kk 1
TRANSCRIPT
1.5 Penyusunan Ayat dan Surah
Al-Quran itu mengandungi ayat-ayat dan surah-surah. Manakala ayat-ayat dan surah-surah
itu pula ada yang panjang dan ada yang pendek. Apa yang dimaksudkan dengan
penyusunan al-Quran di sini ialah penyusunan mengikut tertib ayat dan surah.
Pengertian Ayat dan Surah:
Ayat menurut pergertian bahasa ialah:
a) Tanda atau alamat.
b) Bukti atau dalil.
c) Keterangan.
d) Mukjizat atau tanda yang menakjubkan
Ayat menurut pengertian istilah ialah:
a) Sejumlah kalam Allah yang terdapat di dalam sesebuah surah daripada al-Quran.
b) Suatu kumpulan ucapan yang mempunyai awal dan akhir yang termasuk di dalam suatu
surah di dalam al-Quran.
Kedudukan Ayat dan Penjelasannya
Kata âyah ( �ة� (آي adalah bentuk tunggal dari kata âyât ( �ات� .(آي Menurut pengertian
etimologi, kata itu dapat diertikan sebagai mu‘jizah (ة� ) alâmah‘,(= م�ع�جز� �م�ة� = ع�ال
tanda), atau ‘ibrah (ة� �ر� ب = ع pelajaran). Selain itu, âyah ( �ة� (آي dapat diartikan pula
sebagai al-amrul-‘ajîb ( �ب� ي �لع�ج �م�ر� ا ��أل ) sesuatu yang menakjubkan) dan jamâ‘ah = ا
ة� = ج�م�اع���� kelompok, masyarakat), al-burhân/ad-dalîl ( �ل� ي /ال���د�ل ان� ه���� �ر� �ب �ل = ا
keterangan/penjelasan). Jika dikaitkan dengan istilah Alquran,âyah ( �ة� (آي bererti
huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat di dalam surah Al-Quran
yang mempunyai awal dan akhir yang ditandai dengan nombor ayat.
Dalam bentuk tunggal kata âyah ( �ة� (آي di dalam Al-Quran disebut 86 kali, seperti
dalam surah Al-Baqarah [2]: 106; dalam bentuk mutsannâ (dua), ayatain ( �ن �ي �ت (آيdisebut satu kali, yaitu dalam surah Al-Isra’ [17]: 12, sedangkan dalam bentuk
jamak, âyât ( �ات� (آي disebut 290 kali, seperti dalam surah Al-Baqarah [2]: 61 dan
surah Al-An‘âm [6]: 4. Dalam bentuk tunggal, kata âyah ( �ة� paling banyak disebut (آي
dalam surah Al-Baqarah [2], surah Al-An‘âm [6], dan surah An-Nahl [16] masing-
masing tujuh kali, sedangkan dalam bentuk jamak kata itu banyak disebut: dalam
surah Ali ‘Imrân [3] sebanyak 18 kali, surah Al-An‘âm [6] sebanyak 25 kali, dan surah
Al-A‘râf [7] sebanyak 24 kali.
Semua pengertian âyah ( �ة� .yang dikemukakan di atas digunakan oleh Al-Quran (آي
Kata itu di dalam al-Quran disebut dalam berbagai konteks pembicaraan.
Kata âyah ( �ة� (آي yang disebut dalam surah Al-Baqarah [2]: 106 misalnya, terkait
dengan pembicaraan ayat tentang pengertian ayat-ayat Al-Quran, yang
berhubungan dengan persoalan nasakh di dalam al-Quran. Di dalam ayat itu
dinyatakan bahawa suatu ayat yang di-nasakh akan digantikan dengan ayat lain
yang lebih baik daripada itu, atau yang sama dengan itu. Ayat ini dijadikan dasar
oleh sebagian ulama untuk menyatakan bahwa di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat
yang me-nasakh dan ayat-ayat yang di-mansukh.
Dari penggunaannya di dalam Al-Quran dapat disimpulkan bahwa pengertian
kata âyah ( �ة� dapat diartikan dengan “ayat-ayat yang berkaitan dengan kitab suci (آي
dan Al-Quran” apabila di dalam ayat itu kata tersebut dikaitkan dengan kata-
kata nazala ( ل� �ز� turun) dan kata-kata lain yang seasal dengan itu atau adanya = ن
tantangan yang ditujukan kepada orang-orang untuk membuat sesuatu yang sama
dengan ayat-ayat Al-Quran. Apabila kata ayat dikaitkan dengan kata Allâh (الله) dan
segala kata ganti yang berkaitan dengan-Nya, maka kata itu dapat diartikan dengan
dua pengertian, yaitu pertama dengan “ayat-ayat Al-Quran” dan dapat pula dengan
“sesuatu yang menunjuk kepada kebesaran dan kekuasaan Allah”. Jika kata âyah (
�ة� () yang dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan li qaumin yatafakkarûn (آي ق�و�م ل
و�ن� �ر� �ف�ك �ت ,(ي ya‘qilûn ( �و�ن� �ع�قل ,(ي yasma‘ûn ( م�ع�و�ن� �س� ,(ي yadzdzakkarûn ( و�ن� �ر� �ذ�ك (ي
atau yang semakna dengan itu, maka kata itu diartikan sebagai “tanda-tanda
kebesaran Allah Swt”. Ayat dalam pengertian ini cukup banyak diungkapkan di
dalam Alquran, antara lain dalam surah Al-Hijr [15]: 77, surah An-Nahl [16]: 11, dan
surah Al-Anbiyâ’ [21]: 91.
Dilihat dari jumlah ayat yang terdapat dalam Al-Quran, para ulama mempunyai
perbezaan pendapat. Abu Abdurrahman As-Salmi, salah seorang ulama Kufah,
menyebutkan bahwa ayat-ayat Al-Quran berjumlah 6.236 ayat. Jalaluddin As-Suyuti,
seorang ulama tafsir dan fiqh, menyebutkan 6.000 ayat. Imam Al-Alusi menyebutkan
6.616 ayat. Apakah basmalah dihitung pada masing-masing setiap surah atau
dihitung satu saja. Apakah setiap tempat berhenti merupakan satu ayat atau
sebahagian dari ayat. Apakah huruf-huruf hijaiyah pada awal surah merupakan ayat
yang berdiri sendiri atau digabung dengan ayat sesudahnya. Demikian seterusnya,
sehingga timbul perbezaan dalam kalangan ulama.
Ayat-ayat Al-Quran yang dimulai dari ayat pertama surat pertama (Surah Al-Fatihah)
sampai dengan ayat terakhir surat terakhir (Surah An-Nas) disusun secara tauqifi,
iaitu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Allah dan Rasulullah SAW,
tidak berdasarkan ijtihad para sahabat. Pengelompokan Al-Quran berdasarkan ayat-
ayat mengandungi beberapa hikmah. Di antara hikmah-hikmah itu ialah: (1) untuk
memudahkan mengatur hafalan dan mengatur waqaf (berhenti) berdasarkan batas-
batas ayat; dan (2) untuk memudahkan penghitungan jumlah ayat yang dibaca pada
saat melakukan shalat atau khutbah.
Dilihat dari periode turunnya, ayat-ayat Al-Quran oleh para ulama dikelompokkan
atas ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Terdapat tiga pendapat para ulama
dalam memberikan pengertian Makkiyyah dan Madaniyyah. Pendapat pertama
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat Makkiyyahadalah ayat-ayat
yang turun di Mekah dan sekitarnya, walaupun sesudah hijrah,
dan Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun di Madinah. Pendapat kedua
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Makkiyyah ialah ayat-ayat yang
ditujukan kepada masyarakat Mekah yang antara lain ditandai dengan ungkapan
yâ ayyuhan-nâs ( �اس� 6ه�االن ي� (يآأ dan yang Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun
untuk ditujukan kepada masyarakat Madinah yang sudah beriman, yang antara lain
ditandai dengan ungkapan yâ ayyuhal-ladzîna âmanû (و�ا �ن� آم�ن��� ذي �ا ال�� 6ه��� ي� .(ي��آ أ
Pendapat ketiga, merupakan pendapat yang popular, menyatakan bahwa ayat
Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Nabi Muhammad Saw. berhijrah ke
Madinah walaupun turunnya di tempat selain Mekah, sedangkan ayat-ayat
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun sesudah hijrah walaupun turun di Mekah.
Dilihat dari segi jumlahnya, ayat-ayat Makkiyyah lebih banyak dibandingkan dengan
ayat-ayat Madaniyyah. Dari ayat-ayat Alquran yang berjumlah 6.236 itu, ayat-
ayat Makkiyyah berjumlah 4.726 buah, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah berjumlah
1.510 buah. Ini berarti bahwa tiga perempat dari jumlah ayat-ayat Alquran
adalah Makkiyyah.
Ayat-ayat Al-Quran yang secara lengkap sampai kepada kita saat kini tidak
diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara beransur-angsur sesuai dengan
suasana kaum muslimin pada awal Islam itu. Ini bererti bahwa di antara ayat-ayat itu
ada yang turun pertama sekali, ada yang turun terakhir sekali, dan ada pula yang
turun pada periode-periode di antara keduanya. Di dalam hal ini ada empat
pendapat para ulama. Pertama, ulama yang mengatakan bahawa ayat yang
pertama turun adalah Ayat 1–5 dari S. Al-‘Alaq [96] berdasarkan, antara lain, hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Ra. yang menceriterakan
kejadian yang dialami Nabi ketika menerima wahyu itu. Kedua, ulama yang
menyatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Ayat 1–5 dari S. Al-Muddatstsir
[74], berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Salmah
bin Abdur Rahman bin ‘Auf. Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa ayat yang
pertama turun adalah QS. Al-Fâtihah [1], berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi dari Abu Maisarah ‘Umar bin Syurahbil. Adapun yang keempat,
menyatakan ayat yang pertama turun ialah bismillâhir-rahmânir-rahîm, berdasarkan
hadis yang diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari Ikrimah dan Al-Hasan.
Majoriti ulama menyatakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat
pertama, yakni Ayat 1–5 dari S. Al-‘Alaq [96] merupakan wahyu pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad Saw, dan tidak satu pun wahyu yang turun sebelum
itu. Tiga pendapat lainnya oleh Az-Zarqani dikompromikan sebagai berikut; Ayat 1–5
dari S. Al-Muddatstsir [74] merupakan ayat-ayat yang turun pertama kali setelah
beberapa saat lamanya terjadi kekosongan turunnya wahyu setelah turunnya Ayat
1–5 dari S. Al-‘Alaq [96]. Ayat-ayat dari S. Al-Fâtihah [1] mungkin dapat dipandang
sebagai surah Alquran yang diturunkan pertama kali secara lengkap mulai dari ayat
pertama sampai dengan ayat terakhir. S. Al-Fâtihah [1] itu turun beberapa saat
lamanya setelah Muhammad diangkat sebagai Nabi.
Mengenai ayat yang terakhir turun, juga terdapat perbezaan pendapat para ulama.
Menurut az-Zarqani, terdapat 10 pendapat ulama, iaitu: (1). Ayat 281 dari S. Al-
Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat An-Nasa’i melalui Ikrimah dari Ibnu Abbas
dan riwayat Ibnu Abi Hatim; (2). Ayat 278 dari S. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis
riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas dan riwayat Baihaqi dari Ibnu Umar; (3). Ayat 282
dari S. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat Ibnu Jarir dari Sa‘id bin Al-
Musayyib dan riwayat Abu Ubaid dari Ibnu Syihab. (4). Ayat 195 dari S. آli ‘Imrân [3];
(5). Ayat 94 dari S. An-Nisâ’ [4]; (6). Ayat 176 dari S. An-Nisâ’ [4]; (7). Ayat 3 dari S.
Al-Mâ’idah [5], (8). Ayat 128 dari S. At-Taubah [9]; (9). Ayat 110 S. Al-Kahf [18], dan
(10). Ayat-ayat S. An-Nashr [110], yang semuanya berdasarkan riwayat. Perbedaan
pendapat ini timbul karena perbedaan masa para sahabat mendengarkan ayat yang
disampaikan Nabi. Menurut Az-Zarqani dan Subhi As-Salih, ayat-ayat yang terakhir
turun adalah Ayat 281 dari S. Al-Baqarah [2]. (Ahmad Thib Raya)
1.6 Surah-surah dalam Al Qur’an.
Jumlah surah yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-
batas tiap-tiap surah, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang
ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).
Sebahagian dari surah-surah Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebahagian yang
lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam
muqaddimah tiap-tiap surah.
Surah-surah yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya
terbahagi kepada 4 bahagian, iaitu:
1. AS-SAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surah yang panjang Yaitu: Al
Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
2. Al-MIUUN, dimaksudkan surah-surah yang berisi kira-kira seratus ayat
lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dan sebagainya.
3. Al-MATSAANI, dimaksudkan surah-surah yang berisi kurang sedikit dari
seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dan sebagainya.
4.AL-MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha,
Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dan sebagainya.
1.7 Pengertian Nasikh dan Mansukh:
Terdapat perbezaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama
mutaqaddimin (abad I hingga abad III Hijrah) memperluas erti nasakh sehingga
mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahawa suatu ketetapan hukum
yang ditetapkan oleh satu keadaan tertentu telah menjadi mansukh apabila ada
ketentuan lain yang berbeza akibat adanya suasana lain, seperti misalnya perintah
untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah,
dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah,
sebagaimana ada yang beranggapan bahawa ketetapan hukum Islam yang
membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan sebahagian
dari pengertian nasakh.
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian
(muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku
adalah yang ditetapkan terakhir.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup
aspek-aspek b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin
tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya nasakh
tetapi takhshish (pengkhususan).
Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah aspek a, dalam erti adakah ayat
yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya
nasakh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan ‘aql
dan naql (Al-Quran).
Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang
mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih
tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam
Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya
nasakh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, kerana Dia (Tuhan)
menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang
diinginkanNya.”
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya nasakh dengan menyatakan bahwa:
“Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini
berubah atau berbeza akibat perbezaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada
satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu kerana adanya perkara yang
mendesak (ketika itu) kemudian keperluan tersebut berakhir, maka ia merupakan
suatu tindakan bijaksana apabila ia di-nasakh (dibatalkan) dan diganti dengan
hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik
dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.”
Ada dua perkara yang harus diberi perhatian dari pernyataan Al-Maraghi di atas.
Pertama, mempersamakan nabi sebagai doktor dan hukum-hukum sebagai ubat
memberikan kesan bahawa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum
tersebut, sebagaimana doktor mengganti ubat-ubatnya. Kedua, mempersamakan
hukum yang ditetapkan dengan ubat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya ubat-
ubat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan orang tertentu, kerana mungkin
masih ada pihak lain yang dapat menyesuaikannya.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat dalam kalangan para ulama
tentang diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar
pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka
maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang
dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan
oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya nasakh dalam Al-Quran.
Pendukung-pendukung nasakh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang
terjemahan harfiahnya adalah:
“Kami tidak menasakhkan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya
kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah
Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”.
Menurut mereka, “ayat” yang di nasakh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung
ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeza dengan penafsiran mereka yang
menolak adanya nasakh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan
bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi. Mereka juga
mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:
“Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui
apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah
pembohong.”
Disisi lain, mereka yang menolak adanya nasakh dalam Al-Quran, beranggapan
bahawa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-
Nya, iaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu
hukum dengan hukum yang lain; dan (b) sia-sia dan permainan belaka.
Hujjah-hujjah ini jelas tertolak dengan memperhatikan hujjah logik pendukung
nasakh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah di dalam surah
41:42, “Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan mahupun dari
belakangnya”.
Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran
tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila nasakh diertikan
sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung nasakh dengan
menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi
“kebatilan” yang bererti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya
bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya kerana adanya
perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan bererti bahawa yang
dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan
demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan
batil.
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahawa hujjah yang dikemukakan oleh penolak
adanya nasakh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh
para pendukung nasakh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga dapat
diselesaikan.
Para pendukung nasakh mengakui bahawa nasakh baru dilakukan apabila, (a)
terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya
ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan
yang kemudian sebagai nasikh.
Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan
kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai
kontradiktif. Sebahagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para
pendukung nasakh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif
oleh para pendukung nasakh dari hari ke hari semakin berkurang.
Dalam hal ini, kedua-dua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau
kembali pengertian istilah nasakh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir,
sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama
mutaqaddim.
Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad ‘Abduh
dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak.
Muhammad ‘Abduh–walaupun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Al-
Baqarah ayat 106 sebagai “ayat-ayat hukum dalam Al-Quran”, dengan alasan
bahawa penutup ayat tersebut menyatakan “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud
adalah mukjizat– tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata “Ilmu Tuhan”,
“diturunkan”, “tuduhan kebohongan”, adalah isyarat yang menunjukkan bahawa kata
“ayat” dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.