kebiasaan buruk bernafas melalui mulut
DESCRIPTION
Kebiasaan Buruk Bernafas Melalui MulutTRANSCRIPT
Makalah Pedodonsia
KEBIASAAN BURUK
BERNAFAS MELALUI MULUT
Disusun Oleh:
1. Sherly Septhimoranie (04111004039)
2. Siti Adityanti (04111004040)
3. Suci Puspitahati (04111004041)
4. Fitra Permata Putri (04111004042)
5. Sanny Susanti Manurung (04111004043)
6. Tiara Samapta Dewi (04111004044)
7. Yosefa Adventi (04111004045)
8. Annisa Indita Riami (04111004047)
9. Aisyah (04111004048)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
KEBIASAAN BURUK BERNAFAS MELALUI MULUT
Menurut Proffit, et.al., (2007), kebutuhan manusia untuk bernafas merupakan faktor
penentu utama dalam menentukan bentuk dari rahang dan lidah serta bentuk kepala, karena
kebiasaan bernafas melalui mulut dapat merubah keseimbangan tekanan pada rahang dan gigi
yang akan berpengaruh pada pertumbuhan kedua rahang dan posisi gigi, sehingga kebiasaan
bernafas melalui mulut dapat menyebabkan maloklusi. Sebagian besar orang tua kurang
mengetahui dan menanggapi masalah kebiasaan kebiasaan mulut yang terjadi pada anaknya,
sehingga seringkali para orang tua menanggapinya sebagai masalah yang sangat menggelisahkan
(Stewart, R.E., 1982). Kebiasaan buruk pada mulut anak sudah sejak lama menjadi perhatian
dokter gigi. Anomali yang terjadi pada rongga mulut salah satunya disebabkan oleh kebiasaan
buruk, dimana kebiasaan ini membawa pengaruh yang besar pada masa gigi bercampur dan
kondisi gigi pada masa dewasa sangat tergantung pada kondisi gigi pada masa kanak-
kanak.1.Kebiasaan buruk yang sering terjadi pada anak dapat berupa bernafas melalui mulut,
bruxism, menghisap jari, cara menelan yang salah, mendorong lidah, menggigit kuku, menghisap
dan menggigit bibir, kebiasaan berbicara yang abnormal dan menggigit benda yang keras.2,3,4
Bernafas melalui mulut secara terus-menerus memang jarang terjadi pada anak, namun
hal ini menyebabkan para orang tua dan dokter gigi jadi kurang menaruh perhatian. 5,6. Ketika
jalan pernafasan seorang anak melalui hidung tersumbat dan dibiarkan terus-menerus maka akan
menjadi kebiasaan dan menyebabkan beberapa kelainan pada anak, maka kita harus mencari
terlebih dahulu penyebabnya, rujukan ke ahli THT perlu dipertimbangkan. Untuk menanggulangi
kebiasaan buruk ini dapat dipergunakan alat ortodonti untuk menutup jalan nafas.
Bernafas melalui mulut
Bernafas melalui mulut merupakan salah satu dari kebiasaan mulut yang menyimpang
dari keadaan normal. Apabila seseorang tidak dapat bernafas dengan baik karena mengalami
gangguan, maka cara lainnya adalah bernafas melalui mulut ( Massler, 1983). Pada saat bernafas
melalui mulut, bibir dalam keadaan istirahat tidak dapat bertemu dan apabila anak disuruh
inspirasi maka anak akan menarik nafas terus-menerus melalui mulut, walaupun sekali-kali
menarik nafas dari hidung dengan bibir tertutup rapat. Pada pernafasan melalui mulut anak dapat
menghembuskan nafasnya melalui hidung, tetapi tidak terdapat perubahan ukuran atau bentuk
rongga hidung selama inspirasi.7 Untuk pernafasan mulut diperlukan posisi postural yang
berubah dari mandibula, dimana mandibula diturunkan dan jarak interoklusal meningkat
berlebihan.8
Gambar 1. a.Pernafasan hidung, palatum lunak berkontak dengan lidah membentuk seal oral posterior. b.
Pernafasan mulut. Mnadibula bergerak ke bawah dan palatum lunak naik untuk mempertahankan saluran
udara rongga mulut. (Foster. T.D. Buku ajar orthodonti, 1993: 25)
Pada aksi penelanan diperoleh kontak antara lidah dan bibir bawah, lidah terletak di
insisal insisivus mandibula, dorsum lidah tidak melekat pada palatum durum, gigi geligi tidak
beroklusi sehingga membutuhkan kontraksi bibir dan dagu sedangkan mandibula dalam keadaan
istirahat8,9,10,. Posisi lidah yang ke depan mengakibatkan lengkung mandibula lebih mendapat
pelebaran ke arah lateral dibanding dengan lengkung maksila yang menjadi sempit oleh karena
pertumbuhannya tidak sempurna sehingga sebagian gigi posterior miring ke lingual.
Gambar 2. Hubungan antara bibir, gigi dan lidah pada anak yang bernafas melalui mulut dimana terjadi anomali
perkembangan lengkung rahang dan protusi gigi insisivus atas. (McCoy. J.D. Applied Orthodontics, 7th 1959, 99)
Gambar 3. Hubungan antara lidah, gigi dan leher pada anak yang bernafas melalui mulut. (McCoy. J.D Applied
Orthodontics, 7th ed 1959; 99)
Tipe dan Penyebab
Anak yang bernafas melalui mulut jarang ditemukan walaupun 85% anak mempunyai
masalah dengan pernafasannya. Leech menemukan bahwa dari 500 anak hanya 19% yang
mempunyai kebiasaan ini 6. Finn mengelompokkan beberapa tipe anak yang bernafas melalui
mulut dalam tiga kategori5 :
a. Tipe Obstruktif
Tipe ini adalah anak yang bernafas melalui mulut karena adanya penyumbatan
pada saluran nafas melalui hidung sehingga mengakibatkan kesulitan inspirasi dan
ekspirasi, akhirnya anak memindahkan kebutuhan bernafasnya melalui mulut. Inilah yang
menjadi penyebab utama terjadinya kebiasaan bernafas melalui mulut pada anak.
Sumbatan hidung berlangsung lama sejak masa kanak-kanak mengakibatkan pernafasan
melalui mulut terlihat nyata, dimana hidung penderita dibanding dengan dengan ukuran
mukanya relatif tampak lebih pendek dari pada hidung normal.
Bayi secara naluriah bernafas dari hidung, dengan pertumbuhan tubuh anak maka
kerja otot pernafasan bertambah untuk menghirup udara melalui hidung ke dalam paru.
Dengan demikian pertumbuhan rongga dada dan rahang maksila disesuaikan 11. Dengan
bernafas melalui mulut hanya sedikit otot pernafasan yang bekerja sehingga pertumbuhan
rongga hidung tidak sesuai dengan pertumbuhan tubuh dan pertumbuhan otot paru pun
terhalang,11,12. Bahu tampak melengkung, mulut terbuka, biasanya membungkuk dan
sering kali pertumbuhan tulang belulang terganggu dan mempunyai wajah tipe
dolichocephali dimana mukanya panjang, gigi protrusi dan crowded serta mempunyai
lengkung gigi yang sempit. Keadaan inilah yang dinamakan facies adenoid (wajah
adenoid)6,11,13,14,15.
Gambar 4. Karakteristik dari wajah adenoid
Tipe obstruktif mengakibatknan anak tidak tidur nyenyak dan bernafas melalui
mulut, ini mengakibatkan udara luar yang dingin langsung menerpa dinding tenggorok
sekaligus paru-paru tanpa terlebih dahulu temperatur dan kelembabannya disesuaikan
dengan temperatur tubuh oleh rongga hidung. Keadaan ini jika berlanjut mengakibatkan
anak sering menderita penyakit saluran pernafasan bagian atas seperti faringitis,
bronkitis, dan tonsillitis 11,13.
Hambatan bernafas melalui hidung dapat terjadi oleh karena :
1. Rinitis alergi
Rinitis alergiyaitu suatu reaksi abnormal yang terjadi pada seseorang yang timbul bila
ada kontak dengan substansi seperti perubahan cuaca, asap rokok atau debu 12,15.
Gejalanya adalah bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore dimana sekret encer keluar
terus menerus dan mempunyai gambaran selaput berwarna ungu 11,12. Leech
menemukan dari 500 anak hanya 6% saja yang mengalaminya 6.
2. Polip hidung
Polip hidung adalah pembengkakan mukosa hidung yang berisi cairan interseluler dan
terdorong ke dalam rongga hidungoleh gaya berat. Penyebabnya akibat reaksi
hipersensitif mengakibatkan produksi cairan interseluler dan membentuk polip.
Gejalanya hidung tersumbat, rinore, dan kehilangan daya penciuman. Polip seperti
buah anggur, bilateral dan menggantung pada konka media 11,12.
3. Deviasi atau penyimpangan septum nasal
Hampir pada semua orang kedua rongga hidung berbeda besarnya sehingga banyak
kasus timbul karena perbedaan pertumbuhan kedua sisi muka. Penyempitan dapat
terjadi karena deviasi septum hidung menyebabkan disfungsi satu sisi, septum
tergeser ke dalam satu rongga hidung di bagian bawah akibat benturan dari depan
pada tulang hidung. Penderitsa selalu mengeluh rasa tersumbat dan kesukaran timbul
pada waktu inspirasi atau ekspirasi sedangkan penciuman tidak terganggu 11.
4. Pembesaran adenoid
Adenoid adalah kelompok jaringan limfoid yang terletak di dinding belakang
nasofaring,11,13. Pada waktu lahir adenoid berukuran kecil, dan mengalami hipertropi
fisiologis ketika berusia 3 tahun11. Ukuran maksimum dicapai pada usia 5-10
tahun,gejala lokalnya adalah nasal obstruksi dimana adenoid sudah memblokade
lubang hidung bagian belakang sehingga anak sukar bernafas melalui hidung 6,13,16.
Akhirnya anak bernafas melalui mulut untuk memenuhi kebutuhan badan akan
oksigen dan apabila dibiarkan terus-menerus maka akan menjadi suatu kebiasaan
yang sukar dihentikan. Leech menemukan dari 500 anak hanya 13% saja yang
mengalaminya6.
b. Tipe Habitual
Tipe habitual adalah anak yang terus-menerus bernafas melalui mulutnya karena
kebiasaan, walaupun obstruksi sudah disingkirkan. Ini biasanya terjadi pada anak setelah
perawatan obstruksi pada hidung dihilangkan misalnya pasca operasi pengangkatan
polip13. Untuk menghilangkan kebiasaan ini diperlukan perawatan yang lebih intensif
dengan perawatan ortodonti seperti oral screen5,6,17,18.
c. Tipe Anatomis
Tipe anatomis adalah anak yang mempunyai bibir atas yang pendek atau lips incompetent
sehingga tidak memungkinkan menutup bibir dengan sempurna tanpa adanya tekanan 8,911,18. Tidak semua anak yang memiliki bibir pendek bernafas melalui mulut, tetapi anak
yang mempunyai kebiasaan bernafas melalui mulut memiliki bibir atas yang pendek 4,6,9,18,19. Bibir jarang berfungsi secara normal sehingga bibir atas ketinggalan dalam
pertumbuhannya.
Gambar 5. Penampilan khas dari anak yang bernafas melalui mulut
Cara Pemeriksaan Bernafas Melalui Mulut
Pemeriksaan pada pasien dilakukan di dental unit, dimana pasien duduk tegak dalam
keadaan santai. Langkah-langkah pemeriksaannya adalah sebagai berikut 7 :
1. Observasi pernafasan pasien tanpa disadarinya. Pada pernafasan normal dari hidung,
biasanya bibir saling bertemu.
2. Pasien diminta menarik nafas dalam-dalam. Reaksi yang terbanyak adalah menarik nafas
melalui mulut meskipun kadang kadang bernafas melalu hidung denan bibir yang tertutup
perlahan.
3. Pasien diminta menutup bibir dan menarik nafas dalam-dalam melalui hidung. Pada
pernafasan normal dari hidung menunjukkan adanya reflex control yang baik pada otot
pernafasan. Dalam hal ini dapat dikontrol ukuran dan bentuk lubang hidung, dimana
lubang hidung akan melebar pada waktu inspirasi atau menarik nafas. Pada pernafasan
mulut tidak terjadi perubahan bentuk dan ukuran lubang hidung, kadang lubang hidung
justru mengecil atau berkontraksi ketika inspirasi.
Gambar 6. Akibat pernapasan melalui mulut terhadap kontrol otot pernafasan sekitarnya. Adan B.
Menghirup dan menghembuskan udara melalui hidung pada pernafasan mulut. meskipun udara dapat
melewati lubang hidungnya, diameter lubang hidung tidak berubah. C dan D. Menghirup dan
menghembuskan udara pada pernafasan melalui hidung. Ukuran dan bentuk lubang hidung selama
menghirup udara. (Moyers. R. E. Handboook Of Orthodontics. 1973 : 331-3)
Fungsi hidung dapat didiagnosa dengan menempatkan dua permukaan kaca pada bibir
atas, dimana kaca akan mengabur dan berembun ketika bernafas. Dapat juga
menggunakan kapas berbentuk kupu-kupu, dimana kapas akan bergetar ketika bernafas
melalui hidung dengan bibir tertutup7.
Gambar 7. A. Menggunakan dua permukaan kaca untuk melihat metode bernafas, jika kaca dipegang dalam
posisi ini, pada pernafasan melalui hidung maka permukaan kaca sebelah atas akan menghabur. Jika
pernafasan melalui mulut maka permukaan kaca bagian bawah akan mengabur. B dan C. menggunakan
kapad berbentuk kupu-kupu untuk mendiagnosa pernafasan melalui hidung. B. Mempergunakan kedua
lubang hidung. C. bernafas hanya melalui satu lubang hidung saja (Moyers. R. E. Handboook Of
Orthodontics. 1973 : 331-3).
Kelainan yang ditimbulkan
Ada kalanya pernafasan seorang anak melalui hidung tersumbat, akibatnya anak akan
bernafas melalui mulut. Jika kondisi ini dibiarkan maka menjadi kebiasaan yang menyebabkan
beberapa kelainan pada gigi seperti karies, gingivitis dan maloklusi.
1. Karies
Secara mekanis saliva berfungsi sebagai self cleansing dari gigi, membasahi
rongga mulut dan makanan yang sedang dikunyah. Menurut Rigolet (1901) bahwa pasien
dengan sekresi saliva yang sedikit memiliki presentase karies gigi yang semakin
meningkat 19,20,21.
Pada anak bernafas melalui mulut terjadinya karies dihubungkan dengan keadaan
rongga mulutnya yang kering. Hal ini mengakibatkan berkurangnya sekresi saliva.
Dengan berkurangnya saliva maka viskositasnya menjadi tinggi atau mucous, sifat self
cleansing tidak berfungsi dengan baik sehingga menambah retensi sisa makanan dan
mempercepat terjadinya pembentukan plak.
Terjadinya karies karena perubahan susunan mikroflora rongga mulut, perubahan
yang paling menyolok adalah penambahan mikroorganisme kariogenik seperti
Streptococcus mutans, Laktobacillus, Streptococcus mitis, Actinomises viskosus dan
Candida albicans. Sebaliknya terdapat pengurangan Streptococcus sangius, Streptococcus
salivarius, sejumlah spesies Veillonella, Neisseria, Bacteroides dan Fusobacterium
anaerob. Dengan demikian jumlah bakteri yang menguntungkan akan berkurang dan
bakteri yang merugikan akan bekerja aktif untuk merusak gigi dan mempercepat
terjadinya proses karies 1,20. Inilah yang menyebabkan skor karies tinggi pada anak yang
bernafas melalui mulut.
2. Gingivitis
Kebiasaan bernafas melalui mulut adalah salah satu faktor lokal fungsional
terjadinya gingivitis pada anak. Mulut dipelihara oleh faktor lokal fungsional yang baik,
yaitu oleh otot pipi, bibir dan lidah. Apabila anak bernafas melalui mulut maka terjadi
ketidakseimbangan antara ketiga otot tersebut dimana bibir terhambat pertumbuhannya
dan menjadi pendek.
Gingivitis dan pembesaran gingiva sering ditemukan pada anak yang bernafas
melalui mulut,6,22,23,24,25. Perubahan gingiva ini termasuk eritema, edema, pembesaran dan
permukaan yang berkilat menyebar pada daerah yang terbuka, biasanya terlihat pada
region depan maksila 7,14,23,24,26,27,28.
Hubungan yang pasti dimana bernafas melalui mulut mengakibatkan perubahan
gingiva tidak dapat ditunjukkan secara pasti. Umumnya diyakini bahwa keadaan basah
dan kering yangberganti-ganti dari gingiva akibat bibir yang pendek mengakibatkan
vasokontriksi pembuluh darah yang meningkatkan kerentanan gingiva terhadap iritasi
sehingga terjadi inflamasi yang diikuti dengan pembesaran gingival 19,23,24,26,27. Pada kasus
peradangan gingiva yang kronis dapat terjadi suatu reaksi hipertropik dan halitosis 26,27.
Gambar 8. Gingivitis pada anak yang bernafas melalui mulut. A, garis bibir yang tinggi pada anak yang
bernafas lewat mulut. B. Gingivitis dan pembesaran gingiva pada daerah gingiva yang terbuka, (Carranza.
F. A. Glickman’s Clinical Periodontology. 1984:125)
3. Maloklusi
Menurut Finn (1962) tidak dapat dipastikan bahwa kebiasaan bernafasmelalui
mulut menyebabkan terjadinya maloklusi walaupun kecenderungan ke arah maloklusi
lebih serng kelihatan pada anak yang bernafas melalui mulut 5,10,18, tetapi berdasarkan
riset yang dilakukan di Eropa, Kanada dan Amerika menunjukkan bahwa kebiasaan
bernafas melalui mulut yang kronis mengakibatkan perubahan pada pertumbuhan tulang
rahang dan keadaan keseimbangan otot-otot wajah 15.
Untuk mendapatkan suatu oklusi yang baik perlu dijaga keseimbangan dari ketiga
otot yang disebut Triangular Force Conceps, yaitu otot lidah, pipi dan bibir. Apabila
terjadi ketidakseimbangan dari ketiga otot ini maka akan terjadi maloklusi 3.
Maloklusi yang terjadi pada anak yang bernafas melalui mulut adalah :
1. Maloklusi Klas II divisi I
Bentuk bibir berperan penting dalam menentukan posisi gigi. Ballard berpendapat
bahwa lidah me-moulding gigi geligi insisivus terhadap bibir14. Anak yang bernafas
melalui mulut memiliki bibir pendek sehingga diperlukan usaha otot yang besar untuk
mendapatkan penutupan bibir, maka diperoleh penutupan lidah-bibir bawah dan ini
terdapat pada hubungan Klas II divisi I 14. Akibat dorongan lidah ketika pasien
mencoba membasahi bibir yang kering mengakibatkan mahkota insisivus terdorong
ke labial.
2. Anterior open bite
Penutupan bibir pada anak yang bernafas melalui mulut yaitu penutupan lidah-bibir
bawah, dimana ujung lidah berada pada insisal insisivus mandibula yang mencegah
erupsi lebih lanjut dan menghalangi perkembangan vertikal dari segmen insisivus
tersebut 8,9. Hal ini yang menyebabkan anterior open bite pada anak yang bernafas
melalui mulut.
Menurut Linder-Aronson (1979) banyak anak datang ke klinik THT dengan
keluhan tidak dapat bernafas melalui hidung dalam jangka waktu yang lama, sehingga pada anak
didapati maloklusi Klas II divisi I maupun anterior open bite. Ketika kebiasaan tersebut
dihilangkan penyebabnya maka anomaly dental yang terjadi dapat dikoreksi dengan perawatan
ortodonti 14,16,29.
Perawatan
Untuk memperbaiki kebiasaan bernafas melalui mulut terlebih dahulu harus ditentukan
penyebab megapa anak melakukan kebiasaan tersebut, apakah karena terjadinya obstruksi pada
hidung atau karena kebiasaan. Berikut perawatan yang tepat pada anak yang bernafas melalui
mulut sesuai dengan tipenya.
dengan tipenya.
1. Tipe Obstruktif
Memperbaiki kebiasaan anak yang bernafas melalui mulut pada tipe ini adalah
dengan menentukan terlebih dahulu penyebab terjadinya obstruktif. Dokter gigi harus
menjelaskan dan meyakinkan orangtua agar segera membawa anaknya ke ahli THT
1,6,14,15,19. Perawatan pada anak yang mengalami rhinitis alergi yaitu dengan menghindari
allergen penyebabnya dan terapi simptomatik dengan memakai obat-obatan yang
mengandung anti histamine dan dekongestan. Untuk polip dan deviasi septum hidung
dengan terapi bedah, pada pembesaran adenoid dengan pemberian antibiotic atau
adenoectomy 11,12,13,14,16.
Bernafas melalui mulut dapat sembuh tanpa perawatan, disebabkan oleh faktor-
faktor tertentu, yaitu :
1. Tonsil-tonsil dan adenoid yang pada awalnya hipertropi pada masa kanak
kanak, kemudian mengalami atropi setelah pubertas.
2. Rongga hidung dan faring membesar pada waktu dewasa.
3. Oral sphincter menjadi lebih kencang dan matang bila anak menjadi besar.
2. Tipe Habitual
Perawatan pada tipe habitual ini dilakukan setelah obstruksi pada hidung sudah
hilang. Disinilah peran dokter gigi untuk menghentikan kebiasaan bernafas melalui mulut
dengan pembuatan oral screen yang menghambat jalan udara melalui mulut. Apabila
perawatan dari kebiasaan bernafas melalui mulut dilakukan pada masa tumbuh kembang
yang tepat, maka penyembuhan dapat dicapai dalam jangka waktu yang pendek dan
diperoleh hasil yang memuaskan. Perawatan bernafas melalui mulut sebaiknya dirawat
segera pada masa geligi campuran. Pada umumnya perawatan dengan memakai alat intra
oral yaitu ”Oral screen”, apabila pasien di dalam perawatannya kooperatif, maka hasilnya
akan sangat memuaskan. ”Oral Screen” merupakan alat yang baik, murah dan mudah
pembuatannya. Pergerakan yang ditimbulkannya merupakan pergerakan fisiologis dan
prinsip kerjanya seakan-akan mulut ditutup dengan plat akrilik. “Oral screen” adalah
suatu alat yang dipasang pada bagian vestibula yang menutup jalan udara melalui mulut
dan secara langsung berkontraksi dengan bibir yang berlawanan dengan gigi anterior
dalam keadaan labioversi. Alat ini digunakan untuk melatih kembali bibir, untuk
memperbaiki labioversi pada gigi anterior rahang atas dan sebagai alat untuk membantu
melatih kembali dan memperkuat gerakan bibir. Alat ini tidak bisa digunakan jika anak
tersebut sulit bernapas atau pernapasannya terhalang. ”Oral screen” bukan alat yang
digunakan untuk memperbaiki maloklusi kelas II (Moyers, 1988).
Menurut Forrester, D.J., (1981), perawatan ”myofunctional” ada dua jenis yaitu ;
dengan menggunakan alat yaitu monoblok (oral screen) dan tanpa bantuan alat yaitu
dengan latihan otot-otot tertentu. Alat ”myofunctional” yang dapat digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan bernafas melalui mulut adalah ”oral screen” dan ”vestibular
screen” atau kombinasi dari keduanya.
Menurut Van der Linden (1987), perawatan terhadap kebiasaan bernafas melalui
mulut dengan menggunakan selotip atau pleister terutama pada waktu malam hari dan
alat ini menyebabkan sakit dan seakan-akan sebagai hukuman sehingga seringkali gagal.
Gambar 9. Oral Screen
3. Tipe Anatomis
Pada anak yang mempunyai bibir pendek maka perawatannya dengan melakukan
latihan otot untuk memperbaiki struktur bibir ke ukuran yang normal, tetapi latihan ini
harus dilakukan secara rutin. Latihan yang diterapkan adalah latihan memperpanjang
bibir dan latihan otot orbicularis oris.
a. Latihan memperpanjang bibir
1. Tarik bibir ke bawah sekuat mungkin sampai melingkupi gigi depan atas bahkan
sampai belok ke belakang.
2. Biarkan bibir atas pada keadaan ini dan pasien disuruh menghitung dengan
perlahan sampai 20, setelah itu bibir harus istirahat.
3. Latihan ini diulang kembali sampai 25 kali berturut-turut dan dikerjakan
sekjurang-kurangnya 3 kali dalam sehari dan lebih baik dikerjakan selama 10-25
menit dalam satu latihan. Latihan ini juga sangat berguna sekali untuk membantu
memperbaiki gigi anterior yang maju ke depan dengan bibir atas yang pendek dan
terangkat.
b. Latihan otot orbicularis oris
1. Rapatkan gigi atas dan gigi bawah perlahan-lahan dalam oklusi sentral.
2. Ambil kaca kecil dan tujukan pandangan pada mulut.
3. Katupkan bibir perlahan-lahan dan kontraksikan (kerutkan) sudut mulut sebelah
kiri dan tahan sampai hitungan ke-10 lalu istirahat. Kerutkan sudut mulut sebelah
kanan dan tahan sampai hitungan ke-10.
4. Ulangi dan tukar pengkerutan ini sampai 1 menit, istirahatkan beberapa detik dan
ulangi selama 1 menit.
5. Latihan ini dikerjakan sekurang-kurangnya 3 kali dalam sehari dan sebanyak
mungkin kalau memungkinkan.
6. Sesudah 1 minggu, latihan ini dilakukan 3 menit setiap 1 periode dengan 2 kali
istirahat.
Daftar Pustaka
1. Suryanegara.Rina.J.Memperbaiki dan Memperindah Posisi Gigi Anak.Edisi 1. Jakarta:
Trubus Agriwidya, 2000: 23: 31-7
2. Kadir. R.A. Kanak kanak dan Penjagaan gigi. Cetakan 1.Kuala Lumpur : Percetakan
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984: 35-8
3. Muchtar Mundiyah. Dasar Dasar Ortodonti. 3rd ed. Chicago: Year Book Medical
publisher, Inc, 1973: 325-37
4. Pinkham.J.R Pediatric Dentistry Infancy Through Adolesence. Philadelphia, London:
W.B. Saunders Company, 1988-306-7
5. Finn S.B Clinical Pedodonsia. 2nd ed. Philadelphia, London: W.B Saunders Company,
1962: 275, 311-3, 325-9
6. Stewart.R.E Pediatric Dentistry Scientific Foundation and Clinical Practice.St. Louis,
Toronto: The C.V Mosby Company, 1982: 234-6: 369-70
7. Moyers R.E. Handbook of Orthodontics. 3rd ed Chicago: Year Book Medical Publisher,
Inc, 1973: 325-37
8. Foster T.D Buku Ajar Ortodonti. Alih Bahasa: drg Lilian yuwono. Ed 3, Jakarta: EGC,
1993: 24-107
9. Houston W.J.B. Diagnosis Ortodonti . Alih Bahasa: drg. Lilian Yuwono. Ed 3, Jakarta:
EGC, 1990: 88-93
10. Mc.Coy J.D. Applied Orthodontics. 7th ed Philadelphia: Lea and Febieger, 1959: 95-9:
101-2
11. Pracy R, Siegler J, Stell PM. Pelajaran Ringkas Telinga, Hidung dan Tenggorokan.
Jakarta: Gramedia, 1989: 53-5, 63-4, 115-8, 123-4
12. Adams.G.L, Boies. L.R, Higler.P.A. Buku Ajar Penyakit THT. ed 6. Jakarta: EGC, 1994:
182-2, 196-8, 233-4
13. Basjrah R. Faringologi. Bandung: Penerbit Alumni, 1986: 32-3, 61-2
14. Schreiner C. Nasal Airway Obstruction in Children and secondary Dental Deformitas.
1996
15. Sherman D.R. Mouth Breathing can A;ter Fasial Growth.2001
16. Magnusson B.O. Pedodontics A Systematic Approach. 1 ed Munksgaard, Copenhagen,
Denmark, 1981: 257-260
17. Braured J.C. Dentistry for Children. 4th ed New York, Toronto: Mc Graw Hill, Inc, 1959:
166-7
18. Salzmann J.A Orthodontics Principle and Prevention. Philadelphia and Montreal: J.B
Lippincott Company, 1957: 281, 286-9, 327-30
19. Parkin. S.F. Notes on Pediatric Dentistry. London: Wright, 1999: 119, 174-9
20. Minasari. Peran Saliva Dalam Rongga Mulut. Majalah Kedokteran Gigi USU no 6. 1999:
34-40
21. Panjaitan Monang. Etiologi Karies dan Penyakit Periodontal. Edisis 1. Medan: USU,
1997: 12-13
22. Caranza. F.A. Glickman’s Clinical Periodontology for Dental Hyigienist. Philadelphia,
London: W.B Saunders Company, 1986: 70
23. Caranza. F.A. Glickman’s Clinical Periodontology 5th ed. Philadelphia, London: W.B.
Saunders Company, 1979: 110
24. Caranza. F.A. Glickman’s Clinical Periodontology. 6th ed. Philadelphia, London: W.B.
Saunders Company, 1984: 122-125
25. Dalimunthe. S.H Pengantar Periodonsia, Medan: USU Press, 1995: 63-75
26. Burket L.W Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 4 th ed Philadelphia: J.B Lippincott
Company, 1961: 54-56, 454
27. Burket L.W Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 8 th ed Philadelphia : J.B Lippincott
Company, 1984: 364-365
28. Goldman H.M Periodonsia. 2nd ed ST. Louis : The C.V. Mosby Company, 1949: 211
29. Millis J.R.E Principle and Practice of Orthodontics. 2nd ed Edinburg, London: Churchill
Livingstone, 1987: 57-58