004:37) bahwa dalam masyarakat modern

individu harus membentuk dan membentuk kembali dirinya agar mampu

menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Karena kondisi-

kondisi baru secara konstan muncul di sekitar individu yang harus dijadikan masuk

akal. Individu harus mengelola dan melekatkan makna kepada dunia yang secarainheren tidak stabil.

Dengan demikian, identitas sosial yang melekat pada seorang individu tidak

 fix, melainkan berubah dan bersifat fluktuatif, relasional, dan situasional,

dikonstruksikan melalui praktik dan interaksi sosial. Kategori identitas bersifat

multiple  dan makro, tersebar bebas dalam lingkungan kehidupan di mana individu

 bisa memilih atau mengabaikannya, tergantung pada kalkulasi kepentingan,

kebutuhan situasional, derajat sugestibilitas yang dihadapi pada saat itu. Identitas

Page 8: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 8/25

8

kolektif memainkan peran penting dalam membingkai tindakan, namun

keberdadaannya tidak berifat baku atau fondasional (Jennifer Todd, 2005).

Dalam konteks studi mengenai komunitas di perbatasan Indonesia-

Malaysia, pemahaman mengenai identitas sosial komunitas menjadi menarik dan

 penting, terutama terkait dengan identitas nasional sebagai perwujudan dari

kedaulatan negara-bangsa. Komunitas lokal di perbatasan, dihadapkan pada realitas

 politik yang dikonstruksikan oleh negara Indonesia dan Malaysia. Bagaimana

kontestasi antara kedua negara tersebut yang tercermin dalam dinamika sosial-

 budaya, ekonomi, dan politik di daerah perbatasan direspons oleh komunitas lokal,

yang kemudian mempengaruhi loyalitas dan sentimen nasionalisme mereka. Proses

 pemaknaan akan bekerja di dalam masyarakat, yang melibatkan para aktor dan

institusi sosial untuk melakukan kalkulasi dan menegosiasikan identitas sosial

mereka dengan realitas dan dinamika sosial yang berkembang di daerah perbatasan,

sehingga dalam situasi sosial perbatasan yang dinamis menggambarkan kontestasi

antar negara, identitas sosial (nasionalisme) menjadi cair dikonstruksikan dan

dikonstruksikan kembali oleh masyarakat, seiring dengan dinamika sosial, ekonomi,

dan politik yang berlangsung.

2.  Bangsa dan Nasionalisme

Pendekatan teoritis mengenai bangsa dan nasionalisme sebagai identitas

sosial yang bersumber dari perspektif primordialisme Anthony Smith dan pendekatan

modernisme dari Ernest Gellner, Benedict Anderson, Eric Hobsbawm, John Breuilly,

dan Paul R. Brass, akan digunakan sebagai landasan teori pokok dalam tulisan ini.

Bagi kaum modernis, nasionalisme adalah ideologi budaya dan politik dari

modernitas, sarana penting dalam transformasi besar dari tradisionalisme menuju

industrialisme, dan khususnya dalam pembentukan negara modern (McCrone, 1998).

Kaum modernis beranggapan bahwa ada diskontinuitas antara nasionalisme modern

dan pra-modern (Hutchinson, 1994). Pendekatan teori modern mengemukakan

sejumlah detil sejarah dan analisis sosiologi dalam menjelaskan proses sosial formasi

 bangsa dan nasionalisme pada level struktur, kultur, dan agensi. Secara umum,

 perspektif modernisme dalam menjelaskan konsep bangsa dan nasionalisme

didasarkan pada beberapa asumsi yang anti-historis dan bersifat rasional (Smith

1983: 18):

Page 9: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 9/25

9

1.  Bangsa tidak berada dalam pengertian kuno atau purbakala.

2.  Keberadaan bangsa tidak berarti kodrati, ada dengan sendirinya di alam atau

 pada saat pertama kali.

3. 

Banyak negara dalam kenyataannya relatif baru, baik di Eropa dan kemudian di

Afrika dan Asia, hal ini menyangkal karakter bangsa sebagai purba atau

 primordial.

4.  Kita tidak bisa dan tidak akan membaca elemen bangsa dan nasionalisme

kembali ke awal, kolektivitas dan sentimen pra-modern. Nasionalisme

“restropektif” semacam ini semakin mendistorsi pemahaman mengenai identitas

yang sangat berbeda, komunitas dan hubungan dalam dunia kuno dan abad

 pertengahan.

5.  Bangsa bukan produk alam atau mengakar dalam kekuatan sejarah, melainkan

 perkembangan sejarah terakhir dan dari aktivitas yang rasional, terencana,

dimungkinkan dan diperlukan oleh kondisi era modern.

Prinsip-prinsip utama dari paradigma modernis, khususnya model nation-

building   menekankan sifat politik dari bangsa, dan peran aktif warga negara serta

 para pemimpin dalam mengkonstruksikannya. Meskipun teori dan ideologi mereka

 berbeda, tetapi semuanya sepakat bahwa usia negara-bangsa adalah baru dan

modern. Kondisi modern menyediakan tanah yang subur bagi formasi bangsa dan

nasionalisme, sebagai salah satu ideologi yang sukses dalam modernisasi (Smith

1998: 24).

Ernest Gellner, salah satu tokoh teori modern, mendifinisikan bangsa

sebagai masyarakat dengan budaya tinggi (high culture), yang ditanamkan secara

khusus, terstandarisasi, berbasis pendidikan, dan budaya literasi. Dia menyebut hal

ini sebagai “taman” budaya untuk membedakannya dari yang „liar‟, budaya spontandan tidak terarah yang biasanya ditemukan dalam masyarakat agroliteracy, yang

tidak memerlukan disain kesadaran, pengawasan, dan nutrisi khusus. Di sisi lain,

 pembudayaan atau taman budaya, kaya dan kompleks, ditopang oleh personel

spesialis untuk bertahan hidup, harus dipelihara oleh institusi pembelajaran khusus

yang banyak, berdedikasi, profesional penuh waktu (Gellner 1983:50-52).

Lebih lanjut, Gellner mengemukakan bahwa bangsa adalah fungsional bagi

masyarakat industri. Industrialisasi yang cepat, urbanisasi dan kemajuan teknologi di

Page 10: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 10/25

10

Eropa Barat telah mengganggu “sistem integrasi” masyarakat tradisional dan telah

menginisiasi restrukturisasi dari yang lama dan munculnya institusi sosial baru.

Karena itu, masyarakat industri modern didasarkan pada ide pertumbuhan abadi.

Mereka menuntut tenaga kerja yang sangat mobil, terdidik, dan terspesialisasi.

Permintaan ini telah membentuk kembali institusi negara untuk melakukan

transformasi masyarakat dari yang sebelumnya terpusat dan tertutup tergabung

menjadi terdesentralisasi, terbuka dan terspesialisasi (Gellner, 1983: 14). Terutama

melalui sarana pendidikan yang tersentralisasi “low culture” yang ada

ditransformasikan menjadi “high culture”, yaitu suatu kultur yang ditandai oleh

standarisasi, literasi, dan sistem komunikasi yang berbasis pendidikan (Gellner,

1983:54). Sistem pendidikan ini menghapus perbedaan budaya regional dan

mencetak penduduk ke dalam komunitas nasional yang sama. Periode transisi ini

sekarang diberi nama era nasionalisme.

Pendekatan yang lain dari perspektif modernisme melihat bangsa dan

nasionalisme sebagai sarana bagi proses sistem sosial budaya dalam masyarakat

modern. Mereka adalah Anderson (1983) dan Hobsbawm (1989). Sedangkan

Breuilly (1982) dan Brass (1991), memahami nasionalisme sebagai gerakan politik

yang dimotori oleh elit nasionalis. Bagi Hobsbawm (1989), kebangkitan bangsa dan

nasionalisme terjadi melalui reintegrasi sosial dan budaya dari masyarakat tradisional

yang telah hancur. Proses transisi harus menggantikan tradisi yang hilang dan

menciptakan basis baru bagi solidaritas penduduk. Hobsbawm juga melihat bahwa

nasionalisme terjadi dalam transformasi yang cepat di dalam masyarakat ketika

tradisi lama berhenti menjalankan tugas untuk mana mereka dirancang. Nasionalisme

menawarkan penggantinya, “tradisi baru” yang hanya dihasilkan dari

ketidakmampuan menggunakan atau beradaptasi dengan tradisi yang lama.Pendekatan ini juga mempertimbangkan formasi bangsa sebagai suatu

 proses modern, tetapi metodenya ditemukan di dalam “invensi-tradisi”. Hobsbawm

melihat praktik ini sebagai metode untuk mengimplementasikan nilai-nilai dan

norma-norma perilaku tertentu hanya dengan pengulangan. Untuk menciptakan

kohesi dan stabilitas diperlukan masyarakat seperti itu. Hobsbawm mengemukakan

tiga cara pokok inklusi dan kontrol: (1) dengan membangun atau melegitimasi

institusi; (2) dengan menemukan sistem status baru dan model-model sosialisasi,

Page 11: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 11/25

11

yang juga bisa memberikan model-model kepercayaan, sistem nilai dan perilaku

yang diinginkan; (3) melalui formasi komunitas seperti bangsa, yang dapat

membangkitkan perasaan identifikasi baik di dalam komunitas itu maupun dengan

institusi yang mewakili, mengekspresikan atau mensimbolisasikannya (1985:9).

Ditempatkan dalam cara ini, bangsa menjadi alat yang sempurna untuk integrasi

sosial-budaya baru dalam masyarakat modern dan dikonstruksikan dalam pikiran.

Sementara itu, Benedict Anderson (1983) menjelaskan kemunculan bangsa

dan nasionalisme sebagai instrumen integrasi sosial-budaya baru dalam masyarakat

yang telah hancur oleh industrialisasi yang cepat, modernisasi dan kemajuan dalam

teknologi. Transisi dari pra-modern menuju masyarakat modern ditandai oleh proses

sekularisasi umum, standarisasi konsep waktu dan penemuan cetak komersial. Proses

tersebut menurut Anderson, membuat nasionalisme menjadi mungkin. Proses

 pertama telah mentransfer loyalitas komunitas religius menjadi komunitas yang

ditakdirkan, yaitu bangsa. Proses kedua telah membuka ruang imajinasi dalam suatu

homogenitas, di mana seorang individu bisa mengidentifikasikan dirinya dengan

massa yang tidak dikenal dari bangsa yang sama (Anderson, 1983: 24). Munculnya

 print-capitalism, khususnya surat kabar, telah menciptakan standarisasi bahasa

daerah dan menawarkan satu gambaran dunia yang berakar jelas dalam kehidupan

sehari-hari. Proses-proses tersebut telah berhasil menciptakan  bangsa, yaitu “suatu

komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara

inheren dan berkedaulatan” (Anderson, 1983:6). 

Dalam cara pandang yang berbeda dengan Anderson dan Hobsbawm,

Breuilly (1982) menggunakan konsep nasionalisme mengacu pada gerakan politik

untuk mencari dan menjalankan kekuasaan negara, serta menjustifikasi tindakan

tersebut dengan argumen nasionalis. Nasionalisme adalah doktrin politik yangdibangun di atas tiga pernyataan: (1) adanya suatu bangsa dengan karakter yang jelas

dan khas; (2) kepentingan dan nilai bangsa ini didahulukan di atas semua

kepentingan dan nilai yang lain; dan (3) bangsa harus independen dan memiliki

kedaulatan politik.

Menurut Breuilly, nasionalisme tidak dapat dijelaskan hanya oleh faktor-

faktor kepentingan kelas, modernisasi ekonomi, kebutuhan psikologi atau kultur.

Tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut dapat membantu memahami nasionalisme

Page 12: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 12/25

12

secara umum. Ia berpendapat bahwa politik, dalam hal ini adalah kekuasaan ( power ),

merupakan poin krusial di atas semua faktor lain untuk memahami nasionalisme.

Kekuasaan dalam dunia modern adalah terutama berkaitan dengan kontrol negara.

Oleh karena itu, yang terpenting adalah menghubungkan nasionalisme dengan tujuan

 perolehan dan penggunaan kekuasaan negara. Selanjutnya, kontribusi faktor-faktor

lain seperti kelas, kepentingan ekonomi atau budaya dapat dipertimbangkan

(1982:1).

Tokoh modernisme lainnya, Brass (1991), dalam studi nasionalismenya

menekankan pada sifat “instrumental” dari etnisitas. Bahwa identitas etnik dan

identitas nasional merupakan instrumen bagi kelompok elit yang bersaing untuk

menghasilkan dukungan massa dalam perjuangan universal bagi kekayaan,

kekuasaan dan prestise (Smith, 1986: 6). Bertentangan dengan primordialis yang

memperlakukan etnisitas sebagai suatu kondisi manusia yang  given, Brass

menyatakan keterlibatan etnis dan nasional secara kontinu meredefinisikan dan

merekonstruksikan untuk menanggapi perubahan kondisi dan manipulasi elit politik.

Kerangka teoritik Brass dibangun di atas beberapa asumsi dasar. Pertama

mengenai variabilitas identitas etnik, yaitu adanya kebangkitan identitas etnik dan

transformasinya menjadi nasionalisme. Kedua, konflik etnik tidak muncul dari

 perbedaan kultural, tetapi dari lingkungan politik dan ekonomi yang lebih luas, yang

 juga membentuk sifat kompetisi antar kelompok elit. Ketiga, kompetisi ini juga

mempengaruhi definisi kelompok etnik yang relevan dan keberlangsungannya. Hal

ini, karena bentuk-bentuk kultural, nilai, dan praktik kelompok-kelompok etnik

menjadi sumber-sumber politik bagi elit dalam memperjuangkan kekuasaan dan

 prestise. Semua asumsi tersebut menunjukkan bahwa proses formasi identitas etnik

dan transformasinya menjadi nasionalisme adalah reversible, tergantung padakondisi politik dan ekonomi, elit bisa memilih untuk mengecilkan perbedaan etnik

dan mengupayakan kerjasama dengan kelompok-kelompok lain atau otoritas negara

(Brass, 1991: 13-16).

Argumen-argumen modernis di atas bertentangan dengan penjelasan Smith,

yang melihat bahwa eksistensi negara-bangsa berakar dalam komunitas kekerabatan

alami pra-modern. Bagi Smith (1991), bangsa modern secara langsung berasal dari

komunitas etnis yang memiliki keasliannya sendiri. Pengakuan keturunan yang sama

Page 13: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 13/25

13

ini, kemudian dipolitisasi oleh kaum intelejensia yang berusaha memobilisasi

dukungan. Smith menekankan bahwa bangsa-bangsa modern dengan sangat baik

dapat melegitimasi dirinya sendiri dengan mengacu pada mitos etnis yang otentik

dan sudah ada dalam memori kelompok.

Lebih lanjut, Smith (1991) mengemukakan bahwa identitas nasional pada

dasarnya multidimensi, tidak dapat direduksi pada elemen tunggal, bahkan oleh

faksi-faksi nasionalis tertentu, juga tidak bisa dengan mudah diinduksikan dengan

cepat dalam suatu populasi melalui cara-cara yang artifisial. Identitas nasional dan

 bangsa merupakan konstruk yang kompleks, gabungan dari sejumlah komponen

yang saling berkaitan  –  etnik, budaya, teritori, ekonomi, dan politik legal  –  mereka

mementingkan ikatan solidaritas di antara anggota-anggota komunitas yang

dipersatukan oleh memori, mitos, dan tradisi bersama yang bisa atau tidak bisa

menemukan kenyataannya dalam negara mereka sendiri tetapi seluruhnya berbeda

dari ketentuan hukum dan birokrasi negara yang murni. Secara konseptual, bangsa

telah muncul untuk memadukan dua perangkat dimensi civic dan teritorial, etnik dan

 genealogi  dengan berbagai proporsi dalam kasus-kasus tertentu.

Multidimensionalitas yang amat sangat ini telah membuat identitas nasional menjadi

fleksibel dan bertahan menguatkan kehidupan dan politik modern, serta

memungkinkannya bergabung secara efektif dengan ideologi dan gerakan yang kuat

lainnya, tanpa kehilangan karakternya.

Berdasarkan dimensi-dimensi di atas, fungsi identitas nasional dapat

digolongkan ke dalam konsekuensi tujuan eksternal dan internal. Fungsi eksternalnya

adalah teritorial, ekonomi, dan politik. Secara teritorial, bangsa menentukan ruang

sosialnya secara definitif di mana para anggotanya harus tinggal dan bekerja, dan

membatasi sejarah teritori yang menempatkan komunitas dalam waktu dan ruang.Mereka juga menyediakan individu dengan “pusat sakral”, obyek ziarah spiritual dan

sejarah, yang mengungkapkan keunikan geografi moral bangsa mereka.

Secara ekonomi, bangsa juga membiayai pencarian untuk mengontrol

sumber daya teritorial, termasuk tenaga kerja. Mereka juga menguraikan pembagian

kerja tunggal dan mendorong mobilitas barang dan tenaga keja, serta

mengalokasikan sumber-sumber di antara para anggotanya di tanah air. Dengan

Page 14: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 14/25

14

mendefinisikan keanggotaan, batas dan sumber daya, identitas nasional memberikan

alasan untuk cita-cita otarki nasional.

Secara politis, identitas nasional juga mendasari negara dan organ-organnya,

atau pra-politik mereka setara dengan bangsa-bangsa yang tidak memiliki negara

sendiri. Pemilihan personel politik, pengaturan perilaku politik dan pemilihan

 pemerintah didasarkan pada kriteria kepentingan nasional, yang diduga

mencerminkan kemauan nasional dan identitas nasional dari penduduk yang inklusif.

Fungsi politik dari identitas nasional yang paling menonjol adalah legitimasi hak

hukum dan tugas institusi hukumnya, yang mendefinisikan nilai dan karakter khas

 bangsa serta kebiasaan dan adat-isitiadat masyarakat yang sudah lama ada. Daya

tarik identitas nasional telah menjadi legitimasi utama bagi tatanan sosial dan

solidaritas sosial saat ini (Smith, 1991: 14-16).

Dengan demikian, bangsa dibentuk atas dasar inti etnis, meskipun terdapat

tumpang tindih dalam sejarah dan konseptual antara komunitas etnis dan bangsa.

Komunitas etnis tidak mempunyai beberapa atribut bangsa, mereka tidak merupakan

tempat tinggal dalam arti wilayah teritorial. Budaya mereka tidak menjadi budaya

 publik atau umum bagi seluruh anggota. Mereka tidak perlu dan sering tidak

menunjukkan suatu pembagian kerja bersama atau kesatuan ekonomi. Atau tidak

 perlu memiliki kode hukum yang umum dengan hak-hak umum dan tugas-tugas

untuk semua anggota. Atribut-atribut bangsa tersebut merupakan produk dari sejarah

dan kondisi sosial tertentu yang bekerja pada inti etnik dan minoritas etnik

sebelumnya.

Dari berbagai definisi dan penjelasan teoritis di atas, baik dalam perspektif

modernisme maupun primordialisme, dapat disimpulkan bahwa bangsa dan

nasionalisme merupakan identitas kolektif modern yang dikonstruksikan secara politis seiring dengan perkembangan dan formasi negara-negara modern. Sebagai

ideologi modern, nasionalisme digunakan untuk menciptakan kohesi dan loyalitas di

antara individu yang berpartisipasi di dalam sistem yang berskala besar. Dia

merangkai suatu eksistensi komunitas yang diimajinasikan berdasarkan budaya yang

sama dan menyatu di dalam negara, di mana loyalitas masyarakat dan keterikatan

mereka diarahkan ke negara bukan pada komunitas asal berdasarkan ikatan

 primordial atau tanah leluhurnya.

Page 15: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 15/25

15

Kontestasi dan Rekonstruksi Identitas di Perbatasan

Ada dua pandangan yang fundamental mengenai konsep etnisitas dan

nasionalisme sebagai identitas sosial (Martinnusen, 1997:323). Perspektif pertama,

memandang identitas etnik dan nasional didasarkan pada karakteristik umum yang

obyektif, seperti bahasa, ras, dan agama. Identitas tersebut yang sudah ada

sebelumnya berdasarkan beberapa jenis identifikasi dan loyalitas primordial.

Konsepsi formasi identitas ini dalam beberapa hal dihubungkan dengan pandangan

normatif yang menyatukan orang-orang dalam karakteristik yang sama dan

memisahkannya dari orang-orang lain yang karakteristiknya berbeda, merupakan

fenomena „alamiah‟ yang harus diterima sebagai fakta kehidupan. 

Perspektif fundamental kedua, melihat etnisitas dan nasionalitas sebagai

fenemona yang secara sosial dan ideologi dikonstruksikan, dan bahkan mungkin

secara politik dimanipulasi oleh elit-elit yang bertarung untuk mengontrol sumber

daya dan privilese (Gellner, 1983; Hobabawn, 1991; Brass, 1991). Menurut konsepsi

ini, bahasa, agama, dan afinitas teritorial hanya diperlukan jika dan ketika mereka

digunakan sebagai basis penciptaan kesadaran dan moblisasi sosial. Identitas sosial

 bukan merupakan cara yang sudah diberikan sebelumnya sebagai identitas

 primordial, sebaliknya, merupakan perasaan komunitas dan solidaritas yang terlibat

dalam proses sosial dan oleh karena itu tergantung pada konteks. Identitas kolektif,

seperti etnisitas dan nasionalisme yang diekspresikan secara berbeda-beda,

merupakan konstruksi ideologis dari hubungan antara negara, civil society, dan aktor-

aktor individual. Dalam hubungan ini, komunitas etnik dan nasional secara tipikal

mengandung banyak intervensi dan imajinasi tentang warisan kultural bersama,

 pahlawan bersama, norma dan adat-istiadat bersama, dan sebagainya. Jadi, menurut

 persepektif ini, etnisitas dan nasionalisme bisa dijelaskan dan dibenarkan dalamsuatu konteks yang berbeda (Martinnusen, 1997:328).

Dalam konteks daerah perbatasan yang menjadi fokus studi ini, dua aspek

identitas sosial; etnisitas dan kebangsaan merupakan isu krusial karena terkait

dengan eksistensi dua negara, Indonesia dan Malaysia, sebagai kekuatan politik yang

secara langsung atau tidak langsung, terlibat dalam membentuk identitas komunitas

lokal di perbatasan. Dalam konteks kebangsaan, komunitas perbatasan adalah warga

negara yang memiliki identitas politik tertentu, yang memisahkan dan

Page 16: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 16/25

16

membedakannya dengan wargan negara lain. Namun, keberadaan mereka di daerah

 perbatasan, seringkali identitas kebangsaan mereka menjadi tidak jelas, bahkan

dalam banyak kasus, di antara mereka memiliki identitas kewarganegaraan ganda.

Kondisi ini dimungkinkan, karena batas-batas etnisitas seringkali tidak identik

dengan batas-batas negara, batas kultural tidak berpotongan (cross-cutting ) dengan

 batas politik.

Di sisi lain, situasi sosial yang dinamis di perbatasan, menunjukkan

terjadinya kontestasi kepentingan ekonomi, politik, dan sosial-budaya antar

masyarakat dan negara, yang memberi ruang bagi warga komunitas lokal untuk

menegosiasikan dan mengkonstruksikan kembali identitas sosialnya sesuai dengan

situasi sosial yang dihadapi dan kalkulasi kepentingan tertentu. Dengan demikian,

identitas sosial komunitas lokal di perbatasan akan dikonstruksikan secara terus

menerus, dalam hal ini etnisitas dan kebangsaan, serta dinamika situasi sosial yang

 berlangsung di daerah perbatasan, akan dijadikan sebagai dasar rekonstruksi identitas

sosial. Etnisitas dan kebangsaan akan dimaknai, digunakan atau tidak digunakan,

tergantung pada konteks sosial yang dihadapi, di mana kontestasi dan negosiasi

dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial-budaya berlangsung.

Komunitas lokal di perbatasan, dihadapkan pada berbagai bangunan

identitas legitimasi, antara lain dominasi institusi politik, ekonomi, dan budaya yang

mencerminkan persaingan kepentingan antara Indonesia dan Malaysia, serta

dominasi nilai-nilai tradisional yang dibangun oleh kekuatan sejarah dan budaya

etnisitas yang melampaui batas-batas teritorial negara secara formal. Bagaimana

masyarakat atau para aktor di daerah perbatasan memaknai dan melakukan negosiasi

dengan kekuatan eksternal tersebut dalam rangka mengkonstruksikan identitas sosial

mereka? Apakah masyarakat mengidentifikasikan dirinya dengan kekuatan dominanyang bersumber dari identitas legitimasi, atau mereka mengembangkan prinsip-

 prinsip yang berbeda dengan kekuatan dominan (identitas resisten)? Atau, bahkan

melakukan transformasi struktural dan membentuk identitas baru. Semua

kemungkinan tersebut, akan sangat tergantung pada kalkulasi kepentingan,

kebutuhan situasional, dan derajat sugestibilitas yang dihadapi oleh masyarakat.

Proses pemaknaan dan negosiasi akan bekerja di dalam masyarakat yang kemudian

Page 17: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 17/25

17

mereka mengkonstruksikan identitas sosialnya yang dianggap sesuai untuk

membingkai peran dan tindakan sosial mereka.

Beberapa hasil penelitian terkait dengan isu identitas sosial komunitas

 perbatasan menunjukkan bahwa identitas sosial bersifat cair, terbentuk melalui

interaksi dan kontestasi yang dinamis. Laporan Bappenas (2002) menyatakan bahwa

kawasan perbatasan dengan negara tetangga di Propinsi Kalimantan Barat dan

Kalimantan Timur merupakan perbatasan wilayah darat dan laut yang mempunyai

 pola keterkaitan pada daerah perbatasan darat antara wilayah Propinsi Kalimantan

Barat dengan Negeri Sarawak dan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri

Sabah. Kedua kawasan tersebut relatif berhubungan langsung satu sama lain karena

merupakan perbatasan darat. Kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah

Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia, maka terjadi

kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah

Indonesia ke wilayah Malaysia.

Hasil penelitian Maunati (2008) mengemukakan bahwa daerah perbatasan

memiliki keunikan karena lokasinya di „ grey area‟ dalam bebagai aspek. Dalam

aspek kekerabatan, komunitas lokal warga Negara Indonesia dan warga Negara

Malaysia memiliki hubungan yang kental karena mereka percaya berasal dari

kelompok yang sama. Hubungan dagang dan mobilitas berlangsung karena adanya

hubungan kekerabatan dan secara historis memang telah terjadi hubungan sebelum

terjadi garis demarkasi yang tegas memisahkan wilayah ke dalam dua negara yang

 berbeda (Ardhana, et.al., 2006).

Kemudian, studi yang dilakukan LIPI pada tahun 2007 di Krayan

Kalimantan Timur, Long Pasia, Sabah-Malaysia, dan Lun Bawan di Ba Kelalan,

Sarawak-Malaysia, ketiganya adalah desa-desa yang berdampingan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara, menunjukkan bahwa ikatan

antara masyarakat yang berbeda kewarganegaraan di perbatasan tersebut telah terjadi

 begitu lama melalui interaksi perdagangan. Apalagi mereka mempunyai ikatan etnis

yang sama (Sellato, 1994 dan Crain 1994). Sampai saat ini, kendati menghadapi

kendala fisik seperti ketiadaan akses jalan raya dan terisolir dari bagian propinsi yang

lain (landlocked ) namun hubungan perdagangan dan perekonomian tersebut masih

 berlangsung (John Haba, et.al. 2007).

Page 18: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 18/25

18

Eilenberg (2012) dalam penelitiannya di daerah perbatasan Kapuas Hulu

Kalimantan Barat, mengemukakan bahwa perbatasan Kalimantan Barat secara

keseluruhan, memiliki sejarah panjang keterbelakangan ekonomi dibandingkan

dengan bagian lain dari provinsi ini. Infrastruktur sosial-ekonomi yang buruk, pasar

regional yang terisolasi, dan kelangkaan investasi skala besar menandai perbatasan.

Sampai saat ini perbatasan telah sangat militeristik sebagai akibat dari ketegangan

antara Indonesia dan Malaysia, yang dipicu oleh konfrontasi bersenjata antara kedua

negara di awal tahun 1960-an dan diikuti oleh operasi militer anti-Komunis di

 pertengahan 1960-an hingga 1970. Hal ini diikuti oleh eksploitasi sumberdaya skala

 besar. Selain itu, komunitas perbatasan di Kapuas Hulu mengalami kesulitan berada

di salah satu pelosok negara Indonesia yang paling terpencil dan terbelakang secara

ekonomi. Kurangnya infrastruktur transportasi dan diperkuat oleh perasaan terisolasi

dari daerah lain di Indonesia, sementara melihat jarak ke arah Sarawak lebih dekat.

Perjalanan ke ibukota provinsi Pontianak memakan waktu hampir dua hari (dalam

musim hujan lebih panjang lagi) dengan perjalanan yang berbahaya dan mahal.

Pontianak merupakan wilayah asing bagi mayoritas penduduk setempat, yang hanya

memiliki sedikit atau tidak sama sekali kontak sosial kekerabatan. Oleh karena itu,

selain dari elit kecil perbatasan (banyak di antaranya memiliki rumah kedua di

Pontianak), hanya sebagian kecil dari penduduk perbatasan pernah keluar dari daerah

mereka sendiri. Namun sebaliknya, banyak yang telah mengunjungi Sarawak.

Kuching, dan pusat ekonomi utama di seberang perbatasan, yang jaraknya kurang

dari setengah hari perjalanan dengan menggunakan bis ber-AC di atas jalan yang

mulus. Tidak mengherankan, selain dari elit kecil perbatasan, hanya beberapa orang

di perbatasan yang telah mengunjungi ibukota provinsi mereka yang jauh, namun

 banyak yang berjalan menyusuri pantai menuju kota Kuching di Sarawak. Padaumumnya, perasaan komunitas di perbatasan terutama diarahkan pada pusat daerah

yang berdekatan di Sarawak daripada dengan pusat provinsi atau nasional mereka

(Eilenberg, 2012:11-12).

Bukti-bukti empiris yang ditemukan dalam penelitian di atas menunjukan

 bahwa aspek kebangsaan (nasionalisme) sangat cair dalam kehidupan komunitas

lokal di daerah perbatasan. Bahkan, kecenderungan identifikasi kebangsaan kepada

negara Malaysia sangat dimungkinkan oleh karena perbedaan kondisi ekonomi yang

Page 19: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 19/25

19

timpang dengan Indonesia. Kondisi perekonomian Malaysia di daerah perbatasan

lebih maju dibandingkan dengan Indonesia. Sebagaimana dikemukakan dalam

laporan Bappenas (2002) bahwa kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan

 perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga.

Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena

meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial,

namun dimungkinkan adanya kecenderungan untuk bergeser ke soal politik, terutama

apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai

ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal ini pun, selain dapat

menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan

martabat bangsa.(Bappenas, 2002).

Dalam dimensi etnisitas, komunitas lokal di perbatasan Indonesia-Malaysia

merupakan satu sistem komunitas etnis yang terlepas dari batas politik antarnegara.

Sebagaimana dikemukakan King (1993), penduduk asli di pulau Kalimantan

tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki karakteristik yang unik.

 Namun demikian, ada kategori umum bahwa orang Dayak dianggap sebagai “the

natives people of Borneo”. Mereka teridiri dari  kelompok penduduk seperti Iban,

Kayan. Bidayuh. Kendayan, Mayoh atau Kayan, Lun Bawang, dan lain-lain. Di sisi

lain. orang Dayak dikontraskan dengan orang Melayu karena perbedaan agama yang

dianut. Melayu diidentikan dengan Islam, meskipun sesungguhnya orang Melayu dan

orang Dayak juga bisa dibedakan dari bahasa dan adat isitiadat yang mereka

gunakan. Dalam perkembangan lebih lanjut, di daerah pedalaman Kalimantan Barat,

cukup banyak kelompok-kelompok penduduk Dayak, seperti Kendayan, Bidayuh,

dan Maloh yang menjadi muslim, kemudian mereka menamakan diri sebagai Melayu

Kapuas (Dikutif dari Tirtosudarmo, 2002:126).Kemudian, kehadiran negara di perbatasan yang antara lain diwujudkan

dalam bentuk pembangunan infrastruktur, regulasi, pelayanan publik, dan

 pengamanan, merupakan faktor yang diperhitungkan dan dimaknai keberadaannya

oleh komunitas di perbatasan. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas kehadiran

negara tersebut akan menjadi variabel signifikan yang dapat menguatkan identitas

kebangsaan komunitas lokal di perbatasan. Namun sampai saat ini, kehadiran negara

Page 20: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 20/25

20

(Indonesia) di daerah perbatasan, lebih banyak muncul dalam wujud pendekatan

keamanan melebihi pelayanan publik dan pembangunan infrastuktur.

Secara skematik, kontestasi dan rekonstruksi identitas komunitas di

 perbatasan dapat digambarkan sebagai berikut:

 Nasionalisme sebagai identitas kebangsaan pada komunitas di perbatasan

dipahami sebagai proses rekonstruksi sosial yang dinamis, produk dari berbagai

kekuatan yang saling berinteraksi dalam kehidupan masyarakat lokal. Pertama,

kepentingan politik ( political interets) dalam rangka membangun integrasi nasional

dan pemberian otonomi pada komunitas lokal untuk membangun wilayahnya ( self-

determination) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Kedua, kepentingan ekonomi (economic interests) dalam bentuk ketersediaan dan

akses terhadap sumberdaya ekonomi; sumber daya alam, lapangan pekerjaan,

fasilitas dan infrastruktur perekonomian yang mendukung terhadap pemenuhan

kebutuhan ekonomi masyarakat di perbatasan. Ketiga, kepentingan sosial-budaya

( socio-cultural interests) dalam bentuk tersedianya akses dan fasilitas pelayanan

 pendidikan, kesehatan, dan pelestarian budaya lokal yang mendukung

keberlangsungan kehidupan komunitas perbatasan sebagai suatu entitas. Seluruh

Komunitas Perbatasan

Poltical

Interests

Economic

Interests

Socio-cultural

Interests

Aktor/Agensi Ne ara

Aktor /Agensi

non-Negara

Konsepsi dan Manifestasi Kebangsaan

Komunitas Lokal Perbatasan

Page 21: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 21/25

21

aspek kepentingan tersebut memiliki makna dan merupakan  pull factors  (faktor

 penarik) yang dapat memberi kontribusi dan merekonstruksi konsepsi kebangsaan

dalam kehidupan komunitas lokal di perbatasan. Kemudian, sejauhmana negara dan

aktor-aktor/agensi yang memiliki kepentingan terhadap daerah perbatasan hadir dan

 berinteraksi, memaknai, merespon, dan mengkonstruksikan semua kepentingan di

atas sehingga menjadi  push factors  (faktor pendorong) bagi terbentuknya konsepsi

dan manifestasi nilai-nilai kebangsaan pada komunitas lokal di perbatasan. Di sisi

lain, adanya kontestasi kepentingan antarnegara Indonesia-Malaysia di perbatasan,

 berpeluang mengkonstruksikan makna kebangsaan seiring intensitas “kehadiran”

kedua negara tersebut di wilayah perbatasan. Pada akhirnya, nilai-nilai kebangsaan

dimaknai dan dikonstruksikan secara terus menerus dalam kehidupan komunitas

lokal, yang merefleksikan kepentingan subyektif dan obyektif, kekuatan  pull factors 

dan push factors, yang hadir di wilayah perbatasan.

Keseluruhan studi mengenai konstruksi identitas sebagaimana dipaparkan di

atas menunjukkan bahwa etnisitas dan nasionalisme dikonstruksikan dalam konteks,

situasi, sejarah, dan kepentingan yang berbeda-beda. Terutama kepentingan politik,

ekonomi, dan sosial-budaya menjadi pertimbangan yang sangat mendasar, yang

mendorong gerakan etnis dan nasionalis serta para elit untuk memobilisasi dan

mengkonstruksikan identitas etnis dan kebangsaan, dengan cara membangkitkan

memori kolektif, mitos keturunan dan budaya yang sama, sehingga mencapai

kemandirian bangsa atau sebaliknya mengintegrasikan diri dengan bangsa lain yang

lebih besar yang dapat memberikan keuntungan secara politik maupun ekonomi.

Kesimpulan dan Diskusi

Identitas komunitas lokal di perbatasan bersifat cair; dikonstruksikan dan

dikonstruksikan kembali dalam situasi yang dinamis, di tengah-tengah kontestasi

 berbagai kepentingan subyektif dan obyektif, antara individu, kelompok, dan negara.

Identitas komunitas lokal di perbatasan dibentuk secara terus-menerus oleh berbagai

kekuatan yang saling berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Pertama, kekuatan

internal yang bersumber dari aspek primordial yang mencerminkan dinamika

etnisitas dan kebangsaan. Kedua, kekuatan eksternal yang merefleksikan adanya

kontestasi kepentingan politik dua negara di perbatasan (indonesia dan Malaysia),

Page 22: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 22/25

22

dengan berbagai program dan kebijakannya yang dikonstruksikan di wilayah

 perbatasan, terutama dalam aspek politik, sosial-budaya, dan ekonomi.

Kemudian, interaksi dan kontestasi antar berbagai kekuatan internal dan

eksternal tersebut dikonstruksikan sebagai identias sosial pada komunitas lokal di

 perbatasan. Pada aras kehidupan kolektif, identitas sosial tersebut yang tercermin

dalam institusi sosial masyarakat, termasuk di dalamnya nilai, norma, dan simbol-

simbol yang digunakan. Sedangkan, dalam aras individual, identitas sosial tersebut

dapat terefleksikan dari sentimen, persepsi, dan orientasi tindakan individu,

khususnya tekait dengan etnisitas dan orientasi kebangsaan mereka. Antara dimensi

kolektif dan dimensi individual, pada dasarnya saling terkait atau berinteraksi

sebagai bentuk kesatuan identitas sosial komunitas.

Pada akhirnya, ada beberapa kesimpulan penting berkaitan dengan

konstruksi identitas sosial komunitas sebagai realitas sosial di daerah perbatasan

Indonesia-Malaysia di pulau Kalimantan:

  Etnisitas dan kebangsaan merupakan acuan utama dalam membentuk identitas

sosial komunitas lokal di daerah perbatasan. Tetapi identias sosial tersebut

 bersifat cair, merupakan proses konstruksi sosial yang dinamis dari interaksi

sosial, negosiasi dan kalkulasi, antara kekuatan internal (komunitas) dan

kekuatan eksternal (negara).

  Hubungan sosial lintas batas seperti dalam bentuk perdagangan, migrasi, dan

hubungan kekerabatan bukan semata-mata motif ekonomi, tetapi mencerminkan

kohesi sosial dan solidaritas di antara warga komunitas sebagai konsekuensi dari

keterikatan etnisitas dan struktur sosial yang sama.

  Perbedaan kondisi sosial ekonomi antaranegara perbatasan (Malaysia-Indonesia)

menjadi dasar bagi proses  social comparison yang menentukan posisi dan statusidentitas sosial kebangsaan (nasionalisme) warga komunitas lokal di perbatasan.

  Dalam realitas sosial komunitas lokal di perbatasan Indonesia-Malaysia,

konstruksi identitas sosial yang muncul dalam struktur sosial, norma, simbol,

 perilaku sosial, dan persepsi kebangsaan menunjukkan indikasi adanya sikap

mendua atau bahkan lebih berpihak terhadap negara tetangga. Kondisi ini

dimungkinkan oleh karena arah kebijakan pembangunan wilayah perbatasan

cenderung masih berorientasi „inward looking’,  yakni menempatkan kawasan

Page 23: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 23/25

23

 perbatasan seolah-olah hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan

negara.

  Pendekatan atau kebijakan pengelolaan daerah perbatasan selama ini dinilai

kurang memperhatikan realitas budaya masyarakat di perbatasan yang telah

 berlangsung secara turun temurun sebelum negara sebagai realitas politik hadir.

Akibatnya implementasi kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan tidak efektif

mengatasi permasalahan di daerah perbatasan.

  Sampai saat ini, permasalahan beberapa wilayah perbatasan masih ditangani

secara ad-hoc (khusus), sementara (temporer), parsial serta lebih didominasi oleh

 pendekatan keamanan ( security) melalui beberapa kepanitiaan (committee),

sehingga belum memberikan hasil yang optimal.

  Wilayah-wilayah perbatasan masih dianggap bukan merupakan wilayah prioritas

 pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah, sehingga komunitas lokal

mengalami marjinalisasi dan ketertinggalan secara ekonomi dan politik. Lebih

lanjut, identifikasi kebangsaan terhadap negara tetangga menjadi pilihan sebagai

 bentuk “perlawanan” terhadap ketidakpedulian pemerintah. 

Pada akhirnya, daerah perbatasan harus dipahami secara komprehensif. Di satu sisi

merupakan realitas sosial-kultural yang tidak dibatasi oleh batas negara secara

admisnistratif. Di sisi lain, merupakan realitas politik yang memisahkan warga di

 perbatasan yang berasal dari komunitas yang sama ke dalam dua identitas politik

(kewarganegaraan) yang berbeda. Sehubungan dengan itu, pendekatan pengelolaan

daerah perbatasan harus mengintegrasikan secara arif dua kepentingan -- kultural dan

 politik –  yang seringkali bertentangan.

Pengelolaan wilayah perbatasan seyogyanya tidak hanya berorientasi pada

kepentingan politik atau kedaulatan wilayah negara, tetapi juga harusmengakomodasi realitas sosial-budaya yang menjadi identitas warga perbatasan.

Pendekatan keamanan, pembangunan ekonomi dan infrastruktur di wilayah

 perbatasan adalah suatu keniscayaan yang penting dilakukan sebagai wujud

 pemerataan pembangunan yang berkeadilan, tetapi bukan berarti membatasi

hubungan sosial pada masyarakat perbatasan sebagai realitas sosial.

Page 24: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 24/25

24

DAFTAR PUSTAKA 

Anderson, Benedict. 2006. Imagined Communities.Third Edition. London, Verso.

Berger, Peter L.  Humanisme Sosiologi.  Terjemahan Daniel Dakhidae. Jakarta. PT.

Inti Sarana Aksara. 1985.Berger, Peter L.  Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial . Jakarta. Terjemahan

Hartono. LP3ES. 1991

Brass, P. 1991.  Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison .  New Delhi,

Sage.

Breuilly, J. 1982.  Nationalism and the State . Manchester, Manchester University

Press.

Brown, D. 2000. Contemporary Nationalism: Civi, Ethnocultural & Multicultural

 Politics. New York, Rotledge

Burke, Peter J and Jane E. Stets. 2007.  Identity Theory. New York. Oxford

University Press.

Calhoun, Craig. 1997. Nationalism: Concepts in Social Thought. Minneapolis. OpenUniversity Press.

Connor, W. 1994.  Ethnonationalism: The Quest for Understanding . Princeton,

Princeton University Press.

Dahbour, O. and Ishay. M.R. (eds) 1995. The Nationalism Reader .  New Jersey,

Humanities Press.

Eilenberg, Michael. 2012. At the Edges of the State: Dynamics of State Formation in

the Indonesian Borderlands. Leiden: KITLV Press.

Fina, Ana De, D. Schiffin, Michael Bamberg (eds). 2006.  Discourse and Identity.

 New York: Cambridge University Press.

Gellner, E. 1983. Nations and Nationalism . Oxford, Blackwell.

Giddens, Anthony.1985. The Nation-State and Violence, Cambridge: Polity Press.Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Membentuk Kehidupan

 Kita. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 2003.

Hauugard, Mark. “Nationalism and Modernity” in Sinisa Maleseviç and Mark

Haugaard (eds). 2002.  Making Sense of Collectivity Ethnicity,

 Nationalism and Globalisation London, Pluto Press.

Hechter, M. and Levi, M. 1979. „The Comparative Analysis of Ethno-Regional

Movements‟, Ethnic and Racial Studies 2(3):260 – 74.

Hobsbawm, E. 1990.  Nations and Nationalism Since 1780 . Cambridge, Cambridge

University Press.

Hutchinson, J. 1994. Modern Nationalism , London, Fontana, Harper Collins.

Ichijo, Atsuko and Gordana Uzelac (eds). 2005. When is the Nation? Towards an

Understanding of Theories of Nationalism. London. Routledge.

Kymlicka, W. 1995a. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights.

Oxford, Clarendon Press. 

McCrone, David.1998. The Sociology Of Nationalism. London. Routledge

Minogue, K.R. 1967. Nationalism . London, Batsford.

Martinnusen. 1997. Society, State, and Market: A Guide a Competing Theories of

 Development . Dhaka. University Press Ltd.

Ohmae, K. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies .

London, Harper Collins.

Page 25: Kontestasi Identitas Di Perbatasan

7/26/2019 Kontestasi Identitas Di Perbatasan

http://slidepdf.com/reader/full/kontestasi-identitas-di-perbatasan 25/25

Ozkirimli, Umut. 2000. Theories of Nationalism: Critical Introduction. London.

MacMillan Press Ltd.

Ritzer, George-Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan

Alimandan. Jakarta. Prenada Media. 2004.

Ronen, D. 1979. The Quest for Self-Determination .  New Haven, Yale UniversityPress.

Spencer, Philip and Howard Wollman. 2002. Nationalism: A Critical Introduction.

London. Sage Publication.

Smith, A.D. 1998. Nationalism and Modernism . London, Routledge.

Smith, A.D. 2008. The Cultural Foundations of Nations. Oxford: Blackwell

Publishing Ltd

Wilson, Thomas M. and Hastings Donnan. 1998.  Borders Identities: Nation and

State at International Frontiers. New York. Cambridge University Press.

Artikel, Jurnal Ilmiah, Laporan Penelitian

Ardhana, I Ketut, et.al.  Dinamika Etnisitas dan Hubungan Ekonomi pada Wilayah Perbatasan di Kalimantan Timur  –   Sabah, Studi Kasus di Wilayah

 Krayan dan Long Pasia. Jakarta : Pusat Penelitian  Sumber Daya

Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006.

Haba, John, et.al. Dinamika Sosial-Budaya di Daerah Perbatasan Kalimantan Barat

dan Sarawak . Jakarta, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan

Kebudaayaan-LIPI. 2002.

Husnadi. 2006. Menuju Model Pengembangan Kawasan Perbatasan Daratan Antar

 Negara (Studi Kasus : Kecamatan Paloh dan Sajingan Besar Kabupaten

Sambas, Kalimantan Barat). Tesis Magister Teknik Pembangunan

Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro Semarang.

Lumenta, Dave. ”Diperlukan Analisis Perbatasan Melalui Pendekatan

Transnasional”. http://tabloiddiplomasi.com/index.php/previous-isuue 20

Agustus 2009.

 Nagel, Joane. 1994. “Constructing Ethnicity: Creating and Recreating Ethnic Identity

and Culture”. Source: Social Problems, Vol. 41, No. 1, Special Issue on

Immigration, Race, and Ethnicity in America (Feb., 1994), pp. 152-176.

http://www.jstor.org/stable/.

Todd, Jennifer. 2005..”Social Transformation, Collective Categories, and Identity

Change”. Source: Theory and Society, Vol. 34, No. 4 (Aug., 2005), pp.

429-463. Published by: Springer. http://www.jstor.org/stable/.

Tirtosudarmo, Riwanto.. “Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan SebuahPengantar”. Jurnal Antropologi Indonesia 67. Jakarta 2002.

Usman, Syafaruddin. 2011. “Sejarah Wilayah Perbatasan Kalbar -Malaysia”.

www.kalbariana.net/sejarah-wilayah-perbatasan-kalbar-malaysia-2.