kk 1

15
1.5 Penyusunan Ayat dan Surah Al-Quran itu mengandungi ayat-ayat dan surah-surah. Manakala ayat- ayat dan surah-surah itu pula ada yang panjang dan ada yang pendek. Apa yang dimaksudkan dengan penyusunan al-Quran di sini ialah penyusunan mengikut tertib ayat dan surah. Pengertian Ayat dan Surah: Ayat menurut pergertian bahasa ialah: a) Tanda atau alamat. b) Bukti atau dalil. c) Keterangan. d) Mukjizat atau tanda yang menakjubkan Ayat menurut pengertian istilah ialah: a) Sejumlah kalam Allah yang terdapat di dalam sesebuah surah daripada al-Quran. b) Suatu kumpulan ucapan yang mempunyai awal dan akhir yang termasuk di dalam suatu surah di dalam al-Quran. Kedudukan Ayat dan Penjelasannya Kata âyah ( ٌ ة َ ي آ) adalah bentuk tunggal dari kata âyât ( ٌ ات َ ي آ). Menurut pengertian etimologi, kata itu dapat diertikan sebagai mu‘jizah ( ٌ ةَ ز ِ جْ عُ م=),‘alâmah ( ٌ ة َ مَ لاَ ع= tanda), atau ‘ibrah ( ٌ ةَ ر ْ بِ ع=

Upload: norshaidi-mohd-nor

Post on 08-Aug-2015

23 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kk 1

1.5 Penyusunan Ayat dan Surah

Al-Quran itu mengandungi ayat-ayat dan surah-surah. Manakala ayat-ayat dan surah-surah

itu pula ada yang panjang dan ada yang pendek. Apa yang dimaksudkan dengan

penyusunan al-Quran di sini ialah penyusunan mengikut tertib ayat dan surah.

Pengertian Ayat dan Surah:

Ayat menurut pergertian bahasa ialah:

a) Tanda atau alamat.

b) Bukti atau dalil.

c) Keterangan.

d) Mukjizat atau tanda yang menakjubkan

Ayat menurut pengertian istilah ialah:

a) Sejumlah kalam Allah yang terdapat di dalam sesebuah surah daripada al-Quran.

b) Suatu kumpulan ucapan yang mempunyai awal dan akhir yang termasuk di dalam suatu

surah di dalam al-Quran.

Kedudukan Ayat dan Penjelasannya

Kata âyah ( �ة� (آي adalah bentuk tunggal dari kata âyât ( �ات� .(آي Menurut pengertian

etimologi, kata itu dapat diertikan sebagai mu‘jizah (ة� ) alâmah‘,(= م�ع�جز� �م�ة� = ع�ال

tanda), atau ‘ibrah (ة� �ر� ب = ع pelajaran). Selain itu, âyah ( �ة� (آي dapat diartikan pula

sebagai al-amrul-‘ajîb ( �ب� ي �لع�ج �م�ر� ا ��أل ) sesuatu yang menakjubkan) dan jamâ‘ah = ا

ة� = ج�م�اع���� kelompok, masyarakat), al-burhân/ad-dalîl ( �ل� ي /ال���د�ل ان� ه���� �ر� �ب �ل = ا

keterangan/penjelasan). Jika dikaitkan dengan istilah Alquran,âyah ( �ة� (آي bererti

huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat di dalam surah Al-Quran

yang mempunyai awal dan akhir yang ditandai dengan nombor ayat.

 

Page 2: Kk 1

Dalam bentuk tunggal kata âyah ( �ة� (آي di dalam Al-Quran disebut 86 kali, seperti

dalam surah Al-Baqarah [2]: 106; dalam bentuk mutsannâ (dua), ayatain ( �ن �ي �ت (آيdisebut satu kali, yaitu dalam surah Al-Isra’ [17]: 12, sedangkan dalam bentuk

jamak, âyât ( �ات� (آي disebut 290 kali, seperti dalam surah Al-Baqarah [2]: 61 dan

surah Al-An‘âm [6]: 4. Dalam bentuk tunggal, kata âyah ( �ة� paling banyak disebut (آي

dalam surah Al-Baqarah [2], surah Al-An‘âm [6], dan surah An-Nahl [16] masing-

masing tujuh kali, sedangkan dalam bentuk jamak kata itu banyak disebut: dalam

surah Ali ‘Imrân [3] sebanyak 18 kali, surah Al-An‘âm [6] sebanyak 25 kali, dan surah

Al-A‘râf [7] sebanyak 24 kali.

 

Semua pengertian âyah ( �ة� .yang dikemukakan di atas digunakan oleh Al-Quran (آي

Kata itu di dalam al-Quran disebut dalam berbagai konteks pembicaraan.

Kata âyah ( �ة� (آي yang disebut dalam surah Al-Baqarah [2]: 106 misalnya, terkait

dengan pembicaraan ayat tentang pengertian ayat-ayat Al-Quran, yang

berhubungan dengan persoalan nasakh di dalam al-Quran. Di dalam ayat itu

dinyatakan bahawa suatu ayat yang di-nasakh akan digantikan dengan ayat lain

yang lebih baik daripada itu, atau yang sama dengan itu. Ayat ini dijadikan dasar

oleh sebagian ulama untuk menyatakan bahwa di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat

yang me-nasakh dan ayat-ayat yang di-mansukh.

 

Dari penggunaannya di dalam Al-Quran dapat disimpulkan bahwa pengertian

kata âyah ( �ة� dapat diartikan dengan “ayat-ayat yang berkaitan dengan kitab suci (آي

dan Al-Quran” apabila di dalam ayat itu kata tersebut dikaitkan dengan kata-

kata nazala ( ل� �ز� turun) dan kata-kata lain yang seasal dengan itu atau adanya = ن

tantangan yang ditujukan kepada orang-orang untuk membuat sesuatu yang sama

dengan ayat-ayat Al-Quran. Apabila kata ayat dikaitkan dengan kata Allâh (الله) dan

segala kata ganti yang berkaitan dengan-Nya, maka kata itu dapat diartikan dengan

dua pengertian, yaitu pertama dengan “ayat-ayat Al-Quran” dan dapat pula dengan

“sesuatu yang menunjuk kepada kebesaran dan kekuasaan Allah”. Jika kata âyah (

�ة� () yang dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan li qaumin yatafakkarûn (آي ق�و�م ل

و�ن� �ر� �ف�ك �ت ,(ي ya‘qilûn ( �و�ن� �ع�قل ,(ي yasma‘ûn ( م�ع�و�ن� �س� ,(ي yadzdzakkarûn ( و�ن� �ر� �ذ�ك (ي

Page 3: Kk 1

atau yang semakna dengan itu, maka kata itu diartikan sebagai “tanda-tanda

kebesaran Allah Swt”. Ayat dalam pengertian ini cukup banyak diungkapkan di

dalam Alquran, antara lain dalam surah Al-Hijr [15]: 77, surah An-Nahl [16]: 11, dan

surah Al-Anbiyâ’ [21]: 91.

 

Dilihat dari jumlah ayat yang terdapat dalam Al-Quran, para ulama mempunyai

perbezaan pendapat. Abu Abdurrahman As-Salmi, salah seorang ulama Kufah,

menyebutkan bahwa ayat-ayat Al-Quran berjumlah 6.236 ayat. Jalaluddin As-Suyuti,

seorang ulama tafsir dan fiqh, menyebutkan 6.000 ayat. Imam Al-Alusi menyebutkan

6.616 ayat. Apakah basmalah dihitung pada masing-masing setiap surah atau

dihitung satu saja. Apakah setiap tempat berhenti merupakan satu ayat atau

sebahagian dari ayat. Apakah huruf-huruf hijaiyah pada awal surah merupakan ayat

yang berdiri sendiri atau digabung dengan ayat sesudahnya. Demikian seterusnya,

sehingga timbul perbezaan dalam kalangan ulama.

 

Ayat-ayat Al-Quran yang dimulai dari ayat pertama surat pertama (Surah Al-Fatihah)

sampai dengan ayat terakhir surat terakhir (Surah An-Nas) disusun secara tauqifi,

iaitu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Allah dan Rasulullah SAW,

tidak berdasarkan ijtihad para sahabat. Pengelompokan Al-Quran berdasarkan ayat-

ayat mengandungi beberapa hikmah. Di antara hikmah-hikmah itu ialah: (1) untuk

memudahkan mengatur hafalan dan mengatur waqaf (berhenti) berdasarkan batas-

batas ayat; dan (2) untuk memudahkan penghitungan jumlah ayat yang dibaca pada

saat melakukan shalat atau khutbah.

 

Dilihat dari periode turunnya, ayat-ayat Al-Quran oleh para ulama dikelompokkan

atas ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Terdapat tiga pendapat para ulama

dalam memberikan pengertian Makkiyyah dan Madaniyyah. Pendapat pertama

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat Makkiyyahadalah ayat-ayat

yang turun di Mekah dan sekitarnya, walaupun sesudah hijrah,

dan Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun di Madinah. Pendapat kedua

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Makkiyyah ialah ayat-ayat yang

ditujukan kepada masyarakat Mekah yang antara lain ditandai dengan ungkapan

yâ ayyuhan-nâs ( �اس� 6ه�االن ي� (يآأ dan yang Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun

Page 4: Kk 1

untuk ditujukan kepada masyarakat Madinah yang sudah beriman, yang antara lain

ditandai dengan ungkapan yâ ayyuhal-ladzîna âmanû (و�ا �ن� آم�ن��� ذي �ا ال�� 6ه��� ي� .(ي��آ أ

Pendapat ketiga, merupakan pendapat yang popular, menyatakan bahwa ayat

Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Nabi Muhammad Saw. berhijrah ke

Madinah walaupun turunnya di tempat selain Mekah, sedangkan ayat-ayat

Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun sesudah hijrah walaupun turun di Mekah.

 

Dilihat dari segi jumlahnya, ayat-ayat Makkiyyah lebih banyak dibandingkan dengan

ayat-ayat Madaniyyah. Dari ayat-ayat Alquran yang berjumlah 6.236 itu, ayat-

ayat Makkiyyah berjumlah 4.726 buah, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah berjumlah

1.510 buah. Ini berarti bahwa tiga perempat dari jumlah ayat-ayat Alquran

adalah Makkiyyah.

 

Ayat-ayat Al-Quran yang secara lengkap sampai kepada kita saat kini tidak

diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara beransur-angsur sesuai dengan

suasana kaum muslimin pada awal Islam itu. Ini bererti bahwa di antara ayat-ayat itu

ada yang turun pertama sekali, ada yang turun terakhir sekali, dan ada pula yang

turun pada periode-periode di antara keduanya. Di dalam hal ini ada empat

pendapat para ulama. Pertama, ulama yang mengatakan bahawa ayat yang

pertama turun adalah Ayat 1–5 dari S. Al-‘Alaq [96] berdasarkan, antara lain, hadis

yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Ra. yang menceriterakan

kejadian yang dialami Nabi ketika menerima wahyu itu. Kedua, ulama yang

menyatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Ayat 1–5 dari S. Al-Muddatstsir

[74], berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Salmah

bin Abdur Rahman bin ‘Auf. Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa ayat yang

pertama turun adalah QS. Al-Fâtihah [1], berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh

Al-Baihaqi dari Abu Maisarah ‘Umar bin Syurahbil. Adapun yang keempat,

menyatakan ayat yang pertama turun ialah bismillâhir-rahmânir-rahîm, berdasarkan

hadis yang diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari Ikrimah dan Al-Hasan.

 

Majoriti ulama menyatakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat

pertama, yakni Ayat 1–5 dari S. Al-‘Alaq [96] merupakan wahyu pertama yang

diterima oleh Nabi Muhammad Saw, dan tidak satu pun wahyu yang turun sebelum

Page 5: Kk 1

itu. Tiga pendapat lainnya oleh Az-Zarqani dikompromikan sebagai berikut; Ayat 1–5

dari S. Al-Muddatstsir [74] merupakan ayat-ayat yang turun pertama kali setelah

beberapa saat lamanya terjadi kekosongan turunnya wahyu setelah turunnya Ayat

1–5 dari S. Al-‘Alaq [96]. Ayat-ayat dari S. Al-Fâtihah [1] mungkin dapat dipandang

sebagai surah Alquran yang diturunkan pertama kali secara lengkap mulai dari ayat

pertama sampai dengan ayat terakhir. S. Al-Fâtihah [1] itu turun beberapa saat

lamanya setelah Muhammad diangkat sebagai Nabi.

 

Mengenai ayat yang terakhir turun, juga terdapat perbezaan pendapat para ulama.

Menurut az-Zarqani, terdapat 10 pendapat ulama, iaitu: (1). Ayat 281 dari S. Al-

Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat An-Nasa’i melalui Ikrimah dari Ibnu Abbas

dan riwayat Ibnu Abi Hatim; (2). Ayat 278 dari S. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis

riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas dan riwayat Baihaqi dari Ibnu Umar; (3). Ayat 282

dari S. Al-Baqarah [2], berdasarkan hadis riwayat Ibnu Jarir dari Sa‘id bin Al-

Musayyib dan riwayat Abu Ubaid dari Ibnu Syihab. (4). Ayat 195 dari S. آli ‘Imrân [3];

(5). Ayat 94 dari S. An-Nisâ’ [4]; (6). Ayat 176 dari S. An-Nisâ’ [4]; (7). Ayat 3 dari S.

Al-Mâ’idah [5], (8). Ayat 128 dari S. At-Taubah [9]; (9). Ayat 110 S. Al-Kahf [18], dan

(10). Ayat-ayat S. An-Nashr [110], yang semuanya berdasarkan riwayat. Perbedaan

pendapat ini timbul karena perbedaan masa para sahabat mendengarkan ayat yang

disampaikan Nabi. Menurut Az-Zarqani dan Subhi As-Salih, ayat-ayat yang terakhir

turun adalah Ayat 281 dari S. Al-Baqarah [2]. (Ahmad Thib Raya)

1.6 Surah-surah dalam Al Qur’an.

Jumlah surah yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-

batas tiap-tiap surah, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang

ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).

Sebahagian dari surah-surah Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebahagian yang

lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam

muqaddimah tiap-tiap surah.

Surah-surah yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya

terbahagi kepada 4 bahagian, iaitu:

Page 6: Kk 1

1. AS-SAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surah yang panjang Yaitu: Al

Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.

2. Al-MIUUN, dimaksudkan surah-surah yang berisi kira-kira seratus ayat

lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dan sebagainya.

3. Al-MATSAANI, dimaksudkan surah-surah yang berisi kurang sedikit dari

seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dan sebagainya.

4.AL-MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha,

Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dan sebagainya.

1.7 Pengertian Nasikh dan Mansukh:

Terdapat perbezaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama

mutaqaddimin (abad I hingga abad III Hijrah) memperluas erti nasakh sehingga

mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang

ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang

bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian

terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum

terdahulu yang belum bersyarat.

Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahawa suatu ketetapan hukum

yang ditetapkan oleh satu keadaan tertentu telah menjadi mansukh apabila ada

ketentuan lain yang berbeza akibat adanya suasana lain, seperti misalnya perintah

untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah,

dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah,

sebagaimana ada yang beranggapan bahawa ketetapan hukum Islam yang

membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan sebahagian

dari pengertian nasakh.

Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian

(muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang

kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa

Page 7: Kk 1

pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku

adalah yang ditetapkan terakhir.

Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup

aspek-aspek b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin

tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya nasakh

tetapi takhshish (pengkhususan).

Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah aspek a, dalam erti adakah ayat

yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya

nasakh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan ‘aql

dan naql (Al-Quran).

Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang

mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih

tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam

Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya

nasakh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, kerana Dia (Tuhan)

menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang

diinginkanNya.”

Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya nasakh dengan menyatakan bahwa:

“Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini

berubah atau berbeza akibat perbezaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada

satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu kerana adanya perkara yang

mendesak (ketika itu) kemudian keperluan tersebut berakhir, maka ia merupakan

suatu tindakan bijaksana apabila ia di-nasakh (dibatalkan) dan diganti dengan

hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik

dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.”

Ada dua perkara yang harus diberi perhatian dari pernyataan Al-Maraghi di atas.

Pertama, mempersamakan nabi sebagai doktor dan hukum-hukum sebagai ubat

memberikan kesan bahawa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum

tersebut, sebagaimana doktor mengganti ubat-ubatnya. Kedua, mempersamakan

Page 8: Kk 1

hukum yang ditetapkan dengan ubat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya ubat-

ubat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan orang tertentu, kerana mungkin

masih ada pihak lain yang dapat menyesuaikannya.

Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat dalam kalangan para ulama

tentang diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar

pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka

maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang

dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan

oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya nasakh dalam Al-Quran.

Pendukung-pendukung nasakh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang

terjemahan harfiahnya adalah:

“Kami tidak menasakhkan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya

kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah

Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”.

Menurut mereka, “ayat” yang di nasakh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung

ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeza dengan penafsiran mereka yang

menolak adanya nasakh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan

bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi. Mereka juga

mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:

“Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui

apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah

pembohong.”

Disisi lain, mereka yang menolak adanya nasakh dalam Al-Quran, beranggapan

bahawa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-

Nya, iaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu

hukum dengan hukum yang lain; dan (b) sia-sia dan permainan belaka.

Page 9: Kk 1

Hujjah-hujjah ini jelas tertolak dengan memperhatikan hujjah logik pendukung

nasakh.

Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah di dalam surah

41:42, “Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan mahupun dari

belakangnya”.

Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran

tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila nasakh diertikan

sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.

Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung nasakh dengan

menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi

“kebatilan” yang bererti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya

bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya kerana adanya

perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan bererti bahawa yang

dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan

demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan

batil.

Agaknya kita dapat berkesimpulan bahawa hujjah yang dikemukakan oleh penolak

adanya nasakh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh

para pendukung nasakh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga dapat

diselesaikan.

Para pendukung nasakh mengakui bahawa nasakh baru dilakukan apabila, (a)

terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat

dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya

ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan

yang kemudian sebagai nasikh.

Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan

kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai

kontradiktif. Sebahagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para

Page 10: Kk 1

pendukung nasakh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif

oleh para pendukung nasakh dari hari ke hari semakin berkurang.

Dalam hal ini, kedua-dua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau

kembali pengertian istilah nasakh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir,

sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama

mutaqaddim.

Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad ‘Abduh

dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak.

Muhammad ‘Abduh–walaupun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Al-

Baqarah ayat 106 sebagai “ayat-ayat hukum dalam Al-Quran”, dengan alasan

bahawa penutup ayat tersebut menyatakan “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas

segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud

adalah mukjizat– tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata “Ilmu Tuhan”,

“diturunkan”, “tuduhan kebohongan”, adalah isyarat yang menunjukkan bahawa kata

“ayat” dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.