keganasan pada anak

50
KEGANASAN PADA ANAK I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Upload: kessi-vikaneswari

Post on 30-Jan-2016

40 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kDJASKDSKDNSAK

TRANSCRIPT

Page 1: Keganasan Pada Anak

KEGANASAN PADA ANAK

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Page 2: Keganasan Pada Anak
Page 3: Keganasan Pada Anak

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Keganasan Hematologi (Leukemia)

Keganasan hematologi terdiri dari leukemia akut dan leukemia kronik. Leukemia

merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang yang ditandai oleh

proliferasi sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi.

Leukemia akut dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan Leukemia Mieloblastik Akut

(LMA). Sedangkan Leukemia kronik dibagi menjadi leukemia limfoblastik kronis (LLK) dan

leukemia mieloblastik kronik (LMK). Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan

LLK, sedangkan yang paling sering pada anak-anak adalah LLA.

2.1.1. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

a. Epidemiologi

Keganasan yang paling sering pada anak-anak, khususnya usia antara 2 - 10 tahun adalah

leukemia limfositik akut (LLA). LLA mencakup sekitar 30 persen dari keganasan pada anak, dan

sebagian besar (75 persen) berada di bawah usia 15 tahun. Anak-anak dengan LLA, sekitar 70 -

80 persen dari mereka memiliki survival rate selama lebih dari 5 tahun. LLA dapat terjadi pada

semua kelompok umur, namun paling banyak pada usia 3 - 4 tahun. Populasi laki-laki dan kulit

putih mempunyai risiko lebih tinggi untuk LLA.3

b. Etiologi

Sebab-sebab terjadinya leukemia belum diketahui benar. Sebagai penyebab yang sering

dihubungkan adalah faktor genetik, infeksi virus, radiasi, imunodefisiensi. Abnormalitas

kromosom ditemukan pada hampir semua pasien leukemia. Abnormalitas ini dapat berhubungan

dengan jumlah kromosom, translokasi, atau delesi.

c. Patogenesis

Page 4: Keganasan Pada Anak

Kelainan yang menjadi ciri khas leukemia diantaranya termasuk asal mula ”gugus” sel,

kelainan proliferasi, kelainan sitogenik, dan morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel, dan

perbedaan biokimiawi terhadap sel normal. Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat

yang besar pada patofisiologi leukemia akut. Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang

makin lama makin banyak akan menimbulkan dampak buruk bagi produksi sel normal, dan bagi

faal tubuh maupun dampak karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh. (PPM)

d. Manifestasi Klinis

Kelebihan sel blast (lebih dari 30 persen dari sel-sel sumsum tulang dapat ditemukan

pada leukemia akut. Sel-sel blast ini tidak hanya di sumsum tulang, tetapi juga menyebar ke

dalam darah. Kondisi ini menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Gejala yang timbul adalah

anemia, infeksi, dan sering juga terdapat memar/pendarahan abnormal. Gejala klinis tersebut

berkembang pada periode waktu yang singkat (kurang dari tiga bulan).12 Gejala LLA terkait

dengan anemia sepert kelelahan, pucat, dan malaise. Infeksi yang terjadi disebabkan oleh

granulocytopenia, dan perdarahan abnormal yang sering timbul berhubungan dengan

trombositopenia.4 Kelelahan, penurunan berat badan, dan purpura ditemukan di lebih dari

setengah pasien. Pemeriksaan fisik pasien LLA ditemukan splenomegali, hepatomegali, dan

limfadenopati pada sekitar 75 persen kasus.3,4

e. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis

leukosit dan trombositopenia. Bisa didapatkan eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan apus darah

tepi didapatkan sel-sel blas. Pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila didapatkan limfoblas

>5% pada apusan sumsum tulang maka kecurigaan terhadap leukemia sangat tinggi, namun bila

didapatkan sel blas >25% baru diagnosis ditegakkan. (PPM)

Klasifikasi LLA secara morfologi yang digunakan dalam perawatan klinis yaitu:

L1 terdiri dari sel-sel limfoblas serupa dengan kromatin homogen, anak inti umumnya

tidak tampak dan sitoplasma sempit.

L2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih

kasar dengan satu atau lebih anak inti.

Page 5: Keganasan Pada Anak

L3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin bebercak, banyak

ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.

2.1.2. Leukemia Myeloblastik Akut

a. Epidemiologi

Insiden LMA adalah sekitar 2,25 per 100.000 per tahun. Insiden LMA meningkat seiring

dengan usia. Laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi. LMA mencakup 15 persen dari kasus

leukemia anak-anak di bawah 10 tahun, dan sekitar 25-30 persen pada anak antara usia 10 dan 15

tahun. Kasus leukemia akut pada orang dewasa, sekitar 80-90 persennya merupakan kasus

LMA.5

b. Etiologi

Leukemia mieloid akut (LMA) merupakan keganasan hematopoietik progresif yang

dicirikan oleh dominasi sel imatur sumsum tulang selain limfosit. Faktor-faktor yang

diperkirakan menyebabkan penyakit ini adalah radiasi pada sumsum tulang, bahan kimia atau

obat-obatan yang menyebabkan kegagalan sumsum tulang seperti sulfonamida, benzen, dan

fenilbutazon, serta faktor genetik.18

c. Patogenesis

Adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses proses diferensiasi sel-sel mieloid

terhenti pada sel-sel muda (sel blast) yang menimbulkan akumulasi sel-sel blast di sumsum

tulang belakang. Akumulasi sel blast di sumsum tulang belakang akan menyebabkan gangguna

hematopoesis dan menimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan adanya

sitopenia (anemia, leukopenia, trombositopenia).

d. Manifestasi Klinis

Gejala timbul sebagai akibat anemia yakni pucat, lesu, sesak, letih, dan lemah. Anemia

disebabkan oleh diseritropoiesis yang menyebabkan kelainan pada sel eritropoietik. Neutropenia

dapat menyebabkan demam, malaise, dan infeksi. Kondisi perdarahan, seperti petechiae,

purpura, memar, epistaksis, perdarahan gusi, dan menorrhagia, dapat terjadi sebagai akibat

trombositopenia.

Page 6: Keganasan Pada Anak

e. Pemeriksaan Penunjang

Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel

dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu

berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.

Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi

Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8

subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French

American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA.

Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan

mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif

pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.

LMA diklasifikasikan menjadi tujuh subtipe oleh kelompok FAB (French American

British), berdasarkan morfologi, imunologi, dan perbedaan sitokimia2,5:

1. Leukemia mieloblastik akut dengan diferensiasi minimal (M0)

Subtipe ini terutama terjadi pada orang dewasa dan merupakan 5 persen dari kasus LMA.

Sel blas berukuran medium, Nukleus terlihat bulat atau sedikit ada lekukan dengan nukleolus

satu atau dua buah, memiliki sitoplasma agranular yang basofilik, serta kromatin yang tersebar.

2. Leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi (M1)

LMA subtipe M1 terjadi pada 10 persen kasus, dan biasanya terjadi pada dewasa.

Terdapat granula azurofilik dan Auer rods pada sitoplasma sel blas, yang merupakan ciri

khasnya.

3. Leukemia mieloblastik akut dengan maturasi (M2)

Subtipe ini dijumpai sekitar 30 persen kasus LMA, dan dapat terjadi pada semua usia. Sel

blas mungkin dijumpai granula azurofilik dan Auer rods, serta terdapat bukti adanya maturasi,

dengan >10 persen sel sumsum tulang menjadi promyelosit, myelosit, dan neutrofil matur, serta

<20% menjadi monosit. Kelainan kromosom yang sering dijumpai pada subtipe ini adalah

t(8;21).

4. Leukemia promieloid akut (M3)

Page 7: Keganasan Pada Anak

Subtipe ini dijumpai pada 5 – 10 persen pasien LMA, dan banyak pada usia relatif muda.

Karakteristiknya adalah sel promieloid ini memiliki banyak granula yang menonjol, yang dapat

menutupi nucleus bersama dengan auer rods. Kelainan sitogenetika yang sering dijumpai pada

subtype ini adalah t(15;17) yang menghasilkan gen fusi abnormal PML/RAR-a.

5. Leukemia mielomonositik akut (M4)

Subtipe ini dijumpai pada 15 – 25 dari LMA. Penderita lebih banyak berusia tua.

Sebagian pasien ini, sebelumnya menderita leukemia mielomonositik kronik (LMMK). Sel

neutrofilik dan monositik (juga prekursornya) dapat dijumpai, masing-masing meliputi 20 persen

dari sel sumsum tulang. Sel monoblas berukuran besar berinti bulat dengan 1 atau lebih

nukleolus. Sitoplasma basofilik dan banyak, kadang ditemukan granula azurofilik halus, vacuola,

dan formasi pseudopod.

6. Leukemia monositik akut (M5)

Leukemia monositik akut dan monoblastik akut (M5a, M5b), masing-masing meliputi

sekitar 5 persen kasus LMA. Galur monositik meliputi 80 persen sel leukemia pada kedua

subtipe tersebut. Leukemia monoblastik akut bercirikan adanya monoblas sekitar 80 persen dari

sel monositik tersebut, sedangkan sebagian besar sel pada leukemia monositik akut adalah

promonosit.

7. Eritroleukemia akut (M6)

Leukemia eritroid akut (M6a, M6b) dibagi menjadi dua subtipe, yakni: eritroleukemia

(eritroid/mieloid) yang meliputi 5 persen kasus LMA, dan leukemia eritroid murni yang sangat

jarang. Setidaknya 50 persen dari sel berinti di sumsum tulang pasien eritroleukemia adalah sel

eritroid, dan 20 persen dari sel non-eritroid merupakan mieloblas. Sel eritroid bersifat displastik,

memiliki nukleus yang banyak dan megaloblastoid, sitoplasma sering terdapat vacuola-vacuola

yang bersatu namun tidak jelas terlihat. Leukemia eritroid murni, memiliki >80 persen dari sel

sumsum tulang merupakan sel eritroid. Sel eritroblas memiliki sitoplasma yang sangat basofilik,

seringkali agranular, dan dapat ditemukan gabungan vacuola yang tidak jelas terlihat. Nukleus

bulat dan memiliki kromatin yang halus, serta satu atau lebih nucleolus.

8. Leukemia megakaryositik akut (M7)

Page 8: Keganasan Pada Anak

Subtipe ini dapat terjadi pada semua usia dan merupakan 5 persen dari kasus LMA.

Setidaknya 50 persen dari sel blas adalah berasal dari galur megakaryosit. Megakaryoblas

seringkali pleomorfik dan memiliki sitoplasma basofilik, agranular, dan mungkin menunjukkan

formasi pseudopod dan bleb, mengindikasikan tumbuh dan berkembangnya trombosit. Nukleus

memiliki kromatin yang halus dan satu hingga tiga nukleolus. Trombosit displastik dapat terlihat

dalam darah, begitu pula mikromegakaryosit dan fragmen megakaryosit.

f. Tata Laksana Pengobatan pada Leukemia

Penyakit ini sampai sekarang merupakan penyakit yang angka kematiannya masih tinggi,

tetapi dengan ditemukannya obat-obat sitostatika dan penggunaanya dalam bentuk kombinasi

maka prognosis penderia leukemia menjadi lebih baik yaitu kemungkinan hidup bebas leukemia

selama 5 tahun sebesar 50%. Pada leukemia, tujuan pengobatan ialah untuk mengurangi sel-sel

leukemia dengan obat-obat anti leukemia sehingga diharapkan bahwa sumsum tulang akan

membentuk lagi sel-sel hemopoetik normal.14 Terapi leukemia terdiri dari terapi spesifik dan

terapi suportif.

1. Terapi spesifik (kemoterapi) (cumix)

Protokol Indonesia 2006 adalah protokol yang buat oleh Unit Kelompok Kerja

Hematologi Onkologi Indonesia dan ditetapkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia untuk terapi

pasien tersebut ALL. Protokol terbagi menjadi 2 skema berdasarkan kelompok risiko. Terdiri

dari 3 fase (induksi, konsolidasi, pemeliharaan) untuk kelompok risiko standar dan 4 fase

(ditambah reinduksi) untuk kelompok risiko tinggi.14,15

a. Fase Induksi

Pengobatan spesifik diawali dengan tahap induksi. Tahap ini diberikan prednison,

vincristin, metotrexate, 6-merkaptopurin, L-Asparaginase, dan Daunorubicine. Prednison

untuk resiko standar diberikan dengan dosis 40 mg/m², untuk resiko tinggi diberikan

Dexametasone dengan dosis 6 mg/m², diberikan per oral pada minggu ke-0 sampai

minggu ke 6. Vincristine diberikan dalam dosis 1,5 mg/m² secara intravena. Diberikan

pada minggu pertama sampai minggu ke enam. Metotrexate diberikan secara intratekal

dengan dosis tergantung dari umur pada minggu ke 0, 2, dan 4. L-Asparagine diberikan

enam kali dalam dosis 6000 U/m² secara intravena pada minggu ke 4 dan 5.

Daunorubicine diberikan secara intravena pada minggu 1-4 dengan dosis 30 mg/m².14

Page 9: Keganasan Pada Anak

b. Fase Konsolidasi

Tahap ini terdiri dari 6-Merkaptopurine dan metotrexate. 6-Merkaptopurine

diberikan per oral dengan dosis 50 mg/m² pada minggu ke-8 sampai minggu ke-12.

Metotrexate diberikan secara intratekal dengan dosis tergantung umur pada minggu ke 8,

10, dan 12. Metotrexate dosis tinggi diberikan bersama dengan Leucovorin rescue,

diberikan pada minggu ke 8, 10 dan 12.14,15

c. Fase Re-Induksi

Tahap ini hanya diberikan pada pasien resiko tinggi yang terdiri dari Metotrexate

yang diberikan secara intratekal dengan dosis tergantung umur dan diberikan pada

minggu ke-15 dan ke- 17. Vincristine diberikan dalam dosis 1,5 mg/m² secara intravena,

diberikan pada minggu ke-14 sampai minggu ke-17. Dexametasone diberikan per oral

dengan dosis 6 mg/m² pada minggu ke-14 sampai 17. Daunorubicine diberikan secara

intravena dalam dosis 75 mg/m² diberikan secara intravena empat kali pada minggu ke-

15 dan empat kali pada minggu ke-17. L-Asparaginase diberikan secara intravena empat

kali pada minggu ke-15 dan 17.14

d. Fase Maintenance

Pengobatan pada tahap ini dengan 6-Merkaptopurine dan

Metotrexate. Dexametasone diberikan per oral dalam dosis 6 mg/m² pada minggu-

minggu yang tidak diberikan 6- Merkaptopurine dan Metotrexate bersama dengan

Vincristine, diberikan dalam dosis 1,5 mg/m² secara intravena .14

2. Terapi Suportif

Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan penyakit

leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia

dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk

mengatasi infeksi, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian

nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial.15,16

2.2. Limfoma

Limfoma atau disebut juga kanker kelenjar getah bening adalah sejenis kanker yang

tumbuh akibat mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal. Limfoma

Page 10: Keganasan Pada Anak

umumnya dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu : Limfoma Hodgkin dan limfoma non-

Hodgkins. Sekitar 85% dari keganasan adalah limfoma non-Hodgkin.

2.2.1 Limfoma Hodgkin

a. Epidemiologi

Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu : limfoma malignum

yang terbagi dalam limfoma malignum Hodgkin dan limfoma malignum non Hodgkin. Kedua

penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, dimana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel

Reed Sternberg2,3. Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg berasal dari folikel sel

B yang mengalami gangguan struktur pada immunoglobulin, sel ini juga mengandung suatu

faktor transkripsi inti sel. Kedua hal tersebut menyebabkan gangguan apoptosis.Di Amerika

Serikat terdapat 7500 kasus baru penyakit Hodgkin setiap tahunnya, rasio kekerapan antara laki-

laki dan perempuan adalah 1,3-1,4 berbanding 1. Terdapat distribusi umur bimodal, yaitu pada

usia 15-34 tahun dan usia diatas 55 tahun5.

b. Etiologi

Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Pada penyakit ini

beberapa faktor resiko yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya limfoma Hodgkin

adalah infeksi virus; infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam menimbulkan lesi genetik,

virus memperkenalkan gen asing ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah Epstein-Barr,

Sitomegalovirus, HIV, HHV-6. Faktor yang lain adalah defisiensi imun, misalnya pada pasien

transplantasi organ dengan pemberian obat imunosupresif 6.

c. Stadium Lymphoma Hodgkin

Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Staging dilakukan

menurut Cotswolds (1990) yang merupakan modifikasi dan klasifikasi Ann Arbor (1971):

Stadium I : Keterlibatan suatu region kelenjar geah bening atau struktur jaringan limfoid

(limpa, timus, cincin waldeyer) atau keterlibatan satu organ ekstralimfatik.

Stadium II : Keterlibatan ≥ 2 regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama.

Stadium III : Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma.

Page 11: Keganasan Pada Anak

Stadium IV : Keterlibatan difus/diseminata pada satu atau lebih organ ekstranodal atau

jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening8.

d. Diagnosis

Diagnosis pada penderita dilihat dari riwayat penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan

penunjang. Pada riwayat penyakit didapati pada penderita umumnya terdapat pembesaran

kelenjar getah bening yang tidak nyeri. Gejala sistenik berupa demam, berkeringat malam hari,

penurunan berat badan, dan pruritus, terdapat hepatosplenomegali juga adanya neuropati7,8.Pada

pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap, fungsi hati,

fungsi ginjal, juga dilakukan pemeriksaan elektrolit. Selain itu dilakukan pemeriksaan biopsi

sumsum tulang juga pemeriksaan radiologis8.

e. Tata Laksana Pengobatan

Di dalam pengobatan Limfoma Hodgkin langkah pertama yang harus dilakukan adalah

penentuan stadium penyakit.

Dipastikan dengan biopsi eksisi kelenjar getah bening.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Evaluasi laboratorium: pemeriksaan darah lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal,

urinalisis.

Rontgen foto toraks, CTscan toraks, abdomen, dan pelvis.

Biopsi sumsum tulang

Laparotomi dengan splenektomi untuk menentukan stadium

Setelah dilakukan penentuan stadium barulah dilakukan pengobatan sesuai dengan stadium yang

ada. Stadium I dan IIA: dapat dilakukan radiasi, stadium III dan IV: kemoterapi (seperti:

“ABVD” – doksorubisin [Adriamisin], bleomisin, vinblastin.dan dakarbazin)6,7.

Prognosis

Page 12: Keganasan Pada Anak

Pada penyakit ini ,jika masih terbatas maka memiliki angka kesembuhan ± 80%; sedang penyakit

lanjut memiliki angka kesembuhan 50-70%

2.2.2 Limfoma Non-Hodgkin

a. Definisi dan Epidemiologi

Limfoma non-hodgkin adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal

dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat jarang) berasal dari sel NK (natural killer) yang

berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen, baik tipe histologist, gejala, perjalanan klinis,

respon terhadap pengobatan, maupun prognosis4,5. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi

secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel LNH berasal dari satu

sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH sel B memiliki immunoglobulin yang

sama pada permukaan selnya5.

Kasus LNH terjadi sekitar 50.000 kasus/tahun dengan usia biasanya > 50 tahun dan

predominan pada laki-laki. Saat ini sekitar 1,5 juta orang di dunia saat ini hidup dengan LNH dan

tiap tahun sekitar 300.000 orang meninggal karena penyakit ini5.

b. Etiologi

Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor resiko terjadinya

LNH, antara lain :

1. Imunodefisiensi : 25% kelainan heredier langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH

antara lain adalah : severe combined immunodeficiency, hypogammaglobulinemia, common

variable immunodeficiency, Wiskott Aldrich syndrome dan ataxia-telangiectasia. Limfoma

yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubugkan pula dengan

Epstein Barr Virus (EBV) dan jenisnya beragam.

2. Agen infeksius : EBV DNA ditemukan pada limfoma Burkit sporadic. Karena tidak pada

semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap

terjadinya limfoma Burkit belum diketahui.

3. Paparan lingkungan dan pekerjaan : Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan

resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya

paparan herbisida dan pelarut organik.

Page 13: Keganasan Pada Anak

4. Diet dan Paparan lsinya : Risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan

tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan UV4,5.

c. Stadium LNH

Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pegobatan dan setiap lokasi

jangkitan harus didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata tidak hanya jumlah

juga ukurannya. Hal ini sangat penting dalam menilai suatu pengobatan.

Stadium berdasarkan kesepakatan Ann Arbor :

Stadium I : Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya 1 regio.

o I E : jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik tidak difus/batas tegas.

Stadium II : Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih satu sisi diafragma.

o II 2 : pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma

o II 3 : pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma

o II E : pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra

limfatik tidak difus/batas tegas

Stadium III : Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma

Staduium IV : Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus6

d. Diagnosis

Dimulai dari anamnesis, keadaan penderita secara umum :

1. Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum : Berat badan menurun 10% dalam

waktu 6 bulan, demam tinggi 38oC selama 1 minggu tanpa sebab, keringat malam.

2. Keluhan anemia.

3. Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring).

Pada pemeriksaan fisik didapati : Adanya pembesaran kelenjar getah bening,

kelainan/pembesaran organ. Tumor LNH dapat terjadi pada tulang, perut, hati, otak atau bagian

tubuh yang lain6.

e. Pemeriksaan Penunjang :

Page 14: Keganasan Pada Anak

1. Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan

perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang paling representatif, maka tidak perlu

biopsi intraabdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa:

2. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya dengan sitologi.

Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka kombinasi core biopsy FNAB bersama-

sama dengan teknik lain (IHK, Flowcytometri dan lain-lain) mungkin mencukupi untuk

diagnosis

3. Hematologi:

• Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED, hitung jenis

• Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah

4. Kimia klinik:

• SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total, albumin-globulin

• Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin

• Gula Darah Sewaktu

• Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P

• HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)

f. Tatalaksana Pengobatan LNH

Pengobatan inti LNH saat ini meliputi kemoterapi, terapi antibodi monoklonal, radiasi, terapi

biologik dan cangkok sum-sum tulang. Penentuan jenis terapi yang diambil amat bergantung

kondisi individual pasien dan bergantung pada 3 faktor utama :

1. Stadium

2. Ukuran

3. Derajat keganasan

Limfoma Agresif (intermediate/derajat keganasan tinggi) cepat tumbuh dan menyebar dalam

tubuh dan bila dibiarkan tanpa pengobatan dapat mematikan dalam 6 bulan. Angka harapan

hidup rata-rata berkisar 5 tahun dengan sekitar 30-40% sembuh. Pasien yang terdiagnosis dini

dan langsung diobati lebih mungkin meraih remisi sempurna dan jarang mengalami

kekambuhan. Karena ada potensi kesembuhan, maka biasanya pengobatan lebih agresif. Standar

terapi dahulu meliputi kemoterapi standar CHOP dan/atau kemoterapi dosis tinggi dan cangkok

sum-sum. Tetapi terapi tersebut dianggap masih memiliki tingkat kekambuhannya 31,5 %

Page 15: Keganasan Pada Anak

sampai 56,8 % dimana Complete Response dan survival rate yang rendah. Pada saat ini sebagai

first line treatment digunakan rituximab yang dikombinasi dengan CHOP. Rituximab ( suatu

monoklonal antibodi/ antibodi anti CD20 ) yang bisa mengatasi kasus-kasus relaps LNH

terhadap agen kemoterapi. Sehingga baru-baru ini, penggunaan rituximab plus kemoterapi

standar telah direkomendasikan oleh para peneliti Eropa yang mengobati NHL agresif

berdasarkan uji klinisi yang menunjukkan perpanjangan harapan hidup pasien ketika diobati

dengan Rituximab ditambah CHOP dibandingkan hanya CHOP6,7.

Limfoma Indolen (derajat keganasan rendah) tumbuh lambat sehingga diagnostik awal

menjadi lebih sulit. Pasien dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun dengan penyakit ini,

tetapi standar pengobatan yang ada tidak dapat menyembuhkannya. Biasanya, pasien

memberikan respon yang baik pada terapi awal, tetapi sangat mungkin kanker tumbuh kembali.

Pasien dengan limfoma indolen bisa mendapatkan terapi sebanyak lima sampai enam kali

sepanjang hidup mereka. Meskipun demikian, pasien biasanya memberikan respon terapi yang

semakin rendah. Angka harapan hidup pada limfoma jenis ini, dimana seringkali pasien

terkalahkan oleh penyakit ini atau komplikasi yang timbul, berkisar antara enam tahun6,7.

2.3 Neuroblastoma

Neuroblastoma, merupakan neoplasma yang berasal dari sel embrional neural dan salah

satu tumor padat tersering yang dijumpai pada anak. Rata-rata terdapat 8 kasus baru per tahun

pada anak di bawah usia 16 tahun dengan rata-rata usia tersering sekitar 2 tahun. Neuroblastoma

paling sering berasal dari kelenjar supra renal, tetapi dapat juga dijumpai di sepanjang jalur saraf

simpatis

a. Epidemiologi

Neuroblastoma adalah tumor padat tersering yang dijumpai dan meliputi 7% dari

keganasan pada anak. Usia dijumpainya neuroblastoma pada anak di bawah usia 16 tahun

dengan puncak pada usia 2 tahun.3 Tiga puluh tujuh persen kasus neuroblastoma terdiagnosis

pada usia <1 tahun, 81% pada <4 tahun dan 97% pada usia 10 tahun. Umumnya terjadi pada

laki-laki daripada perempuan (1,2:1)

b. Manifestasi Klinis

Page 16: Keganasan Pada Anak

           Pasien dengan neuroblastoma biasanya menunjukkan gejala dan tanda menurut lokasi

primer dan perluasan dari penyakit, meskipun sering asimptomatik. Karena 75% dari

neuroblastoma terjadi pada kavum abdomen (50% pada glandula adrenal, 25% di

retroperitoneum), massa abdomen dideteksi saat pemeriksaan fisik, dengan keluhan nyeri perut.

Lokasi primer yang lain termasuk mediatinum posterior (20%), regio cervical (1%), dan pelvis

(4%). Distress respirasi atau disfagia mungkin refleksi dari tumor regio toraks. Perubahan

defekasi dan buang air kecil disebabkan kompresi dari spinal cord dari tumor paraspinal. Tumor

pada leher atau toraks bagian atas dapat menyebabkan Horner sindrom (ptosis,miosis dan

anhidrosis), enophtalmus, dan heterochromia iris. Ataksia cerebral akut  diobservasi, ditandai

sindrom dancing eye, opsoklonus, myoclonus dan chaotic nistagmus. Dua sampai tiga kasus

terjadi pada bayi dengan tumor primer di mediastinum. Tanda dan gejala lain akibat dari sekresi

katekolamin dan vasoactive intestinal polypeptide meliputi diare, penurunan berat badan, dan

hipertensi.2,4

            Penyebaran neuroblastoma menurut umur dan stadium tampak pada tabel 3. Lebih dari

40% pasien dengan penyakit metastase. Pada pasien yang lebih tua, neuroblastoma mempunyai

pola metastasis penyakit ke bone marrow, limfonodi, dan tulang. Manifestasi metastase ke tulang

(nyeri tulang) atau anemia (infiltrasi bone marrow). Otak, spinal cord, jantung, paru-paru

merupakan lokasi yang jarang untuk metastasis. Metastasis juga dihubungkan dengan “racoon

eyes”, hasil dari penyebaran plexux vena retro-orbital

c. Diagnosis Penunjang

Darah rutin, elektrolit, feritin, urin rutin, VMA urin, HVA urine

USG abdomen, CT scan untuk mencari tumor primer dan penyebarannya

Foto toraks untuk mencari penyebaran

Biopsi sumsum tulang untuk mencari penyebaran

Aspirasi sumsum tulang: sel ganas pseudorosette

Diagnosis pasti dengan pemeriksaan histopatologis dari jaringan yang diambil (biopsi)

e. Stadium Neuroblastoma

Stadium neuroblastoma menurut Children’s Cancer Study Group Staging to

Neuroblastoma :

Page 17: Keganasan Pada Anak

Stadium I : Tumor masih berada di organ asli, belum terdapat metastase

Stadium II : Tumor menyebar dari organ asli tetapi tidak menyeberang dari garis tengah

tubuh (matastase ipsilateral)

Stadium III : Tumor sudah menyeberang dari garis pertengahan tubuh

Stadium IV : Tumor menyebar jauh ke tulang, organ parenkim, jaringan lunak atau

kelenjar limfe jauh

Stadium IV : Pasien dengan stadium I atau II tetapi mempunyai penyebaran jauh ke satu

atau lebih seperti organ hati, sumsum tulang dan kulit.

F. Tata Laksana Pengobatan Neuroblastoma

Terapi neuroblastoma terdiri dari:

Operasi pengangkatan tumor

Kemoterapi

Radioterapi

Terapi tergantung dari usia pasien, lokasi tumor, dan stadium penyakit.

Stadium 1 : operasi pengangkatan tumor

Stadium 2 : operasi pengangkatan tumor + kemoterapi adjuvan

Stadium 3 dan 4 : kemoterapi, operasi, dan radioterapi

Kemoterapi yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara : vinkristin,

siklofosfamid, doksorubisin, karboplatin, dan etoposid.

2.4 Retinoblastoma

a. Epidemiologi

Retinoblastoma adalah tumor intraokular paling sering ditemui pada anak-anak, terjadi

kira-kira 1 dalam 15,000 kelahiran hidup di Amerika Serikat dan 1 dalam 16,600 kelahiran hidup

di Eropa Utara. Terdapat 250-300 kasus baru yang dilaporkan di Amerika Serikat setiap tahun.

Antara tahun 2005 hingga 2009, insidens tahunan retinoblastoma di Amerika Serikat pada anak

usia bawah 15 tahun adalah 4.1 juta orang.7

b. Patofisiologi

Page 18: Keganasan Pada Anak

Retinoblastoma semula diperkirakan terjadi akibat mutasi suatu gen dominan otosom,

tetapi sekarang diduga bahwa suatu alel di satu lokus di dalam pita kromosom 13q14 dapat

mengontrol tumor bentuk herediter dan non herediter. Gen retinoblastoma normal, yang terdapat

pada semua orang, adalah suatu gen supresor atau anti-onkogen. Pada bentuk yang herediter,

individu memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di

sel retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada bentuk

penyakit yang non-herediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang

tumbuh diinaktifkan oleh mutasi spontan.10

Retinoblastoma dapat tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik). Retinoblastoma

endofitik kemudian meluas ke dalam korpus vitreum. Kedua jenis secara bertahap akhirnya

mengisi mata dan meluas melalui saraf optikus ke otak dan sepanjang saraf dan pembuluh-

pembuluh emisari di sclera ke jaringan orbita lainnya. Secara mikroskopis, sebagian besar

retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil, tersusun rapat bundar atau poligonal dengan inti besar

berwarna gelap dan sedikit sitoplasma. Sel-sel ini kadang-kadang membentuk “rosette Flexner –

Wintersteiner” yang khas, yang merupakan indikasi diferensiasi fotoreseptor. Kelainan-kelainan

degeneratif sering dijumpai, disertai oleh nekrosis dan kalsifikasi.10,11

c. Manifestasi Klinis

Gejala klinis subjektif pada pasien retinoblastoma sukar karena anak tidak memberikan

keluhan. Tapi kita harus waspada terhadap kemungkinan retinoblastoma. Lebih dari 75% anak-

anak dengan retinoblastoma yang pertama kali dicatat mempunyai “pupil putih” yang mana

dokter menyebutnya “Leukokoria” yang seolah bersinar bila kena cahaya seperti mata kucing

“Amaurotic cat’s eye”, atau strabismus, atau kemerahan dan nyeri pada mata (biasanya

disebabkan glaukoma). Jika dalam perkembangan anak terjadi iritasi kemerahan yang menetap,

hal ini dapat menggambarkan inflamasi atau pseudo-inflamasi pada mata, 9% pasien

retinoblastoma dapat berkembang dengan symptom ini. Tanda lain yang jarang diperlihatkan

pada retinoblastoma termasuk anisokoria, perbedaan warna pada iris (heterochromia), berair,

penonjolan ke depan pada mata (proptosis), katarak, dan pergerakan mata abnormal

(nistagmus).12

Pemeriksaan fisis dilakukan untuk mengkonfirmasi keluhan-keluhan yang diperoleh

Pemeriksaan yang sangat penting adalah pemeriksaan mata di bawah anesthesia pada keadaan

pupil dilatasi maksimal dengan oftalmoskopi indirek dan penekanan sklera oleh dokter mata

Page 19: Keganasan Pada Anak

yang berpengalaman. Dengan cara ini retinoblastoma dapat ditegakkan tanpa konfirmasi

histopatologis.

Stadium Retinoblastoma :

Pada retinoblastoma didapatkan tiga stadium, yaitu :12

1. Stadium tenang

Pupil lebar, di pupil tampak refleks kuning yang disebut “amaurotic cat’s eye”. Hal

inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk kemudian berobat. Pada

funduskopi, tampak bercak yang berwarna kuning mengkilat dapat menonjol ke

dalam badan kaca. Di permukaannya ada neovaskularisasi dan perdarahan, dapat

disertai dengan ablation retina.

2. Stadium glaukoma

Tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler meningkat (glaukoma

sekunder) yang disertai rasa sakit yang sangat. Media refrakta keruh, pada

funduskopi sukar menentukan besarnya tumor.

3. Stadium ekstraokuler

Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabkan eksoftalmus

kemudian dapat pecah ke depan sampai ke luar dari rongga orbita disertai nekrosis di

atasnya. Pertumbuhan dapat pula terjadi ke belakang sepanjang N. II dan masuk ke

ruang tengkorak. Penyebaran ke kelenjar getah bening, dapat masuk ke pembuluh

darah untuk kemudian menyebar ke seluruh tubuh.

d. Klasifikasi

Berdasarkan tujuan dari pengobatan retinoblastoma dikategorikan menjadi dua, yaitu :

1. Intraokuler

2. Ekstraokuler

Reese dan Ellsworth membagi retinoblastoma menjadi 5 golongan, yaitu :17

Golongan I (prognosa sangat baik) :

1. Tumor soliter, berukuran < 4 diameter papil, terletak pada atau di

belakang equator.

2. Tumor multiple, berukuran tidak lebih besar dari 4 diameter papil, terletak

pada atau di belakang equator.

Page 20: Keganasan Pada Anak

Golongan II (prognosis baik) :

1. Tumor soliter, berukuran 4-10 diameter papil, terletak pada atau

dibelakang equator.

2. Tumor multiple, berukuran 4-10 diameter papil, terletak dibelakang

equator.

Golongan III (prognosis meragukan) :

1. Beberapa lesi di depan equator.

2. Tumor soliter, berukuran > 10 diameter papil, terletak di belakang equator.

Golongan IV (prognosis tidak baik) :

1. Tumor multiple, berukuran > 10 diameter papil.

2. Beberapa lesi meluas sampai ke ora seratta.

Golongan V (prognosis buruk) :

Tumor berkembang massive sampai separuh retina dengan benih di badan kaca.

e. Pemeriksaan Penunjang

Tujuan: untuk menegakkan diagnosis dan staging.

USG orbita.

Ct-scan dan MRI orbita dan kepala sangat berguna untuk mengevaluasi nervus optikus,

orbital, keterlibatan sistem saraf pusat dan adanya kalsifikasi intraokular

Aspirasi biopsi jarum halus hanya direkomendasikan pada kasus yang diagnosisnya

masih meragukan dan merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah penyebaran

ekstraokular dari sel tumor

Untuk melihat penyebaran ekstraokular: aspirasi dan biopsi sumsum tulang, sitologi

cairan serebrospinal, bone scan.

f. Tata laksana pengobatan

Retinoblastoma intraokuler

Terdapat beberapa pilihan terapi :

- Enukleasi, bila massa tumor masif dan terdapat gangguan visus--

- External-beam radiation therapy (--EBRT) dengan dosis radiasi 35 Gy - 46 Gy

- Krioterapi, dilakukan bila lesi < 4 disc diameter (DD) di anterior retina.--

Page 21: Keganasan Pada Anak

- Sistemik kemoterapi neoajuvan dengan menggunakan kombinasi obat ifosfamid, --

vinkristin dan daktinomisin atau vinkristin, etoposid dan karboplatin.

- Kemoterapi dapat diberikan sebelum dilakukan operasi dengan tujuan untuk --

memperkecil massa tumor.

Retinoblastoma ekstraokuler

Belum ada standard terapi yang baku, meskipun iradiasi dan kemoterapi telah lama

digunakan untuk terapi Retinoblastoma ekstraokuler.

Suportif

Nutrisi, dukungan psikososial; antibiotika, transfusi darah (bila perlu).

2.5 Osteosarcoma

a. Epidemiologi

Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang merupakan salah satu keganasan

tersering pada anak-anak dan usia dewasa muda. Insidensi osteosarcoma memiliki sifat bimodal

yaitu dengan usia tersering pada anak-anak dan dewasa muda serta usia tua di atas 65 tahun serta

lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita dengan perbandingan 1.2:1.

Predileksi tersering pada: lengan atas, tungkai, perbatasan dengan lutut karena

osteosarcoma muncul terutama pada daerah tulang besar dengan rasio pertumbuhan yang cepat

meskipun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada semua tulang.

b. Faktor Resiko

Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan pathogenesis terjadinya osteosarkoma

adalah: faktor genetik (sindrom Li- Fraumeni, Retinoblastoma familial, sindrom Werner,

Rothmund-Thomson, Bloom), lesi tulang jinak (Paget, osteomielitis kronis, displasia fibrosis,

osteokondroma dll), riwayat radiasi dan atau kemoterapi, lokasi implan logam.

c. Manifestasi Klinis

Nyeri (+ )

Massa ± ( ada + pada periostel; kadang tidak ada pada intramedulari )

Edema jaringan lunak ( ± )

Fraktur tulang ( pada stadium lanjut )

Keterbatasan gerak (+ )

Penurunan berat badan

Page 22: Keganasan Pada Anak

d. Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan anamnesis (usia umumnya muda, adanya keluhan nyeri),

pemeriksaan fisik (lokalisasi, besar tumor ), dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Penunjang

• Foto X-ray

Gambaran klasik menunjukkan reaksi periosteal, gambaran litik dan sklerotik pada tulang,

formasi matrix osteoid di bawah periosteum dengan gambaran khas Codman’s triangle , sunburst

, dan moth eaten

• MRI

Berguna untuk mengetahui ekstensi tumor, keterlibatan jaringan lunak sekitar pembuluh darah,

saraf, sendi), serta mencari adanya skip lessions. Skip lession terjadi < 5% pada

osteosarcoma.

• Foto x-ray thorax/ CT scan

Menyingkirkan adanya metastasis di paru

Bone scan(+) atau PET – CT ( optional )

Menyingkirkan adanya metastasis di tulang

• Biopsi (biopsi Aspirasi Jarum halus (BAJH/FNAB), core biopsy)

Berguna untuk konfirmasi histopatologi penegakan diagnosis

• Pemeriksaan laboratorium darah (LDH / ALP )

Untuk mengevaluasi status keadaan umum dan persiapan terapi

• Penilaian skor huvos untuk evaluasi histologik respons kemoterapi neoadjuvant pre operasi.

Penilaian ini dilakukan secara semikuantitatif dengan membandingkan luasnya area nekrosis

terhadap sisa tumor yang riabel :

Grade 1 : sedikit atau tidak ada nekrosis (0 - 50%)

Grade 2 : nekrosis >50 - <90 %

Grade 3 : nekrosis 90 - 99 %

Grade 4 : nekrosis 100 %

e. Stadium Osteosarcoma

Page 23: Keganasan Pada Anak

Terdapat 2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkan Musculoskeletal Tumor Society (MSTS)

untuk stratifikasi tumor berdasarkan derajat dan ekstensi lokal serta stadium berdasarkan

American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke 7.

Sistem Klasifikasi Stadium MSTS (Enneking)

IA derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen, tanpametastasis

IB derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen, tanpa metastasis

IIA derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen, tanpa metastasis

IIB derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen, tanpametastasis

III ditemukan adanya metastasis

Sistem Klasifikasi AJCC edisi ke 7

IA derajat keganasan rendah, ukuran ≤ 8

IB derajat keganasan rendah, ukuran > 8 atau adanya diskontinuitas

IIA derajat keganasan tinggi, ukuran ≤ 8

IIB derajat keganasan tinggi, ukuran > 8

III derajat keganasan tinggi, adanya diskontinuitas

IVA metastasis paru

IVB metastasis lain

f. Penatalaksanaan Osteosarcoma

Terapi pada osteosarkoma meliputi terapi pembedahan ( limb -sparing surgery atau

amputasi ), kemoterapi dan radioterapi yang diberikan konkuren ataupun sekuensial sesuai

indikasi.3

Terapi pembedahan merupakan terapi utama pada osteosarcoma yang masih dapat

dioperasi, dengan prinsip pembedahan reseksi en bloc komplit dengan preservasi organ

semaksimal mungkin. Kontraindikasi untuk preservasi organ adalah bila ada keterlibatan

pembuluh darah ataupun struktur saraf, fraktur patologis, adanya hematoma besar terkait

tindakan biopsi.

Limb sparing surgery dilakukan pada high grade osteosarcoma dan respon baik terhadap

kemoterapi ( sel viable < 10 % dan margin jaringan - ), serta tepi bebas tumor. Setelah limb

sparing surgery maka kemoterapi dilanjutkan sebanyak 2 siklus. Jika setelah 3 bulan dievaluasi

terjadi relaps maka dilakukan amputasi. Amputasi juga dilakukan pada osteosarcom yang

Page 24: Keganasan Pada Anak

letaknya secara anatomik tidak menguntungkan dan tidak dapat dilakukan limb sparing dengan

margin yang bersih.

Kemoterapi pada osteosarkoma :

First line therapy (primary/neoadjuvan/adjuvanttherapy or metastatic

disease ) :

• Cisplatin and doxorubicin

• MAP ( High-dosemethotrexate, cisplatin, and doxorubicin )

• Doxorubicin, cisplatin, ifosfamide , and high dose methotrexate

• Ifosfamide, cisplatin, and epirubicin

Second line therapy ( relapsed/ refractory or metastatic disease )

• Docetaxel and gemcitabine

• Cyclophosphamide and etoposide

• Gemcitabine

• Ifosfamide and etoposide

• Ifosfamide, carboplatin, and etoposide

• High dose methotrexate, etoposide, and ifosfamide

2.6 Kista Ovarium

Massa ovarium yang ditemukan pada anak-anak dan perempuan muda umumnya

ditemukan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Massa ovarium

dapt berupa kista fisiologis, tumor benign atau tumor malignan. Massa ovarium dapat

diasosiasikan dengan nyeri atau bahkan tanpa gejala sama sekali. Walaupun jarang ditemukan

kasusnya, kista ovarium merupakan keganasan genital yang paling sering terjadi pada masa

anak-anak. Sebagian besar masa ovarium yang ditemukan pada anak-anak bersifat benign.

(uptodate)

2.6.1 Kista Ovarium pada Janin

Kista ovarium folikuler sering ditemukan pada janin dan bayi baru lahir. Insidennya

bertambah seiring dengan bertambahnya usia kehamilan dan komplikasi saat kehamilan, seperti

diabetes mellitus, preeclampsia dan isoimunisasi rhesus.

a. Diagnosis

Page 25: Keganasan Pada Anak

Diagnosis ditegakkan dengan empat kriteria yang diperoleh dari hasil sonografi yaitu :

jenis kelamin perempuan, struktur kista reguler tanpa garis tengah, struktur saluran kemih

normal, dan struktur saluran pencernaan yang normal. Kista berukuran kurang dari 2 cm

termasuk kista fisiologis. Semakin besar dan komplek bentuk kista semakin besar kemungkinan

menjadi kista patologis.

Kista follicular umunya terdeteksi secara tidak sengaja saat pemeriksaan ultrasound

antenatal. Penyebab pastinya masih belum jelas namun kemungkinan berasal dari stimulasi oleh

hormon gonadotropin janin dan ibu. Sebagian besar kasus kista ovarium pada janin unilateral.

b. Diagnosis Banding

kelainan saluran genitourinal (anomali saluran reproduks, obstruksi saluran kemih)

kelainan saluran pencernaan (kista mesenterika, volvulus dan atresia kolon)

kelainan lainnya (kista koledokal, splenik, atau pankreas, dan limfangioma)

c. Penanganan

Spontan regresi pada kista sederhana dan komplek dapat terjadi selama masa kehamilan

di dalam kandungan ataupun enam bulan paska melahirkan. Pemeriksaan dengan ultrasound

harus dilakukan setiap tiga hingga empat minggu saat kehamilan. Sebagian besar bayi dengan

kista ovarium dapat dilahirkan secara normal. Operasi sectio dipilih jika ada indikasi obstetri dan

mencegah kista yang besar untuk pecah atau mengalami distosia. Aspirasi kista saat proses

kelahiran dapat menjadi alternatif terapi.

2.6.2 Kista Ovarium pada Bayi Baru Lahir

Masa di pelvis pada bayi baru lahir umumnya merupakan kista fisiologis sebagai hasil

dari stimulasi hormon ibu saat di dalam kandungan. Kista neonatal yang terdeteksi pada

pemeriksaan ultrasound saat masa kehamilan sering dianggap sebagai massa abdominal

asimptomatis.

Komplikasi yang timbul pada kista ovarium adalah torsio ovarian, khususnya jika

kistanya memiliki pedikel yang panjang. Klinis yang timbul pada torsio ovarian antara lain nyeri

perut bagian bawah yang mendadak, mual, muntah, dan demam subfebris.

Page 26: Keganasan Pada Anak

Penanganan torsio yang terpenting adalah melepas lilitan pedikel vaskuler yang bertujuan

untuk menyelamatkan ovarium. Teknik bivalve (membuka cortex ovarium dengan insisi linear)

dapt digunakan untuk menyelamatkan torsio ovarium yang berwarna gelap, teknik ini dapt

mengurangi tekanan intraovari yang disebabkan oleh oklusi vena dan melancarkan aliran arteri

ke ovarium.

2.6.3 Kista Ovarium pada Bayi dan Anak-Anak Prepubertas

Sebagain besar kista ovarian merupakan kista hormon aktif sebagai hasil dari pubertas

precocious. Pada anak perempuan dengan kista hormon aktif, pembesaran ovarium bisa disangka

sebagai tumor ovarium dan dilakkan oophorectomi yang tidak diperlukan. Anak perempuan

dengan perdarahan vagina prematur dan pembesaran ovarium harus dievaluasi sebagai gejala

dari sindrom McCune-Albright.

Kista ovarian pada anak-anak prepubertas dapat menimbulkan gejala seperti nyeri

abdomen kronis pada area periumbilical atau terlokalisasi pada kuadran kanan bawah. Nyeri

abdomen akut yang mirip gejala appendisitis atau peritonitis dapat disebabkan oleh adanya

torsio, perforasi, infark, atau perdarahan. Torsio juga menimbulkan gejala mual, muntah, pucat,

kepucatan, dan leukositosis.

Evaluasi kista ovarium dapat menggunakan ultrasonografi, dengan tambahan USG

Doppler jika nyeri dicurigai disebabkan oleh torsio. Anak-anak dengan massa ovarium yang

berulang, berukuran besar, multipel, dan diikuti tanda-tanda perkembangan seksual dini harus

dievaluasi sebagai pubertas precocious, atau periovarian atau mesothelial kista.

Masa ovarium yang jinak dapat dilakukan observasi selama empat hingga delapan

minggu. Jika terjadi rupture dengan perdarahan harus dilakukan laparoskopi. Laparotomi

dilakukan jika pasien mengalami hipotensi dan tidak bisa segera distabilkan. Sebaliknya, jika

terjadi torsio ovarium operasi harus segera dilaksanakan untuk melepaskan lilitan.

2.7 Keganasan Ovarium

Tumor ovarium terjadi sebanyak 1% dari semua tumor yang terdapat pada anak-anak dan

remaja. Sebagian besar tumor ovarium merupakan tumor fisiologis atau jinak; tumor ovarium

yang ganas terjadi kurang dari 5% pada kelompok usia ini. Meskipun demikian, pembesaran

Page 27: Keganasan Pada Anak

ovarium, baik itu kista ataupun tumor pada pasien harus dievaluasi untuk menyingkirkan adanya

keganasan.

Semua massa yang tidak hilang dengan sendirinya harus dievaluasi lebih lanjut untuk

menentukan apakah tumor tersebut termasuk ganas atau jinak. Pada hasil imaging, masa ovarium

persisten bisa berupa massa sederhana (cystic) contohnya mucinous atau serous cystadenoma

atau berupa massa komplek (padat dan cystic) contohnya tumor sel germ. Tumor sel germ yang

paling sering pada remaja adalah teratoma. Teratoma dapat bersifat jinak (teratoma matur) atau

malignan (teratoma imatur).

Manifestasi klinis dari tumor ovarium adalah nyeri perut dan keluhan peningkatan lingkar

perut, mual, dan muntah. Bisa juga asimptomatis dengan massa yang ditemukan pada

pemeriksaan rutin. Luasnya cakupan gejala yang disebabkan oleh tumor ovarium menyarankan

palpasi abdomen dan pemeriksaan rectal dengan posisi supinasi dorsal penting dilakukan pada

semua anak permpuan dengan keluhan pelvis dan abdominal nonspesifik. Keluhan nonspesifik

lebih sering ditemukan pada tumor sel epitel dibandingkan tumor sel germ.

Pada pencitraan, sonografi digunakan untuk menentukan ukuran massa dan jenis

massanya (sederhana, kompleks, padat, bilateral, atau berhubungan dengan cairan bebas). Pola

suplai darah dapat dievaluasi dengan Doppler. Informasi ini bersama dengan umur pasien,

manifestasi klinis, dan keberadaan tumor marker, penting untuk menentukan diagnosis banding.

Beberapa tumor marker yang dapat digunakan antara lain, alpha-fetoprotein (AFP), Lactate

dehidrogenase, CA-125, human chorionic gonadotropin (hCG), carcinoembryonic antigen

(CEA), dan trombositosis.

Staging tumor ovarium maligna ditentukan oleh International Federation of Gynecologist

dan Obstetrician sebagai berikut :

Penanganan tumor ovarium melalui operasi bertujuan untuk kelangsungan fungsi

reproduksi dan seksual. Operasi konservatif harus dilakukan dengan cara eksisi pada lesi dan

rekonstruksi ovarium. Jika dicurigai atau telah dikonfirmasi sebagai tumor maligna staging yang

adekuat meliputi eksploarasi abdominal dan pelvis, pencucian peritoneal, biopsi pada area yang

dicurigai, dan sampling kelenjar getah bening pelvis dan periaortic.

2.8 Wilm’s Tumor (Nefroblastoma)

Page 28: Keganasan Pada Anak

Tumor Wilms yang merupakan keganasan genitourianaria paling sering terjadi pada anak-anak

neoplasma embrional trifase yang merupakan hasil proliferasi dari blastema, stroma dan epithelium.

Tumor ini merupakan 8% keganasan pada anak-anak. Insidens tumor ini hampir sama di setiap negara,

oleh karena tidak ada perbedaan ras, yaitu sekitar 2-5 kasus per 1 juta penduduk.

b. etiologi

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik. Tumor wilms

berhubungan dengan kelainan bawaan tertentu, seperti :

Etiologi tumor ini pada dasarnya belum diketahui

Kelainan saluran kemih

Aniridia (tidak memiliki iris)

Hemihipertrofi ( pembesaran separuh bagian tubuh )

Tumor bisa tumbuh cukup besar, tetapi biasanya tetap berada dalam kapsulnya. Tumor bisa

menyebar ke bagian tubuh lainnya.

Tumor Wilms bersifat kongenital. Satu persen dari tumor wilms ditemukan familial dan

diturunkan secara dominan autosomal. Onkogen tumor wilms telah berlokasi pada kromosom

11 p13. Timbul dalam parenkim ginjal, mungkin dari sisa-sisa blastoma nefrogen dan

biasanya dari fokus tunggal, kadang-kadang lebih dari 1 area. Tumor Wilms dapat muncul

dalam 3 gambaran klinik. Gambaran klinik tersebut antara lain :

a) Sporadic

b) Berhubungan dengan sindrom genetic

c) Familial.

c. Patofisiologi

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik. Tumor wilms

berhubungan dengan kelainan bawaan tertentu, seperti :

Etiologi tumor ini pada dasarnya belum diketahui

Kelainan saluran kemih

Aniridia (tidak memiliki iris)

Hemihipertrofi ( pembesaran separuh bagian tubuh )

Tumor bisa tumbuh cukup besar, tetapi biasanya tetap berada dalam kapsulnya. Tumor bisa

menyebar ke bagian tubuh lainnya.

Page 29: Keganasan Pada Anak

Tumor Wilms bersifat kongenital. Satu persen dari tumor wilms ditemukan familial dan

diturunkan secara dominan autosomal. Onkogen tumor wilms telah berlokasi pada kromosom

11 p13. Timbul dalam parenkim ginjal, mungkin dari sisa-sisa blastoma nefrogen dan

biasanya dari fokus tunggal, kadang-kadang lebih dari 1 area. Tumor Wilms dapat muncul

dalam 3 gambaran klinik. Gambaran klinik tersebut antara lain :

d) Sporadic

e) Berhubungan dengan sindrom genetic

f) Familial.

d. Diagnosis

1. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi massa di daerah abdomen

Ballottement

Palpasi massa intra abdominal : ukuran, letak massa, konsistensi, tepi atau

konfigurasi, permukaan pulsasi, fluktuasi, nyeri tekan, mobilitas serta hubungannya

dengan alat sekitarnya

Tumor Wilms : tekanan darah, berat badan, tinggi badan, hepar, lien, pembesaran

kelenjar getah bening, massa abdomen (tempat dan ukuran).

2. Pemeriksaan Diagnostik

Tumor Wilms harus dicurigai pada setiap anak kecil dengan massa di abdomen. Pada 10-

25% kasus, hematuria mikroskopik atau makroskopik memberi kesan tumor ginjal.

a. IVP → Dengan pemeriksaan IVP tampak distorsi sistem pielokalises (perubahan bentuk

sistem pielokalises) dan sekaligus pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui fungsi

ginjal.

b. Foto thoraks merupakan pemeriksaan untuk mengevaluasi ada tidaknya metastasis ke

paru-paru. Arteriografi khusus hanya diindikasikan untuk pasien dengan tumor Wilms

bilateral atau termasuk horseshoe kidney.

c. Ultrasonografi → USG merupakan pemeriksaan non invasif yang dapat membedakan

tumor solid dengan tumor yang mengandung cairan. Dengan pemeriksaan USG, tumor

Page 30: Keganasan Pada Anak

Wilms nampak sebagai tumor padat di daerah ginjal. USG juga dapat digunakan sebagai

pemandu pada biopsi. Pada potongan sagital USG bagian ginjal yang terdapat tumor akan

tampak mengalami pembesaran, lebih predominan digambarkan sebagai massa

hiperechoic dan menampakkan area yang echotekstur heterogenus.

d. CT-Scan → memberi beberapa keuntungan dalam mengevaluasi tumor Wilms. Ini

meliputi konfirmasi mengenai asal tumor intrarenal yang biasanya menyingkirkan

neuroblastoma; deteksi massa multipel; penentuan perluasan tumor, termasuk

keterlibatan pembuluh darah besar dan evaluasi dari ginjal yang lain. Pada gambar CT-

Scan Tumor Wilms pada anak laki-laki usia 4 tahun dengan massa di abdomen.

CT scan memperlihatkan massa heterogenus di ginjal kiri dan metastasis hepar

multiple.

CT scan dengan level yang lebih tinggi lagi menunjukkan metastasis hepar

multipel dengan thrombus tumor di dalam vena porta.

e. Magnetic resonance imaging (MRI) → MRI dapat menunjukkan informasi penting

untuk menentukan perluasan tumor di dalam vena cava inferior termasuk perluasan ke

daerah  intarkardial. Pada MRI tumor Wilms akan memperlihatkan hipointensitas (low

density intensity)  dan hiperintensitas (high density intensity)

f. Laboratorium → Hasil pemeriksaan laboratorium yang penting yang menunjang untuk

tumor Wilms adalah kadar lactic dehydrogenase (LDH) meninggi dan Vinyl mandelic

acid (VMA) dalam batas normal. Urinalisis juga dapat menunjukkan bukti hematuria,

LED meningkat, dan anemia dapat juga terjadi, terlebih pada pasien dengan perdarahan

subkapsuler. Pasien dengan metastasis di hepar dapat menunjukkan abnormalitas pada

analisa serum.

e. Penanganan

Tujuan pengobatan tumor Wilms adalah mengusahakan penyembuhan dengan komplikasi

dan morbiditas serendah mungkin. Biasanya dianjurkan kombinasi pembedahan, radioterapi

dan kemoterapi. Dengan terapi kombinasi ini dapat diharapkan hasil yang memuaskan. Jika

secara klinis tumor masih berada dalam stadium dini dan ginjal di sebelah kontra lateral

normal, dilakukan nefrektomi radikal.

Page 31: Keganasan Pada Anak

Ukuran tumor pada saat datang menentukan cara pengobatan. masing-masing jenis

ditangani secara berbeda, tetapi tujuannya adalah menyingkirkan tumor dan memberikan

kemoterapi atau terapi radiasi yang sesuai. Apabila tumor besar maka pembedahan definitive

mungkin harus di tunda sampai kemoterapi atau radiasi selesai. Kemoterapi dapat

memperkecil tumor dan memungkinkan reaksi yang lebih akurat dan aman.

a. Farmakologi

1) Kemoterapi

Tumor Wilms termasuk tumor yang paling peka terhadap obat kemoterapi.

Prinsip dasar kemoterpai adalah suatu cara penggunaan obat sitostatika yang

berkhasiat sitotoksik tinggi terhadap sel ganas dan mempunyai efek samping yang

rendah terhadap sel yang normal.

Terapi sitostatika dapat diberikan pra maupun pasca bedah didasarkan penelitian

sekitar 16-32% dari tumor yang mudah ruptur. Biasanya, jika diberikan prabedah

selama 4 – 8 minggu. Jadi tujuan pemberian terapi adalah untuk menurunkan resiko

ruptur intraoperatif dan mengecilkan massa tumor sehingga lebih midah direseksi

total.

Ada lima macam obat sitostatika yang terbukti efektif dalam pengobatan tumor

Wilms, yaitu Aktinomisin D, Vinkristin, Adriamisin, Cisplatin dan siklofosfamid.

Mekanisme kerja obat tersebut adalah menghambat sintesa DNA sehingga

pembentukan protein tidak terjadi akibat tidak terbentuknya sintesa RNA di

sitoplasma kanker, sehingga pembelahan sel-sel kanker tidak terjadi.

2) Aktinomisin D

Golongan antibiotika yang berasal dari spesies Streptomyces, diberikan lima hari

berturut-turut dengan dosis 15 mg/KgBB/hari secara intravena. Dosis total tidak

melebihi 500 mikrogram. Aktinomisin D bersama dengan vinkristin selalu digunakan

sebagai terapi prabedah.

3) Vinkristin

Golongan alkaloid murni dari tanaman Vina rossa, biasanya diberikan dalam satu

dosis 1,5 mg/m2 setiap minggu secara intravena (tidak lebih dari 2 mg/m2). Bila

melebihi dosis dapat menimbulkan neurotoksis, bersifat iritatif, hindarkan agar tidak

Page 32: Keganasan Pada Anak

terjadi ekstravasasi pada waktu pemberian secara intravena. Vinkristin dapat

dikombinasi dengan obat lain karena jarang menyebabkan depresi hematologi,

sedangkan bila digunakan sebagai obat tunggal dapat menyebab relaps.

4) Adriamisin

Golongan antibiotika antrasiklin diisolasi dari streptomyces pencetius, diberikan

secara intravena dengan dosis 20 mg/m2/hari selama tiga hari berturut-turut. Dosis

maksimal 250 mg/m2. obat ini tidak dapat melewati sawar otak dapat menimbulkan

toksisitas pada miokard bila melebihi dosis. Dapat dikombinasi dengan Aktinomisin

D.

5) Cisplatin

Dosis yang umum digunakan adalah 2-3 mg/KgBB/hari atau 20 mg/m2/hari selama

lima hari berturut-turut.

6) Siklofosfamid

Dari nitrogen mustard golongan alkilator. Dosis 250 – 1800 mg/m2/hari secara

intravena dengan interval 3-4 mg. Dosis peroral 100-300 mg/m2/hari.

b. Non Farmakologi

1) Pembedahan

keperawatan perioperatif

Karena banyak anak dengan tumor wilms mungkin mendapat obat kemoterapi

kardiotoksik, maka mereka harus diperiksa oleh ahli onkologi dan di izinkan untuk

menjalani operasi. Mereka perlu menjalani pemeriksaan jantung yang menyeluruh

untuk menentukan status fungsi jantung. Tumor wilms jangan di palpasi untuk

menghindari rupture dan pecahnya sel-sel tumor. Pasien di letakkan dalam posisi

telentang dengan sebuah gulungan di bawah sisi yang terkena. Seluruh abdomen dan

dada di bersihkan.

Hasil akhir pada pasien pascaoperatif

Pasien tumor wilms menerima kemoterapi dan terapi radiasi yang sesuai dengan

lesi. Gambaran histologik lesi merupakan suatu indicator penting untuk prognosis,

karena gambaran tersebut menentukan derajat anaplasia. Anak yan histologiknya

Page 33: Keganasan Pada Anak

relative baik. Maka memiliki prognosis baik. Sedangkan anak yang gambaran

histologiknya buruk, maka memilii prognosis buruk. Terapi dibuat sespesifik

mungkinuntuk masing-masing anak, karena terapi yang lebih sedikit menghasilkan

kualitas hidup yang lebih baik dengan lebih sedikit efek sampingnya.

Nefrektomi radikal dilakukan bila tumor belum melewati garis tengah dan belum

menginfiltrasi jaringan lain. Pengeluaran kelenjar limfe retroperitoneal total tidak

perlu dilakukan tetapi biopsi kelenjar di daerah hilus dan paraaorta sebaiknya

dilakukan. Pada pembedahan perlu diperhatikan ginjal kontralateral karena

kemungkinan lesi bilateral cukup tinggi. Apabila ditemukan penjalaran tumor ke vena

kava, tumor tersebut harus diangkat.

2) Radioterapi

Tumor Wilms dikenal sebagai tumor yang radiosensitif, tapi radioterapi dapat

mengganggu pertumbuhan anak dan menimbulkan penyulit jantung, hati dan paru.

Karena itu radioterapi hanya diberikan pada penderita dengan tumor yang termasuk

golongan patologi prognosis buruk atau stadium III dan IV. Jika ada sisa tumor pasca

bedah juga diberikan radioterapi. Radioterapi dapat juga digunakan untuk metastase

ke paru, otak, hepar serta tulang.

Page 34: Keganasan Pada Anak