jurnal phbs

25
STUDI KORELASI PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DENGAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAWANGA KECAMATAN WAWOTOBI KABUPATEN KONAWE TAHUN 2006 Arpan Tombili* (*Staf Pengajar Prodi S1 Kesmas STIK Avicenna) Abstrak Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, penderita ISPA pada balita mencapai 73.570 orang (37,79%) pada tahun 2005. Di wilayah kerja Puskesmas Tawangatahun 2006 periode Januari sampai Juli, penderita ISPA pada balita mencapai 214 orang (32,77%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara PHBS tatanan rumah tangga (status imunisasi, kebersihan lingkungan perumahan, dan keterpaparan asap rokok) dengan ISPA pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah balita di wilayah kerja Puskesmas Tawanga yang berjumlah 684 orang, dengan sampel berjumlah 252 orang, sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak sederhana (simple random sampling). Data diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung dengan responden (ibu balita) dengan menggunakan kuesioner dan panduan observasi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 84 orang (33,33%) menderita ISPA dan 168 orang (66,67%) tidak menderita ISPA. 158 orang (62,70%) dengan status imunisasi lengkap dan 94 orang (37,30%) tidak lengkap, 108 rumah (42,86%) dengan lingkungan bersih dan 144 rumah (57,14%) dengan lingkungan tidak bersih, 195 orang (77,38%) terpapar asap rokok dan 57 orang (22,62%) tidak terpapar. Dari hasil analisis statistik, terdapat korelasi antara status imunisasi, kebersihan lingkungan perumahan, dan keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada balita. Kata Kunci : ISPA, Status Imunisasi, Lingkungan Rumah, Asap Rokok

Upload: roroayu23

Post on 21-Nov-2015

109 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal PHBS

TRANSCRIPT

  • STUDI KORELASI PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DENGAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAWANGA

    KECAMATAN WAWOTOBI KABUPATEN KONAWE TAHUN 2006

    Arpan Tombili*

    (*Staf Pengajar Prodi S1 Kesmas STIK Avicenna)

    Abstrak

    Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang paling sering

    menyebabkan kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, penderita

    ISPA pada balita mencapai 73.570 orang (37,79%) pada tahun 2005. Di wilayah kerja

    Puskesmas Tawangatahun 2006 periode Januari sampai Juli, penderita ISPA pada balita

    mencapai 214 orang (32,77%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara

    PHBS tatanan rumah tangga (status imunisasi, kebersihan lingkungan perumahan, dan

    keterpaparan asap rokok) dengan ISPA pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian

    epidemiologi analitik dengan pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini

    adalah balita di wilayah kerja Puskesmas Tawanga yang berjumlah 684 orang, dengan sampel

    berjumlah 252 orang, sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak sederhana

    (simple random sampling). Data diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung

    dengan responden (ibu balita) dengan menggunakan kuesioner dan panduan observasi. Hasil

    yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 84 orang (33,33%) menderita ISPA dan 168 orang

    (66,67%) tidak menderita ISPA. 158 orang (62,70%) dengan status imunisasi lengkap dan 94

    orang (37,30%) tidak lengkap, 108 rumah (42,86%) dengan lingkungan bersih dan 144 rumah

    (57,14%) dengan lingkungan tidak bersih, 195 orang (77,38%) terpapar asap rokok dan 57

    orang (22,62%) tidak terpapar. Dari hasil analisis statistik, terdapat korelasi antara status

    imunisasi, kebersihan lingkungan perumahan, dan keterpaparan asap rokok dengan ISPA

    pada balita.

    Kata Kunci : ISPA, Status Imunisasi, Lingkungan Rumah, Asap Rokok

  • PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator , salah

    satunya adalah angka kesakitan dan kematian bayi. Angka kematian bayi yang semula

    telah berhasil diturunkan dari 60 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1995 menjadi 45 per

    1000 pada tahun 1998 kelahiran hidup, ternyata dalam kurun waktu tiga tahun meningkat

    kembali menjadi 51 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2001 (Sujudi A, 2003).

    Menurut World Health Organization (WHO), penyakit ISPA merupakan penyakit yang

    paling sering menyebabkan kematian pada anak balita, sehingga ISPA masih merupakan

    penyakit yang yang mengakibatkan kematian cukup tinggi yang kebanyakan dari kematian

    tersebut disebabkan oleh pneumonia. Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan

    penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan yakni sebanyak 40% - 60%

    kunjungan berobat di puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di rumah sakit

    (Depkes RI, 2002).

    Rumah tangga sebagai wahana anggota keluarga dalam melakukan aktifitas keseharian

    memegang peranan penting dalam kejadian penyakit ISPA khususnya pada balita dimana

    faktor resiko sebagian besar berada dalanm lingkungan rumah. Faktor resiko yang

    meningkatkan insiden ISPA adalah gizi kurang, berat badan lahir rengah, tidak mendapat

    air susu ibu yang memadai, polusi udara, tempat tinggal padat, imunisasi tidak lengkap,

    dan defisiensi vitamin A (http://www.tempointeraktif.com, diakses 2006).

    Di Propinsi Sulawesi Tenggara, penyakit ISPA masih merupakan masalah utama di

    masyarakat, dimana penyakit ISPA selalu masuk dalam urutan 10 besar penyakit di

    puskesmas. Pada tahun 2003, penderita ISPA pada balita berjumlah 54.127 orang

    (23,36%) dari 231.707 orang, tahun 2004 berjumlah 33.054 orang (13,69%) dari 241.387

    orang, sedangkan pada tahun 2005 berjumlah 73.570 orang (37,79%) dari 194.672 orang

    (Dinkes Sultra, 2006).

    Berdasarkan data pada Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe, penderita ISPA pada balita

    tahun 2003 berjumlah 5.476 orang, tahun 2004 berjumlah 6.308 orang, tahun 2005

    berjumlah 8.291 orang, sedangkan pada tahun 2006 periode Januari sampai April

  • berjumlah 3.136 orang (Dinkes Konawe, 2006). Di wilayah kerja Puskesmas Tawanga,

    penderita ISPA pada balita tahun 2003 berjumlah 438 orang, tahun 2004 berjumlah 237

    orang, tahun 2005 berjumlah 216 orang, sedangkan pada tahun 2006 periode Januari

    sampai Juli, sedangkan pada tahun 2006 periode Januari sampai Juli berjumlah 214 orang

    (Laporan Puskesmas Tawanga, 2006)

    B. Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

    1. Apakah ada korelasi antara status imunisasi dengan ISPA pada balita ?

    2. Apakah ada korelasi antara kebersihan lingkungan perumahan dengan ISPA pada

    balita?

    3. Apakah ada korelasi antara keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada balita ?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara PHBS

    tatanan rumah tangga dengan ISPA pada balita.

    2. Tujuan Khusus

    Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

    2.1. Untuk mengetahui korelasi antara status imunisasi dengan ISPA pada balita.

    2.2. Untuk mengetahui korelasi antara kebersihan lingkungan perumahan dengan ISPA

    pada balita.

    2.3. Untuk mengetahui korelasi antara keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada

    balita.

  • D. Manfaat Penelitian

    Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

    1. Bagi Pemerintah

    Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga untuk

    mengkaji sekaligus mencari solusi terbaik untuk mencegah mininmal menekan angka

    kejadian penyakit ISPA di masyarakat.

    2. Bagi Masyarakat

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

    tentang upaya-upaya untuk mencegah dan menanggulangi penyakit ISPA.

    3. Bagi Peneliti

    Merupakan suatu pengalaman yang berharga dalam meningkatkan wawasan

    dalam bidang penelitian, sekaligus merupakan bahan perbandingan bagi penelitian

    selanjutnya

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita

    1. Pengertian

    Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) diadaptasi dari istilah dalam bahasa

    Inggris, yaitu Acute Respiratory Infections (ARI) yang mempunyai pengertian sebagai

    berikut :

    1.1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

    berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

    1.2. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ

    adneksanya seperti sinus-sinus rongga telinga tengah dan pleura.

    1.3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

  • Dengan demikian, ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu

    bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

    (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya sinus rongga telinga tengah dan pleura,

    yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes RI, 2002).

    2. Klasifikasi ISPA

    2.1. Kelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun

    2.1.1. Pneumonia berat, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran

    bernapas disertai penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.

    2.1.2. Pneumonia, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas

    disertai napas cepat. Batas napas cepat pada anak usia 2 bulan sampai kurang

    dari 1 tahun adalah 50 kali permenit dan 40 kali permenit untuk anak usia 1

    sampai 5 tahun.

    2.1.3. Bukan pneumonia, mencakup penderita dengan batuk yang tidak

    menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan

    adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.

    2.2. Kelompok umur kurang dari 2 bulan

    2.2.1. Pneumonia berat, ditandai dengan napas cepat yaitu frekuensi pernapasan

    sebanyak 60 kali permenit atau lebih disertai adanya penarikan dinding dada

    bagian bawah ke dalam.

    2.2.2. Bukan pneumonia, mencakup penderita dengan batuk yang tidak

    menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan

    adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Depkes RI, 2002)

    3. Etiologi dan Faktor Resiko ISPA

    Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri

    penyebabnya antara lain dari genus streptococcus, stafilococcuss, pneumococcus,

    hemofilus, bordetela, dan corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain dari

  • golongan microvirus, adenovirus, coronavirus, picornavirus, mycoplasma, herfesvirus,

    dan lain-lain (http://www.indosiar.com, diakses 2006).

    Disamping penyebab, perlu juga diperhatikan faktor resiko yang mempengaruhi

    dan atau memudahkan terjadinya penyakit ISPA, antara lain gizi kurang, berat badan

    lahir rengah, tidak mendapat air susu ibu yang memadai, polusi udara, tempat tinggal

    padat, imunisasi tidak lengkap, dan defisiensi vitamin A

    (http://www.tempointeraktif.com, diakses 2006).

    4. Penatalaksanaan Klinis ISPA

    Pada prinsipnya terapi utama ISPA adalah pemberian antibiotik yang sesuai

    dengan pengobatan simptomatis.disamping terapi obat perlu juga diberikan terapi

    supportif seperti pemberian oksigen, pemberian bronkodilator, fisioterapi dada untuk

    mengeluarkan dahak khususnya anjuran untuk batuk efektif dan napas dalam, serta

    pengaturan cairan (Dahlan, 2001).

    5. Penularan ISPA

    Umumnya ISPA menular secara langsung dari seorang penderita kepada orang

    lain melalui media udara. Pada saat batuk, banyak kuman/virus yang dikeluarkan dan

    dapat terhirup oleh orang lain yang berdekatan dengan penderita (Depkes RI, 2002)

    6. Pencegahan dan Pengobatan ISPA

    Penyakit ISPA dapat dicegah melalui pengadaan rumah dengan ventilasi yang

    memadai, perilaku hidup bersih dan sehat, dan peningkatan gizi balita. Sedangkan

    pengobatannya selama ini adala dengan pemberian antibiotik.

    B. Tinjauan Umum Tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah

    Tangga

    Perilaku adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dan lingkungan,

    khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan (Sarwono, 1993

    dalam Astuti ES, 2002).

  • Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan

    suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.Perilaku tidak sama

    dengan sikap. sikap hanyalah suatu kecenderungan untukmengadakan tindakan

    terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk

    menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. sikap hanyalah sebagian dari

    perilaku manusia (Notoatmodjo S, 2003).

    Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang

    (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit clan penyakit, system

    pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan

    (Enviromental Health Behavior) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai

    determinan kesehatan manusia. Perilaku ini mencakup:

    1. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk di dalamnya komponen, manfaat, dan

    penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.

    2. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segisegi hygiene

    pemeliharaan tehnik, dan penggunaannya.

    3. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Termasuk

    didalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat, serta dampak

    pembuangan limbah yang tidak baik.

    4. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, meliputi ventilasi, pancahayaan, lantai,

    dan sebagainya.

    5. Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang nyamuk (vector), dan sebagainya.

    (Notoatmodjo S, 2003).

    Perilaku. Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya untuk memberikan

    pengalaman belajar dari perorangan, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur

    komunikasi, memberikan informasi dan edukasi guna meningkatkan pengetahuan,

    sikap dan perilaku melaluipendekatan advokasi bina suasana (social support) dan gerakan

    masyarakat (empowerment) sehingga dapat menerapkan care-care hidup sehat dalam

    menjaga, emelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. (Depkes, 2000)

  • Indikator adalah suatu pentujuk yang membatasi fokus perhatian suatu penilaian.

    Indikator dalam PHBS diarahkan pada 5 aspek program prioritas penyuluhan, yaitu KIA,

    gizi, kesehatan lingkungan, gaya hidup dan peran serta masyarakat dalam upaya

    kesehatan.

    Dinkes Sultra memberi batasan tentang indikator PHBS tatanan rumah tangga,

    yaitu:

    1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

    2. Imunisasi dan penimbangan balita

    3. Seluruh keluarga buang air besar di jamban

    4. Seluruh keluarga menggunakan air bersih

    5. Tidak ada sampah yang berserakan

    6. Kuku anggota keluarga pendek dan bersih

    7. Keluarga biasa makan makanan yang beraneka ragam

    8. Semua anggota keluarga tidak merokok

    9. Pernah mendengar AIDS

    10. Keluarga menjadi anggota dana sehat

    (Dinkes Sultra, 2002).

    1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

    Perilaku atau pola asuh ibu dalam merawat dan memelihara anak, sangat

    menentukan status kesehatan anak tersebut. dalam hal kejadian ISPA, pola asuh ibu

    yang mempengaruhi kejadian ISPA adalah pernberian Air Susu Ibu (ASI) yang

    memadai.

    ASI merupakan satu-satunya makanan yang paling sempuma bagi bayi.

    Sempurna bukan hanya karena lengkapnya zat gizi yang ada pada ASI, lebih dari itu

    ASI merupakan zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dan anak dari berbagai

    penyakit infeksi (Depkes RI, 2000).

    Yang dimaksud dengan pemberian ASI utamanya ASI eksklusif pada bayi adalah

    bayi hanya diberi ASI tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air

    teh, bahkan air putih sekalipun. Selain tambahan cairan, bayi juga tidak diberi

  • makanan padat lain. seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan lain-

    lain (Roesli, 2001).

    2. Status Imunisasi

    Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, atau resisten. Anak

    diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak

    kebal atau resisten tarhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit

    lain (Notoatmodjo S, 2003).

    Kekebalan terhadap suatu penyakit dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu:

    a. Kekebalan tidak spesifik (non specific resistance) adalah faktor-faktor non khusus

    pada sistem pertahanan tubuh manusia yang secara alamiah dapat melindungi badan

    dari suatu penyakit, misalnya : kulit dan air mata.

    b. Kekebalan spesifik (specific resistance) terdiri dari 2 sumber yaitu kekebalan

    genet ik dan kekebalan yang diperoleh (acquaceid immunity).

    Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit untuk

    meningkatkan kualitas hidup. Perkembangan dan efektivitas program

    imunisasi dapat dinilai dari penurunan angka kesakitan dan kematian penyakit tersebut.

    Program imunisasi nasional untuk bayi 0-11 bulan meliputi imunisasi BCG, DPT,

    Polio, Hepatitis B, dan Campak. Dari kelima jenis program imunisasi tersebut, penyakit

    ISPA dapat dicegah dengan imunisasi campak, pertusis, difteri, dan tuberkulosis anak

    (Tjitra E, dkk, 1996).

    Pencegahan ISPA melalui imunisasi BCG dan DPT, cukup esensial untuk

    menyiapkan balita menghadapi lingkungan yang tidak selalu bisa dijamin

    kebersihan udaranya. Selain itu, asupan makanan yang kaya gizi tentu akan

    mempertahankan stamina balita itu sendiri (http://www.indosiar.com, diakses 2006).

    3. Kebersihan Lingkungan Perumahan

    Upaya penanggulangan penyakit seharusnya tidak hanya melibatkan agent dan

    host semata melainkan juga faktor lingkungan yang ternyata berperan sangat

  • besar. Memang tidak selalu lingkungan sebagai penyebab melainkan juga sebagai

    penunjang, media transmisi, maupun memperberat penyakit yang telah ada. Untuk itu

    lingkungan rumah harus tetap terjaga kebersihannya. (Anies, 2005).

    Sampah sebagai bagian dari lingkungan, erat kaitannya dengan kesehatan

    masyarakat, karena dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai

    mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen) dan juga binatang serangga

    (vector). Sampah adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi

    oleh manusia, atau benda padat yang tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan

    manusia dan dibuang. Akan tetapi bukan semua benda padat yang tidak digunakan

    dan dibuang disebut sampah. Dengan demikian, sampah mengandung prinsip-prinsip

    sebagai berikut:

    a. Adanya suatu benda atau bahan padat

    b. Adanya hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan manusia.

    c. Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi (Notoatmodjo S, 2003).

    Menurut Abdul Chalik kepala dinas kesehatan DKI Jakarta, sampah yang

    menumpuk dapat menjadi sumber penyakit saluran pencernaan seperti kolera dan

    disentri, serta penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA

    (http://www.penyakitmenular.com, diakses 2006).

    4. Status Gizi

    Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

    penggunaan zat-zat gizi, yang dapat dibedakan antara status gizi buruk, status gizi

    kurang, status gizi baik, dan status gizi lebih. Makanan gizi yang baik merupakan

    salah satu dasar utama kesehatan termasuk bagi anak, yang masih membutuhkan zat

    gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan, baik secara fisik maupun mental

    sehingga terhindar dari berbagai penyakit infeksi (Almatsier, 2001).

    Antara status gizi dan penyakit infeksi, terdapat hubungan yang sinergis.

    timbulnya penyakit infeksi dalam tubuh, dapat mengurangi selera makan sehingga

    asupan makanan dan zat gizi juga berkurang, dan yang paling penting adalah efek

  • langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Sebaliknya, konsumsi

    makanan yang tidak mencukupi kebutuhan gizi dalam tubuh dapat mempengaruhi

    imunitas tubuh seseorang, sehingga memudahkan terjadinya berbagai penyakit

    infeksi seperti cacingan, diare, ispa, dan sebagainya.

    Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Akan tetapi cara

    yang lazim digunakan melalui pengukuran antropometri. lndeks antropometri yang

    sering digunakan dalam penelitian status gizi adalah berat badan, tinggi badan,

    lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, dan lapisan lemak bawah kulit.

    5. Keterpaparan Asap Rokok

    Rokok merupakan salah satu produk industr i dan komodit i

    internasional yang mengandung sekitar 3000 bahan kimia. Unsur-unsur yang penting

    antara lain: tar, nikotin, berzopyrin, metil klorida, aseton, amonia, dan karbon

    monoksida.

    Kebiasaan merokok lazim dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, d imana-mana

    mudah menemukan orang merokok, betapa merokok merupakan bagian hidup

    masyarakat sekarang ini. Dari segi kesehatan tidak ada satu pihakpun yang

    menyetujui atau melihat manfaat yang dikandungnya, namun tidak mudah untuk

    menurunkan terlebih menghilangkan kebiasaan merokok tersebut.

    Rokok dapat dikatakan sudah mencapai t ingkat pendemisitas.

    Prevalensi konsumsi rokok cukup tinggi, dengan kecenderungan peningkatan

    penggunaannya terutama di Negara-negara berkembang, Tanda-tanda pandemisitas

    rokok adalah sebagai berikut:

    a. Diperkirakan sebesar 1,1 milyar perokok di dunia, berumur 15 tahun keatas

    (1/3 dari total peduduk dunia)

    b. Delapan ratus juta perokok berada di negara-negara sedang berkembang, terutama di

    Asia, dan didominasi oleh kaum pria (700 juta)

    c. Peningkatan konsumsi rokok sudah mencapai 7 juta ton pertahun, dengan

    peningkatan 0,25%

  • d. Rata-rata rokok yang diisap adalah 24 gram perhari di negara-negara maju dan 14

    gram perhari di negara-negara sedang berkembang

    e. Menjelang tahun 2020, kematian yang disebabkan oleh rokok akan

    meningkat sampai 10 juta kematian, dimana 70% terjadi di negara

    berkembang (Bustan MN, 2000).

    Asap rokok merupakan sumber polusi dalam ruangan yang secara langsung

    dapat mengganggu kondisi fisik seperti iritasi mata dan hidung, sakit kepala,

    tenggorokan serak, batuk, pusing,dan gangguan pernapasan (http://www.idionline.org,

    diakses 2006).

    Balita yang orang tuanya merokok, lebih kerap, batuk dan lelah, sering terkena

    infeksi telinga, sering pergi ke rumah sakit karena bronchitis dan pneumonia, dan

    mempunyai paru-paru yang kurang berfungsi. http://eraedar.tripod.com, diakses 2006).

    Dar i hasil penelit ian yang dilakukan Azhar Tanjung (1987),

    menyimpulkan bahwa ada hubungan antara merokok dengan timbulnya ISPA bawah

    yang disebabkan oleh Branhamella Catarrhalis (http://www.kalbefarma.com, diakses

    2006).

    METODE PENELITIAN

    A. Jenis dan Rancangan Penelitian

    Jenis penelitian ini adalah penelitian epidemiologi analitik dengan pendekatan

    cross sectional, dimana variabel-variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel

    efek diobservasi sekaligus pada waktu yang bersamaan.

    B. Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 5 September sampai dengan 4

    Oktober 2006, di Wilayah Kerja Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi

    Kabupaten Konawe.

  • C. Populasi dan Sampel

    1. Populasi

    Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita di wilayah kerja

    Puskesmas Tawanga tahun 2006 periode Januari sampai Agustus, yang

    berjumlah 684 balita.

    2. Sampel

    Responden adalah orang tua (ibu) balita yang terpilih sebagai sampel. Sampel

    adalah bagian dari populasi. Besarnya- sampel (Sample Size), ditentukan dengan

    menggunakan rumus :

    n = 1 + N (d2)

    Keterangan :

    d = Derajat ketepatan yang diinginkan (0,05)

    N = Besarnya populasi

    n = Besarnya sampel

    N= 684 n = 1 + N (d2) n = 1 + 684 (0,05)2 n = 1 + 684 (0,0025) n = 1 + 1,71 n = 2,7 1 n = 252 balita Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Acak sederhana

    (simple random sampling) (Notoatmodjo S, 2002).

    D. Identifikasi Variabel Penelitian

    Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas dan

    variabel terikat.

    1. Variabel bebas meliputi :

    2.1. Status imunisasi

  • 2.2. Kebersihan lingkungan perumahan

    2.3. Keterpaparan asap rokok

    2. Variabel terikat adalah kejadian ISPA pada balita

    E. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

    1. ISPA pada balita adalah infeksi akut yang ditandai dengan salah satu atau lebih

    dari gejala batuk, sesak napas, napas cepat, dengan atau tanpa panas dan tanda berat

    lainnya seperti penarikan dinding dada bagian bawah kedalam, yang berlangsung

    selama 14 hari dan terjadi pada balita.

    Kriteria obyektif :

    Menderita : Apabila menunjukkan satu atau lebih dari gejala ISPA

    Tidak menderita : Apabila tidak menunjukkan gejala ISPA

    2. Status imunisasi adalah kelengkapan pemberian imunisasi pada balita dalam upaya

    pencegahan penyakit dan peningkatan kualitas hidup, dengan melihat Kartu Menuju

    Sehat (KMS) atau Kartu Imunisasi.

    Kriteria obyektif :

    Lengkap : Apabila balita telah mendapat imunisasi secara lengkap.

    Tidak lengkap : Apabila balita tidak atau belum mendapat imunisasi secara lengkap.

    3. Kebersihan lingkungan perumahan adalah suatu keadaan dimana lingkungan bebas dari

    sampah yang berserakan!menumpuk.

    Kriteria obyektif :

    Bersih : Apabila dalam lingkungan rumah tidak ada sampah yang

    berserakan/menumpuk.

  • Tidak bersih : Apabila dalam lingkungan rumah ada sampah yang

    berserakan/menumpuk.

    4. Keterpaparan asap rokok adalah suatu keadaan dimana balita berada pada pengaruh

    atau berinteraksi dengan asap rokok.

    Kriteria obyektif :

    Terpapar : Apabila dalam rumah terdapat asap rokok.

    Tidak terpapar : Apabila dalam rumah tidak terdapat asap rokok.

    F. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

    1. Data primer

    Data primer meliputi data hasil wawancara langsung dari responder (ibu

    balita) dengan menggunakan panduan observasi dan daftar pertanyaan atau kuesioner

    2. Data sekunder

    Data sekunder meliputi data penunjang lainnya yang diperoleh dari puskesmas

    dan instansi terkait lainnya.

    G. Pengolahan dan Analisa Data

    Pengolahan data dilakukan secara manual dengan menggunakan kalkulator.

    Sedangkan analisis data dilakukan dengan 3 cara yaitu :

    1. Analisis univariat

    Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik sampel terkait

    dengan variabel penelit ian, dalam bentuk persentase. Dengan menggunakan

    rumus :

    2. Analisis bivariat dengan Chi - Square (X2)

  • Analisis ini digunakan untuk mengetahui korelasi antara variabel bebas

    dengan variabel terikat, dengan menggunakan rumus

    X2 hitung : N {(AD BC) N/2)2

    (A+B) (C+D) (A+C) (B+D)

    a. Jika X2 hitung > X2 tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima pada tarafsignifikan 95

    %, berarti ada korelasi antara. PHBS tatanan rumah tangga dengan ISPA pada

    balita di wilayah ker ja Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi

    Kabupaten Konawe.

    b. Jika X2 hitung 2 tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf signifikan 95

    %, berarti tidak ada korelasi antara PHBS tatanan rumah tangga dengan ISPA pada,

    balita di wilayah kerja Puskesmas TawangaKecamatan Wawotobi Kabupaten

    Konawe.

    H. Penyajian Data

    Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

    disertai dengan penjelasan. variabel yang diteliti, disertai dengan narasi secukupnya.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Hasil

    Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tawanga pada

    tanggalSeptember 2006 sampai dengan 5 Oktober 2006, dengan jumlah sampel sebanyak

    252 balita. Berdasarkan hasil pengolahan data yang -telah dilakukan, maka disajikan hasil

    penelitian sebagai berikut :

    1. Karakteristik Sampel (Analisis Univariat)

    Karakteristik sampel dengan analisis univariat. baik karakteristik umum sampel

    (umur dan jenis kelamin) dan karakteristik khusus sampel (status ISPA, status

    imunisasi, kebersihan lingkungan perumahan, dan keterpaparan asap rokok) dapat

    dilihat pada tabel berikut :

  • 1.1. Status Infeksi Saluran Pemapasan Akut (ISPA)

    Tabel 1.

    Distribusi Responden Menurut Status Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

    Status ISPA n %

    Menderita 84 33,3

    Tidak

    Menderita 168 66,67

    Total 252 100

    Sumber: Data Primer Diolah, 2006

    Berdasarkan tabel 7, status ISPA pada balita dalam penelitian ini terdiri

    dari menderita ISPA sebanyak 84 orang (33,33 %) dan tidak menderita

    ISPA sebanyak 168 orang (66,67 %).

    1.2. Status Imunisasi

    Tabel 2.

    Distribusi Responden

    Menurut Status Imunisasi

    Status Imunisasi N %

    Lengkap 158 62,70

    Tidak Lengkap 94 37,30

    Total 252 100

    Sumber: Data Primer Diolah, 2006

    Berdasarkan tabel 2, status imunisasi pada balita dalam penelitian ini

    terdiri dari imunisasi lengkap sebanyak 158 orang (62,70 %) dan imunisasi

    tidak lengkap sebanyak 94 orang (32,30 %).

  • 1.3. Kebersihan Lingkungan Perumahan

    Tabel 3. Distribusi Responden menurut Kebersihan Lingkungan Perumahan

    Kebersihan Ling

    Perumahan n %

    Bersih 108 42,86

    Tidak bersih 144 57,14

    Total 252 100

    Sumber : Data Primer Diolah, 2006

    Berdasarkan tabel 3, lingkungan perumahan responder dalam

    penelitian ini terdiri dari lingkungan perumahan yang bersih sebanyak 108 orang

    (42,86 %) dan lingkungan perumahan yang tidak bersih sebanyak 144 orang

    (57,14 %).

    1.4. Keterpaparan Asap Rokok

    Tabel 4. Distribusi Responden

    Menurut Keterpaparan Asap Rokok Keterpaparan Asap Rokok

    Rokok n %

    Terpapar 195 77,38

    Tidak Terpapar 57 22,62

    Total 252 100

    Sumber : Data Primer diolah, 2006

    Berdasarkan tabel 4, keterpaparan asap rokok pada balita terdiri dari terpapar

    sebanyak 195 orang (11,38) dan yang tidak terpapar sebanyak 57 (22,62%).

    2. Analisis Bivariat dengan Chi - Square (X2)

    Pada penelitian ini, untuk mengetahui korelasi antara variabel bebas dan variabel

    terikat digunakan teknik analisis Chi - Square (X2) yang berpedoman pada :

    jika X2 hitung lebih besar dari X2 tabel maka berarti terdapat korelasi antara Perilaku

    Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tatanan rumah tangga dengan ISPA pada balita,

  • sebaliknya jika X2 hitung lebih kecil dari X2 tabel maka berarti tidak terdapat korelasi

    antara PHBS tatanan rumah tangga dengan ISPA pada balita, pada taraf signifikan

    95% ( = 0,05).

    2.1. Hubungan Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

    Tabel 5. Distribusi Kejadian ISPA pada Balita

    Menurut Status Imunisasi

    Status Imunisasi

    Status ISPA Jumlah

    Menderita Tidak

    N % n % n %

    Lengkap 45 17,86 113 44,84 158 62,70

    Tidak 39 15,48 55 21,83 94 37,30

    Total 84 33,33 168 66,67 252 100

    Berdasarkan tabel 5, terdapat 158 orang (62,70%) yang status imunisasinya

    lengkap, dimana 45 orang (17,86%) menderita ISPA dan 113 orang (44,84%) tidak

    menderita ISPA. Sedangkan balita yang imunisasinya tidak lengkap sebanyak 94

    orang (37,30%), dimana 39 orang (15,48%) menderita ISPA dan 55 orang

    (21,83%) tidak menderita ISPA.

    Dari hasil analisis bivariat dengan Chi - Square, ditemukan korelasi antara

    status imunisasi dengan ISPA pada balita (X2 hitung = 5,092 > X2 tabel = 3,841, =

    0,05).

  • 2.2. Hubungan Kebersihan Lingkungan Perumahan Dengan Kejadian ISPA Pada

    Balita

    Tabel 6. Distribusi Kejadian ISPA pada Balita

    Menurut Kebersihan Lingkungan Perumahan

    Kebersihan Lingkungan

    Perumahan

    Status ISPA Jumlah

    Menderita Tidak

    n % n % n %

    Bersih 25 9,92 83 32,94 108 42,68

    Tidak 59 23,41 85 33,73 144 57,14

    Total 84 33,33 168 66,67 252 100

    Berdasarkan tabel 6, terdapat 108 orang (42,68%) yang lingkungan

    perumahannya bersih, dimana 25 orang (9,92%) menderita ISPA dan 83 orang

    (32,94%) tidak menderita ISPA. Sedangkan balita yang lingkungan perumahannya

    tidak bersih sebanyak 144 orang (57,14%), dimana 59 orang (23,41%) menderita

    ISPA dan 85 orang (33,73%) tidak menderita ISPA.

    Dari hasil analisis dengan Chi - Square, ditemukan korelasi antara kebersihan

    lingkungan perumahan dengan ISPA pada balita (X2 hitung = 6,643 > X2 tabel =

    3,841, = 0,05).

    2.3. Hubungan Keterpaparan Asap Rokok Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

    Tabel 7. Distribusi Kejadian ISPA pada Balita Menurut Keterpaparan Asap Rokok

    Keterpaparan Asap

    Rokok

    Status ISPA Jumlah

    Menderita Tidak

    n % n % n %

    Terpapar 72 228,57 123 48,81 195 77,38

    Tidak 12 4,46 45 17,86 57 22,62

    Total 84 33,33 168 66,67 252 100

    Berdasarkan tabel 7, terdapat 195 orang (77,38%) yang terpapar asap rokok,

    dimana 72 orang (28,57%) menderita ISPA dan 123 orang (48,81%) tidak

  • menderita ISPA. Sedangkan balita yang tidak terpapar asap rokok sebanyak 57

    orang (22,62%), dimana 12 orang (4,46%) menderita ISPA dan 45 orang (17,86%)

    tidak menderita ISPA.

    Dari hasil analisis bivariat dengan Chi - Square, ditemukan korelasi antara

    keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada balita (X2 hitung = 4,311 > X2 tabel =

    3,841, = 0,05).

    B. Pembahasan

    Setelah dilakukan pengolahan data, analisis data, dan penyajian data, maka sesuai

    variabel yang diteliti dilakukan pembahasan hasil penelitian sebagai berikut :

    1. Status Imunisasi

    Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit untuk

    meningkatkan kualitas hidup, perkembangan dan efektifitas program

    imunisasi dapat dinilai dari penurunan angka kesakitan dan kematian penyakit

    tersebut. Pencegahan ISPA melalui imunisasi campak, petugas, difteri dan

    tuberkulosis anak, cukup esensial untuk menyiapkan balita menghadapi lingkungan

    yang tidak selalu bisa dijamin kebersihan udaranya.

    Pada penelitian ini ditemukan korelasi antara status imunisasi dengan ISPA pada

    balita. Maka dapat diinterpretasikan bahwa balita yang status imunisasinya tidak

    lengkap akan meningkatkan resiko terjadinya ISPA, (X2 hitung = 5,092 > X2 tabel =

    3,841, = 0,05).

    Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

    Agustina (2005), yang menyatakan bahwa balita yang imunisasinya tidak

    lengkap lebih beresiko untuk terkena ISPA khususnya pneumonia

    dibandingkan balita yang status imunisasinya lengkap. Penelitian Eny Ratna Dewi

    (2005), juga mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara status imunisasi balita

    dengan ISPA, dimana balita yang status imunisasinya tidak lengkap lebih beresiko

    terkena ISPA dibanding balit a yang status imunisasinya lengkap.

  • Menurut Tjitra dkk (1996), penyakit ISPA dapat dicegah dengan imunisasi

    campak, pertusis, difteri, dan tuberculosis pada anak.

    2. Kebersihan Lingkungan Perumahan

    Faktor lingkungan berperan besar dalam menentukan derajat

    kesehatan masyarakat, dimana lingkungan tidak hanya sebagai penyebab

    melainkan juga sebagai penunjang, media transisi, maupun memperberat

    penyakit yang telah ada. Sampah sebagai bagian dari lingkungan, erat

    kaitanya dengan kesehatan masyarakat karena dari sampah -sampah tersebut akan

    hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen) dan juga

    binatang serangga (vektor). Untuk itu, lingkungan rumah harus senantiasa bebas

    dari sampah yang.

    Pada penelitian ini ditemukan korelasi antara kebersihan lingkungan perumahan

    dengan ISPA pada balita. Maka dapat diinterpretasikan bahwa balita yang lingkungan

    rumahnya tidak bersih akan meningkatkan resiko terjadinya ISPA, (X2 hitung = 6,643 >

    X2 tabel = 3,841, = 0,05).

    Menurut Abdul Chalik kepala dinas kesehatan DKI Jakarta, sampah yang

    menumpuk dapat menjadi sumber penyakit saluran pencernaan seperti kolera dan

    disentri, serta penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA.

    3. Keterpaparan Asap Rokok

    Kebiasaan merokok lazim dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, dimana

    rokok merupakan bagian hidup masyarakat sekarang ini. Dari segi kesehatan, tidak

    satu pihak pun yang melihat manfaat yang dikandungnya. Menjelang tahun 2020,

    kematian yang disebabkan oleh rokok akan meningkat sampai 10 juta kematian,

    dimana 70 % terjadi di Negara berkembang. Asap rokok merupakan sumber polusi

    dalam ruangan yang secara langsung dapat mengganggu kondisi fisik seseorang

    seperti iritasi mata dan hidung, sakit kepala, tenggorokan serak, batuk, pusing

    dan gangguan pernapasan.

    Pada penelitian ini ditemukan korelasi antara keterpaparan asap rokok dengan

    ISPA pada balita. Maka dapat diinterpretasikan bahwa balita yang terpapar asap rokok

  • akan meningkatkan resiko terjadinya ISPA, (X2 hitung = 4,311 > X2 tabel = 3,841, =

    0,05).

    Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Irfan (2005),

    yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok dalam rumah merupakan faktor resiko

    kejadian ISPA khususnya pneumonia pada balita. Penelitian Hidayat (2005), juga

    mengemukakan bahwa paparan asap rokok berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada

    balita, dimana balita yang terpapar asap rokok beresiko lebih besar untuk terkena ISPA

    dibanding balita yang tidak terpapar asap rokok.

    Dari hasil penelit ian yang dilakukan Azhar Tanjong (1987),

    menyimpulkan bahwa ada hubungan antara merokok dengan timbulnya ISPA bawah

    yang disebabkan oleh Branhamella Catarrhalis.

    PENUTUP

    A. Simpulan

    1. Ada korelasi antara status imunisasi dengan ISPA pada balita di wilayah kerja

    Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe.

    2. Ada korelasi antara kebersihan lingkungan perumahan dengan ISPA pada balita di

    wilayah kerja Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe.

    3. Ada korelasi antara keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada balita di wilayah

    kerja Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe.

    B. Saran

    1. Perlu dilakukan penyuluhan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada tatanan

    rumah tangga guna meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan, khususnya

    terkait dengan pencegahan penyakit ISPA.

    2. Diharapkan kepada masyarakat untuk lebih memperhatikan kebersihan lingkungan

    perumahan untuk mencegah penularan penyakit oleh agent ataupun vektor penyakit,

    khususnya penyakit ISPA.

  • 3. Diharapkan kepada orang tua balita untuk menghentikan kebiasaan merokok dalam rumah.

    4. Diharapkan kepada orang tua (ibu) balita untuk selalu membawa balitanya ke posyandu

    untuk di imunisasi secara lengkap.

    DAFTAR PUSTAKA

    Agustina, 2005. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita

    Di Desa Anggalomoare dan Desa Lasolo Kecamatan Sampara. Skripsi STIK

    Avicennayang tidak dipublikasikan, Kendari.

    Almatsier S, 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

    Anies, 2006. Mewaspadai Penyakit Lingkungan. PT. Alex Media Komputindo, Jakarta.

    Astuti ES, 2002. Upaya Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Dalam Rangka

    Pembangunan Kesehatan Nasional. Jurnal Kesehatan Avicenna 1,2 2004, Kendari.

    Bustan MN, 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta.

    Dahlan, 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit FKUI, Jakarta.

    Depkes RI, 2000. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jakarta.

    ________, 2000. Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi Ibu Hamil dan Ibu Menyusui.

    Jakarta.

    ________ , 2002. Pedoman Pemberantasan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Untuk

    Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Jakarta.

    Dewi ER, 2005. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita di Kelurahan

    Bataraguru Kecamata Woliao Kota Bau-bau. Skripsi STIK Avicenna yang tidak

    dipublikasikan, Kendari.

    Dinkes Sultra, 2002. Buku Panduan Manajemen Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Tingkat

    Puskesmas. Kendari.

    ___________ , 2006. Profil Dinkes Sultra. Kendari.

    Dinkes Konawe, 2006. Profil Dinkes Konawe. Unaaha.

    Hidayat, 2005. Studi Retrospektif Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

    Tongkuno Kecamatan Tongkuno Kabupaten Muna. Skripsi STIK Avicenna yang

    tidak dipublikasikan, Kendari.

  • http://www.eraedar.tripod.com, diakses 2006

    http://www.idionline.com, diakses 2006

    http://www.indosiar.com, diakses 2006

    http://www.kalbefarma.com, diakses 2006

    http://www.penyakitmenular.com, diakses 2006

    http://www.tempointeraktif.com, diakses 2006

    Irfan, 2005. Faktor-faktor Resiko Kejadian ISPA Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja

    Puskesmas Wuna Kecamatan Barangka Kabupaten Muna. Skripsi STIK Avicenna

    yang tidak dipublikasikan, Kendari.

    Notoatmodjo S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.

    ______________ , 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar). Rineka Cipta,

    Jakarta.

    Puskesmas Tawanga, 2006. Profil Puskesmas Tawanga. Unaaha.

    Roesli, 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif, Dilengkapi Makanan Pendamping Tepat dan

    Imunisasi Lengkap. PT. Alex Media Komputindo, Jakarta.

    STIK Avicenna, 2003. Pedoman Akdemik STIK Avicenna. Kendari.

    Sujudi A, 2003. Lingkungan Sehat Untuk Anak. Makalah Disajikan Dalam Seminar

    Peringatan Hari Kesehatan Sedunia Ke-55, Jakarta.

    Tjitra E, dkk, 1996. Status Imunisasi dan Kesakitan Anak Umur 1 2 Tahun (BATITA)

    Analisis Lanjut SKDI 1994. Buletin Kesehatan, Jakarta.