karya muhammad syakir al-iskandari skripsie-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1708/1/muhammad...

102
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB WASHOYA AL ABA’ LIL ABNAA’ KARYA MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh : MUHAMMAD SULKHAN NIM: 111-12-143 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2017 i

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK

    DALAM KITAB WASHOYA AL ABA’ LIL ABNAA’

    KARYA MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Pendidikan (S.Pd)

    Oleh :

    MUHAMMAD SULKHAN

    NIM: 111-12-143

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

    SALATIGA

    2017

    i

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

  • MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    MOTTO

    نَ َيْسأَُلُكْم َأْجًرا َوُهْم ُمْهَتُدوْ ا َمْن َال اتَِّبُعوْ Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-

    orang yang mendapat petunjuk (QS Yasiin: 21)

    PERSEMBAHAN

    Untuk Orang tuaku, Bapak Dul Bakri (Alm) dan Ibu Mutmainah. Semoga Allah selalu menjaga dan melimpahkan rahmat-Nya.

    Kakakku tercinta, Nikmatul Azizah dan Muhammad Mahfud, serta ponakanku Dafiq Rival Pratama Mahfud.

    Keluarga Ndalem KH. Mahfudz Ridwan.Lc, yang telah memberikan ilmu dalam pijakan hidupku.

    Para Asatidz dan Keluarga besar PP. Edi Mancoro yang telah membimbing dan menemani perjalananku.

    Semua orang yang pernah berjasa dalam nafasku maupun yang pernah menyibukkan pikiranku.

    vi

  • KATA PENGANTAR

    Assalamualaikum Wr.Wb.

    Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan

    hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesikan skripsi ini yang berjudul

    “Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ Karya

    Muhammad Syakir Al-Iskandari’

    Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi

    Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan

    hingga terang benderang, semoga kita semua diakui sebagai umatnya yang kelak

    mendapatkan syafaatnya di akhirat.

    Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada berbagai

    pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, kepada yang terhormat:

    1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam

    Negeri Salatiga.

    2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

    Keguruan.

    3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.

    4. Ibu Dra. Ulfah Susilawati, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik

    yang telah membimbing penulis dalam memempuh studi di IAIN Salatiga.

    5. Bapak H. Agus Ahmad Su’aidi, M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi

    yang telah dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada

    penulis dalam penyusunan skripsi ini.

    vii

  • 6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu

    selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi.

    7. Keluarga dan seluruh pihak yang selalu mendorong dan memberikan

    motivasi dalam menyelesaikan kuliah di IAIN Salatiga.

    8. Keluarga Ndalem KH. Mahfudz Ridwan, Lc yang telah memberikan ridho

    dan bimbingan dalam menuntut ilmu.

    9. Keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro, para asatidz dan teman-

    teman santri yang telah mendewasakan penulis setiap harinya dalam

    warna-warni kehidupan.

    10. Teman-teman Jurusan S1 Pendidikan Agama Islam angkatan 2012,

    terutama Kelas PAI D yang telah memberikan banyak cerita dan canda

    selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga

    Semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan wawasan yang lebih luas

    dan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Penulis sadar

    bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,

    kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini.

    Wassalammu’alaikum wr.wb.

    Salatiga, 14 Maret 2017 Penulis, Muhammad Sulkhan NIM. 11112143

    viii

  • ABSTRAK

    Sulkhan, Muhammad. 2017. Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ karya Muhammad Syakir Al-Iskandari. Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan ilmu keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: H. Ahmad Agus Su’aidi, M.A.

    Kata Kunci: Konsep Pendidikan Akhlak, Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’

    Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ karya Muhammad Syakir Al-Iskandari. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana konsep pendidikan akhlak didalam kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’?, (2) Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak didalam kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ dengan zaman kekinian?

    Metode penelitian yang digunakan yaitu literature (kepustakaan). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati pada sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku, artikel atau lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Pengumpulan data dibagi menjadi dua sumber yaitu data primer dan sekunder. Kemudian data dianalisis menggunakan metode deskriptif, filosofis dan kontekstual.

    Hasil penelitian menunjukan bahwa konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ meliputi; akhlak kepada Allah, akhlak kepada Rasulullah, akhlak kepada orang tua, akhlak kepada saudara (teman), adab sehari-hari, akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah. Sedangkan relevansi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ dalam konteks kekinian dapat menjadi solusi dalam memperbaiki akhlak, khususnya dalam menghadapi karakteristik zaman sekarang atau kekinian.

    ix

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

    LEMBAR BERLOGO.............................................................................................ii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iii

    PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................................ iv

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN................................................................ v

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi

    KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii

    ABSTRAK ............................................................................................................. ix

    DAFTAR ISI ............................................................................................................ x

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah............................................................................. 4

    C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 4

    D. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 5

    E. Metode Penelitian ............................................................................. 6

    F. Telaah Pustaka..................................................................................7

    G. Penegasan Istilah .............................................................................. 8

    H. Sistematika Penelitian .................................................................... 11

    x

  • BAB II : BIOGRAFI MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI

    A. Situasi Sosial Politik Menjelang Kelahiran Muhammad Syakir ... 13

    B. Riwayat Muhammad Syakir Al-Iskandari ...................................... 15

    C. Karya-Karya Muhammad Syakir Al-Iskandari .............................. 17

    D. Sistematika Penulisan Kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ .......... 18

    BAB III: LANDASAN TEORI

    A. Konsep Pendidikan Akhlak ........................................................... 20

    B. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak .............................................. 24

    C. Tujuan Pendidikan Akhlak............................................................ 29

    D. Unsur-Unsur Pendidikan Akhlak .................................................. 30

    E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Akhlak .............. 40

    F. Macam-Macam Akhlak Dalam Al-Qur’an ................................... 42

    BAB IV : ANALISIS

    A. Konsep Pendidikan Akhlak Muhammad Syakir Al-Iskandari ....... 47

    B. Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ .... 50

    C. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Washoya Al

    Aba’ Lil Abnaa’ Dikaitkan Dengan Konteks Kekinian.................. 71

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan ....................................................................................... 74

    B. Saran ................................................................................................. 77

    xi

  • DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    xii

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lamp. 1 : Lembar Konsultasi Skripsi

    Lamp. 2 : Surat Penunjukan Pembimbing

    Lamp. 3 : Daftar Nilai SKK

    Lamp. 4 : Biografi Penulis

    xiii

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Islam sebagai agama yang universal dan abadi memberikan pedoman

    hidup (way of life) bagi manusia menuju kebahagiaan hidup lahir dan batin,

    serta dunia akhirat (Razak, 1984:9). Kebahagiaan hidup manusia itulah yang

    menjadi sasaran hidup manusia yang pencapaiannya sangat bergantung pada

    proses pendidikan.

    Muhammad Athiyah Al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa

    pendidikan Islam mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan

    berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya

    (akhlaknya), tetatur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya,

    manis tutur katanya baik dengan lisan maupun tulisan (Iqbal, 2015:566).

    Pendidikan akhlak mempunyai peranan penting dalam menentukan

    kehidupan. Dilihat dari substansinya, manusia memiliki perilaku istimewa yang

    tidak dimiliki oleh entitas-entitas lain di alam semesta sehingga manusia

    merupakan entitas yang paling unggul.

    Oleh karena itu, pendidikan akhlak sangat penting bahkan menjadi

    bagian yang terpenting dalam pendidikan Islam. Ajaran Islam banyak yang

    membahas ajaran-ajaran tentang akhlak mulia karena pembentukan akhlak

    mulia itu adalah misi Islam yang utama. Akhlak dalam Islam menempati posisi

    yang sangat esensial, karena kesempurnaan iman seorang muslim itu

    ditentukan oleh kualitas akhlaknya.

    1

  • Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki nilai-nilai akhlak

    yang mulia dengan merujuk pada pribadi Rasulullah Muhammad SAW

    sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Surat Al Ahzab ayat 21:

    Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

    Lingkungan berkontribusi sangat besar bagi pembentukan akhlak

    seseorang. Jika seseorang hidup di lingkungan yang baik maka sangat mungkin

    kepribadian seseorang tersebut akan baik. Tetapi, perkembangan zaman terus

    melaju seiring perkembangan moral yang semakin memburuk. Karena

    pendidikan yang ada hanyalah proses transfer penghetahuan saja dan belum

    menyentuh akar yang lebih mendalam lagi, seperti pembentukan kepribadian,

    pengembangan potensi diri dan mental yang sanggup menghadapi

    perkembangan zaman. Masalah pendidikan semakin runyam dengan kondisi

    anak didik yang semakin sulit untuk diingatkan dan tidak bernilai dalam tindak

    tanduknya (Sutrisno, 2006: 5). Tawuran antar pelajar adalah contoh kerusakan

    moral dan akhlak generasi muda.

    Fenomena ini sangat memprihatinkan, mengingat banyaknya masyarakat

    yang lemah pemahamannya tentang pendidikan terutama pendidikan akhlak

    padahal telah terjadi perubahan yang sangat besar dalam pola kehidupan anak

    akibat perkembangan teknologi. Banyak terjadi perubahan yang menyulitkan

    2

  • anak dalam memahami hal-hal mendasar tentang diri manusia serta

    perubahannya. Orang tua mengalami kesulitan ketika menyampaikan hal

    tersebut kepada anaknya. Dalam kondisi tersebut orang tua dituntut lebih

    bijaksana dalam mendidik anaknya. Sebagaimana Rasulullah bersabda:

    (رواه امحد) نٍ سَ حَ بٍ دَ اَ نْ مِ لُ ضَ فْ أَ هِ دِ لِ وَ َواَلدٌ لَ ا حنََ مَ Artinya: “Tiada pemberian pun yang lebih utama dari orang tua kepada

    anaknya, selain pendidikan yang baik”. (H.R Ahmad). (Musnad Ahmad juz 4, hlm. 14977).

    Mendidik dan memberi tuntunan merupakan sebaik-baik pemberian yang

    diberikan oleh orang tua. Karena orang tua sangat berperan penting dalam

    pembentukan kepribadian dan pendidikan agama seorang anak. Hal ini tertuang

    dalam firman Allah SWT dalam Qur’an Surat At Tahrim ayat 6:

    Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

    dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

    Melihat begitu pentingnya pendidikan akhlak yang dimulai dari masa

    dini hingga masa yang akan datang dan untuk menumbuhkan akhlak yang

    diajarkan oleh Rasulullah maka Muhammad Syakir Al-Iskandari menulis

    sebuah kitab yang berisi nasehat tentang akhlak dan diberi nama Washoya Al-

    Abaa Lil Abnaa’. Beliau lahir di Jurja’. Beliau merupakan seorang ulama besar

    dan sekaligus seorang guru besar dari Al-Azhar. Kitab Washoya Al-Abaa Lil

    3

  • Abnaa’ dapat diartikan sebagai kitab yang memudahkan seseorang untuk

    memahami dan mengajarkan akhlak. Kitab ini menjelaskan akhlak-akhlak yang

    harus dilaksanakan dan akhlak yang harus ditinggalkan. Kitab ini terdiri dari 52

    halaman dan terbagi menjadi 20 bab.

    Dengan demikian, penulis bermaksud mengkaji lebih jauh dalam sebuah

    penelitian dengan judul “KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM

    KITAB WASHOYA AL-ABA’ LIL ABNAA’ KARYA MUHAMMAD

    SYAKIR AL-ISKANDARI”.

    B. Rumusan Masalah

    Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak yang terkandung dalam kitab

    Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’?

    2. Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al-

    Aba’ Lil Abnaa’ dengan konteks kekinian?

    C. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk:

    1. Mendeskripsikan konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al-Aba’

    Lil Abnaa’.

    2. Menemukan relevansi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al-

    Aba’ Lil Abnaa’ dengan konteks kekinian.

    D. Kegunaan Penelitian

    4

  • Dari penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan manfaat,

    adapun manfaatnya sebagai berikut:

    1. Manfaat Teoritis

    a. Memberi kejelasan secara teoritis tentang konsep pendidikan akhlak

    dalam kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’.

    b. Menambah dan memperkaya keilmuan di dunia pendidikan.

    c. Memberi sumbangan data ilmiah di bidang pendidikan akhlak bagi

    Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam

    di IAIN Salatiga.

    2. Manfaat Praktis

    Setelah proses penelitian diselesaikan, diharapkan hasil tulisan ini

    dapat bermanfaat dalam memberikan gambaran yang jelas tentang konsep

    pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al-Aba’ lil Abnaa’ dan

    relevansinya terhadap zaman kekinian. Dengan demikian penulisan ini bisa

    memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan,

    yaitu wacana baru yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan bersama

    sesama praktisi pendidikan dalam memberikan cara pandang dan landasan

    pijak dalam memahami bagaimana relevansi pendidikan akhlak dalam kitab

    Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ untuk menghadapi kebutuhan zaman.

    E. Metode Penelitian

    5

  • 1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan

    (library research), karena yang dijadikan objek kajian adalah hasil karya

    tulis yang merupakan hasil pemikiran.

    2. Sumber Data

    a. Data primer diambil dari buku utamanya yaitu kitab Washoya Al-Aba’ Lil

    Abnaa’ karya Muhammad Syakir Al-Iskandari.

    b. Data Sekunder diambil dari buku-buku yang terkait dengan judul

    penelitian.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data pustaka yaitu

    membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai buku dan

    karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini. Dengan mengutamakan

    data primer.

    4. Teknik Analisis Data

    Melihat objek penelitian yang berupa buku-buku atau literatur, maka

    penelitian ini menggunakan teknik analisa dengan cara deskriptif, filosofis

    dan kontekstual.

    a. Metode Deskriptif

    Metode deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk

    pengumpulan data untuk menguji atau menjawab objek yang di teliti

    (Muhamad, 2008:18). Adapun tujuan dari metode ini yaitu untuk

    6

  • membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik,

    komprehensif, faktual dan akurat tentang objek yang diteliti.

    b. Metode Filosofis

    Metode filosofis adalah metode penelitian pendidikan yang

    meneliti, mengurai, melakukan analisa, mencari dan menemukan hal

    baru, serta berusaha mengembangkannya secara maksimal (Muliawan,

    2014:91).

    c. Metode Kontekstual

    Dalam kamus besar bahasa Indonesia konteks berarti apa yang ada

    di depan dan di belakang (KKBI, 2005:521). Metode kontekstual adalah

    metode yang digunakan untuk mencari, mengolah, dan menemukan

    kondisi yang lebih konkret (terkait dengan kehidupan nyata). Metode ini

    akan membantu penulis untuk mengaitkan antara isi yang ada di dalam

    kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ dengan situasi dunia nyata dan

    mendorong penulis untuk membuat hubungan antara isi yang ada dalam

    kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ dengan penerapannya dalam

    kehidupan kekinian.

    F. Telaah Pustaka

    Untuk menghindari terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan karya

    ilmiah yang sudah ada. Selain itu telaah pustaka juga untuk melihat orisinilitas

    skripsi.

    7

  • Muhammad Irsyadi dengan skripsinya yang berjudul “Pendidikan

    Kepribadian Anak Dalam Kitab Washoya Al aba’ Lil Abnaa Karya

    Muhammad Syakir”. Berisi tentang kepribadian anak dan relevansinya

    terhadap kehidupan era sekarang (http://perpus.iainsalatiga.ac.id

    /resultDocDig.php?rd =2&keyword=washoya&by2=0&by=0, diakses pada 04

    April 2017, 00.28)

    Penulisan skripsi ini berbeda dengan skripsi yang diatas, kajian

    difokuskan tentang konsep pendidikan akhlak secara umum dan dikaitkan

    dengan zaman sekarang.

    G. Penegasan Istilah

    Untuk memudahkan atau menjaga agar tidak terjadi kesalahfahaman,

    maka penulis kemukakan penegasan istilah dari judul skripsi berikut:

    1. Konsep

    Konsep adalah pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran

    (Ensiklopedi Indonesia, 1991:1856). Selain itu ada juga yang mengartikan

    bahwa konsep adalah rancangan, ide atau pemikiran yang diabstrakkan dari

    peristiwa konkret (KBBI, 2005:588).

    2. Pendidikan

    Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang

    atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

    pengajaran dan latihan (KBBI,2003:204). Menurut Omar Mohammad al-

    Toumy al-Syaebani pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku

    8

  • individu dalam kehidupan masyarakatnya dan kehidupan alam sekitarnya

    (Muhmidayeli, 2013:66).

    Jadi dengan kata lain, pendidikan memiliki makna sentral sebagai

    proses pencerdasan secara utuh dalam rangka mencapai apa yang di cita-

    citakan

    3. Tujuan Pendidikan

    Tujuan pendidikan adalah sebagai alat untuk menentukan haluan

    pendidikan yang terbagi pada tiga tahap, yaitu tujuan khusus (objectives),

    tujuan umum (goals), dan tujuan akhir (aims) (Langgulung, 1995:21).

    4. Unsur-unsur pendidikan

    Menurut Muliawan (2014: 20) unsur-unsur pendidikan terdiri dari 5

    unsur yaitu pendidik, anak didik, kurikulum, metode dan lembaga.

    a. Pendidik

    Pendidik dalam arti sederhana adalah semua orang yang dapat

    membantu perkembangan kepribadian seseorang dan mengarahkannya

    pada tujuan pendidikan (Jumali, 2004:39).

    b. Anak didik

    Anak didik ialah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik

    dari segi fisik maupun dari segi mental psikologi (Jumali, 2004:35).

    c. Kurikulum

    Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

    tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai

    9

  • pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

    pendidikan tertentu (UU RI No 20, 2003: 7).

    d. Metode

    Ditinjau dari segi etimologis (bahasa), metode berasal dari bahasa

    Yunani, yaitu “methodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu

    “metha” yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang berarti

    jalan atau cara. Maka metode memiliki arti suatu jalan yang dilalui untuk

    mencapai tujuan (Arifin, 1996 : 61).

    e. Lembaga

    Lembaga merupakan wadah untuk menampung semua yang terjadi

    dalam proses belajar mengajar. Lembaga dapat diartikan juga sebagai

    badan (organisasi) yang bermaksud melakukan sesuatu penyelidikan

    keilmuan atau melakukan sesuatu usaha (KBBI, 2005:582).

    5. Akhlak

    Al Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa

    pengertian akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang

    memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu

    pertimbangan dan analisa (Jamil, 2013:2)

    6. Kitab Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’

    Kitab Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ yaitu kitab yang berisi tentang

    akhlaq-akhlaq yang mulia ( yang diridhoi Allah ). Kitab ini ditulis oleh

    seorang ulama’ yang bernama Muhammad Syakir Al-Iskandari, beliau

    dilahirkan di Jurja’ pada 1866 M. Kitab yang berisi sebanyak 52 halaman

    10

  • dan berisi sebanyak 20 bab ini sangat ringkas dan mudah dipelajari. Kitab

    ini sangat dibutuhkan bagi setiap murid untuk mewujudkan cita-citanya.

    H. Sistematika Penulisan

    Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga

    pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah, maka

    penulis memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis

    besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkaitan

    yaitu sebagai berikut:

    BAB I PENDAHULUAN. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan

    masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, telaah

    pustaka, penegasan istilah, sistematika penulisan.

    BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI.

    Pembahasan bab ini berisi tentang biografi intelektual tokoh Muhammad

    Syakir Al-Iskandari, yang meliputi: biografi Muhammad Syakir Al-Iskandari,

    situasi sosial politik menjelang kelahiran Muhammad Syakir Al-Iskandari,

    karya pemikiran Muhammad Syakir Al-Iskandari, sistematika penulisan kitab

    Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’.

    BAB III LANDASAN TEORI TENTANG KONSEP PENDIDIKAN

    AKHLAK DALAM KITAB WASHOYA AL-ABA’ LIL ABNAA’. Pada bab

    ini dibahas pengertian konsep pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan

    akhlak, tujuan pendidikan akhlak, unsur-unsur pendidikan akhlak, metode

    11

  • pendidikan akhlak, faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan akhlak, dan

    macam-macam akhlak.

    BAB IV ANALISIS KITAB WASHOYA AL ABA’ LIL ABNA’ DAN

    RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB

    WASHOYA AL-ABAA LIL ABNAA’ DI KAITKAN DENGAN

    KONTEKS KEKINIAN. Pada bab ini dijelaskan pemikiran Muhammad

    Syaki tentang konsep pendidikan akhlak dan relevansi konsep pendidikan

    akhlak yang ada dalam kitab Washoya Al-Abaa Lil Abnaa’ yang di kaitkan

    dengan konteks kekinian.

    BAB V PENUTUP. Bab ini memuat kesimpulan penulis dari

    pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat penutup yang sekiranya

    dianggap penting dan daftar pustaka.

    12

  • BAB II

    BIOGRAFI MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI

    A. Situasi Sosial Politik Menjelang Kelahiran Muhammad Syakir Al-

    Iskandari

    Pada masa abad ke-19 (1800 M) bangsa Eropa telah mendominasi dunia.

    Dalam abad ke 19 dan awal abad ke 20, didorong oleh kebutuhan ekonomi

    industri terhadap bahan-bahan baku dan pemasarannya, juga oleh kompetisi

    politik dan ekonomi satu sama lain, negara-negara Eropa menegakkan teritorial

    dunia. Pada awal abad ke 20 kekuatan Eropa hampir menguasai seluruh dunia

    Islam (Munthoha dkk., 2002: 83).

    Albert Hourani mengatakan pada saat Negara Arab ditaklukan oleh

    Prancis, membuat masyarakat Arab waktu itu tidak lagi hidup dalam keadaan

    stabil serta tidak mapan pada sistem kebudayaannya. Sehingga, keperluan

    mereka yang mendesak adalah bagaimana menggerakkan kekuatan agar

    selamat dari dominasi bangsa lain. Kerajaan Usmani misalnya, harus

    mengadopsi metode-metode baru dalam pengorganisasian militer, administrasi

    dan kode-kode hukum pola Eropa. Begitu juga yang dilakukan oleh dua

    penguasa otonomi dari propinsi kerajaan tersebut, Mesir dan Tunisia

    (Munthoha dkk., 2002: 84).

    Dalam perkembangan bidang pendidikan di Mesir yang sudah

    terpengaruh oleh pendidikan Barat, madrasah di Mesir menjadi lembaga

    pendidikan yang terpisah dari masjid. Hal ini terjadi karena model pendidikan

    Barat yang klasikal dan memisahkan antara ilmu agama dan umum. Dengan

    13

  • demikian, madrasah dipandang sebagai model pengajaran formal dari ilmu-ilmu

    agama saja (Al Qur’an, hadist, akhlak, akidah dan fiqih).

    Pada saat Mesir dibawah kekuasaan Usmaniyah Turki, kitab-kitab yang

    berada di perpustakaan Mesir dipindahkan di Istanbul. Hal tersebut

    menyebabkan Mesir menjadi mundur dalam ilmu pengetahuan dan pusat

    pendidikan berpindah ke Istanbul. Pada masa Usmaniyah, pendidikan dan

    pengajaran mengalami kemunduran, terutama di wilayah Mesir (Kodir: 2015:

    130).

    Disamping itu, kebudayaan terus dipertahankan, pemikiran-pemikiran

    baru mulai bermunculan yang mencoba untuk menjelaskan sebab-sebab

    kekuatan Eropa dan mengusulkan negeri-negeri Islam agar dapat mengadopsi

    ide-ide Eropa tanpa kehilangan identitas dan kepercayaan diri. Sebagian besar

    dari mereka adalah para lulusan sekolah-sekolah yang dibangun oleh

    pemerintah maupun para misionaris asing. Surat kabar dan jurnal menjadi

    media bagi mereka untuk mengekspresikan pemikiran-pemikirannya

    (Munthoha dkk., 2002: 84).

    Pada tahun 1881, muncul suatu gerakan menentang dominasi politik,

    ekonomi dan budaya Eropa, tetapi karena kelihatan mengancam investasi asing,

    gerakan ini mendorong Inggris melakukan invasi militer pada tahun 1882

    (Rahnema, 1996: 127). Dalam hal ini agresi militer yang dilakukan Inggris

    tersebut bertepatan dengan lahirnya Muhammad Syakir.

    Keunggulan bangsa Barat dalam bidang industri, teknologi, tatanan

    politik dan militer menjadi kekuatan pokok untuk menguasai bangsa-bangsa

    14

  • muslim. Melihat penetrasi yang dilakukan bangsa Barat di Mesir pada akhir

    abad 19 menunjukkan bahwa Mesir sebagai pusat Islam tidak mampu

    menghadapi kekuatan bangsa Barat.

    Keadaan politik yang labil menjadikan masyarakat Mesir pada umumnya

    resah karena Islam dengan nilai-nilai ajaran yang luhur dan bermartabat

    semakin tidak berdaya berhadapan dengan hegemoni pemerintah Barat. Dengan

    demikian, iklim politik di Mesir pada tahun-tahun sebelum kelahiran

    Muhammad Syakir dalam keadaan dominasi asing dan perlawanan masyarakat

    Mesir terhadap dominasi asing.

    B. Riwayat Muhammad Syakir Al-Iskandari

    Beliau lahir di Jurja, Mesir pada pertengahan Syawal tahun 1282 H

    bertepatan pada tahun 1866 M. dan wafat pada tahun 1939 M. Ayahnya

    bernama Ahmad bin Abdil Qadir bin Abdul Warits (Bruinessen, 1995: 160).

    Beliau berasal dari keluarga Ulayya, keluarga ini merupakan keluarga

    paling kaya dan dikenal dermawan. Masa kecilnya hingga beranjak dewasa

    dihabiskan di Jurja, mulai menghafal Al-Qur’an sampai belajar ilmu Hadist dan

    bidang ilmu-ilmu lainnya. Karena pada saat itu kota Jurja termasuk kota yang

    sudah berkembang pesat dalam bidang pendidikan. Muhammad Syakir Al-

    Iskandari tidak menisbatkan nama kota Jurja di belakang namanya, namun lebih

    dikenal dengan nama al-Iskandari. Nama al-Iskandari diambil dari nama sebuah

    kota tempat beliau mengembangkan ilmunya, yaitu kota Iskandariyah di Mesir.

    Beliau termasuk Min ba’dhil muhaddistin atau ahli hadis, memang bukan

    15

  • karena periwayatannya terhadap hadis sebagaimana Imam Bukhori dan lainnya,

    tapi karena bidang keilmuan yang digelutinya.

    Beliau lahir dalam lingkungan Mazhab Hanafi, beliau menjadikan Imam

    Hanafi sebagai teladan, yakni saat Imam Hanafi ditanya tentang

    keberhasilannya memperoleh ilmu pengetahuan, beliau menjawab “saya tidak

    pernah malas mengajarkan ilmu pengetahuan pada orang lain dan terus

    berusaha menuntut ilmu”. Selain itu, sebagian warga Mesir adalah pengikut

    Mazhab Hanafi. Madzhab Maliki mendominasi Mesir bagian atas, sedangkan

    Syiah mendominasi Mesir bagian bawah.

    Beliau dikenal sebagai seorang pembaharu Universitas Al-Azhar. Beliau

    adalah mantan wakil rektor Universitas Al-Azhar (Taufik, 2002:172). Karirnya

    dimulai dari menghafal Al-Qur'an dan belajar dasar-dasar studinya di Jurja,

    Mesir, kemudian beliau rihlah (bepergian untuk menuntut ilmu) ke Universitas

    Al-Azhar dan beliau belajar dari guru-guru besar pada masa itu, kemudian dia

    dipercayai untuk memberikan fatwa pada tahun 1307 H. Beliau menduduki

    jabatan sebagai ketua Mahkamah mudiniyyah al-qulyubiyyah dan tinggal di

    sana selama tujuh tahun sampai beliau dipilih menjadi Qadhi (hakim) untuk

    negeri Sudan pada tahun 1317 H. Beliau juga orang pertama yang menduduki

    jabatan ini, dan orang yang pertama yang menetapkan hukum-hukum syar'i di

    Sudan.

    Kemudian pada tahun 1322 H, beliau ditunjuk sebagai guru bagi para

    ulama-ulama Iskandariyyah. Hal ini bagi orang muslimin memunculkan orang-

    orang yang menunjukkan umat supaya dapat mengembalikan kejayaan Islam,

    16

  • beliau juga ditunjuk sebagai wakil bagi para guru Al-Azhar, kemudian beliau

    menggunakan kesempatan pendirian Jam'iyyah Tasyni'iyyah pada tahun 1913

    M.

    Beliau berusaha untuk menjadi anggota organisasi tersebut, sebagai

    pilihannya dari sisi pemerintah Mesir, dan dengan itulah beliau meninggalkan

    jabatannya, serta enggan untuk kembali kepada satu bagianpun dari jabatan-

    jabatan tersebut dan beliau tidak lagi berhasrat setelah itu kepada sesuatu yang

    memikat dirinya.

    Di dalam kitab Munjid fiil lughoh wal i’lam disebutkan Pada akhir

    hayatnya beliau terbaring dirumahnya karena sakit lumpuh. Muhammad Syakir

    menerimanya dengan sabar dan ikhlas atas apa yang diberikan oleh Allah SWT

    dengan penuh keyakinan bahwa dirinya telah menegakkan apa yang telah di

    perintah agama. Setelah sakit beberapa lama, pada tahun 1939 beliau wafat

    (http://al-charish.blogspot.co.id/2012/06/syech-muhammad-syakir.html, diakses

    pada 18 Januari 2017, 01.37 WIB)

    C. Karya-karya Muhammad Syakir Al-Iskandari

    Muhammad Syakir al-Iskandari merupakan ulama yang mumpuni dalam

    berbagai bidang ilmu. Hal ini dapat diketahui melalui karya-karya beliau yang

    mencakup berbagai bidang keilmuan. Diantara karya-karyanya dalam bidang

    akhlak adalah Washoya al-abaa’ lil abnaa, dalam bidang ilmu Mantik beliau

    berhasil menulis kitab Min al-Himayah ala Sayyadah, sedangkan kitab al-Idah

    li al Matan Isauji adalah karyanya dalam bidang ilmu Hadist. (http://al-

    17

    http://al-charish.blogspot.co.id/2012/06/syech-muhammad-syakir.htmlhttp://al-charish.blogspot.co.id/2012/06/syech-muhammad-syakir.html

  • charish.blogspot.co.id/2012/06/syech-muhammad-syakir.html, diakses pada 18

    Januari 2017, 01.37 WIB).

    Tidak banyak para pendahulu yang menelusuri sejarah Muhammad

    Syakir al-Iskandari. Para ahli waris juga sangat sulit untuk ditelusuri karena

    keberadaan penyusun yang tidak memungkinkan menelusuri sampai negara asal

    atau tempat dimana beliau pernah berkiprah.

    D. Sistematika Penulisan Kitab Washoya Al abaa’ Lil Abnaa

    Secara garis besar penulisan kitab Washoya al Abaa’ lil Abnaa’ terbagi

    menjadi beberapa wasiat akhlak yaitu:

    BAB I: Nasihat guru kepada muridnya.

    BAB II: Wasiat agar bertaqwa kepada Allah.

    BAB III: Hak-hak Sang Pencipta Yang Maha Agung dan Rasulullah.

    BAB IV: Hak dan kewajiban terhadap kedua orang tua.

    BAB V: Hak dan kewajiban terhadap saudara teman.

    BAB VI: Adab dalam mencari ilmu.

    BAB VII: Adab belajar, mengkaji ulang dan berdiskusi.

    BAB VIII: Adab olahraga dan berjalan di jalan umum.

    BAB IX: Adab majelis dan ceramah.

    BAB X: Adab makan dan minum.

    BAB XI: Adab beribadah dan masuk masjid.

    BAB XII: Keutamaan berbuat jujur.

    BAB XIII: Keutamaan amanah.

    18

    http://al-charish.blogspot.co.id/2012/06/syech-muhammad-syakir.html

  • BAB XIV: Keutamaan dalam ‘iffah.

    BAB XV: Keutamaan Muruah (menjaga kehormatan diri), syahamah

    (mencegah hawa nafsu) dan ‘izzatin nafsi (kemuliaan diri).

    BAB XVI: Ghibah, namimah, dendam, iri hati, dan sombong

    BAB XVII: Tobat, rasa takut, harapan dan kesabaran disertai syukur

    BAB XVIII: Keutamaan beramal, bekerja disertai tawakal dan zuhud

    BAB XIX: Keikhlasan niat untuk Allah Ta’ala dalam semua amal

    BAB XX: Wasiat-wasiat terakhir

    19

  • BAB III

    LANDASAN TEORI

    A. Konsep Pendidikan Akhlak

    Kata “pendidikan” dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama

    paedagogos yang berarti penuntun anak. Paedagogos ialah seorang pelayan

    atau bujang dalam zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantar dan

    menjemput anak-anak ke sekolah dan dari sekolah. Paedagogos berasal dari

    kata paedos artinya anak, dan agogos artinya saya membimbing atau

    memimpin (Purwanto, 1988:1).

    Meskipun istilah pedagogik pada mulanya digunakan untuk konotasi

    rendah (pelayan) pada akhirnya dipakai untuk pekerjaan mulia dan terhormat.

    Pedagog ialah seorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhan

    ke arah yang dapat berdiri sendiri. Dalam bahasa arab disebut Mu’allim,

    Mudarris atau Murabbi).

    Menurut M. J. Koenen dan J. Endepols, pedagogic dalam bahasa Belanda

    ditulis pedagogie. Menurut A. Broers, pedagogic diberi arti “Theory of

    education” (Walidin, 2005: 5). Secara bahasa memang tidak dibedakan antara

    Pedagogy dan pedagogik, akan tetapi dalam konteks kependidikan kedua

    istilah itu dibedakan. Pedagogy mempunyai kecenderungan makna praktek dan

    cara mengajar (applied), sedangkan pedagogic bermakna teori atau ilmu

    mendidik. Soegarda Poerbakawatja menulis: pedagogy mempunyai dua arti:

    1. Praktek dan cara mengajar

    20

  • 2. Ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar,

    membimbing, mengawasi dengan sebutan pendidikan (Poerbakawadja,

    1976: 212).

    Konferensi Internasional I tentang Muslim Education menyimpulkan

    pengertian pedagogi menurut Islam, yaitu keseluruhan pengertian yang

    terkandung dalam tarbiyah, ta’lim dan ta’dib (Walidin, 2005:7).

    Dalam kitab Washoya al Abaa’ lil Abnaa’ istilah tarbiyah ( ًتَْربِیَة) dan

    ta’lim ( ًتَْعلِْیم) disebut tiga belas (13) kali. Istilah tarbiyah dan ta’lim memiliki

    makna spesifik dalam litelatur pendidikan Islam.

    Istilah tarbiyah itu sedikitnya bisa memiliki arti tujuh macam, yaitu:

    education (pendidikan), upbringing (asuhan), teaching (pengajaran),

    instruction (perintah), pedagogy (pendidikan), breeding (pemeliharaan),

    raising (peningkatan). Istilah tarbiyah itu sendiri berasal dari akar kata raba-

    yarbu yang berarti “tumbuh” dan “berkembang” (Mas’ud, 2001: 57).

    Semua arti itu sejalan dengan lafal yang digunakan oleh Al Qur’an untuk

    menunjukkan proses pertumbuhan dan perkembangan kekuatan fisik, akal dan

    akhlak. Hal ini diantaranya nampak dalam QS Al-Syu’ara: 18:

    َقاَل َأملَْ نـَُربَِّك ِفيَنا َولِيًدا َوَلِبْثَت ِفيَنا ِمْن ُعُمرَِك ِسِننيَ

    Artinya: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”

    21

  • Ayat lain yang seirama maksud atau kandungannya adalah QS. Al-Isra: 24:

    َواْخِفْض َهلَُما َجَناَح الذُّلِّ ِمَن الرَّْمحَِة َوُقْل َربِّ اْرَمحُْهَما َكَما َربـََّياِين َصِغريًا

    Artinya: ”Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

    Al Tabataba’i menafsirkan bahwa seorang anak supaya selalu mengingat

    pengasuhan dan pembinaan dalam rangka mendidik (tarbiyah) yang dilakukan

    orang tuanya sewaktu kecil. Oleh karena itu, seorang anak harus berdoa supaya

    Allah memberikan rahmat kepada keduanya sebagaimana mereka berdua

    memberikan kasih sayangnya dan mendidik pada waktu kecil. Jadi makna

    tarbiyah tidak hanya berupa upaya pendidikan pada umumnya, tetapi

    menembus pada aspek etika religius (Mas’ud, 2001: 58).

    Dalam kitab Washoya al Aba’ lil Abnaa’, Muhammad Syakir

    menggunakan istilah pendidikan dengan kata at-tarbiyah, karena anak-anak

    sebagai subjek pendidikan yang masih tumbuh dan berkembang menuju

    keadaan yang lebih baik. At-tarbiyah juga meliputi proses yang meliputi sikap

    dan perilaku pada peserta didik, yang mempunyai semangat tinggi dalam

    memahami dan menyadari kehidupannya sehingga terwujud ketakwaan, budi

    pekerti dan pribadi yang luhur (Muhaimin, 1993: 129).

    Secara bahasa kata akhlak diambil dari kosakata bahasa arab. Terdapat

    dua pendapat mengenai kata akhlak. Pendapat pertama mengatakan bahwa kata

    akhlak merupakan isim mashdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, yang berarti al

    thabi’ah (tabiat), al‘adat (kebiasaan), al muru’ah (peradaban baik) atau al din

    22

  • (agama). Pendapat kedua menyatakan bahwa kata akhlak bukan merupakan

    isim mashdar. Namun adalah isim jamid atau ghairu mustaq yakni kata benda

    yang tidak memiliki akar kata karena bentuknya memang telah ada sedemikian

    (Jamil, 2013: 2).

    Secara istilah, terdapat beberapa pendapat ulama mengenai pengertian

    akhlak. Istilah-istilah yang mereka kemukakan pada dasarnya memiliki

    pengertian yang sama.

    1. Ibn Miskawaih dalam bukunya Jamil (2013: 3) menyatakan bahwa akhlak

    adalah keadaan jiwa yang mendorong kepada tindakan-tindakan tanpa

    melalui pertimbangan pemikiran.

    2. Al-Ghazali dalam bukunya Jamil (2013: 3) menyatakan bahwa pengertian

    akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul

    perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan

    pertimbangan pikiran. Imam al-Gazhali berpendapat bahwa suatu perbuatan

    itu bisa disebut akhlak jika perbuatan tersebut dilakukan dengan spontan

    atau tanpa pertimbangan karena sikap dan perbuatan yang sudah melekat

    dalam pribadi menjadi watak. Batasan tentang perbuatan yang sudah

    menjadi watak ini yang kemudian banyak disepakati sebagai salah satu ciri

    akhlak.

    Berdasarkan berbagai definisi yang telah disebutkan, maka dapat

    diketahui bahwa perbuatan yang dikategorikan sebagai akhlak yang baik itu

    haruslah memenuhi kriteria perulangan (kontinuitas) sehingga seseorang hanya

    melakukan kebaikan sekali waktu saja tidak lantas dikatakan telah berakhlak

    23

  • baik (Jamil, 2013: 3). Selain itu akhlak yang baik harus dilakukan tanpa ada

    paksaan, apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan paksaan bukanlah

    pencerminan dari akhlak.

    Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Abuddin Nata,

    sebagaimana dikutip oleh Jamil (2013: 4) bahwa setelah memperhatikan

    berbagai definisi yang diberikan para ulama, maka ia melihat 5 ciri-ciri yang

    dikandung dari sebuah pengertian akhlak, yaitu:

    1. Akhlak merupakan perbuatan yang tertanam di dalam jiwa seseorang secara

    kuat sehingga menjadi bagian dari pribadinya.

    2. Akhlak tersebut dilakukan secara mudah tanpa memerlukan pemikiran.

    3. Akhlak dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari luar diri seseorang.

    4. Akhlak tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh.

    5. Akhlak juga dilakukan karena ikhlas semata-mata mengharapkan ridha dari

    Allah SWT dan bukan pujian manusia.

    Dengan begitu dapat disimpulkan juga bahwa pendidikan akhlak

    merupakan usaha yang secara sadar untuk membimbing dan mengarahkan

    kehendak seseorang untuk mencapai tingkah laku yang mulia dan

    menjadikannya sebagai kebiasaan.

    B. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

    Pendidikan akhlak secara global mengandung dua cakupan yaitu akhlak

    terpuji dan akhlak tercela. Sedangkan ruang lingkup materi dan substansi

    pendidikan akhlak meliputi: akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa, akhlak

    terhadap Rasul, akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap

    24

  • lingkungan. Atau bisa disimpulkan sebagai tuntutan tanggung jawab sebagai

    individu, anggota masyarakat dan sebagai bagian dari umat (Zuriah, 2007:

    173).

    1. Akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa

    Akhlak dalam lingkup ini diartikan sebagai sikap yang ditunjukkan

    oleh manusia kepada Allah SWT. Sikap ini dimanifestasikan dalam bentuk

    kepatuhan menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi

    larangannya. Selain itu, manifestasi akhlak kepada Allah SWT juga

    ditunjukkan dengan komitmen yang kuat untuk terus memperbaiki kualitas

    keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Intinya semua perilaku seseorang

    yang memiliki akhlak yang baik kepada Allah harus tercermin dalam

    tingkah laku yang sesuai dengan syariat Allah SWT (Jamil, 2013:4).

    Seseorang yang dianggap memiliki akhlak yang baik kepada Allah

    pasti memiliki keinginan yang kuat tanpa paksaan untuk terus berupaya

    menjadi seorang hamba yang patuh kepada penciptanya, sebaliknya

    seseorang dianggap memiliki akhlak yang buruk kepada penciptanya jika ia

    tidak memiliki keinginan untuk melakukan perintah Allah SWT.

    2. Akhlak terhadap Rasul

    Akhlak terhadap utusan Allah (Rasulullah) adalah menjalankan apa

    yang telah diajarkannya. Sebagai umat Islam, tentu kita wajib beriman

    kepada Rasulullah beserta risalah yang dibawanya. Untuk memupuk

    keimanan, kita perlu mengetahui dan mempelajari sejarah hidup beliau,

    25

  • sehingga dari situ kita dapat memetik banyak pelajaran dan hikmah

    (Salamulloh, 2008: 33).

    Oleh karena itu, sebagai umat Islam harus menaati dan meneladani

    Rasul. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An nisa ayat 80:

    َمْن يُِطِع الرَُّسوَل فَـَقْد َأَطاَع اللََّه َوَمْن تـََوىلَّ َفَما َأْرَسْلَناَك َعَلْيِهْم َحِفيظًاArtinya: “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah

    menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.

    3. Akhlak terhadap sesama manusia

    Akhlak terhadap Allah sebagai pencipta tidak bisa dipisahkan dari

    akhlak menusia kepada manusia. Dalam konteks hubungan sebagai sesama

    muslim, maka Rasulullah SAW mengumpamakan bahwa hubungan tersebut

    sebagai sebuah anggota tubuh yang saling terkait, sebagaimana disebutkan

    dalam hadist:

    ِهْم، َمَثُل اجلََْسِد، ِإَذا اْشَتَكى ِمْنُه ُعْضٌوَتَدا َعى َمَثُل اْلُمْؤِمِنَني ِيف تـََوادِِّهْم، َوتـََعاطُِفِهْم، َوتـََرامحُِ َسائُِر اجلََْسِد بِالسََّهِر َواْحلُمَّى

    Artinya:“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim].

    Akhlak terhadap sesama manusia juga harus ditunjukkan kepada

    manusia yang non muslim dimana mereka tetap dipandang sebagai makhluk

    Allah SWT yang harus disayangi. Penjabaran dari akhlak kepada manusia

    bisa juga mencakup kepada berbagai aspek kehidupan lainnya. Secara lebih

    rinci, menurut Hamzah Ya’qub yang menjadi lapangan pembahasan etika

    Islam atau akhlak adalah:

    26

  • a. Menyelidiki sejarah etika dan pelbagai teori lama dan baru tentang

    tingkah laku manusia.

    b. Membahas tentang cara-cara menghukum atau menilai baik dan

    buruknya sesuatu pekerjaan.

    c. Menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak, mempengaruhi dan

    mendorong lahirnya tingkah laku manusia yang meliputi fitrahnya, adat

    kebiasaannya, lingkungannya, kehendak dan cita-citanya, suara hatinya

    dan motif yang mendorong dalam berbuat.

    d. Menerangkan mana akhlak yang baik.

    4. Akhlak terhadap lingkungan

    Akhlak terhadap lingkungan adalah sikap seseorang terhadap

    lingkungan (alam) di sekelilingnya. Sebagaimana diketahui bahwa Allah

    SWT menciptakan lingkungan yang terdiri dari hewan, tumbuhan, air,

    udara, tanah dan benda-benda lain yang terdapat di muka bumi. Semuanya

    diciptakan Allah SWT untuk manusia. Pada dasarnya semua yang

    diciptakan Allah tersebut diperuntukkan untuk kepentingan semua manusia

    dalam rangka memudahkan dirinya dalam beribadah kepada Allah (Jamil:

    2013: 6).

    Manusia adalah makhluk Allah SWT sejak dahulu merasa mampu

    melaksanakan amanah yang diberikan Allah SWT kepadanya baik dalam

    bentuk peribadahan kepada Allah SWT maupun memelihara bumi dan

    langit dari kerusakan yang dibuat oleh tangan mereka. Sebagaimana firman

    Allah disebutkan dalam QS al Ahzab ayat 72:

    27

  • Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.

    Sedangkan di QS Al Qashah ayat 77, Allah SWT memberikan

    peringatan kepada manusia untuk tidak melakukan kerusakan karena Allah

    tidak menyukainya:

    Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

    Perhatian kepada lingkungan menempati posisi penting terlebih di era

    modern. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi telah menyebabkan

    eksploitasi yang massif terhadap sumber-sumber daya alam. Ada beberapa

    sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui kembali seperti minyak dan

    gas. Dengan demikian, pemanfaatan secara berlebih dan boros akan

    menyebabkan dampak buruk jangka panjang bagi kehidupan manusia.

    28

  • Potensi kerusakan ini dijelaskan dalam firman Allah SWT yaitu Surat

    Ar-Ruum ayat 41:

    Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”

    C. Tujuan Pendidikan Akhlak

    Mengacu pada definisinya, pendidikan akhlak bertujuan untuk

    membentuk akhlak terpuji dan mulia agar terjadi keseimbangan dalam

    kehidupan manusia seutuhnya dan sesuai dengan ajaran agama Islam.

    Yakni, seimbang antara hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan

    sesama manusia, dengan alam maupun dengan dirinya sendiri, agar

    seseorang bisa membedakan makna hak dan kewajiban.

    Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Manhaj Tarbiyah Ibnu

    Qayyim mengemukakan, bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah

    merealisasikan ubudiyah kepada Allah SWT yang menjadi sebab utama

    kebahagiaan manusia. Tidak ada kebahagiaan dan tidak ada keberuntungan

    bagi manusia kecuali dengan menjauhkan diri dari akhlak yang tercela dan

    menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji (Iqbal, 2015: 487).

    Sedangkan dalam proses belajar mengajar pendidikan akhlak

    bertujuan agar peserta didik mampu menggunakan pengetahuan, nilai, dan

    keterampilan mata pelajaran itu sebagai wahana yang memungkinkan

    29

  • tumbuh dan berkembangnya serta terwujudnya sikap dan perilaku peserta

    didik yang konsisten dengan akhlak mulia.

    D. Unsur-unsur pendidikan akhlak

    Menurut Muliawan (2014: 20) unsur-unsur pendidikan terdiri dari 5

    hal yaitu:

    1. Pendidik

    Dari segi bahasa, seperti yang dikutip Abudin Nata dari W.J.S.

    Poerwadarminta, pengertian pendidik adalah orang yang mendidik.

    Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang

    melakukan kegiatan dalam bidang mendidik (Nata, 1997:61).

    Pendidik memiliki peran sangat penting dalam pendidikan. Apabila

    dikaji lebih dalam pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang-orang

    yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan

    upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif

    (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (Mujib, 2006: 87).

    Pendidik juga harus mempunyai tanggung jawab dalam perkembangan

    jasmani dan rohani para peserta didik, agar mampu mencapai tingkat

    kedewasaan dengan kemandiriannya dalam memenuhi tugas sebagai hamba

    dan khalifah Allah SWT, serta mampu melakukan tugas sebagai makhluk

    sosial dan sebagai makhluk individu yang bertaqwa.

    Berbagai tanggung jawab yang paling menonjol dan diperhatikan oleh

    Islam adalah tanggung jawab para pendidik terhadap individu-individu yang

    berhak menerima pengarahan, pengajaran, pendidikan dari mereka (Ulwan,

    30

  • 1981: 143). Pada hakekatnya tanggung jawab tersebut adalah tanggung

    jawab yang sangat besar. Baik disadari atau tidak, jika tanggung jawab

    tersebut dilaksanakan secara sempurna dan penuh amanat, berarti seorang

    pendidik telah ikut andil dalam membina masyarakat dan mencetak

    individu-individu yang berkualitas.

    Apabila dikaji lebih mendalam, dalam literatur kependidikan Islam

    sebagaimana dijelaskan oleh Muhaimin (2004:209-213) bahwa, seseorang

    yang memiliki tugas mendidik dalam arti pencipta, pemelihara, pengatur,

    pengurus, dan memperbaharui (memperbaiki) kondisi peserta didik agar

    berkembang potensinya, disebut “murabby”. Orang yang memiliki

    pekerjaan sebagai murabby ini biasanya dipanggil dengan sebutan “Ustadz”.

    Seorang pendidik atau ustadz memiliki tugas dan kompetensi yang melekat

    pada dirinya antara lain:

    a. Sebagai Mu’allim, berasal dari kata ‘ilm yang berarti menangkap hakekat

    sesuatu. Dalam setiap ‘ilm mengandung dimensi teoritis dan amaliah, ini

    mengandung makna bahwa seorang Mu’allim dituntut mampu

    menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya dan berusaha

    membangkitkan siswa untuk mengamalkan dalam kehidupannya agar

    bisa mendatangkan kemanfaatan dan menjauhi kemadlaratan.

    b. Sebagai mursyid, artinya orang yang memiliki kedalaman spiritual atau

    memiliki tingkat penghayatan yang mendalam terhadap nilai-nilai

    keagamaan kepada anak didiknya, baik yang berupa etos ibadahnya, etos

    31

  • kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba Lillahi Ta’ala

    (karena mengharapkan ridha Allah semata).

    c. Sebagai mudarris, artinya terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih

    atau mempelajari. Dilihat dari pengertian ini maka seorang mudarris

    diharapkan mampu mencerdaskan anak didiknya, menghilangkan

    ketidaktahuan atau kebodohan mereka, serta melatih keterampilan

    mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Pengetahuan

    dan keterampilan seseorang akan cepat usang selaras dengan percepatan

    kemajuan iptek dan perkembangan zaman, sehingga guru dituntut untuk

    memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui

    pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan.

    d. Sebagai Mu’addib, artinya apabila mu’addib sebagai isim fa’il dari kata

    “addaba-yuaddibu-ta’diiban” yang berarti mendisiplinkan atau

    menanamkan sopan santun. Maka seorang mu’addib adalah seseorang

    yang memiliki kedisiplinan kerja yang dilandasi dengan etika, moral, dan

    sikap yang santun, serta mampu menanamkannya kepada peserta didik

    melalui contoh untuk di tiru oleh peserta didik.

    2. Anak didik

    Anak didik ialah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik dari

    segi fisik maupun dari segi mental psikologi (Jumali, 2004:35).

    Istilah peserta didik jika dimaknai sebagai orang (anak) yang sedang

    mengikuti proses kegiatan pendidikan atau proses belajar-mengajar untuk

    32

  • menumbuh-kembangkan potensinya, maka dalam literatur bahasa Arab

    yang sering digunakan oleh para tokoh pendidikan dalam islam, antara lain

    ditemukan dengan nama sebagai berikut:

    a. Muta’alim, mengandung makna sebagai orang yang sedang belajar

    menerima atau mempelajari ilmu dari seorang mu’allim (pengajar ilmu)

    melalui proses belajar-mengajar.

    b. Mutarabby, mengandung makna sebagai orang (peserta didik) yang

    sedang dijadikan sebagai sasaran untuk dididik dalam arti diciptakan,

    dipelihara, diatur, diurus, diperbaiki, diperbaharui melalui kegiatan

    pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama dengan murabby

    (pendidik).

    c. Murid, adalah orang yang sedang berusaha belajar untuk mendalami ilmu

    agama dari seorang mursyid melalui kegiatan pendidikan, sehingga

    memiliki pengetahuan, pemahaman dan penghayatan spiritual yang

    mendalam terhadap nilai-nilai keagamaan, memiliki ketaatan dalam

    menjalankan ibadah, serta berakhlak mulia.

    d. Daaris, adalah orang yang sedang berusaha belajar melatih

    intelektualnya melalui proses pembelajaran sehingga memiliki

    kecerdasan intelektual dan keterampilan. Pelatihan intelektual tersebut

    dibina oleh seorang mudarris.

    e. Muta’addib, adalah orang yang sedang belajar meniru, mencontoh sikap

    dan perilaku yang sopan dan santun melalui kegiatan pendidikan dari

    33

  • seorang mu’addib, sehingga terbangun dalam dirinya tersebut sebagai

    orang yang berperadaban.

    3. Kurikulum

    Istilah kurikulum memiliki berbagai penafsiran yang dirumuskan oleh

    pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum. Istilah kurikulum

    berasal dari bahasa latin, yaitu “Curricule”, artinya jarak yang harus

    ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah

    jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan

    untuk memperoleh ijazah. Dengan kata lain, kurikulum dianggap sebagai

    jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu

    perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu (Dakir, 2004:2).

    Menurut Hendyat Soetopo dan Warsito Soemanto, kurikulum

    diartikan sebagai tujuan pengajaran, pengalaman-pengalaman belajar, alat-

    alat pelajaran dan cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan

    dalam pendidikan (Susilo, 2007:79)

    Jadi, kurikulum ialah suatu program pendidikan dan pengalaman

    belajar yang disusun secara sistematis atas dasar norma yang berlaku yang

    dijadikan pedoman untuk mencapai tujuan pendidikan.

    Menurut Hendyat Soetopo dan Warsito Soemanto (Susilo, 2007:83-

    85) fungsi kurikulum dibagi menjadi 7 bagian yaitu:

    a. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Bahwa

    kurikulum merupakan suatu alat atau usaha untuk mencapai tujuan-

    tujuan pendidikan yang diinginkan oleh sekolah yang dianggap cukup

    34

  • tepat dan penting untuk dicapai. Dengan kata lain bila tujuan yang

    diinginkan tidak tercapai maka orang cenderung untuk meninjau kembali

    alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

    b. Fungsi kurikulum bagi anak. Maksudnya kurikulum sebagai organisasi

    belajar tersusun yang disiapkan untuk siswa sebagai salah satu konsumsi

    bagi pendidikan mereka dengan begitu diharapkan akan mendapat

    sejumlah pengalaman baru yang kemudian hari dapat dikembangkan

    seirama dengan perkembangan anak.

    c. Fungsi kurikulum bagi guru. Ada tiga macam, yaitu:

    1) Sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir

    pengalaman belajar bagi anak didik

    2) Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan

    anak dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan.

    3) Sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendididkan dan

    pengajaran.

    d. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah dan pembina sekolah, dalam artian

    kurikulum sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi yaitu

    memperbaiki situasi belajar, sebagai pedoman dalam menunjang situasi

    belajar, memberikan bantuan kepada guru, sebagai pedoman untuk

    mengembangkan kurikulum lebih lanjut dan sebagai pedoman

    mengadakan evaluasi kemajuan belajar mengajar.

    35

  • e. Fungsi kurikulum bagi orang tua murid. Maksudnya orang tua dapat turut

    serta membantu usaha sekolah dalam memajukan putra putrinya. Bantuan

    ini dapat melalui konsultasi kepada guru BK atau kepala sekolah.

    f. Fungsi kurikulum bagi sekolah. Ada dua jenis yang berkaitan yaitu

    keseimbangan proses pendidikan dan penyiapan tenaga guru.

    g. Fungsi kurikulum bagi masyarakat dan pemakai lulusan sekolah.

    Pemakaian lulusan ikut memberikan bantuan guna memperlancar

    pelaksanaan program pendidikan yang membutuhkan kerja sama dengan

    pihak luar dan memeberikan kritik atau saran yang membangun, dalam

    rangka menyempurnakan program pendidikan di sekolah agar lebih

    serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.

    4. Metode

    Ditinjau dari segi etimologis (bahasa), metode berasal dari bahasa

    Yunani, yaitu “methodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu “metha”

    yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang berarti jalan atau cara.

    Maka metode memiliki arti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan

    (Arifin, 1996: 61).

    Sedangkan bila ditinjau dari segi terminologis (istilah), metode dapat

    dimaknai sebagai jalan yang ditempuh oleh seseorang supaya sampai pada

    tujuan tertentu, baik dalam lingkungan atau perniagaan maupun dalam

    kaitan ilmu pengetahuan dan lainnya (Arief, 2002: 87).

    Artinya, metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah

    ditetapkan. Keberhasilan implementasi pembelajaran sangat bergantung

    36

  • pada cara pendidik menggunakan metode pembelajaran. Berkaitan dengan

    pendidikan akhlak, ada beberapa metode yang bisa digunakan (Zuhriyah,

    2011:65):

    a. Metode Ceramah

    Yaitu penuturan bahan pelajaran secara lisan. Pendidik

    memberikan uraian atau penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu

    tertentu (terbatas) dan tempat tertentu. Dilaksanakan dengan bahasa lisan

    untuk memberikan pengertian terhadap suatu masalah.

    b. Metode Keteladanan

    Melalui metode ini orang tua atau pendidik dapat memberi contoh

    atau teladan bagaimana cara berbicara, bersikap, beribadah dan

    sebagainya. Maka anak atau peserta didik dapat melihat, menyaksikan

    dan menyakini cara sebenarnya sehingga dapat melaksanakannya dengan

    lebih baik dan lebih mudah.

    c. Metode Pembiasaan

    Metode pembiasaan dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini

    termasuk mengubah kebiasaan-kebiasaan negatif menjadi kebiasaan atau

    perilaku positif. Dalam upaya menciptakan kebiasaan yang baik atau

    positif ini dapat dilakukan dengan dua cara, antara lain ditempuh dengan

    proses bimbingan dan latihan serta dengan cara mengkaji aturan-aturan

    Tuhan yang terdapat dalam ayat yang bentuknya amat teratur.

    Pembiasaan yang baik sangat penting bagi pembentukan watak

    anak atau peserta didik dan juga akan terus berpengaruh pada anak itu

    37

  • sampai hari tuanya. Menanamkan pembiasaan pada anak-anak terkadang

    sukar dan memakan waktu lama. Akan tetapi segala sesuatu yang telah

    menjadi kebiasaan akan sukar pula diubah. Maka dari itu, lebih baik

    menjaga anak-anak atau peserta didik supaya mempunyai kebiasaan-

    kebiasaan yang baik dari pada terlanjur memiliki kebiasaan-kebiasaan

    yang tidak baik.

    d. Metode Nasihat

    Metode inilah yang sering digunakan oleh orang tua atau pendidik

    terhadap anak atau peserta didik dalam proses pendidikannya. Memberi

    nasihat tentang kebaikan sebenarnya menjadi kewajiban setiap muslim,

    seperti dalam surat Al-Ashr ayat 3:

    Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”

    e. Metode Kisah atau Cerita

    Adalah suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan

    menuturkan secara kronologis bagaimana terjadinya suatu hal, baik yang

    sebenarnya maupun yang rekaan saja. Adapun tujuan yang diharapkan

    melalui metode ini adalah agar anak atau peserta didik dapat memetik

    hikmah dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah yang disampaikan.

    f. Metode Pemberian Hadiah dan Hukuman

    Metode pemberian hadiah atau reward ini tujuannya memberikan

    apresiasi kepada peserta didik karena telah melakukan tugas dengan baik

    38

  • dan hadiah yang diberikan tidak harus berupa materi. Sedangkan

    hukuman dimaksudkan untuk memberi efek jera kepada peserta didik

    agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya lagi.

    5. Lembaga

    Salah satu sistem yang memungkinkan proses pendidikan berlangsung

    secara konsisten dan berkesinambungan dalam mencapai tujuan

    pendidikan adalah intitusi atau kelembagaan. Tanpa adanya tempat,

    kegiatan belajar tidak mungkin bisa dilakukan (Nata, 1997: 112).

    Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional,

    mengatakan bahwa:

    a. Suatu pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar

    yang dilaksanakan di sekolah atau luar sekolah.

    b. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari

    pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan.

    c. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok

    belajar, kursus dan satuan pendidikan yang sejenis.

    Dari beberapa lembaga pendidikan yang ada, lembaga yang relevan

    dalam pendidikan akhlak adalah sekolah, madrasah atau pondok pesantren.

    E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Akhlak

    Ada dua faktor utama yang mempengaruhi akhlak yaitu faktor internal

    dan faktor eksternal (Ya’qub, 1991: 57).

    1. Faktor Internal

    39

  • Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang datang dari

    diri sendiri yaitu fitrah yang suci yang merupakan bakat bawaan sejak

    manusia lahir dan mengandung pengertian tentang kesucian anak yang lahir

    dari pengaruh-pengaruh luar, sebagaimana firman Allah dalam QS Ar ruum

    ayat 30:

    يِن َحِنيًفا ِفْطَرَة اللَِّه الَِّيت َفَطَر النَّاَس َعَليـَْها ال تـَْبِديَل ِخلَْلِق اللَِّه َذِلَك يُن َفَأِقْم َوْجَهَك لِلدِّ الدِّ اْلَقيُِّم َوَلِكنَّ َأْكثـََر النَّاِس ال يـَْعَلُمونَ

    Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

    Dengan demikian setiap anak yang lahir ke dunia ini telah memiliki

    keagamaan yang nantinya akan mempengaruhi dirinya.

    2. Faktor Eksternal

    Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi kelakuan atau

    perbuatan manusia yang meliputi:

    a. Pengaruh Keluarga

    Setelah manusia lahir, maka akan terlihat jelas fungsi keluarga

    dalam pendidikan, yaitu memberikan pengalaman kepada anak, baik

    melalui pemeliharaan, pembinaan dan pengaruh yang menuju pada

    terbentuknya tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua.

    Orang tua (keluarga) merupakan pusat kegiatan rohani bagi anak

    yang pertama, baik itu tentang sikap, cara berbuat, cara berfikir itu akan

    kelihatan. Keluarga sebagai pelaksana pendidikan yang akan

    mampengaruhi dalam pembentukan akhlak yang mulia.

    40

  • b. Pengaruh Sekolah

    Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang kedua setelah

    keluarga, di sana dapat mempengaruhi akhlak anak. Didalam sekolahan,

    berlangsung beberapa bentuk dasar dari kelangsungan pendidikan pada

    umumnya, yaitu pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan yang

    wajar, perangsang dari potensi-potensi anak, perkembangan dari

    kecakapan pada umumnya belajar kerjasama dengan kawan sekelompok,

    melaksanakan tuntunan atau contoh-contoh yang baik dan belajar

    menahan diri demi kepentingan orang lain (Yunus, 1978:31).

    c. Pengaruh Masyarakat

    Masyarakat dalam pengertian sederhana adalah individu dalam

    kelompok yang diikat dalam ketentuan negara, kebudayaan dan agama.

    Lingkungan dan alam sekitar mempunyai pengaruh yang sangat

    besar dalam membentuk akhlak. Lingkungan yang baik akan menarik

    anak-anak untuk berakhlak baik. Sebaliknya, jika lingkungan yang jelek

    maka akan menarik anak-anak untuk berakhlak jelek. Oleh karena itu,

    haruslah pendidik memperlihatkan lingkungan yang berhubungan dengan

    anak-anak di luar rumah tangga. Mereka akan mencontoh akhlak di

    sekitar mereka dan ditirunya perkataan dan perbuatan mereka dengan

    tiada disadarinya (Yunus, 1978:33).

    Dengan demikian akhlak mulia membutuhkan pendidikan, baik dari

    keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat dengan diterapkannya

    kebiasaan-kebiasaan, latihan-latihan serta contoh-contoh yang baik sehingga

    41

  • anak dapat memahami dan mengetahui berbagai corak kegiatan tingkah laku

    lebih-lebih dalam pembentukan akhlak mulia.

    F. Macam-Macam Akhlak

    Akhlak dibagi menjadi dua jenis yaitu akhlak terpuji (mahmudah) dan

    akhlak tercela (mazmumah) (Solihin, 2005: 111).

    1. Akhlak Terpuji

    Akhlak terpuji merupakan terjemah dari ungkapan bahasa arab akhlaq

    mahmudah. Kata Mahmudah merupakan bentuk maf’ul dari kata hamida

    yang berarti dipuji (Anwar, 2010: 87).

    Akhlak terpuji mencakup karakter-karakter yang diperintahkan Allah

    dan Rasul untuk dimiliki seperti:

    a. Rasa belas kasihan dan lemah lembut. Akhlak ini berdasarkan tuntutan

    Allah di dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 159:

    Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”

    b. Sikap dapat dipercaya dan mampu menepati janji (amanah). Tuntutan

    sikap ini berdasar Al Qur’an surat Al Mu’minun ayat 8:

    42

  • Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”

    c. Manis muka dan tidak sombong. Tuntutan akhlak ini berdasar Al Qur’an

    surat Luqman ayat 18:

    Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”

    d. Tekun dan merendahkan diri dihadapan Allah. sikap ini berdasar Al

    Qur’an surat Al Mu’minun ayat 2:

    Artinya: “(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya”

    e. Berbuat baik dan beramal shaleh. Sesuai dengan tuntutan Allah dalam Al

    Qur’an surat Al Nisa’ ayat 124:

    Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”

    f. Sabar

    Sabar yang dimaksud mencakup tiga hal yaitu:

    43

  • 1) Sabar dalam beribadah dan beramal shaleh.

    2) Sabar untuk tidak melakukan maksiat dan mengikuti godaan duniawi

    yang dilarang.

    3) Sabar ketika tertimpa musibah.

    Sikap tersebut terkandung dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 153:

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”

    2. Akhlak Tercela

    Kata madzmumah berasal dari bahasa arab yang artinya tercela. Segala

    bentuk akhlak yang bertentangan dengan akhlak terpuji disebut akhlak

    tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku yang tercela yang dapat

    merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan martabatnya sebagai

    manusia (Anwar: 2010: 121).

    Akhlak tercela (mazmumah) yang diperintahkan oleh Allah untuk

    ditinggalkan. Akhlak ini menyebabkan pelakunya mendapat kemurkaan dari

    Allah dan dijauhkan dari kasih sayang-Nya.

    Diantara akhlak-akhlak tercela yang dilarang dalam Al Quran adalah:

    a. Bakhil. Larangan Allah terdapat dalam surat Al Lail ayat 8-10:

    Artinya: “Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup.Serta mendustakan pahala terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar”.

    44

  • b. Suka berdusta. Dijelaskan dalam Al Quran surat Al Nisa ayat 112:

    Artinya: “Dan Barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka Sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”.

    c. Tidak menepati janji. Larangan ini termuat dalam surat Al Nisa ayat 107:

    Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa”.

    d. Ghibah. Termuat dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 12:

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

    45

  • e. Dzalim. Perbuatan dzalim dilarang Allah dalam Al Qur’an surat Al

    Baqarah ayat 59:

    Artinya: “lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik”.

    46

  • BAB IV

    ANALISIS KITAB WASHOYA AL-ABA’ LIL ABNAA’ KARYA

    MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI

    A. Konsep Pendidikan Akhlak Muhammad Syakir Al-Iskandari

    Pendidikan akhlak mempunyai peranan penting dalam menentukan

    kehidupan. Dilihat dari substansinya, manusia memiliki perilaku istimewa

    yang tidak dimiliki oleh entitas-entitas lain di alam semesta sehingga manusia

    merupakan entitas yang paling unggul. Oleh karena itu, pendidikan akhlak

    dimaksudkan sebagai upaya pemeliharaan akhlak dan mengaplikasikan dalam

    kehidupan sehar-hari.

    Hal ini senada dengan penjelasan Muhammad Syakir tentang tujuan

    pendidikan akhlak.

    َيِة َقِويَّ ْاِالْدَراَك, زَِكيَّ اْلَقْلِب, ُمَهذََّب ْاَالْخَالِق حمَُا ِفًضا َعلَ ى َيُسرُِّين َاْن اَرَاَك َصِحْيَح اْلِبنـْ اْالََداِب, بَِعْيًداَعَلى اْلُفْحِش ِيف اْلَقْوِل, َلِطْيَف اْلُمَعا َشَرِة, َحمْبـُْوبًا ِمْن ِاْخَواِنَك.

    Aku merasa senang melihatmu dalam keadaan sehat tubuhmu, kuat penalaranmu, bersih hatimu, lurus akhlakmu dengan memelihara adab, jauh dari perkataan keji, ramah tamah dalam pergaulan dan dicintai oleh saudara-saudaramu (teman-temanmu).

    1. Unsur-Unsur Pendidikan

    a. Pendidik

    Pendidik didalam pendidikan memiliki peran sangat penting dalam

    perkembangan anak didik. Selain sebagai orang yang bertanggung jawab

    dalam pembelajaran, peran pendidik juga harus memiliki akhlak yang

    47

  • baik yang bisa dicontoh oleh anak didik. Muhammad Syakir mengatakan

    bahwa seorang pendidi harus memiliki sikap yang jujur.

    يَاُبينَّ! ِاينِّ َلَك نَاِصٌح اَِمْنيٌ َفاَ قْـَبُل َما اُْلِقْيِه َعَلْيَك ِمَن النََّصاِئِح َواْعَمْل ِبِه ِيفْ ُحُضْو رِىْ

    َنَك َوبـَْنيَ نـَْفِسَك. َنَك َوبـَْنيَ َاَخَواِنَك َوبـَيـْ َوبـَيـْ “Wahai anakku, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi nasihat yang jujur bagimu. Maka, terimalah nasihat-nasihat yang kuberikan kepadamu dan amalkanlah di hadapanku, diantara engkau dan saudara-saudaramu serta terhadap dirimu sendiri” (Syakir, t.th: 3)

    b. Anak didik

    Anak didik adalah seseorang yang sedang mengikuti proses

    kegiatan belajar mengajar dengan tujuan untuk mengembangkan potensi

    yang dimilikinya. Sebagai anak didik harus memiliki akhlak yang baik

    kepada seorang pendidik.

    -يَا بـَُينْ َال َشْيَء َاَضرُّ َعَلى طَاِلِب اْلِعْلِم ِمْن َغَضِب ْاَال َساِتَذِة َواْلُعَلَماِء, َفِايَّاكَ يَابـَُينَّ: َاْن تـُْغِضَب َاَحَداِمَن اْلُمَدرِِسْنيَ اَْوُتِسْيَءاْالََدِب اََماَمُه, َفِانَّ اََقلَّ َما يـُْنِتُجُه َغَضُب

    َعُة.اْالََساِتَذِةاحلِْرْ َماُن َواْلَقِطيـْ “Wahai anakku! Tiada sesuatu yang lebih membahayakan pelajar daripada amarah para guru dan ulama. Oleh karena itu, wahai anakku, Janganlah engkau membuat marah seorang pengajaratau bersikap kurang sopan di depannya. Sekurang-kurangnya akibat yang ditimbulkan oleh amarah para guru adalah terputus pelajaran dan pemutusan hubungan”.

    c. Metode

    Keberhasilan dalam pembelajaran tergantung kepada cara pendidik

    menggunakan metode pembelajaran. Muhammad Syakir menggunakan

    beberapa metode dalam pembelajaran, yaitu:

    48

  • 1. Metode ceramah

    َمَع يَا بـَُينَّ, ِاَذاَشرََع اْالُْسَتاُذ َيفْ ِقَراَءِة الدَّْرِس َقَال تـََتَشاَغْل َعْنُه بِاحلَِْدْيِث َوَالبِاْلُمَنا َقَشِة َن ِاْخَواِنَك َوَاْصِغ ِاَىل َما يـَُقُو لُُه اْالُْسَتاُذ ِاْصَغاًء تَا ًما َواِيَّاَك َاْن َتْشَغَل ِفْكَرَك ِبَشْيٍء َاَخَر مِ

    اْهلََواِجِس النـَّْفِسيَِّة اَثـَْناَء الدَّْرِس.

    “Wahai, anakku! Apabila guru mulai membaca pelajaran, maka janganlah engkau mengabaikannya dengan berbicara dan berdiskusi dengan teman-temanmu. Dengarkan baik-baik apa yang dikatakan guru dan janganlah menyibukkan pikiranmu dengan ssesuatu yang lain, berupa bisikan-bisikan hati di tengah pelajaran”.

    2. Metode keteladanan يَابـَُينَّ! ِاَذاملَْ تـَتَِّخْذِين ُقْدَوًة فَِبَمْن تـَْقَتِدْى؟ َوَعَالَم ُجتِْهُد نـَْفَسَك ِيف اْجلُُلْوِس

    اََماِمي؟“Wahai, anakku! Apabila engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan, maka siapakah yang akan engkau teladani? Untuk apa pula engkau paksakan dirimu duduk didepanku?”.

    3. Metode nasihat

    ُه اَنَا اُْسَتاُذَك يَابـَُينَّ! ِاْن ُكْنَت تـَْقَبُل َنِصْيَحَة نَاِصٍح َفانَا َاَحقُّ َمْن تـَْقَبُل َنِصْيَحتَ . َفَعِتَك َوَصَالِحَك ِمينِّ َوُمَعلُِّمَك َوُمَرىبِّ ُرْوِحَك َال جتَُِد َاَحًد َاْحَرَص َعَلى َمنـْ

    “Wahai, anakku! Jika engkau menerima nasihat dari seorang penasihat, maka akulah yang lebih patut engkau terima nasihatnya. Aku adalah guru dan pengajar serta pendidik jiwamu. Engkau tidak akan mendapatkan seseorang yang lebih mengharapkan manfaat dan kebaikan bagimu daripada aku”.

    4. Metode kisah atau cerita , ُمثَّ َكا َن يـَتَِّجُر يَابـَُينَّ َكاَن النَّيبِّ صلى اهللا عليه وسلم يـَْر َعى اْلَغَنَم قـَْبَل الِبْعَثةِ

    َحىتَّ بُِعَث, َوَما زَاَل َكَذِلَك َحىتَّ َكاَن رِْزقُُه َحتَْت ِظلِّ ُرحمِِْه.“Wahai anakku, Nabi SAW menggembala kambing sebeu diangkat menjadi Nabi. Kemudian beliau berdagang hingga diutus sebagai Nabi dan tetap begitu hingga rezekinya berada di bawah naungan tombaknya”.

    49

  • 5. Metode pemberian hadiah dan hukuman هُ بَ ضَ غَ قِ اتَّ , وَ َينَّ ابُـ يَ رْ ذَ احْ . فَ ابِ قَ عِ الْ اْلَبْطِش َشِدْيدُ دُ يْ دِ شَ كَ بَّ رَ نَّ ! اِ َىنَّ ابُـ يَ .هُ تْ لِ فْ يُـ ملَْ هُ ذَ خَ ااَ ذَ اِ ىتَّ حَ املِِ لظَّ لِ ىْ لِ ميُْ اهللاَ نَّ اِ , فَ هُ مُ لْ حِ كَ نَّ رَّ غُ يَـ َال , وَ هُ طَ خْ سُ وَ

    "Wahai anakku, sesungguhnya ancaman dan siksa Rabbnu sangat keras dan berat. Karena itu takutlah engkau anakku, takutlah pada murka rabbmu jangan sampai sifat “Halim” (kebijakan) Allah membujuk dirimu. “Sesungguhnya Allah menangguhkan siksanya pada orang yang zalim sampai dengan Allah menyiksanya, sehingga dia tidak dapat lepas dari adzab yang pedih.” (Hadis ini “Syarif” diriwatkan oleh Bhukhari, Muslim, Tirmizi, dan Ibnu Majah dari Abi Musa Al-Asy’ari dari Nabi saw.). (Syakir, t.th: 5)

    d. Lembaga

    Suatu perilaku bisa dikatakan sebagai akhlak ketika sudah menjadi

    watak, maka hal ini membutuhkan suatu proses yang panjang dan terus

    menerus. Penanaman ini harus terus menerus diberikan dan berulang-

    ulang agar terinternalisasi dan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata

    dan konkret. Proses tersebut bisa dilakukan di lembaga sekolah, pondok

    pesantren atau masyarakat.

    B. Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’

    1. Akhlak Kepada Allah

    Hubungan manusia dengan Allah adalah menjaga hak Allah, yaitu

    disembah oleh semua makhluk, bahwasannya tidak ada Rabb maupun

    Illah selain Dia (Hajjaj, 2013: 227). Seorang muslim harus menjaga

    dirinya dari berbagai kenistaan dan dosa, sebab Allah maha melihat

    segala sesuatu dalam keadaan apapun, bahkan apa yang ada dalam hati

    sekalipun. Sebagaimana ditampakkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 284:

    50

  • Artinya: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

    Muhammad Syakir juga menjelaskan dalam kitab Washoya al aba’ lil

    abnaa:

    .كَ الِ مَ عْ اَ عِ يْ ى مجَِ لَ عَ عٌ لِ طَّ مُ وَ كَ ا نِ سَ لِ بِ هُ نُ لِ عْ ا تُـ مَ وَ كَ رِ وْ دُ صُ ِىفْ هُ نُّ كِ اتُ مَ مُ لَ عْ يَـ كَ بَّ رَ نَّ ! اِ َىنَّ ابُـ يَ “Wahai anakku, sesungguhnya Rabbmu mengetahui apa yang tersimpan

    dalam hatimu, semua yang di ucapkan oleh lisanmu dan melihat seluruh perbuatanmu” (Syakir, t.th: 5).

    Dengan segala kenikmatan yang diberikan Allah, maka sebagai ungkapan

    rasa syukur kita adalah dengan bertakwa kepada-Nya. yaitu menjalankan

    perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

    َك ِخلَا ِلِقَك َجلَّ َشأنِِه اَْن تـَْعرَِفُه ِبِصَفا تِِه اْلَكَما لِيَِّة, َوَاْن َتُكْوَن َشِدْيَد يَابـَُىنَّ! اَوَُّل َواِجٍب َعَليْ َاحلِْْرِص َعَلى طَاَعِتِه بِاْمِتثَاِل اََواِمرِِه َواْجِتَناِب نـََواِهْيِه.

    “Wahai anakku, kewajibanmu yang pertama tehadap Allah Penciptamu yang Maha Luhur dalam segala hal adalah mengetahui sifat-sifa-Nya yang sempurna, dan bersungguh-bersungguh dalam taat pada-Nya dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya. Hendaklah engkau yakin dengan teguh dan mantap bahwa yang engkau pilih buatmu sendiri. Jangan mengikuti hawa nafsu mengerjakan sesuatu yang tidak berguna, dan taat pada makhluk, baik mulia ataupun hina (dalam pandanganmu) sehingga menghalangi drimu untuk taat dan beribadah pada Rabbmu” (Syakir, t.th: 8).

    Jadi sudah menjadi kewajiban untuk menyembah dan mengesakan-Nya,

    jika ada yang tidak mengenal Allah maka termasuk orang-orang yang zalim

    51

  • dan mengingkari hak Allah, sehingga layak mendapat murka dan siksa dari

    Allah.

    , هُ مُ لْ حِ كَ نَّ رَّ غُ يَـ َال , وَ هُ طَ خْ سُ وَ هُ بَ ضَ غَ قِ اتَّ , وَ َينَّ ابُـ يَ رْ ذَ احْ . فَ ابِ قَ عِ الْ اْلَبْطِش َشِدْيدُ دُ يْ دِ شَ كَ بَّ رَ نَّ ! اِ َىنَّ ابُـ يَ .هُ تْ لِ فْ يُـ ملَْ هُ ذَ خَ ااَ ذَ اِ ىتَّ حَ املِِ لظَّ لِ ىْ لِ ميُْ اهللاَ نَّ اِ فَ

    "Wahai anakku, sesungguhnya ancaman dan siksa Rabbnu sangat keras dan berat. Karena itu takutlah engkau anakku, takutlah pada murka rabbmu jangan sampai sifat “Halim” (kebijakan) Allah membujuk dirimu. “Sesungguhnya Allah menangguhkan siksanya pada orang yang zalim sampai dengan Allah menyiksanya, sehingga dia tidak dapat lepas dari adzab yang pedih.” (Hadis ini “Syarif” diriwatkan oleh Bhukhari, Muslim, Tirmizi, dan Ibnu Majah dari Abi Musa Al-Asy’ari dari Nabi saw.). (Syakir, t.th: 5)

    Dari uraian tersebut pengarang menggunakan metode reward dan

    punishment dalam menerangkan konsep taqwa kepada Allah SWT. Orang yang

    tidak bertaqwa kepada Allah akan mendapat punishment yaitu murka dan siksa

    dari Allah SWT.

    2. Akhlak Kepada Rasul

    Akhlak terhadap utusan Allah (Rasulullah) adalah menjalankan apa yang

    telah diajarkannya. Sebagai umat Islam, tentu kita wajib beriman kepada

    Rasulullah beserta risalah yang dibawanya. Untuk memupuk keimanan, kita

    perlu mengetahui dan mempelajari sejarah hidup beliau, sehingga dari situ kita

    dapat memetik banyak pelajaran dan hikmah (Salamulloh, 2008: 33).

    Rasullulah adalah sosok yang wajib diteladani dalam segala hal yang

    bersumber darinya, baik ucapan, perbuatan, maupun taqrir beliau. Segala

    sesuatu yang diperintahkan Rasulullah mengandung kemaslahatan, hal ini

    dikarenakan Rasulullah diutus oleh Allah untuk mengarahkan makhluknya

    menuju kebahagiaan.

    52

  • َىل اِ ةٌ دَ نِ تَ سْ مُ هِ يْ اهِ وَ نَـ وَ �