kumpulan jurnal

78
Volume 6 No. 5 November 2005 Penanggung Jawab : Ir. Rosnani Ginting, MT Ketua Jurusan Teknik Industrik Fakultas Teknik USU Pimpinan Umum : Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng Pimpinan Redaksi : Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng Ir. Hj. Yuliza Hidayati, MT Anggota Redaksi : Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M.Eng Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE Dr. Ir. Humala L. Napitupulu, DEA Ir. Harmein Nasution, MSIE Ir. Sugih Arto Pujangkoro, MM Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc Ir. Nazaruddin, MT Ir. Poerwanto, M.Sc Ir. Nazlina, MT Ir. Nurhayati Sembiring, MT Ir. Tuti S Sinaga, MT Pemasaran/Sirkulasi/Promosi : Ir. Tanib Sembiring, M. Eng Aulia Ishak, ST. MT Buchari, ST Ir. Dini Wahyuni, MT Editing : Ir. Danci Sukatendal Ir. Ukurta Tarigan, MT Nisma Panjaitan, ST Dina M. Nasution Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Teknik Indusri Fakultas Teknik USU, Gedung Unit II Lantai 2, Jl. Almamater Kampus USU Medan, 20155. Telp. (061) 8213649 Fax.(061) 8213250 Homepage : http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail : [email protected] m Diterbitkan : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU Medan Harga Berlangganan : Rp. 125.000 per tahun (termasuk ongkos kirim). Biaya dikirim melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via Bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening : 005084001 a.n. Ir. T. Sembiring dan mengisi form berlangganan yang disediakan. Jurnal Sistem Teknik Industri diterbitkan 4 (empat) kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Redaksi menerima karangan ilmiah tentang hasil penelitian, survei, dan telaah pustaka yang erat hubunganya dengan bidang teknik industri. Penulis yang naskahnya dimuat akan dihubungi sebelum dicetak dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 350.000,- per artikel yang dapat dikirim melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening 005084001 a.n.Ir. T. Sembiring. JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]

Upload: nunkifath

Post on 28-Apr-2015

512 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal teknik

TRANSCRIPT

Page 1: kumpulan jurnal

Volume 6 No. 5 November 2005 Penanggung Jawab : Ir. Rosnani Ginting, MT Ketua Jurusan Teknik Industrik Fakultas Teknik USU Pimpinan Umum : Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng Pimpinan Redaksi : Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng Ir. Hj. Yuliza Hidayati, MT Anggota Redaksi : Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M.Eng Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE Dr. Ir. Humala L. Napitupulu, DEA Ir. Harmein Nasution, MSIE Ir. Sugih Arto Pujangkoro, MM Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc Ir. Nazaruddin, MT Ir. Poerwanto, M.Sc Ir. Nazlina, MT Ir. Nurhayati Sembiring, MT Ir. Tuti S Sinaga, MT Pemasaran/Sirkulasi/Promosi : Ir. Tanib Sembiring, M. Eng Aulia Ishak, ST. MT Buchari, ST Ir. Dini Wahyuni, MT Editing : Ir. Danci Sukatendal Ir. Ukurta Tarigan, MT Nisma Panjaitan, ST Dina M. Nasution Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Teknik Indusri Fakultas Teknik USU, Gedung Unit II

Lantai 2, Jl. Almamater Kampus USU Medan, 20155. Telp. (061) 8213649 Fax.(061) 8213250

Homepage : http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail : [email protected] Diterbitkan : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU Medan Harga Berlangganan : Rp. 125.000 per tahun (termasuk ongkos kirim). Biaya dikirim

melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via Bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening : 005084001 a.n. Ir. T. Sembiring dan mengisi form berlangganan yang disediakan.

Jurnal Sistem Teknik Industri diterbitkan 4 (empat) kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Redaksi menerima karangan ilmiah tentang hasil penelitian, survei, dan telaah pustaka yang erat hubunganya dengan bidang teknik industri. Penulis yang naskahnya dimuat akan dihubungi sebelum dicetak dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 350.000,- per artikel yang dapat dikirim melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening 005084001 a.n.Ir. T. Sembiring.

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]

Page 2: kumpulan jurnal

Volume 6 No. 5 November 2005 EDITORIAL Studi pada artikel membahas tentang proses pengendalian kualitas perusahaan melakukan inspeksi atau pemeriksaan pada setiap bagian proses produksi, penyederhanaan elemen-elemen gerakan kerja mengkombinasikan beberapa elemn kegiatan kerja dan merancang tempat kerja sesuai dengan postur kerja yang ergonomis. Hubungan antara strategi prioritas tingkatan fungsi dan tingkatan suatu bisnis agar menghasilkan, suatu Penelitian terhadap sifat-sifat Geosintetik terhadap tekanan-tekanan yang disebabkan oleh komposit tanah, analisa Geographic Information System (GIS) membantu dalam pengambilan keputusan tentang penentuan lahan urug, GIS telah digunakan untuk membantu mengambil keputusan dalam proses penentuan lokasi, kerusakan lingkungan yang terjadi seperti global akibat dampak rumah kaca, perubahan iklim, pengurangan sumber daya alam dan penemaran limbah. Pembangunan permukiman yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi social, ekonomi dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Untuk mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan akan dihadapi konflik-konflik yang perlu dicari solusinya. Penyerapan energi listrik oleh tangki air dan tangki secara keseluruhan terpakai untuk memanaskan air dan juga penyerapan panas oleh tangki tempat air itu sendiri. Pengukuran susseptibilitas menunjukkan perilaku mirip spin glass yang merupakan ciri dari dinamika fluktuasi kluster SDW. Keberadaan fluktuasi SDW menandakan ketidak-stabilan struktur magnetic pada campuran tersebut. Pada campuran jenis struktur Cu3Au, hamburan diffusi ferromagnetic umumnya terlihat pada daerah tengah jenis struktur Cu3Au. Perhitungan dan prediksi nilai Return on Investment (ROI = Pengembalian Keuntungan Investasi) memerlukan kemampuan di bidang financial sehingga dapat menterjemahkan investasi dari program pelatihan kedalam angka-angka sehingga dapat dilihat dengan jelas hasil perhitungannya. Esterifikasi adalah suatu proses mereaksikan Alkil alcohol dengan suatu bahan tertentu yang dalam penelitian ini menggunakan trigliserida yaitu stearin. Hasil penelitian menunjukkan temperature 6000 C dengan jumlah katalis 3% berat stearin menghasilkan volume metil ester menghasilkan volume metal ester maksimum 19 ml dengan kemurnian 100% sehingga konversi reaksi adalah 76%. Penggunaan metode simulasi dapat diputuskan bahwa untuk pasien sebagai sumber input (customer) dan bed sebagai pelayan (server). Dengan metode simulasi dapat diputuskan bahwa untuk kondisi saat ini di ruang ICU membutuhkan tambahan bed sebanyak 2 buah. System computer pendukung integrasi proses merupakan suatu perangkat dalam kegiatan operasional yang akan memberikan jalan menuju efektifits mata rantai metodologi rekayasa simultan. Sistem komputer pendukung integrasi proses adalah diperoleh kemudahan proses integrasi dalam metodologi rekayasa simultan yang pada akhirnya mengurangi waktu penyelesaian desain dan proses dan proses penghematan terhadap biaya operasional. Type kerusakan yang terjadi kebanyakan adalah bangunan dikarenakan struktur belum memenuhi persyaratan demikian juga rancangan struktur juga masih belum memenuhi syarat terjadinya kerusakan bangunan akibat likuifaksi, dimana tanah pondasi yang bermasalah di Gunung Sitoli. Setelah melakukan perbaikan hasil yang diperoleh adalah adanya peningkatan level kualitas sigma. Produk Finger Joint Lamination Board (FJLB) merupakan produk unggulan bagi perusahaan. Korosi mempunyai laju yang tinggi pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Dari hasil analisa laju koros pelat Mild Stee untuk jarak yang berbeda dengan metode exposure dan immerse pada moisture room ditahan selama 24 jam. Metode Simpleks merupakan teknis memecahkan program linear yang mempunyai jumlah variabel keputusan dan pembatas yang besar kemudian Gomory Cutting agar memenuhi variabel keputusan yang dikehendaki integer. Analisis sensitivitas yang dilakukan untuk mengetahui perubahan parameter dan pengaruh perubahan terhadap koefisien-koefisien variabel keputusan yang kontinu dari fungsi tujuan setelah diperoleh penyelesaian optimal. Pengembangan pengolahan jeruk menjadi produk powder layak dilasanakan agar optimal pengembangan dilakukan secara kemitraan yang didukung oleh kelembagaan petani dan pengembangan pasar. Metode keandalan orde pertama berdasarkan tingkatkan kedua dari analisa keandalan. Kemudian hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk table untuk kapasitas daya dukung pondasi rakit – tiang pancang. Partisipasi PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK dalam penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan merupakan salah satu upaya meingkatkan produktivitas tenaga kerja melalui program peningkatan derajat kesehatan masyarakat umumnya, khususnya tenaga kerja dalam rangka pembangunan bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Waktu dan temperature pengontakan sangat mempengaruhi daya adsorbsinya. Hal ini dapat kita lihat pada temperature akrit 5000C, ukuran partikel 80-100 mesh dan wakt kontan 5 jam yaitu sebesar 89,01%, waktu kontan lebih 5 jam penyerapan akan berkurang.

Tim Redaksi

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]

Page 3: kumpulan jurnal

Volume 6 No. 5 November 2005 DAFTAR ISI Halaman

TEKNIK RANTAI MARKOV DALAM ANALISA POSISI DAN PERPINDAHAN FUNGSI PRODUKSI SEJENIS ----- 1-4 A. Jabbar M. Rambe MANPOWER IN CORPORATE PLANNING ------------------------------------------------------------------------------------------- 5-10 Syahril Effendi Pasaribu KINERJA TERMINAL BUS LHOKSEUMAWE SEBELUM DAN SESUDAH MASA DARURAT MILITER ------------- 11-14 Anwar Harahap APLIKASI SISTEM KOMPUTER PENDUKUNG INTEGRASI PROSES DALAM METODOLOGI REKAYASA SIMULTAN (CONCURRENT ENGINEERING)----------------------------------------------------------------------------------------- 15-18 Hj. Muthi Bintang, Abdurrozzaq Hasibuan PENGARUH ADITIV CaO DAN SUHU SINTERING TERHADAP MIKROSTRUKTUR KERAMIK PSZ ---------------- 19-24 Ratna Askiah Simatupang ABU SERBUK BATANG KELAPA SEBAGAI KATALIS PROSES ESTERIFIKASI STEARIN----------------------------- 25-28 Bode Haryanto MENGUKUR DAYA REAKTIF DENGAN KAPASITOR PEMBANTU------------------------------------------------------------- 29-32 Windalina Syafiar PENGENDALIAN KUALITAS PRODUK FINGER JOINT LAMINATING BOARD DENGAN PENDEKATAN SIX SIGMA --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 33-39 Pregiwati Pusporin, Said Salim Dahdah, Bambang Supriyadi BILOGICAL TREATMENT OF A WASTEWATER CONTAINING HEAVY METALS AND CYANIDE ------------------ 40-42 Syahril Effendi Pasaribu SIMULASI PERANTI MODEL BASIS SEL SURYA p+-n-n+ (x) PENDOPINGAN TINGGI ---------------------------------- 43-48 Mara Bangun Harahap ANALISIS PENINGKATAN KOMPETENSI PENGUSAHA KECIL SESUDAH MENGIKUTI PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN YANG DISELENGGARAKAN SWISSCONTACT MEDAN ---------------------------------------------- 49-52 Syahril Effendi Pasaribu PEMBUATAN PULP DARI JERAMI PADI DENGAN MENGGUNAKAN NATRIUM HIDROKSIDA --------------------- 53-56 Jalaluddin, Samsul Rizal BUSINESS PLAN DAN STUDI KELAYAKAN PENGOLAHAN JERUK MENJADI PRODUK POWDER DI PROPINSI SUMATERA UTARA Business plan and Feasibility Study of Powder Orange Processing in North Sumatera ----------------------------------- 57-66 Yusak Maryunianta dan Terip Karo-karo ANALISA LAJU KOROSI MILD STEEL PADA LINGKUNGAN DENGAN KELEMBABAN TINGGI SELAMA 24 JAM ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 67-71 Batu Mahadi Siregar, Muthia Bintang PEMANFAATAN KAOLIN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN ALUMINIUM SULFAT DENGAN METODE ADSORPS --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 72-76 Jalaluddin, Toni Jamaluddin

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]

Page 4: kumpulan jurnal

Teknik Rantai Markov Dalam Analisa Posisi .... A. Jabbar M. Rambe

1

TEKNIK RANTAI MARKOV DALAM ANALISA POSISI DAN PERPINDAHAN FUNGSI PRODUKSI SEJENIS

Studi Kasus Merek Handphone di Kota Medan

A. Jabbar M. Rambe Departemen Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Costumer perseption and preference about a product will influence the positioning product. However, the positioning product will related to attempt the determination of market segmentation. Positioning of merk handphone in this survey using software KYST-MDS and PREFMAP-MDS. Markov Chains usually used to study about the behaviour of long and short term of the specific stochastic system. In this survey, the system that we viewed is the behaviour of handphone owner in choosing merk handphone that will be used. I. Pendahuluan

Meluasnya penggunaan telepon selular, baik di kota-kota besar utama maupun di kota-kota lainnya di seluruh Indonesia, menandakan semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan hubungan telekomunikasi bergerak. Hal-hal lain yang turut mendukung meningkatnya kebutuhan telepon selular adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan akan komunikasi yang cepat dan

praktis. 2. Tingkat dan gaya hidup masyarakat yang

semakin meningkat. 3. Kemudahan dalam berkomunikasi. Karena kemudahan dan kecepatan dalam berkomunikasi membuat orang-orang tertarik untuk menggunakan handphone, ini disebabkan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan hubungan komunikasi. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui variabel-variabel yang

mempengaruhi dalam pemilihan merek handphone.

2. Mengetahui pola perpindahan pelanggan dalam melakukan pemilihan merek handphone.

3. Mengetahui pangsa pasar serta posisi merek handphone tersebut.

II. Permasalahan Permasalahan yang timbul adalah apa yang menyebabkan pelanggan melakukan perpindahan merek handphone. Variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi pelanggan dalam melakukan pemilihan merek handphone yang diinginkan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas diperlukan analisa mengenai pola perpindahan pelanggan dan bagaiman posisi merek handphone tersebut serta pangsa pasarnya dimasa yang akan datang.

III. Landasan Teori 1. Posisi Bagi setiap segmen pasar yang akan dimasuki suatu perusahaan, maka diperlukan suatu strategi penempatan produk. Penentuan posisi adalah tindakan merancang produk dan bauran pemasaran agar dapat tercipta kesan tertentu di benak konsumen, sehingga dengan demikian konsumen dapat memahami dan menghargai apa yang dilakukan oleh perusahaan dalam kaitannya dengan para pesaingnya.

Karena penentuan posisi berhubungan dengan upaya mendeterminasikan segmen pasar atau segmen ke arah mana produk yang bersangkutan akan diarahkan dan diambilnya keputusan tentang cara-cara mempromosikan produk-produk tersebut kepada segmen-segmen tersebut, maka pemposisian produk harus memusatkan perhatian pada persepsi-persepsi dan preferensi para pembeli, tempat yanhg diduduki sebuah produk atau merek tertentu pada sebuah pasar tertentu. 2. Rantai Markov

Rantai Markov biasanya dipergunakan untuk mempelajari perilaku jangka pendek dan jangka panjang dari sistem stokhastik tertentu. Anggaplah E1, E2, ……. Ej ( j = 0,1,2………..) mewakili hasil atau keadaan yang lengkap dan “mutualli ekslusif” dari sebuah sistem pada setiap saat. Pada awalnya, pada saat t0, sistem tersebut dapat berada di salah satu dari keadaan ini. Anggaplah aj(0)j = 0,1,2…………. adalah probabilitas absolut bahwa sistem tersebut berada dalam keadaan Ej pada saat t0. asumsikan lebih lanjut bersifat markov. Defenisikan

} i j { P 1-tntm === ξξpij Sebagai probabilitas transisi satu langkah untuk bergerak dari keadaan 1 pada tn-1 ke keadaan j pada saat tn dan asumsikan bahwa probabilitas ini bersifat stasioner atau tetap sepanjang waktu. Jadi

Page 5: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

2

probabilitas transisi dari keadaan I ke keadaan Ej dapat diatur secara lebih memudahkan dalam bentuk matriks sebagai berikut :

mnmm

ON

ON

PPP

PPPPPP

P

10

0100

0100

MMM=

Matriks P disebut matriks transisi homogen atua matriks stokhastik, karena semua probabilitas transisi tij adalah tetap dan independen dari waktu. Probabilitas tij harus memenuhi kondisi. untuk semua i untuk semua i dan j Kita dapat memandang sebuah Rantai Markov sebagai perilaku transisi dari sebuah sistem sepanjang interval waktu yang berjarak sama. Tetapi, terdapat situasi dimana jarak waktu tersebut bergantung pada karakteristik sistem dan karena itu kemungkinan tidak setara. IV. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survey sampling. Data yang dikumpulkan didapatkan dari jumlah pelanggan pada perioed 1 (Juli 1999-Agustus 2000) dan periode 2 (Juli 2000 – Agustus 2001). Sedangkan alat pengumpulan datanya adalah menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil pengumplan data dari

kuesioner awal dan wawancara, ditetapkan 6 variabel pengamatan yaitu pemakaian batere, penerimaan sinyal harga pembelian, ukuran dan kenyamanan digenggam, kejernihan suara dan nilai jual kembali, ditetapkan 5 merek handphone yang akan dilibatkan dalam penelitian yaitu Nokia, Motorola, Samsung, Siemens, Ericson. Metode yang digunakan dalam penarikan sampel adalah Cluster Random Sampling. Responden yang dijadikan sampel sebanyak 300 orang tapi yang dipakai dalam pengolahan data hanya 295 karena ada 5 kuesioner yang tidak memenuhi persyaratan. V. Pengolahan Data V.1. Pengolahan Data Tingkat Kesamaan dengan

KYST-MDS Dari kuesioner bagian kedua diperoleh penilaian tingkat kesamaan kemudian dicari nilai rata-rata ini menjadi input untuk KYST-MDS. Hasil pengolahan data dengan KYST-MDS adalah tiitk-titik koordinat dari kelima merek handphone yang dibandingkan dalam dua dimensi (dalam dua sumbu koordinat). V.2. Pengolahan Data Peringkat Dengan

PREFMAP-MDS. Dari kuesioner bagian ketiga diperoleh urutan dari nilai modus data peringkat yang terbentuk. Hasil pengolahan data dengan menggunakan PREFMAP-MDS berupa koordinat titik 6 variabel pengamatan dan 5 merek handphone. Koordinat masing-masing variabel pengamatan ditunjukkan oleh titik-titik koordinatnya. Hasil dari pengolahan dengan KYST-MDS dan Prefmap-MDS didapat dalam peta posisi dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1.

,0

,

=∑Pij

ilpiji

Page 6: kumpulan jurnal

Teknik Rantai Markov Dalam Analisa Posisi .... A. Jabbar M. Rambe

3

V.3. Pengolahan Data Perpindahan Merek Handphone Pengolahan data untuk perpindahan merek handphone digunakan teknik Rantai Markov.

Tabel 1. Jumlah Mendapatkan Pelanggan dari Merek i ke Merek j

Merek j

Merek i Nokia Motorolla Samsung Siemens Ericson Total

Nokia 79 6 8 5 6 104 Motorolla 5 34 4 5 6 54 Samsung 3 2 10 4 3 22 Siemens 2 5 4 17 0 28 Ericson 6 5 5 6 65 87 Total 95 52 31 37 80 295

Tabel 2. Jumlah Kehilangan Pelanggan dari Merek i ke Merek j

Merek j

Merek i Nokia Motorolla Samsung Siemens Ericson Total

Nokia 79 5 3 2 6 95 Motorolla 6 34 2 5 5 52 Samsung 8 4 10 4 5 31 Siemens 5 5 4 17 6 37 Ericson 6 6 3 0 65 80 Total 104 54 22 28 87 295

Angka – angka dari data kehilangan diambil untuk mendapatkan probablitas transisi.

⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢

=

8065

800

803

806

806

376

3717

374

375

375

315

314

3110

314

318

525

525

522

5234

526

956

952

953

955

9579

B

⎥⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢⎢

=

8125.00000.00375.00750.00750.01622.04595.01081.01351.01361.01613.01290.03226.01290.02581.00962.00962.00385.06538.01153.00631.00211.00316.00526.08316.0

B

Untuk mendapatkan nilai peluang awal A(1) dilakukan perhitungan sebagai berikut : P1(1) = 95/295 = 0.3220 P2(1) = 52/295 = 0.1763 P3(1) = 31/295 = 0.1051 P4(1) = 37/295 = 0.1254 P5(1) = 80/295 = 0.2712

Sehingga diperoleh matriks A1 (peluang awal), yaitu : A(1) = (0.3220 0.1763 0.1051 0.1254 0.2712) Untuk perhitungan matriks n-langkah berikutnya digunakan rumus : An = A(n-1) . B. Untuk perhitungan pangsa pasar dilakukan perhitungan sampai n = 3

VI. Kesimpulan 1. Hasil peramalan pangsa pasar untuk periode 3

didapat :

Page 7: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

4

● Nokia menguasai pangsa pasar sebesar 36,84 %

● Ericson menguasai pangsa pasar sebesar 30,69%

● Motorolla menguasai pangsa pasar sebesar 18,29 %

● Siemens menguasai pangsa pasar sebesar 7,83 %

● Samsung menguasai pangsa pasar sebesar 6,36%

2. Berdasarkan hasil analisa pola perpindahan pelanggan didapat beberapa alasan mengapa pelanggan melakukan perpindahan merek yaitu sebagai berikut : untuk merek Nokia pelanggan yang berpindah ke merek Nokia menganggap Nokia memuaskan dalam pemakaian batere yang tahan lama dan nilai jual kembali yang tinggi, untuk merek Motorolla pelanggan yang berpindah ke Merek Motorolla menganggap Motorolla memuaskan dalam ukurannya yang kecil serta nyaman digenggam, untuk merek Samsung pelanggan yang berpindah ke merek Samsung menganggap Samsung memuaskan dalam modelnya yang cukup bervariasi, untuk

merek Siemen pelanggan yang berpindah ke merek Siemens menganggap Siemens memuaskan dalam harga pembelian yang cukup murah, untuk merek Ericson pelanggan yang berpindah ke merek Ericson menganggap Ericson memuaskan dalam penerimaan sinyal yang baik dan jernihnya suara yang diterima.

VII. Daftar Pustaka Hamdy, A. Taha, Operation Research, MacMillan,

New York, 1976. Kotler, Philip, Manajemen Pemasaran, PT.

Prehallindo, Jakarta, 1997. Siagian, P., Penelitian Operasional : Teori dan

Praktek, UI Press, Jakarta, 1987. Subagyo, Pangestu, Marwan Asri, T. Hani Handoko,

Dasar-Dasar Operations Research, Ed2, BPFE, Yogyakarta, 1989.

Umar, Husein, Riset Pemasaran dan Prilaku Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.

White, Douglas John,Operational Research, John Wiley & Sons, New York, 1985.

Page 8: kumpulan jurnal

Manpower in Corporate Planning Syahril Effendi Pasaribu

5

MANPOWER IN CORPORATE PLANNING

Syahril Effendi Pasaribu Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Abstrak: In the article, the author seeks to show the importance of giving thorough consideration to manpower in all planning activities, to manpower in all planning activities, whether long or short term. He also emphasizes that manpower planning lies at the heart of all rational personnel activities, if they are to contribute as they should to the objectives of the organization. He outlines the elements of manpower planning, the main methods of forescasting demand and supply, both within and outside the organization and sets out the main elements of the manpower plan. The Nature of Manpower Planning It seems unlikely that there is a need to convince the readers of Long Range Planning of the necessity of planning in the management of organization. They will understand that plans provide the information base for management decisions. They will understand also that planning is a dynamic process. The objection to planning that unforeseen and uncontrollable external events can so invalidate plans as to make them pointless must be an argument that they themselves have frequently countered : the plans give a base from which adaptations to the new situation can be worked out, and positively help management to deal with such unexpected events. Nor will there be any need to elaborate the purpose of planning. By collecting together information about the past and using this in estimating the effect of various courses of action in the future, management is able to improve the quality of their decisions. Thus, the purpose of planning is, in the words of Lord Douglass of Cleveland, to make things change. It must expose the consequences of doing nothing, show what must be done and a wake the will to get it done. No sensible manpower planner or any other planner will expect his plan to come true in all its particulars. He will not only expect to have to adapt as unforeseen factors affect it, but he will also expect his management to base decisions on it and, in so doing, alter it. The readers will also considerations of the short range plan probably linked to the budget for next year and the strategic matters covered in the long range plan. They will find the concept of rolling planning and review a normal one, covering year one in detail and subsequent years in lesser detail. Finally, they will not be taken in by the argument, as some personnel specialist are, that planning manpower restricts free will. They will not see planning in general as a restrictive discipline, which prevents the use of initiative, but rather as a means whereby individual initiative can be channelled towards corporate objectives, and thus used to its full. Similarly, manpower planning allows the use of initiative within a known frame work of objective, and also aims to achieve those objectives within the scope of what the individuals in the organization are likely to do. There is a vast

difference between forecasting what people will do and controlling what they do. All these characteristics of planning in general apply to manpower planning, and are recognized in any good corporate plan. Manpower planning is thus no different from any other branch of planning. What may need justification, therefore, is the view that manpower planning needs special consideration, apart from the other elements of corporate planning. Manpower is a resource, and like other resources must be fully considered by management. The planning consideration applicable to manpower are similar to the planning considerations applicable to other resources, but they do differ considerably in degree. The most obvious difference is that the resource of manpower, individually and to some extent collectively, has minds of their own. Plant which figures in a particular plan may blow up or burn down. The plan probably does not allow for this, partly because it is normally very unlikely and partly because insurance is carried againt such disasters. But manpower may leave, almost literally walking out of the plan, of its own volition. It would be a useless manpower plan which did not allow for the eventuality of labour turnover, and it would be a strange insurance company who would insure the company against this happening. Collectively, too, the resource of manpower may decide to go on strike. This eventuality has frequently been ignored in management plans, with the result that that they have arranged their production lines in such a way that even a small number of workers can shut down the whole plant – or even, as in the car industry, other plants as well. Whether as in the car industry, other plants as well. Whether the workers’ grievance is justified or not, it is strange that managements have presented them with so much power. Manpower may be scarce or abundant, like other resources. In some circumstances, some types, such as skilled filters, may be scarce, whereas others, such as laboures, may be abundant. Thus, manpower cannot be considered just as ne resource, but as a collection of many resources. Yet manpower is more adaptable than many other resources. It is possible to retrain. It is possible to persuade men to move from one place to another. What is more, men will

Page 9: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

6

themselves take action to prepare them selves for certain types of jobs, if they have the information about future job opportunities to make their own plans. If an organization intends to adapt manpower resources by training, it must, of course, plan for the cost of doing this and for the time it takes. On the other hand, a company may elect to buy in ready trained manpower, rather like bought in components. If it does so, it may well affect labour market costs, and it must allow for this in its plans. It is, however, probably the very adaptability of manpower which has militated against proper manpower planning. It is possible to use the wrong manpower for example, highly qualified in relatively menial jobs – or to provide a crash course of rudimentary training. It is possible to recruit quickly in all but the tightest of labour markets. Until recently, it has also been easy to discard manpower which was surplus to requirements. This last, through the pressure of public opinion and of the law, is becoming less easy, and this fact in itself may force managements to think more carefully about manpower for example, highly qualified in relatively menial jobs – or to provide a crash course of rudimentary training. It is possible to recruit quickly in all but the tightest of labour markets. Until recently, it has also been easy to discard manpower which was surplus to requirements. This last, through the pressure of publcic opinion and of the law, is becoming less easy, and this fact in itself may force managements to think more carefully about manpower resources. They have always stood to lose a considerable amount in trying to sell off surplus machinery, they now may lose quite a lot in discharging surplus men. There are clearly a number of complex problems in planning manpower. Even the cost of manpower is not necessarily a simple matter. The rate of inflation of earnings recently, for example, has been far above the general rate of inflation in the price of goods, and forecast of manpower costs must take this into account. Nor can one rely on a continuing supply of manpower to do particular types of job merely through the medium of pay. Some types of work may become unacceptable. Some types of work may become unacceptable. The switch of Swedish car manufacturers from production lines to the team building of cars costs them more money, but they have done it because they believe that, in the near future, they will be unable to get people to work on production lines. They accept extra costs now, for survical in the future. THE OBJECTIVES OF MANPOWER PLANNING

Manpower planning thus needs special consideration. However, it is inherent in manpower decisions that they cannot be made in isolation. They are not merely the concern of the personnel director.

Manpower costs money and different types cost different amounts. Capital investment may be involved. Changed marketing strategies may affect the type of man and women needed in the sales team. Manpower considerations may dictate changes in production systems, as for Swedish car manufacturers. Finance, sales and marketing directors – indeed, all funcitions have a concern for manpower planning. Furthermore, since the decisions to be made are at the interface between normal functions within the company, manpower planning is the concern of the board of directors as a whole. Thus, the prime objective of manpower planning is to incorporate the planning and control of manpower resources into company planning, so that all resources are used in the best possible conjunction. The second objective is to co-ordinate all company manpower policies. Managers throughout the company are continually making decisions which affect manpower. Recruitment, training and negotiating decisions will be made whether there is a plan or not. Budgets will include wage costs. For these decisions to be harmony, a plan is needed. To achieve these two complementary objectives, it is necessary to translate the organization’s plans into the personnel activities which make them achievable. This translation requires an under-standing of the organization’s manpower situation and an ability to make forecast which stem from an analysis of manpower and manpowe trends. THE ELEMENTS OF MANPOWER PLANNING There are five elements of manpower planning : 1. Systematic analysis of manpower resources. 2. Forecast of manpower demand. 3. Forecast of manpower supply. 4. Reconciliation, within the financial and other

restraints imposed by the organization;s circumstances.

5. Plans for action.

Gambar : the Framework of Manpower Planning.

Page 10: kumpulan jurnal

Manpower in Corporate Planning Syahril Effendi Pasaribu

7

Figure 1 shows how these elements fit together. With the background of the analysis of manpower now and in the recent past, the objectives of the company, set out in the business plan, are examined and a forecast of manpower demand is derived from them. If it is to be helpful in guiding action, this forecast must be more than just a total number. It must be divided into various manpower categories. The supply of manpower available from within the company, similarly divided into categories, is also forecast on the basis of analysis of past rates of staff retention and patterns of promotion and transfer. These are forecasts only : they are predictions of what will happen on a certain set of assumptions, which should be stated so that they can be altered either through management decision or in the light of subsequent events. For these forecasts to give rise to action, plans must be made to achieve a reconciliation between the demand and supply forecasts. Usually, there will be a need to recruit and this has to be examined in the context of the probable state of the labour market. This requires a forecast of external manpower supply. The reconciliation must also be achieved within constraint imposed by the budget, which also stems from the business plan. The budget, however, is not independent of the manpower planning process, for, manpower costs from a part, possibly a major part, of it. Therefore, there is an input to the budget, which in effect brings together and co-ordinates alll the organization’s activities and financial level. Because manpower planning provides an input to the budget, but also may be modified by it, it is essential that the two processes are co-ordinated and that their timetables correspond. When the most suitable means of reconciliation are decided, the actions entailed from the manpower plan and, in this way, the planning and control of manpower resources is incorporated into company planning the first objective of manpower planning.

The plans for action will cover utilization of manpower and programmes for improving it, the supply of manpower, covering recruitment, promotion, internal mobility and possibly redundancy training of new and existing employees to prepare them for the jobs planned, and the general personnel policies necessary to recruit and retain staff, including condition of work, remuneration and industrial relations. In fact, the plan covers virtually all the aspects of the personnel function, and co-ordinates them with each other and with the organization’s business plan the second objective.

Within this framework, some of the methods and problems of manpower planning can be examined in a little more detail. FORECASTING MANPOWER DEMAND The forecast of manpower demand must be based on the organization’s plan. It follows,

therefore, firstly that the manpower planner must be fully aware of what these plans are. Thus, the personnel manager must be brought into the company’s planning decisions, if he is not the company’s planning decisions, if he is not involved already. Secondly, a means of translating the plans into manpower requirements must be found. These means will undoubtedly be found by the analyses carried out int the company itself. It is not possible to provide a standard means of making the forecast. The degree of complexity in the forecasting method will depend on a number of factor, the complexity of the organization itself, the margin of error acceptable in the particular circumstances, the sophistication of top management, who must understand and use the forecast. Initially, however, the major determinan is likely to be the data available. Manpower data, in suitable categories, may not be available. When this data has to be allied with some production or cost information, the likelihood of the two sets of data being in a congruent from is low. Therefore, the first step will often be to set up the data recording systems. To reinforce this impetus behind the data collection, it is suggested that the calculatef risk of beginning on rudimentary manpower planning, using such data as there are, should be taken. Manpower decisions will be taken anyway, and may be improved by this course, but without a clear us for the data there is a danger that system for collecting them will founder. There are two main factors to be analysed for demand forecasting ; 1. The volume of output will, directly or in directly,

affect manpower demand (the analysis of performance).

2. The level of productivity may also change and affect the forecast (the anaylsis or productivity).

In the real situation these two factors are closely interwoven, but conceptually they may be examined separately. Performance The basis of all anaylses is what has happened in the past and this is true even of the intuitive forecast of the experienced manager, who is after all only using his experience. A simple way of analysing past demand for manpower is to relate it to some output indicator by means of a ratio. The ratio of men to output may, of course vary both in accordance with the amount of output and in accordance with changes in output per man over time, i.e. with changes in performance and in productivity. For the moment let us concentrate on performance. The ratio may be constant, with 200 men producing twice as much as 100 men. However, it more likely that the ratio will change with volume and regression analysis will be needed to analyse one variable manpower against the other output. But manpower is not necessarily dependent on one

Page 11: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

8

variable only and multiple regression analysis may be needed to relate manpower to a number of variables and measure the importance of each. Such technique analysis directly the past relationship between manpower and output. Indirect analysis may be more appropriate, using work study measurements, which are derived from analysing work in the past, and applying them to the work to be done in the future. This method will suit production lines and other similar situations where manning standards can be established well in advance. In association with such techniques, the views of managers are important because they are in control and will by their actions affect the demand for manpower. Productivity As well as change in the work load, manpower demand can change through improved productivity. One hopes that this will show an improvement over time, but it is often helpful to distinguish between the technological” change resulting from improved machinery and usully entailing capital investment, and the better utilization of manpower, which is more likely to manifest a steady improvement as time passes. Improvement of utilization is important in itself, but the manpower forecasting requires an estimation of how much it will improve in the future. It has already been pointed out that ratios may change over time and this can be analysed by regression of the ratio against time, just as the manpower output relationship can be analysed. It may be that the improvement in productivity on any particular activity cannot be indefinitely sustained. In fact, it seems likely that early gains will be greater than later ones. Such as realationship was discovered on aircraft production during World War II and is known as the “learning curve”. This form of curve may be useful in analysing the progress of productivity. Whether such indices are available or not, it is important that forecasts of manpower demand are assessed by management for expected changes in productivity. It may help if they indicate the various factors which they expect to effect the improvements and assess them separately.

FORECASTING INTERNAL MANPOWER SUPPLY Against this forecast of demand, it is necessary to examine the supply of manpower likely to be available within the organization. Primarily, this is likely to be a question of retention of staff (the converse of labour turnover). However, it is also concerned with how the existing staff will change in the future, for example, by promotion or internal transfer.

Retention The usual method of measuring labour turnover is the “BIM index” the percentage wastage rate. This express leavers in a given period as a percentage of the average staff in post. However, this method takes no account of the characteristic of the work force known empirically to have in normal circumstances the most significant effect length of service. This defect makes the normal index unsuitable for assessing morale. Totally different leaving pattern can give the same index figure. It also makes it unsuitable for forecasting, since the trend of the index is meaningless because changes over time can be completely overshadowed by changes in the length of service distribution. For forecasting, the ordinary index can be very misleading. In a period of heavy expansion, with considerable recruitment, the index will normally rise, because short – service staff are more likely to leave. When recruitmen is cut back, the leaving rate is likely to fall : this can be most important if a reduction in numbers is a part of the manpower plan. Therefore, a method of measuring and forecasting staff retention which is service specific is needed. Two basic methods are possible : 1. The “cohort” method examines the progress of

an entry group, i.e.a homogeneous group who joined in a given period, and plots a survival curve for this group. This can be useful in examining some groups of staff but has some disadvantage. In particular, it is not readily transferable from one cohort to another, partly because it may be necessary to follow one cohort for a considerable time to fully explain its pattern of survival.

2. The census method overcomes this by concentrating on the length of service of learvers in a particular period (last year) and relating the number of leavers in each length of service group to the average number of employees in that group. In effect, it combines the experience of all cohorts in the last year, thus giving a better picture of the situation than the labour turnover index.

It will be readily understood that a method of analysis like the “census” method can be easily used for forecasting, for the present service distribution of staff is known and the recruitment of future employees is a part of the forecast. Thus, retention of employees can be forecast. Internal Movements Promotion, demotions and transfers are also part of the internal supply forecast. In a “career” organization, promotion pattern may be almost more important than retention. Analysis of promotion patterns can be useful not only from the point of view of making the internal supply forecast, but also as a means of revealing the nature of existing or future problems. Promotion opportunities are of vital importance to many

Page 12: kumpulan jurnal

Manpower in Corporate Planning Syahril Effendi Pasaribu

9

categories of employees, and they will not be content unless they can progress. Furthermore, they will build up an expectation of promotion rates and, if their opportunities decrease, they will feel unfairly treated. Indeed, in some organizations the management’s sense of fairness tends to ensure that the existing promotion pattern persists even when the demands of the work do not fully justify more promotions. Whilst this may seem obvious, promotion rates are not often given full consideration and rarely analysed. How often do companies advertise for outstanding staff and talk about their “young”, dynamic management team. A much better advertising ploy for attracting potentioal recruits aware of manpower planning might be old, tired management team, ready to listen to new ideas and delegate responsibility. The analysis of promotion can concentrate on the availability of jobs at different levels and the consequent chain reaction of filling them. This can be regarded as the “pull” of vacancies moving employees through the various levels. Methods of analysis derive from renewal theory, which analyses the probablity of leaving and of being promoted. Alternatively, the “Markov chain” analysis shows the pattern of promotions in the past and assumes the persistence of this pattern, as though management “pushed” staff through their careers. Whether or not the size of the organization justifies such analyses, it will be important in most companies to consider promotion probabilities and the effect of planned changes on them. It will also be necessary, if expansion is planned, to consider the likely availability of staff for promotion into newly created management jobs. Similarly, internal movements of staff between departments or divisions may justify analysis. EXTERNAL MANPOWER SUPPLY It is part of the manpower planner’s task to assess (“forecast” is probably too grandiose a word) the labour market situation. To do so, he needs to assess not only the size of the appropriate labour force in the appropriate area, but also the demand for it from other employers. In the main, the basic data for such an assessment does not exist, although the Employment Services Agency has begun “local labour market intelligence” experiments in some areas. Without this supply of intelligence, it is necessary to estimate on the basis of whatever is available. Information about school leavers, university graduates, activity rate (i. e. proportion of women who work) all these are available historicaly, although forecasts of numbers coming out of the education system are not as readily available as one might expect. In the longer term, the trends in the general manpower environment can be significant. The effect

of the raising of the school leaving age was clear and noticeable. But the trend for children to stay longer at school without compulsion, and the school-leaving age was clear and noticeable. But the trend for children to stay longer at school without compulsion, and to gain more qualifications, is also worth considering. Trends in education are a consideration in many long term manpower plans. Equal pay legislation also is noticeable. But other trends – to earlir marriage, fewer children, demand for promotion by women – may have a significant effect on the labour market. Hours of work may be important to the manpower demand forecast and these are affected by social demand and trade union attitudes. Trends in pay and the effect of inflation on it are important, since the cost of manpower is a major derivative of the manpower forecast and crucial to the task of fitting manpower into the overall budgetting exercise of the company. THE MANPOWER PLAN The manpower plan is the action plan deriving from the analyses and forecasts of manpower. It is the result of management decisions based on the forecasts of demand for manpower, the supply of manpower and the costs involved. The first item of the plan is manpower supply. In most situation, recruitment will be necessary and a well thought out recruitment plan will be laid down. Promotion policies may need adapting, with all the implications for morale which that can entail. Tranfer policies may also be reconsidered. Alternatively, there may be a need to run down the strength and plan to do this effectively, whether or not redundancies are entailed, must be made. All these measures are designed to affect the manpower supply. The second item is manpower utilization. The plans to achieve the forecast level of ipmrovement must be made. However, the reconciliation of the demand and supply forecasts may entail further improvements, requiring exceptional plans, possibly even demanding capital investment in plant. The third item is training, and these plans stem from the first two. Recruitment plans entail induction training, promotion plans affect management training and management development schemes. Improved utilization may in itself result from training, or new equipment may give rise to a training need. The final item is personnel policies, which are all connected with recruiting and retaining staff, to a greater or lesser extent. Salary rates affect recruitment and retention. The motivating effect of the job redesign or other similar changes. Industrial policies and thus to manpower plans, for they must be achievable in the context of the industrial relations situation. Conversely, only a negotiator who is backed by a proper manpower planning system can face a trade union equipped to make decisions which accord as nearly as possible with overall company

Page 13: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

10

objectives. The manpower plan provides the base for industrial relations objectives and they form a part of the manpower plan. All these plans cost money. Just employing people costs money. All the activities planned must be costed and form a part of the budget. If the cost is more than management is prepared to expend, some re-thinking must take place. manpower plans must be revised. It may even be that it seems impossible to supply the manpower demand, either absolutely or within the company’s financial constraints. In other words, the company’s objectives cannot be fulfilled, and they must themselves be revised. THE LONG AND SHORT TERM The distinction between the short term plan, linked to the budgeting process, and the long term plan, linked to the corporate planning process, has already been made. The line manager’s concern is essentially with the short term, and he is judged on his results. He is, therefore, directly concerned with work load and manning in the immediate future. He may need the knowledge and advice of the manpower planner, deriving from the manpower analyses, but he should be co-ordinated with the general budgeting exercise, so that he does not divorce the consideration of men and costs from each other. He must also have a basis of knowledge of the company objectives as they affect him. The long term plan, however, is more relevant to the strategic decisions of top management. Here, therefore, the forecasts should be the manpower planner’s. line managers’ advice may help, but they will need a forecast to comment on if their contribution is to be effective. On the financial side, the interaction is not with budgeting but wit corporate planning. The long and short terms plans do, of course interact on each other. The short term work will generate a great deal of detailed information which

can be used as the basis for longer term forecasting. But the results of the short term planning work must be viewed by management in the longer term context. The gshort term expedient of, for example, stopping all recruitment because of a trade recession, may in the longer term result in shortages of staff with the experience and maturity to become middle managers. Thus, it may be best, as recommended by Mr. D. E. Hussey for corporate planning generally, to separate the preparation of long term plans and annual budgets, and to use the plan to give strategic direction to the budget and to provide targets as criteria against which budgets may be judged. Thus, budgeting and the corporate plan has manpower as a major element. Manpower consideratons must be considered alongside financial, materials, marketing and sales plans. In each area the appropriate expert should have information and advice to offer to organization’s topmanagement. In the manpower area, as no doubt in other, it is essential that the organization’s manpower experts that is, the personnel department-are deeply involved in the planning process, because they will be involved in the monitoring and control of the short term plan, and because their activities are the very studf of the long and short term manpower plans, their actions are co-ordinated with company objective through the plan. REFERENCE D.E. Hussey. Corporate Planning, In Accountant’s

Guide to Management Techniques, Gower Press Epping (1975).

D.J. Bell, Planning Corporate Manpower, Longmans, Harlow (1974).

Prespective in Manpower Planning, an Edinburgh Group Report, IPM, London (1967).

Some Statistical Techniques in Manpower Planning, Edited by A. R. Smith, CAS Occasional Papers No. 15, HMSO, London (1970)

Page 14: kumpulan jurnal

Kinerja Terminal Bus Lhokseumawe Sebelum dan Sesudah Masa Darurat Militer Anwar Harahap

11

KINERJA TERMINAL BUS LHOKSEUMAWE SEBELUM DAN SESUDAH MASA DARURAT MILITER

Anwar Harahap

Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik USU Abstrak: Secara umum terminal merupakan salah satu komponen dari sistem transportasi, satu tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang dan barang dari transportasi tersebut. Selain untuk tampat pemberhentian sarana angkutan umum juga sebagai tempat pengemudi dan kenderaanya melakukan istirahat sejenak sebelum melakukan perjalanan berikutnya. Kota Lhokseumawe merupakan kota yang sedang berkembang di segala aspek terutama di bidang pembangunan, maka hal ini sangatlah membutuhkan sarana dan prasarana merupakan transportasi yang erat hubungannya dengan terminal. Dari penelitian yang dilaksnakan di terminal bus Lhoksemawe, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa sebelum darurat militer (sebelum Mei 2003) pemberangfkatan bus pada waktu malam hari berjalan hingga jam 23.00 WIB pada masa darurat militer (Mei 2003 – April 2004) pemberangkatan bus ditiadakan sipil karena tidak adanya penumpang yang melakukan perjalanan di malam hari, sedangkan masa darurat sipil seperti sekarang ini aktivitas perjalanan malam hari kembali berjalan. Jumlah penumpang angkutan bus rata-rata sebelum darurat militer yaitu ± 496 orang/hari, pada masa darurat militer yaitu ± 283 orang/hari. Jumlah penumpang total pertahun sebelum darurat militer (Mei 2002 – April 2003) yaitu 14900 orang (49,5%). Pada masa darurat militer (Mei 2003- April 2004) yaitu 6725 oang (22,3%) sedangkan sesudah darurat militer (Mei 2004 – Desember 2004) yaitu 8497 orang (28,2%). Kata kunci: Kinerja terminal darurat masa militer 1. Pendahuluan

Kota Lhokseumawe merupakan salah satu kota terpenting di Propinsi Nanggroe Aceh Daurssalam yang sedang dikembang untuk menuju sebuah kota metropolitan.Dan juga kota tersebut menjadi tempat transit bus-bus yang datang dari Banda Aceh menuju kota Medan mampun bus yang datang dari Medan menuju kota Banda Aceh. 1.1 Maksud dan Tujuan

Maksud yang ingin dicapai yaitu pengevaluasian kinerja terminal bus Lhokseumawe pada masa sebelum darurat militer (Mei 2002 s/d April 2003) hingga sesudah darurat militer (Mei 2004 s/d Desember 2004). Sedangkan yang menjadi tujuannya yaitu untuk mengetahui perubahan –perubahan yang terjadi pada sistem kenerja terminal bus Lhokseumawe akibat berlakunya sistem darurat militer di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

1.2. Permasalahaan Untuk mengetahui bagaimana aktivitas kinerja terminal bus Lhokseumawe pada periode sebelum darurat militer (Mei 2002 s/d April 2003) hingga sesudah darurat militer (Mei 2004 s/d Desember 2004).Untuk mengetahui jumlah bus yang beroperasi di kota Lhokseumawe dan untuk mengetahui jumlah penggunaan jasa transportasi bus di kota Lhokseumawe pada periode sebelum hingga sesudah darurat militer.

1.3 Pembatasan Masalah Pembatasan masalah yaitu sebelum berlakunya sistem darurat militer (Mei 2002 s/d April 2003), pada masa darurat militer (Mei 2003 s/d April 2004) dan sesudah darurat militer (Mei 2004 s/d Desember

2004), antara lain : 1. Rute perjalanan bus di kota Lhokseumawe di

tinjau hanya pada rute : - Lhokseumawe – Medan – Medan –

Lhokseumawe - Lhokseumawe – B.Aceh –B.Aceh –

Lhokseumawe - Medan – Takengon –Takengon -Medan - Medan- B.Aceh- B.Aceh –Medan

2. Jumlah angkutan yang masuk dan yang meninggalkan terminal.

3. Jam-jam operasi 4. Fasilitas / sarana penunjang di terminal 1.4 Metodologi

Dalam penulisan tugas akhir ini menggunakan beberapa metode, antara lain : - Studi literature yaitu untuk mendapatkan teori-

teori yang diperoleh dari buku-buku yang berkaitan dengan penulisan tugas akhir ini.

- Studi lapangan yaitu untuk mendapatkan data-data lapangan yang berhubungan dengan kebutuhan studi pelayanan. Antara lain data primer yaitu data yang bersumber langsung dari survey lapangan (sesudah darurat militer) berupa : kondisi terminal, kinerja terminal sehari-hari dan jam-jam operasi. Dan data sekunder instansi terkait seperti dari DLLAJ dan unit tata usaha terminal bus Lhokseumawe .

2. Landasan Teori 2.1 Transportasi 2.1.1 Pengertian Transportasi

Transportasi yaitu usaha untuk dapat memindahkan sesuatu (barang atau penumpang) dari

Page 15: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

12

suatu tempat ke tempat lainnya. Transportasi merupakan faktor penting dalam pembangunan sosial ekonomi suatu daerah.

2.1.2. Transportasi sebagai suatu sistem Sistem dapat didefenisikan sebagai suatu kumpulan dari beberapa bagian yang saling berkaitan antara lain : - Kenderaan , unsur ini merupakan suatu alat

yang sangat diperlukan dalam proses transportasi yang berfungsi untuk memindahkan barang atau penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain.

- Sumber Daya Manusia, unsur ini merupakan suatu alat yang berfungsi untuk menggerakkan suatu benda dari suatu tempat ke tampat yang lainnya.

- Jalan , unsur ini merupakan suatu kontruksi yang dibangun sedemikian rupa yang dapat menghubungkan suatu tempat ke tempat lain.

- Terminal dan perlengkapannya, unsur ini berfungsi sebagai tempat pemberhentian atau merupakan titik henti dan awal keberangkatan angkutan umum.

2.1.3 Teknologi Tranportasi Ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas

gerak suatu benda (penumpang atau barang) yang mungkin harus diangkut secara cepat dan dalam jarak yang cukup jauh.

2.1.4 Tranportasi dan Masyarakat

Tranportasi membuat manusia dan barang menjadi bermanfaat dengan membawanya ketempat dimana dibutuhkan pada saat dibutuhkan.

2.2 Manajeman Terminal 2.2.1 Pengertian Terminal

Secara umum pengertian terminal yaitu suatu wadah aktivitas yang merupakan sarana prasarana tranportasi jalan untuk keperluan masuk/keluar, menaikkan/menurunkan penumpang, perpindahan intra atau antar moda transportasi, juga mengatur kedatangan dan pemberangkatan kenderaan umum, ini terjadi sebagai akibat adanya arus pergerakan manusia dan barang dari suatu tempat ke tampat lainya.

2.2.2 Fungsi Terminal

Fungsi utama terminal untuk penyediaan sarana masuk dan keluar bagi objek-objek yang akan digerakkan, penumpang atau barang-barang menuju atau meninggalkan sistem.

2.2.3 Jasa Pelayanan Terminal

Pelayanan terminal antara lain : - Menjaga keutuhan dan kebersihan terminal - Menjaga kebersihan dan keutuhan pelataran

terminal serta perawatan rambu, marka dan papan informasi.

- Merawat saluran air - Merawat instalasi jaringan listrik dan lampu

penerangan - Merawat alat komunikasi - Merawat sistem hidran dan alat pemadam

kebakaran 2.2.4 Karakteristik Terminal Penumpang

Terminal merupakan suatu bentuk infrastruktur dari suatu sistem transportasi yang sangat komplek. Aktivitas yang terjadi di terminal adakalanya secara paralel.

2.2.5 Fasilitas pada terminal penumpang

Fungsi fasilitas pada terminal penumpang adalah sebagai sarana penunjang serta sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kwalitas serta ,minat masyarakat untuk menggunakan fungsi terminal.

3. Parkir 3.1 Definisi Parkir

Yaitu tempat dimana kenderaan akan berhenti bahkan kadang-kadang dalam hal tertentu ditinggalkan.

3.2 Sarana Parkir Ada 3 karakteristik utama dari suatu sarana parkir antara lain : - Tempat yang disediakan untuk parkir - Petugas yang memarkirkan kenderaan - Konstruksi sarana parker

3.3 Pola Parkir Kenderaan Pada dasarnya pola parkir kenderaan dibedakan atas : - Pola parkir parelel Keuntungannya :

- Kenderaan yang diparkir tidak mengganggu kenderaan yang lain.

- Tidak memerlukan tempat memutar - Pergerakan kenderaan lebih mudah dan cepat - Tingkat kecelakaan yang ditimbulkan relative

rendah

Kerugiannya : - Daya tampung kecil dan perlu tempat yang luas. - Kenderaan yang keluar masuk harus berurutan - Pola parkir menyudut

Keuntungannya :

- Setiap kenderaan bebas keluar masuk - Areal parkir yang dibutuhkan relative kecil

sehingga memberikan daya tampung yang lebih besar Kerugiannya :

- Kenderaan-kenderaan yang di parkir mengganggu kebutuhan lain.

- Tingkat kecelakaan yang ditimbulkan lebih tinggi.

Page 16: kumpulan jurnal

Kinerja Terminal Bus Lhokseumawe Sebelum dan Sesudah Masa Darurat Militer Anwar Harahap

13

4. Analisa Kinerja Terminal 4.1 Analisa Terminal bus Lhokseumawe

Luas arel terminal bus Lhokseumawe 13720 m 2, sedangkan luas landasan terminalnya yaitu 10920 m2. Aktivitas terminal bus kota Lhokseumawe sebelum darurat militer (Mei 2002 s/d April 2003) beraktivitas hingga pukul 23.00 WIB, tetapi semenjak diberlakukannya sistem darurat militer (Mei 2003 s/d April 2004) aktivitas terminal hanya sampai pukul 14.00 WIB dan sesudah masa darurat militer (Mei 2004 s/d Desember 2004) aktivitas kembali hingga malam pukul 22.00 WIB. Jumlah bus antar kota antar propinsi yang melakukan perjalanan ke kota Banda Aceh, Takengon dan Medan berjumlah 150 unit, tetapi setelah diberlakukannya sistem darurat militer jumlah bus yang beroperasi hanya 129 unit, hal tersebut dikarenakan alasan keamanan yang mengakibatkan bus tersebut tidak berani lagi beroperasi.Setelah sistem darurat militer (Mei 2004 s/d sekarang) terjadi perubahan jumlah penumpang bus pada waktu pagi dan siang hari menjadi lebih sedikit diakibatkan ada persaingan dengan unit angkutan L-300, dikarenakan angkutan tersebut bersifat antar jemput sedangkan bus tidak demikian halnya. Jumlah penumpang angkutan bus rata-rata sebelum darurat militer yaitu ± 496 orang/hari,dan 14900 orang pertahun (49,5 %). Sedangkan masa darurat militer yaitu ± 225 orang/hari,dan 6725 orang per tahun (2,3%) dan masa sesudah darurat milter yaitu ± 283 orang/hari,dan 8.479 orang pertahun (28,2%). 4.2 Kegiatan pengawasan operasional

Pengawasan kegiatan operasional terminal antara lain :

- Tarif angkutan - Kelalaian jalan kenderaan yang dioperasikan - Pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa

angkutan - Pemanfaatan terminal serta fasilitas panunjang

sesuai dengan peruntukannya - Pemeriksaan kartu pengawasan dan jadwal

perjalanan - Pengaturan arus lalu lintas, baik yang masuk

maupun yang keluar. - Pemberitahauan tentang pemberangkatan dan

kedatangan kepada penumpang.

5. Pengumpulan data jumlah kenderaan dan jumlah penumpang Informasi yang digunakan untuk kenderaan terminal diantaranya :

- Kenderaan bermotor angkutan umum yang digunakan masyarakat baik jumlah dan jenis kenderaan.

- Jumlah penumpang yang membutuhkan pelayanan dari kenderaan dan terminal

6. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil evalusi antara lain : 1. Terminal juga merupakan suatu tempat

pusat informasi pengendali terhadap pengawasan masuk/keluar intra atau antar moda.

2. Segala aktivitas untuk proses pemberangkatan dan kedatangan angkutan melalui terminal bus Lhokseumawe sudah berjalan dengan baik (Mei 2004 s/d sekarang)

3. Besarnya gerakan arus lalu lintas di terminal bus Lhokseumawe di sebabkan karena kota Lhokseumawe merupakan kota transit terhadap bus yang melakukan perjalanan dari Medan ke kota Banda Aceh.

4. Pengoperasian angkutan bus di terminal ini pada masa sebelum darurat militer berlangsung dari pukul 08.00 WIB hingga 23.00 WIB, tetapi setelah berlakunya sistem darurat militer bus hanya beroperasi hingga pukul 14.00 WIB dikarenakan alasan keamanan di malam hari seperti pembakaran dan penembakaan bus. Sedangkan pada masa sekarang ini bus telah beropersi kembali hingga pukul 22.00 WIB.

5. Jumlah bus antar kota antar propinsi (AKAP) yang melakukan perjalanan ke kota Banda Aceh , Takengon dan Medan berjumlah 150 unit, tetapi setelah diberlakukannya system darurat militer jumlah bus hanya 129 unit. Hal tersebut dikarenakan alasan keamanan yang mengakibatkan bus tersebut tidak berani lagi beroperasi.

6. Setelah darurat militer (Mei 2004 s/d sekarang) terjadi perubahan jumlah penumpang bus pada waktu pagi dan siang hari menjadi lebih sedikit diakibatkan ada persaingan dengan unit angkutan L-300, dikarenakan angkutan tersebut bersifat antar jemput sedangkan bus tidak demikian dan hal yang lainnya seperti lama dalam perjalanan.

7. Jumlah penumpang angkutan bus rata-rata sebelum darurat militer ± 496 orang/hari, pada masa darurat militer yaitu ± 225 orang/hari, sedangkan sesudah darurat militer jumlah penumpang bertambah lagi menjadi ± 238 orang/hari.

8. Jumlah penumpang total pertahun sebelum darurat militer (Mei 2002 – April 2003) yaitu 14900 orang (49,5%), pada masa darurat militer (Mei 2003 – April 2004) yaitu 6.725 orang (22,3%) sedangkan sesudah darurat militer (Mei 2004 – Desember 2004) yaitu 8.497 orang (28,2%)

Page 17: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

14

7. Saran 1. Para penumpang yang menggunakan jasa

angkutan sebaiknya naik dan turun di terminal, agar terhindar dari kemacetan lalu lintas di jalur yang lain.

2. Angkutan yang akan berangkat dan datang harus masuk ke terminal untuk melanjutkan rute perjalanannya, dan tidak dibenarkan untuk berhenti di pinggir jalan mengambil penumpang untuk terus melanjutkan perjalanan.

3. Sebaiknya ada mobil pengantar di terminal bagi penumpang, agar tidak kalah bersaing dengan perusahaan mobil L-300 yang bersifat antar jemput.

Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, 2003, Aceh Utara Dalam

Angka. Morlok,E.K, 1991, Pengantar Teknik dan

Perencanaan Transportasi, Erlangga Jakarta Profil Kota Lhokseumawe, 2004. Dinas Perhubungan

Kota Lhokseumawe. Kamaluddin, R. 2003. Ekonomi Transportasi, Ghalia

Indonesia. Salim, A. H, 1995.Manajeman Transportasi, PT.

Grafindo Persada, Jakarta. Suwarjoko, W. 1995. Rekayasa Lalu Lintas, Bharata

Karya Aksara.

Page 18: kumpulan jurnal

Aplikasi Sistem Komputer Pendukung Integrasi Proses … Hj. Muthi Bintang, Abdurrozaq Hasibuan

15

APLIKASI SISTEM KOMPUTER PENDUKUNG INTEGRASI PROSES DALAM METODOLOGI REKAYASA SIMULTAN (CONCURRENT ENGINEERING)

Muthi Bintang, Abdurrozzaq Hasibuan

Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Islam Sumatera Utara

Abstrak: Kesulitan dalam proses integrasi antara produk dan desain proses dalam perusahaan diakibatkan oleh sejarah desain produk yang dilakukan secara berurutan (serially). Konsep produk desain produk dan pemasaran produk dilakukan secara tersendiri dan dibuat pemisahan organisasi-organisasi dengan sedikit integrasi. Memperbaiki situasi ini dibutuhkan adopsi konsep rekayasa simultan (concurrent engineering) yang merupakan suatu proses pendekatan desain produk dan pabrikasi dalam hubungan yang erat. Sistem Komputer Pendukung Integrasi Proses merupakan suatu perangkat dalam kegiatan operasional yang akan memberikan jalan menuju efektifitas mata rantai metodologi rekayasa simultan. Hasil akhir dari aplikasi Sistem Komputer Pendukung Integrasi Proses adalah diperolehnya kemudahan proses integrasi dalam metodologi rekayasa simultan yang pada akhirnya mengurangi waktu penyelesaian desain dan proses dan proses penghematan terhadap biaya operasional. Kata Kunci : Desain Produk, Integrasi Proses, Rekayasa Simultan Abstract: Difficulty in course of integration between product and process design in company resulted from by history of design conducted product serially. Product concept of product design and product marketing conducted separately and made to organizational dissociation with meagrely integration. Repairing this situation is required by concept adoption of engineering concurrent concept wich representing process of product design approach and manufacturing in hand in glove relation. System Computer Supporter of Integration Process represent peripheral in operational activity to give way to methodologies link of engineering concurrent effectivitas. End result of Computer system application Supporter of Integration Process is obtaining of amenity of integrate process in methodologies of concurrent engineering which is on finally is lessen time of design and process solving and thrift process to operating cost Keywords : Product Design, Integration Process, Concurrent Engineering A. PENDAHULUAN

Proses pengembangan produk merupakan sebuah mata rantai penting bagi perusahaan untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini tentu akan memberikan implikasi bagi pihak manajemen untuk senantiasa melakukan langkah-langkah strategi bagi peningkatan kualitas dan pengembangan produk. Dipihak lain upaya-upaya dalam melakukan proses pengembangan produk terbentuk oleh hambatan cultural dalam implementasi penyelesaian sebuah produk. Hambatan ini disebabkan oleh sejarah desain produk yang ada sekarang dilakukan secara berurutan (serially). Dalam kondisi semacam ini memberikan dampak terhadap pemanfataan teknologi menjadi bersifat sepihak, karena minimnya integrasi antar elemen di dalamnya.

Konsep produk desain produk dan bagian pemasaran produk serta bagian lainnya dibuat berada dalam satu tatanan tersendiri dan bibuat pemisahan organisasi dengan sedikit integrasi. Hal ini menyebabkan proses pengembangan produk dan rekayasa rancang bangun di Indonesia secara umum menjadi sedikit mengalami stragnasi dalam pengembangan produk.

Disamping minimnya faktor daya inovatif masyarakat namun pemisahan organisasi-organisasi dalam suatu struktur perusahaan dengan sedikit integrasi ini juga memberikan andil dan perlu dicermati agar proses pengembangan produk dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini perlu suatu wacana dalam upaya mengembangankan suatu konsep integrasi dalam proses pengembangan produk. Dengan demikian, maka aplikasi dari sebuah konsep tentang proses integrasi (rekayasa simulasi) pada seluruh elemen sistem dalam perusahaan bisa diketahui. Untuk menjelaskan penelitian inngecoran logam. B. PERUMUSAN MASALAH

Pokok permasalahan dalam concurrent engineering ini adalah bagaimana aplikasi metodologi rekayasa simultan dalam proses pengembangan produk. Penerapan komputer dilakukan untuk membantu memudahkan dalam proses integrasi perencanaan proses pada sebuah proses manufaktur.

Page 19: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

16

C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk memberikan gambaran secara riil tentang

konsep metodologi rekayasa simultan dan implikasinya bagi pengembangan produk

2. Untuk mengetahui tingkat pengurangan waktu dan biaya dengan diterapkannya metodologi rekayasa simultan

D. LANDASAN TEORI 1. Konsep Produk

Faktor terpenting dalam memahami konsep sebuah produk adalah bahwa produk tidak hanya berdasarkan karakteristik fisik (Cross, 1995). Suatu produk mempunyai arti yang kompleks dan dapat dimengerti dengan memberikan suatu arahan kepada konsep produk.

Konsep produk memiliki beberapa komponen penting yang menyusun produk yaitu komponen inti, komponen pembungkus dan komponen pendukung. Komponen inti berhubungan dengan produk itu sendiri yaitu produk fisik yang akan berhubungan dengan karakteristik khusus dari suatu produk yang akan dibuat atau dipasarkan (Ulcrich, 1995).

Beberapa ahli pemasaran memandang karakteristik fisik tidak begitu penting karena yang terpenting adalah bagaimana produk tersebut dapat laku di pasaran (Roozen Burg, 1991). Perbedaannya dapat dipahami dengan berdasarkan kemampuan perusahaan untuk merefleksikan beberapa macam kualitas data produk atau hasil produk itu sendiri.

Komponen pengepakan terdiri dari beberapa faktor seperti kualitas, harga dan pengepakan itu sendiri. Nama atau merek merupakan suatu image dari produk ketika konsumen mendengar sebuah nama produk. Sebagai tambahan komponen pendukung dapat juga digunakan sebagai refleksi perbedaan dalam produk. Garansi seumur hidup atau pengiriman tepat waktu, perbaikan kualitas adalah beberapa pelayanan pendukung yang berguna merefleksikan hasil produk.

Komponen-komponen ini membentuk konsepsi produk dan hal ini penting untuk dipahami oleh para perusahaan untuk memperkirakan pengembangan produk.

2. Signifikasi Pengembangan Produk

Keandalan produk sangat diperlukan dalam perkembangan sebuah produk. Proses pengembangan produk disebabkan oleh beberapa hal : a. Tingginya persaingan : Tidak setiap perusahaan

dapat menjadi yang pertama untuk mengenalkan produk. Perusahaan lain akan bereaksi sebagai investor dalam perebutan pangsa pasar, sehingga seringkali melakukan ekspansi ke lintasan produksi untuk melindungi perusahaan.

b. Perkembangan perusahaan : Perkembangan menunjukkan kesuksesan dan image yang baik kepada para penanam modal dan komunitas finansial. Beberapa perusahaan menempatkan

perkembangan sebagai tujuan utama organisasi karena dapat meningkatkan keuntungan

c. Jawaban atas perubahan lingkungan : Ketika pilihan konsumen berubah akibat isu ekolabeling, perusahaan harus mencari alternatif produk yang akrab lingkungan

d. Kreativitas manajemen : Inovasi atau kreativitas manajemen menjadi kata kunci dalam pengembangan produk. Sebab disinilah seluruh elemen dasar kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki dapat ditunjukkan.

3. Rekayasa Simultan (Concurrent

Engineering) Metodologi rekayasa serentak (Concurrent

Engineering) sering disebut juga sebagai rekayasa simultan (Simultaneous Engineering) merupakan suatu pendekatan desain dimana desain produk dan proses produk bergabung dalam suatu hubungan yang erat.

Konsep rekayasa simultan memiliki aplikasi yang sangat luas pada penerapannya daripada sekedar proses pabrikasi pada awal proses perancangan produk. Hal ini dapat dilihat dalam tampilan model dalam gambar 1 dimana masing-masing pelaku mempunyai tanggungjawab secara serasi.

Konsep metodologi rekayasa simultan

memberikan keuntungan dalam penghematan biaya produksi dan waktu pengerjaan serta proses pengenalan produk di pasaran. Pada saat produk akan didesain untuk kemudahan pabrikasi, maka metodologi rekayasa simultan akan menghilangkan resiko deviasi dari maksud desian dan penyebab kecacatan kualitas.

Dengan konsepsi terintegrasi ini, maka seluruh elemen akan ikut berpartisipadi memberikan masukan tentang produk atau desain yang akan dibuat. Disini perlu dicatat bahwa secara umum kualitas produk akan menjadi “pasar batu”. Minimnya kesalahan produksi, penghematan waktu proses dan kualitas produk yang sesuai dengan

Analis

Penjualan

&

Desain

Rancanga

n Sistem Pabrikas

Gambar 1. Konsep Metodologi Rekayasa

Page 20: kumpulan jurnal

Aplikasi Sistem Komputer Pendukung Integrasi Proses … Hj. Muthi Bintang, Abdurrozaq Hasibuan

17

kebutuhan konsumen, merupakan segmen penting dalam perebutan pangsa pasar.

E. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Seperti yang telah diuraikan dalam tujuan penelitian ini, maka dalam kerangka analisa dan pembahasan ini, dibahas tentang proses aplikasi konsep metodologi rekayasa simultan dengan memanfaatkan bantuan komputer. Ruang Lingkup Sistem

Dalam ruang lingkup sistem ini yang terpenting untuk dapahami adalah bahwa sistem komputer pendukung integrasi proses merupakan suatu set perangkat menu yang didasarkan pada sistem secara keseluruhan. Manfaat yang dapat diperoleh dengan pemanfaatan sistem komputer pendukung integrasi proses adalah fleksibilitas dalam pemakaian perangkat.

Penggunaan prosedur berdasarkan pada sebuah sistem dasar integrasi. Gambar 2 menggambarkan ruang lingkup skematis sistem. Gambar 2 menjelaskan hubungan kausalitas elemen-elemen penyusun sistem pendukung integrasi proses. Tanda positif menunjukkan bahwa semakin ke arah panah, maka semakin baik pula hasil yang akan dicapai. Misalnya gambar dipengaruhi oleh hasil kerja bagian sales dan penjualan. Semakin baik hasil kerja dari bagian sales (tanda negatif), maka gambar yang dihasilkan juga akan memberikan hasil maksimal.

Aturan sistem tersebut secara ringkas dapat diatur dibawah ini :

a. Estimasi Berat Pada tahap ini program digunakan untuk memperkirakan volume dan berat bahan cor, pembuatan inti dan bahan moulding. Moulding adalah proses pengecoran logam dengan menggunakan injeksi tekanan tinggi serta untuk menentukan perbandingan logam pasir

b. Estimasi Waktu dan Biaya Pada bagian ini digunakan untuk membuat estimasi terhadap waktu yang dibutuhkan dan besarnya biaya yang digunakan pada masing-masing bagian (moulding, pembuatan inti dan bagian akhir) dari proses pengecoran yang didasarkan pada satuan jumlah tenaga kerja dikalikan waktu kerja tiap ton pengecoran. Hal ini merupakan nilai rata-rata yang didasarkan atas tonase pengecoran yang dihasilkan di suatu devisi dalam periode waktu tertentu

c. Informasi Teknis dan Komponen Informasi-informasi dari berbagai komponen dijadikan satu dalam manejemen data base. Di dalamnya mencakup tentang perubahan data dan rekaman data base serta melakukan cetak data ringkasan sesuai dengan format yang diperlukan

d. Estimasi Biaya Proses digunakan untuk memperkirakan dan menghitung keseluruhan total biaya produksi. Hal ini tentu akan memberikan kemudahan karena output dari hasil komputer akan memberikan keluaran sesuai yang diharapkan. Misalnya untuk membuat suatu produk A, berdasarkan data base yang ada secara otomatis akan menghitung biaya yang diperlukan untuk memproduksi dan perkiraan harga jual produk

e. Analisis Proses Produksi Nilai ekonomis dan waktu efektif yang digunakan oleh seorang perencana dapat dinaikan dengan menggunakan sistem umpat balik otomatis. Dalam hal ini kemampuan seseorang dapat digambarkan hanya dengan mengetahui beberapa bagian yang berbeda antara perencanaan dan estimasi. Untuk memberikan gambaran secara lebih setail terhadap konsep komunikasi sistem ini maka akan digunakan contoh porseniling yaitu suatu alat penyeimbang pada bagian transmisi kendaraan bermotor yang berguna untuk menentukan arah dan kecepatan mesin serta gerak motor. Benda yang akan dibuat, terlebih dahulu harus dimengerti secara baik, mengenai jumlah, berat dan diameter benda yang akan dibuat. Data ini dihasilkan oleh komputer berdasarkan data base yang sudah diberikan oleh masing-masing elemen dalam proses rekayasa simultan. Table 1 memperlihatkan estimasi pengerjaan pengecoran porseniling.

Tabel 1. Estimasi Waktu, Berat dan Biaya

Pengerjaan

Proses Waktu (menit)

Biaya (Rp)

Teraan 5.25 42.000 Pembuatan Inti 1.15 9.200

Pengemasan 2.90 23.200

Penjualan

Analisa

Gambar

Komputer

Lantai

Gambar 2. Diagram Kausal Skema Sistem

+

+

+

+

– –

Page 21: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

18

Tabel 2. Perbandingan Persen Variasi Pengerjaan Variansi ( % ) Proses

Pengerjaan Penuangan Pembuatan Inti Pengemasan 1 2.0 2.7 2.4 2 4.7 3.3 6.0 3 6.0 5.2 6.2 4 6.3 3.2 6.3 5 6.6 9.7 7.8 6 3.7 3.9 4.0 7 9.1 11.3 10.4

Setelah meramalkan waktu produksi dan biaya material selanjutnya adalah menentukan cara pengerjaannya. Komputer kemudian mencoba kembali semua informasi yang ada hubungannya tentang pemilihan teknik perlakuan dari data base sebagai acuan sistem. Hasil dari taksiran yang ada kemudian dibuat perimbangan antra peramalan dengan penilaian nyata. Untuk melakukan perbandingan antara hasil nyata dengan peramalan digunakan uji variasi produk. Peramalan berat dan waktu dibandingkan dengan pencapaian nyata. Variasi rata-rata antara kenyataan dengan peramalan berat perlakuan digambarkan pada tabel 2. Hasil perencanaan proses yang telah dibandingkan dengan proses sebelum menggunakan teknik rekayasa simultan memberikan penghematan waktu produksi sebasar 14 persen. Perhitungan penghematan waktu produksi dihitung dari saat proses awal perencanaan hingga melakukan proses pengemasan yang kesemuanya dilakukan secara terintegrasi. F. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal penting : 1. Metode rekayasa simultan dapat digunakan

untuk meningkatkan efektifitas sistem perusahaan dalam proses pengembangan suatu produk

2. Dalam pembuatan data, metode dan waktu standart disimpan dalam suatu file sehingga dapat dengan cepat digunakan yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan dalam proses pemanfaatan waktu

3. Dari analisis diperoleh bahwa dengan menerapkan metodologi rekayasa simultan memberikan penghematan waktu proses pengerjaan (dari awal perencanaan hingga akhir proses) sebesar 14%

Dengan pengurangan waktu proses, maka secara signifikan akan memberikan pengurangan terhadap biaya operasional perusahaan

4. Dengan menggunakan komputer, akses dapat dengan mudah dilakukan, mencoba mengulang kembali perkiraan data dan pekerjaan secara cepat dan hemat. Pengguna hanya membutuhkan identifikasi perencanaan yang nyata.

G. DAFTAR PUSTAKA Ajmal, Abdullah,The Development of A Computer

Aided Process Planning and Estimating System for Use in A Jobbing Foundly, World Productivity Forum & International Industrial Engineering Conference Proceeding 1987.

George E. Dieter, Engineering Design, A Materials and Processing Approach, MC-Graw – Hill Inc, New York, 1991.

Karl T. Ulrich, Steven D, Eppinger, Product Design and Development, MC-Graw – Hill Inc, New York, 1991.

Mc-Cord Kent R, and Steven D. Epping, Managing the Integration Problem in Concurrent Engineering, MIT Sloan School of Management Cambridge, 1993.

Roozenburg, N.F.M, Product Design, Fundamentals and Methods, John Willey & Sons, 1991.

Page 22: kumpulan jurnal

Pengaruh Aditif CaO dan Suhu Sintering ... Ratna Askiah Simatupang

19

PENGARUH ADITIF CaO DAN SUHU SINTERING TERHADAP MIKROSTRUKTUR KERAMIK PSZ

Ratna Askiah Simatupang

Staff Pengajar Jurusan Fisika FMIPA USU

Abstrak: Telah dilakukan pembuatan keramik Partially Stabilized Zirconia (PSZ) dengan komposisi aditif sebesar 8,64% CaO. Proses preparasi sampel dilakukan melalui metode kopresipitasi dengan cara pencampuran serbuk CaCl2 dengan serbuk ZrOCl2..8H2O dalam air dan di tambahkan ammonia hingga membentuk endapan.Suhu sintering divariasikan dari 1100oC hingga 15000C dengan interval kenaikan suhu sebesar 100oC dan masing-masing ditahan selama 3 jam, dengan suhu sintering optimum 15000C. Berdasarkan pengamatan mikrostruktur dengan SEM dan identifikasi fasa dengan XRD menunjukkan pengaruh aditif CaO dan suhu sintering terhadap mikrostruktur keramik PSZ. Kata kunci: ceramic XRD,SEM, Partially Stabilized Zirconia, sintering. I. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan teknologi, saat ini material keramik tidak hanya dikenal sebagai produk keperluan rumah tangga atau barang seni, atau sering disebut sebagai keramik konvensional. Material keramik telah jauh lebih maju, salah satu contoh untuk pemakaian di bidang rumah tangga, teknik maupun medis dan disebut sebagai keramik teknik atau keramik maju.

Zirkonia (ZrO2) merupakan salah satu jenis dari keramik teknik yang aplikasinya sangat luas tergantung dari bentuk struktur kristalnya. ZrO2 tergolong material bersifat polimorfi yang memilki tiga macam struktur kristal yaitu: monoklinik, tetragonal dan kubus. Monoklinik ZrO2 (m - ZrO2) dan tetragonal ZrO2 (t - ZrO2) tergolong tidak stabil pada suhu 1000 – 1100 0C, karena pada kisaran suhu tersebut terjadi transformasi fasa dari monoklinik ke tetragonal (reversible) sehingga dapat menimbulkan perubahan volume 3 – 5 %. Dampaknya akan terjadi keretakan mikro (micro crack), bila retak tersebut menjalar maka dapat menimbulkan kerusakan (failure) pada material. Kubus ZrO2 (c - ZrO2) tergolong fasa yang paling stabil terhadap perubahan suhu. ZrO2 murni umumnya memiliki struktur kristal monoklinik, untuk merubah ke fasa yang stabil c-ZrO2 diperlukan pemanasan sampai suhu tinggi di atas suhu leburnya yaitu sekitar 26800C. Selain itu melalui penambahan aditif oksida-oksida bivalen atau trivalent, misalnya: CaO, MgO, Y2O3, Sc2O3 dapat diperoleh fasa stabil c - ZrO2 pada suhu relatif lebih rendah di bawah titik leburnya . Adanya fasa c - ZrO2 dalam keramik ZrO2 dapat dihindarinya penjalaran retak mikro akibat transformasi fasa monoklinik. Proses penambahan aditif pada pembuatan keramik ZrO2 sehingga dalam struktur kristalnya terbentuk sebagian fasa stabil c - ZrO2 disebut sebagai proses penstabilan sebagian ZrO2. Dimana produk keramik ZrO2 yang mengalami proses penstabilan sebagian disebut Partially Stabilized Zirconia atau PSZ.

Produk keramik PSZ banyak digunakan sebagai

komponen alat pemotong (cutting tools), refractory suhu tingi, nozzle pengapian, dan beberapa komponen mekanik (bearing, seal pump). Bahan baku zirkonia cukup banyak didapat di alam Indonesia dalam bentuk pasir zircon, yang selama ini masih diekspor dalam bentuk pasir. Sedangkan bahan aditif CaO cukup banyak tersedia juga. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menguasai pembuatan keramik PSZ, khususnya dengan mengunakan bahan aditif CaO. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh aditif dan suhu sintering dalam pembuatkan keramik PSZ terhadap mikrostruktur Sintering adalah merupakan salah satu tahapan proses pembuatan keramik yaitu suatu proses pembakaran produk yang telah mengalami proses pencetakan agar diperoleh suatu produk yang lebih padat dan kuat. Tingginya suhu pembakaran atau sintering tergantung jenis materialnya dan umumnya sekitar 70 – 80 % dari titik leburnya. Adapun pelaksanaan penelitian ini meliputi antara lain: teknologi preparasi bahan baku, proses pencetakan dan proses sintering dari keramik PSZ. Karakteristik yang diamati meliputi: analisa mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dan analisa fasa dengan X-Ray Difractometer (XRD) II. TUJUAN PENELITIAN

1. Membuat keramik PSZ dengan aditif CaO 2. Mengetahui pengaruh aditif CaO dan suhu

sintering terhadap mikrostruktur keramik PSZ.

III. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini di harapkan dapat memberikan

tambahan informasi bagi pembuatan keramik yang dipergunakan diberbagai bidang. IV. METODOLOGI

Pembuatan keramik system ZrO2 – CaO dilakukan melalui sistem pencampuran padatan (solid-solid mixing). Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

Page 23: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

20

a. Sumber ZrO2 diperoleh dari bahan ZrOCl2.8H2O b. Sumber CaO diperoleh dari CaCl2.2H2O c. NH4OH d. Aquadest Pemilihan komposisi penambahan aditif CaO diperoleh dari diagram fasa Ca-PSZ, dimana hanya diambil satu titik eutektik dalam persen mole sebagai berikut: 8,64 % mole CaO di dalam ZrO2. Proses pembuatan sampel dilakukan dengan metoda kopresipitasi yang dilakukan dengan cara pencampuran bahan serbuk CaO dengan serbuk ZrO2,. Bahan baku tersebut dilarutkan di dalam air dan ditambahkan ammonia (bersifat basa) sehingga terdapat endapan. Endapan ini kemudian dikeringkan

dengan pemanas listrik (drying oven) pada suhu 100oC selama 24 jam dan dikalsinasi 8000C kemudian digerus hingga ukuran butir sekitar 40 μm (dengan ayakan khusus). Pencetakan benda uji dilakukan dengan alat cetak (dry pressing) dengan tekanan sebesar 5 ton. Proses sintering dilakukan pada tungku listrik Thermolyne 1600oC, dengan laju kenaikan suhu (heating rate) diatur sebesar 10oC/menit dan pada suhu sinternya ditahan selama 3 jam.Sampel yang telah disinterring selanjutnya dikarakterisasi yaitu meliputi pola difraksi dan struktur mikro. Diagram alir preparasi serbuk, dan proses sintering keramik PSZ diperlihatkan pada diagram alir gambar 1 dan 2.

Pembuatan Sampel A. Tahapan preparasi serbuk keramik PSZ:

p p p

PENCAMPURAN Dengan

Magnetic Stirrer

ZrOCl2.8H2O CaCl2 H2O

PENGENDAPAN

Larutan Ammonia PENYARINGAN

dan PENCUCIAN

PENGERINGAN 1100C

KALSINASI SERBUK KERAMIK

Gambar 1 . Diagram alir preparasi serbuk keramik PSZ

B. Tahapan proses sintering

Serbuk PENGHALUSAN

dan PENGAYAKAN

(400 mesh)

PENCETAKAN dengan

CETAK TEKAN

SINTERINGKARAKTERISASI

Gambar 2. Proses sintering keramik PSZ

Page 24: kumpulan jurnal

Pengaruh Aditif CaO dan Suhu Sintering ... Ratna Askiah Simatupang

21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi ukuran partikel dari hasil proses preparasi serbuk keramik PSZ dengan metoda kopresipitas, masing-masing untuk aditif 8,64 % mole CaO yang dikalsinasi suhu 800oC diperlihatkan pada gambar 3. Analisa ukuran partikel ini diamati dengan menggunakan Coulter Counter. Hasil pengukuran menunjukkan distribusi ukuran partikelnya agak melebar hingga rentang ukuran partikelnya lebih

besar 20 μm. Diameter partikel Ca – PSZ rata-rata sekitar 4,12 μm. Dari hasil XRD untuk bahan keramik tanpa menggunakan aditif hanya terbentuk fasa monoklinik seperti pada gambar 4. Analisa pola difraksi sinar X dari serbuk keramik PSZ yang telah dikalsinasi 800oC diperlihatkan pada gambar 5. Pola difraksi sinar X dari keramik Ca – PSZ diperlihatkan pada gambar 6.

ZrO2 – CaO 8, 64 % mole

Ukuran Partikel, μm

Num

ber,

%

Gambar 3. Kurva distribusi ukuran partikel Ca – PSZ, dikalsinasi 800oC

Gambar 4. Pola difraksi sinar X dari keramik ZrO2 tanpa menggunakan aditif.

Sudut, 2 θ

Peak

Inte

nsita

s

20 70 60504030

(111

)

(130

)

(444

)

(200

) (8

62)

(212

)

(211

)

(202

)

(131

)

Monoklinik ZrO2 (1

32)

Sudut, 2 θ

Peak

Inte

nsita

s

Gambar 5. Pola difraksi sinar X dari keramik Ca – PSZ yang dikalsinasi 800oC.

Page 25: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

22

keramik Ca – PSZ

Gambar 6. Pola difraksi sinar X dari keramik Ca – PSZ yang disinter pada

suhu: 1100, 1200, 1300, 1400 dan 1500oC.

Inte

nsita

s (ar

bita

ry u

nit)

Sudut 2θ

1100oC

1200oC

1500oC

1400oC

1300oC

20 30 40 50 60

m

m

m

m

c

c

c

c

c

t

t

t

t

t

c

c

c

c

c

t

t

t

t

c

c

c

c

c

c

c

c

c

c

t

t

t

t

t

70 80

c

c

c

90

c

m

m

m

mt

t

t

t

m

Dari gambar 6 terlihat bahwa pola yang dihasilkan mempunyai bentuk yang sama walaupun suhu sintering yang diberikan berbeda, yaitu: 1100, 1200, 1300, 1400 dan 1500oC. Perbedaan yang terlihat hanya pada besarnya intensitas relatif yang dihasilkan. Pola difraksi sinar X yang dihasilkan dari keramik Ca - PSZ menunjukkan bahwa fasa ZrO2 yang dominan adalah tetragonal dan kubik, sedangkan fasa minor adalah monoklinik.

Struktur mikro keramik ZrO2 tanpa aditif yang disintering pada suhu 14000 C, ditunjukkan pada gambar 7. Terlihat bahwa terjadi retakan sepanjang butir (grain ) ZrO2 dengan struktur monoklinik.

Struktur mikro keramik yang disinterring pada suhu 11000C, 12000C, 13000C 14000C ditunjukkan pada gambar 8.

Dari gambar 8 menunjukkan bahwa pada suhu sintering yang lebih rendah relatif lebih banyak pori dibanding suhu yang lebih tinggi. Pori-pori ditunjukkan sebagai warna gelap/hitam dan butiran dengan warna terang atau putih, sebagai contoh perbedaan yang kontras untuk suhu 1100oC dengan 1400oC. Pengurangan jumlah pori diikuti penggabungan butiran yang satu dengan lainnya mulai terlihat dengan adanya kenaikan suhu, artinya kristal growing atau pertumbuhan kristal telah terjadi.

Page 26: kumpulan jurnal

Pengaruh Aditif CaO dan Suhu Sintering ... Ratna Askiah Simatupang

23

10 μm

Gambar 7. Foto SEM keramik ZrO2 tanpa aditif dan disinter pada suhu 1400oC

Ca – PSZ, 1100oC Ca – PSZ, 1200oC

Ca – PSZ, 1300oC Ca – PSZ, 1400 oC

10μm

10μm 10μm

Gambar 8. Foto SEM dari keramik Ca – PSZ yang disintering 1100oC, 1200oC, 1300oC, dan 1400 oC.

Page 27: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

24

VI. KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Ukuran partikel rata - rata dari serbuk

keramik Ca – PSZ yang terbentuk pada suhu 800oC adalah 4,12 μm.

2. Pembuatan keramik Ca-PSZ pada suhu sintering 15000C merupakan kondisi terbaik dengan fasa dominan tetragonal dan kubik sedangkan fasa minor adalah monoklinik.

3. Bentuk butiran/partikel yang diperoleh relatif tidak seragam dengan grain size sekitar 0,1 – 20 μm.

DAFTAR PUSTAKA Chan R. W., P. Hansen., E. J. Kramer. 1992, Material

Science and Technology, Characterization of Materials, VCH, Weinheim, Part

I, Vol. 2A, Germany,. Chester J. H., 1996, Refractories for Iron and Steel

Making, Metal Society Publisher, London. David C. Cranmer, 1991,Overview of Technical,

Engineering, and Advanced Ceramics; Engineered Materials Handbook, Ceramic and Glass, Vol.4.

Garvie R. C., 1970, Zirconium Dioxide and Some of Its Binary System, High

Termperature Oxides part II, A. M. Alper. Academic Press, p. 117.

Garvie R. C., R. H. Hannink and R. T. Pascoe, 1975,Nature, Vol. 258, p. 703.

Gulati S. T., J. D. Helfinstine, and A. D. Davis, 1980, Determination of Some Usefull

Properties of Partially Stabilised Zirconia and The Aplication to Extrusion Dies, J. Am. Cer. Soc., Vol 59 (No.2), page. 211 – 219.

James S. Reed, 1988, Introduction to The Principles of Ceramic Processing, John Wiley & Sons, Inc. Singapore.

Ristic M. M., 1989, Sintering – New Development, Elsievier Scientific Publishing Company, Vol. 4, Netherland. Richardson David W., 1982, Modern Ceramic Engineering, Marcel Dekker, Inc., New York.

William Coblens, 1991, Firing of Sintering (Densification) of Ceramic, Engineered Materials Haqndbook, edited by Samuel J. Schneider, ASM International Publisher, Vol. 4, New York.

Page 28: kumpulan jurnal

Abu Serbuk Batang Kelapa Sebagai Katalis Proses Esterifikasi Stearin Bode Haryanto

25

ABU SERBUK BATANG KELAPA SEBAGAI KATALIS PROSES ESTERIFIKASI STEARIN

Bode Haryanto

Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Esterifikasi adalah suatu proses mereaksikan Alkil alkohol dengan suatu bahan tertentu yang dalam penelitian ini menggunakan trigliserida yaitu stearin. Berbagai katalis telah dimanfaatkan dalam proses ini dan terbukti bahwa senyawa yang mengikat unsur Na, K dan Mg merupakan katalis yang cukup baik sebagai katalis. Katalis abu dari sekam padi hasil pembakaran pada temperatur 500 0C, 550 0C, 600 0C, 650 0C dan 700 0C selama delapan jam digunakan dalam melakukan proses esterifikasi untuk uji kemampuan katalis dengan variasi persen berat katalis terhadap stearin: 3 % dan 4 %. Hasil penelitian awal ini menunjukkan temperatur 6000C dengan jumlah katalis 3% berat stearin mengahasilkan volume metil ester maksimum 19 ml dengan kemurnian 100 % sehingga konversi reaksi adalah 76 %. Kata kunci: Abu Batang Kelapa, Esterifikasi 1. Pendahuluan Abu sekam kayu kelapa merupakan bagian kelapa yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Biasanya kayu kelapa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk kerangka atau atap rumah di pedesaan dan abu kayu kelapa belum dimanfaatkan sama sekali. Karena itu, perlu dilakukan usaha pemanfaatan abu kayu kelapa ini sehingga lebih bermanfaat dan berdaya jual tinggi. Graille dkk (1985) juga menggunakan katalis abu yang berasal dari tungku pembakaran limbah padat pabrik kelapa. Abu tersebut memiliki kadar ion kalium dan karbonat yang tinggi. Abu kulit buah dan batang kelapa kelihatannya dapat digunakan sebagai katalis. Senyawa utama penyusun katalis abu disajikan pada Tabel 1. 2. Tinjauan Pustaka

Pada tahun 1985, Graille dkk menggunakan katalis yang berasal dari mineral alami seperti kalsium karbonat dari endapan batu kapur, montmorillonite dari tanah lempung, faujasite (zeolit) dan magnesium oksida dari endapan dolomit. Selain itu juga digunakan katalis yang berasal dari senyawa - senyawa yang mudah didapat seperti KOH dan KHCO3. Katalis - katalis tersebut diuji pada reaksi metanolisis minyak sawit. Metanolisis dilakukan pada temperatur 60 0C dengan nisbah berat metanol - minyak sebesar 1,7 : 1 . Katalis - katalis tersebut digunakan sebanyak 20 % berat (berbasis minyak). Tabel 2 berikut menyajikan hasil uji katalis - katalis tersebut. Data yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat bahwa kalium merupakan kation utama dengan kemampuan konversi yang cukup baik.

Tabel 1. Senyawa Utama Abu Kelapa (% berat) Abu Kelapa

Senyawa Kulit buah Batang

Kalium (K) 40 35 Natrium (Na) 1,7 2,5 Kalsium (Ca) 1,1 2,8

Magnesium (Mg) 0,9 2,1 Klor (Cl) 2,7 14,5

Karbonat (CO3) 27,7 12,5 Nitrogen (N) 0,06 0,05

Posfat (P) 0,9 0,9 Silika (SiO2) 10,5 16,8

Sumber : Graille dkk, (1985).

Tabel 2 Hasil Uji Katalis Mineral Alami Perolehan ( % )

Katalis Metil Ester Asam Lemak Sabun

Montmorillonite 0 0,5 CaCO3 0 0,5 MgO 0 0,5

Faujasite 23 0,6 CaO 48 1,5

K2CO3 95 1,8 KHCO3 95 1,9 KOH 95 0,5

2. Tinjauan Pustaka Pada tahun 1985, Graille dkk menggunakan katalis yang berasal dari mineral alami seperti kalsium karbonat dari endapan batu kapur, montmorillonite dari tanah lempung, faujasite (zeolit) dan magnesium oksida dari endapan dolomit. Selain itu juga digunakan katalis yang berasal dari senyawa - senyawa yang mudah didapat seperti KOH dan

Page 29: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

26

KHCO3. Katalis - katalis tersebut diuji pada reaksi metanolisis minyak sawit. Metanolisis dilakukan pada temperatur 60 0C dengan nisbah berat metanol - minyak sebesar 1,7 : 1 . Katalis - katalis tersebut digunakan sebanyak 20 % berat (berbasis minyak). Tabel 2 berikut menyajikan hasil uji katalis - katalis tersebut. Data yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat bahwa kalium merupakan kation utama dengan kemampuan konversi yang cukup baik. 3. Prosedure dan Metodologi Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian, Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Medan dan Laboratorium Pangan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Jl. Brigjen Katamso No 51 Medan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini ialah sekam batang kelapa (SBK) yang diambil dari limbah sisa pemotongan kayu kelapa. Data penelitian yang ingin dicari ialah banyaknya volume metil ester yang terbentuk, titik didih, densitas dan viskositasnya. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Variabel dan kondisi proses yang divariasikan ialah ; Temperatur pembakaran sekam batang kelapa : 500 0C, 550 0C, 600 0C, 650 0C, dan 700 0C. Persen berat katalis terhadap stearin : 3 % dan 4 %. 4. Tahap Pelaksanaan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini ialah stearin sebagai bahan baku (reaktan) pada pembuatan metil ester asam lemak (biodiesel). Metanol sebagai bahan baku (reaktan) pada pembuatan metil ester asam lemak (biodiesel). Sekam batang kelapa yang diabukan sebagai katalis pada pembuatan metil ester asam lemak (biodiesel). Peralatan Penelitian yang dipergunakan pada penelitian ini ialah: Labu leher tiga 1000 ml sebagai tempat untuk mereaksikan metanol dan stearin. Refluks kondensor untuk merefluks uap metanol kembali ke dalam labu leher tiga. Termometer 100 0C dan 360 0C untuk mengukur temperatur. Motor pengaduk untuk mengaduk campuran reaksi agar homogen dan mempercepat reaksi. Pemanas (hot plate) untuk memanaskan campuran reaksi. Furnace untuk membakar sekam batang kelapa menjadi abu. Neraca analitis untuk menimbang berat abu sekam batang kelapa. Desikator untuk mendinginkan abu sekam batang kelapa yang dibakar di dalam furnace. Corong pemisah 100 ml untuk memisahkan produk metil ester dan gliserol. Piknometer 10 ml untuk menentukan densitas metil ester. Viskosimeter Ostwald untuk menentukan viskositas metil ester. Cawan penguap sebagai tempat sekam batang kelapa yang akan dibakar di dalam furnace. Gelas ukur 10 ml dan 100 ml untuk mengukur volume metanol dan stearin yang akan direaksikan. Beaker glass 250 ml sebagai tempat untuk melarutkan abu sekam batang kelapa di dalam methanol.

1

2

3

5

4

6

Gambar 1. Rangkaian alat proses metanolisis

Keterangan Gambar 1. 1. Termometer 2. Heater 3. Motor pengaduk 4. Labu leher tiga 5. Pendingin 6. Statif Keterangan Gambar 2. 1. Statif 2. Termometer 3. Labu leher tiga 4. Magnit Stirrer 5. Pipa Penghubung 6. Kondenser 7. Erlenmeyer

Gambar 2. Rangkaian alat proses destilasi 5. Prosedur Kerja Sekam batang kelapa dibakar dengan furnace selama 8 jam pada temperatur 500 0C. Stearin dipanaskan di atas hot plate sampai mencair hingga tidak terlihat lagi gelembung gas (buih), kira-kira 15 menit. Abu sekam batang kelapa (3 % terhadap berat stearin) dilarutkan dalam 50 ml metanol. Gambar 1. campuran sekam batang kelapa dan metanol dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang dilengkapi dengan termometer, motor pengaduk dan

Page 30: kumpulan jurnal

Abu Serbuk Batang Kelapa Sebagai Katalis Proses Esterifikasi Stearin Bode Haryanto

27

kondensor refluks. Lalu ditambahkan 25 ml stearin yang telah dicairkan. Campuran dipanaskan sampai temperatur reaksi 65 0C, dilakukan pengadukan yang kuat yaitu 500 rpm selama 2 jam dan temperatur reaksi dijaga konstan 65 0C. Setelah itu metanol dipisahkan dengan mendestilasi campuran (Gamabar 2). Metanol yang diperoleh ini dapat digunakan kembali untuk proses metanolisis selanjutnya. Setelah metanol dipisahkan, akan terbentuk dua produk utama, yaitu gliserol pada lapisan bawah dan metil ester pada lapisan atas. Keduanya dipisahkan dengan corong pemisah. Metil ester dicuci dengan air hangat dalam corong pemisah untuk membuang residu katalis dan sabun. Setelah dicuci, metil ester yang dihasilkan diukur volumenya, kemudian dianalisa densitas, viskositas dan titik didihnya. Prosedur di atas diulangi untuk variasi persen berat katalis terhadap stearin sebanyak 4 % dan variasi temperatur pembakaran 550 0C, 600 0C, 650 0C dan 700 0C. Kondisi optimasi tercapai bila pada temperatur pambakaran katalis tertentu akan menghasilkan volume produk metil ester yang maksimum. 6. Hasil dan Pembahasan 6.1. Hasil Penelitian Pembuatan metil ester sebagai biodiesel dilakukan melalui reaksi metanolisis terhadap stearin dengan menggunakan katalis sekam batang kelapa yang dibakar di dalam furnace pada berbagai variasi temperatur pembakaran katalis. Proses ini dilakukan secara batch dan hasilnya disajikan pada Tabel 3.

6.2. Pembahasan Gambar 3. menunjukkan hubungan antara temperatur pembakaran sekam batang kelapa terhadap volume metil ester yang dihasilkan. Variasi temperatur pembakaran adalah 500, 550, 600, 650, dan 700 0C. Dari variasi temperatur pembakaran tersebut, hasil yang paling baik (metil ester yang dihasilkan paling banyak) adalah pada penggunaan abu sekam batang kelapa hasil pembakaran temperatur 600 0C. Pada temperatur 500 0C dan 550 0C, diperkirakan ion-ion alkali dalam abu sekam batang kelapa belum teraktifkan secara optimal karena sekam batang kelapa belum semuanya menjadi abu. Pada temperatur 600 0C, ion-ion alkali dalam abu sekam batang kelapa diperkirakan lebih aktif atau lebih optimal menghasilkan produk metil ester yang maksimum. Namun pada temperatur 650 0C dan 700 0C, produk metil ester mengalami penurunan kembali karena ion-ion alkali terutama kalium semakin berkurang, karena temperatur pembakaran yang tinggi menyebabkan kandungan kalium pada abu berkurang (Zahrina, 2000). Kalium memang bersifat mudah menguap bila dipanaskan pada temperatur tinggi (Othmer,1991). Dari gambar di atas juga dapat dilihat bahwa dengan pemakaian katalis 3 % akan menghasilkan produk metil ester yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pemakaian katalis sebanyak 4 %. Semakin banyak persentase berat katalisnya maka kandungan alkalinya semakin banyak. Alkali yang semula difungsikan sebagai katalis menjadi ikut bereaksi dengan trigliserida membentuk sabun, sehingga sabun yang terbentuk lebih banyak dari pada metil ester yang diperoleh.

Tabel 3 Hasil Perolehan Metil Ester

No Temperatur pembakaran

(0C)

Persen berat katalis (%)

Volume metil ester

(ml)

Densitas (gr/ml)

Viskositas (cP)

Titik didih (0C)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

500 550 600 650 700 500 550 600 650 700

3 3 3 3 3 4 4 4 4 4

16 18 19 17

16,5 10 11 18 16 12

0,8550 0,8558 0,8543 0,8559 0,8556 0,8565 0,8554 0,8568 0,8567 0,8580

1,8126 1,7999 1,8111 1,7811 1,8138 1,8014 1,8468 1,7829 1,8162 1,7711

284 284 283 284 286 286 288 285 286 285

Page 31: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

28

G r afi k Hu bu n g an T e m pe r atu r P e m bak ar an S e k am B atan g Ke lapa -vs - V olu m e M e ti l Es te r

0

5

1 0

1 5

2 0

5 0 0 5 5 0 6 0 0 6 5 0 7 0 0T e m pe r a tu r P e m bak ar an (0 C )

Volum

e Meti

l Este

r

(ml) 3 % ka t a lis

4 % ka t a lis

Gambar 3. Grafik Hubungan Temperatur Pembakaran Sekam Batang Kelapa Terhadap Volume Metil Ester

6.3. Hasil Analisa Metil Ester a. Analisa Densitas Analisa densitas metil ester dilakukan dengan menggunakan piknometer volume 10 ml. Dari hasil yang diperoleh (Tabel 4.2) terlihat bahwa densitas metil ester untuk setiap run berkisar antara 0,8543 – 0,8580 gr/ml. Bila dibandingkan dengan spesifikasi minyak diesel yang ditetapkan oleh ASTM, dimana harga densitasnya ialah 0,8 – 0,9 gr/ml maka biodiesel hasil penelitian ini masih memenuhi spesifikasi yang disyaratkan tersebut. b. Analisa Viskositas Analisa viskositas metil ester dilakukan dengan menggunakan viscosimeter Oswald. Dari hasil yang diperoleh (Tabel 4.2) terlihat bahwa viskositas metil ester untuk setiap run berkisar antara 1,7711 – 1,8468 cP. Bila dibandingkan dengan spesifikasi minyak diesel yang ditetapkan oleh ASTM, dimana harga viskositasnya ialah 1,4 – 26,4 cP maka biodiesel hasil penelitian ini masih memenuhi spesifikasi yang disyaratkan tersebut. c. Analisa Titik Didih Analisa titik didih ini dilakukan dengan menggunakan cawan penguap sebagai tempat metil ester yang dipanaskan di atas hot plate. Pada saat metil ester tersebut mendidih diukur temperatur didihnya dengan menggunakan termometer. Dari hasil yang diperoleh (Tabel 4.2) terlihat bahwa titik didih metil ester untuk setiap run berkisar antara 283 – 288 0C. Bila dibandingkan dengan spesifikasi minyak diesel yang ditetapkan oleh ASTM, dimana harga titik didihnya ialah 282 – 338 0C, maka biodiesel hasil penelitian ini masih memenuhi spesifikasi yang disyaratkan tersebut. d. Analisa Kemurnian Analisa kemurnian ini dilakukan dengan Kromatografi Lapisan Tipis (TLC : Thin Layer Chromatografi ) di Laboratorium Pangan Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jl. Brigjen Katamso No 51 Medan. Sampel yang dianalisa ialah metil ester yang dihasilkan dari temperatur pembakaran 600 0C dan 3 % berat katalis (metil ester yang paling

maksimum ) yaitu dengan volume 19 ml. Hasil analisa menunjukkan bahwa kemurnian metil ester yang dihasilkan ialah 100 %, sehingga konversi reaksinya sebesar 76 %. 7. Kesimpulan dan Pengembangan 7.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut, yaitu : 1. Katalis abu sekam batang kelapa pada pembakaran

600 0C dan berat 3 % dari berat stearin menghasilkan produk metil ester yang optimum yaitu 19 ml dengan kemurnian 100 % dan konversi reaksi 76 %.

2. Biodiesel yang diperoleh telah memenuhi spesifikasi minyak diesel yang ditetapkan oleh ASTM D - 975.

7.2. Pengembangan Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat diberi saran-saran sebagai berikut : 1. Untuk penelitian selanjutnya dapat digunakan abu kulit buah kelapa sebagai katalis. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dikaji pengaruh persen berat katalis lebih rendah dari 3 %. 8. DAFTAR PUSTAKA Anonim, “ Standard Specification for Diesel Fuels

Oils “, American Society for Testing and Material, An American National Standard, Philadelphia, 1991.

Haryanto, Bode, “ Kajian Awal Pemanfaatan Abu Sekam Padi Sebagai Katalis Pada Pembuatan Biodiesel “, Medan, 2002.

Kataren. S, “ Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan “ UI Press, Jakarta, 1986.

Othmer, Kirk, “ Encyclopedia of Chemical Technology “, John Wiley & Sons Inc, New York, 1994.

Perry, John H, “ Perry’s Chemical Engineers’ Handbook “, Edisi Ketujuh, McGraw-Hill Book Company, New York, 1997.

Zahrina, Ida, “ Studi Evaluasi Efektifitas Katalis Abu Tandan Sawit Pada Metanolisis Stearin ”, Tesis S-2 Jurusan Teknik Kimia ITB, Bandung, 2000

Page 32: kumpulan jurnal

Mengukur Daya Reaktif dengan Kapasitor Pembantu Windalina Syafiar

29

MENGUKUR DAYA REAKTIF DENGAN KAPASITOR PEMBANTU

Windalina Syafiar

Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU

Abstrak: Berbagai alat ukur listrik jelas penggunaanya dan cara pemakaiannya serta rangkaian pengukurannya. Begitupun ada juga alat-alat ukur tertentu dengan bantuan komponen tertentu dapat dimanfaatkan bagi pengukuran yang lain (pengukuran tidak langsung). Susunan tiga voltmeter dan tiga amperemeter bolak-balik dengan komponen bantu tahanan dapat juga dimanfaatkan bagi pengukuran daya reaktif dan faktor daya reaktif dengan mengubah komponen pembantunya dengan suatu kapasitor. Kata kunci : Daya reaktif, kapasitor pembantu. 1. Pendahuluan Kapasitor adalah suatu komponen rangkaian listrik statis yang pada dasarnya bersifat sebagai penyimpan muatan listrik. Dalam suatu rangkaian listrik arus bolak-balik sebuah kapasitor bersifat sebagai suatu reaktansi kapasitif yang mempunyai impedansi arus bolak-balik yang nilainya berbanding terbalik kepada nilai kapasitansi dari kapsitor tersebut dan frekuensi dari arus bolak-balik yang mengalir dalam kapasitor tersebut. Beberapa pemakaian kapasitor sebagai komponen rangkaian listrik statis diantaranya adalah : 1. Sebagai Komponen daya reaktif kapasitif untuk

memperbaiki faktor daya reaktif induktif pada rangkaian.

2. Sebagai komponen di dalam rangkaian filter frekuensi tinggi

3. Sebagai komponen untuk rangkaian pembagi tegangan.

4. Sebagai komponen untuk penggandeng antar rangkaian (coupling condenser).

5. Sebagai komponen untuk meratakan tegangan yang diperoleh dari penyearahan tegangan bolak-balik

Tulisan ini megetengahkan suatu pemakaian yang sederhana dari suatu komponen kapasitor dimana suatu komponen kapasitor digunakan sebagai komponen pembantu di dalam suatu rangkaian yang digunakan untuk mengukur daya reaktif yang terdapat pada suatu impedansi (rangkaian). Dasar perhitungan di dalam rangkaian yang ditampilkan dalam tulisan ini adalah penjumlahan secara vektoris dari nilai efektif dari tegangan atau arus bolak-balik yang terdapat pada suatu rangkaian. Rangkaian pengukuran yang digunakan adalah rangkaian pengukuran daya yang menggunakan 3 buah voltmeter atau rangkaian pengukuran daya yang menggunakan 3 buah amperemeter. Peralatan dan rangkaian pengukuran ini sangat sederhana, dan sebagai tambahan dapat juga dijelaskan bahwa suatu multitester yang umumnya dapat digunakan untuk mengukur tegangan bolak-balik dapat juga digunakan bagi pengukuran daya dengan 3 buah voltmeter ini.

2. Mengukur Daya Aktif dengan Bantuan Tahanan.

Di dalam teknik pengukuran daya listrik pada rangkaian arus bolak-balik terdapat cara pengukuran daya aktif dengan menggunakan suatu tahanan pembantu yang dapat digunakan bagi pengukuran daya aktif satu fasa. Untuk ini dikenal rangkaian yang disebut sebagai rangkaian pengukuran daya aktif dengan menggunakan 3 buah voltmeter dan rangkaian pengukuran daya aktif dengan menggunakan 3 buah amperemeter (lihat gambar 1 dan 2). Dengan menggunakan kedua model rangkaian ini dimana tahanan yang digunakan diganti dengan sebuah kapasitor maka dapat diukur daya reaktif yang ada pada suatu impedansi dan juga dapat ditentukan apakah daya reaktif tersebut berupa daya reaktif induktif atau berupa daya reaktif kapasitif.

R ZL

V3

V1 V2

V3

V2

Gambar 1. Pengukuran Daya Aktif dengan

menggunakan 3 buah voltmeter dan tahanan pembantu

V1

Page 33: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

30

Gambar 2. Pengukuran Daya Aktif dengan

menggunakan 3 buah amperemeter dan tahanan pembantu.

3. Mengukur Daya Reaktif dengan

Menggunakan 3 Buah Voltmeter dan Sebuah Kapasitor Pembantu Rangkaian dan hubungan vektoris dari ketiga

tegangan hasil pengukuran daya reaktif dengan menggunakan sebuah kapasitor pembantu terlihat pada gambar 3 berikut ini.

C = Kapasitor pembantu ZL = Beban yang diukur V1, V2, V3 = Voltmeter pengukuran

Gambar 3. Rangkaian Pengukuran Daya REaktif

dengan 3 buah voltmeter dan sebuah kapasitor pembantu serta vector diagram dari rangkaian.

V1 = Voltmeter bagi mengukur tegangan kapasitor

pembantu. V2 = Voltmeter bagi mengukur tegangan

impedansi yang diukur. V3 = Voltmeter bagi mengukur tegangan sumber. I = Arus yang mengalir pada impedansi

Selain ketiga besaran pengukuran yang ada ini, maka besar frekuensi dari tegangan bolak-balik yang digunakan ini harus diketahui.

Secara vektoritis penjumlahan tegangan pada rangkaian pengukuran ini adalah :

V3 = V1 + V2 yang dalam nilai efektif penjumlahannya adalah sebagai berikut: (1) )90(cos2 21

22

21

23 φ+++= VVVVV

(2) )sin2 212

22

12

3 φVVVVV −+= Nilai efektif dari tegangan pada kapasitor dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : (3)

CfIIXV C π21 ==

Sehingga persamaan (2) dapat diubah menjadi persamaan (4) berikut :

φπ sin)2/(2 22

22

12

3 fCIVVVV −+=

)sin(2/1 22

22

12

3 φπ IVfCVVV −+=

Dimana φsin2 IVQ = adalah besar daya reaktif yang terdapat pada impedansi ZL. Jadi dapat ditulis : (5) QCfVVV )/1(2

22

12

3 π−+= Sehingga besar daya reaktif adalah : (6) )( 2

32

22

1 VVVfCQ −+= π Dari persamaan (6) diatas maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut :

A3

A1

A2

V

R

ZL

I2

I1 V

V1

V2

Z

I

C

V3

I

V3 V2

V1

I3

Page 34: kumpulan jurnal

Mengukur Daya Reaktif dengan Kapasitor Pembantu Windalina Syafiar

31

a. Jika 23

22

21 VVV −+ =0 atau

22

21

23 VVV += maka ZL berupa impedansi

resisitif–murni dengan Q = 0 b. Jika 2

32

22

1 VVV −+ > 0 maka Q > 0 berarti ZL berupa impedansi resistif-induktif dan Q bernilai positif.

c. Jika 23

22

21 VVV −+ < 0 maka Q < 0

berarti ZL berupa impedansi resistif-kapasitif dan Q bernilai negatif.

4. Mengukur Daya Reaktif dengan

Menggunakan 3 Buah Amperemeter dan Sebuah Kapasitor Pembantu. Rangkaian pengukuran daya reaktif dengan 3

buah amperemeter dan sebuah kapasitor pembantu terlihat pada gambar 4 berikut ini :

C = Kapasitor pembantu ZL = Beban yang diukur A1, A2, A3 = Amperemeter pengukuran.

Gambar 4. Mengukur Daya Kreatif dengan 3

buah Amperemeter dan Sebuah Kapasitor Pembantu serta Vektor Diagram dari Rangkaian.

A1 = Amperemeter bagi mengukur arus pada impedansi ZL.

A2 = Amperemeter bagi mengukur arus pada kapasitor pembantu.

A3 = Amperemeter bagi mengukur arus total pada rangkaian.

Dalam pengukuran ini besar tegangan dari sumber tidak perlu diketahui kecuali frekuensi dari arus bolak-balik pada rangkaian.

Dari rangkaian diperoleh hubungan arus secara vektoris :

213 III += Jika impedansi ZL merupakan impedansi yang

hendak diukur daya reaktifnya., maka dengan menganggap ZL. Berupa impedansi reaktif–induktif akan diperoleh hubungan vector arus sesuai dengan gambar 4 yaitu : (7) )90(cos2 21

22

21

23 φ+++= IIIII

(8) )sin2 212

22

12

3 φIIIII −+=

φπ sin)2(2 12

22

12

3 VfCIIII −+= Dimana besar arus pada kapasitor C yaitu

fCVI π22 = (nilai efektif dari arus dan tegangan bolak-balik), sehingga dapat ditulis persamaan (9) seperti berikut:

φπ sin)2(2 12

22

12

3 VfCIIII −+=

φπ sin)4 12

22

12

3 IVfCIII −+=

QfCIII π422

21

23 −+=

Dimana φsin1IVQ = adalah daya reaktif pada impedansi ZL maka daya reaktif pada beban dapat diperoleh dengan rumus :

(10) Cf

IIIQ

π4

23

22

21 −+

=

Dari persamaan (10) maka diambil kesimpulan sebagai berikut :

a. Jika 23

22

21 III −+ =0 yang berarti Q =

0, maka impedansi ZL merupakan satu tahanan murni.

b. Jika 23

22

21 III −+ > 0 yang berarti

Q > 0 maka impedansi ZL bersifat resistif-induktif.

c. Jika 23

22

21 III −+ < 0 yang berarti

Q < 0 berarti impedansi ZL bersifat impedansi resistif-kapasitif.

5. Contoh Hasil Pengukuran

Sebagai contoh disini ditunjukkan hasil pengukuran dengan menggunakan 3 buah amperemeter bagi menghitung daya reaktif yang terdapat pada sebuah lampu TL dengan data nominal 20 watt/220 volt/ 50 Hz. Pengukuran dilakukan pada

A1 A2

A3

V

I3

I2 I1

ZL

I2

I3

V I1

Page 35: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

32

tegangan jala-jala 232 volt/50Hz dimana lampu TL menarik arus sebesar 0.18 Amp dari jala-jala. Pada pengukuran ini digunakan sebuah kapasitor pembantu sebesar 1 mikrofarad/350 volt yang menarik arus sebesar 0.06 Amp dari jala-jala. Arus total yang ditarik dari jala-jala pada pengukuran ini adalah sebesar 0.13 Amp.

Dari data yang diperoleh sebagai hasil pengukuran maka diperoleh :

1I = 0.18 Amp

2I = 0.06 Amp

3I = 0.13 Amp f = 50 Hz C = 1 Mikrofarad

Maka diperoleh :

( )

( )var414.30

13.006.018.050)14.3(4

104

1

2226

23

22

21

=

−+=

−+= IIICf

Karena tegangan sumber pada rangkaian pengukuran ini diketahui, maka sebagai tambahan dari hasil pengukuran ini disini ditunjukkan juga bahwa nilai faktor daya aktif dan daya aktif pada lampu TL dapat dihitung dari rangkaian tersebut. Daya semu pada lampu TL adalah : S = VI = 232 x 0.18 = 41.4 va Faktor daya reaktif pada lampu TL adalah

678.0cos277.47

73464.04.41

414.30sin

=°=

==

φφ

φ

Sehingga daya aktif yangada pada lampu TL besarnya adalah :

wattxx

IVP

313.28678.018.0232

cos

=== φ

Daya P = 28.313 watt ini berupa daya aktif yang terdapat pada tabung lampu TL dan juga daya aktif yang terdapat pada ballast lampu TL tersebut. 6. Kesimpulan

Pengukuran daya reaktif bagi impedansi pada rangkaian satu fasa seperti ini culup sederhana dan dapat dilakukan dengan mudah. Selain dari pembacaan voltmeter dan amperemeter, besar frekuensi dari tegangan atau arus bolak-balik pada rangkaian harus diketahui agar perhitungan besar daya reaktif dapat dihitung dengan persamaan (6) dan (10).

Ketelitian pengukuran ditentukan oleh : 1. Ketelitian dari pembacaan voltmeter/

amperemeter yang digunakan termasuk ketelitian alat ukur dan besar batas skala yang digunakan.

2. Penyimpangan frekuensi ddari harga frekuensi yang sesungguhnya. Oleh karena itu pada saat pengukuran dilakukan perlu diketahui berapa frekuensi yang sesungguhnya dari tegangan bolak-balik dari sumber yang digunakan.

3. Besar dan ketelitian dari nilai kapasitansi pada kapasitor yang digunakan. Kesalahan pengukuran dapat diperkecil jika nilai tegangan efektif pada kapasitor dan impedansi ZL sama besar atau nilai arus efektif pada kapasitor sama besar dengan nilai arus pada impedansi beban ZL.

4. Kesalahan akibat rangkaian pengukuran yaitu impedansi dalam dari voltmeter dan amperemeter yang digunakan pada pengukuran ini. Dari kedua rangkaian bagi menghitung besar

daya reaktif ini, rangkaian dengan menggunakan 3 buah amperemeter merupakan rangkaian yang lebih mudah digunakan. Karena rangkaian pengukuran dapat digunakan dengan menghubungkannya langsung dengan ke sumber tegangan atau jala-jala. Dalam pemakaian sebuah kapasitor selain dari nilai kapasitansinya harus diketahui maka sebagai batasan yang juga harus diperhatikan adalah besar tegangan kerja (working voltage) dan tipe yang dimiliki oleh sebuah kapasitor. Hal ini diperlukan bagi menjaga keamanan kapasitor dan juga rangkaian pengukuran ini. Biasanya kapasitor yang digunakan pada freluensi jala-jala disebut sebagai AC power capacitor dengan satuan MFD (microfarad). Keuntungan rangkaian pengukuran daya reaktif dengan kapasitor pembantu yang menggunakan 3 buah voltmeter atau 3 buah amperemeter ini adalah tidak adanya daya yang terbuang pada kapasitor yang murni. Dan sebagai suatu hal yang harus diperhatikan pula adalah adanya enersi (muatan listrik) yang tersimpan pada saat suatu kapasitor memiliki tegangan.

Jika digunakan inductor murni dalam rangkaian pengukuran yang seperti ini, maka hal yang sama dapat juga diperoleh. Tetapi untuk mendapatkan sebuah induktor murni hal ini lebih sulit jika dibandingkan dengan mendapatkan sebuah kapasitor murni.

7. Daftar Pustaka. Edminister, Joseph, Electrical Circuits (1st edition),

McGraw-Hill, New York, 1972. Sapiee, Sudjana , Pengukuran dan Alat-Alat Ukur

Listrik, Pradya Paramita, Jakarta 1973. Theraja, B.L, A Textbook of Electrical Technology

(volume I), S.Chand & Company, New Delhi, 2005.

Page 36: kumpulan jurnal

Pengendalian Kualitas Produk Finger Joint Laminating … Pregiwati Pusporin, Said Salim Dahdah, Bambang Supriyadi

33

PENGENDALIAN KUALITAS PRODUK FINGER JOINT LAMINATING BOARD DENGAN PENDEKATAN SIX SIGMA

Pregiwati Pusporin, Said Salim Dahdah, Bambang Supriyadi

Dosen Prodi Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Gresik Abstrak: Produk Finger Joint Lamination Board (FJLB) merupakan produk unggulan bagi perusahaan PT. Inhutani I Gresik. Perusahaan berusaha melakukan peningkatan kualitas dengan pendekatan Six Sigma. Setelah melakukan perbaikan hasil yang diperoleh adalah adanya peningkatan level kualitas sigma dari 2,69 menjadi 3,62 dan adanya penurunan DPMO dari 214,663 menjadi 17,164. Biaya perbaikan sebelum proses six sigma adalah Rp. 43.800.000 turun menjadi Rp. 24.250.000. Kata Kunci: Six Sigma, DPMO Abstrak: Finger Joint Lamination Board (FJLB) is the best seller product for PT. Inhutani Gresik. The company trying to improvement quality of product by using Six Sigma Approach. After they do the quality improvement, the result is increasing of sigma quality level from 2,69 to 3,62 and the decreasing of DPMO from 214,663 to 17,164. Cost of repair product before doing the quality improvement is Rp 43.800.000 and after improvement Rp. 24.250.000. Key Words : Six. Sigma, DPMO I. Latar Belakang FJLB merupakan produk yang memiliki berupa papan lebar dengan unsur penyusunnya terdiri dari potongan-potongan kecil sisa potongan kayu dari produk utama dan kemudian disambung menurut panjang dan lebar menjadi satu dengan bantuan perekat. Bahan baku utama pembuatan produk FJLB di PT. Inhutani I adalah menggunakan bahan baku potongan sisa kayu Meranti (Shorea spp), Perupuk (Lophopetalum spp) dan Aghatis (Aghatis damara). Adapun pembagian kualitasnya disesuaikan dengan jenis kayu Meranti, Perupuk atau Aghatis, kemudian dipisahkan sesuai dengan warna dari setiap jenis kayu tersebut. Dari sekian banyak negara pengimport produk tersebut, banyak juga pelanggan yang menetapkan spesifikasi tertentu bagi produk yang akan mereka pesan. Adanya tuntutan pasar yang semakin meningkat, ternyata memberikan tantangan tersendiri bagi industri kehutanan di Indonesia, karena jika industri tersebut tidak mampu memberikan produk yang berkualitas tinggi dalam artian sesuai dengan standar yang sudah ditentukan oleh konsumen perusahaan, maka ancaman terbesar bagi perusahaan adalah akan kehilangan pelanggan, sehingga dampak negatifnya akan merugikan pihak produsen yaitu bagi Industri Pengolahan Kayu (IPK) secara umum. Demikian halnya di PT. Inhutani I Gresik telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas produknya yang salah satunya adalah Finger Joint Luminasi Board (FJLB), dimana sampai saat ini masih menerima keluhan dari pelanggan diantaranya yang presentasinya tinggi adalah defect, misalnya ketebalan, sehingga perlu dilakukan langkah perbaikan awal.

II. Rumusan Masalah Berdasarkan masalah berkaitan di PT. Inhutani I Gresik, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana upaya menurunkan cacat (defect) produk FJLB di PT Inhutani I Gresik dengan menggunakan metode DMAIC” III. Tinjauan Pustaka 1. Proses Pembuatan Papan Sambung

Proses produksi yang berlangsung di ADM PT. Inhutani I Gresik, Jawa Timur dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap pengolahan log dan tahap pengolahan papan gergajian, adapun tahap pertama diuraikan sebagai berikut :

Bahan baku kayu berbentuk log dari tempat penyimpanan di log yard di angkut menggunakan forklif menuju ke saw mill. 1. Log di belah sesuai dengan ukuran tebal tertentu

menggunakan band saw sehingga menjadi papan. Panjang dan lebar papan di potong sesuai dengan pesanan produk.

2. Serbuk gergaji yang dihasilkan dari pemotongan papan di hisap menggunakan alat hisap atau blower atau dust colector (dust suction), alat penghisap serbuk diletakkan di luar area pengolahan kayu (wood working area) dan ditampung dalam bak. Tujuannya untuk menjaga kesehatan dan menjauhkan serbuk dari jangkauan manusia.

3. Papan hasil pembelahan band saw, dimasukkan ke dalam dapur pengeringan atau oven pengering (kiln dry) sampai kadar air (KA) mencapai 8-10 % (standar PT. Inhutani I). Panas pada kiln dry diperoleh dari boiler pemanas jenis water steam

Page 37: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

34

dengan media pemanas menggunakan air yang diuapkan.

4. Setelah kadar air mencapai 8-10% kemudian kayu dikeluarkan dan masuk pada tahap pendinginan kayu atau pengkondisian kayu terhadap lingkungan sekitar, tujuannya untuk mencegah agar tidak terjadi retak pada ujung papan.

Kayu di bawa ke dalam pabrik dan masuk pada tahap dua proses pengolahan selanjutnya yaitu sebagai berikut : 1. Papan dari ruang conditioning dikeluarkan,

menggunakan forklif lalu di bawa ke ruang sortir. a. Tugas sortir menyusun papan yang lulus uji. b. Mengecek kondisi papan, papan yang

bengkok, pecah dan retak dipisahkan. 2. Dari ruang sortir papan diangkat dengan forklif

ke ruang proses produksi WWA (wood working area).

3. Papan dimasukkan ke dalam mesin double planer untuk memperoleh permukaan halus pada bagian muka atas (face) dan muka bawah (back).

4. Dari double planer papan tersebut diseleksi, untuk papan yang lulus uji digunakan sebagai bahan baku pengolahan produk utama dan papan yang tidak lulus uji digunakan sebagai bahan baku pembuatan finger joint.

5. Kemudian papan yang tidak lulus uji dilewatkan pada mesin Multi rip atau Rip saw, tujuannya untuk membentuk lebar Stick kayu.

6. Stick kayu dipotong-potong dengan panjang antara 25 sampai dengan 90 cm.

7. Stick kayu yang berbentuk pendek-pendek, kemudian dimasukkan ke dalam tahap proses pembuatan Finger Joint Stick (FJS).

8. FJS yang sudah jadi dimasukkan ke dalam mesin moulding, tujuannya untuk membentuk stick kayu menjadi bentuk S4S (Smoth Four Surface), yaitu kayu gergajian atau RST (Rowth Sawn Timber) yang telah diketam atau diserut pada keempat sisinya halus.

9. Bahan FJLB disusun berdasarkan warna dan bowing, tujuannya untuk menyeragamkan warna produk FJLB yang akan dibuat dan untuk mencegah terjadinya bowing (melengkung), twist (memuntir) dan cuping (mencawan).

10. FJS di beri bahan bantu lem dengan cara melewatkan FJS melalui alat glue spreader, tujuannya untuk meratakan persebaran lem atau perekat pada permukaan kayu. Jenis perekat yang digunakan adalah lem dengan hardener tipe PVAC merk S117XLV, sifat lem ini tergolong mudah kering.

11. Kemudian FJS disusun dalam alat pres dingin atau disebut rotary composser dan dibiarkan selama 20 menit.

12. Setelah 20 menit, alat pres di buka dan terbentuklah FJLB (finger joint lamination

board). FJLB yang sudah jadi di masukkan ke dalam mesin double end tenoner, tujuannya untuk membentuk kerataan pada permukaan tepi lebar dan tepi panjang FJLB.

13. Selanjutnya FJLB di masukkan ke dalam sander yang agak kasar dengan ukuran amplas # 180, tujuannya untuk membentuk kerataan permukaan atas (face) dan bawah (back).

14. FJLB diamplas kembali untuk kedua kalinya menggunakan sander yang lebih halus dengan ukuran amplas # 240, tujuannya untuk membentuk kerataan atas (face) dan bawah (back) menjadi lebih halus.

15. FJLB di seleksi lagi pada bagian sortir finish dan dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap permukaan FJLB yang berlubang-lubang melalui penyumbatan maupun pengecekan terhadap cacat produk.

16. FJLB di packing sesuai dengan standar pengepakan dan siap di pasarkan.

2. Cacat Papan Sambung Berdasarkan syarat mutu papan sambung pada perusahaan PT. Inhutani I ADM Gresik, adapun jenis-jenis cacat yang dapat berpengaruh terhadap mutu dan kualitas papan sambung adalah sebagai berikut : 1. Perekatan tipis yaitu kurangnya jumlah perekat

yang terlabur pada garis perekat, hal ini sebagai salah satu penyebab keregangan.

2. Ukuran dimensi (panjang x lebar x tebal) kurang (mis : penyimpangan kurang dari ukuran yang diminta) atau lebih (over : penyimpangan lebih dari ukuran yang diminta).

3. Kadar air adalah banyaknya air dalam sepotong kayu yang dinyatakan secara kuantitatif dalam persen terhadap berat kering tanurnya (dapat pula dipakai satuan terhadap berat basahnya).

4. Salah warna adalah timbulnya warna lain yang berbeda dari warna asli kayu, disebabkan ada perubahan zat-zat kimiawi dan lain-lain.

5. Permukaan kasar, permukaan papan laminasi yang berserabut atau memiliki arah serat yang tidak rata, hal ini bisa disebabkan oleh kurang sempurnanya penyerutan atau pengamplasan papan.

6. Pinhole adalah lubang gerek, cacat pada papan sambung yang disebabkan oleh kumbang penggerek kayu.

7. Mata kayu adalah penampang lintang berbentuk bulat atau lonjong dari cabang yang tertanam pada kayu oleh pertumbuhan pohon secara alami.

8. Pecah adalah terpisahnya atau terputusnya serat-serat kayu pada arah memanjang, baik menembus atau tidak terhadap muka sebaliknya atau muka yang berbatasan dengan muka kayu gergajian dimana cacat tersebut nampak.

9. Retak adalah sedikit terpisahnya serat-serat kayu pada arah memanjang tetapi tidak menembus

Page 38: kumpulan jurnal

Pengendalian Kualitas Produk Finger Joint Laminating … Pregiwati Pusporin, Said Salim Dahdah, Bambang Supriyadi

35

pada muka sebaliknya atau muka yang berbatasan.

10. Sambungan renggang yaitu adanya jarak yang jelas antar strip kayu disebabkan oleh gagalnya perekatan dan pengempaan dan kurang tepatnya ukuran strip.

11. Bowing (membusur) adalah melengkungnya kayu gergajian pada muka lebarnya.

12. Bending (lengkung) adalah melengkungnya kayu gergajian pada muka tebalnya.

13. Twist (muntir) adalah melengkungnya kayu gergajian ke arah diagonal.

14. Cuping (mencawan) adalah melengkungnya kayu gergajian kearah lebarnya.

15. Cutter mark yaitu jumlah banyaknya garis pisau pada tepi papan per satu inchi.

16. Goresan yaitu pada permukaan kayu yang disebabkan kesalahan teknis.

3. Konsep Dasar Six Sigma Six Sigma berfokus pada cacat dan variasi, dimulai dengan mengidentifikasi unsur-unsur terhadap kualitas (CTQ) dari suatu proses. Six sigma menganalisa kemampuan proses dan bertujuan menstabilkan dengan cara mengurangi atau

menghilangkan variasi–variasi. Six sigma didasarkan pada pengukuran terhadap pembuatan sistem closed-loop dimana informasi internal dan eksternal (feedback atau stimuli) memberitahukan kepada manajer tentang bagaimana tetap pada jalur, berdiri tegak lurus, dan berjalan dengan sukses. Sistem closed – loop yang baik mampu bekerja bahkan pada jalur yang buruk atau dalam sebuah lingkungan bisnis yang berbahaya. Faktor-faktor yang paling menentukan untuk memperbaiki kualitas proses dan menghasilkan laba terdiri dari 5 tahap yang disebut DMAIC, (Gaspersz,2002) yaitu : 1. Mendefinisikan (define) proyek, tujuan dan

dapat diserahkannya kepada pelanggan (internal dan eksternal)

2. Mengukur (measure) kinerja sekarang dari proses

3. Menganalisa (analyze) dan menetapkan akar penyebab cacat.

4. Memperbaiki (improve) proses untuk menghilangkan cacat

5. Mengendalikan (control) kinerja proses

IV. Metode Penelitian

Studi Pustaka

Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Studi Lapangan

Kesimpulan dan Saran

I. Metode DMAIC Dari Six Sigma Define : Mendefinisikan proyek, proses kunci, kebutuhan

spesifik pelanggan dan tujuan proyek. Measure : Mengukur kinerja (performance) sekarang dari

proses-proses kunci. Analyze : Menganalisa dan menetapkan akar penyebab cacat Improve : Memperbaiki proses tersebut untuk

menghilangkan cacat Control : Mengendalikan kinerja proses-proses tersebut

Identifikasi dan

Perumusan Masalah

Pengumpulan dan

Pengolahan Data

Kesimpulan

Gambar 1. Kerangka Penelitian

V. Hasil Penelitian 1. Identifikasi Defect mayor pada departemen

sorting finishing Seperti yang di jelaskan pada sub bab bahwa yang akan di perbaiki adalah produk finger joint laminasi board yang memiliki defect mayor.

Identifikasi defect mayor tersebut di lakukan pada bagian unit sortir finishing. Di dalam penelitian ini section yang akan di teliti ada defect dimensi (Mis). Identifikasi ini berdasarkan rekapan dalam jumlah default FILB.

Page 39: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

36

Tabel 1. Kapabilitas Sigma dan DPMO pada pengukuran mis untuk produk FJLB

No. Rata-rata Range

Sample X-bar ( R ) S=R/d2 DPMO Sigma

1 30,128 0,46 0,223409 372.774 1,82 2 30,130 0,34 0,165129 335.815 1,92 3 30,138 0,45 0,218553 387.450 1,79 4 30,058 0,32 0,155415 179.598 2,42 5 30,098 0,42 0,203983 307.660 2,00 6 30,103 0,43 0,208839 320.298 1,97 7 30,043 0,31 0,150559 147.756 2,55 8 30,083 0,35 0,169985 244.709 2,19 9 30,050 0,18 0,087421 43.096 3,22

10 30,035 0,25 0,121418 87.083 2,86 11 30,058 0,36 0,174842 207.530 2,32 12 30,023 0,25 0,121418 71.886 2,96 13 30,100 0,42 0,203983 311.983 1,99 14 30,133 0,34 0,165129 341.354 1,91 15 30,088 0,35 0,169985 254.043 2,16 16 30,005 0,20 0,097135 22.347 3,51 17 30,113 0,32 0,155415 286.715 2,06 18 30,030 0,31 0,150559 129.422 2,63 19 30,088 0,36 0,174842 259.970 2,14 20 30,025 0,13 0,063137 2.788 4,27 21 30,030 0,30 0,145702 121.652 2,67 22 30,178 0,33 0,160272 444.177 1,64 23 30,060 0,33 0,160272 191.191 2,37 24 30,065 0,36 0,174842 220.020 2,27 25 30,225 0,34 0,165129 560.169 1,35 26 30,080 0,27 0,131132 180.067 2,42 27 29,970 0,21 0,101991 12.064 3,76 28 30,110 0,39 0,189412 317.339 1,98 29 29,943 0,11 0,053424 1 6,27 30 30,113 0,32 0,155415 286.715 2,06 31 29,978 0,15 0,072851 1.128 4,55 32 30,158 0,41 0,199126 415.495 1,71 33 30,048 0,36 0,174842 191.545 2,37 34 30,100 0,39 0,189412 298.767 2,03 35 29,963 0,15 0,072851 557 4,76 36 30,105 0,32 0,155415 270.512 2,11 37 30,115 0,35 0,169985 308.522 2,00 38 30,103 0,44 0,213696 324.103 1,96 39 30,053 0,23 0,111705 93.343 2,82 40 30,068 0,27 0,131132 156.143 2,51 41 30,110 0,36 0,174842 303.364 2,01 42 30,038 0,43 0,208839 218.252 2,28 43 30,128 0,34 0,165129 330.312 1,94 44 30,068 0,43 0,208839 262.890 2,13 45 30,090 0,41 0,199126 290.332 2,05

30,076 0,323 0,157034 214.663 2,29 Berdasarkan analisis dari hasil pengukuran diketahui bahwa pada hasil jadi pembuatan FJLB di bagian sortir finish sebelum diadakan perbaikan menghasilkan defect dimensi (mis) nilai sigma sebesar 2,29 dengan DPMO sebesar 214,663.

2. Identifikasi Prioritas Rencana Perbaikan Berdasarkan bobot penilaian FMEA yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dilakukan identifikasiprioritas rencana perbaikan.

Page 40: kumpulan jurnal

Pengendalian Kualitas Produk Finger Joint Laminating … Pregiwati Pusporin, Said Salim Dahdah, Bambang Supriyadi

37

Tabel 2. Prioritas Rencana Perbaikan Proyek X Prioritas Rencana Perbaikan

1. Perketat masuknya material oleh tim QC 2. Instruksi kerja dan standarisasi kualitas harus jelas 3. Check mesin sebelum dioperasikan oleh operator 4. Bahan lem perekat harus betul-betul diuji oleh QC 5. Menempatkan tenaga kerja yang sesuai dengan bidang dan keahliannya

3. Perbandingan Sebelum dan Sesudah Proyek Six Sigma Tabel 3. Tabel Pengukuran Sesudah Proyek Six Sigma

No Sample Tebal Range Sample X1 (mm) X2 (mm) X3 (mm) X4 (mm) X-bar ( R ) S=R/d2 DPMO Sigma

1 30,15 30,10 30,10 30,15 30,125 0,05 0,024284 1.006 4,59 2 30,05 30,10 30,10 30,20 30,113 0,15 0,072851 114.860 2,70 3 30,10 30,05 30,10 30,10 30,088 0,05 0,024284 2 6,12 4 30,10 30,15 30,05 30,10 30,100 0,10 0,048567 19.747 3,56 5 30,20 30,10 30,10 30,20 30,150 0,10 0,048567 151.622 2,53 6 30,05 30,10 30,10 30,00 30,063 0,10 0,048567 2.319 4,33 7 30,10 30,15 30,10 30,10 30,113 0,05 0,024284 157 5,10 8 30,10 30,10 30,15 30,10 30,113 0,05 0,024284 157 5,10 9 30,05 30,10 30,10 30,15 30,100 0,10 0,048567 19.747 3,56

10 30,10 30,15 30,10 30,10 30,113 0,05 0,024284 157 5,10 11 30,10 30,20 30,10 30,05 30,113 0,15 0,072851 114.860 2,70 12 30,15 30,10 30,10 30,05 30,100 0,10 0,048567 19.747 3,56 13 30,05 30,10 30,10 30,20 30,113 0,15 0,072851 114.860 2,70 14 30,10 30,10 30,10 30,15 30,113 0,05 0,024284 157 5,10 15 30,05 30,10 30,10 30,20 30,113 0,15 0,072851 114.860 2,70 16 30,10 30,05 30,10 30,10 30,088 0,05 0,024284 2 6,12 17 30,10 30,15 30,05 30,10 30,100 0,10 0,048567 19.747 3,56 18 30,15 30,10 30,10 30,05 30,100 0,10 0,048567 19.747 3,56 19 30,05 30,10 30,10 30,20 30,113 0,15 0,072851 114.860 2,70 20 30,10 30,10 30,10 30,05 30,088 0,05 0,024284 2 6,12 21 30,10 30,15 30,05 30,10 30,100 0,10 0,048567 19.747 3,56 22 30,20 30,10 30,10 30,05 30,113 0,15 0,072851 114.860 2,70 23 30,10 30,15 30,10 30,10 30,113 0,05 0,024284 157 5,10 24 30,05 30,10 30,10 30,15 30,100 0,10 0,048567 19.747 3,56 25 30,10 30,15 30,10 30,15 30,125 0,05 0,024284 1.006 4,59 26 30,20 30,15 30,10 30,15 30,150 0,10 0,048567 151.622 2,53 27 30,10 30,05 30,10 30,10 30,088 0,05 0,024284 2 6,12 28 30,05 30,10 30,10 30,00 30,063 0,10 0,048567 2.319 4,33 29 30,10 30,15 30,10 30,10 30,113 0,05 0,024284 157 5,10 30 30,20 30,10 30,10 30,20 30,150 0,10 0,048567 151.622 2,53

30,108 0,090 0,044 17.164 3,62 Tabel 4. Perbandingan Sebelum dan Sesudah Proyek Six Sigma Pada Jenis Defect Mis Untuk Produk

FJLB Perhitungan Sebelum Sesudah

X – bar 30,076 30,108 Range 0,323 0,090 DPMO 214.663 17.164 Sigma 2,29 3,62

Page 41: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

38

GRAFIK X-CHART DEFECT MIS PADA PRODUK FJLB

30.000

30.020

30.040

30.060

30.080

30.100

30.120

30.140

30.160

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

DATAX-BARUCLLCL

Gambar 2. Grafik X-chart untuk defect mis pada produk FJLB

Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa data X-chart

untuk defect mis terdapat 3 sampel pengukuran berada di luar batas spesifikasi atas dan bawah. Secara umum dapat digambarkan penerapan

perbaikan yang telah dilakukan mengalami trend positif. Hanya perlu dikembangkan lagi guna mencapai zero defect.

4. Perbandingan Biaya Kualitas Sebelum dan Sesudah Perbaikan Tabel 5. Perbandingan Biaya Kualitas Sebelum dan Sesudah Perbaikan

NO BIAYA SEBELUM SESUDAH 1 Biaya Pencegahan

Teknik dan perencanaan kualitas Rp 6.000.000 Rp 3.000.000

Rancangan proses atau produk Rp 1.500.000 Rp 1.000.000

Pengendalian proses Rp 6.000.000 Rp 5.000.000

Pelatihan Rp 1.000.000 Rp 1.250.000

2 Biaya Penilaian

Pemeriksaan dan pengujian BB Rp 3.000.000 Rp 2.000.000

Pemeriksaan dan pengujian produk Rp 2.300.000 Rp 2.000.000

Pemeriksaan kualitas produk Rp 2.000.000 Rp 2.000.000

3 Biaya Kegagalan Internal

Pengujian Ulang Rp 7.000.000 Rp 2.000.000

Biaya untuk memperoleh material Rp 8.000.000 Rp 3.000.000

4 Biaya Kegagalan Eksternal

Biaya penanganan keluhan selama perbaikan Rp 4.000.000 Rp. –

Pelayanan/servis produk Rp. 1.000.000 Rp 300.000

Biaya penarikan kembali produk Rp. 1.500.000 Rp. –

Total biaya keseluruhan Rp. 43.800.000 Rp. 24.250.000

Penghematan Rp. 19.550.000,00

Page 42: kumpulan jurnal

Pengendalian Kualitas Produk Finger Joint Laminating … Pregiwati Pusporin, Said Salim Dahdah, Bambang Supriyadi

39

VI. Daftar Pustaka Gaspersz,Prof.Dr.Vincent.(2002). Pedoman

Implementasi Program Six Sigma, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Douglas C.M.1996. Pengendalian Kualitas Statistik Suatu Pengantar (Terjemahan oleh Zanzawi Seojoeti). Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Hadikusumo S.A. 1995. Rendemen Pembuatan Papan Sambung Di PT. Albasi Parahyangan Banjar dan Cara Menaikkannya. Buletin Kehutanan Universitas Gadjah Mada 26 : 18-29.

Kasmudjo,1998. Informasi Teknologi dalam Penetapan Penggunaan Kayu Untuk Bahan Baku Industri. Duta Rimba XXIII (219) : 35 – 42.

Prayitno T.A. 1999. Diklat Pengendalian Mutu Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Retiyanto. 1992. Pengaruh Ukuran dan Tebal Strip Kayu Terhadap Sifat Fisik dan Mekanik Papan Laminasi Kayu Sengon. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian (INTAN), Yogyakarta (tidak diterbitkan).

Sadgrove K. 1995. Making TQM Work. London : Biddles Ltd, Guildford and King’s Lynn.

Supriyatno C. 2001. Diklat Pelatihan Furniture Production Quality Control Judul System Quality Control. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta.

Tropis. 2001. Majalah Tropis No.10 TH.III November – Desember 001. PT. Enka Parahiyangan, Jakarta.

Yamit Z. 2001. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Ekonisia, Yogyakarta.

Page 43: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

40

BILOGICAL TREATMENT OF A WASTEWATER CONTAINING HEAVY METALS AND CYANIDE

Syahril Effendi Pasaribu Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Abstract: A research is being conducted to study the performance of aerobic biological process in the treatment of a simulated wastewater containing heavy metals and cyanides. Two laboratory scale completely mixed reactors operated in a fill-and-draw mode were used for the study of the simulated wastewater and control. After 54 days of acclimatization period, the significant decrease in MLSS and low reduction in COD values were found in the wastewater containing heavy metals and cyanide due to the occurrence of growth inhibition. The highest and lowest percentages of heavy metals removal of 82.5% and 37.6% were found in copper and cadmium, respectively. Key words: aerobic, fill and draw, simulated wastewater, heavy metals, cyanide. INTRODUCTION Wastewaters from metal works such as plating industry contain heavy and cyanide in most cases. The presence of these substances may manifest a variety of problems in the aerobic treatment, depending on the type and the concentration of substances present. Toxicity of heavy metals to biological sludges of aerobic process has been mentioned elsewhere (Eckenfelder, 1989). In contrast, Neufeld and Hermann, (19750 stated that a constant input level of heavy metals does not affect the biological treatment performance. Acclimatized sludge maintain high removal efficiency even if exposed to high concentrations of cadmium, zinc and mercury. This paper reports an on-going research on aerobic treatment of wastewaters containing heavy metals and cyanide. The objective of the research was a study the susceptibility to treatment of wastewaters containing heavy metals and cyanide by aerobic biological methods and to study the kinetic and treatment efficiency under varying solids retention time (SRT). MATERIALS AND METHODS Experimental set-up and procedure Two separate laboratory scale activated sludge reactors were constructed out of glasses. The first reactor (reactor no. 1) was used to study wastewaters containing heavy metals and cyanide and the other (reactor no. 2) was to study control. Each reactor had a liquid operating volume of 10 L. each unit was kept contiuously mixed and aerated by means of compressed air passed through porous sparger in the base, the shape of the reactor was designed to avoid sludge settling in the base, and aeration rates ware mainted at 2 1/min. The units were used to study two aspects of wastewater treatment in aerobic condition. The first part of experimental studies was carried out to invetigate the acclimatization-metal-cyanide

removal. In this experiment,w aste activated sludge, obtained from the Pirngadi Hospital Sewage Treatment Plant, Banda Aceh, was acclimatized with fresh substrate in both reactors. During this period, biological solids were allowed to accomulate in the reactors as no solids were wasted. The acclimatization metal-cyanide removal study was designed to produce an acclimatization-metal-cyanide removal study was designed to produce an acclimated microbial population for use in subsequent aerobic treatment kinetic and efficiency studies. The treatment kinetic and efficiency studies were unable to continue since microorganisms did not grow well after 54 days of acclimatization period, as shown in Figure 1. The temperature of the mixed liquors always remained between 24 and 280 C during the acclimatization period. Since the activated sludge process is not significantly influenced by small temperature changes, it was felt that temperature controls were not necessary. The pH in the reactors were maintained between 6.5 and 7.5. however, pH above 8.5 occurred in some cases. The reactors are operated in a daily fill-and-draw mode. At 24 hour hour intervals, a mixed liquor volume of 2 1 was drawn from the reactor. Volumes of fresh substrate equal to each reactor. The mixed liquor removed was allowed to settle for about one hour. Every three days, the MLSS and MLVSS concentrations were measured and recorded. The COD, Cu, Cd, and As of the supernatant were also determined once in three days. Chemical analysis of effluents such as COD, MLSS, MLVSS, Cu, Cd, As, total CN and free CN were carried out according to APHA (1989). The temperature and pH of the mixed liquors in the reactor were monitored every day. Due to analytical equipment problems, measurements of total CN and free CN are unable to be carried out the present time. Wastewater Characteristics. Simulated wastewater used in the experiment of

Page 44: kumpulan jurnal

Bilogical Treatmen of a Wastewater… Syahril Effendi Pasaribu

41

the first reactor contained (in mg/l) glucose (500), urea (107,14) KH2PO4 (12.6), MgSO4 (9.5), CaCl2 . 2H2O (1.2), FeCl3. 6 H2O (0.1), NaCN (282) which is equivalent to 150 mg/l CN, As2O3 (3), Cu (100 and Cd (15). In the reactor no. 2 (control), similar wastewater was also used, except without NaCN, As2O3, Cu and Cd (Mitani in Xing, 1995). RESULTS AND DISCUSSION Microbial Population Figure 1 shows the concentration of mixed liquor suspended solids (MLSS) in both reactor during the acclimatization period. After 54 days of the acclimatization period, the MLSS concentrations in the reactor no. 1 decreased significantly from time to time which indicated microorganisms are unable to grow. The presence of heavy metals and cyanide inhibit the growth of microorganisms. On the contrary, suspended solids concentrations in the reactor no. 2 increased up to 42 days of the acclimatization period. Althought the MLSS was still low for common actived sludge system, microorganisms in the reactor no. 2 grows gradually.

Figure 1. Mixed liquor suspended solids (MLSS)

in each during the course of acclimatization period

Figure 2. COD of mixed liquor in each reactor

versus acclimatization time. Organic Removal Figure 2 shows the COD of the mixed liquors in

reactors no. 1 and 2, respectively, as a function of acclimatization time. The COD values indicated are the averages of last two or three tests during each study. The COD of the wastewater and control averaged 1040 mg/l. Low concentration in suspended solids in the reactor no. 1 reflected in the low reduction of COD of the mixed liquors during the course of acclimatization period, as shown in Figure 2. after 54 days, reactor no. 1 was able to reduce the COD levels of the wastewater from 1040 mg/l to 520 mg/l (50% removal). Compared to the reactor no. 2, COD levels in this reactor decreased consistently, except at day 9, for 12 days of acclimatication period. An increase of pH above 8.5 was measured in reactor no. 2 at day 8 which resulted in lowering microorganisme activities. Consequenty, the COD levels increased at day 9. It seemed that after 21 days, the mixed liquor in the reactor no. 2 was reaching a steady state condition, as COD levels moved almost constantly until 42 days. A reduction of 98.4 % of COD was attained in the reactor no. 2 after 54 days of acclimatization. At the same time, the reactor no. 1 only reduced COD by 50%. Significant decrease in MLSS and low reduction of COD in the reactor no. 2 indicated the occurrence of growth inhibition of microorganisms due to the presence of heavy metals and cyanides in the wastewaters.

Figure 3. Concentrations of metals in the reactor

no. 1 versus acclimatization time. Metals removal The wastewater feed used in these studies contained copper, cadmium, and arsenic. Initial concentrations of Cu, Cd, and As were 11.50, 14.75, and 3 mg/l, respectively. Figure 3 shows the concentrations of Cu, Cd and As in the mixed liquor ot he reactor no. 1 as a function of acclimatization time. During a 54-days of acclimatization period, the concentration of Cu considerably decreased from 11.50 to 2.01 mg/l, equivalent to a removal of 82.5%. this substantial reduction may be due to adsorption of Cu by biological flov. As reported by other researcher, high molecular weight extracellular

Page 45: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

42

polymer of this biofloc provided many functional groupings that acted as binding sites from metals (Brown and Lester, 1979). Concentrations of Cd declined from 14.75 mg/l to 8.90 mg/l, equivalent to a removal of 39.6% and As decreased from 3.0 mg/l to 1.87 mg/l, equivalent to a removal of 37.6%. of the metals analyzed, cadmium experienced the lowest percent removals, the reason being that in the presence of complexing ions, such as cyanide, cadmium is not precent removals, the reason being that in the presence of complexing ions, such as cyanide, cadmium is not precipitated (Eckenfelder, 1989). CONCLUSIONS 1. Significant decrease in MLSS and low reduction

in COD values during the on-going acclimatization period indicated the occurrence of growth inhibition of microorganisms de to the presence of heavy metals and cyanides.

2. Significant reduction in Cu concentrations during the on-going acclimatization period was probably caused by adsorption of the metals by biologial floc in the mixed liquor.

3. Low removal in Cd concentrations during the on-going acclimatization period was due to the presence of complexing ion cyanide which limited the precipitation of Cd.

Acknowledgment – the outhors would like to thank

Mr. Najib and Mr. Zukira, students of the Chemical Engineering Dept. Syiah Kuala University, Banda Aceh, for the assistance during the study. Fincancial support from HEDS-JICA for this work is highly appreciated. REFERENCES American Public Health Associtiaon (1989) Standard

Methods for Examination of Water and Wastewater 17th ed, Washington. DC.

Brown, M.J. and J. N. Lester (1979) Metal Removal in Activated Sludge, the Role of Bacterial Extracellular Polymers, Wat. Res: 13 (9) : 817-837.

Eckenfelder, W.W. (1989) Industrial Water Pollution Control, Second ed., McGraw-Hill, New York.

Neufeld R. D. and E. R. Hermann (1975) Heavy Metal removal by acclimated activated sludge. J. Wat. Pollut, Control Fed. 47. 310-329.

Xing, X-H., N. Shirigami, and H. Unno (1995) Simultaneous Removal of Carbonaceous and Nitrogenous Substances in Wastewater by a Continous-Flow Fluidized-Bed Bioreactor, J. Chem. Eng. Japan. 28 (5) : 525-530.

Page 46: kumpulan jurnal

Simulasi Peranti Model Basis Sel Surya … Mara Bangun Harahap

43

SIMULASI PERANTI MODEL BASIS SEL SURYA p+-n-n+ (x) PENDOPINGAN TINGGI

Mara Bangun Harahap

Staf Pengajar Jurusan Fisika FMIPA Unimed

Abstrak: Kecepatan rekombinasi permukaan efektif SEFF model basis sel surya hubungan tinggi-rendah berdistribusi ketidakmurnian kerapatan doping fungsi pangkat telah diteliti. Model diterapkan pada hubungan n-n+(x) sel surya dengan memakai masukan data eksperimen sempitan celah pita energi, waktu hidup dan mobilitas. Simulasi peranti model mengungkap: (a) kecepatan rekombinasi efektif SEFF nyata membatasi voltasi rangkaian terbuka Voc dan kerapatan arus rangkaian hubung singkat JSC sel surya kristal silikon medan permukaan p+-n-n+ (x), serta (b) sempitan celah pita energi penting dalam memanifestasi batas tersebut. Abstract: A theoretical model of solar cell to calculate the effective surface recombination velocity (SEFF) with a power doping density profile impurity distribution was investigated. The model is applied to n-n+(x) junctions solar cell using experimental data of bandgap energy narrowing, lifetime and mobility. The model imply that (a) effective surface recombination velocity significantly limits the open circuit voltage VOC and the short circuit current density JSC of p+-n-n+ (x) back surface field crystal silicon solar cel, and (b) energy bandgap narrowing is important in the manifestation of these limitations.

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian sel surya pada dasarnya difokuskan pada dua tujuan utama: pertama, untuk memperoleh model sel surya efisiensi tinggi dengan memanfaatkan teknologi canggih; kedua, untuk memperoleh model sel surya efisiensi rendah dengan memanfaatkan teknologi produksi konsumsi massa. Tujuan manapun yang diprioritaskan, penelitian selalu dimulai dengan mengembangkan model sel surya yang akan diteliti. Pemakaian program komputer sebagai pendukung pengembangan teknologi mikroroelektronika menimbulkan dampak positip pada pengembangan desain sel surya. Program komputer dapat memperpendek siklus pengembangan, dan pada gilirannya dapat mengurangi biaya pengembangan. Dengan simulasi komputer, para pendesain model sel surya dapat mengungkap sifat fisika dari proses dan karakteristik model sel surya yang disimulasikan tersebut. Simulasi komputer dapat mengganti pengujian eksperimen yang mahal. Selain itu, simulasi komputer dapat memeriksa operasi dalam di dalam sebarang peranti dengan mempergunakan simulasi ganda (Penumalli, 1986: 2-3). Harahap (1992: 50-67) telah meneliti solusi transpor pembawa minoritas material silikon kristal yang didoping tinggi berdasarkan pada analisis yang dilakukan Verhoef et al (1990: 19-28). Penelitian yang dilakukan Harahap terutama untuk melihat efek pengikutan parameter-parameter yang belum dimasukkan Verhoef et al dalam analisis mereka. Harahap menyelesaikan masalah kontinuitas pembawa minoritas dan persamaan arus untuk daerah silikon kristal tipe N yang didoping tinggi tak uniform. Solusi yang diperoleh Harahap berbentuk persamaan arus yang bebas integral dan iterasi,

sehingga sifat fisika dapat dianalisis berdasarkan parameter-parameter yang tercakup dalam persamaan. Berdasarkan temuannya itu, Harahap (1993; 6-10) menerapkan solusi tersebut untuk memodel emiter sel surya memakai profil pendopingan fungsi eksponen. Untuk pendopingan fungsi pangkat, Sudiati et al (1993: 24-39) telah memodel emiter sel surya silikon kristal tipe N. Pada penelitan selanjutnya, Harahap (1994: 81-86) meneliti model basis sel surya memakai daerah medan permukaan belakang (Back Surface Fields: BSF) dengan pendopingan profil fungsi eksponen. Penelitian tersebut ditujukan untuk memperoleh model yang paling optimal dalam memaksimalkan voltase rangkaian terbuka sel surya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sejak Verhoef et al mempublikasikan hasil penelitiannya pada 1990, ada sedikitnya empat buah penelitian lain yang menganalisis lebih lanjut hasil pekerjaan Verhoef et al tersebut. Hasil penelitian lanjutan tersebut semuanya menunjukkan adanya kenaikan voltasi rangkaina terbuka sel surya, yang pada dasarnya akan menaikkan efisiensi sel surya. Namun, informasi tentang voltase rangkaian terbuka untuk model basis sel surya silikon kristal pendopingan tinggi memakai profil doping fungsi pangkat belum ada dipublikasikan pada saat penelitian ini dirancang. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk meneliti masalah penentuan model basis daerah medan permukaan belakang sel surya silikon kristal pendopingan tinggi memakai profil doping fungsi pangkat yang paling optimal dalam memaksimalkan voltase rangkaian terbuka sel surya.

Page 47: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

44

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ini dibatasi dengan merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah model basis daerah permukaan belakang sel surya silikon kristal pendopingan tinggi memakai profil doping fungsi pangkat yang paling optimal dalam memaksimalkan voltase rangkaian terbuka sel surya? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (a) menganalisis hubungan kecepatan rekombinasi permukaan belakang efektif dengan kerapatan doping permukaan belakang untuk suatu ketebalan daerah pendopingan tinggi, dan (b) menganalisis hubungan voltase rangkaian terbuka terhadapa fungsi kecepatan rekombinasi permukaan belakang efektif sel surya silikon kristal pendopingan tinggi memakai profil doping fungsi pangkat. 1.4 Manfaat Penelitian Temuan penelitian diharapkan bermanfaat sebagai: (a) informasi tentang pengembangan perangkat lunak (program komputer) simulasi peranti yang berguna untuk mengganti suatu eksperimen yang mahal di bidang teknologi sel surya, dan (b) informasi tentang parameter-parameter fisis perancangan peranti sel surya sebelum fabrikasi dilakukan dan informasi tentang sel surya yang dapat dioptimasi sedininya dalam siklus pengembangan produk sel surya. II. Tinjauan Pustaka 2.1 Persamaan Transpor Pembawa Minoritas

dalam Material Silikon Kristal Doping Tinggi Pada bagian ini diuraikan persamaan transpor pembawa minoritas bahan silikon kristal tipe N berdasarkan pada hasil analisis Harahap (1992), yang menghasilkan solusi umum untuk bahan tersebut. Asumsi yang diajukan dalam menentukan solusi: (a) parameter-parameter transpor hanya merupakan fungsi kedalaman (x) dalam material, sehingga transpor dapat diperlakukan dalam satu dimensi; (b) pembahasan dalam kondisi kuasi netral dan injeksi rendah, sehingga hanya diperlakukan untuk pembawa minoritas saja; dan (c) peranti yang dibahas dalam keadaan tunak. Himpunan persamaan yang harus ditentukan solusinya adalah sebagai berikut:

J(x) = Jdiff + Jdrift = - e D dp

dx + e μ p (2.1)

1 d pJ + = 0e dx τ

(2.2)

T Gd 1 dE = - V ln (N) + E

dx e dxΔ (2.3)

-kτ (N) = K N (2.4) -mμ (N) = M N (2.5)

G T0

NΔE e f V ln [ ]N

= (2.6)

Pada persamaan 2.1 sampai dengan persamaan 2.6 arti simbol adalah sebagai berikut: J menyatakan kerapatan arus, yang terdiri dari jumlah kerapatan arus difusi Jdiff dan kerapatan arus hanyut Jdrift; menyatakan mobilitas hole; menyatakan waktu hidup rekombinasi hole; D menyatakan diffusitas hole; p menyatakasn kerapatan hole; N menyatkan kerapatan doping; menyatakan sempitan sela pita energi yang muncul; E menyatakan medan listrik; e menyatakan besar muatan elektron; menyatakan voltase termal, dimana K, k, M,m, N0 adalah konstanta (besarnya secara lengkap dapat dilihat pada Harahap (1992:83-85). Penurunan dan penentuan solusi himpunan persamaan di atas untuk profil doping fungsi pangkat yang akan diteraspkan dlam penelitian ini dapat dilihat pada Verhoef (1990), Verhoef dan Sinke (1990) dan Harahap (1992). 2.2 Model Basis Sel Surya p+-n-n+ (x)

Pendopingan Tinggi Pada penelitian ini model sel surya diajukan berdasarkan hasil analisis literatur (Penumalli, 1986; Fichner, 1988; Verhoef, 1990; Roulston, 1990; Harahap, 1992). Model ini belum diwujudkan dalam eksperimen. Namun, menurut perkiranan peneliti dengan didukung oleh penemuan peneliti lain, model ini mempunyai keuntungan dari segi kemudahan analisis. Hal ini karena model ini mengandung persamaan trasnpor yang tidak mengandung integral lipat sehingga sifat fisisnya transparan untuk dianalisis. Dari segi permasalahan penelitianini, model yang diajukan belum pernah diteliti secara tuntas, sehingga cocok untuk diteliti lebih lanjut. Model sel surya yang memakai profil doping fungsi pangkat layak untuk diteliti, untuk memperoleh gambaran luas tentang model-model sel surya yang memakai profil doping fungsi pangkat. Model teoretik sel surya p+-n-n+ (x) serta asumsi profil doping yang diajukan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Page 48: kumpulan jurnal

Simulasi Peranti Model Basis Sel Surya … Mara Bangun Harahap

45

Keterangan: I : Daerah muatan ruang (space charge region) antara daerah basis n dengan daerah kuasi netral medan permukaan

belakang (back surface field: BSF) n+ (x); I’ : Daerah muatan ruang antar daerah emiter p+ dengan daerah basis n; II : Daerah BSF n+(x); III : Daerah basis n; IV : Daerah emiter p+; NE : Konsentrasi doping emiter p+ (pendopingan tinggi uniform); NB : Konsentrasi doping basis n (pendopingan rendah uniform) NBSF (x) : Konsentrasi doping basis BSF n+(x) (pendopingan tinggi tak uniform, profil doping fungsi pangkat); NS : Konsentrasi doping pada permukaan belakang basis BSF n+(x). III Metode Penelitian 3.1 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat eksploratif. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak diajukan hipotesis penelitian. Penelitian ini menggabungkan pendekatan fisika teoretik dan fisika komputasional dalam pengembangan fisika semikonduktor sub bidang sel surya. Parameter-parameter empiris yang disdur dari berbagai literatur dihjadikan sebagai masukan simulasi peranti. 3.2 Variabel Penelitian Dalam penelitian ini ada tiga jenis variabel, yakni: variabel bebas, variabel terikat dan variabel moderator. Variabel bebas adalah kecepatan rekombinssi pada permukaan belakang sel surya. Variabel terikat adalah beda potensisla rangkaian terbuka sel surya. Variabel moderator adalah variabel yang juga berpengaruh pada beda potensial rangkaian terbuka sel surya, tetapi pengaruhnya tidak langsung. Variabel moderator berpengaruh langsung terhadap semua parameter-parameter masukan simulasi peranti. Variabel moderator dalm penelitian ini adalah x (kedalaman dalam bahan semikonduktor). Semua parameter-parameter yang terlibat pada setiap model matematis dalam simulasi peranti bergantung pada x. 3.3 Alat/teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan memakai metode numerik pada simulasi peranti untuk model sel surya yang dikemukakan dalam penelitian ini. Masukan-

masukan untuk simulasi peranti dengan model sel surya seperti ini adalah parameter-parameter persamaan transpor muatan minoritas. Ketelitian data yang diperoleh dengan metode numerik diketahui melalui teori ketidakpastian metode numerik yang dipakai. 3.4 Teknik Analisis Data a. Diplot (oleh komputer) hubungan antara voltase

rangkaian terbuka sebagai fungsi kecepatan rekombinasi permukaan Metode numerik sebagaimana dikemukakan di atazs digunakan untuk menentukan arus dalam keadaan gelap berdasakan solusi numerik yang diterapkan pada model sel surya dalam penelitian ini.

b. Besar nilai-nilai parameter-parameter tertentu yang diharapkan dapat menunjukkan pengaruh pada sifat peranti ditabelkan untuk melihat keadaan-keadaan khusus

c. Dianalisis hasil simulasi peranti dengan cara membandingkannya dengan hasil simulasi peranti yang telah ditemukan penelitia lain 9 merujuk ke literatur). Analisis dilakukan berdasarkan pada teori fisika yang relevan.

IV Temuan Penelitian dan Pembahasan 4.1 Temuan Penelitian Luaran simulasi peranti yang merupakan hubungan (a) SEFF terhadap NB (W) {kerapatan doping permukaan belakang) dan (b) VOC terhadap SEFF dicantumkan pada gambar 4.1 dan gambar 4.2 berikut ini;

I’ II IIIIIV

P+

nn+(x)

NE

NB

NBSF (x)

NS

Page 49: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

46

Gambar 4.1 Hubungan antara SEFF dengan Kerapatan Doping Fungsi Pangkat

Gambar 4.2 Hubungan antara VOC dengan SEFF dengan Kerapatan Doping Fungsi Pangkat

Page 50: kumpulan jurnal

Simulasi Peranti Model Basis Sel Surya … Mara Bangun Harahap

47

4.2 Pembahasan Gambar 4.1 mengungkapakan hasil perhitungan SEFF terhadap kecepatan rekombinasi permukaan belakang Sb yang berbeda-beda pada permukaan lapisan n+(x) yangmempunyai ketebalan 1 . Dapat diamati untuk Sb besar ternyata SEFF berkurang terhadap kenaikan konsentrasi.doping permukaan. Hal ini karena rekombinasi pada kontak belakang merupakan mekanisme rekombinasi utama. Pada Sb rendah (kecil0, ternyata rekombinasi pada lapisan dominan, karena itu tingkat doping menaikkan SEFF.

Gambar 4.3 Hubungan antara SEFF dengan

Kerapatan Doping Fungsi Eror Alamo (1981) memakai profil doping lapisan tinggi rendah yang berbeda dengan yang dipakai dalam penelitian ini (Lihat Gambar 4.3) Dapat diamati, bahwa gejala pada temuan penelitian ini (gambar 4.1) secara umum bersesuaian dengan hasil penelitian Alamo (gambar 4.3). Perbedaan kedua temuan penelitian adalah dalam nilai parameter-parameter. Dapat dilihat bahwa nilai SEFF pada penelitian ini lebih rendah. Dengan demikian, secara fisika dapat ditafsirkan bahwa performan model sel surya pada penelitian ini lebih baik dari pada temuan penelitian alamo. Gambar 4.2 mengungkapakan luaran simulasi peranti penelitian ini yang menggambarkan hubungan voltase rangkaian terbuka VOC dengan SEFF. Alamo memperoleh batas atas voltse rangkaian terbuka sebesar 615 mV (lihat gambar 4.3). ternyata batas atas voltase rangkaian terbuka pada penelitian ini (gambar 4.2) lebih besar. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa model sel surya pada penelitian ini mempunyai peluang lebih besarmencaopai efisiensi yang lebih tinggi jika diwujudkan dalam sampel dibandingkan dengan model yang didesain Alamo et al (1981).

Gambar 4.4 Hubungan antara SEFF dengan Kerapatan

Doping Fungsi Eksponen

Gambar 4.5 Hubungan antara Voc dengan SEFF

dengan profil doping fungsi eksponen

Page 51: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

48

Secara teroretik telah diketahui bahwa efisiensi sel surya dibatasi oleh rekombinasi permukaan belakang sel surya (Overstaeten dan Mertens, 1986). Berdasarkan faktor pembatas tersebut, rancangan model sel surya biasanya memakai daerah medan permukaan belakang, seperti dilakukan pada penelitian ini. Temuan penelitian ini memperbanyak informasi tentang model-model sel surya silikon kristzl yang mempunyai peluang besar untuk dipakai sebagai model sel surya efisiensi tinggi. Temuan penelitian ini mendukung temuan penelitian lain yang telah lebih dulu memakai hubungan tinggi rendah pada sisi belakang sel surya untuka menaikkan pemantulan pembawa minoritas yang dicerminkan oleh nilai kecepatan rekombinasi permukaan efektif sel surya. Ditemukan pula SEFF selalu lebih tinggi dari 100 cm/s-1 (pada penelitian ini selalu lebih tinggi dari 80 cm/s-1, lihat gambar 4.2). Secara teoretik harga SEFF hanya dapat dikurangi dengan cara mereduksi kecepatan rekombinasi permukaan belakang Sb (diungkapkan gambar 4.4 (penelitian ini) dan gambar 4.5 (hasil penelitian pembanding) Sebagai perbandingan laian, pada gambar 4.4 dan 4.5 dicantumkan hasil simulasi peranti untuk profil doping fungsi eksponen (Harahap, 19940 yang bersesuaian dengan hasil penelitianini. V. Simpulan dan Saran Suatu model teoretis untuk menentukan kecepatan rekombinasi permukaan belakang efektif pada hubungan tinggi-rendah memakai pendopingan fungsi pangkat telah digunakan dalam mendesain sel surya medan permukaan belakang. Desain sel surya tersebut mempunyai sifat fisika yang menunjukkan kecenderungan menghasilakan SEFF (kecepatan rekombinasi permukaan belakang efektif) yang lebih kecil dibandingkan temuan penelitian lain yang memakai profil doping fungsi eror. Temuan penelitian menggmbarkan tidak adanya konsentrasi (kerapatan) ketidakmurnian permukaan yang mempunyai nilai optimum (lihat gambar 4.2. Temuan penelitian juga menggambarkan secara umum tentang desain sel surya yang memakai model teoetis kecepatan rekombinasi permukaan belakang efektif seperti yang dikembangkan pada penelitian ini mempunyai sifat yang lebih menguntungkan (lihat gambar 4.1) dan gambar (4.2) dibandingkasn temuan penelitian pembanding (lihat gambar 4.3. gambar 4.4 dan gambar 4.5. Jika model sel surya ini hendak diwujudkan dalam sampel (penelitian lanjutan), disarankan hal-hal berikut: 1)Hendaknya dilakukan lebih dulu penelitian tentang efek pemantulan cahaya pada permukaan emiter, karena penelitian ini belum menyinggung hal ini. 2) Agar dapat diperoleh harga VOC dalam eksperimen yang kira-kira sama dengan harga VOC pada penelitian ini, hendaknya difikirkan alat pendopingan lapisan n+(x) yang benar-benar mampu memberikan doping fungsi pangkat.

DAFTAR PUSTAKA Alamo, J.D. (1981). High-Low Junctions for Solar

Cell Aplications. Solid state Electronics, Vol.24, hlm. 533-538.

Alamo, J.D. dan Swanson, R.M. (1984). The Physics and Modeling of Heavily Doped Emitter, IEEE Tans. Electron Devices, Vol Ed-31, No, 12 hlm. 1878-1888.

Fichner, W. (1988). “Process Simulation”. Dalam S.M. Sze (ed.), VLSI Technology (hlm. 422-465). Singapore: McGraw-Hill International Editions.

Harahap, M.B. (1992). Solusi Analitik Transpor Pembawa Minoritas Silikon Kristal yang Didoping Tak Uniform dan Aplikasinya pada Peranti Sel Surya. Tesis S2 di ITB Bandung, Tidak Dipublikasikan.

Harahap, M.B. (1993). Model Emiter Sel surya n (x)+-p yang Didoping Tinggi. Makalah pada Simposium Fisika Nasional di USU medan. Tidak Dipublikasikan.

Harahap, M.B. (1994). Model Komputer Sel Surya Silikon Kristal Medan Permukaan Belakang p+-n-n+(x). Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan, Vol.1, No.2, hlm. 81-86.

Penumalli, B.R. (1986). “Physical Models and Numerical Methods for VLSI”. Dalam W.L. Eng (ed.), Process Simulation and Devices Modeling, (hlm.1-30). North Holland: Elsevier Science Publishers B.V.

Sudiati et al (1993). Analisis Simulasi Peranti Model Emiter Sel Surya Bahan Silikon Kristal Tipe n yang Didoping Tinggi Tak Homogen. Hasil Penelitian, Dana OPF, Puslit USU Medan. Tidak Dipublikasikan.

Van Overstraeten, R.J. & Mertens, R.P (1986). Physics, Technology and Use of Photovoltaics. Bristol and Boston: adam Hilger Ltd.

Verhoef, L.A. (1990). Silicon Solar Cell (modelling, processing and characterization). Ph.D. Thesis (State University of Utreecht, Netherlands). Tidak Dipublikasikan.

Verhoef, L.A. & Sinke, W.C. (1990). Minority Carrier Transport in Non Uniformly Doped. IEEE Trans Electron Devices, Vol. 37, hlm. 210-217.

Page 52: kumpulan jurnal

Analisis Peningkatan Kompetensi Pengusaha Kecil … Syahril Effendi Pasaribu

49

ANALISIS PENINGKATAN KOMPETENSI PENGUSAHA KECIL SESUDAH MENGIKUTI PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN YANG DISELENGGARAKAN SWISSCONTACT MEDAN

Syahril Effendi Pasaribu Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Abstrak: Guna mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia, pemerintah dan lembaga swasta terus berupaya dengan berbagai macam program. Salah satunya adalah pelatihan kewirausahaan melalui program voucher yang diselenggarakan Swisscontact. Dari hasil evaluasi sementara yang dilakukan oleh Swisscontact diketahui adanya peningkatan kompetensi pengusaha kecil sesudah mengikuti pelatihan kewirausahaan, namun belum diketahui besarnya peningkatan kompetensi tersebut dan sejauh mana pelatihan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi pengusaha kecil. Tulisan ini memuat hasil penelitian peningkatan kompetensi pengusaha kecil sesudah mengikuti pelatihan kewirausahaan tersebut. Kata kunci : Pelatihan Kewirausahaan & Peningkatan Kompetensi Pengusaha Kecil. Abstract: The development the small and medium enterprise in Indonesia, the government and international organization continue efforts with some program. One of the program is entrepreneurship raining by voucher program that coordination Swisscontact. From temporary evaluation by Swisscontact, there was knew the increase of competence small enterprise after got entrepreneurship training, but it is unknown the increasing competence and how good the training contribution to increase the small enterprise competence. This observation explain about the increase small enterprise competence after got entrepreneurship training. Key word: Entrepreneurship training & increase the small enterprise competence.

I. Pendahuluan Sektor usaha kecil dan menengah saat ini merupakan sektor yang sangat diperhatikan oleh pemerintah, hal ini terbukti dengan seriusnya perhatian pemerintah dalam mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. Hal ini wajar saja karena ternyata usaha kecil dan menengah sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara, bahkan lebih daripada separuh penduduk Indonesia berpenghasilan dari sektor ini. Selain pemerintah ternyata berbagai pihak swasta maupun lembaga internasional juga turut berperan dalam mengembangkan UKM. Salah satu lembaga internasional yang aktif dalam mengembangkan internasional yang aktif dalam mengembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia adalah Swisscontact. Berbagai program telah dijalankan guna mengembangkan UKM di Indonesia. Salah satu progam yang dijalankan adalah program voucher yang memuat beberapa jenis jasa pengembangan usaha diantaranya pelatihan kewirausahaan. Dalam melaksanakan kegiatannya Swisscontact juga dibantu oleh beberapa lembaga, perusahaan maupun perorangan sebagai mitra kerja. Dari hasil evaluasi sementara yang dilakukan oleh Swisscontact diketahui adanya peningkatan kompetensi pengusaha kecil sesudah mengikuti pelatihan kewirausahaan, namun belum diketahui besarnya peningkatan kompetensi pengusaha kecil. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini.

II. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah seberapa besarkah peningkatan kompetensi pengusaha kecil sesudah mengikuti pelatihan kewirausahaan dan seberapa besar kontribusi pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan Swisscontact bekerjasama dengan beberapa konsultan di Medan berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi pengusaha kecil yang telah mengikutinya. III. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kontribusi pelatihan terhadap peningkatan kompetensi pengusaha kecil, mengevaluasi hasil pengukuran kontribusi peningkatan kompetensi pengusaha kecil dan menyusun rekomendasi pengusaha kecil dan menyusun rekomendasi berdasarkan hasil penelitian untuk kepentingan Swisscontact dan konsultan sebagai mitra kerjanya serta pihak lain yang terkait. IV. Landasan Teori 4.1. Definisi Umum Kompetensi Menurut kamus Kompetensi LOMA (1998), kompetensi didefenisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seseorang yang memungkinkan dia dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem, nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi-kompetensi akan mengarahkan tingkah laku.

Page 53: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

50

Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak semua aspek-aspek pribadi dari seseorang pekerja itu merupakan kompetensi. Hanya aspek-aspek pribadi yang mendorong dirinya untuk mencapai kinerja yang superiorlah yang merupakan kompetensi yang dimilikinya. Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa kompetensi akan selalu terkait dengan kinerja yang superior.

4.2. Korelasi Kompetensi dengan Keberhasilan

Wirausaha Di samping keterampilan dan kemampuan, wirausaha juga harus memiliki pengalaman yang seimbang. Menurut A. Kuriloff, John M. Memphil, Jr dan Douglas Cloud (1993:8) ada empat kemampuan utama yang diperlukan untuk mencapai pengalaman yang seimbang agar kewirausahaan berhasil, diantaranya : 1. Technical competence, yaitu memiliki

kompetensi dalam bidang rancang bangun (know-how) sesuai dengan usaha yang akan dipilih. Misalnya, kemapmuan dalam bidang teknik produksi dan desain produksi. Ia harus betul-betul mengetahui bagaimana barang dan jasa itu dihasilkan dan disajikan.

2. Marketing competence, yaitu memiliki kompetensi dalam menemukan pasar yang cocok, mengidentifikasi pelanggan dan menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Ia harus mengetahui bagaimana menemukan peluang pasar yang spesifik, misalnya pelanggan dan harga khusus yang belum dikelola pesaing.

3. Financial competence, yaitu memiliki kompetensi dalam bidang keuangan, mengatur pembelian, penjualan, pembukuan, dan penghitungan laba/rugi. Ia harus mengetahui bagaimana mendapatkan dana dan menggunakannya.

4. Human relation competence, yaitu kompetensi dalam mengembangkan hubungan personal, seperti kemampuan berelasi dan menjalin kemitraan antar-perusahaan. Ia harus mengetahui hubungan inter-personal secara sehat.

4.3. Pelaksanaan Pelatihan Swisscontact Program pelatihan Swisscontact dilaksanakan selama 1 hari sampai dengan 6 hari tergantung jenis program pelatihan yang dilaksanakan. Tempat pelaksanaan pelatihan juga berbeda-beda tergantung Mitra Kerja yang melaksanakannya. Biasanya pelatihan dilaksanakan kantor Mitra Kerja, Hotel, dan gedung pendidikan. Instruktur yang melatih disiapkan oleh Mitra Kerjanya juga. Untuk mengikuti pelatihan pengusaha kecil cukup hanya membayar 50% dari biaya seluruhnya, sisanya dapat dibayar dengan menggunakan voucher yang dibeli dengan harga Rp. 2.500,-. Bagi pengusaha kecil dan menengah yang ingin

mengikuti program pelatihan langsung mendaftar kepada mitra kerja Swisscontact. Informasi program dapat diperoleh dari voucher Swisscontact yang dijual diberbagai tempat seperti wartel, lembaga pendidikan dan tempat lain yang telah ditunjuk oleh Swisscontact atau menghubungi langsung ke kantor Swisscontact atau kantor konsultan sebagai mitra kerjanya. Biasanya apabila akan dilaksanakan program pelatihan maka Swisscontact dan Mitra Kerjanya akan melakukan iklan baik dari media massa maupun langsung menghubungi UKM. Yang dimaksud dengan pengusaha kecil berdasarkan kriteria yang ditetapkan Swisscontact adalah usaha yang memiliki modal lebih kecil dari Rp. 100.000.000,- diluar tanah dan bangunan dengan jumlah karyawan antara 1 sampai dengan 25 orang.

4.4. Tolak Ukur Peningkatan Kompetensi Dalam penelitian nantinya yang menjadi tolak ukur peningkatan kompetensi adalah : a. Motivasi dan penumbuhan jiwa kewirausahaan. b. Manajemen Pemasaran dan Produksi. c. Manajemen Organisasi Perusahaan. d. Pengetahuan dan keterampilan tentang

administrasi keuangan dan akses permodalan. V. Pembahasan Metode sampling yang digunakan dalam penelitian adalah Strafied Random Sampling berdasarkan level pendidikan, kemudian pada tiap level dipilih dengan metode Simple Random Sampling. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2004. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah pengusaha kecil yang telah mengikuti pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan Swisscontact bersama Mitra Kerjanya di Medan paling cepat 3 bulan sebelum pengisian kuisioner. Jumlah populasi adalah 146 orang kemudian diambil sebanyak 30 orang sebagai sampel. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner. Skala yang digunakan untuk penilaian pertanyaan/atribut kuisioner adalah dengan skala Likert. Setelah dilakukan pengumpulan kembali terhadap kuisioner yang disebar, maka dilakukan uji validitas dan realibitas kuisioner. Hasil pengujian menunjukkan kuisioner dinyatakan valid karena maka nilai r hitung yang diperoleh lebih besar dari r tabel = 0,361. Sedangkan uji reliabilitas juga menunjukkan bahwa kuisioner dinyatakan reliabel karena nilai koefisien reliabel yang diperoleh bernilai lebih besar dari 0. Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan, maka diperoleh informasi sebagai berikut : 1. Pelatihan yang diselenggarakan oleh

Swisscontact dan Konsultan sebagai mitra kerjanya, telah memberikan kontribusi pengaruh terhadap peningkatan kompetensi pengusaha kecil yang telah mengikutinya. Hal ini didasari dengan adanya gap atau kesenjangan yang

Page 54: kumpulan jurnal

Analisis Peningkatan Kompetensi Pengusaha Kecil … Syahril Effendi Pasaribu

51

mengarah pada peningkatan antara kompetensi sebelum dan sesudah pelatihan.

2. Besar peningkatan masing-masing unsur kompetensi sesudah pelatihan adalah : 4 Motivasi dan jiwa kewirausahaan pengusaha

kecil, meningkat dari tingkat “kurang baik” dengan bobot rata-rata (mean) 2,16 dan modus 2 naik mendekati 2 tingkatan pada skala likert yaitu “baik” dengan bobot rata-rata (mean) 3,82 dan modus 4. Hal ini dapat ditandai dengan bertambahnya kreatifitas pengusaha kecil dalam menjalankan usahanya sehingga muncu ide-ide baru yang berguna dalam menjalankan usahanya dan konsistensinya untuk terus meningkatkan usahanya.

4 Manajemen pemasaran dan produksi pengusaha kecil, meningkat dari tingkat “kurang baik” dengan bobot rata-rata (mean) 2,18 dan modus 2 naik mendekati 2 tingkatan pada skala likert yaitu “baik” dengan bobot rata-rata (mean) 3,82 dan modus 4. hal ini ditandai dengan dimulainya perencanaan pemasaran produk, penetapan target penjualan, promosi dan penjadwalan pemasaran. Pada aspek produksi dapat ditandai dengan adanya perhatian yang serius dari pengusaha dalam mengendalikan kualitas produk dan tampilan fisik produk.

4 Manajemen organisasi pengusaha kecil, meningkat dari tingkat “kurang baik” dengan bobot rata-rata (mean) 2,30 dan modus 2 naik mendekati 2 tingkatan pada skala likert yaitu “baik” dengan bobot rata-rata (mean) 3,85 dan modus 4. Pada aspek ini dapat ditandai dengan adanya upaya pengusaha kecil dalam pembagian tugas dan tanggung jawab kepada setiap karyawan dan pendelegasian tugas kepada karyawan yang selama ini dilakukan sendiri. Selain itu pengusaha juga sudah menyadari akan pentingnya pengurusan izin usaha.

4 Manajemen administrasi & keuangan pengusaha kecil, meningkat dari tingkat “kurang baik” dengan bobot rata-rata (mean) 2,24 dan modus 2 naik mendekati 2 tingkatan pada skala likert yaitu “baik” dengan bobot rata-rata (mean) 3,82 dan modus 4. Pada aspek ini dapat ditandai dengan adanya upaya pengusaha untuk memulai melakukan pencatatan transaksi usaha yang selama ini tidak dilakukan, pembuatan pembukuan sederhana dan bertambahnya wawasan dalam mencari modal usaha.

3. Berdasarkan Analisis data diketahui adanya korelasi antara pelaksanaan pelatihan dengan peningkatan kompetensi pengusaha kecil. Hal ini karena berdasarkan metode Product Moment Pearson, diperoleh nilai r hitung yang lebih

besar dibanding r tabel dimana r hitung sebesar 0,6953 sedangkan nilai r tabel sebesar 0,361 pada taraf signifikan 5%.

4. Besarnya pengaruh pelatihan terhadap peningkatan kompetensi pengusaha kecil adalah setiap 1 kali pelaksanaan pelatihan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kompetensi sebesar 20,17. Hal ini dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan garis regresi Y = 19,41 + 0,7601 X, dimana Y adalah perubahan kompetensi pengusaha kecil dan X adalah pelatihan kewirausahaan.

VI. Kesimpulan dan Saran Dari hasil pengolahan dan analisis data dapat disimpulkan bahwa pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan Swisscontact Medan telah memberikan kontribusi pengaruh terhadap peningkatan kompetensi pengusaha kecil yang telah mengikutinya. Hal ini didasari dengan adanya gap atau kesenjangan yang mengarah pada peningkatan antara kompetensi sebelum dan sesudah pelatihan. Berdasarkan skala likert yang digunakan maka besarnya peningkatan kompetensi rata-rata pada tiap jenis kompetensi yang diukur adalah 2 tingkatan yaitu dari skala “kurang baik” menjadi “baik” dengan nilai mean dan modus rata-rata sebelum pelatihan 2,23 dan 2. Sedangkan nilai mean dan modus setelah pelatihan berturut-turut sebesar 3,83 dan 4. Disamping itu juga juga diketahui adanya korelasi antara pelatihan tehradap peningkatan kompetensi pengusaha kecil yang diperoleh dengan metode korelasi product moment pearson. Besarnya pengaruh pelatihan terhadap peningkatan kompetensi pengusaha kecil dapat disimpulkan dengan angka yaitu : setiap 1 kali pelaksanaan pelatihan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kompetensi sebesar 20,17. Hal ini dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan garis regresi Y = 19,41 + 0,7601 X, dimana Y adalah perubahan kompetensi pengusaha kecil dan X adalah pelatihan kewirausahaan. Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diajukan saran sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal,

dalam melaksanakan pelatihan hendaknya peserta dikelompok-kelompokkan berdasarkan level pendidikan, sehingga instruktur pelatihan akan lebih mudah dalam menyampaikan materi dan pada akhirnya pelatihan akan lebih efektif.

2. Hendaknya program pelatihan kewirausahaan dilakukan secara terus menerus dan diikuti dengan program pendampingan terhadap pengusaha kecil sehingga pengusaha kecil dapat terus berkembang.

Page 55: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

52

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, Ny. Dr, Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Keempat, Jakarta, Bina Aksara, 1993.

Bowen, Earl. K., Martin K. Starr, Basi Statistics For Business And Economics, International Editions, McGraw-Hill Internasional Editions, Printed in Singapore.

Djarwanto Ps. Drs. Subagyo Pangestu Drs. M.B.A, Statistik Induktif, Edisi keempat, BPFE, Yogyakarta, 1994.

Heru Sutojo, dkk. Profil Usaha Kecil dan Kebijakan Kredit Perbankan di Indonesia, Edisi Pertama, Publikasikan Lembaga Management FEUI, Jakarta, 1994.

Justin G. Longgenecker, dkk. Kewirausahaan ; Manajemen Usaha Kecil, Buku Dua, Salemba Empat, Jakarta, 2000.

Nasir, Moh, Ph.D. Metode Penelitian, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, 1988.

Putrawan, I. Made. Dr. Pengujian Hipotesis Dalam Penelitian-Penelitian Sosial, Edisi Pertama, Rineka Cipta, 1990.

Ritonga, A. Rahman, Prof. Dr., Statistika Untuk Penelitian Psikologi dan Pendidikan, Jakarta, FEUI, 1997.

Singarimbun, M., Metode Penelitian Survai, Edisi Revisi, LP3ES, Jakarta, FEUI, 1997.

Steel G. D. Robert, Torrie H. James., Statistika Prinsip dan Prosedur Statistika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Suprananto, J., M.A. Dr., Kewirausahaan ; Program Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, Agustus 2003.

Walpole, Ronald E, Ilmu Peluang dan Statistika Untuk Insiyur dan Ilmuwan, Edisi Kedua, ITB Bandung, Jakarta, 1986.

Page 56: kumpulan jurnal

Pembuatan Pulp dari Jerami Padi dengan Menggunakan Natrium Hidroksida Jalaluddin, Samsul Rizal

53

PEMBUATAN PULP DARI JERAMI PADI DENGAN MENGGUNAKAN NATRIUM HIDROKSIDA

Jalaluddin, Samsul Rizal

Jurusak Teknik Kimia Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

Abstrak: Jerami padi adalah limbah yang tidak digunakan oleh masyarakat namun banyak mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pembuatan pulp dengan menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH) sebagai katalisator merupakan salah satu metode pengolahan biomassa yang dapat memanfaatkan hampir seluruh komponen penyusunnya. Pembuatan pulp dari jerami padi dengan menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH) diharapkan berlangsung serempak, baik proses delignifikasi maupun dekradasi polisakarida. Variabel proses yang ditinjau pada penelitian ini adalah : Konsentrasi etanol (50%) nisbah cairan/padatan : 10 : 1 (ml/gr), konsentrasi katalis NaOH (2%, 4%, 8%), temperatur pemasakan (1000C, 1100C, 1200C dan 1300C) dan waktu pemasakan (60 menit, 90 menit, 120 menit dan 150 menit). Pemasakan 60 menit dan konsentrasi katalis 91,484% pada temperatur pemasakan 1200C, waktu hemiselulosa 6,07% dan lignin 3,1%. Perolehan pulp terkecil adalah 83,037% pada temperatur pemasakan 1100C, waktu pemasakan 120 menit dan konsentrasi katalis NaOH 8% dengan perolehan selulosa 87,833 %, hemiselulosa 6,713 % dan lignis 9,6%. Kata kunci : Jerami, NaOH, etanol, Temperatur. I. Pendahuluan Pulp adalah bahan berupa serat berwarna putih yang diperoleh melalui proses penyisihan lignin dari biomassa. Di negara kita banyak terdapat berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti akasia, pinus, bambu, padi dan lain-lain, yang dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan pulp, dimana bahan baku yang sebagian besar digunakan adalah dari kayu-kayu. Kekurangan pemasokan bahan baku kayu untuk produksi pulp yang disebabkan oleh isu lingkungan menyebabkan naiknya harga kertas. Untuk mengatasi hal tersebut, maka harus dicari bahan baku alternatif untuk menghasilkan pulp. Jerami padi adalah salah satu bahan baku utama yang digunakan untuk produksi pulp dan kertas. Jerami padi merupakan salah satu bahan baku potensial yang tersedia di beberapa negara di dunia. Penelitian tentang pemanfaatan jeramin padi sebagai bahan baku pulp dan kertas. Jerami padi merupakan salah satu bahan baku potensial yang tersedia di beberapa negara di dunia. Penelitian tentang pemanfaatan jerami padi sebagai bahan baku pulp dan kertas yang telah dilakukan kebanyakan menggunakan proses organosolv. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pulp yang dihasilkan jerami padi tidak kalah dengan pulp dari bahan lainnya. Selain itu juga memiliki beberapa keuntungan, diantaranya ramah lingkungan. Selama ini proses konvensional banyak digunakan dalam pembuatan pulp, dimana proses tersebut dari tiga metode, yaitu metode mekanis, metode semi kimia, dan metode kimia. Di antara ketiga metode tersebut yang paling sering digunakan adalah metode kimia dengan menggunakan proses kraft tetapi karena rendeman pulp masih rendah maka dikembangkanlah proses alternatif lain, proses tersebut adalah proses organosolv, yaitu pemrosesan

menggunakan pelarut organik. Prinsipnya adalah melakukan fraksional biomassa menjadi komponen utama penyusunnya (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) tanpa banyak merusak ataupun mengubahnya dan dapat diolah lebih lanjut menjadi produk yang dapat dipasarkan. Kelebihan dari proses organosolv dibandingkan dengan proses konvensional adalah : berdampak kecil bagi lingkungan yaitu tidak menimbulkan pencemaran sepeti gas-gas yang disebabkan oleh belerang, cairan pemasak (pelarut organik) bekas dapat digunakan kembali, setelah dimurnikan terlebih dahulu, dan produk samping mempunyai daya jual seperti glukosa, heksosa, fulfural, adhesive, serta bahan-bahan kimia.

Salah satu pelarut organik yang dikembangkan pemakainya adalah etanol. Pembuatan pulp dari jerami padi dengan proses etanol diharapkan dapat menghasilkan pulp dengan kandungan lignin rendah dan kandungan selulosa tinggi. Penelitian ini pulp dengan kandungan lignin rendah dan kandungan selulosa tinggi. Penelitian ini bertujuan mencari kondisi optimum proses delignifikasi, yaitu pengaruh temperatur pemasakan, pengaruh waktu pemasakan, dan pengaruh konsentrasi katalis NaOH, untuk memperoleh pulp dengan kandungan selulosa lebih besar dari 90%, sehingga memenuhi syarat sebagai bahan baku pembuatan selulosa asetat. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Jerami Padi Jerami Padi merupakan biomassa dengan kandungan selulosa terbesar, di samping hemiselulosa dan lignis dalam jumlah yang lebih kecil. Perbandingan komposisi kimia jerami padi dengan beberapa biomassa lainnya dapat dilihat pada tabel 2.1.

Page 57: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

54

Tabel 2.1. Komposisi Kimia Beberapa Biomassa

Biomassa Lignoselulosa

Selulosa (% berat)

Hemiselulosa (% berat)

Lignin (% berat)

Abu (% berat)

Sekam padi 58,852 18,03 20,9 0,6-1 Jerami gandum 29-37 26-32 16-21 4-9 Jerami padi 28-36 23-28 12-16 15-20 Tandan kosong kelapa sawit 36-42 25-27 15-17 0,7-6 Ampas tebu 32-44 27-32 19-24 1,5-5 Bambu 26-43 15-26 21-31 1,7-5 Rumput esparto 33-38 27-32 17-19 6-8 Kayu keras 40-45 7-14 26-34 1 Kayu lunak 38-49 19-20 23-30 1

Sumber : Mierly, (1981) Rumus kimia dari selulosa adalah (C6H10O5)n, dengan n sebagai jumlah pengulangan unit-unit gula atau ukuran rantai polimer yang dinyatakan dengan derajat polimerisasi (DP). Besarnya derajat polimerisasi selulosa bervariasi menurut asal selulosa dan pengolahan yang dilakukan. Pulp komersial biasanay diperoleh dari bahan kayu dengan selulosa yang memiliki DP berat rata-rata 600-1500. struktur selulosa secara umum diperlihatkan pada Gambar 2.2. Pembuatan Pulp Secara Konvensional Setelah pemasakan, pulp dan lindi pemasak (lindi hitam) dikeluarkan dari bagian bawah bejana pada tekanan yang diturunkan masuk kedalam tangki penghembus. Kotoran ukuran besar yang tidak cukup masak (mata kayu) disaring pada penyaring mata kayu dan dikembalikan ke dalam bejana untuk pemasakan ulang, lalu lindi pemasak bekas dikeluarkan. Setelah pencucian pulp dengan arus yang berlawanan diproses lebih lanjut dalam arus pemulihan. Lebih lanjut pulp disaring, dibersihkan, kadang-kadang digiling sedikit dan akhirnya dikentalkan dan disimpan untuk diproses. Keuntungan-keuntungan proses kraft adalah : - Selektivitas delignifikasi lebih lanjut. - Sifat-sifat pulp lebih baik. - Pemulihan bahan kimia lebih sederhana. Selain itu kerugian-kerugian dari penggunaan proses kraft adalah : - Rendemen pulp rendah. - Warna pulp yang gelap. - Memerlukan proses bleaching yang sangat

efisien. 3. METODOLOGI PENELITIAN Peralatan dan Bahan Kimia Peralatan Yang Digunakan - 1 Unit Otoklaf (tempat pemasakan) - Buah Becker Glass 100 ml - 1 buah Erlenmeyer 100 ml - 1 buah Buret 50 ml - 1 buah gelas arloji - Oven - Pemanas listrik

- Pompa vakum - Aluminium foil - Blender Bahan-bahan kimia yang digunakan - Aquadest - Etanol teknis (konsetrasi 70%) - NaOH - H2SO4 pekat - Na2S2O4 10% - KI 18% - Larutan kanji - KmnO4 7% - K2Cr2O7 5% 3.1. Prosedur Kerja Persiapan Bahan Baku 1. Jerami padi dicuci dalam ember, kemudian

dikeluarkan dan dijemur dibawah sinar matahari.

2. Bahan baku jeramin padi yang tlah dikeringkan, disimpan dalam wadah tertutup, agar kandungan air seragam.

Prosedur Kerja Penelitian 1. Untuk mencapai kondisi isotermal, otoklaf

dioperasikan selama 50 menit. 2. Setelah itu, 20 gr jerami padi dimasukkan ke

dalam otoklaf. 3. Nisbah cairan / padatan yang digunakan adalah

10 : 1 (ml/gram) 4. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 50%

berat. 5. Otoklaf dioperasikan pada temperatur dan waktu

yang divariasikan. 6. Residu dan filtrat dipisahkan dengan

menggunakan saringan. 7. filrat (lindi hitam) tersebut mengandung ligni,

etanol, furfutral, dan gula. 8. Residu yang didapat dikemudian dicuci dengan

etanol 50% dan dilanjut pencuciannya dengan air panas lalu dikeringkan tanpa pemanasan (dibiarkan di udara terbuka), selama kira-kira 24 jam.

Page 58: kumpulan jurnal

Pembuatan Pulp dari Jerami Padi dengan Menggunakan Natrium Hidroksida Jalaluddin, Samsul Rizal

55

3.2. Variabel Penelitian Variabel Tetap 1. Konsentrasi etanol 50 % berat. 2. Nisbah cairan / padatan 10:1 (ml/gr) Variabel Tidak Tetap 1. Temperatur pemasakan : 1000C, 1100C, 1200C

dan 1300C. 2. Waktu pemasakan : 60 menit, 90 menit, 120

menit dan 150 menit. 3. Konsentrasi NaOH 2%, 4%, 6% dan 8% berat

dari berat jerami padi kering. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perolahan Pulp Perolehan pulp yang didapat berkisar antara 83,037 % - 91,484 %, bervariasi menurut kondisi operasi. Perolehan pulp terbesar didapat pada

temperatur pemasakan 1200C, waktu pemasakan 60 menit dan konsentrasi katalis NaOH 8%. Sedangkan perolehan pulp terkecil diperoleh pada temperatur 1100 C, waktu pemasakan 120 menit dan konsentrasi katalis NaOH 8% (tabel) ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur, waktu pemasakan dan konsentrasi katalis NaOH, maka perolehan pulp semakin kecil. Pada saat pemasakan terjadi reaksi delignigikasi dan degradasi polisakarida, dimana pada reaksi delignifikasi terjadi pemutusan ikatan-ikatan lignin dari senyawa-senyawa lain. Kandungan lignin dalam pulp akan semakin berkurang dan perolehan pulp akan semakin rendah, sedangkan degradasi polisadarida adalah polisakarida yang kembali ke bentuk monomer-monomernya.

Gambar 4.1. Grafik Hubungan Antar Konsetrasi Katalis dan Temperatur

Gambar 4.2. Grafik Hubungan Antar Konsetrasi Katalis dan Temperatur Pada Waktu Pemanasan 150 menit

Page 59: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

56

Pengaruh Perolehan Pulp Konsentrasi Terhadap Katalis NaOH Dapat dilihat bahwa penambahan konsentrasi katalis NaOH dari 2% menjadi 4%, 6% hingga 8% pada umumnya telah menurunkan perolehan pulp. Peningkatan konsentrasi katalis berarti meningkatkan jumlah ion [OH-] didalam cairan pemasak. Ion-ion [OH-] ini akan memutuskan ikatan-ikatan dari struktur dasar pembntuk lignin, sehingga lignin menjadi lebih mudah untuk dilarutkan. Dengan berkurangnya kandungan ligninmaka perolehan pulp akan semakin berkurang. Pengaruh Kandungan Selulosa Terhadap Waktu Bertambahnya waktu pemasakan dari 60 menit hingga 150 menit pada konsentrasi katalis NaOH 2% telah meningkatkan kandungan selulosa didalam pulp hal ini disebabkan oleh lamanya molekul-molekul cairan pemasak bereaksi dengan senyawa lignoselulosa, sehingga ikatan lignin dan hemiselulosa terputus dariikatan selulosa, akhirnya meningkatkan kandungan selulosa didalam pulp-pulp. Hal ini kemungkinan terjadi karena ketidak telitian penulis dalam melakukan analisa kandungan selulosa. Kandungan Lignin Kandungan lignin yang tinggi yaitu sebesar 19,3% yang diperoleh pada kondisi temperatur 1000C, waktu pemasakan 60 menit dan konsentrasi katalis NaOH 2%. Sedangkan kandungan lignin terendah diperoleh pada temperatur 1200C, waktu pemasalan 150 menit dan konsentrasi katalis NaOH 8%, yaitu sebesar 1,2. 5. Kesimpulan Dari berbagai data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain : 1. Hasil optimum peroleh pulp adalah 91,484 %,

yang diperoleh pada temperatur pemasakan 1200C, waktu pemasakan 60 menit dan konsentrasi katalis NaOH 8%. Sedangkan perolehan pulp terkecil diperoleh pada

temperatur 1100C, waktu pemasakan 120 menit dan konsentrasi katalis NaOH 8% yaitu sebesar 83,037%.

2. Kandungan selulosa tertinggi adalah sebesar 93,267 %, pada temperatur pemasakan 1200C dan 1300C, waktu pemasakan 60 menit dan konsentrasi katalis NaOH 8%. Sedangkan kandungan selulosa terendah diperoleh pada temperatur pemasakan 1000C, waktu pemasakan 60menit dan konsentrasi katalis NaOH 2% sebesar 58,533 %.

3. Kandungan hemiselulosa yang paling tinggi yaitu sebesar 13,791%, diperoleh pada temperatur 1000C, waktu pemasakan 60 menit dan konsentrasi katalis NaOH 2%. Sedangkan kandungan hemiselulosa terendah yaitu sebesar 4,749% diperoleh pada temperatur 1300C, waktu pemasakan 150 menit dan konsentrasi katalis NaOH 8%.

DAFTAR PUSTAKA EL-Shakawy, Organosolv Pulping of Wheat Straw,

Tappi Journal, Vol. 5, 1995. Sjostrom Eoro, Kimia Kayu Dasar-Dasar

Penggunaan, Gajah Mada University Press, 1995.

Fengel, D. Wegener, G Kimia Kayu Ultrastruktur Reaksi-Reaksi, Gajah Mada University Press, 1995.

Johanson, A., Aoltonen, O., dan Ylinen, P.m Organosolv Pulping Method and Pulp Property Biomass, Tappi Journal, Vol. 2, 1987.

Kin. Z, The Acetolisis Beech Wood, Tappi Journal, Vol. 4, 1990.

Parajo, J. C., Alonson, J.I., dan Vazquez, D., On The Behaviour Of Lignin and Hemiselulosa During Acetosolv Proccess of Wood, Bioresource, Tappi Journal, Vol. 1, 1993.

Sarkanen, Chemistry of Solvent Pulping, Tappi Journal, Vol. 3, 1990.

Sudjana, Disain dan Analisa Eksperimen, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1985

Susanto, H., Utilization of Biomass of Chemical Research, Preliminary Experiment.

Page 60: kumpulan jurnal

Business Plan dan Studi Kelayakan Pengolahan Jeruk ... Yusak Maryunianta dan Terip Karo-karo

57

BUSINESS PLAN DAN STUDI KELAYAKAN PENGOLAHAN JERUK MENJADI PRODUK POWDER DI PROPINSI SUMATERA UTARA

Business Plan and Feasibility Study of Powder Orange Processing in North Sumatera

Yusak Maryunianta dan Terip Karo-Karo

Abstrak: Pengkajian ini dilakukan dengan tujuan untuk menyusun studi kelayakan pengolahan jeruk menjadi produk powder dan menyusun business plan pengolahan jeruk menjadi produk powder. Daerah studi dalam pengkajian ini adalah dua kabupaten sentra produksi utama jeruk di Sumatera Utara yaitu Karo dan Dairi.

Untuk mengkaji kinerja eksisting agribisnis jeruk di daerah studi digunakan metode deskriptif. Sementara itu, untuk mengkaji kelayakan pengembangan pengolahan jeruk menjadi produk powder digunakan kriteria investasi menggunakan perhitungan Benefit Cost Ration, Net Present Value and Internal Rate of Return. Analisis Sensitivitas juga digunakan untuk mengkaji ketidakpastian perekonomian terhadap pengembangan kegiatan.

Hasil survey kajian menyatakan bahwa pengembangan pengolahan jeruk menjadi produk powder layak dilaksanakan, baik dalam kondisi perekonomian normalmaupun perekonomian mengalami ketidakpastian. Agar kegiatan pengembangan berjalan optimal maka perlu dilakukan pengembangan kemitraan yang didukung oleh perkuatan kelembagaan petani dan pengembangan pasar.

Kata kunci: pengolahan jeruk powder, studi kelayakan, business plan. Abstract: The objectives of the study were to determine the feasibility of powder orange processing in North Sumatera and to arrange the business plan of the processing. The study was conducted in Karo Regency and Dairi Regency as the most important orange production centres in North Sumatera.

The analysis methods that was used to study the existing condition of performance of orange agribusiness in study are was descriptive analysis. The feasibility of the powder orange processing was determined by using investment criteria i.e. Benefit Cost Ration, Net Present Value and Internal Rate of Return. Sensitivity Analysis also was used to analyse the effect of uncertain condition on the plant.

The results of this study indicated that the powder orange processing development is feasible to be development in the study area in the normal or uncertain condition. The implementation of the activity can be conducted optimally by developing partnership that is based on farmer institution empowerment and market development. Key words: powder orange, feasibility study, business plan. PENDAHULUAN

Kegiatan agroindustri memiliki potensi dalam peningkatan nilai tambah produk hasil-hasil pertanian, bukan hanya terbatas pada tingkat petani tetapi sampai pada tingkat pengusaha yang bergerak dalam perdagangan baik lokal, nasional maupun internasional. Agroindustri juga berpotensi menciptakan kesempatan kerja yang semakin besar di pedesaan dan juga peningkatan ekspor non migas (Rahardjo, 1984).

Peluang pengembangan agroindustri dapat dibagi dalam 2 kategori yakni pertama agroindustri berskala besar dengan basis perkebunan (PTP dan Swasta), perikanan laut, peternakan dan kategori kedua agroindustri pedesaan dengan basis pertanian rakyat meliputi pengolahan palawija, hortikultura maupun hasil perikanan rakyat.

Nilai tambah yang dihasilkan dari kegiatan agroindustri mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan di Sumatera Utara, mengingat

Sumatera Utara mempunyai potensi besar dalam hal penyediaan bahan baku, baik untuk agroindustri berskala besar maupun skala kecil. Selain itu, posisi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura memberikan peluang pasar yang semakin terbuka lebar bagi produk agroindustri.

Salah satu jenis komoditas hortikultura unggulan yang berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi produk agroindustri di Sumatera Utara adalah jeruk. Sumatera Utara merupakan produsen utama jeruk di Indonesia selain Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Kalimantan Barat.

Jeruk asal Sumatera Utara yang dikenal sebagai jeruk Meran dan jeruk Berastagi merupakan salah satu jenis buah unggulan yang sangat digemari oleh konsumen baik konsumen local maupun konsumen manca negara. Keunggulan jeruk ini antara lain terletak pada rasanya yang manis sedikit asam, kulit buah agak tebal dan mempunyai ketahanan terhadap

Page 61: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

58

hama penyakit. Disamping itu, jeruk ini mudah dibudidayakan dengan biaya produksi relative renda. Jeruk jenis ini terutama dihasilkan di Kabupaten Karo. Dengan karakteristik yang sedemikian maka jeruk Berastagi memiliki hamper semua ciri yang dibutuhkan dalam pengembangan agroindustri yang menghasilkan produk bahan minuman baik dalam bentuk segar (sari dan juice) maupun powder.

Produk powder memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih tahan lama disimpan, kemasan lebih praktis dan memiliki nilai tambah yang tinggi. Meskipun produk powder tersebut memiliki berbagai kelebihan yang di dukung oleh ketersediaan bahanbaku relative besar dan konsumen yang relative luas, namun pengolahan jeruk menjadi produk powder belum pernah dilakukan di Sumatera Utara. Oleh karena itu, studi kelayakan dan business plan tentang pengolahan jeruk menjadi produk powder di Sumatera Utara perlu segera dilakukan.

Adapun tujuan Studi Kelayakan dan Business Plan tentang Pengolahan Jeruk Menjadi Produk Powder di Sumatera Utara ini adalah untuk : 1. Menyusun studi kelayakan pengolahan jeruk

menjadi produk powder. 2. Menyusun business plan pengolahan jeruk

menjadi produk powder. METODE ANALISIS

Lokasi survey atau sasaran pengumpulan data ditentukan secara purposive yaitu dengan daerah kabupaten yang menjadi sentra produksi atau penghasil jeruk segar sebagai bahan baku untuk pengolahan produk jeruk powder terbesar di Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Karo dan Dairi. Pada tahun 2003, kedua kabupaten tersebut memiliki kontribusi sekitar 60% dari total produksi jeruk segar di Sumatera Utara.

Data yang dibutuhkan dalam survey ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dibutuhkan antara lain tentang kondisi dan permasalahan pengembangan jeruk secara umum, kegiatan usaha tani jeruk, kegiatan kelompok tani, kegiatanpemasaran transportasi. Data diperoleh melalui pejabat pemerintah daerah. Rincian jumlah responden dalam survey ini terdiri atas petani 10 KK, kelompok tani jeruk 3 kelompok, pengurus masyarakat jeruk Indonesia (MJI) 1 orang. Pedagang pengumpul 3 orang, pengusaha tranpsortasi (ekspedisi) 1 perusahaan dan pengusaha pengolahan 2 perusahaan.

Data sekunder yang diperlukan terdiri atas data tentang kebijakan pengembangan hortikultura buah-buahan, data agroklimat, hasil studi tentang jeruk sebelumnya, data tentang luas lahan pengembangan, produktivitas dan produksi jeruk serta jumlah kelompok tani diperoleh oleh beberapa instansi. Instansi sasaran survey atau sumber data sekunder adalah Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Inkubator, Bappeda Kabupaten serta Kantor Statistik.

Analisis terhadap potensi bahan baku, peran stakeholders dan lembaga terkait, proses pengolahan jeruk menjadi produk powder, kebutuhan sumberdaya (peralatan, lahan, bangunan, bahan penunjang dan lain sebagainya) yang diperlukan dalam pengolahan jeruk menjadi produk powder serta penyusunan business plan dilakukan menggunakan metode deskriptif. Sementara itu, khusus untuk analisis proses pengolahan dibantu dengan metode bagan air.

Analisis kelayakan dilakukan melalui tahapan perkiraan biaya pengembangan, perkiraan manfaat pengembangan dan penentuan kelayakan pengembangan. Biaya pengembangan yang dimaksud dalam hal ini adalah biaya produksi yang terdiri ats biaya investasi maupun biaya operasi (Gittinger, 1986). Biaya investasi diperkirakan dari pembelian tapak, pembelian alat sortir, alat pemotong, alat pengerukan, alat pemisah biji, vacuum dryer, mixer /blender, ayakan, alat pengemas. Biaya operasi diperkirakan dari pembelian bahan baku, pembelian bahan tambahan (penunjang) untuk memproduksi powder seperti gula, mineral, bahan baku, flavor, pewarna dan kemasan, penyediaan energi (bahan baker), biaya perawatan, pajak, upah tenaga kerja dan penyusutan alat.

Manfaat dalam proyek-proyek pertanian yang paling umum diperoleh dari peningkatan produksi fisik (Gittinger, 1986). Dalam pengembangan pengolahan jeruk menjadi produk powder ini, manfaat yang dimaksud adalah nilai produksi pengolahan jeruk powder selama umur ekonomis rangkaian peralatan 10 tahun.

Kelayakan dalam proyek-proyek pertanian yang paling umum diperoleh dari peningkatan produksi fisik Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR) (Bachrawi, 2000 : Choliq, 1993; Kadariah dkk, 1978). Dalam hal ini tingkat bunga yang berlaku dan digunakan dalam kajian adalah sebesar 15% tahun.

Mengingat keadaan perekonomian sering diwarnai ketidakpastian maka dilakukan analisis sensitivitas dengan asumsi bahwa biaya pengembangan (biaya produksi) meningkat sebesar 30%, pengembangan terlambat 2 tahun, kombinasi antara biaya pengembangan meningkat 30% dan pengembangan terlambat 2 tahun. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. POTENSI DAN PROSPEK

PENGEMBANGAN PRODUK JERUK POWDER

Pengembangan produk jeruk powder ke depan

memiliki prospek yang relative cerah dan kesinambungan yang menjanjikan mengingat bahan baku bagi industri jeruk powder tersedia secara kontinyu dengan adanya dukungan kesesuaian agroklimat dan ketersediaan lahan, gaya hidup

Page 62: kumpulan jurnal

Business Plan dan Studi Kelayakan Pengolahan Jeruk ... Yusak Maryunianta dan Terip Karo-karo

59

masyarakat cenderung lebih praktis, teknologi penanganan pasca panen telah tersedia, persoalan pemasaran jeruk dalam bentuk segar relative kompleks, semakin nyatanya dukungan kebijaksanaan pengembangan agroindusri.

Kabupaten Karo dan Dairi merupakan bagian wilayah Propinsi Sumatera Utara yang memiliki potensi cukup besar sebagai daerah pengembangan jeruk. Daerah ini terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan yang berada pada ketinggian 140-1.700 m di atas permukaan laut. Tanah di daerah studi pada umumnya termasuk kedalam sub ordo udults, udands dan tropepts dengan kondisi drainase baik. Kedalaman efektif tanah pada umumnya adalahpada rentang antara 30 – 60 cm dan rentang 60 – 90 cm. Suhu udara berkisar antara 140 C – 270C dengan kelembaban udara rata-rata 75 – 88% curah hujan rata-rata berkisar antara 1.000-3.500 mm per tahun dengan hari hujan rata-rata 145 hari per tahun dengan rata-rata penyinaran matahari 55-66%.

Di wilayah Kabupaten Karo terdpat seluas 118.679 ha lahan yang berpotensi bagi pengembangan pertanian dan 14.5% diantaranya belum dimanfaatkan secara efektif. Sedangkan di Kabupaten Dairi terdapat lahan potensial seluas 129.334 ha dan 35% diantaranya belum dimanfaatkan secara efektif (termasuk 20.000ha dianaranya berupa lahan tidur). Lahan yang belum termanfaatkan tersebut berpotensi besar bagi pengembangan jeruk di masa yang akan datang.

Berdsarkan uraian tersebut maka dapat disarikan bahwa potensi agroklimat dan ketersediaan lahan bagi pengembangan jeruk di Sumatera Utara khususnya di dua kabupaten sentra produksi jeruk (Karo dan Dairi), relative besar. Ini berarti potensi bahan baku produk jeruk powder di Sumatera Utara relative besar dan prospek kesinambungan ketersediaan bahan baku tersebut dimasa yang akan datang relative terjamin.

Varietas jeruk yang ditanam di Kabupaten Karo sekarang ini adalah jenis Siam, Washington, Sunkist, Padang dan Siam Madu, sedangkan di Kabupaten Dairi terutama adalah Siam Madu. Jenis yang disukai oleh konsumen local adalah varietas Siam Madu sehingga varietas jeruk ini mendominasi penanaman jeruk di Kabupaten Karo. Jeruk ini memiliki kekhasan seperit kadar airnya yang banyak aromanya yang harum, rasanya manis dan sedikit asam, warna cerah, bentuk bulat atau oval, tebal kulit 2-4 mm, warna lapisan dlaam kuning, diameter jeruk 5-7 cm, dan beratnya 90-225 gram, ketahanan 8-10 hari setelah masa panen, umur tanaman berproduksi 4-10 tahun. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa jeruk Karo dan Dairi memiliki karakteristik atau kualitas yang memenuhi persyaratan sebagai bahan olah produk jeruk powder.

Pertanaman jeruk di Kabupaten Karo dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan jumlah penduduk dan adanya kesadaran masyarakat

tentang pentingnya gizi (vitamin). Luas pertanaman jeruk meningkat dari 6.651,00 ha pada tahun 2000 menjadi 17.000 ha pada pertengahan tahun 2004, atau terjadi peningkatan pesat luas pertanaman sebesar 63,90% pertahun. Penyebaran pertanaman jeruk terdapat di Kecamatan Barusjahe, Tigapanah, Juhar, Simpang Empat, Merek, Munthe, Kutabuluh dan Kabanjahe. Sejak tahun 2002, Kecamatan Mardinding menjadi lokasi baru sasaran pengembangan jeruk Siam.

Untuk Kabupaten Dairi, luas pertanaman jeruk masih relative terbatas namun terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Total luas pertanaman jeruk 192 ha pada tahun 2000, meningkat menjadi 410 Ha pada pertengahan tahun 2003, atau meningkat rata-rata 53,4% per tahun. Penyebaran peranaman jeruk terdapat di Kecamatan Pegagan Hilir, Sumbul, Parbuluan, Sidikalang dan Siempat Nempu.

Produksi jeruk Kabupaten Kaor dari tahun ke tahun mengalami peningkatan luas pertanaman dan juga teknologi budidaya yang terus berkembang. Dari luas pertanaman 17.000 ha, baru 8.344 ha yang telah berproduksi dengan produktivitas rata-rata 78,03 ton/ha pada pertengahan tahun 2004. produksi total telah berkembang 46,5% per tahun dari 350,154,75 ton pada tahun 2000 menjadi 651.082 ton pada tahun 2004. Produksi jeruk Kabupaten Dairi juga mengalami peningkatan 63,7% per tahun dari 1.046,4 ton pada tahun 2000 menjadi 2.665 ton pada tahun 2004.

Berdasarkan uraian tentang kondisi luas pertanaman dan produksi tersebut maka dapat dikatakan bahwa jeruk segar sebagai bahan baku dalam pengolahan produk powder tersedia dengan cukup melimpah di dua kabupaten sentra produksi jeruk tersebut. Dengan asumsi bahwa sekitar 30% produksi jeruk Karo dan Dairi diolah menjadi produk powder dan rendeman pengolahan adalah 2,5% maka kedua kabupaten sentra produksi tersebut berpotensi menghasilkan jeruk powder sekitar 4.903 ton dalam setahun.

Di wilayah kabupaten Karo terdapat beberapa lokasi gudang yang berfungsi sebagai tempat penampungan, penyortiran, grading dan pengemasan buah jeruk. Pada gudang tersebut buah jeruk dikelompokkan atas beberapa kelas yaitu kelas A (sekitar 6 buah per kg), kelas B (sekitar 8 buah per kg), kelas C (sekitar 10 buah per kg) dan kelas D (sekitar 12 – 14 buah per kg). Pada prinsipnya bahan baku produk powder dapat berasal dari kesemua grade tersebut. Penanganan pasca panen jeruk oleh para petani di Kabupaten Karo yang mencakup penampungan, penyortiran, grading dan pengemasan buah jeruk segar (meskipun umumnya masih bersifat tradisional dan perlu disempurnakan), telah memberikan tambahan jaminan kualitas jeruk sebagai bahan baku bagi pembuatan produk powder.

Permasalahan pasca panen yang cukup menonjol dalam agribisnis jeruk Karo dan Dairi

Page 63: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

60

adalah bahwa sampai saat ini di wilayah kajian belum terdapat satu perusahaan pun yang bergerak dalam pengiolahan buah jeruk (misalnya menjadi juice, mainisan, permen atau powder).

Permintaan akan buah jeruk masih merupakan yang terbesar disbanding permintaan terhadpa jenis buah lainnya.menggunakan besarn konsumsi per kapita sebesar 0,05 kg per minggu pada tahun 1996 tahun 1996 menjadi 0,09 kg per minggu pada tahun 2003, maka konsumsi jeruk penduduk Indensia naik 9,917 ton pada tahun 1996 menjadi 19,356 ton per minggu pada tahun 2003. Dengan perkiraan tingkat konsumsi per kapita sebesar 0,2 kg per minggu, maka proyeksi kebutuhan jeruk untuk konsumsi nasional pada tahun 2010 diperkirakan akan menjadi sekitar 48.000 ton per minggu atau sekitar 2.496.000 ton per tahun.

Peluang pasar luas negeri juga semakin terbuka dengan terus meningkatnya permintaan negara-negara ASEAN, Asia lainnya maupun Eropa terhadap jeruk dari Indonesia. Dalam pemanfaatan peluang ini Indonesia harus bersaing keras dengan negara-negara penghasil jeruk lainnya seperti Thailand dan China. Dengan asumsi bahwa permintaan dari luar negeri terhdap jeruk Indonesia adalah sebesar 20% dari permintaan domestik maka diperkirakan pada tahun 2010 total permintaan jeruk dari luar negeri adalah sebesar 224..640 ton.

Dengan semakin berkembangnya budaya modern yang menuntut segala sesuatu berlangsung cepat dan praktis maka untuk masa yang akan dating diperkirakan masyarakat akan semakin banyak mengkonsumsi buah-buahan instant namun dengan ciri tetap memiliki rasa dan aroma yang tidak berbeda jauh dengan bentuk segarnya, seperti dalam bentuk powder (Sato, 2004).

Sistem pemasaran jeruk Karo dan Dairi sampai saat ini umumnya melibatkan pedagang pengumpul, pedagang local, pedagang antara pulau dan eksportir. Biaya handling dan pengangkutan buah jeruk dari Berastagi ke Jakarta rata-rata adalah Rp. 1.200 - Rp. 1.500 per kg. mahalnya ongkos angkut ini disbabkan oleh banyaknya pungutan resmi maupun tak resmi di sepanjang jalan antara Medan – Jakarta. Ongkos ini jauh lebih mahal disbanding dengan biaya handling dan transportasi jeruk China dari Negeri China ke Jakarta (yang rata-rata hanya Rp. 500 per kg). Tingginya biaya transport tersebut masih ditambah dengan resiko kerusakan barang selama perjalanan. Kerusakan buah yang timbul karena transportasi biasanya berkisar antara 3 sampai 7%.

Cara pemasaran dengan bantuan ekspedisi membutuhkan skala pengiriman barang yang lebih besar agar efisien dalam biaya pengiriman. Tentu saja hal tersebut sulit dijangkau oleh petani yang produksinya terbatas tanpa mereka membentuk kelompok pemasaran bersama atau tanpa adanya fasilitas pasar induk yang memadai di wilayah kajian (Takdir, 2004).

Saluran distribusi produk jeruk segar asal Karo adalah dari produsen ke pedagang pengumpul, kemudian ke agen besar di Pulau Jawa ke pedagang pengecer lalu ke konsumen. Untuk jeruk yang dipasarkan ke Jakarta melalui jasa ekspedisi, pihak pengecer menjual kepada konsumen dengan harga Rp. 10.500 – Rp. 12.500 untuk kelas super, Rp. 7.500 – Rp. 9.500 untuk kelas A & B Rp. 6.000 – Rp. 7.000 untuk kelas C. bila dihitung marjinnya maka petani akan menerima Rp. 1.800 per kg. Setelah dikurangi dengan biaya transport (Rp.1.200 per kg) maka pedagang pengumpul memperoleh keuntungan sekitar Rp. 1.550 per kg dan agen Rp. 1.400. sedangkan pihak pengecer memperoleh keuntungan rata-rata R. 2.100 per kg. Dari perhitungan ini terlihat bahwa marjin pemasaran tertinggi diterima oleh pihak pengecer. Petani hanya menerima marjin sekitar 26,1 dari total harga yang dibayarkan oleh konsumen di Jakarta.

Hal yang hamper selalu terjadi pada tiap musim panen raya adalah turunnya harga jeruk pada saat panen raya (biasa hanya Rp. 1.200-Rp. 2.000 per kg). ironisnya adalah bulan-bulan panen raya jeruk Karo hampir berimpit dengan bulan-bulan panen raya sentra-sentra produksi jeruk lainnya di Indonesia (seperti Pasaman dan Sambas). Selain itu, bulan-bulan panen raya jeruk juga merupakan bulan-bulan panen raya komoditas buah-buahan jenis lain seperti mangga, durian dan rambutan. Jatuhnya harga jeruk juga dipicu oleh terhambatnya penyaluran hasil jeruk ke Nangroe Aceh Darussalam yang selama ini menjadi salah satu pasar utama produk jeruk asak Karo dan Dairi.

Berdasarkan uraian tentang kinerja pemasaran jeruk domestik ini dapat diproyeksikan bahwa melalui pengembangan kegiatan pengolahan produk jeruk powder di Sumatera Utara maka akan berdampak mempersingkat jalur pemasaran produk jeruk segar, mengurangi resiko tingginya biaya transportasi, mengurangi resiko kerusakan dan kehilangan produk, meningkatkan daya saing produk Karo disbanding jeruk dari daerah lain, memberikan alternative pasar dan menghindari kejatuhan harga jeruk dalam kondisi over produksi, serta meningkatkan margin pemasaran yang diterima oleh petani (Maryunianta, 2004).

Program Pemerintah Kabupaten Karo dan Dairi ke depan adalah mengimplementasikan pengembangan pusat Kawasan Agropolitan. Program tersebut didukung sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Terbukti pemerintah pusat menentapkan program tersebut sebagai proyek percontohan nasional di Indonesia. Dalam konsep tersebut, Kabupaten Karo menjadi pusat kawasan agropolitan yang mengcover 5 kabupaten yaitu Karo, Dairi, Simalungun, Tobasa dan Tapanuli Utara sesuai dengan nota kesepakatan (MoU) kelima kabupaten tersebut.

Pada kawasan agropolitan tersebut akan dibangun sarana dan prasana yang mendukung sektor pertanian antara lain industri pengolahan

Page 64: kumpulan jurnal

Business Plan dan Studi Kelayakan Pengolahan Jeruk ... Yusak Maryunianta dan Terip Karo-karo

61

benih, cold storage, indusri pengerigan, industri pengalengan, terminal agribisnis, industri sirup, industri pengemasan, bank, industri alat pertanian, pemasaran dan penjualan produk-produk pertanian dan pembangunan lapangan terbang khusus kargo. Dengan dukungan kebijakan sedemikian maka pengembangan agroindustri alat pertanian, pemasaran dan penjualan produk-produk pertanian dan pembangunan lapangan terbang khusus kargo. Dengan dukungan kebijakan sedemikian maka pengembangan agroindustri jeruk menjadi produk powder di wilayah kajian memiliki peluang yang semakin besar untuk direalisasikan (Anonim, 2003). 2. STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK

JERUK POWDER Berdasarkan paparan tentang prospek sekaligus

permasalahan pengembangan jeruk segar di atas maka strategi pengembangan teknologi pengolahan jeruk menjadi produk di wilayah kajian adalah : 1. Mengembangkan teknologi pengolahan produk

jeruk powder di wilayah kajian dengan sarana : a. Meningkatkan nilai tambah jeruk segar asal

Karo dan Dairi dan meningkatkan pendapatan petani.

b. Mengoptimalkan pemanfaatan prospek dan peluang pasar jeruk domestic maupun luar negeri melalui diversifikasi produk jeruk.

c. Memangkas panjangnya jalur tata niaga produk jeruk dan mengurangi resiko tingginya biaya transportasi dalam pemasaran jeruk segar.

d. Mengurangi resiko jatuhnya harga produk jeruk segar saat panen raya sebagai akibat persamaan waktu panen di antara sentra-sentra produk jeruk yang ada.

e. Memberikan alternative pemanfaatan bagi produk jeruk segar pada saat over produksi (panen raya) atau produk yang tidak terserap oleh pasar.

f. Meningkatkan marjin pemasaran yang diterima oleh petani jeruk.

2. Mengembangkan teknologi pengolahan produk

jeruk powder di wilayah kajian yang didukung oleh : a. Pemanfaatan daya dukung lahan dan

kesesuaian agroklimat secara optimal untuk pengembangan jeruk sebagai bahan baku pembuatan produk powder.

b. Pemanfaatan potensi luas lahan pengembangan dan produksi jeruk untuk menjamin kontinuitas ketersediaan bahan baku bagi pengolahan jeruk menjadi produk powder.

c. Penanganan kualitas dan karakteristik jeruk di wilayah kajian sebagai bahan baku produk jeruk powder melalui perbaikan penanganan pasca panen (penggudangan,

penyortiran, grading, pengemasan) jeruk segar.

d. Efisiensi proses produksi bahan baku sehingga cost price jeruk segar sebagai bahan baku produk powder masih dapat ditekan.

e. Perbaikan prasarana transportasi (seperti jalan) yang mengalami kerusakan di wilayah sentra produksi.

f. Pejabaran kebijakan agroindustri menjadi rencana aksi yang lebih bersifat operasional.

g. Menarik investor untuk menginvestasikan modalnya dalam pengembangan jeruk produk powder melalui pola kemitraan.

h. Penggalakan kegiatan promosi produk jeruk powder dan pengembangan outlet-outlet jeruk powder.

i. Peningkatan kesadaran petani di wilayah kajian dalam membentuk kelembagaan secara berkelompok.

3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUKSI

JERUK POWDER Proses pengolahan buah jeruk menjadi produk

powder dilakukan melalu tahapan sortasi, pencucian, pemotongan, ekstraksi, pengadukan, penyaringan, penambahan zat aditif, penguapan, penepungan dan pengayakan, dan pengemasan. Bahan baku yang dibutuhkan dalam pengolahan ini sebanyak 3 ton jeruk segar. Masing-masing tahapan dijelaskan sebagai berikut : a. Sortasi

Setelah panen, buah jeruk segar dikumpulkan oleh para petani di pondok yang umumnya tersedia di setiap lahan tanaman jeruk. Di tempat tersebut dilakukan penyortiran berdasarkan besar kecilnya buah jeruk secara manual atau menggunakan alat sortir menurut criteria sortasi yang sudah dikenal. Alat sortasi yang digunakan berkapasitas 3 ton per hari.

b. Pencucian / pengupasan

Sebelum diambil sari buahnya, buah jeruk dicuci bersih, dikupas atau dipotong menggunakan alat pemotong. Buah jeruk yang telah masak pohon harus segera diambil sari buahnya dan jangan terlalu lama disimpan di gudang, karena akan mudah terserang jasad renik. Alat pemotong yang digunakan berkapasitas 3 ton per hari.

c. Ekstraksi/Pengadukan/Penyaringan

Setelah dikupas, kemudian buah jeruk diambil sarinya dengan cara diperas, disaring (yang dibantu dengan alat pemisah biji) serta diaduk. Sebelum dilakukan pengadukan dan penyaringan, bahan dicampur dengan air secukupnya. Alat pemisah biji yang digunakan berkapasitas 1 ton per hari.

Menurut Toller and Timberlake (1971), sari buah jeruk manis biasanya mempunyai susunan sebagai berikut :

Page 65: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

62

• Berat jenis : 1,037 – 1,049 • pH : 2,26 – 5,57 • Brix : 9,200 – 15,000 • Total gula : 6,00 – 11,00 % berat • Gula sakarosa

(cane sugar) : 1,46 – 3,30 • Gula invert : 6,70 – 8,30 • Asam sitrat : 0,95 – 3,41 • Perbandingan brix

dan asam : 3,54 – 12,24 • Pectin : 0,08 – 0,21 • Carotenoids : 0,68 – 3,37 mg/ltr • Nanthophyll : 0,16 – 3,37 mg/ltr • Vitamin C : 28,00 – 92,20 mg % • Minyak esensial : 2,60 - 44,00 mg % • Abu : 0,30 – 0,41 %

Sari buah yang digunakan sebagai bahan

pembuatan powder tidak boleh mengandung minyak esensial melebihi 0,03 %. Bilmana perlu, sari buah dapat diawetkan dengan bermacam-macam cara, diantaranya yaitu melalui pasteurisasi dan pembotolan (pengalengan).

d. Penguapan

Sebelum dilakukan penguapan, ditambahkan natrium benzoate dan gula kedalam sari buah. Penguapan dilakukan menggunakan vakum dryer. Vakum dryer yang digunakan berkapasitas 1 ton per hari.

e. Penepungan / Pencampuran

Setelah bahan diuapkan, kemudian dilakukan penepungan. Ke dalam bahan kemudian ditambahkan vitamin, mineral, flavor dan pewarna yang dicampur menggunakan mixer. Mixer yang digunakan berkapasitas 1 ton per hari.

f. Pengayakan

Setelah menjadi tepung dan diberi bahan campuran, selanjutnya bahan diayak. Ayakan yang digunakan berkapasitas 1 ton per hari.

g. Pengemasan

Setelah diayak, selanjutnya produk jeruk powder (semacam nutrisari) dikemas dalam kemasan berukuran 10 mg. Alat pengemas yang digunakan berkapasitas 1 ton per hari.

h. Pemanfaatan

Pabrik sari buah, selain menghasilkan sari buah juga masih ada sisa kulit jeruk, daging buah, dan biji. Sisa tersebut bila hanya sedikit dapat dibuang untuk kompos atau dipendam dalam tanah. Bila volumenya relatif banyak maka bahan tersebut dapat menjadi bahan lain yang sangat berguna, misalnya untuk makanan ternak, melase (sirup manis kental yang warnanya cokelat tua), pectin (dapat dipakai untuk jeli), minyak kulit jeruk, minyak biji, dan lain-lain (Hulme, 1971).

4. PENETAPAN LOKASI DAN ARAHAN DESAIN PABRIK

a. Kriteria Penetapan Lokasi Pabrik

Jeruk segar sebaiknya sampai di pabrik pengolahan tepat pada waktunya (dalam rentang waktu kurang dari 24 jam). Mempertimbangkan hal tersebut maka sebaiknya letak pabrik berada tidak jauh dari areal pertanaman (sentra produksi) jeruk. Pengertian berada di dekat areal pertanaman yang dimaksud dalam hal ini mengandung implikasi luas dan fleksibel. Bukan semata-mata hanya ditentukan oleh jarak, namun juga perlu diperhitungkan waktu tempuh yang sangat dipengaruhi oleh kondisi jalan dan moda transportasi yang ada. Hal ini penting diperhatikan untuk tujuan mendapatkan kualitas powder yang baik (mengantisipasi pembentukan asam berlebihan) serta efisiensi biaya transportasi bahan baku.

Faktor lain yang juga perlu diperhitungkan dalam penempatan pabrik adalah aksesibilitas dengan jaringan jalan utama, supaya hasil olahan pabrik (powder) mudah didistribusikan atau ditransportir ke konsumen.

Dari sisi ekologis, perlu diperkirakan aspek penanganan limbah, sehingga hasil buangan limbah mudah ditangani dan tidak memberikan dampak negatif yang berarti bagi lingkungan di sekitar pabrik.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pabrik pengolahan jeruk segar menjadi produk powder adalah : • Dalam konteks kajian mekanika tanah, lokasi

pabrik perlu dibangun di tempat yang datar dan daya dukung lahan cukup kuat.

• Tapak tidak terletak di lokasi banjir. • Perlu dipertimbangkan adanya kemungkinan

perluasan pabrik di masa yang akan datang. b. Arahan Rancangan Pabrik

Kapasitas Pabrik Sebelum mendirikan sebuah pabrik, perlu

disusun data luas areal dan produksi jeruk di wilayah tersebut. Dalam hal ini skala pabrik pengolahan yang akan kita kembangkan adalah berskala kecil sampai menengah. Penentuan kapasitas dapat dilakukan melalui perhitungan sederhana sebagai berikut :

PR x 15% x 300PMKP =

Dimana : KP : Kapasitas Pabrik PM : Produksi Maksimum/ tahun (merupakan

perkalian antara produksitivitas dengan luas areal pertanaman)

300 : Hari Kerja/tahun PR : Persentase produksi jeruk segar yang diolah (%)

Page 66: kumpulan jurnal

Business Plan dan Studi Kelayakan Pengolahan Jeruk ... Yusak Maryunianta dan Terip Karo-karo

63

Apabila luas pertanaman jeruk untuk satu kelompok tani adalah 50 ha, produkvitas tanaman umur 8 tahun adalah 40 ton/ha/tahun dan persentase produksi jeruk segar yang diolah 30%, maka kapasitas pabrik yang diperlukan :

kerja ton/hari3 10030 x

100150 x

30040 x 50 ==

Dukungan Luas Areal dan Produksi Pertanaman Jeruk Yang Diperlukan

Bila pabrik pengolahan berkapasitas 3 ton jeruk segar/hari atau 900 ton/tahun, maka untuk men-dukung kelangsungan operasi pabrik diperlukan areal pertanaman jeruk seluas = (900/40) ha = 22,5 ha.

Dengan kata lain yang perlu diperhatikan sebelum membangun pabrik pengolahan jeruk segar menjadi produk powder adalah ketersediaan areal pertanaman jeruk yang telah menghasilkan TM) di kawasan tersebut minimal seluas 22,5 ha. Mengingat pertanaman jeruk di wilayah kajian tidak berada dalam satu hamparan atau terpencar maka untuk memenuhi kebutuhan bahan baku 1 (satu) unit pabrik pengolahan, dapat diperoleh dari beberapa kecamatan atau desa yang saling berdekatan. Prasyarat Utilitas dan Fasilitas

Tapak yang dibutuhkan untuk pengembangan pabrik pengolahan jeruk segar menjadi produk powder adalah seluas kurang lebih 500 m2. Daya listrik yang dibutuhkan berkisar 40 – 75 KVA dan air bersih berkisar 0 – 30 m3/hari.

Dengan rendahnya kebutuhan utilitas sedemikian maka pengolahan jeruk segar menjadi produk powder dapat dilakukan di daerah-daerah yang belum tersedia jaringan listrik atau dapat menggunakan listrik yang bersumber dari genset. Demikian halnya kebutuhan air untuk pengolahan dapat menggunakan air sumur (baik sumur dangkal maupun sumur dalam). Dalam kondisi tersebut maka buangan limbah cair dapat ditampung pada kolom-kolom limbah berukuran kecil, sehingga dapat meresap tuntas pada beberapa kolom. Arahan Lay Out Pabrik

Tata letak peralatan (layout) pabrik pengolahan jeruk segar menjadi produk powder sebaiknya di desain untuk tapak yang datar. Adapun gambaran tentang tata letak peralatan pabrik pengolahan jeruk segar menjadi produk jeruk powder sesuai proses perjalanan bahan.

Proses pengalokasian tapak perlu dilakukan melalui penyelaraan antara keterkaitan kegiatan dan kebutuhan ruangan. Tujuan pemaduan ini adalah untuk merancang pengaturan ruangan yang efisien yang dibutuhkan oleh tiap kegiatan, dalam satu kesatuan yang terintegrasi. Susunan yang dihasilkan harus sedapat mungkin mewadahi keterkaitan kegiatan yang telah ditentukan dan tetap dipertahankan kebutuhan luas dari tiap kegiatan.

5. PERHITUNGAN KELAYAKAN PENGEMBANGAN

a. Perhitungan Biaya Pengembangan Komponen biaya proyek dalam hal ini meliputi

biaya pembelian lahan, pemagaran lahan, pembuatan saluran drainase, pembuatan kolom limbah, pembelian mesin, pembuatan bangunan/gudang, bahan, upah tenaga kerja, sewa tanah, pajak, overhead cost (biaya tambahan) dan biaya tak terduga (Choliq, 1993 ; Gittinger, 1978). Tahun ke-0 diasumsikan sebagai tahun investasi yang dimanfaatkan sebagai saat pengembangan fisik pabrik dan tahun ke-1 diasumsikan sebagai tahun awal operasionalisasi pabrik dalam kapasitas penuh. Total biaya investasi pada tahun ke-0 adalah sebesar Rp. 585.350.000 dan biaya operasional tahun 1 adalah Rp. 4.514.323.850. b. Perhitungan Manfaat Pengembangan

Produksi yang diperkirakan diperoleh dari proses pengolahan adalah 83.333 jeruk powder per hari. Satu bungkus jeruk powder dijual dengan harga Rp. 300,-. Pada tahun operasi, diperkirakan rangkaian peralatan pengolahan langsung berfungsi selama 12 bulan atua 300 hari kerja. Selanjutnya mulai tahun ke-1 sampai tahun ke-6, rangkaian peralatan pengolahan diasumsikan berfungsi penuh dan berproduksi selama 12 bulan atau 300 hari kerja. Selanjutnya mulai tahun ke-1 sampai tahun ke-6, rangkaian peralatan pengolahan diasumsikan berfungsi penuh dan berproduksi optimal. Sementara itu mulai tahun ke 7 sampai ke 10 terjadi penurunan produksi rata-rata 10% per tahun. Sebagai patokan dalam pembuatan cash flow maka nilai produksi kotor pada tahun ke-1 adalah Rp. 7.499.997.000,- tahun ke-7 Rp. 6.749.300,- tahun ke-8 Rp. 5.999.997.600,- tahun ke-9 Rp. 5.249.997.900,- dan tahun ke-10 sebesar Rp. 4.499.998.200. c. Kelayakan Pada Kondisi Normal

Sesuai dengan hasil perhitungan biaya dan manfaat yang disajikan pada bab sebelumnya maka selanjutnya dapat disusun cash flow dalam rangka penentuan kelayakan financial pengembangan kegiatan pengolahan jeruk segar menjadi jeruk powder. Dalam analisis ini diasumsikan bahwa selama tahun perencanaan kondisi eko perekonomian relative normal, biaya-biaya yang telah dikeluarkan sebelum proyek pengembangan (seperit penyusunan business plan dan studi kelayakan) tidak dimasukkan dalam perhitungan, discount rate diperkitakan 15% dan harga jeruk powder per bungkus Rp. 300,-

Hasil perhitungan kelayakan menunjukan bahwa pada discount rate level 15% ternyata NPV = Rp. 12.245.720, BCR = 21,79 dan IRR 49,16%. Karena NPV positif, BCR lebih besar dari 1 dan IRR lebih besar dari interest rate yang berlaku maka dapat disarikan bahwa pengembangan kegiatan pengolahan jeruk segar menjadi jeruk powder sangat layak dilaksanakan.

Page 67: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

64

Table 1. Perhitungan Kelayakan Usaha Pengolahan Jeruk Segar menjadi Produk Powder

Tabel 2. Resume Hasil Analisis Sensitivitas

Asumsi Sensitivitas NPV (Rp) BCR IRR (%)

1. Biaya produksi meningkat 30%

2. Pengembangan terlambat 2 tahun

3. Kombinasi antara asumsi 1 dan 2

d. Analisis Sensitivitas

Namun demikian, mengingat keadaan perekonomian sering diwarnai ketidakpastian maka dilakukan analisis sensitivitas dengan asumsi bahwa biaya pengembangan pengolahan jeruk segar menjadi jeruk powder (biaya produksi) meningkat sebesar 30%, pengembangan terlambat 2 tahun, kombinasi antara biaya pengembangan meningkat 30% dan pengembangan terlambat 2 tahun. Pengembangan terlambat 2 tahun diartikan sebagai investasi yang dilakukan secara bertahap akibat keterbatasan dana dan diatur melalui urutan pembelian dan pemagaran lahan pada lahan pada tahun 10, pembangunan gudang pada tahun ke 1 dan pembangunan saluran drainase, kolam limbah dan pembelian mesin atau peralatan pada tahun ke 2. Hasil analisis sensitivitas pada discount rate level 15% memberikan nilai NPV, BCR dan IRR seperti disajikan pada table 2. meningkatnya biaya produksi sebesar 30%, keterlambatan pengembangan 2 tahun dan kombinasi antara keduanya, masih memberikan nilai NPV positif, BCR lebih besar dari 1 dan IRR lebih besar dari interest rate yang berlaku. Dengan demikian dapat disarikan bahwa meskipun dalam kondisi ketidakpastian perekonomian namun pengembangan kegiatan pengolahan jeruk segar menjadi jeruk powder masih sangat layak dilaksanakan.

6. BUSINESS PLAN PENGEMBANGAN

a. Rencana Pengembangan Kelembagaan dan Kemitraan Pengembangan teknologi pengolahan jeruk

menjadi produk powder dalam skala kecil atau menengah dapat dilakukan melalui pola kemitraan. Hal ini perlu dilakukan karena petani lemah dalam hal pendanaan dan teknologi. Kemitraan dibentuk berdasarkan prinsip saling menguntungkan antara petani/kelompok tani dengan pihak lain.

Sebelum kemitraan terbentuk petani perlu mengembangkan kelompok baik dalam bentuk kelompok tani jeruk atau usaha bersama petani jeruk. Setelah kelompok tani atau usaha bersama tersebut terbentuk maka selanjutnya terdapat beberapa alternative kemitraan yang dapat dikembangkan, yaitu: a. Kemitraan antara Kelompok Tani/Usaha Bersama

Petani Markisa dengan Bank/Lembaga Modal Ventura.

b. Kemitraan antara Kelompok Tani/Usaha Bersama Petani Markisa dengan Pengusaha (Eksportir dan Pengusaha Pengelolaan).

c. Kemitraan antara Kelompok Tani/Usaha Bersama Petani Markisa dengan Lembaga Inkubator.

d. Kemitraan Terpadu yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan

Page 68: kumpulan jurnal

Business Plan dan Studi Kelayakan Pengolahan Jeruk ... Yusak Maryunianta dan Terip Karo-karo

65

kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan.

b. Rencana Lokasi Pengembangan

Sesuai dengan persyaratan teknis maupun makro seperti aksesibilitas dengan pasar, akses ke sumber bahan baku, akses ke pusat jasa informasi, komunikasi dan promosi maka lokasi yang disarankan bagi pengembangan pabrik pengolahan jeruk menjadi produk powder adalah Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Berastagi dan Kecamatan Tiga Panah (Kabupaten Karo), Kecamatan Tanjung Beringin (Kabupaten Dairi) dan Kecamatan Sibolangit dan Kecamatan Pancur Batu (Kabupaten Deli Serdang). c. Tahapan Pengembangan Teknologi

Pengolahan Pengembangan teknologi pengolahan jeruk powder dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : (1) Survey (pasar, lahan, bahan baku) dan Detail Desain, (2) Pembebasan Lahan dan Pengurusan Izin Kegiatan, (3) Pengurusan Kontrak Kemitraan, (4) Pengurusan Administrasi Pembiayaan, (5) Pelaksanaan Pembangunan dan (6) Operasi dan Maintenance. Durasi waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tahapan-tahapan tersebut adalah berkisar antara 6 bulan sampai 1 tahun. d. Rencana Pengembangan Pasar

Pengembangan pasar jeruk powder dapat dilakukan pada lingkup domestic maupun pasar ekspor. Untuk lingkup domestic dapat memanfaatkan wilayah-wilayah sasaran pemasaran jeruk segar yang sudah ada selama ini (seperti Jakarta, Bandung, Batam, Pekan Baru, dsb) atau memanfaatkan wilayah-wilayah sasaran pasar produk jeruk powder yang sudah ada (seperti daerah pengembangan pemukiman di perkotaan di Indonesia). Untuk menembus pasar-pasar yang telah ditambah oleh para pengusaha pengolahan jeruk powder sebelumnya dapat dilakukan melalui strategi pengembangan produk (misalnya melalui pengembangan kombinasi powder jeruk dengan powder buah jenis lainnya. Untuk lingkup pasar ekspor, sasaran pemasaran dapat diarahkan ke negara-negara di wilayah Asia Tenggara atau wilayah Asia lainnya. Pemasaran ke negara-negara barat dapat dilakukan melalui pencantuman label bahan baku yang diproduksi melalui sistem pertanian organik. KESIMPULAN DAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

1. Hasil perhitungan kelayakan menunjukkan bahwa dalam kondisi perekonomian normal, pengembangan kegiatan pengolahan jeruk segar menjadi jeruk powder layak dilaksanakan. Dalam kondisi biaya produksi meningkat sebesar 30% pengembangan terlambat 2 tahun, kombinasi antara biaya pengembangan meningkat 30% dan pengembangan terlambat 2

tahun, biaya pengembangan pengolahan jeruk segar menjadi jeruk powder tetap layak dilaksanakan.

2. Basis utama business plan pengembangan pengolahan jeruk powder terletak pada pengembangan kemitraan yang berintikan pada perkuatan kelembagan petani dan pengembangan pasar.

2. Saran

Sebelum business plan diimplementasikan, perlu dilakukan pengkajian terhadap kesiapan kelembagaan petani serta perilaku pasar dan responn konsumen produk jeruk secara cermat. DAFTAR PUSTAKA Anonym, 2003. Master Plan Pengembangan Kawasan

Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara. Tim Teknis Kelompok Kerja Pengembangan Kawasan Agropolitan, Medan.

Choliq, A. Rivai, W Dan Ofan, S. 1993. Evaluasi Proyek Suatu Penganta. Penerbit Pionir Jaya, Bandung.

Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Diterjemahkan : Slamet Sutomo Dan Komet Mangiri. UI-Press, Jakarta.

Hulme, A. C. 1971. The Biochemistry of Fruit and Their Product Volume 1. Academic Press, London – New York.

Kadariah, Lien, K. Clive, G. 1978. Penganta Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.

Maryunianta, Yusak, 2004. The Mini Study On Orange Development And Promotion In Karo And Dairi Regency. JICA RDPLG – LPPM USU, Medan.

Mutty, Luthfi, 2004, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara Dalam Pengembangan Jeruk Malangke. Malakah Disampaikan Lokakarya “Promosi Manajemen Pembangunan Daerah Melalui Kerjasama Antar Propinsi Dengan Menitikberatkan pada Komoditas Jeruk” di Masamba, 7-8 Oktober 2004.

Rahardjo, M. D. 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. UI-Press, Jakarta.

Sato, Masahito, 2004, Orange “Mikan” In Japan. Makalah Disampaikan Pada Pertemuan Persiapan Lokakarya “Promosi Manajemen Pembangunan Daerah Melalui Kerjasama Antar Propinsi Dengan Menitikberatkan Pada Komoditas Jeruk” Di Jakarta, 4 Oktober 2004.

Takdir Djufri, 2004. Pengalaman Dan Permasalahan Petani Dalam Pengembangan Jeruk Malangke. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya “Promosi Manajemen Pembangunan Daerah Melalui Kerjasama Antara Propinsi Dengan Menitikberatkan Pada Komoditas Jeruk” di Masamba, 7-8 Oktober 2004.

Page 69: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

66

ANALISA LAJU KOROSI MILD STEEL PADA LINGKUNGAN DENGAN KELEMBABAN TINGGI SELAMA 24 JAM

Batu Mahadi Siregar*, Muthia Bintang**

* Staf pengajar tetap FT-UISU ** DPK FT-UISU Industri

Abstrak: Laju korosi dapat diminimalkan dan dihindari dengan melakukan analisa pada material tersebut akan digunakan. Korosi mempunyai laju yang tinggi pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Dari hasil analisa laju koros pelat Mild Stee untuk jarak yang berbeda dengan metode exposure dan immerse pada moisture room ditahan selama 24 jam menunjukkan bahwa posisi ditengah dari moisture room berdampak lebih besar terhadap pertumbuhan korosi dan kondisi exposure juga berdampak pada laju korosi dibandingkan dengan cara immerse dengan laruran air tawar. Kata kunci: Moisture room, exposure dan immerse, mild steel. Abstract: Corrosion rate ear minimization and avoided by analyses for the wanted of material and on condition of environment where the material will be used. Corrosion had to accelerate high at environment with high dampness. Rom result of fast analysis of corrosion for Mild Steel plate to different distance with menthod of exposure and of immerse the under arrest by room moisture during 24 hours indicate that position in the middle of from rom moisture affect bigger to growth of condition and corrosion of exposure also more affecting at corrosion rate compared to the way of immerse with freshwater condensation. Keys word: Moisture room, exposure and immerse, mild steel. 1. Pendahuluan

Korosi adalah kehendak alam, dimana tidak bisa dicegah, namum dapat di hambat laju geraknya.

Pada hakekatnya peristiwa sel dari keadaan setimbangnya yang menyebabkan kenaikan rapat arus.

Korosi yang terjadi terhada logam terhadap material dipengaruhi oleh sifat logam yang menjadi komposisi pembentuknya.

Korosi terjadi terhadap logam ferrous maupun non ferrous. Dimana hal ini disebabkan reaksi elektro kimia pada material tersebut.

Biaya akan banyak sekali dikeluarkan bila penanganan terhadap laju korosi tidak diberikan pada material konstruksi dan komponen mesin.

Factor utama penyebab korosi adalah adanya suatu reaksi kimia, dimana kecepatan korosi tergantung dari pada beberapa aspek pendukungnya, diantaranya adalah : (1) temperatur, (2) konsentras reakten, (3) produk dari korosi itu sendiri, (4) tegangan mekanik,dan (5) erosi akibat gesekan.

Korosi basah (Wet corrosion) Korosi kering (Dry corrosion)

Pada eksprimen laboratorium ini dilakukan tentang riset laju korasi pada kondisi basah tau Wet corrosion, dengan memberikan moisture atau meletakkan spesimen pada lingkungan moisture di berbaga jarak dengan sumber uap dan dibandingkan dengan laju korosi bila specimen dicelupkan di dalam wadah air.

2. Tinjauan Pustaka Hampir sebagaian besar peristiwa korosi yang

terjadi disebabkan oleh reaksi elektrokimia karena logam disebabkan oleh reaksi elektrokimia karena logam pasti memiliki elektron bebas yang mampu menimbulkan sel elektrokimia pada skala kecil di dalam logam itu sendiri. Sebagian logam akan terkorosi di dalam air dan atmosfir terbuka, sehingga semua lingkungan dapat dikatakan korosif pada skala tertentu.

Korosi terjadi adanya 4 elemen pembentu korosi : a. Anoda b. Katoda c. Arus Listrik d. Elektrolit a. Anodik, disini terjadi adalah metal reduction,

dimana atom elektron dari logam terlepas, dan membuat logam tersebut menjadi bersifat Anodik, secara reaksi ditulis : M → M+ + ne-

Fe → Fe2+ + 2e-

Al → Al3+ + 3e-, dan lain sebagainya

b. Katoda, pada Katoda terjadi 2 proses yaitu : Oksigen reduksi

O2 + 4H + 4e- → 2H2O (Acid Solution) O2 + H2O + 4e-→ 4OH (Neutral dan basa)

Hydrogen evolution 2H+ + 2e → H2

Page 70: kumpulan jurnal

Analisa Laju Korosi Mild Steel Pada Lingkungan ... Batu Mahadi Siregar, Muthia Bintang

67

c. Arus listrik,akan terjadi bila logam melakukan pelepasan alektron maupun melakukan reaksi pembentukan / ikatan dengan atom lain. Contoh : Fe 3++ e- → Fe2+ menghasilkan +0,77 Volt

e. Elektrolit,adalah cairan yang bersifat dapa dialiri

oleh arus listrk yang timbul akibat reaksi pada Anodik maupun Katodik.

Bentuk – bentuk Korosi :

a. Uniform attack b. Dissimilar metal c. Crevice corrosion d. Selective Leaching Corrision e. Pitting f. Intergranular corrosion g. Strees corrosion h. Errosion corrosion.

2.1 Laju Korosi (corrosion rate) Laju korosi adalah pernyataaan laju korosi yang

terjadi pada suatu material, dimana dengan mengetahui laju korosinya dapat dilakukan penghambatan laju korosi ataupun dapat memprediksi usia komponen.

Dengan memperkirakan banyaknya faktor kehilangan berat yang dialami logam selama proses korosi, maka besarnya laju korosi[2,3] dapat dihitung dengan persamaan berikut :

534 W CR = (mpy) atau ….. (1) ρ AT 87600 W = (µm / year) ρ AT dimana : W = Kehilangan berat selama korosi (gr) ρ = Massa jenis spesimen (gr/cm3) A = Luas penampang (m2) T = Waktu proses koros (jam) MPY = Milimeter per year, sebagai kecepatan

penetrasi logam. H2O, bila di semprotkan /diuapkan akan mengikuti reaksi : H2O → H+ + OH- H+ sangat reaktif untuk berekasi dengan logam dalam reaksi asam, dan OH- reaktif untuk reaksi basa, dimana kedua reaksi ini merupakan penyebab korosi. Korosi dapat terjadi di segala lingkungan baik padat, cair dan gas

3. Metode Ekperimen Pada pengujian laju korosi ini dilakukan dengan menggunakan kondisi basah. 3.1 Penyiapan Spesimen

Spesimen yang digunakan adalah pelat dari jenis Mild Steel yang digunakan sebagai pelat bahan penbuatan panel box.

Spesimen disiapkan dengan memotong pelat sesuai dengan ukuran yang disesuaikan kapasitas moisture room, ukuran dan bentuk spsimena dalam mm ditunjukkan pada Gambar 1 dengan jumlah spesimen yang diuji adalah 4 buah pelat.

Beberapa hal yang dilakukan sebelum spesimen dimasukkan ke dalam moisture room, yaitu : a. Spesimen di bersihkan dan dihaluskan

permukaannya dengan menggunakan ampas serta digosok dengan autosol (polish), sehingga permukaannya benar-benar halus dan licin hingga tidak terdapat noktah-noktah pada permukaannya.

b. Diberi lubang untuk tempat menggantungkan spesimen pada moisture room.

c. Panandaan atau penomoran specimen dan zona pengamatan.

d. Timbang specimen sebelum perlakuan dimasukkan pada moisture room.

e. Kemudian specimen diberi tali plastic untuk menggantungkannya pada moisture room.

3.2 Set –Up Alat

Moisture room di set-up dengan menempatkan 3 buah rantai plastic, dan dibuat dengan jarak yang berbeda, hal ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan posisi exposure pada material, dikarenakan moisture condition untuk tiap level juga akan berbeda.

Kualitas moisture akan kandungan on H+ dan OH- akibat reaksi H2O → H+ + OH- berbeda untuk tiap posisi.

Moisture dihasilkan dari aliran air yang dipompakan dan disalurkan melalui nozel, sehingga menghasilkan moisture, hal ini ditampilkan pada Gambar 2. 3.3 Prosedur Percobaan

Specimen yang sudah disiapkan sebelumnya digantungkan pada gantungan yang terdapat di dalam moisture room. Larutan yang digunakan adalah air tawar, yang bersumber dari instalasi air bersih.

Lama waktu ekposure dilakukan selama 24 jam.Dalam percobaan ini nantinya akan dibandingkan juga terhadap spesimen dengan metode di immerse (dicelup) di dalam air yang sama dan waktu yang sama pula, akan dilihat laju korosi dari kedua metode tersebut.

Dari kedua metode tersebut di atas menggunakan 4 buah spesimen yang masing-masing berbeda posisinya, seperti terlihat pda Gambar 3 dengan

Page 71: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

68

pentabulasi, yaitu : Tabel 1. Letak dan Posisi spesimen

No Posisi Lokasi 1 Rantai atas Moisture room 2 Rantai tengah Moisture room 3 Rantai bawah Moisture room 4 Dicelup diwadah Wadah collecting water

Moisture room

Setelah 24 jam specimen seluruhnya diangkat

dan dikeluarkan dari lokasi moisture room seperti terlihat pada Gambar 4, selanjutnya dilakukan beberapa tahapan diantaranya : a. Keringkan sampai benar-benar kering. b. Bersihkan dan hilangkan korosi yang menempel

pada permukaan spesimen dengan kain lap dan sikat plastic hingga permukaannya benar-benar bersih, ditunjukkan Gambar 5.

c. Timbang berat setelah dilakukan percobaan untuk mengetahui kehilangan berat dari masing-masing spesimen.

d. Catat data dari hasil percobaan sebelum dan sesudahnya.

e. Data dibuat dalam tabulasi dan selanjutnya dianalisa serta disimpulkan hasil dari percobaan yang dilakukan.

4. Hasil dan Diskusi Gambar 4 menunjukkan adanya perubahan atau

penambahan bentuk (geometri) dari pelat mild steel yang dalam hal ini merupakan pembentukan sebuah ceruk yang didahului oleh korosi biasa diseluruh permukaan yang dibasahi air, mungkin akibat efek dari batas butir sederhana.

Page 72: kumpulan jurnal

Analisa Laju Korosi Mild Steel Pada Lingkungan ... Batu Mahadi Siregar, Muthia Bintang

69

Tabel 2. Dimensi pelat untuk masing-masing zona pengamatan

No W1 W2 Wr L1 L2 Lr Tebal Volume (cm) (cm3)

1 3.01 3.11 3.06 5.19 5.09 5.14 0.124 1.9503216 2 2.95 3.165 3.0575 4.99 4.99 4.99 0.124 1.8918587 3 3.05 3.03 3.04 5.19 5.35 5.27 0.124 1.9865792 4 3.185 3.12 3.1525 5.36 5.41 5.385 0.124 2.10505035

Table 3. Berat pelat sebelum dan sesudah percobaan

No Berat awal (gr)

Density ρ(gr/cm3)

Waktu (jam)

Berat sesudah

(gr)

Berat hilang W (gr)

Area A (m2)

Laju korasi CR (mpy)

1 15.1861 77.86495 24 15.162 0.0241 0.003791 1.816792988 2 14.3044 75.6103 24 14.2725 0.0319 0.004867 1.928777159 3 14.3338 74.16669 24 14.7154 0.0184 0.002948 1.872565122 4 16.1769 76.84804 24 161671 0.0098 0.001664 1.705518363

Gambar 6. Grafik Corrosion rate (CR) pada moisture room selama 24 jam

Page 73: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

70

Khususnya untuk specimen 2 yang berada ditengah, sangat mudah dipahami bahwa daerah basah yang bersebelahan dengan udara atau antarmuka elektrolit menerima oksigen dari difusi lebih banyak ketimbang daerah di pusat tetesan air (bagian bawah) yang terletak paling di pusat dari sumber pemasokan oksigen Gradien konsentrasi ini daerah di tengah itu mengalami polarisasi anodic sehingga terlarut dengan aktif :

Fe → Fe2+ + 2e-. Ion-ion hidroksil yang dibangkitkan di daerah

katoda terdifusi kearah dalam dan bereaksi dengan ion-ion besi yang terdifusi kearah luar, sehingga terjadilah pengendapan produk korosi tak dapat larut di sekelilinng cekungan, atau ceruk. Ini selanjutnya menghambat difusi oksigen, mempercepat proses anodic di pusat tetesan,dan menyebabkan reaksi bersifat otokatalik.

Menurut KR. Trethewey bahwasanya laju korosi dalam air tawar untuk baja 0.05 mm per tahun adalah hal yang biasa, namun untuk kajian per tahun di atas angkanya yaitu berkisar 1,7 mm per tahun, hal ini dimungkinkan akibat dari proses produksi baja tersebut yang telah mendapat perlakuan panas sebelumnya hal inilah yang menyebabkan laju korasi pada pelat Mild Steel lebih tinggi.

Dari percobaan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil percobaan berupa data yang dibuat

dalam bentuk tabulasi. Terlihat pada Tabel 2 danTabel 3 dimana menggunakan persamaan (1).

5. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pelat Mild Steel yang digunakan untuk pembuataan panel box pada moisture rom dengan metode exposure dan immerse yang menggunakan air tawar dari PAM ditahan selama 24 jam, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : 1. Laju korosi jarak specimen dengan sumber

moisture, dimana kualitas moisture pada posisi ditengah memperlihatkan lebih banyak ion-ion H+ dan OH-, sehingga menimbulkan korosi yang lebih berdampak pada material.

2. Laju korosi pada exposure dengan kondisi pemberian moisture air tawar lebih memberikan dampak dibandingkan dengan exposure metode immerse dengan larutan air tawar.

6. Daftar Pustaka

Haftirman,Corrosions Fatigue, hand out, 2002 Fadhila R, Korosi dan Degradasi Material, hand

out,2002 Fadhila R,Aspek Elektro-Kimia dan Proses Korosi,

hand out, 2002 Treathewey, KR. And Chamberlain, J, Korosi, 1991

Page 74: kumpulan jurnal

Analisa Laju Korosi Mild Steel Pada Lingkungan ... Batu Mahadi Siregar, Muthia Bintang

71

PEMANFAATAN KAOLIN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN ALUMINIMUM SULFAT DENGAN METODE ADSORPS

Jalaluddin, Toni Jamaluddin

Abstrak: Kaolin adalah salah satu jenis tanah lempung yang tersusun dari mineral-mineral. Kaolin dapat digunakan pada industri kertas, yang dapat mengisi pulp. Reaksi antara kaolin dengan larutan asam sulfat akan menghasilkan larutan aluminium sulfat. Koalinit yang baik untuk pembuatan aluminium sulfat adalah koalinit yang telah diaktivasi terlebih dahulu. Waktu dan temperature pengontakan sangat mempengaruhi daya adsorbsinya. Hal ini dapat kita lihat pada temperature aktifasi 5000 C, ukuran partikel 80 -100 mesh dan waktu kontak 5 jam yaitu sebesar 89,01 %. Namun waktu kontak melebihi 5 jam daya penyerapannya akan berkurang. Ini disebabkan akan terbentuknya jelli jika pemanasan atau waktu kontak melebihi 5 jam. Kata Kunci : Koalin, Asam Sulfat,Adsorpsi. 1. PENDAHULUAN

Tawas atau alum adalah suatu senyawa aluminium sulfat dengan rumus kimia Al2(SO4).18 H2O. pembuatan tawas dapat dilaksanakan dengan melarutkan material yang mengandung Al2O3 dalam larutan asam sulfat. Salah satu sumber Al2O3 di alam terdapat dalam tanah kaolin. Reaksi antara kaolin dengan larutan asam sulfat akan menghasilkan larutan aluminium sulfat. Tawas padat diperoleh dari proses kristalisasi larutan jenuh aluminium sulfat.

Kaolinit adalah salah satu jenis tanah liat / lempung dimana komponen dominannya adalah kaolin. Sudah sejak lama tanah kaolin digunakan pada industri seperti industri kertas, keramik cat karet, tinta , kulit dan minyak kelapa sawit. Bahkan beeberapa tahun teakhr ini kaolin telah banyak digunakan pada insektisida, pupuk, dan plastic.

Tawas atau alum adalah suatu senyawa aluminium sulfat dengan rumus kimia Al2(SO4).18 H2O. Pembuatan tawas dapat dilaksanakan dengan melarutkan meterial yang mengandung Al2O3 di alam terdapat dalam tanah kaolin. Reaksi antara kaolin dengan larutan asam sulfat akan menghasilkan larutan aluminium sulfat. Tawas padat diperoleh dari proses kristalisasi larutan jenuh aluminium sulfat.

Proses pembuatan tawas dari kaolin akan menghasilkan produk samping yang berupa padatan (residu) dalam jumlah yang cukup besar, yaitu 60 % lebih dari jumlah kaolin yang dilarutkan dalam asam sulfat. Hal ini terjadi karena kadar alumina dalam kaolin relative rendah, kurang dari 40 %.Oleh karena itu perlu diupayakan pemanfaatan produk samping (residu) tersebut, diantaranya sebagai bahan penyerap warna minyak sawit mentah. II. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai adalah : 1. untuk melihat pengaruh daya aktivasi tanah

koalonit.

2. untuk melihat pengaruh daya adsorpsi asamsulfat terhadap alumina menjadi Alum sulfat (Tawas)

III. TINJAUAN PUSTAKA Mengingat banyaknya manfaat yang terdapat pada daerah tersebut dan memungkinkan sumber-sumbernya yang ada di daerah maka perlu dikaji sebagai studi awal dalam pemprosesan kaolinit sehingga menjadi bahan yang bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan dapat dipergunakan di industri-industri. Seperti bahan tambang lainnya, tentu saja kaolinit yang ada didaerah yang satu tidak persisi sama sifat-sifat atau karekteristiknya dengan yang ada didaerah lainnya. Untuk itu perlu kajian yang mendalam terhadap kaolinit yang ada di daerah ini sebelum digunakan industri-industri. 3.1 Kaolinit Kaolin adalah bahan tambang alam yang merupakan salah satu jenis tanah lempung (clay) dimana tersusun dari mineral utamanya adalah kaolin. Tanah lempung jenis ini berwarna putih keabu-abuan. Di alam kaolinit ini berasal dari dekomposisi feldspar. Sebagai bahan tambang kaolin bercampur dengan oksida-oksida lainnya seperti kalsium oksida, magnesium oksida, kalium oksida, natrium oksida, besi oksida, dan lain-lain (Othmer, 1993) Kaolin banyak digunakan pada industri kertas. Pada industri kertas ini kaolin berfungsi sebagai bahan pengisi pulp dimana dengan adanya kaolin pada kertas akan menambah berat, lebih putih, tidak transparan dan tidak mudah koyak. Pada kertas Koran mengadung kira-kira 2% kaolin sedangkan pada kertas yang lebih baik bisa mengandung kaolin sampai 30 %.

Page 75: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

72

Sifat-Sifat Kaolinit Sifat kaolinit yang membedakannya dengan jenis

lempung lain adalah warna yang putih keabu-abuan atau putih susu, plastisitasnya tinggi bila basah, mengeras bila kering dan membantu bila dipanaskan, kapasitas pertukaran ion 5 – 15 meq/100 gram dan mempunyai daya hantar panas yang rendah. Sifat-sifat fisik dari kaolin diantaranya berwarna putih hingga abu-abu dan kekuning-kuningan, kekerasan 2-2,5 skala Mohs, berat jenis 2,6-2,63 gram/cc. industri pemakai kaolin terbesar adalah industri kertas, yaitu sebagai bahan pengisi (Filler), dan bahan pelapis (Coating) dengan jumlah sektar 5 sampai 35 % dari bahan baku kertas.

Salah satu bahan kimia yang dibuat dari kaolin dan sudah cukup lama dikenal,adalah aluminium sulfat atau tawas. Pembuatan tawas dari kaolin dilakukan dengan cara mereaksikan kaolin dengan asam sulfat, kemudian disaring dan dipisahkan filtratnya sebagai aluminium sulfat cair. Tawas padat diperoleh dengan cara mengupaskan tawas cair sampai pada kekentalan tertentu dan kemudian didinginkan pada suhu kamar, sehingga membentuk kristal. Selain kaolin, tawas dapat dibuat dari bauksit yang mengadung aluminium lebih tinggi dibandingkan dengan kaolin. Struktur Kaolinit Struktur unsur dasar kaolinit adalah gabungan dari bentuk tetrahedral dan oktahedral. Pada masing-masing sudut dari tetrahedron terdapat 4 atom oksigen yang mempunyai 2 kutub negatif dan dibagian tengah terdapat atom silikon yang mempuyai 4 kutup positif, sedangkan pada bentuk oktahedron, dimasing-masing sudutnya terdapat 6 gugus hidroksil yang mempunyai 1 kutub negative dan di tengahnya terdapat kation bervalensi 3 atau kadang-kadang bervalensi 2. (Ralph W.G. Wyckoff, 1968) Pada bentuk tetrahedron mempunyai 4 kutub negatif tak jenuh sedangkan pada bentuk oktahedron mempunyai 3 kutup negative tak jenuh (bila kation bervarensi 3) atau 4 kutup negative tak jenuh (bila kation bervalensi 2). Kedua bentuk tersebut berikatan membentuk suatu lapisan dimana atom oksigen yang berada pada bentuk tetrahedron mensubsitusi gugus hidroskil pada oktahedron. Karena ikatan-ikatan tersebut maka kaolinit bersifat netral. Ikatan pada jaringan struktur kaolinit adalah ikatan yang lemah yang terdiri atas ikatana hydrogen dan ikatan van der waals. (Ralph W.G. Wyckoff, 1986) IV. PROSEDUR PERCOBAAN Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan terhadap tanah kaolinit sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan Al2(SO4)3.

Pengolahan tanah kaolinit ini adalah sebagai berikut : 1. Tanah kaolinit dikeringkan dengan sinar

matahari untuk menghilangkan kelembaban dan digiling menggunakan lempung martil, kemudian diayak menggunakan saringan ukuran 60 mesh.

2. Tanah kaolin yang telah di ayak kemudian dimasukkan dalam oven pada temperature 105 0C selama 1 jam, lalu timbang dan hitung berat yang hilang sebagai % kadar air.

3. Digiling menggunakan lumpung martil dan diayak dengan ukuran 80-100 mesh, 170-200 mesh dan 270 -325 mesh.

4. Panaskan masing-masing sebanyak 200 gram kaolin ukuran butir 80-100 mesh, dan 270 -325 mesh dalam furnace dengan temperature 300 0C, 500 0C dan 700 0C selama 1 jam lalu didinginkan dalam desicator.

5. Setelah didinginkan,kaolinit diayak kembali dengan ukuran 80-100 mesh, 170-200 mesh dan 270 -325 mesh, selanjutnya kaolinit siap untuk digunakan sebagai bahan adsorbsi.

6. Timbang 20 gram dari kaolin yang sudah dipanasksn tersebut kemudian masukkan ke dalam erlemeyer. a. Tuangkan larutan asam sulfat 1:5 sesuai

dengan kebutuhan. b. Letakkan di atas hot plate dan pasang

pendingin refluk c. Jalankan pengaduk magnet dan panaskan

pada suhu 110 0C . d. Percobaan dilakukan dengan variasi waktu

4 sampai 5.5 jam. e. Matikan hot plate, angkat Erlemeyer,

kemudian saring untuk memisahkan. f. Filtrat dan residunya dengan menggunakan

pompa vakum. g. Ambil filtrat dan periksa kandungan Alum

Sulfat.

4.1 Prosedur Analisa a. Timbang contoh dalam beaker glass. b. Panaskan hingga memdidih sambil diaduk

dengan batang pengaduk. c. Tambahkan 10ml NH4Cl 10 % lalu diteteskan

3 -4 tetes NH3 sampai terbentuk endapan (jeli) d. Disaring dengan kertas saring (akan terbentuk

jelli putih atau lender. e. Masukkan kertas saring ke dalam cawan

porselin lalu dikeringkan di dalam oven selama 1 jam.

f. Kertas saring yang telah kering didalam cawan porselin kemudian di baker di dalam furnace pada temperature 700 0C selama 2 jam.

g. Cawan porselin yang akan dipakai ditimbang kosong terlebih dahulu.

Page 76: kumpulan jurnal

Pemanfaatan Kaolin Sebagai Bahan Baku Pembuatan ... Jalaluddin, Toni Jamaluddin

73

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil dan Perhitungan 5.1.1 Hasil Analisa Bahan Baku A. Hasil Analisa Kaolinit

Table 5.1 Komposisi Kimia Kaolinit Komposisi Satuan Hasil

SiO2 % berat 57,81 Al2O3 % berat 33,75 Fe2O3 % berat 1,38 MGO % berat 0,17 CaO % berat 0,33 LOI % berat 5,79

5.1.2 Temperatur Aktidasi

Aktifasi dengan pemanasan dimaksudkan untuk memperluas permukaan partikel kaolinit karena dengan pemanasan akan terbentuk pori-pori dalam partikel akibat ditinggikan oleh atom-atom senyawa yang menguap atau berubah strukturnya. Dengan adanya pori-pori ini maka permukaan kontak semakin luas sehingga memperbesar daya adsobrsi kaolinit.

Gambar 5.1 Kurva % pembentukan Alum Sulfat dari partikel kaolinit berukuran

Gambar 5.2 Kurva % kelarutan Alumina dari partikel kaolinit berukuran 80 – 100 mesh

Page 77: kumpulan jurnal

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 5 November 2005

74

Tabel 5.2 Daya adsorbsi Al2O3 oleh H2SO4

Al2O3 yang teradsorbsi (%) Ukuran Partikel (Mesh)

Waktu Kontak (jam) 300 0C 500 0C 700 0C

4,0 49,72 53,33 50,25 4,5 67,34 75,82 69,75 5,0 81,75 89,01 86,19

80-100 5,5 57,36 65,13 65,51

Aktifasi kaolinit dengan ukuran partikel 80 -100 mesh temperature 300 0C menunjukkan bahwa % pembentukan Alum Sulfat (tawas) berkisar antara 16,78 % hingga 27, 59 % sedangkan daya kelarutan Alumina berkisar antara 49,72% hingga 81,75%. Aktifasi kaolinit dengan ukuran partikel yang sama pada temperature 500 0C menunjukkan bahwa % pembentukan Alum Sulfat antara 18,00 % hingga 30,04 % sedangkan daya kelarutan Alumina berkisar antara 49,72 % hingga 89,01%. Terlihat dari gambar 5.1 dan gambar 5.2 bahwa bila dibandingkan antara temperature aktifasi 300 0C dan 500 0C dengan ukuran partikel dan waktu kontak yang sama terlihat bahwa aktifasi dengan temperature 500 0C lebih besar % pembentukan Alum Sulfat maupun daya kelarutan Aluminanya. Hal ini disebabkan pada kaolinit yang diaktifasi pada temperature 500 0C mempunyai permukaan dan pori-pori yang lebih luas sehingga kemungkinan terjadinya adsorbsi lebih banyak terjadi.

Pada aktifasi koalinit dengan ukuran partikel 80 -100 mesh temperature 700 0C menunjukan bahwa % pembentukan Alum Sulfat antara 16,96 % hingga 29,09% sedangkan daya kelarutan Alumina berkisar antara 50,25% hingga 86,19%. Terlihat dari gambar 4.1 dan gambar 4.2 bahwa bila dibandingkan antara temperaturaktifasi 500 0C dengan ukuran partikel dan waktu kontak yang sama terlihat bahwa aktifasi dengan temperature 700 0C lebih kecil kelarutan Aluminanya, sedangkan bila dibandingkan dengan aktifasi temperature 300 0C lebih besar daya kelarutan Aluminanya pada aktifasi temperature 700 0C.

5.1.3 Waktu Kontak Waktu kontak adalah lamanya waktu interaksi antara kaolinit dan Asam Sulfat yang memungkinkan terjadinya proses adsorbsi. Pada penelitian ini pengkontakkan antara Asam Sulfat daan kaolinit dengan berbagai ukuran partikel dan temperature aktifasi, selama 4,0 4,5 5,0 dan 5,5 jam. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada ukuran partikel temperature aktifasi yang sama dengan memvariasikan waktu kontak seperti tersebut diatas maka semakin lama pengontakan semakin besar pembentukan Alumsulfat atau semakin besar daya kelarutan Alumina. Hal ini menunjukan semakin lama waktu kontak semakin besar daya kelarutan Alumina. Dapat juga dilihat pada Tabel 5.2 untuk partikel kaolonit yang diaktifasi pada 300 0C

dan ukuran partikel 80-100 mesh. Daya kelarutan Alumina untuk waktu kontak 4,0 jam adlah 49,72 %; waktu kontak 4,5 jam 67,34 %; waktu kontak 5,0 jam adalah 81,75 %.Hal ini menunjukkan semakin lama waktu kontak semakin besar daya kelarutannya. Akan tetapi jika waktu kontak melebihi 5,0 jam partikel-partikel kaolin akan membentuk jelli sehingga pembentukan Alum Sulfat dan kelarutan Alumina akan menurun. Hal ini juga berlaku pada temperature 500 0C dan 700 0C . VI. KESIMPULAN 1. Untuk mendapatkan kaolinit yang baik sebagai

bahan baku pembuatan Alum Sulfat,terlebih dahulu diaktifasi.

2. Dari penelitain ini aktifasi fisis dengan pemanasan 500 0C menunjukkan daya penyerapan yang paling besar dibandingkan dengan pemanasan pada 300 0C maupun 700 0C.

3. Daya adsorbsi terbesar terjadi pada temperature aktifasi 500 0C, ukuran partikal 80-100 mesh dan waktu kontak 5 jam yaitu sebesar 89,01 %.

4. Waktu kontak sangat mempengaruhi daya penyerapannaya. Hal tersebut terjadi karena semakin lama waktu kontak semakin besar kemungkinan terjadi proses adsorbsi. Namun waktu kontak melebihi 5 jam daya penyerapannya akan berkurang. Ini disebabkan, akan terbentuknya jelli jika pemanasan atau waktu kontak melebihi 5 jam.

DAFTAR PUSTAKA Sabariman, “ITB,1976 Kemunngkinan Pembuatan

Twas dari Kaolinkadar Rendah dengan Menggunakan Pelarut Asam Sulfat”, Tugas Sarjana Jurusan Pertambangan.

Kirk Orthemer; (1983); Encyclopedia of Chemical Tehcnology; Edisi III, McGraw Hill International Book Company; Singapore.

Retno Wijayanti, 1991, Percobaan Pemanfaatan Residu Hasil Pembuatan Tawas Dari Kaolin Sebagai Penyerap Warna Minyak Sawit.

Lawrence H.Van Vlack, Sriati Djapirie; (1992);Ilmu dan Teknologi Bahan; University of Michigan; USA.

Warren L. McCabe, Julian C. Smith, Peter Harriot, E. Jasjfi (1999); Operasi Teknik Kimia Jilid 2; Edisi Keempat ; Penerbit Erlangga Jakarta.

Page 78: kumpulan jurnal

Pemanfaatan Kaolin Sebagai Bahan Baku Pembuatan ... Jalaluddin, Toni Jamaluddin

75

Volume 6 No. 5 November 2005

SURAT PENGANTAR

No. /JO5.1.31/TI/STI/2004-

Kepada Yth : ……………………………….. ……………………………….. di Tempat

No. Isi Surat / Barang Banyaknya Keterangan 1. JURNAL SISTEM TEKNIK

INDUSTRI Jurnal Ilmiah Terakreditas Vol. 6 No. 4 Oktober 2005

1 (satu) eksemplar

Disampaikan dengan hormat sebagai tukar informasi ilmiah, mohon lembar di bawah ini dikirim kembali

Medan, November 2005 Pemimpin Umum,

Ir.H.A.Jabbar M.Rambe, M.Eng NIP. 130 517 496

…………………………………………………………………………………………... TANDA TERIMA Telah diterima dari : Redaksi Jurnal Sistem Teknik Industri

Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155

Berupa : JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Vol…. No. … , ….. 200… Tanggal diterima : ……………………………………………………………………………… Nama : ……………………………………………………………………………… Jabatan : ……………………………………………………………………………… Institusi : ……………………………………………………………………………… Alamat : ……………………………………………………………………………… Telepon : ……………………………………………………………………………… Tanda tangan/cap : ………………………………………………………………………………

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: [email protected]