issn no. 1412 – 2952 tahun 5 nomor 5 juni...

72
1 Sodiq Anshori Pengintegrasian Problem Bassed Learning Dan Pendekatan Group Investigation Achmad Zainullah Hubungan Antara Cara Belajar Dan Motivasi Berprestasi Dengan Prestasi Belajar Pendidikan Matematika I Mahasiswa S1 PGSD Universitas Terbuka Mohammad Harijanto Peningkatan Hasil Belajar Dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik melalui Penggunaan Metode Diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP UNIRA Pamekasan H. Sulistiyono Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Sastra Anak Di Sekolah Dasar (Sebuah Tinjauan Teori Pembelajaran Sastra Anak) Adrawi Zaini Peningkatan Hasil Belajar Matematika Dalam Menuliskan Lambang Pecahan Melalui Penggunaan Metode Diskusi Di Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan Sutini Upaya Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas III Sekolah Dasar Rahmad Ambiguitas Makna dalam Rora Bhâsa Bahasa Madura INTERAKSI JURNAL KEPENDIDIKAN ISSN No. 1412 2952 Tahun 5 Nomor 5 Juni 2010

Upload: nguyendan

Post on 13-May-2018

233 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

1

Sodiq Anshori Pengintegrasian Problem Bassed Learning

Dan Pendekatan Group Investigation Achmad Zainullah Hubungan Antara Cara Belajar Dan Motivasi

Berprestasi Dengan Prestasi Belajar Pendidikan Matematika I Mahasiswa S1 PGSD Universitas Terbuka

Mohammad Harijanto Peningkatan Hasil Belajar Dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik melalui Penggunaan Metode Diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP UNIRA Pamekasan

H. Sulistiyono Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Sastra Anak Di Sekolah Dasar (Sebuah Tinjauan Teori Pembelajaran Sastra Anak)

Adrawi Zaini Peningkatan Hasil Belajar Matematika Dalam Menuliskan Lambang Pecahan Melalui Penggunaan Metode Diskusi Di Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan

Sutini Upaya Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas III Sekolah Dasar

Rahmad Ambiguitas Makna dalam Rora Bhâsa Bahasa Madura

INTERAKSI JURNAL KEPENDIDIKAN

ISSN No. 1412 – 2952 Tahun 5 Nomor 5 Juni 2010

2

SUSUNAN PENYUNTING JURNAL INTERAKSI

Penanggung Jawab Dra. Sri harini (Dekan FKIP)

Ketua Penyunting Drs. Moh. Harijanto, M.Pd.

Wakil Ketua Penyunting Rahmad, M.Pd.

Penyunting Pelaksana Dra. Yanti Linarsih

Sri Indiati Hasanah, M.Pd. Moh. Tauhed Supratman, S.Pd. Nina Khayatul Virdina, M.Pd.

Drs. Zainal Arifin

Penyunting Ahli Drs. H. kutwa, M.Pd.

Drs. Abd. Roziq

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan, Jl. Raya Panglegur Pamekasan, Telp. (0324) 322231, 325786. Fax. (0324) 32418, E-mail:[email protected]

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman.

Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan

3

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI Tahun 5 Nomor 5 Juni 2010

Pengintegrasian Problem Bassed Learning Dan Pendekatan Group Investigation Oleh: Sodiq Anshori

4

Hubungan Antara Cara Belajar Dan Motivasi Berprestasi Dengan Prestasi Belajar Pendidikan Matematika I Mahasiswa S1 PGSD Universitas Terbuka Oleh: Achmad Zainullah

13

Peningkatan Hasil Belajar Dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik melalui Penggunaan Metode Diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP UNIRA Pamekasan Oleh: Mohammad Harijanto

21

Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Sastra Anak Di Sekolah Dasar (Sebuah Tinjauan Teori Pembelajaran Sastra Anak) Oleh: H. Sulistiyono

33

Peningkatan Hasil Belajar Matematika Dalam Menuliskan Lambang Pecahan Melalui Penggunaan Metode Diskusi Di Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan Oleh Adrawi Zaini

41

Upaya Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas III Sekolah Dasar Oleh: Sutini

52

Ambiguitas Makna dalam Rora Bhâsa Bahasa Madura Oleh: Rahmad

60

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman

4

PENGINTEGRASIAN PROBLEM BASSED LEARNING DAN PENDEKATAN GROUP INVESTIGATION

( Penelitian Tindakan Kelas pada Mahasiswa Semester I UPBJJ-UT Surabaya Pokjar Kabupaten Ngawi )

Sodiq Anshori, [1], & Munasir, M.Si. [2]

[1] UPBJJ-UT Surabaya [2] FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Tutorial (tutoring) adalah bantuan atau bimbingan belajar yang bersifat akademik, yang

diberikan oleh seseorang (tutor) untuk membantu kelancaran proses belajar mandiri mahasiswa secara perorangan atau kelompok, berkaitan dengan materi pada matakuliah tertentu. Mahasiswa program pendidikan dasar S1-PGSD UT Pokjar Ngawi masa regristrasi 2009.2 tahap 2, pada umumnya adalah guru sekolah dasar (SD) aktif, dengan latar belakang pendidikan pada saat sekolah menengah-nya, yaitu SPG, SMA / SMA dan D2-PGSD. Latar belakang pendidikan ini menggambarkan kemampuan awal siswa dalam mengikuti kegiatan perkuliahan di UT. Berdasarkan pengalaman, selama memberikan tutorial , keluhan yang paling umum adalah minimnya bekal ilmu/ pengetahuan awal tetang matakuliah yang diambil, khususnya untuk matakuliah eksak, seperti konsep dasar IPA SD. Bagi tutor, implementasi pengguasaan model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas tutorial, dengan berbagai problem teknis yang dihadapi tutor dilapangan selama melakukan tugas sebagai tutor, dengan berbekal idealisme peran dan tugas tutor sebagaimana dirumuskan dan menjadi standar baku di UT. Maka dalam kesempatan ini akan di coba diterapkan suatu model pembelajaran berdasarkan masalah (PBL) dengan pendekatan investigasi kelompok (grouping investigation) sebagai suatu integrasi tindakan dalam pelaksanaan tutorial, dengan harapan akan dapat menjadi suatu model pendekatan tutorial yang tepat terlebih dapat meningkatkan kualitas proses tutorial dan hasil belajar mahasiswa untuk matakuliah tertentu yang dirasa sangat sulit untuk dipelajari, sebagai kasus adalah untuk matakuliah konsep dasar IPA SD. Hasil penelitian diperoleh bahwa : (1) telah dibuat perangkat pendukung tutorial /modul (RAT, SAT, LKM dan LEM , RET) dengan hasil kelayakan (validasi) oleh tutor sejawat dan mahasiswa peserta tutorial , kreteria baik, dengan rata-rata persentase keseluruhan indikator 78,24% dengan persentase tiap indikator >65% sehingga perangkat ini layak sebagai instrumen pendukung tutorial matakuliah Kondas IPA SD, yang mengacu pada pendekatan tutorial yang diterapkan ; (2) aktivitas tutor dan aktivitas mahasiswa selama proses tutorial, mengacu pada model tutorial yang diterapkan, menujukan hasil yang meningkat pada tiap siklus (siklus I 71,02%, siklus II 80,19% dan siklus III 92,61%) ; (3) perkembangan kelompok belajar mahasiswa pada setiap kelas juga sudah sangat baik, karena rata-rata kelompok mendapat perediket “super team” dan “good team” ; (4) aspek pengamatan selama kegitan tutorial juga menujukan hasil yang aktif dan kondusif ; (5) hasil belajar mahasiswa setelah kegiatan tutorial berlangsung yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan, menunjukan pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 masing-masing terjadi peningkatan nilai rata sebesar 20,18 ; 27,33 dan 31,32 dari nilai pre tes (52,02) , dan peningkatan jumlah mahasiswa yang tuntas , pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 masing-masing terjadi peningkatan sebesar 75,12 ; 84,89 dan 95,54 dari prrosentase awal (pretes). Key words: PBL, Investigasi Kelompok,Tutorial I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

Tutorial (tutoring) adalah bantuan atau bimbingan belajar yang bersifat akademik, yang diberikan oleh seseorang (tutor) untuk membantu kelancaran proses belajar mandiri mahasiswa secara perorangan atau kelompok, berkaitan

dengan materi pada matakuliah tertentu. Tutorial dilaksanakan secara tatap muka atau jarak jauh berdasarakan konsep belajar mandiri. (UPBJJ-UT Sby, 2009).

Peran uama tutor adalah sebagai : (1) pemicu kemandirian mahasiswa dalam belajar, berfikir dan berdiskusi di kelas tutorial; (2) pembimbing, fasilitator dan mediator bagi mahasiswa dalam

5

membangun pengetahuan, nilai , sikap dan keterampilan akademik dan profesional secara mandiri. Dan memberikan panduan dan bimbingan kepada mahasiswa agar mahasiswa dapat belajar sendiri memahami materi , memberikan motivasi dan membantu mahasiswa dalam mengembangkan keterampilan belajarnya. (UPBJJ-UT Sby, 2009)

Prinsip dasar tutorial yang baik, agar penyelenggaraan tutorial berjalan secara efektif, dan tidak terjebak pada situasi perkuliahan biasa diantaranya, adalah : (1) interaksi tutor-tutee sebaiknya berjalan pada tingkat metakognitif, yang menekankan pada pembentukan keterampilan learning to learn atau think how to think. (2) tutor harus membimbing, mendorong dan memotivasi tutee untuk sampai pada taraf pengertian yang mendalam sehingga mampu menghasilkan pengetahuan. (3) tutor harus demokratis, dengan melibatkan semua peserta dalam kelompok diskusi dalam memberikan pendapat kebenaran suatu ilmu serta meningkatkan kemampuan intelektual, kerjasama yang lebih baik. (4) tutor seyogyanya mampu membuat variasi simulasi untuk belajar, sehingga tutee tidak merasa bosan, jenuh dan/atau putus asa. (5) tutor sebaiknya selalu memantau kualitas kemajuan belajar tutee dengan mengarahkan kajian sampai pada taraf pengertian yang mendalam (indepth understanding).(UPBJJ-UT Sby, 2009).

Untuk merancang dan melaksanakan tutorial yang baik, tutor harus : (1) memahami peta kompetensi matakuliah ; (2) menyusun rancangan aktivitas tutorial (RAT), (3) menyusun satuan aktivitas tutorial (SAT), dan (4) menyusun rancangan evaluasi tutorial (RET) . Tutorial dikembangkan menggunakan beberapa model tutorial yang dipandang tepat sesuai dengan karakteristik mahasiswa, beberapa unsur yang tercakup didalamnya , yaitu : (1) landasan teori yang menjelaskan teori yang melandasi pemilihan model dan manfaat yang diharapkan, (2) kompetensi yang diharapkan dikuasai melalui penggunaan model tersebut, dalam komponen ini dijelaskan dampak instruksional dan dampak pengiring dari penerapan suatu model, (3) materi, yang

menggambarkan subtansi matakuliah yang sesuai yang disajikan dengan model melalui tutorial yang dipilih, (4) langkah utama yang menggambarkan ciri dari model tutorial yang diterapkan, (5) evaluasi proses dan hasil belajar, yang mengacu kepada kegiatan dan alat yang telah digunakan untuk mengukur penguasaan mahasiswa terhadap dampak instruksional dan pengiring yang telah dirumuskan. Dan faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan model tutorial , diantaranya adalah : (1) kemampuan yang harus dicapai peserta tutorial, (2) karakteristik materi, (3) karakteristik peserta tutorial, (4) fasilitas yang tersedia, dan (5) kemampuan tutor untuk menerapkan model tutorial. (UPBJJ-UT Sby, 2009).

Mahasiswa program pendidikan dasar S1-PGSD UT, pada umumnya adalah guru sekolah dasar (SD) aktif, dengan latar belakang pendidikan pada saat sekolah menengah-nya, yaitu SPG, SMA / SMA dan D2-PGSD. Latar belakang pendidikan ini menggambarkan kemampuan awal siswa dalam mengikuti kegiatan perkuliahan di UT, melalui tutorial tatap muka. Berdasarkan pengalaman , selama memberikan tutorial , keluhan yang paling umum adalah minimnya bekal ilmu / pengetahuan awal tetang matakuliah yang diambil, khususnya untuk matakuliah eksak, seperti konsep dasar IPA SD . Menghadapi kendala tersebut, tutor seringkali dituntut untuk lebih menerapkan model perkuliahan konvensional, meskipun model ini tidak diharapkan dalam sistem tutorial di UT. Disisi lain muatan kurikulum yang begitu padat , materi yang harus diselesaikan dalam 8 kali pertemuan cukup banyak (8 modul), tutor dituntut harus inovatif , kreatif dengan berpedoman pada prinsip dasar tutorial yang menjadi standar baku di UT.

Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi atau prosedur tertentu. Ciri-ciri tersebut adalah (1) rasional teoritik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar

6

yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. (UPBJJ-UT Sby, 2009).

Model pembelajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting, apakah yang dibicarakan adalah tentang mengajar di kelas, mobile, atau praktek mengawasi anak-anak. Seperti yang akan diuraikan pada subbab yang akan datang, model pembelajaran diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaksnya (pola urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya. Penggunaan model pembelajaran tertentu memungkinkan guru dapat mencapai tujuan pembelajaran tertentu dan bukan tujuan pembelajaran yang lain.

Penguasaan tutor terhadap model-model pembelajaran yang banyak diterapkan merupakan merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan. Diantara model pembelajaran yang banyak dikembangkan, diantaranya adalah : pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran kooperatif (cooperative learning), dan pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning).

Pembelajaran langsung, yang bertumpu pada prinsip-prinsip psikologi perilaku dan teori belajar sosial, telah dirancang secara khusus untuk menunjang proses belajar mahasiswa yang berkaitan dengan pengetahuan prosedural dan deklaratif yang terstruktur dengan baik, yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.

Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran di mana mahasiswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerja sama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran (grouping investigation). Belajar belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pembelajaran. pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada mahasiswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

Mahasiswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah, jadi memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Dalam proses tutorial ini, mahasiswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu,

Tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat yang secara budaya semakin beragam, yang saling bergantung satu sama lain. Beberapa variasi dari model pembelajaran kooperatif adalah STAD (student team-achievment division), Teams-Games-Tournaments (TGT) Jigsaw Think-Pair-Share (TPS) Numberel-Head-Together (NHT), dan investigasi kelompok (grouping investigation).

Model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction-PBL), merupakan pendekatan yang sangat efektif untuk mengajarkan proses-proses berpikir tingkat tinggi, membantu mahasiswa memproses informasi yang telah dimilikinya, dan membantu mahasiswa membangun sendiri pengetahuannya tentang dunia sosial dan fisik di sekelilingnya. Pendekatan-pendekatan pada PBL bertumpu pada psikologi kognitif dan pandangan para konstruktivis mengenai belajar. Model ini mempunyai landasan pengetahuan yang dikembangkan dengan baik, dan meskipun rumit, tetap dapat dipelajari dan dilaksanakan oleh guru dengan petunjuk dan pelatihan yang cukup.

Implementasi pengguasaan model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas tutorial, dengan berbagai problem teknis yang dihadapi tutor dilapangan selama melakukan tugas sebagai tutor, dengan berbekal idealisme peran dan tugas tutor sebagaimana dirumuskan dan menjadi standar baku di UT. Maka dalam kesempatan ini akan di coba diterapkan suatu model pembelajaran berdasarkan masalah (PBL) dengan pendekatan investigasi kelompok (grouping

7

investigation) sebagai suatu integrasi tindakan dalam pelaksanaan tutorial, dengan harapan akan dapat menjadi suatu model pendekatan tutorial yang tepat terlebih dapat meningkatkan kualitas proses tutorial dan hasil belajar mahasiswa untuk matakuliah tertentu yang dirasa sangat sulit untuk dipelajari, sebagai kasus adalah untuk matakuliah konsep dasar IPA SD. maka rumusan masalahnya sebagai berikut (1) Bagaimanakah hasil perangkat pembelajaran pendukung yang meliputi RAT, SAT, LKM, LEM, LPA Mahasiswa, LPA Tutor, dan LUB Mahasiswa yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan (2) Bagaimanakah aktivitas tutor dan aktivitas mahasiswa siswa selama proses KBM berlangsung yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan? (3) Bagaimanakah hasil belajar mahasiswa setelah kegiatan tutorial berlangsung yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan? (3) Bagaimanakah respon mahasiswa terhadap model / pendekatan tutorial yang dikembangkan ?

B. Tujuan Penelitian Terdapat beberapa tujuan yang ingin

dicapai pada penelitian ini. Tujuan-tujuan tersebut adalah: (1) Menghasilkan perangkat pembelajaran pendukung yang meliputi RAT, SAT, LKM, LEM, LPA Mahasiswa, LPA Tutor, dan LUB Mahasiswa yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan ? (2) Meningkatkan aktivitas tutor dan aktivitas mahasiswa selama proses tutorial berlangsung yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan? (3) Meningkatkan hasil belajar mahasiswa setelah kegiatan tutorial berlangsung yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan? (4) Mengamati respon mahasiswa terhadap model/pendekatan tutorial yang dikembangkan ?

C. Manfaat Penelitian

Keberhasilan penelitian ini memberikan beberapa manfaat. (1) Bagi Tutor tersedia contoh instrumen pendukung modul matakuliah konsep

dasar IPA SD yang inovatif dan memudahkan dalam pelaksanaan tutorial konsep dasar IPA SD. (2) Bagi Mahasiswa , hasil penelitian ini bagi mahasiswa dapat dipakai sebagai bahan masukan tentang pemilihan model belajar atau strategi belajar yang tepat sesuai dengan karakteristik matakuliah yang ditempuh, juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil belajar, peningkatan prestasi belajar. (3) Bagi institusi UT, hasil penelitian sebagai masukan untuk peningkatan kualitas tutorial melalui penyiapan bahan ajar ” modul kuliah”, khusunya untuk matakuliah Kondas IPA SD.

D. Karakteristik Matakuliah Konsep Dasar IPA SD

Matakuliah Konsep Dasar IPA SD ini dirancang secara khusus untuk mahasiswa PGSD program S1 , yang bersifat memperkaya dan memperluas wawasan keilmuan yang sangat bermanfaat bagi guru SD. Materi yang terkandung dalamnya adalah mengacu pada competency based curriculum untuk bidang IPA yang dikeluarkan oleh depdiknas.

Mata kuliah konsep Dasar IPA SD ini berisi tentang topik-topik ciri-ciri dan keanekaragaman makhluk hidup, mahkluk hidup dan lingkungannya, organ tubuh manusia, perkembangan makluk hidup, struktur tubuh pada manusia, makanan, kesehatan , penyakit dan pencegahannya, kinematika dan dinamika, materi dan sifatnya, gelombang dan bunyi, optik, listrik dan magnet serta bumi dan alam semesta. Matakuliah ini adalah merupakan mata kuliah konsep dasar IPA di SD. Dengan matakuliah ini mahasiswa diharapkan dapat Mampu menerapkan konsep-konsep dasar IPA dan mengembangkan konsep-konsep tersebut untuk pembelajaran di SD , mhs lebih memahami konsep dasar IPA dan terampil mengajar IPA di SD. (Yosafat Sunardi, dkk.UT. 2007)

Evaluasi belajar merupakan hal yang essensial dalam proses pembelajaran. Karena melalui evaluasi belajar tersebut , tingkat keberhasilan siswa dalam belajar dan tingkat efektivitas Kegiatan Belajar

8

Mengajar (KBM) yang dilakukan oleh dosen. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan remediasi.

Mengingat Manfaat yang besar dari evaluasi, maka penyusunan alat evaluasi harus dilakukan dengan cermat. Evaluasi terhadap hasil belajar siswa harus bersifat menyeluruh meliputi berbagai aspek yaitu kognitif, afektid, dan psikomotor. Aspek kognitif meliputi ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi (Gagne et al, 1988). Oleh sebab itu perlu dibuat alat evaluasi untuk aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.

Pengembangan alat evaluasi hasil belajar meliputi tes produk untuk mengukur ingatan, kinerja tradisional untuk mengukur pemahaman, kinerja proses untuk mengukur aspek kognitif yang lebih tinggi, tes psikomotor untuk mengukur keterampilan siswa, dan skala sikap untuk mengukur afektif.

II. Metode Penelitian A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Pokjar UT Kabupaten Ngawi. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009-Nopember 2009.

B. Subyek Penelitian

Mahasiswa Program S-1 PGSD Universitas Terbuka semester I masa ujian 2009.2, Tahap 2. Pokjar UT Kabupaten Ngawi.

C. Rencana dan Prosedur Penelitian

Metode atau langkah-langkah yang digunakan dalam pengembangan ini mengadaptasi model siklus pengembangan instruksional yang dikembangkan oleh Kemmis and Taggart (1999).

Gambar 2. Siklus PTK (Kemmis, 1999, dalam Wardani,IGAK, UT)

Menurut Kemmis langkah-langkah

tersebut dapat divisualisasikan seperti pada gambar 1. Siklus pengembangan instruksional tersebut meliputi fase : planing, Action/ Observation, Reflective, dan Recived Plan, merupakan kegiatan yang berkelanjutan dilakukan pada tiap fase di sepanjang siklus pengembangan tersebut. Setelah setiap fase, seharusnya dilakukan evaluasi atas hasil kegiatan tersebut, melakukan revisi, dan mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan ke fase berikutnya (Kemmis, dalam Wardany, IGAK, UT). III. Hasil Penelitian dan Pembahasan.

A. Instrumen Pendukung Tutorial Instrumen pendukung tutorial telah

divalidasi. Dari data validasi tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui kelayakan instrumen dan hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.10. Hasil Analisis Instrumen

Pendukung Tutorial MK Kondas IPA SD

Indikator Persentase (%) Kriteria

Kelayakan Isi 75,40 Baik Kebahasaan 76,32 Baik Penyajian 80,25 Baik Rata-rata 77,32 Baik

Pla

Reflect

Action/Observa

Recived

Siklu

Reflect

Action/Observa

Recived

Siklus

Reflect

Action/Observa

Recived

Siklus

9

Hasil validasi oleh tutor sejawat pengampu matakuliah konsep dasar IPA SD diperoleh persentase rata-rata keseluruhan indiaktor sebesar 77,32 % dengan persentase tiap indiaktor >75 % hal ini berarti bahwa perangkat pembelajaran (RAT ,SAT, LKM dan LEM) yang telah dibuat sudah baik digunakan sebagai perangkat pembelajaran.

Dari segi kelayakan isi persentase yang diperoleh sebesar 75,40 % berarti perangkat pembelajaran mata kuliah kondas IPA SD (LKM dan LEM) yang telah divalidasi tersebut baik digunakan. Dari segi kebahasaan dari penulisan perangkat pembelajaran mata kuliah kondas IPA SD ini mendapat persentase sebesar 76,32 %, hal ini berarti perangkat pembelajaran yang telah dibuat ini sangat baik digunakan sebagai perangkat pembelajaran karena telah diupayakan sedemikian sehingga keruntutan, ketepatan tata bahasa dan ketepatan ejaan, dalam mendeskripsikan konsep/teori dalam perangkat pembelajaran fisika statistik sudah baik.

Dari segi penyajian dari penulisan pernagkat pemblajaran matakuliah mata kuliah kondas IPA SD ini nmendapat skor 80,25 %, hal ini berarti desain penyajian materi yang mencakup teknik penyajian, pendukung penyajian materi dan penyajian pembelajaran telah mendapat kreteria baik.

Gambar 1. Nilai tes selama 3 siklus

Gambar 2. Prosentase ketuntasan selama 3

siklus

B. Hasil Tes /Kuis Dari hasil tes /kuis menunjukan

terjadi peningkatan nilai rata-rata mahasiswa (lihat gbr 1), pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 masing-masing terjadi peningkatan sebesar 20,18 ; 27,33 dan 31,32 dari nilai pre tes (52,02). Peningkatan tersebut juga diikuti dengan peningkatan jumlah mahasiswa yang tuntas (lihat gbr 2) pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 masing-masing terjadi peningkatan sebesar 75,12 ; 84,89 dan 95,54 dari prrosentase awal (pretes).

C. Aktivaitas Tutorial Aktivitas mahasiswa selama tutorial

matakuliah Kondas IPA SD ditunjukan pada gambar 3 , dibawah ini.

Pada siklus I aktivitas mahasiswa

selama pembelajaran adalah 14,92% keaktifan, 3,87% kerjasama, 35,17% mengerjakan tugas, 22,58% mengajukan pertanyaan, 13,85% pemecahan masalah, 9,61% mengerjakan kuis.

Pada siklus II aktivitas mahasiswa selama pembelajaran adalah 16,13% keaktifan, 3,63% kerjasama, 34,5% mengerjakan tugas, 20,25% mengajukan pertanyaan, 14,52% pemecahan masalah, 10,97% mengerjakan kuis.

Pada siklus III aktivitas mahasiswa selama pembelajaran adalah 15,47% keaktifan, 4,30% kerjasama, 34,50%

10

mengerjakan tugas, 20,92% mengajukan pertanyaan, 14,52% pemecahan masalah, 10,30% mengerjakan kuis.

Gambar 3. Aktivitas Mahasiswa selama

tutorial

D. Perkembangan Kelompok Dari hasil perkembangan kelompok

untuk setiap kelompok belajar / diskusi pada tiap kelas , dapat di analisis sebagi berikut (tabel 2), perkembangan kelompok setiap kelas , yang menunjukan hasil yang sangat baik, dimana pada kelas A terdapat 3 kelompok dengan predikat ”super team”, dan 3 kelompok dengan prediket ”great team”. Dan pada kelas B, terdapat 2 kelompok ”super team”, 3 kelompok ”great team” dan ada 1 kelompok good team. Demikian pula pada kelas C menunjukan prediket yang tebaik dibanding dengan kelompok semua kelompok menyandang prediket ”super team”. Hal ini di mungkinkan karena pada kelas C, kegiatan tutorial dengan waktu yang palin optimal. Tutorial kondas jam pertama biasanya dimulai di kelas B, kemudian kelas C dan terakhir kelas A. Sebelum jam pertama biasanya ada jam ke nol, untuk tutorial matakuliah yang lain,

sehingga sedikit mengganggu proses tutorial Kondas IPA SD.

Tabel 4.11. Perkembangan Kelompok selama 3 siklus

(Kelas A,B dan C)

E. Respon Mahasiswa Kelayakan perangkat pembelajaran

oleh mahasiswa dilihat dari hasil angket respon mahasiswa. Indikator yang terdapat pada angket respon mahasiswa adalah format media, kualitas media, kejelasan media, dan ketertarikan mahasiswa. Analisis data angket respon mahasiswa dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel.12. Ujicoba angket respon

mahasiswa

Indikator Persentase (%) Kriteria

Format penulisan perangkat

79,90 Baik

Kualitas perangkat 75,73 Baik

Kejelasan perangkat 74,26 Baik

Ketertarikan mahasiswa 83,08 Sangat

baik Rata-rata 78,24 Baik

Hasil validasi perangkat pendukung tutorial (LKM dan LEM) oleh mahasiswa diperoleh persentase rata-rata keseluruhan indikator sebesar 78,24% dengan persentase tiap indikator 65%-80%. Hal ini berarti bahwa perangkat (RAT, SAT, LKM, LEM/RET) tutorial Kondas IPA

Penghargaan Kel

Kelas A Kelas B Kelas C I Geat team Super team Super team II Geat team Good team Super team III Super team Super team Super team IV Super team Geat team Super team V Geat team Geat team Super team VI Super team Geat team Super team

11

SD, dapat dengan baik digunakan sebagai perangkat pendukung pelaksanaan tutorial.

F. Pengelolaan Tutorial

Adapun hasil penilaian lembar pengamatan pengelolaan pembelahjaran selama tiga siklus diperoleh persentase seperti pada gambar 5 dibawah ini, menunjukan bahwa dari siklus pertama, kedua, dan ketiga terdapat peningkatan terhadap pengelolaan tutorial, pada siklus I pengelolaan tutorial mendapatkan penilaian 71,02%, siklus II 80,19% dan siklus III 92,61%. Berdasarkan hasil di atas dapat dikatakan bahwa Tutor dalam mengelola tutorialnya sudah sangat baik.

Gambar 4. Pengelolaan Tutorial dengan pendekatan PBL

IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan.

Telah dibuat perangkat pendukung tutorial /modul (RAT, SAT, LKM dan LEM , RET) dan sudah divalidasi dari tutor sejawat dan mahasiswa peserta tutorial , menunjukan kreteria baik, dengan demikian instrumen tersebut dapat digunakan sebagai instrumen pendukung tutorial dengan rata-rata persentase keseluruhan indikator 78,24% dengan persentase tiap indikator >65% sehingga perangkat ini layak sebagai instrumen pendukung tutorial matakuliah Kondas

IPA SD, yang mengacu pada pendekatan tutorial yang diterapkan.

Aktivitas tutor dan aktivitas mahasiswa selama proses tutorial berlangsung yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan, menujukan hasil yang meningkat pada tiap siklus ; pada siklus I pengelolaan tutorial mendapatkan penilaian 71,02%, siklus II 80,19% dan siklus III 92,61%. Perkembangan kelompok belajar mahasiswa pada setiap kelas juga sudah sangat baik, karena rata-rata kelompok mendapat perediket “super team” dan “good team”. Demikian pula aspek pengamatan selama kegitan tutorial juga menujukan hasil yang aktif dan kondusif.

Hasil belajar mahasiswa setelah kegiatan tutorial berlangsung yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan, menunjukan pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 masing-masing terjadi peningkatan sebesar 20,18 ; 27,33 dan 31,32 dari nilai pre tes (52,02). Peningkatan tersebut juga diikuti dengan peningkatan jumlah mahasiswa yang tuntas , pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 masing-masing terjadi peningkatan sebesar 75,12 ; 84,89 dan 95,54 dari prrosentase awal (pretes).

B. Saran

Untuk pengembangan berikutnya,

menuju desain tutorial dengan suatu pendekatan pembelajaran yang inovatif, khususnya pada matakuliah Kondas IPA SD dimana materinya begitu padat (modul 1-6 materi biologi dan 7-12 materi fisika) dan jumlah tatap muka delapan kali, maka bahan ajar , desain tutorial yang dikembangkan dan tutor punya peran yang strategis. Kesulitan mahasiswa dalam tutorial Kondas IPA SD yang paling menonjol adalah pada penguasaan konsep fisika (modul 7-12), perlu ada koreksi penyajian materi khususnya pada modul 7 (konsep kinematika, dinamika partikel, contoh aplikasi: pesawat sederhana) , modul 8 (materi dan sifatnya : termal) dan modul 9 (konsep gelombang dan bunyi).

12

Daftar Pustaka

Arends, R.I. 1997. Classroom Instruction and Management. Boston: Allyn and Bacon.

Depdiknas. 2004. Term of Reference Proyek Pengembangan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Tahun anggaran 2004. Jakarta: depdiknas Ditjen Dikdasmen Direktorat Tenaga Kependidikan Proyek Pengembangan LPMP.

Eggen. P.D., & Kauchak. D.P. 1996. Strategies for Teacher. Teaching Contens and Thinking Skill. Boston: allyn and Bacon.

Gagne, R.M. Briggs, L.J., & Wager,W.W. 1988. principles of Instructional Design. Florida: Holt Rinchart and Winston.

Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. Thousand Oaks, California: Corwinn Press.

Kemp, J.E., Morrison, G.R., & Ross, S.M. 1994. Designing Effective Instructions. New York: Collage Publishing Company.

Martin, R., Sexton, C., Wagner, K., & Gerlovich, J. 1997. Teaching

Science for All Children. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Soewondo, 2004, Pedoman penyelenggaraan program S-1 PGSD . Jakarta. Universitas Terbuka. Winataputra, U.S (1997). Konsep dan Model Tutorial. Makalah tidak dipublikasikan . Jakarta. UT.

Slavin, R.E. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon.

Tim UT Sby, 2009. Pedoman pelaksanaan Tutorial UT. Surabaya. UPBJJ-UT Surabaya. Tidak di publikasikan.

Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka

White, R.T. 1988. Learning Science. Cambridge Massachusetts: Basil Blackwell Ltd.

Wolfolk, A.E. 1995. Educational Psychology. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Wardani, IGAK. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Modul UT. Jakarta. Universitas Terbuka.

Yosafat Sunardi, dkk. 1997. Konsep Dasar IPA SD. Modul UT. Jakarta

13

HUBUNGAN ANTARA CARA BELAJAR DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN MATEMATIKA I

MAHASISWA S1 PGSD UNIVERSITAS TERBUKA Oleh:

Achmad Zainullah

Abstrak

Masalah penelitian adalah “adakah hubungan antara cara belajar dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1 mahasiswa S1 PGSD ?”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara cara belajar dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1. Subyek penelitian terdiri dari mahasiswa S1PGSD di Kabupaten Madiun yang telah menempuh matakuliah Pendidikan Matematika 1. Sampel diambil secara stratified random sampling sejumlah 122 mahasiswa. Data dikumpulkan melalui angket dan tes dan dianalisis secara deskriptif dan regresi sederhana dan ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara terpisah maupun bersama-sama, cara belajar dan motivasi berprestasi tidak berhubungan signifikan dengan prestasi belajar Pendidikan Matematika 1. Kata kunci: cara belajar, motivasi berprestasi, prestasi belajar

Pendahuluan Konsekwensi dari pembangun -an adalah pembaharuan di berbagai bidang, salah satunya di bidang pendidikan. Untuk mempercepat laju pembangunan diperlukan sumber daya manusia (human resource) yang handal. Di bidang pendidikan sumber daya manusia sangat diperlukan, karena merupakan ujung tobak pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia. Sumber daya manusia di bidang pendidikan khususnya guru sebagai mediator dan motivator anak didik perlu ditingkatkan kualitasnya. Program S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (S1PGSD) merupakan program pemerintah dalam hal ini Depertemen Pendidikan Nasional untuk meningkatkan kualitas guru SD sehingga dapat melaksanakan tugas-nya secara professional (teacher’s professionalism). Menyadari pentingnya proses belajar mengajar untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan pengaturan cara belajar yang baik dan dorongan atau motivasi untuk mencapai prestasi belajar yang baik. Rendahnya kesadaran maha-siswa untuk mengatur cara belajar yang baik dan kurangnya motivasi untuk ber-prestasi merupakan salah satu penghambat

untuk mencapai prestasi belajar yang diharapkan. Sistem belajar jarak jauh yang diterapkan di Universitas Terbuka yang menangani progran S1 PGSD menuntut mahasiswa untuk belajar mandiri. Tutorial yang dilaksanakan hanya untuk membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam memahami materi modul. Mahasiswa S1 PGSD adalah guru SD yang memiliki pengalaman mengajar, masa kerja yang berbeda serta cara belajar dan motivasi yang cendrung berbeda pula. Hambatan yang dihadapi karena kesibukan pada pagi hari mereka harus mengajar dan pada siang hari mengikuti tutorial. Sebagai konsekuensinya mereka harus dapat mengatur cara belajar yang baik dan tentunya dorongan atau motivasi untuk berprestasi harus terus menerus ditumbuhkembangkan.

Matematika merupakan mata pelajaran yang mempunyai sifat khas apabila dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Karena itu dalam proses belajar mengajarnya diperlu-kan cara atau strategi yang berlainan pula dengan memperhatikan hakekat matematika. Matematika bersifat prerekuisit artinya setiap kosep yang dipelajari harus memperhatikan materi prasyaratnya.

14

Matematika berhubungan dengan struktur, simbol-simbol, aturan dan kebenaran-nya dikembangkan berdasarkan alasan yang logik dengan mengguna-kan pembuktian deduktif. Hodojo (1990) mengatakan bahwa mate-matika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungan, simbol-simbol diperlukan untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetap-kan. Selanjutnya Karso dkk (2003) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu deduktif, aksiomatik, formal, hirarkis, abstrak, bahasa simbol yang padat arti, dan semacamnya yang perlu kemampuan khusus bagi seorang guru. Untuk menunjang keberhasil-an prestasi belajar persoalan yang menarik untuk dikaji adalah, “apakah ada hubungan antara cara belajar dan motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar pendidikan matematika 1 baik secara terpisah maupun bersama-sama?” Cara belajar dan motivasi berprestasi sebagai variabel bebas, sedangkan variabel terikatnya adalah prestasi belajar pendidikan mate-matika 1. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui signifikansi hubungan antara cara belajar dan motivasi berprerstasi dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1 baik secara terpisah maupun secara bersama-sama. Manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan kontri-busi atau bahan masukan dalam usaha meningkatkan prestasi belajar khususnya matakuliah pendidikan matematika 1 dan matakuliah lain yang relevan. Kajian Pustaka Proses Belajar Mengajar Prestasi belajar merupakan hasil belajar yang dicapai mahasiswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Hasil belajar mensyaratkan terjadinya perubahan perilaku yang bersifat jangka panjang dan relative tetap dalam hal kecakapan, ketrampilan, dan sikap (Gredler : 1991). Hasil belajar yang merupakan kompetensi belajar direfleksikan oleh pembelajar dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Depdikbud, 1995); Depdiknas 2002). Proses belajar mengajar mahasiswa

S1PGSD UT dilaksanakan dengan sistem belajar jarak jauh dalam bentuk belajar mandiri dari modul yang diorganisir secara sistematis melalui tutorial. Bahan belajar dilakukan melalui media, seperti media cetak, kaset audio, dan alat praktek. Tutorial bertujuan membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari modul matakuliah dengan bimbingan seorang tutor. Aktifitas tutorial dalam pembelajaran matematika perlu memperhatikan karakteristik yang dimiliki matematika, khususnya dalam proses pembelajarannya. Beberapa teori pendidikan tentang proses pembelajaran matematika, langkah-langkah pembelajaran, metode dan strategi belajar mengajar, serta evaluasi hasil belajarnya perlu dipahami mahasiswa. Mahasiswa dituntut belajar mandiri melalui modul dengan melakukan analisis materi esensial, mengembangkan pokok-pokok materi, menyimpulkan makna yang terkandung dalam materi, membuat rangkuman. Belajar berkenaan dengan proses perubahan tingkah laku, sedangkan perubahan tingkah laku seseorang dipelajari melalui psikologi (Hudojo, 1990). Dalam belajar matematika perlu memper-hatikan hakekat matematika dan hakekat peserta didik. Pengetahuan awal (prior knowledge) sangat penting dalam mengatur strategi proses belajar mengajar. Pembelajaran Matematika Pembelajaran matematika merupakan salah satu kajian yang selalu menarik untuk diperbincang-kan karena adanya perbedaan karakteristik khususnya antara hakekat anak didik dengan hakekat matematika (Karso, 2003). Karakteristik yang dimiliki mate-matika diantaranya adalah bersifat deduktif, aksiomatik, formal, hirar-kis, abstrak,menggunakan bahasa simbol. Sedangkan anak didik khu-susnya di sekolah dasar cara berpikirnya belum formal, mereka berpikirnya masih berada pada tahapan konkret bahkan pra konkret. Karena adanya perbedaan karakteristik inilah diperlukan adanya kemampuan khusus dari seorang guru dalam pembelajaran untuk menjembatani

15

antara cara berpikir anak yang belum mampu berpikir secara deduktif dengan matematika yang bersifat deduktif. Pembelajaran matematika diperlukan model yang sesuai dengan karakteristik anak didik. Model-model pembelajaran matematika yang sesuai dengan karakteristik anak didik inilah yang harus dikuasai oleh guru dan dikembangkan dalam proses pem-belajaran matematika. Ruseffendi (1991) mengatakan bahwa penalaran dalam matematika mempunyai ciri-ciri yang amat baik dan cocok untuk melatih kebiasaan perilaku dan pola pikir anak. Dalam pembelajaran mate-matika guru harus mengetahui tahapan perkembangan intelektual atau berpikir siswa. Menurut Karso dkk (1998) ada beberapa kekekalan matematika dalam perkembangan intelektual atau cara berpikir siswa seperti (1) kekekalan bilangan (banyak), (2) kekekalan materi (zat), (3) kekekalan panjang, (4) kekekalan luas, (5) kekekalan berat, (6) kekekalan isi, (7) tingkat pemaham-an. Semua kekekalan dan tingkat pemahaman ini harus dipahami dan dimengerti oleh guru agar dapat melakukan pembelajaran matematika dengan baik dan materi mudah dimengerti oleh anak didik. Dalam pembelajaran matematika harus diciptakan budaya belajar ‘learning how to learn’ di samping prior knowledge. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Matematika Banyak perubahan tingkah laku yang diharapkan tidak tercapai karena adanya cara atau sistem belajar yang kurang tepat sehingga mempengaruhi pula hasil belajarnya. Hasil belajar yang dicapai seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya minat, kemauan, cara belajar, motivasi, kematangan dan faktor yang berasal dari luar seperti kontiguitas, latihan, penguatan, lingkungan belajar. Kondisi belajar meliputi kondisi belajar intern dan kondisi belajar ekstern (Gagne dalam Natawidjaja, 1989). Kondisi belajar intern adalah unsur yang mem-pengaruhi prestasi belajar yang ada dalam diri seseorang, sedangkan kondisi belajar ekstern merupakan unsur yang

mempengaruhi prestasi belajar yang berasal dari luar diri seseorang. Kondisi belajar ini sangat diperlukan dan diperhitungkan dalam mencapai prestasi belajar ma-tematika, dan dalam kondisi belajar ini ada motivasi dan cara belajar baik yang berasal dari dalam diri seseorang maupun yang berasal dari luar atau lingkungan. Disamping itu faktor model pembelajaran ma-tematika yang sesuai dengan materi yang diajarkan, dan tahap-tahap yang harus dilakukan guru sesuai dengan tahap perkembangan intelektual atau berfikir siswa. Tahap-tahap dalam pembelajaran matematika yang dimaksud adalah tahap enaktif (enactive), tahap ikonik (iconic), dan tahap simbolik (symbolic) (Bruner dalam Hudojo, 1990). Cara Belajar dan Motivasi Belajar dengan giat dan sistematis tentu penting bagi seseorang yang ingin berhasil dalam prestasi belajarnya. Belajar harus diatur secara berencana agar supaya waktu, tenaga, dan fikiran dapat digunakan secara efektif dan efisien. Cara belajar mengandung asas keteraturan, disiplin, dan konsentrasi (The Liang Gie, 1988). Asas keteraturan mengandung makna bahwa seseorang melakukan kegiatan belajar secara berencana dan teratur setiap waktu, seperti mengikuti kegiatan belajar mengajar, membaca buku, membuat ringkasan, berdis-kusi, belajar kelompok. Asas disiplin adalah bahwa setiap belajar harus dilandasi disiplin yang tinggi atas dasar kemauan sendiri tanpa ada paksaan. Asas konsentrasi me-ngandung makna bahwa seseorang akan melakukan kegiatan belajar dengan penuh perhatian. Dengan asas keteraturan, disiplin, dan konsentrasi prestasi belajar akan mudah dicapai. Cara belajar bukan bakat yang dibawa sejak kecil melainkan suatu kecakapan yang dimiliki seseorang dengan jalan latihan. Seseorang yang selalu mempraktekkan cara belajar yang baik setiap waktu, akan mempunyai kebiasaan belajar yang baik pula. Cara belajar yang baik akan memudahkan seseorang untuk belajar. Kesulitan belajar yang umumnya dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak

16

cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar (Surakhmad, 1986). Seseorang yang menyediakan waktu secara sistematis untuk belajar, tidak menunda-nunda jika ada tugas, selalu berusaha membuat rangkuman merupakan indikator bahwa mereka telah menyusun cara belajar yang baik. Seseorang melakukan sesuatu termasuk belajar selalu didorong oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan. Kekuatan pendorong yang dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu aktivitas tertentu dinamakan motif dan motif ini harus selalu dibangkitkan agar seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu. Merupakan kodrat manusia bahwa ia mempunyai dorongan untuk melakukan sesuatu karena alasan tertentu. Kekuatan pendorong yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk mencapai sesuatu tujuan disebut motif, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan timbulnya dan berlangsungnya motif itu sendiri disebut motivasi (Hodojo, 1988). Sejalan dengan pendapat tersebut Sardiman AM (1988) mengemuka-kan bahwa berawal dari kata motif, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat mendesak. Dari berbagai batasan pengertian motivasi nampaknya kebutuhan menjadi dasar dari motivasi dan tujuan yang ada di dalamnya memberikan arah untuk mencapainya. Peranan motivasi adalah menimbulkan dorongan untuk bertingkah laku serta mempertahan-kan tingkah laku itu dengan berorientasi kepada tujuan. Dengan demikian cara belajar yang baik yang dilakukan seseorang erat hubungan--nya dengan motivasi untuk mencapai prestasi. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa cara belajar yang baik dan diikuti oleh motivasi yang berkelanjutan atau terus menerus dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar seseorang. Berdasarkan kajian teori hipotesis penelitian adalah cara belajar dan motivasi berprestasi secara terpisah maupun bersama-sama memiliki

hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Madiun dengan subyek penelitian adalah mahasiswa S1PGSD yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu Kebonsari, Dolopo, Geger, Kertosari, dan Kecamatan Tiron dengan 3 angkatan yaitu mahasiswa yang telah menempuh matakuliah Pendidikan Matematika 1 masa registrasi 2001.1, 2002.1, dan 2003.1 baik yang sudah lulus maupun yang mengulang. Sampel dilakukan dengan stratified randum sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan angket untuk variabel cara belajar dan motivasi berprestasi, sedangkan prestasi belajar dilakukan dengan tes. Proses pengembangan instrumen untuk variabel cara mengajar dilakukan dengan melihat indikator-indikator: mengatur waktu belajar, mengikuti tutorial, membaca modul, membuat catatan/ringkasan, menghafal dan memahami materi modul. Bentuk alat ukurnya menggunakan skala penilaian. Perumusan setiap itemnya dilengkapi dengan 3 pilihan yaitu: ya, kadang-kadang, dan tidak. Skor untuk pilihan jawaban tergantung pada bentuk pernyataan itemnya. Untuk pernyataan positif, skor 3 (ya), 2 (kadang-kadang), 1 (tidak). Sedang-kan untuk pernyataan negatif skornya adalah sebaliknya, 1 (ya), 2 (kadang-kadang), 3 (tidak). Jumlah skor keseluruhan item untuk masing-masing responden menyatakan yang bersifat mendukung gagasan. Sedangkan jumlah itemnya sebanyak dengan penyebaran pada setiap aspeknya. Angket motivasi berprestasi disusun dan dikembangkan sesuai konsep yang telah dibahas dalam tinjauan pustaka. Indikator-indikator motivasi berprestasi meliputi: keinginan untuk maju/berprestasi, bekerja keras, rasa ingin tahu, senang berkompetisi/bersaing, tekun mengerjakan sesuatu, dorongan untuk bertanya, keinginan untuk berdiskusi, dorongan untuk memecahkan masalah. Bentuk alat ukurnya adalah skala penilaian model Likert, dengan 5 pilihan

17

jawaban yaitu: selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah. Skor untuk masing-masing pilihan tergantung pada bentuk pernyataan itemnya. Untuk pernyataan positif skornya 5 (selalu), 4 (sering), 3 (kadang-kadang), 2 (jarang), 1 (tidak pernah). Untuk pernyataan negatif skornya sebaliknya yaitu 1 (selalu), 2 (sering), 3 (kadang-kadang), 4 (jarang), 5 (tidak pernah). Tes prestasi belajar pendidikan matematika 1 disusun berdasarkan modul matakuliah pendidikan matematika 1 termasuk pengayaannya. Bentuk tes adalah pilihan jawaban berganda. Setiap item dilengkapi dengan 4 pilihan salah satu diantaranya adalah jawaban yang benar/kunci jawaban. Responden yang menjawab benar diberi skor 1, dan yang salah diberi skor 0 untuk masing-masing item. Jumlah skor keseluruhan item untuk masing-masing responden, me-nunjukkan tingkat penguasaan responden terhadap materi tes. Intrumen penelitian diuji-cobakan, selanjutnya dilakukan analisis item pada setiap instrumen. Instrumen cara belajar dan motivasi berprestasi analisis item dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi product moment. Suatu item dikatakan valid, apabila nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel pada taraf signifikan yang dipilih yaitu 5%. Untuk mencari koefisien reliabilitasnya menggunakan koefisien alpha. Instrumen tes dilakukan dengan melihat hasil koefisien korelasi dwiserial point antara skor item ke-i dengan skor total tes. Untuk mencari koefisien reliabilitasnya menggunakan KR-20. Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi seder-hana dan ganda. Regresi sederhana dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikansi hubungan variabel bebas dengan variabel terikat secara terpisah, dan regresi ganda dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikansi hubungan variabel bebas dengan variabel terikat secara bersama-sama. Pengujian hipotesis digunakan uji " F “ dan untuk keperluan model regresi digunakan statistik “ Uji-t”. Uji independen dan linieritas regresi digunakan analisis varians.

Hasil Penelitian dan Pembahasan Deskripsi Cara Belajar Distribusi frekuensi data variabel cara belajar dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Variabel Cara

Belajar No Interval

Kelas Freku ensi

Freku ensi

Komu latif

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

68 – 71 72 – 75 76 – 79 80 – 83 84 – 87 88 – 91 92 – 95

1 2 8

31 41 27

102

1 3

11 42 83 110 122

Jumlah 122

Skor terendah yang dicapai adalah 68 dan skor tertinggi adalah 95. Skor rerata sebesar 85,47, standar deviasi 4,64, median 86, dan modus 83. Apabila data diklasifikasikan menjadi 3 kelompok maka terdapat 2,4 % (skor 68 – 76) responden yang mempunyai tingkat cara belajar rendah, 46 % (skor 77 – 85) responden yang mempunyai tingkat belajar sedang, 51,5 % (skor 86 – 95) responden yang mempunyai tingkat cara belajar tinggi. Deskripsi Motivasi Berprestasi Distribusi frekuensi motivasi berprestasi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Motivasi

Berprestasi No Interval

Kelas Frekuen

si Frekuen

si Komula

tif 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

67 – 71 72 – 76 77 - 81 82 - 86 87 – 91 92 – 96 97- 101

12 18 24 24 27 12 5

12 30 54 78

105 117 122

Jumlah 122

18

Dari data tersebut pada tabel 2 menunjukkan bahwa skor terendah 67 dan skor tertinggi 98. Skor rerata 82,47, standar deviasi 8,039, median 82, dan modus 89. Apabila data diklasifikasikan menjadi 3 kelompok terdapat 27,2% (skor 67 – 77) responden yang mempunyai motivasi berprestasi rendah, 43,6% (skor 78 – 88) responden yang mempunyai tingkat motivasi berprestasi sedang, dan 29,3% (skor 89 – 98) responden yang mempunyai tingkat motivasi berprestasi tinggi. Deskripsi Prestasi Belajar Diskripsi prestasi belajar pendidikan matematika 1 dapat dili-hat pada tabel berikut.

Tabel 3 Distribusi Frekuensi

Skor Prestasi Belajar Pendidikan Matematika 1

No Interval Kelas

Frekuensi

Frekuensi Komulatif

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

11 – 14 15 – 18 19 – 22 23 – 26 27 – 30 31 – 34 35 -- 38

2 23 33 39 18 6 1

2 25 58 97

115 121 122

Jumlah 122 Dari data pada tabel 3 di atas skor terendah 11 dan skor tertinggi 38. Skor rerata 22,87, standar deviasi 4,83, modus 18, dan median 23. Apabila data diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, terdapat 26,1% (skor 11- 28) responden yang mempunyai tingkat trestasi belajar rendah, 59,9% (skor 20 – 28) responden yang mempunyai tingkat prestasi belajar sedang, dan 14% (skor 29 – 37) responden yang mempunyai tingkat prestasi belajar pendidikan matematika 1 yang tinggi. Pengujian Persyaratan Analisis Pengujian Asumsi Normalitas Variabel yang diuji sebaran normal datanya adalah cara belajar, motivasi berprestasi, dan prestasi belajar pendidikan matematika 1. Setelah dilakukan perhitungan berdasarkan data yang diperoleh harga chi-kudrat hitung untuk masing-masing variabel lebih kecil dari harga chi-kuadrat tabel pada taraf signifikan 5% dengan derajat bebas 4,

maka sebaran data untuk masing-masing variabel berdistribusi normal. Pengujian Asumsi Linieritas Variabel yang akan diuji linieritasnya adalah cara belajar (X1) dan motivasi berprestasi (X2) terhadap prestasi belajar pendidikan matematika 1 (Y). (1) Uji linieritas Prestasi Belajar

Pendidikan Matematika 1(Y) terhadap Cara Belajar (X1). Berdasarkan data yang diperoleh persamaan regresi prestasi belajar pendidikan matematika 1 (Y) atas cara belajar (X1) adalah: Ý = 16,945 + 0,069 X1, Sedang nilai r 2 = 0,0042. Ini berarti hanya 0,42% data yang dapat dijelaskan oleh model linier yang dipakai. Dengan demikian data yang diuji tidak linier.

(2) Uji linieritas prestasi belajar Pendidikan Matematika 1 (Y) atas motivasi berprestasi (X2). Berdasarkan data yang diperoleh persamaan regresi prestasi belajar Pendidikan Matematika 1 (Y) atas motivasi berprestasi (X2) adalah Ý = 21,911 + 0,0116 X2. Sedang nilai r2 = 0,01397. Ini berarti bahwa hanya 1,3% data yang dapat dijelaskan oleh model linier yang dipakai. Dengan demikian data yang diuji tidak linier.

Pengujian Hipotesis Hasil analisis data yang diperoleh persamaan regresi prestasi belajar Pendidikan Matematika 1 (Y) atas cara belajar (X1) dan motivasi berprestasi (X2) adalah: Ý = 14,9367 + 0,03003 X1 + 0,06505 X2. Sedang F hitung diperoleh sebesar 0,8879 dan R2 = 0,01470. Harga F tabel untuk dk. pembilang = 2 dan dk. penyebut = 119 pada taraf signifikansi 5% sebesar 1,66. Dengan demikian harga F hitung lebih kecil dari harga F tabel. Ini berarti F hitung berada di bawah batas penolakan, maka hipotesis penelitian ditolak. Dapat disimpulkan bahwa cara belajar dan motivasi berprestasi secara bersama-sama tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap prestasi belajar pendidikan matematika 1.

19

Dari hasil perhitungan harga koefisien determinasi sebesar 0,014703, hal ini berarti hanya 1,47% variansi prestasi belajar pendidikan matematika 1 dapat ditentukan oleh cara belajar dan motivasi berprestasi secara bersama-sama. Hasil perhitungan nilai F hitung sebesar 20,6554 dan lebih besar dari F tabel sebesar 1,75 dan bentuk regresi cara belajar dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1 tidak linier. Ini berarti bahwa cara belajar tidak berhubungan signifikan dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1. Dari data yang ada juga diperoleh nilai r2

sebesar 0,0042. Jadi hanya 0,42% variansi prestasi belajar pendidikan matematika 1 dapat ditentukan oleh cara belajar, suatu prosentase yang sangat rendah atau sangat kecil. Hasil perhitungan nilai F hitung sebesar 21,445 lebih besar dari F tabel sebesar 1,68. Karena F hitung lebih besar dari F tabel maka bentuk regresi motivasi berprestasi dengan prestasi pendididkan matematika1 tidak linier. Ini berarti bahwa motivasi berprestasi tidak berhubungan signifikan dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1. Nilai r2 sebesar 0,01397 berarti hanya 1,3% variansi prestasi belajar pendidikan matematika1 dapat ditentukan oleh motivasi berprestasi. Ada beberapa faktor dalam penelitian ini yang diabaikan yang mungkin atau cendrung berpengaruh terhadap prestasi belajar seseorang diantaranya intelegensi, bakat, sistem penyampaian materi, pengalaman belajar dan pengalaman yang lampau yang menjadi prasyarat. Menurut Gagne (1985) belajar adalah proses perubahan dalam diri manusia karena pengalaman. Demikian pula pengalaman mengajar bagi guru SD sangat menentukan proses dan cara belajarnya karena dapat memilih sumber belajar yang baik. Demikian pula faktor lingkungan sangat mempengaruhi proses belajar yang diyakini oleh kaum behavioris sangat mempengaruhi perkembangan individu karena interaksinya. Dworetzky (1990) mengatakan bahwa kaum behavioris mempercayai bahwa potensi individu akan berkembang berdasarkan hasil interaksinya dengan lingkungan. Masih

banyak faktor yang mem-pengaruhi individu dalam mencapai prestasi belajarnya. Jika diperhatikan hasil perhi-tungan koefisien determinasi dari masing-masing variabel ternyata sangat kecil. Ini menunjukkan bahwa cara belajar dan motivasi berprestasi baik secara bersama-sama maupun terpisah mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap prestasi belajar pendidikan matematika 1, sehingga dikategorikan tidak berhubungan signifikan. Cara belajar dan motivasi seseorang dalam meraih prestasi belajar bervariasi. Demikian pula cara belajar dan motivasi mahasiswa S1PGSD UT bervariasi. Terlebih lagi dalam belajar matematika yang banyak menggunakan simbol-simbol dan pola pikir yang deduktif, serta memiliki materi prasyarat untuk memahami suatu konsep. Kesimpulan dan Saran (1) Cara belajar dan motivasi ber-

prestasi secara bersama-sama tidak berhubungan signifikan dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1. Persamaan regresi prestasi belajar pendidikan matematia 1 (Y) atas cara belajar (X1) dan Motivasi berprestasi (X2) adalah: Ý = 14,9367 + 0,03003 X1 + 0,06505 X2 . Koefisien diterminasi r2 = 0,01470265. Ini berarti hanya ada 1,47% variansi prestasi belajar pendidikan matematika 1 ditentukan oleh cara belajar dan motivasi berprestasi secara bersama-sama dengan asumsi variabel lain diabaikan.

(2) Cara belajar tidak berhubungan signifikan dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1. Persamaan regresi prestasi belajar pendidikan matematika 1 (Y) dengan cara belajar (X1) adalah: Ý = 16,945 + 0,0693 X1. Koefisien determinasi r2 = 0,0042. Ini berarti hanya 0,42% variansi prestasi belajar pendidikan matematika 1 ditentukan oleh cara belajar, suatu prosentase yang sangat kecil.

(3) Motivasi berprestasi tidak berhubungan signifikan dengan prestasi belajar pendidikan

20

matematika1. Persamaan regresi prestasi belajar pendidikan matematika 1 (Y) dengan motivasi berprestasi (X2) adalah: Ý = 21,911 + 0,0116 X2. Koefisien determinasi r2 = 0,01397. Ini berarti hanya ada 1,39% variansi prestasi belajar pendidikan matematika 1 ditentukan oleh motivasi ber-prestasi, suatu prosentase yang sangat kecil, dengan asumsi variabel lain diabaikan. Dari kesimpulan hasil penelitian ini diharapkan ada penelitian lanjutan baik dengan variabel yang sama maupun dengan variabel lain yang sejenis sehingga dihasilkan penelitian yang lebih akurat, valid, dan lebih baik.

Daftar Pustaka Dwiretzky, J.P (1990). (1990) Introduction

to Child Development. New York: West Publishing Company

Depdikbud. (1995) Kurikulum Pendidikan

dasar: Garis-garis Besar Program Pengajaran, Jakarta: Depdikbud.

Depdiknas, (2002) Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

(1993) Katalog Progran Penyetaraan D2PGSD Universitas Terbuka, Jakarta

--------------- (1991) Panduan Tutorial

Program Penyetaraan D2 PGSD. Jakarta

--------------- (1991) Sistem

Penyelenggaraan Program Penyetaraan D2 Guru Sekolah Dasar. Jakarta.

Djaali, H. (1987) Penilaian Pendidikan.

FMIPA IKIP Ujung Pandang. Gagne, R.M (1985). The condition of

Learning and Theory of Instruction. Canada:Rinehart and Winston Inc.

Gredler, M.E.B (1991) Belajar dan Membelajarkan, Jakarta: Rajawali Pers.

Hudojo, H. (1990) Strategi Belajar

Mengajar Matematika. IKIP Malang Karso dkk (2003) Pendidikan Matematika I

Pusat Penerbitan Universitas Terbuka

Ruseffendi, E.T. (1991) Pendidikan

Matematika 1. Proyek Penataran Guru SD Setara D2. Jakarta

__________ (1991) Pendidikan

Matematika 3 Proyek Penataran Guru SD Setara D2.Jakarta

Natawidjaja, R & Maleong L.J (1989)

Psikologi Pendidikan. Jakarta Sardiman A.M (1989) Interaksi dan

Motivasi Belajar Mengajar. Yogjakarta

Subroto, S (1983) Sistem Pengajaran

dengan Modul. Yogyakarta Sudjana (1992) Metode Statistika. Tarsito.

Bandung Sastrawijaya,T (1988) Preses Belajar

Mengajar di Perguruan Tinggi. Depdikbud Dirjen Dikti. Jakarta

The Liang Gie (1988) Cara Belajar yang

Efektif. Tarsito. Bandung Utomo, T & Kees Ruijter (1989).

Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan Gramedia. Jakarta

Surakhmad, W (1987) Strategi Belajar

Mengajar. Gramedia. Jakarta Vembrianto, S.T (1991). Pengantar

Pengajaran Modul. Yogyakarta

21

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang secara cepat di era globalisasi. Era globalisasi merupakan suatu kemajuan di segala bidang, termasuk juga sumber daya manusia. Dengan kema-

juan sumber daya manusia akan lebih mudah dalam melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari. Kemajuan suatu masyarakat cendrung pada perubahan tingkat kehidupan yang lebih sempurna yang ditandai dengan beberapa penemuan yang dapat memberi beberapa kemudahan juga.

PENINGKATAN HASIL BELAJAR DALAM MENYAJIKAN DATA KE BENTUK GRAFIK MELALUI PENGGUNAAN METODE DISKUSI

PADA PRODI BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA PAMEKASAN

Mohammad Harijanto

ABSTRAK Bagaimana upaya peningkatan hasil belajar mahasiswa dalam

Menyajikan Data ke Bentuk Grafik melalui penggunaan metode diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan. Tujuan yang ingin dicapai adalah mendeskripsikan hasil belajar dalam menyajikan data ke bentuk grafik pada Prodi Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan dan langkah-langkah penggunaan metode diskusi dalam mempertinggi aktivitas dan tingkat penguasaan dalam menyajikan data ke bentuk grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Hasil penelitian siklus satu dalam hal merumuskan masalah berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan termasuk kategori muncul, dalam hal identifikasi masalah termasuk kategori muncul, analisis masalah termasuk kategori muncul, analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan termasuk kategori tidak muncul, penyusunan laporan termasuk kategori tidak muncul, presentasi kelompok termasuk kategori tidak muncul, menyimpulkan hasil diskusi termasuk kategori muncul. Sedangkan hasil penelitian pada siklus dua dalam hal merumuskan masalah berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan termasuk kategori muncul, identifikasi masalah termasuk kategori muncul, analisis masalah termasuk kategori muncul, analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan termasuk kategori muncul, penyusunan laporan termasuk kategori muncul, presentasi kelompok termasuk kategori muncul, menyimpulkan hasil diskusi termasuk kategori muncul. Rata-rata hasil tes pada siklus I = 5,81. Rata-rata hasil tes siklus II = 7,00. Ada 9 diantara 16 mahasiswa pada siklus I berhasil dalam belajarnya, 14 diantara 16 mahasiswa pada siklus II berhasil dalam belajarnya. Pada siklus I sebanyak 7 dari 16 mahasiswa memperoleh nilai rendah, pada siklus II sebanyak 2 diantara 16 mahasiswa memperoleh nilai rendah. Karena itu disarankan bahwa dalam merumuskan masalah berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan hendaknya diarahkan pada tujuan perbaikan perkuliahan agar hasil belajar tercapai secara maksimal, dalam mengidentifikasi masalah hendaknya diacukan pada sub-sub persoalan yang ditemukan dalam perkuliahan, analisis masalah hendaknya dilengkapi dengan uraian-uraian sampai pada bagian yang sekecil-kecilnya, analisis masalah atau topik pembahasan hendaknya disusun sebelumnya sehingga dalam pengelompokan mahasiswa dapat diarahkan pada pengelompokan atas dasar kesamaan minat, penyusunan laporan hendaknya mendapatkan arahan dari pembelajar secara intensif agar dapat dipresentasikan dengan baik oleh wakil-wakil kelompok, dalam presentasi kelompok hendaknya pembelajar bertindak sebagai moderator agar pada saat memasuki tanggapan pembicaraan tidak didominasi oleh salah seorang mahasiswa, dan dalam menyimpulkan hasil diskusi hendakmya memberi peluang pada mahasiswa untuk membuat catatan penting. Kata Kunci: Hasil Belajar, Metode Diskusi

22

Era globalisasi tidak hanya ditandai dengan kemajuan teknologi saja. Akan tetapi, kemajuan dalam bidang pendidikan merupakan kemajuan yang sangat diperlukan dalam menciptakan Sumber Daya Manusia yang poduktif dengan kemajuan yang tinggi. Sehingga dalam perkuliahan di tingkat pendidikan tinggi sangat memerlukan peningkatan dan perubahan dari seorang pendidik diantaranya penguasaan materi dan berbagai jenis metode perkuliahan agar mahasiswa dapat menerima materi perkuliahan di dalam kelas serta meningkatkan hasil belajar yang memuaskan di berbagai materi perkuliahan termasuk juga materi perkuliahan Statistik.

Proses perkuliahan dengan beberapa penemuan yang inovatif sangat mendukung terciptanya sumber daya manusia yang produktif sehingga menjadi penerus bangsa yang benar. Dengan strategi belajar mengajar seorang pembelajar diharapkan agar menguasai keterampilan dasar mengajar. Karena keterampilan dasar mengajar merupakan suatu keterampilan yang menuntut latihan yang terprogram untuk menguasainya.

Dengan penguasaan terhadap keterampilan dasar mengajar memungkinkan pembelajar mampu mengelola kegiatan perkuliahan secara lebih efektif. Menurut Udin S. Winataputra (2005:7.1) keterampilan dasar mengajar bersifat generik, yang berarti bahwa keterampilan dasar mengajar ini perlu dikuasai oleh semua pembelajar. Dengan pemahaman dan penguasaan keterampilan dasar mengajar, pembelajar diharapkan mampu meningkatkan kualitas proses perkuliahan. Ada delapan keterampilan dasar mengajar yang dianggap menentukan keberhasilan perkuliahan, yaitu: (1) Keterampilan bertanya, (2) Keterampilan memberi penguatan, (3) Keterampilan mengadakan variasi, (3) Keterampilan menjelaskan, (4) Keterampilan membuka dan menutup materi perkuliahan, (5) Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, (6) Keterampilan mengelola kelas, dan (7) Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan.

Dengan banyaknya keterampilan dasar mengajar sebagaimana disebutkan di

atas maka peranan pembelajar dalam menciptakan proses belajar mengajar memegang posisi penting. Mengajar adalah suatu perbuatan yang kompleks karena menuntut kemampuan profesional, personal dan sosial kultural secara terpadu dalam proses belajar mengajar. J.J. Hasibuan (2004:3) mengemukakan bahwa mengajar adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan terdiri atas sejumlah komponen yang saling mempengaruhi yang dalam hal ini menurut J.J. Hasibuan (2004:3) komponen-komponen yang saling mempengaruhi adalah tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, pembelajar dan mahasiswa yang harus memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia.

Di sisi lain Mohamad Ali (1992:26) menyatakan bahwa proses pengajaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mempunyai tujuan, yakni diperolehnya hasil belajar. Hasil belajar berupa perubahan tingkah laku benar berbentuk kecakapan berpikir, sikap maupun keterampilan melakukan suatu kegiatan tertentu. Terjadinya perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, benar faktor yang berasal dari diri individu maupun faktor yang berasal dari luar diri individu.

Menurut Mohamad Ali (1992:26) faktor yang ada dalam diri individu mahasiswa dapat menjadi prasarat bagi berlangsungnya proses belajar, sedangkan yang datang dari luar dapat menjadi pendorong terjadinya proses belajar. Metode mengajar merupakan salah satu komponen yang harus ada dalam kegiatan perkuliahan. Pada dasarnya metode mengajar merupakan suatu cara atau tehnik yang digunakan oleh pembelajar dalam melakukan interaksi dengan mahasiswa dalam proses perkuliahan. Metode mengajar menurut Nana Sudjana (2004:76) ialah cara yang dipergunakan pembelajar dalam mengadakan hubungan dengan mahasiswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Masing-masing metode ada kelemahan serta keuntungannya.

23

Sehubungan dengan hal tersebut maka tugas pembelajar menurut Nana Sudjana (2004:77) adalah memilih berbagai metode yang tepat untuk menciptakan proses belajar mengajar. Ketepatan penggunaan metode mengajar sangat bergantung kepada tujuan perkuliahan yang ingin dicapai..

Metode mengajar yang sampai saat ini masih banyak dipergunakan dalam proses belajar mengajar menurut Nana Sudjana (2004:89) adalah sebagai berikut: (1) Metode Ceramah, (2) Metode Tanya Jawab, (3) Metode Diskusi, (4) Metode Tugas Belajar dan Resitasi, (5) Metode Kerja Kelompok, (6) Metode Demonstrasi dan Eksperimen, (7) Metode Sosiodrama, (8) Metode Problem Solving, (9) Metode Latihan, (10) Metode Karya Wisata. (11) Metode Resource Person (Manusia Sumber), dan (12) Metode Simulasi

Dengan banyaknya metode mengajar sebagaimana disebutkan di atas maka peranan metode mengajar sebagai alat dan cara dalam menciptakan proses belajar mengajar memegang posisi penting. Dengan metode mengajar diharapkan dapat tumbuh berbagai kegiatan belajar mahasiswa sehubungan dengan kegiatan mengajar pembelajar. Namun demikian diharapkan agar pembelajar mampu memilih dan menggunakan metode mengajar tertentu agar mahasiswa selalu aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

Penggunaan metode pembelajaran dari segi proses menurut Udin S. Winataputra (2005:3.16) adalah sebagai berikut: (1) Sebagai alat untuk mencapai tujuan, (2) Sebagai gambaran aktivitas, (3) Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan alat penilaian, (4) Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan bimbingan.

Dalam beberapa kali kegiatan perkuliahan Statistik ada 9 mahasiswa dari 16 mahasiswa yang mencapai tingkat kemampuan sebesar 24% ke bawah. Pada saat pembelajar memberikan materi perkuliahan pada umumnya mahasiswa hanya mendengarkan apa yang disampaikan oleh pembelajar dalam kelas. Selama perkuliahan berlangsung jarang mahasiswa yang mengajukan pertanyaan atau mendiskusikan atau memberikan tanggapan terhadap penjelasan pembelajar.

Berdasarkan hal tersebut dapat dinemukan permasalahan yang terjadi dalam perkuliahan, yaitu: (1) Rendahnya minat belajar mahasiswa terhadap Statistik, (2) Mahasiswa tidak dapat menjawab pertanyaan pembelajar, (3) Mahasiswa acuh tak acuh pada saat proses perkuliahan berlangsung karena terlalu menekankan metode ceramah dan kurangnya metode diskusi, (4) Kurangnya media pada proses perkuliahan berlangsung sehingga mahasiswa kurang termotivasi.

Melalui proses diskusi dengan mahasiswa bahwa faktor penyebabnya adalah: (1) Penjelasan kurang terfokus atau terlalu abstrak, (2) Kurangnya perhatian mahasiswa dalam proses perkuliahan berlangsung sehingga kemampuan mahasiswa untuk menerima materi Statistik sangat rendah, dan (3) Penerapan metode diskusi kurang maksimal.

Di dalam kelas perkuliahan menunjukkan bahwa: 1. Metode diskusi telah digunakan

pembelajar untuk Menyajikan Data ke Bentuk Grafik Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan

2. Pada saat perkuliahan ada sebagian mahasiswa aktif berdiskusi dan dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dengan benar, dan setelah diberi tes akhir hasilnya lemah

3. Pada saat perkuliahan ada sebagian mahasiswa aktif berdiskusi dan dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dengan benar, dan setelah diberi tes akhir hasilnya cukup baik.

4. Pada saat perkuliahan ada sebagian mahasiswa kurang aktif berdiskusi dan tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dengan benar, dan setelah diberi tes akhir hasilnya lemah

5. Pada saat perkuliahan ada sebagian mahasiswa kurang aktif berdiskusi dan tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dengan benar, dan setelah diberi tes akhir hasilnya cukup baik

Dari harapan dan kenyataan sebagaimana disebutkan di atas maka penulis merasa tertarik untuk membahas dan meneliti melalui judul: “Peningkatan Hasil Belajar Dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik melalui penggunaan

24

Metode Diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan ”

B. Rumusan Masalah

Dengan metode mengajar diskusi diharapkan agar dapat tumbuh berbagai kegiatan belajar mahasiswa. Di samping itu juga diharapkan agar pembelajar mampu menggunakan metode mengajar diskusi agar mahasiswa selalu aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

Kenyataan untuk sementara ini menunjukkan bahwa metode diskusi telah digunakan untuk menyajikan mata kuliah Statistik pada Prodi Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan .

Pada saat perkuliahan ada sebagian mahasiswa aktif berdiskusi dan sebagian kurang aktif, serta dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dengan benar dan ada juga yang tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dengan benar, dan setelah diberi tes akhir dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik hasilnya ada yang lemah, ada yang sedang dan ada yang cukup baik..

Atas dasar itulah maka timbul permasalahan disekitar pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana upaya peningkatan hasil belajar mahasiswa dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik melalui penggunaan metode diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan

C. Tujuan

Tujuan penelitian tindakan kelas ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan hasil belajar berupa

hasil belajar dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan

2. Mendeskripsikan langkah-langkah penggunaan metode diskusi dalam mempertinggi aktivitas dan tingkat penguasaan dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik

D. Manfaat

Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal bahwa pelaksanaan penelitian tindakan kelas memiliki konstribusi atau bermanfaat bagi banyak pihak terkait. Manfaatnya, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Bagi pembelajar dapat memperbaiki

perkuliahan yang dikelolanya karena

sasaran akhir Penelitian Tindakan Kelas adalah: (1) perbaikan perkuliahan dari satu siklus ke siklus berikutnya, (2) pembelajar dapat berkembang secara profesional karena dapat menunjukkan kemampuan menilai dan memperbaiki perkuliahan dari satu siklus ke siklus berikutnya, (3) membuat pembelajar lebih percaya diri untuk mengadakan refleksi terkait dengan pelaksanaan perkuliahan dari satu siklus ke siklus berikutnya, dan (4) mendapat kesempatan untuk berperan aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sendiri.

2. Bagi mahasiswa dapat meningkatkan hasil belajarnya dalam menyajikan data ke bentuk grafik, dan sikap kritis menjadi model bagi mahasiswa untuk menyikapi kinerjanya yakni secara individual dapat menjadi peneliti bagi hasil belajarnya

3. Bagi institusi mempunyai kesempatan untuk berkembang pesat untuk pengelolaan kegiatan institusi secara keseluruhan dan melaksanakan perbaikan terkait dengan proses dan hasil belajar, kondusifnya iklim perkuliahan, dan dapat dijadikan bahan pustaka atau kajian pustaka bagi peningkatan mutu lulusan atau mutu perkuliahan.

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Metode Diskusi

Metode ini sering digunakan dalam perkuliahan kelompok, umpamanya kalau menggunakan pendekatan CBSA dan keterampilan proses dalam perkuliahan metode ini cendrung akan digunakan. Metode mengajar diskusi menurut Udin S. Winataputra (2005:2.16) merupakan cara mengajar dalam pembahasan dan penyajian materinya melalui suatu problema atau pertanyaan yang harus diselesaikan berdasarkan pendapat atau keputusan secara bersama.

Metode diskusi memiliki karakteristik, dan pengalaman belajar menurut Udin S. Winataputra (2005:2.18) tentang pengalaman belajar (learning experience) sebagai berikut: (1) Bahan materi perkuliahan dengan topik permasalahan/persoalan, (2) Adanya pembentukan kelompok, (3) Ada yang mengatur pembicaraan, (4) Aktivitas

25

mahasiswa berpendapat, (5) Mengarah pada suatu kesimpulan/ pendapat bersama, (6) Pembelajar lebih berperan sebagai pembimbing/ motivator, (7) Mahasiswa sebagai objek dan subjek dalam perkuliahan, (8) Melatih sistematika logika berpikir, dan (9) Melatih bahasa lisan

Sedangkan pengalaman belajar peserta didik dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Pemahaman terhadap persoalan belajar bersama (cooperative learning), (2) Pendapat orang lain, (3) Pembentukan rasa solidaritas terhadap pengambilan keputusan, (4) Menerapkan cara menyelesaikan persoalan, dan (5) Menerapkan cara menyampaikan pendapat

Keuntungan atau keunggulan metode diskusi dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Mahasiswa bertukar pikiran, (2) Mahasiswa dapat menghayati permasalahan, (3) Merangsang mahasiswa untuk berpendapat, (4) Dapat mengembangkan rasa tanggung jawab/solidaritas, (5) Membina kemampuan berbicara, (6) Mahasiswa belajar memahami pikiran orang lain, dan (7) Memberikan kesempatan belajar

Sedangkan kelemahan metode diskusi dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Relatif memerlukan waktu yang banyak, (2) Apabila mahasiswa tidak memahami konsep dasar, diskusi tidak efektif, (3) Terdapat perbedaan kemampuan perbendaharaan bahasa, dan (4) Apabila pembelajar tidak dapat membimbing diskusi tidak efektif

Prosedur metode diskusi menurut Udin S. Winataputra (2005:3.17) hampir sama dengan belajar kelompok, yaitu: (1) Merumuskan masalah berdasarkan topic bahasan dan tujuan perkuliahan, (2) Identifikasi masalah, (3) Analisis masalah, (4) Analisis masalah/topik, (5) Penyusunan laporan, (6) Presentasi kelompok, dan (7) Menyimpulkan hasil diskusi

Kompetensi atau kemampuan pembelajar yang harus diperhatikan untuk menunjang keberhasilan diskusi diantaranya adalah: (1) mampu merumuskan permasalahan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, (2) Mampu membimbing mahasiswa untuk merumuskan dan mengidentifikasi permasalahan serta menarik kesimpulan, (3) Mampu mengelompokkan mahasiswa

sesuai dengan kebutuhan permasalahan dan pengembangan kemampuan mahasiswa, (4) Mampu mengelola perkuliahan melalui diskusi, dan (5) Menguasai permasalahan yang didiskusikan.

Kompetensi atau kemampuan mahasiswa yang harus diperhatikan untuk menunjang pelaksanaan diskusi: (1) Memiliki motivasi, perhatian, dan minat dalam berdiskusi, (2) Mampu melaksanakan diskusi, (3) Mampu belajar secara bersama, (4) Mampu mengeluarkan isi pikiran atau pendapat/ide, dan (5) Mampu memahami pendapat orang lain. B. Kajian tentang Hasil Belajar

Belajar merupakan suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Atribut pokok atau ciri utama belajar adalah proses, perubahan perilaku, dan pengalaman. Dilihat dari dimensi proses Udin S. Winataputra (2005:2.3) mengemukakan bahwa belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan. Jadi peserta didik dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif.

Apabila hasil belajar atau hasil yang diperoleh mahasiswanya baik berarti pembelajar berhasil dalam menyajikan materi perkuliahan yang telah disajikannya kepada mahasiswanya. Hasil belajar menurut Djadja Badjuri (dalam Udin S. Winataputra, 2005:2.5) berupa perubahan perilaku atau tingkah laku. Peserta didik yang belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik, atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Perubahan perilaku sebagai hasil belajar adalah perubahan yang dihasilkan dari pengalaman (interaksi dengan lingkungan), di mana proses mental dan emosional terjadi.

materi perkuliahan Statistik berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari hari. Di Sekolah Dasar diutamakan agar mahasiswa mengenal, memahami serta mahir menggunakan

26

bilangan dalam kaitannya dengan praktek kehidupan sehari-hari.

Menurut Udin S. Winataputra (2005:2.6) proses dan hasil belajar mahasiswa bergantung pada kompetensi pembelajar dan keterampilan mengajarnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa keefektifan perkuliahan dipengaruhi oleh karakteristik pembelajar dan mahasiswa, bahan materi perkuliahan dan aspek lain yang berkenaan dengan situasi perkuliahan

Dari pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah: (a) Kompetensi Dasar, (b) Penguasaan kompetensi oleh pembelajar, (c) Keterampilan pembelajar dalam mengajar, (d) Karakteristik pembelajar dan mahasiswa, (e) Bahan materi perkuliahan, dan (f) Situasi dan kondisi perkuliahan.

Tingkah laku sebagai hasil dari proses belajar dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor dalam diri peserta didik, dan faktor eksternal yakni faktor yang berasal dari luar diri peserta didik. Menurut Nana Sudjana (1989:8) hasil interaksi berupa perubahan tingkah laku dapat bermakna sesuai dengan hakikat belajar sebagai suatu proses.

C. Kajian tentang Mata Kuliah

Statistik Statistik dapat diartikan sebagai

kumpulan angka-angka mengenai suatu masalah, sehingga dapat memberikan gambaran mengenai masalah tersebut. Dalam arti sempit statistik adalah data kuantitatif. Menurut Narr Hariyanto (2010:5) Statistik diartikan sebagai suatu ukuran yang dihitung dari sekumpulan data dan merupakan wakil dari data itu. Ilmu pengetahuan atau metode ilmiah dan sering disebut statistika. Statistika adalah metode ilmiah yang mempelajari pengumpulan, pengaturan, perhitungan, penggambaran, dan penelitianalisaan data, serta penarikan kesimpulan yang valid berdasarkan penelitianalisaan yang dilakukan dan pembuatan keputusan yang rasional.

Menurut fungsinya statistika dibagi seperti berikut ini: 1. Statistika deskriptif (deduktif),

statistika yang hanya menggambarkan dan menganalisis kelompok data yang

diberikan tanpa penarikan kesimpulan mengenai kelompok data yang lebih besar.

2. Statistika inferensial (induktif), statistika yang menyangkut kesimpulan yang valid.

Materi perkuliahan dapat dijabarkan seperti berikut ini. Macam-macam Bentuk Istilah dasar statistik untuk data tidak terkelompok umumnya digunakan bagi data yang berasal dari ukuran yang kecil. Memiliki variabel deskrit, antara data yang satu dengan data yang lainnya tidak memiliki suatu hubungan, atau masing-masing data terpisah. Istilah dasar statistik Batang adalah istilah dasar statistik berdasarkan data berbentuk kategori. Langkah-langkah dalam membuat istilah dasar statistik batang adalah: 1. Membuat dua buah sumbu, yaitu

sumbu datar dan sumbu tegak. 2. Masing-masing nama kategori untuk

batangnya, berupa empat persegi panjang dengan tingginya sesuai nilai frekuensi.

3. Masing-masing batang diberi warna yang sama, atau diarsir dengan corak yang sama

4. Di bagian tengah bawah diberi nomor agar lebih mudah dalam pencarian istilah dasar statistik.

Contoh: Jumlah siswa SD, SMP, SMA, SMEA, dan STM di kota X pada tahun 1990 adalah: Jumlah siswa SD ada 1500 orang Jumlah siswa SMP ada 900 orang Jumlah siswa SMA ada 1100 orang Jumlah siswa SMEA ada 1250 orang Jumlah siswa STM ada 870 orang Istilah dasar statistik lingkaran adalah cara penyajian sekumpulan data ke dalam lingkaran, dengan lingkarannya dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan pengklasifikasian datanya. Langkah-langkah dalam membuat istilah dasar statistik lingkaran adalah sebagai berikut: a. Ubah data absolut dalam bentuk

persentase b. Ubah nilai data dalam bentuk

persentase ke dalam satuan derajat untuk masing-masing kategori

c. Buat sebuah lingkaran dengan menggunakan jangka

27

d. Masukkan kategori pertama dengan menggunakan busur derajat, mulai dari titik yang tertinggi

e. Masukkan kategori lainnya ke dalam lingkaran yang sesuai dengan arah jarum

f. Diberi corak atau warna yang berbeda g. Diberi identitas dengan:

1. Nama kategori disertai nilai persentasenya

2. Nama kategori dicantumkan pada catatan tersendiri

Macam-macam Bentuk Istilah dasar statistik Untuk Data Terkelompok terfokus pada tiga hal yaitu Histogram, Poligon, dan Ogive. PELAKSANAAN PERBAIKAN A. Subjek Penelitian

Lokasi penelitian yaitu di FKIP Unira tempat penulis bertugas. Waktu pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Siklus I: tanggal 18 April 2010, (2) Siklus II: tanggal 25 April2010. materi perkuliahan yang disajikan adalah materi perkuliahan Statistik yang dalam hal ini adalah menyajikan data ke bentuk grafik. Kelas yang dijadikan ruang perkuliahan baik siklus satu maupun siklus dua adalah Kelas A Bing FKIP Unira. Jumlah mahasiswa sebanyak 16 orang. Karakteristik mahasiswa dalam perkuliahan dilaksanakan sistem klasikal karena dianggap homogen. B. Deskripsi per siklus

Pada saat pelaksanaan perkuliahan, kegiatan awal memiliki jatah waktu 10 menit, dimulai dengan membuka materi perkuliahan, menciptakan kelas yang kondusif, menyiapkan alat materi perkuliahan dan alat peraga, menginformasikan materi yang akan dibahas dan langkah-langkah kegiatan belajar yang akan ditempuh mahasiswa, memotivasi mahasiswa yaitu melakukan apersepsi melalui proses tanya jawab materi materi perkuliahan sebelumnya tentang istilah dasar statistik. Kegiatan Inti memiliki jatah waktu 70 menit, dimulai dengan penjelasan dalam menyajikan data ke bentuk grafik, yang dalam hal ini juga dilengkapi dengan media gambar, bertanya jawab dalam menyajikan data ke bentuk grafik, dan mahasiswa mengerjakan tugas untuk Menyajikan Data ke Bentuk Grafik.Kegiatan akhir memiliki jatah

waktu 20 menit, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: (1) Memberikan reinforcement atau penguatan terhadap tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa, (2) Melaksanakan tes akhir, yang mencakup semua materi yang disajikan sesuai dengan tujuan perkuliahan khusus, (3) Kegiatan akhir berikutnya, mahasiswa diberi tugas pekerjaan rumah untuk menyajikan data ke bentuk grafik, dan (4) Menutup perkuliahan dengan bersama-sama membaca hamdalah dan diakhiri dengan salam penutup.

Pada saat penelitian peneliti menggunakan instrumen observasi seperti berikut:

TABEL I: HASIL PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN METODE DISKUSI PADA PRODI BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA PAMEKASAN (SIKLUS I)

No Aspek yang diobservasi

Hasil Penelitian

Muncul Tidak 1 Merumuskan masalah

berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan.

V

2 Identifikasi masalah V 3 Analisis masalah V 4 Analisis

masalah/topic V

5 Penyusunan laporan V 6 Presentasi kelompok V 7 Penyimpulan hasil

diskusi V

Sedangkan hasil penelitian siklus

dua dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:

TABEL II: HASIL PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN METODE DISKUSI PADA PRODI BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA PAMEKASAN (SIKLUS II)

No Aspek yang diobservasi

Hasil Penelitian

Muncul Tidak 1 Merumuskan masalah

berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan.

V

2 Identifikasi masalah V

28

3 Analisis masalah V 4 Analisis

masalah/topic V

5 Penyusunan laporan V 6 Presentasi kelompok V 7 Penyimpulan hasil

diskusi V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi per Siklus

Data tentang perkuliahan siklus satu dapat diperhatikan pada uraian berikut: a. Pada saat pelaksanaan perkuliahan,

kegiatan awal memiliki jatah waktu 10 menit, dimulai dengan membuka perkuliahan, menciptakan kelas yang kondusif, menyiapkan mediaa perkuliahan dan alat peraga, menginformasikan materi yang akan dibahas dan langkah-langkah kegiatan belajar yang akan ditempuh mahasiswa, memotivasi mahasiswa yaitu melakukan apersepsi melalui proses tanya jawab materi materi perkuliahan sebelumnya tentang istilah dasar statistik. Kegiatan Inti memiliki jatah waktu 70 menit, dimulai dengan penjelasan dalam menyajikan data ke bentuk grafik, yang dalam hal ini juga dilengkapi dengan media gambar, bertanya jawab dalam menyajikan data ke bentuk grafik, dan mahasiswa mengerjakan tugas pada saat berdiskusi untuk menyajikan data ke bentuk grafik.

b. Pada kegiatan akhir yang memiliki jatah waktu 20 menit dapat dibarkan sebagai berikut: 1. Memberikan reinforcement

terhadap tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa.

2. Melaksanakan tes akhir, yang mencakup semua materi yang disajikan sesuai dengan tujuan perkuliahan.

3. Kegiatan akhir berikutnya, mahasiswa diberi tugas pekerjaan rumah untuk menyajikan data ke bentuk grafik.

4. Menutup materi perkuliahan dengan bersama-sama membaca

hamdalah dan diakhiri dengan salam penutup.

c. Data Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian siklus satu sebagaimana terdapat pada bab sebelumnya, maka: 1. Dalam hal merumuskan masalah

berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

2. Dalam hal identifikasi masalah pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

3. Dalam hal analisis masalah pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

4. Dalam hal analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori tidak muncul

5. Dalam hal penyusunan laporan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori tidak muncul

6. Dalam hal presentasi kelompok pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori tidak muncul

7. Dalam hal menyimpulkan hasil diskusi pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

Sedangkan hasil penelitian pada siklus dua sebagaimana terdapat pada tabel dua maka terjadi adanya peningkatan seperti berikut: 1. Dalam hal merumuskan masalah

berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

2. Dalam hal identifikasi masalah pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

3. Dalam hal analisis masalah pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

4. Dalam hal analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

5. Dalam hal penyusunan laporan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

29

6. Dalam hal presentasi kelompok pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul

7. Dalam hal menyimpulkan hasil diskusi pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul.

e. Hasil Tes Hasil tes akhir dapat diperhatikan

pada tabel berikut: TABEL III: HASIL TES AKHIR DALAM MENYAJIKAN DATA KE BENTUK GRAFIK PADA PRODI BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA PAMEKASAN (SIKLUS I)

No Nama Mahasiswa Hasil Tes

1. SITI MUAZZAH 6,5 2. FARIYANTI 6,5 3. FATLAN 5 4. MOH. HASANUDDIN 5 5. MOH. MUHYI 6,5 6. MOH. YAMIN 5 7. ABDURRAHMAN 6,5 8. ABD. ROFIK 6 9. HOSRIYATI 4 10 ULFATUL JANNAH 7 11. SAHRONI 6,5 12. SULISWATI 6,5 13 SITI ROHMAH 5 14. NURUL KOMARIYAH 7 15. ULUL ALBAB 5 16. TAUHIDA 5 X 93

Dari data tersebut maka rata-rata

hasil belajar dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik pada siklus satu adalah:

M = NX

93

= 16

= 5,81 Sedangkan hasil tes akhir siklus dua

dapat diperhatikan pada tabel berikut: TABEL IV: HASIL TES AKHIR DALAM MENYAJIKAN DATA KE BENTUK GRAFIK PADA PRODI BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA PAMEKASAN (SIKLUS II)

No Nama Mahasiswa Hasil Tes

1. SITI MUAZZAH 7 2. FARIYANTI 8 3. FATLAN 6 4. MOH. HASANUDDIN 8 5. MOH. MUHYI 7 6. MOH. YAMIN 5 7. ABDURRAHMAN 8 8. ABD. ROFIK 8 9. HOSRIYATI 5 10 ULFATUL JANNAH 7 11. SAHRONI 8 12. SULISWATI 7 13 SITI ROHMAH 7 14. NURUL KOMARIYAH 7 15. ULUL ALBAB 8 16. TAUHIDA 6 X 112

Dari data tersebut maka rata-rata hasil belajar pada siklus satu adalah sebagai berikut:

∑X M =

N

112 =

16 = 7,00

f. Keberhasilan 1. Ada 9 mahasiswa diantara 16

mahasiswa pada siklus satu berhasil dalam belajarnya

2. Ada 14 mahasiswa diantara 16 mahasiswa pada siklus dua berhasil dalam belajarnya

g. Kegagalan 1. Pada siklus satu sebanyak 7

mahasiswa dari 16 mahasiswa memperoleh nilai rendah

2. Pada siklus dua sebanyak 2 mahasiswa diantara 16 mahasiswa memperoleh nilai yang rendah.

B. Pembahasan dari Setiap Siklus a. Pada saat pelaksanaan

perkuliahan, kegiatan awal memiliki jatah waktu 10 menit, dimulai dengan membuka materi perkuliahan, menciptakan kelas yang kondusif, menyiapkan alat materi perkuliahan dan alat peraga, menginformasikan materi yang akan dibahas dan langkah-

30

langkah kegiatan belajar yang akan ditempuh mahasiswa, memotivasi mahasiswa yaitu melakukan apersepsi melalui proses tanya jawab materi materi perkuliahan sebelumnya tentang istilah dasar statistik. Kegiatan Inti memiliki jatah waktu 70 menit, dimulai dengan penjelasan dalam menyajikan data ke bentuk grafik, yang dalam hal ini juga dilengkapi dengan media gambar, bertanya jawab dalam menyajikan data ke bentuk grafik, dan mahasiswa mengerjakan tugas untuk menyajikan data ke bentuk grafik. kegiatan akhir. kegiatan akhir memiliki jatah waktu 10 menit, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: 1. Memberikan reinforcement

terhadap tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa.

2. Melaksanakan tes akhir, yang mencakup semua materi yang disajikan sesuai dengan tujuan perkuliahan.

3. Kegiatan akhir berikutnya, mahasiswa diberi tugas pekerjaan rumah untuk menyajikan data ke bentuk grafik.

4. Menutup perkuliahan dengan bersama-sama membaca hamdalah dan diakhiri dengan salam penutup.

b. Berdasarkan hasil penelitian siklus satu sebagaimana terdapat pada bab sebelumnya, maka dalam hal merumuskan masalah berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan termasuk kategori muncul. Dalam hal identifikasi masalah termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal analisis masalah termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan termasuk dalam kategori tidak muncul. Dalam hal penyusunan laporan termasuk dalam kategori tidak muncul. Dalam hal presentasi kelompok termasuk dalam kategori tidak muncul. Dalam hal menyimpulkan hasil diskusi termasuk dalam kategori muncul.

c. Sedangkan hasil penelitian tentang penggunaan metode diskusi pada siklus dua terjadi adanya peningkatan, dalam hal merumuskan masalah berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal identifikasi masalah pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal analisis masalah pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal penyusunan laporan termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal presentasi kelompok termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal menyimpulkan hasil diskusi termasuk dalam kategori muncul.

d. Rata-rata hasil tes siklus satu = 5,81 e. Rata-rata hasil tes dalam menyajikan

data ke bentuk grafik siklus dua = 7,00 f. Ada 9 mahasiswa diantara 16

mahasiswa pada siklus satu berhasil dalam belajarnya

g. Ada 14 mahasiswa diantara 16 mahasiswa pada siklus dua berhasil dalam belajarnya

h. Pada siklus satu sebanyak 7 mahasiswa dari 16 mahasiswa memperoleh nilai rendah

i. Pada siklus dua sebanyak 2 mahasiswa diantara 16 mahasiswa memperoleh nilai yang rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Berdasarakan data perkuliahan siklus satu dan siklus dua, hasil penelitian dan hasil tes akhir maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil penelitian siklus

satu dalam hal analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan termasuk kategori tidak muncul, dalam hal penyusunan laporan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk kategori tidak muncul, dalam hal presentasi kelompok pada saat menggunakan metode diskusi termasuk kategori tidak muncul, merumuskan masalah berdasarkan

31

topik bahasan dan tujuan perkuliahan termasuk kategori muncul, dalam hal identifikasi masalah termasuk kategori muncul, dalam hal analisis masalah termasuk kategori muncul, dalam hal menyimpulkan hasil diskusi termasuk kategori muncul.

2. Sedangkan hasil penelitian tentang penggunaan metode diskusi pada siklus dua, dalam hal merumuskan masalah berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan termasuk dalam kategori muncul, dalam hal identifikasi masalah termasuk dalam kategori muncul, dalam hal analisis masalah termasuk dalam kategori muncul, dalam hal analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan termasuk dalam kategori muncul, dalam hal penyusunan laporan pada saat menggunakan metode diskusi termasuk dalam kategori muncul, dalam hal presentasi kelompok termasuk dalam kategori muncul, dalam hal menyimpulkan hasil diskusi termasuk dalam kategori muncul.

3. Rata-rata hasil tes d pada siklus satu = 5,81, dan rata-rata hasil tes pada siklus dua = 7,00.

4. Ada 9 mahasiswa diantara 16 mahasiswa pada siklus satu berhasil dalam belajarnya, dan ada 14 mahasiswa diantara 16 mahasiswa pada siklus dua berhasil dalam belajarnya.

5. Pada siklus satu sebanyak 7 mahasiswa dari 16 mahasiswa memperoleh nilai rendah, dan pada siklus dua sebanyak 2 mahasiswa diantara 16 mahasiswa memperoleh nilai yang rendah.

2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas

maka dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Dalam hal merumuskan masalah

berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan hendaknya diarahkan pada tujuan perbaikan perkuliahan agar hasil belajar tercapai secara maksimal.

2. Dalam mengidentifikasi masalah hendaknya diacukan pada sub-sub persoalan yang ditemukan dalam perkuliahan.

3. Dalam analisis masalah hendaknya dilengkapi dengan uraian-uraian

sampai pada bagian yang sekecil-kecilnya

4. Dalam analisis masalah atau topik pembahasan hendaknya disusun sebelumnya sehingga dalam hal pengelompokan mahasiswa dapat diarahkan pada pengelompokan atas dasar kesamaan minat.

5. Dalam hal penyusunan laporan hendaknya mendapatkan arahan dari pembelajar secara intensif agar dapat dipresentasikan dengan baik oleh wakil-wakil kelompok

6. Dalam hal presentasi kelompok hendaknya pembelajar bertindak sebagai moderator agar pada saat memasuki tanggapan pembicaraan tidak didominasi oleh salah seorang mahasiswa.

7. Dalam menyimpulkan hasil diskusi hendakmya memberi peluang pada mahasiswa untuk membuat catatan penting.

DAFTAR PUSTAKA Abin Syamsudin dan Budiman Nandang.

(2005). Profesi Kepembelajaran 2. Jakarta: Universitas Terbuka.

Andayani dkk. (2007) Penelitian Tindakan kelasl. Jakarta: Universitas Terbuka.

Atif Sadiman. 2005. Media Pendidikan.

Jakarta:Rajawali Asmawi Zainul dan Agus Mulyana.

(2005). Tes dan Asesmen di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Asep Herry Hermwan, dkk. (2006).

Pengembangan Kurikulum dan Perkuliahan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Departemen Pendidikan Nasional. (2004).

Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004. Jakarta:Depdiknas.

. Denny Setiawan, dkk. (2005). Komputer

dan Media Perkuliahan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Hadiyanto Umaedi. dan Mahasiswantari.

(2007). Manajemen Berbasis

32

Sekolah. Jakarta: Universitas Terbuka.

H. Dinn Wayudin. (2004). Penelitiantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Herrhyanto, Nar dan Hamid, HM. Akib.

(2005). Statistika Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka.

I. G. A. K. Wardani. (2004). Penelitian

Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.

J.J. Hasibuan, dan Moedjiono. (2004).

Proses Belajar Mengajar. Bandung:Remadja Rosdakarya.

JRE. Kiswoyo Kaligis, Samidjo Broto dan

Miarsyah, Mieke. (2007). Pendidikan Lingkungan Hidup. Jakarta: Universitas Terbuka.

Mohammad Ali. (1992). Konsep dan

Penerapan CBSA dalam Pengajaran. Bandung:Sarana Pancakarya.

Mikarsa, Hera Lestari. Taufk, Agus dan

Priyanto, Puji Lestari. (2005).

Pendidikan Anak di SD. Jakarta : Universitas Terbuka.

Muhsetyo, Gatot dkk. (2005). Perkuliahan

Statistik SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Mulyani Sumantri, dan Syaodih, Nana.

(2005). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.

Nana Sudjana. (1996). CBSA Dalam

Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Oemar Hamalik. (1991). Strategi Belajar

Mengajar Berdasarkan CBSA. Bandung: Sinar Baru

Suciati dkk. (2005). Belajar dan

Perkuliahan 2. Jakarta: Universitas Terbuka.

Suprayekti dkk. (2005). Pembaharuan

Perkuliahan di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Udin S. Winata Putra (2005). Strategi Belajar

Mengajar. Jakarta: Uniersitas Terbuka.

33

IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN

SASTRA ANAK DI SEKOLAH DASAR (Sebuah Tinjauan Teori Pembelajaran Sastra Anak)

H. Sulistiyono

Abstrak

Pendekatan kontekstual dan strategi kontekstual merupakan salah satu pendekatan dan strategi pembelajaran yang dapat dipilih dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pemilihan tersebut didasarkan pada beberapa alasan: (1) guru dapat mendorong siswa mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, (2) guru dapat mengkondisikan siswa mengalami langsung bukan menghafal atau transfer pengetahuan dari guru, dan (3) guru dapat memaksimalkan pemanfaatan berbagai lingkungan belajar dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Tantangan bagi guru adalah bagaimana mendesain lingkungan belajar yang memungkinkan siswa mampu mengaitkan berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi dengan pembelajaran yang dilaksanakan. Adapun prosedur secara garis besar desain pendekatan dan strategi pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) mengkondisikan pembelajaran yang lebih bermakna dengan cara membuat siswa bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan yang baru, (2) mengkondisikan aktivitas inkuiri dalam setiap pembelajaran, (3) mengkondisikan kelas dengan kegiatan yang menghidupkan aktivitas bertanya, (4) mengemas pembelajaran yang menjadikan kelas menjadi masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok), (5) melakukan pemodelan dari siapa saja dalam bentuk apa saja sebagai contoh pembelaaran, (6) mengadakan refleksi di akhir pertemuan, dan (7) menggunakan penilaian autentik dalam berbagai bentuk pada setiap pembelajaran. Kata Kunci: pendekatan kontekstual, sastra anak, sekolah dasar,

kurikulum tingkat satuan pendidikan.

*) Dosen FKIP-UT

Pendahuluan Siswa akan tumbuh kesenangan

belajar jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami langsung apa yang dipelajarinya, bukan mengetahui dari guru. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil belajar. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi pembelajaran daripada memberi informasi. Dengan demikian, pengalaman belajar tidak hanya berorientasi pada guru dan buku teks, tetapi juga dapat dikemas melalui penggunaan pendekatan dan strategi pembelajaran.

Pendekatan kontekstual dan strategi pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pendekatan dan strategi pembelajaran yang dapat dipilih dalam Kurikulum 2006. Beberapa hal yang mendasari pemilihan yaitu (1) sebuah pendekatan atau strategi pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri, (2) siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal atau tranfer dari guru, dan (3) pemanfaatan lingkungan belajar yang tidak berbatas artinya guru didorong untuk mendesain

34

lingkungan belajar yang memungkinkan untuk mengaitkan berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi dalam mencapai hasil belajar.

Pendekatan pembelajaran kontekstual lebih mengutamakan pemanfaatan lingkungan belajar siswa. Konsep belajar tersebut dirancang dan dilaksanakan berbeda dengan belajar secara tradisional. Perbedaan tersebut bukan hanya dalam pembuatan silabusnya, pemilihan materi, pemanfaatan media atau sumber, penggunaan alat evaluasi, dan efek interaksinya, tetapi juga perolehan kompetensinya yang mencakup pengembangan aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak siswa.

Disamping pendekatan atau strategi pembelajaran kontekstual, bahan atau materi juga layak untuk dipertimbangkan baik yang terkait dengan pengetahuan dan pengalaman guru yakni kekayaaan pengalaman yang tumbuh dari perhatian terhadap dunia anak-anak sehingga menjadikan paham tentang sastra anak-anak; ataupun yang terkait dengan cocok tidaknya pemilihan bahan dengan dunia anak, selera anak, serta pemanfaatan bahan yang sesuai dengan konteks dunia anak. Oleh karena itu, sastra anak-anak yang dipilih isinya dalam jangkauan pengalaman dan pemahaman anak, sebagaimana dicontohkan oleh Huck, dkk. (1987:5), the feeling of nostalgiais an adult emotion that is foreign to most boys and girls. Children seldom look back on the childhood, but always forward. Such a sentimental, nostalgic book as childhood is a time of innoncence by Joan Walsh Angunld is not for children but is about childhood.

Pendekatan Pembelajaran Kontekstual

Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Pembelajaran ini memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota

keluarga, sebagai anggota masyarakat dan nantinya sebagai tenaga kerja ( Kasihani, 2003:1).

Mirip dengan definisi di atas Suparno (2003:2) mendefinisikan pendekatan kontekstual merupakan pembelajaran yang memiliki acuan konsep mengajar dan belajar yang membantu guru dalam menghubungkan mata pelajaran (konten) dengan situasi nyata dan yang memotivasi siswa dalam menghubungkan pengetahuan dan menerapkan pengetahuannya itu dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda sudut pandang dengan kedua definisi di atas Depdiknas (2002:8) mendefinisikan pendekatan kontekstual sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengkaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks dimana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau gaya/cara siswa belajar.

Berdasarkan ketiga definisi di atas dapat dirumuskan definisi pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Komponen Pendekatan Kontekstual

Pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki tujuh

35

komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian autentik (Authentic Assessment). Ketujuh komponen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

Konstruktivisme(Constructivism) Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekaligus. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diingat dan diperoleh. Manusia yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa yang mengambil peran dalam waktu belajar. Penemuan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian pokok dari kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan hasil dari menemukan sendiri. Diharapkan guru dapat mengemas pembelajarannya yang menjadikan siswa menemukan sendiri persoalan dan pemecahannya. Adapun siklus inkuiri yaitu observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. Bertanya (Questioning) Bertanya merupakan strategi yang utama dalam pendekatan kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam menggali informasi, mengkonfirmasikan

apa yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Aktivitas bertanya dapat dilakukan pada kegiatan siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, dan ketika sedang mengamati. Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar mengisyaratkan agar hasil belajar diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok atau bahkan dengan orang di sekitarnya. Masyarakat belajar akan terjadi apabila terjadi proses komunikasi dua arah. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, ketrampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Pemodelan (Modeling) Dalam sebuah pembelajaran, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada dasarnya menbahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemontrasikan agar siswanya belajar, melakukan agar siswa-siswanya melakukan. Dalam pendekatan kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model bisa ditunjuk dari siswa atau orang ahli yang didatangkan. Reflkesi (Reflection) Reflkesi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa yang lalu. Refleksi meruppakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru diterima.

36

Siswa mengendapkan pengetahuan yang baru diperoleh sebagai struktur pengatehuan yang baru. Untuk itu guru perlu mengadakan refleksi dalam akhir kegiatan pembelajarannya. Penilaian Autentik (Authentic Assessment) Authentic Assessment adalah prosedur penilaian pada pendekatan pembelajaran kontekstual. Prinsip yang digunakan dalam penilaian dan ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai berikut: (1) harus mengukur semua aspek pembelajaran yang mencakup proses, kinerja, dan produk; (2) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran; (3) tes hanya salah satu cara atau alat pengumpul data penilaian dalam arti pertanyaan yang dijawab adalah apakah anak-anak belajar?, bukan apa yang sudah diketahui? Jadi siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara, tidak hanya dari hanya dari hasil tes; dan (4) penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya (kuantitas). Strategi Pembejaran Kontekstual Beberapa pakar telah mengemukakan strategi pembelajaran kontekstual yang pada umumnya hampir sama hanya ada sedikit perbedaan penekanan. Blanchard (dalam Kasihani, 2003:3) menawarkan strategi pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) menekankan pentingnya pemecahan masalah, (2) mengakui perlunya kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan dalam berbagai konteks seperti rumah, masyarakat, dan tempat kerja, (3) mengajar siswa memantau dan mengarahkan pembelajaran mereka agar menjadi siswa yang dapat belajar sendiri, (4) menekankan pelajaran pada konteks yang berbeda-beda, (5) mendorong siswa belajar dari sesama teman dan belajar bersama, dan (6) menggunakan peniliaian otentik. Sedangkan COR yaitu Center for Occupational Researrch di Amerika (dalam Suparno, 2003:3) menyusun strategi kontekstual sebagai berikut: (1) Relating adalah bentuk belajar dalam

konteks kehidupan nyata atau pengalaman nyata. Pembelajaran harus digunakan untuk menghubungkan situasi sehari-hari demham informasi baru untuk dipahami tau dengan problem untuk dipecahkan; (2) Experiencing adalah belajar dalam konteks kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Kegiatan ini merupakan jantungnya belajar kontekstual; (3) Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan pengalaman hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam penerapan ini siswa menerapkan konsep dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang dibayangkan; (4) Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi. Bentuk belajar ini tidak hanya membantu siswa belajar tentang materi, tetapi juga konsisten dengan penekanan belajar kontekstual dalam dunia nyata. Dalam kehidupan nyata siswa akan menjadi warga yang hidup berdampingan dan berkomunikasi dengan warga lain; dan (5) Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuandan pengalaman belajar yang baru. Mengacu pada sejumlah strategi belajar yang ditawarkan di atas maka dapat dirumuskan prosedur secara garis besar penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) mengkondisikan pembelajaran yang lebih bermakna dengan cara membuat siswa bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan yang baru, (2) mengkondisikan sktivitas ingkuiri dalam setiap kegiatan pembelajaran, (3) kondisikan kelas dengan kegiatan yang

37

menghidupkan aktivitas bertanya, (4) kemas pembelajaran yang menjadikan kelas menjadi masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok), (5) lakukan pemodelan dari siapa saja dalam bentuk apa saja sebgai contoh pembelajaran, (6) adaka refleksi di setiap akhir pertemuan, dan (7) gunakan penilaian otentik dalam berbagai bentuk pada setiap pembelajaran. Pengembangan Materi dalam Pembelajaran Kontekstual

Materi pembelajaran sebagai

komponen dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan. Sebab walaupun guru sangat paham terhadap berbagai strategi akan tidak ada artinya jika keberadaan materi pembelajaran diabaikan. Untuk itu, guru sudah selayaknya memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal yang berkaitan dengan materi pembelajaran.

Dalam menyiapkan materi pembelajaran guru hendaknya (1) mempelajari kompetensi dasar, indikator, dan hasil belajar, (2) mempelajari hal-hal (fokus pembelajaran), urutan, keutuhan, urutan tingkat kesulitan dan satuan-satuan pengalaman belajar yang secra potensial dapat dibuahkan lewat materi pembelajaran dalam satuan waktu tertentu, (3) mempelajari hubungan antara hal-hal dan

pengalaman belajar yang dapat membuahkan materi pembelajaran yang akan digunakan dengan satuan materi pembelajaran sebelumnya dan sesudahnya, (4) mempelajari kesesuaian materi pembelajaran yang akan digunakan dengan tingkat perkembangan anak, konteks lingkungan kehidupan sosial budaya, dan (5) memperhatikan kedalaman dan keluasan materi yang akan diajarkan.

Dalam konsep Kurikulum KTSP 2006 dan Konsep Pendekatan Kontekstual, istilah materi bukan hanya dibatasi pada materi berupa buku pelajaran. Apa yang disebut sebagai Materi dapat berupa realitas berujud obyek, peristiwa, dongeng, gambar, dan lain-lain (Norton,

1994). Sebab itulah materi pembelajaran sebagai materials (bahan-bahan) dapat mengacu pada berbagai sesuatu yang secara potensial dapat dijadikan springboard yang akan dikemas oleh guru melalui strategi pembelajaran. Dengan demikian, pengemasan materi tersebut dapat membuahkan pengalaman belajar baik berupa kognitif, keterampilan, sikap, maupun nilai-nilai tertentu.

Agar materi tidak meluas dan melebar dalam penjabaran dan penyesuaiannya dengan kemampuan dasar maka digunakan kriteria penyeleksian sebagai berikut: (1) Sahih (Valid), dalam arti materi yang akan dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kesahihannya. Materi tersebut aktual tidak ketinggalan zaman dan prospektif; (2) Tingkat kepentingan, dalam arti memilih materi perlu mempertimbangkan pertanyaan berikut: Mengapa materi itu penting dipelajari? Penting untuk siapa? Di mana materi itu penting untuk diberikan? Dengan demikian, materi yang dipilih tentunya benar-benar diperlukan oleh siswa; (3) Kebermanfaatan, dalam arti dilihat dari semua sisi, baik secara akademis maupun nonakademis. Bermanfaat secara akademis artinya guru harus yakin bahwa materi yang diajarkan dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Bermanfaat secara nonakademis maksudnya bahwa materi yang diajarkan dapat mengembangkan kecakapan hidup (life skills) dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari; (4) Layak dipelajari, artinya materi tersebut memungkinkan untuk dipelajari baik dari aspek tingkat kesulitan maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan bahan ajar dan kondisi setempat; (5) Menarik minat, dalam arti materi yang

38

dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi siswa untuk mempelajarinya lebih lanjut. Materi tersebut dapat menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka (Depdiknas, 2002:7).

Materi Sastra Anak dalam Pembelajaran Kontekstual di Sekolah Dasar Guru di samping harus memiliki pengetahuan tentang kriteria pemilihan materi secara umum, juga harus memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang kritria pemilihan materi secara khusus pembelajaran sasatra anak-anak. Pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud adalah kekayaan pengetahuan dan pengalaman yang tumbuh dari perhatian terhadap dunia anak-anak dan penghayatan atas kompleksitas dunia kehidupan yang nantinya juga mesti dimasuki anak-anak. Di samping itu, guru juga harus (1) memiliki kekayaan materi cerita anak-anak dan (2) koleksi buku cerita anak dan majalah anak, (3) dongeng-dongeng yang ada di sekitar sekolah anak.

Perspektif penulis dalam tulisan ini melihat materi tidak terfokus pada perihal unsur-unsur signifikan dalam karya sastra, teori, dan sejarah sastra melainkan pada karekteristik unsur signifikan tersebut ditinjau dari konsepsi teori belajar, tingkat perkembangan siswa, dan pendekatan pembelajaran kontekstual.

Mengacu pada tahap perkembangan kognitif Piaget’s, Cullinan mengemukakan bahwa kegiatan bersastra secara reseptif sudah bisa dirintis sejak anak usia 18 bulan – 2 tahun (tahap sensori motor). Pada tahap ini, orang tua sudah perlu memperkenalkan buku bergambar dan menceritakannya pada anak. Pada usia 2 – 7 tahun (tahap praoperasional), anak sudah bisa memahami cerita sebagaimana yang didongengkan dan dibacakan orang tua. Hanya saja pada tahap ini anak belum bisa membedakan antara fantasi dan kenyataan. Berbeda dengan tahap praoperasional, tahap operasional

kongkrit (7 – 11 tahun), anak sudah mulai bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi. Anak yang bermain dengan boneka dan mengidentifikasikan diri sebagai ibu, ketika ditanya orang tuanya: apakah bayinya sudah diberi susu?; dengan jengkel anak akan menjawab: ini hanya boneka mainan.

Pada tahap operasional formal yakni usia 11 tahun ke atas, siswa sudah mampu melakukan penalaran. Pada tahap ini anak sudah mampu melakukan upaya pemahaman melalui penggunaan hipotesis dan implementasi konsep ataupun prinsip. Sebagai contoh ketika anak membaca cerita detektif “Pelarian dari Kota”, berdasarkan gambar sampul mereka sudah dapat menggambarkan kemungkinan isi cerita yyang akan dibacanya. Gambaran kemungkinan tersebut, lebih lanjut terkembangkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru menambah rasa ingin tahu mereka. Demikian juga, tentang konsepsi cerita yang memiliki rangkaian isi, pelaku, perwatakan, dan setting juga akan mengarahkan daya tangkap atau pemahaman mereka dalam proses membaca yang dilakukannya (Cullinan, 1989: 12-13).

Berdasarkan gambaran dunia anak dan munculnya rasa bersastra anak, maka dapat dibuat rumusan definisi sastra anak-anak yang tepat. Sastra anak-anak adalah cerita yang dibuat anak-anak atau crita yang dibuat oleh orang dewasa untuk dikonsumsikan anak-anak dengan bahasa dan unsur intrinsik yang sederhana, jelas, dan menarik.

Mengacu pada gambaran dunia anak di atas, Huck (1987: 32-39) mengemukakan pedoman tentang memilih materi sastra anak-anak. Pedoman pemilihan materi tersebut adalah (1) perlunya untuk memilih, (2) prinsip-prinsip dalam memilih, (3) siapa yang akan memilih materi?, (4) kualitas

39

materi, (5) isi yang tepat, (6) kebutuhan-kebutuhan dan selera anak, dan (7) kebutuhan-kebutuhan kurikulum sekolah.

Pengembangan Rencana Pembelajaran Kontekstual Dalam pembelajaran kontekstual, rencana pembelajaran lebih merupakan kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessment-nya. Berbeda dengan rencana yang dikembangkan paham yang bukan konstrukstivis, penekanan program pada pembelajaran kontekstual bukan pada rincian dan kejelasan tujuan, tetapi pada gambaran kegiatan tahap demi tahap dan media yang dipakai. Perumusan tujuan yang rinci bukan menjadi perioritas dalam penyususnan rencana pembelajaran kontekstual, mengingat yang akan dicapai bukan semata-mata hasil, tetapi lebih pada strategi belajar. Secara umum, tidak ada perbedaan mendasar format antara rencana pembelajaran konvensional dan rencana pembelajaran kontekstual. Pembedanya, hanya pada penekanannya. Rencana pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan rencana untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar tersebut, dalam penyusunan rencana pembelajaran kontekstual guru diharapkan memperhatikan hal-hal berikut: (1) menyatakan kegiatan utama pembelajarannya, (2) menyatakan tujuan umum pembelajarannya, (3) merinci media untuk mendukung kegiatan tersebut, (4) membuat skenario tahap demi tahap kegiatan siswa, dan (5) menyatakan authentic assessment-nya.

Penutup

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan peluang kepada sekolah dan guru. Peluang tersebut antara lain indikator keberhasilan kompetensi dasar menjadi domain guru. Guru diharapkan kreatif mengemas pembelajaran yang dapat menjadikan anak senang belajar. Demikian juga, sekolah diharapkan dapat menjadi agen penataan dan perubahan kehidupan masyarakatnya. Hal ini, tentu menjadi tantangan bagi kepala sekolah, guru dan seluruh komponen sekolah. Karena ketidaksanggupan kepala sekolah, guru, dan seluruh komponen sekolah peluang kesempatan otonomi sekolah dan pemanfaatan lingkungan belajar yang kontekstual akan diambil alih oleh birokrasi pendidikan dan penerbit buku.

DAFTAR RUJUKAN Aminuddin. 1988. Strategi

Pembelajaran Apresiasi Prosa di Sekolah Dasar. Makalah disajikan dalam Seminar Regional. Malang: Program Pasca Sarjana IKIP Malang.

Bogdan, Robert C. Dan Sari

Knopp Biklen dalam terjemahan Munandir. 1982. Riset Kualitatif untuk Pendidikan: PengantarTteori dan Metode. Jakarta: Universitas Terbuka.

Cullinan, Bernice E. 1989.

Literature and The Child. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.

40

Depdiknas. 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas.

Huck, dkk. 1987. Children Literature In

The Elementary School. New York: Holt Rinehart.

K. E. Suyanto, Kasihani. 2003.

Pembelajaran Berbasis CTL. Malang: FKSS UM Malang

Kemmis, Stephen dan McTaggart, Robin.

1988. An Action Research Planner. Victoria: Deakin University.

McNiff, Jean. 1992. Action Research:

Principles and Practice. London: Macmilan Education Ltd.

Miles, Matthew B. Dan A. M. Huberman.

1992. Analisis Data Kualitatif Terjemahan Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Nasution, 1992. Metode Penelitian

Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Suparno. 2003. Pembelajaran Bahasa

Indonesia Kontekstual. Malang: FKSS UM Malang.

Stewig, John Warren. 1980. Children and Literature. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.

41

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DALAM MENULISKAN LAMBANG PECAHAN MELALUI PENGGUNAAN METODE DISKUSI DI

KELAS IV SDN REK-KERREK III KECAMATAN PALENGAAN KABUPATEN PAMEKASAN

Oleh: Adrawi Zaini

Abstrak

Suatu problematika diajukan “bagaimana upaya peningkatan hasil belajar matematika dalam menuliskan lambang pecahan melalui penggunaan metode diskusi di Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan. Tujuan yang ingin dicapai adalah mendeskripsikan hasil belajar matematika dalam menuliskan lambang pecahan Kelas IV SDN Rek-Kerrek III dan mendeskripsikan langkah-langkah penggunaan metode diskusi dalam pembelajaran. Lokasi yang ditempati penelitian adalah SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan. Waktu pelaksanaan penelitian dari masing-masing siklus adalah sebagai berikut adalah Tanggal 10 Maret 2009 untuk siklus I dan Tanggal 14 Maret 2009 untuk siklus II. Mata pelajaran yang disajikan adalah matematika khususnya dalam menuliskan lambang pecahan. Kelas yang dijadikan ruang pelaksanaan praktek perbaikan baik siklus satu maupun siklus dua adalah Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan. Karakteristik siswa ditinjau dari sudut usia berkisar 10 - 11 tahun. Karena usia rata-rata adalah 10 – 11 tahun, dan kemampuan siswa dianggap homogen maka dalam pembelajaran dilaksanakan sistem klasikal. Hasil yang dicapai pada siklus dua terjadi adanya peningkatan yaitu dalam memusatkan perhatian, memperjelas masalah dan uraian pendapat, menganalisis pandangan, meningkatkan uraian, menyebarkan kesempatan berpartisipasi, merumuskan permasalahan untuk menuliskan lambang pecahan, dalam membimbing siswa untuk merumuskan dan mengidentifikasi permasalahan serta menarik kesimpulan untuk menuliskan lambang pecahan, dalam mengelompokkan siswa sesuai dengan kebutuhan permasalahan dan pengembangan kemampuan siswa, dalam penguasaan permasalahan yang didiskusikan, memotivasi, meningkatkan perhatian, dan minat untuk menuliskan lambang pecahan, pada saat kegiatan inti pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, kemampuan belajar secara bersama untuk menuliskan lambang pecahan, kemampuan mengeluarkan isi pikiran atau pendapat atau ide untuk menuliskan lambang pecahan, dalam memahami pendapat orang lain untuk menuliskan lambang pecahan, dalam menutup diskusi pada kegiatan akhir pembelajaran termasuk kategori muncul, ada sebanyak 18 diantara 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan pada siklus satu berhasil dalam belajarnya, ada sebanyak 25 dari 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan pada siklus dua berhasil dalam belajarnya, ada sebanyak 8 dari 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan memperoleh nilai rendah pada siklus I dan siklus II ada sebanyak 1 dari 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan memperoleh nilai yang rendah. Jadi terlihat ada peningkatan. Kata Kunci: hasil belajar, metode diskusi

I. PENDAHULUAN Kurikulum disusun untuk me-

wujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkem-bangan peserta didik dan kesesuaian-nya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian sesuai dengan jenis dan jenjang

masing-masing satuan pendidikan. Dengan demikian maka kuri-kulum Sekolah Dasar perlu memper-timbangkan lingkungan di mana sekolah tersebut berada. Masih banyak ditemui berbagai masalah implemen-tasi pembelajaran. Salah satu penye-babnya adalah padatnya materi pelajaran dan langkahnya model pembelajaran yang kreatif dan bervariasi

42

sehingga mengakibatkan munculnya pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru dan bukan pada muid.

Pada prinsipnya siswa sebagai peserta didik menurut Hera Lestari Mikarsa, (2005:1.2) memiliki common sense tentang belajar, yakni bahwa belajar memiliki peranan yang sangat penting. Atas dasar itulah maka siswa selalu termotivasi untuk belajar. Di samping itu siswa menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk individual dan makhluk sosial sehingga siswa termotivasi untuk mencapai kebutu-hannya yakni kebutuhan belajar. Siswa pada hakikatnya adalah makhluk sosial, yang sejak lahir tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Siswa akan merasa berbahagia kalau dia bukan hanya karena memperoleh bantuan dari sesama manusia, akan tetapi juga dia memberikan bantuan kepada orang lain sesuai dengan kemampuan yang dia miliki Winataputra, S.U., 2003:1.9).

Keberhasilan dalam mencapai tugas/sesuatu yang menantang menurut Hera Lestari Mikarsa (2005:5.28) dapat membuat siswa lebih kompeten, sehingga meningkat-kan self efficasy-nya. Guru bertindak sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing, sedangkan murid adalah belajar dan belajar. Belajar menurut Gagne (dalam Winataputra, S.U., 2005:2.3) adalah suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.

Ada tiga atribut pokok atau ciri utama belajar yakni proses, perubahan perilaku, dan pengalaman. Dilihat dari dimensi proses Winataputra, S.U. (2005:2.3) mengemukakan bahwa belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan. Jadi peserta didik dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif.

Pembelajaran merupakan kegi-atan yang bertujuan yang banyak melibatkan aktivitas siswa dan aktivitas guru, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah disusun di perlukan alternatif metode pembe-lajaran yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Menurut Sudjana, N (2004:76) proses belajar mengajar yang baik hendaknya mempergunakan berbagai jenis metode mengajar secara bergantian atau

saling bahu membahu satu sama lain. Metode mengajar merupakan salah satu komponen yang harus ada dalam kegiatan pembe-lajaran. Pada dasarnya metode menga-jar merupakan suatu cara atau tehnik yang digunakan oleh guru dalam melakukan interaksi dengan siswa dalam proses pembelajaran. Metode mengajar menurut Sudjana, N (2004:76) adalah cara yang diper-gunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat pembelajaran berlangsung. Masing-masing metode ada kelemahan serta keuntungannya. Sehubungan dengan hal tersebut maka tugas guru menurut Sudjana, N (2004:77) adalah memilih berbagai metode yang tepat untuk menciptakan proses belajar mengajar. Ketepatan penggunaan metode menga-jar sangat bergantung kepada tujuan. Menurut Winataputra, S.U. (2005: 4.13) metode mengajar yang diper- gunakan adalah: (1) Metode Ceramah (lecture), (2) Metode Diskusi, (3) Metode Simulasi, (4) Metode Diskusi, dan (5) Metode Eksperimen. Sedang-kan metode mengajar yang sampai saat ini masih banyak dipergunakan dalam proses belajar mengajar menurut Sudjana, N (2004:89) adalah sebagai berikut: (1) Metode Ceramah, (2) Metode Tanya Jawab, (3) Metode Diskusi, (4) Metode Tugas Belajar dan Resitasi, (5) Metode Kerja Kelompok, (6) Metode Diskusi dan Eksperimen, (7) Metode Sosiodrama, (8) Metode Problem Solving, (9) Metode Latihan, (10) Metode Karya Wisata, (11) Metode Resource Person (Manusia Sumber), dan (12) Metode Simulasi.

Dengan banyaknya metode mengajar sebagaimana disebutkan di atas maka peranan metode mengajar sebagai alat dan cara dalam menciptakan proses belajar mengajar memegang posisi penting. Dengan metode mengajar diharapkan dapat tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dalam proses pembe-lajaran seorang guru mempunyai harapan agar nantinya siswa dapat menguasai materi yang telah disajikan sehingga pada akhirnya terjadi perubahan-perubahan perilaku yang baik

43

yang berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Karena itu ketepa-tan penggunaan metode mengajar sangat bergantung kepada tujuan, isi proses belajar mengajar, dan kegiatan belajar mengajar itu sendiri atau dengan kata lain, terciptanya interaksi edukatif. Karena dalam interaksi guru berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan siswa berpe-ran sebagai penerima atau yang dibimbing.

Menurut Sudjana, N (2004:76) proses interaksi akan berjalan baik kalau siswa banyak aktif dibandingkan dengan guru. Oleh karenanya metode mengajar yang baik adalah metode yang dapat menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Lain halnya dengan pendapat Muhammad Ali (1992:38) proses interaksi yang terjadi dalam pembelajaran tergantung pada pende-katan yang digunakan. Pendekatan imposisi mempunyai ciri, guru menyampaikan bahan pelajaran dengan melalui penuturan, atau dengan dilontarkan (ekspositoris) isi pelajaran kepada siswa. Memang secara tradisional menurut Muhammad Ali (1992:24) mengajar diartikan sebagai suatu proses penyampaian pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa sebagaimana yang dituntut dalam penguasaan mata pelajaran tersebut.

Dari pengertian tersebut maka jelaslah bahwa inti kegiatan mengajar adalah menyampaikan bahan pelajaran, dan menghafalkan apa yang diajarkan atau terhadap apa yang dijelaskan oleh guru. Kenyataan untuk sementara ini menunjukkan adanya indikasi yang teridentifikasi seperti berikut: 1. Metode diskusi telah digunakan dalam

menyajikan materi pelajaran Matematika khususnya dalam menuliskan lambang pecahan di Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.

2. Ada sebagian siswa aktif memperhatikan penjelasan dan dapat menyelesaikan tugas pembelajaran dalam menuliskan lambang pecahan dengan baik pada saat berdiskusi, dan setelah diberi tes akhir hasil belajar siswa lemah, dan ada sebagian siswa aktif memperhatikan penjelasan dan dapat menyelesaikan tugas pembelajaran dalam menuliskan lambang pecahan dengan baik pada saat

berdiskusi, dan setelah diberi tes akhir hasil belajar siswa baik

3. Ada sebagian siswa kurang aktif memperhatikan penjelasan dan tidak dapat menyelesaikan tugas pembelajaran dalam menuliskan lambang pecahan dengan baik pada saat berdiskusi, dan setelah diberi tes akhir hasil belajar siswa lemah, dan ada sebagian siswa kurang aktif memperhatikan penjelasan dan tidak dapat menyelesaikan tugas pembelajaran dalam menuliskan lambang pecahan dengan baik pada saat berdiskusi, dan setelah diberi tes akhir hasil belajar siswa baik

4. Ada 30% dari jumlah sebanyak 26 siswa gagal dalam belajarnya karena hasil belajarnya = 5. Ada 30% dari jumlah sebanyak 26 siswa kurang berhasil dalam belajarnya karena hasil belajarnya = 6, dan ada 40% dari jumlah sebanyak 26 siswa berhasil dengan baik dalam belajarnya karena hasil belajarnya = 7 ke atas

Dari harapan dan kenyataan sebagaimana disebutkan di atas maka timbullah permasalahan yang jika dirumuskan berkisar pada pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana upaya peningkatan hasil belajar matematika dalam menuliskan lambang pecahan melalui penggunaan metode diskusi di Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan”.

Tujuan yang ingin dicapai adalah (1) mendeskripsikan hasil belajar Matematika dalam menuliskan lambang pecahan Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan dalam mempertinggi tingkat penguasaan siswa SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan Kelas IV terhadap materi pelajaran matematika dalam menuliskan lambang pecahan, dan (2) Mendes-kripsikan langkah-langkah penggunaan metode diskusi dalam pembelajaran

Penelitian ini memiliki konstribusi atau bermanfaat bagi banyak pihak terkait dengan penelitian tindakan kelas. Manfaatnya, adalah 1. Bagi guru dapat memperbaiki

pembelajaran yang dikelolanya

44

karena sasaran akhir Penelitian Tindakan Kelas adalah perbaikan pembelajaran dari satu siklus ke siklus berikutnya. Guru dapat berkembang secara profesional karena dapat menunjukkan kemampuan menilai dan memperbaiki pembelajaran dari satu siklus ke siklus berikutnya, membuat guru lebih percaya diri untuk mengadakan refleksi terkait dengan pelaksanaan pembelajaran atau perbaikan pembelajaran dari satu siklus ke siklus berikutnya, dan guru mendapat kesempatan untuk berperan aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sendiri.

2. Manfaat bagi pembelajaran atau siswa dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya dalam mata pelajaran Matematika dalam menuliskan lambang pecahan, dan sikap kritis menjadi model bagi siswa untuk menyikapi kinerjanya secara individual dapat menjadi peneliti bagi hasil belajarnya.

3. Manfaat bagi institusi atau sekolah mempunyai kesempatan untuk berkembang pesat atas persetujuan Kepala Sekolah dan atau atasan yang berwenang seperti halnya Pengawas TK/SD, pengelolaan kegiatan sekolah secara keseluruhan khususnya dalam pelaksanaan perbaikan pembelajaran, dapat disebarkan ke sekolah lain yang mempunyai kesempatan untuk berubah secara menyeluruh, sumbangan positif terhadap kemajuan sekolah, karena guru perlu merencanakan dan melaksanakan perbaikan pembelajaran, perbaikan proses dan hasil belajar, dan kondusifnya iklim pendidikan di sekolah, dan dapat dijadikan bahan pustaka atau kajian pustaka bagi peningkatan mutu lulusan atau mutu pembelajaran dalam setiap tingkatan kelas di SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.

II. KAJIAN PUSTAKA

Setiap peserta didik dalam pembelajaran pada saat menggunakan metode diskusi diharapkan terlibat aktif dalam berdiskusi untuk mencari kemufakatan dalam berbagai aspek pembelajaran. Jika peserta didik berperan aktif, akan mampu memperoleh hasil belajar

secara optimal. Bagi guru agar dapat menguasai penggunaan metode diskusi dengan baik diperlukan latihan secara sistematis karena metode diskusi menenamkan kedisiplinan siswa, dan meningkatkan pengetahuan dalam mengajukan pendapat dan menarik suatu kesimpulan. Dengan perkataan lain, dominasi guru di dalam kelas haruslah dikurangi sehingga tersedia kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi secara aktif. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru dalam kaitan ini adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi kelompok. Melalui diskusi kelompok diharapkan dapat berpikir secara lebih kritis serta mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan baik.

Tidak semua pembicaraan yang dilakukan oleh sekelompok kecil peserta didik dapat disebut sebagai diskusi. Agar dapat disebut sebagai diskusi menurut Winataputra, S.U. (2005:2.14) ada beberapa syarat yang harus harus dipenuhi, yaitu: (1) Melibatkan kelompok, yang anggotanya berkisar antara 3-9 orang, (2) Berlangsung dalam situasi tatap muka yang informal, artinya semua anggota berkesempatan saling melihat, mendengar, serta berkomunikasi secara bebas dan langsung, (3) Mempunyai tujuan yang mengikat anggota kelompok sehingga terjadi kerja sama untuk mencapainya, (4) Berlangsung menurut proses yang teratur dan sistematis menuju kepada tercapainya tujuan pembelajaran.

Metode diskusi ini sering digunakan dalam pembelajaran kelompok, umpamanya kalau menggunakan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif dan keterampilan proses dalam pembelajaran metode ini cenderung digunakan. Metode mengajar diskusi menurut Winataputra, S.U. (2.16) merupakan cara mengajar dalam pembahasan dan penyajian materinya melalui suatu problema atau pertanyaan yang harus diselesaikan berdasarkan pendapat atau keputusan secara bersama.

Metode diskusi memiliki karak-teristik, dan pengalaman belajar menurut Winataputra, S.U. (2005:2.18) tentang pengalaman belajar (learning experience) sebagai berikut: (1) Bahan

45

pelajaran dengan topik permasalahan/ persoalan, (2) Adanya pembentukan kelompok, (3) Ada yang mengatur pembicaraan, (4) Aktivitas siswa berpendapat, (5) Mengarah pada suatu kesimpulan/ pendapat bersama, (6) Guru lebih berperan sebagai pembimbing/ motivator, (7) Siswa sebagai objek dan subjek dalam pembelajaran, (8) Melatih sistematika logika berpikir, dan (8) Melatih bahasa lisan. Sedangkan pengalaman belajar peserta didik dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Pemahaman terhadap persoalan belajar bersama (cooperative learning), (2) Pendapat orang lain, (3) Pembentukan rasa solidaritas terhadap pengambilan keputusan, (4) Menerapkan cara menyelesaikan persoalan, (5) Menerapkan cara menyampaikan pendapat. 2. Keuntungan dan Kelemahan Metode

Diskusi Keuntungan atau keunggulan

metode diskusi menurut Winataputra, S.U. (2005:2.18) dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Siswa bertukar pikiran, (2) Siswa dapat menghayati permasalahan, (3) Merangsang siswa untuk berpendapat, (4) Dapat mengembangkan rasa tanggung jawab/solidaritas, (5) Membina kemampuan berbicara, (6) Siswa belajar memahami pikiran orang lain, dan (7) Memberikan kesempatan belajar. Sedangkan kelemahan metode diskusi menurut Winataputra, S.U. (2005:2.18) dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Relatif memerlukan waktu yang banyak, (2) Apabila siswa tidak memahami konsep dasar, diskusi tidak efektif, (3) Terdapat perbedaan kemampuan per-bendaharaan bahasa, (4) Apabila guru tidak dapat membimbing diskusi tidak efektif

Prosedur metode diskusi menurut Winataputra, S.U. (2005:2.17) hampir sama dengan belajar kelompok, yaitu: (1) Merumuskan masalah berdasarkan topic bahasan dan tujuan pembelajaran, (2) Identifikasi masalah, (3) Analisis masalah, (4) Analisis masalah/topik, (4) Penyusunan laporan, (5) Presentasi kelompok, (6) Menyimpulkan hasil diskusi Kompetensi atau kemampuan guru yang harus diperhatikan menurut Winataputra, S.U. (2005:2.18) untuk menunjang keberhasilan diskusi diantaranya adalah: (1) Mampu merumuskan permasalahan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, (2) Mampu membimbing siswa untuk merumuskan dan

mengidentifikasi permasalahan serta menarik kesimpulan, (3) Mampu mengelompokkan siswa sesuai dengan kebutuhan permasalahan dan pengembangan kemampuan siswa, (4) Mampu mengelola pembelajaran melalui diskusi, (5) Menguasai permasalahan yang didiskusikan. Sedangkan kompetensi atau kemampuan siswa menurut Winataputra, S.U. (2005:2.18) yang harus diperhatikan untuk menunjang pelaksana-an diskusi di antaranya: (1) Memiliki motivasi, perhatian, dan minat dalam berdiskusi, (2) Mampu melaksanakan diskusi, (3) Mampu belajar secara bersama, (4) Mampu mengeluarkan isi pikiran atau pendapat/ide, (5) Mampu memahami pendapat orang lain.

Belajar menurut Gagne (dalam Winataputra, S.U., 2005:2.3) adalah suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Dari pengertian tersebut terdapat tiga atribut pokok atau ciri utama belajar yakni proses, perubahan perilaku, dan pengalaman. Dilihat dari dimensi proses Winataputra, S.U. (2005:2.3) mengemukakan bahwa belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan. Jadi peserta didik dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif.

Hasil belajar menurut Djadja Badjuri (dalam Winataputra, S.U., 2005:2.5) berupa perubahan perilaku atau tingkah laku. Pesertadidik yang belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik, atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Perubahan perilaku sebagai hasil belajar adalah perubahan yangdihasilkan dari pengalaman (interaksi dengan lingkungan), di mana proses mental dan emosional terjadi. Selanjutnya, Djadja Badjuri (dalam Winataputra, S.U., 2005:2.6) mengemukakan bahwa belajar adalah mengalami, dalam arti belajar terjadi di dalam interaksi antara individu dengan lingkungan, baik lingkungan fisi8k maupun lingkungan sosial.

Menurut Sumantri, M (1999:18) hasil belajar merupakan kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahapan

46

pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar. Menurut Sudjana, N (2005:22) hasil balajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa ia menerima pengalaman belajar. Bentuk-bentuk hasil belajar siswa Sekolah Dasar dapat berupa kebiasaan, keterampilan, himpunan tanggapan, hafalan, kemapuan menganalisis, dan sikap serta rujukan nilai.

Menurut pendapat Peter (dalam Winataputra, S.U., 2005:2.6) proses dan hasil belajar siswa bergantung pada kompetensi guru dan keterampilan mengajarnya. Menurut pendapat Taba (dalam Winataputra, S.U., 2005:2.6) bahwa keefektifan pembelajaran dipengaruhi oleh karakteristik guru dan siswa, bahan pelajaran dan aspek lain yang berkenaan dengan situasi pembelajaran

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah: (1) Kompetensi Dasar, (2) Penguasaan kompetensi oleh guru, (3) Keterampilan guru dalam mengajar, (4) Karakteristik guru dan siswa, (5) Bahan pelajaran, (6) Situasi dan kondisi pembelajaran

Tingkah laku sebagai hasil dari proses belajar dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor dalam diri peserta didik, dan faktor eksternal yakni faktor yang berasal dari luar diri peserta didik. Menurut Sudjana, N (1989:8) hasil interaksi berupa perubahan tingkah laku dapat bermakna sesuai dengan hakikat belajar sebagai suatu proses. Banyak faktor yang terdapat dalam faktor internal. Yang tergolong pada faktor internal menurut Rachman Ntawidjaja (1989:16) dapat dijabarkan sebagai berikut: (a) Faktor jasmaniah (fisiologis), (b) Faktor psikologis, dan (c) Faktor kematangan fisik maupun psikis. Pada faktor jasmaniah terdapat faktor yang bersifat bawaan dan yang diperoleh. Yang termasuk pada faktor jasmaniah ini adalah penglihatan, pendengaran, dan struktur tubuh, dan sebagainya yang relevan dengan hal tersebut.

Faktor psikologis terdiri atas faktor intelektif, dan faktor non intelektif. Pada faktor intelektif meliputi faktor potensial yakni kecerdasan dan bakat, faktor kecakapan nyata yakni hasil belajar yang telah dimiliki. Sedangkan faktor non intelektif adalah unsur-unsur kepribadian tertentu, seperti halnya sikap, kebiasaan

belajar, minat belajar, kebutuhan belajar, motivasi belajar, emosi dan penyesuaian diri. Demikian pula pada faktor eksternal, yaitu faktor eksternal (faktor di luar diri) individu atau peserta didik menurut Rachman Natawidjaja (1989: 17) adalah: a. Faktor sosial meliputi faktor-faktor

berikut: (1) Lingkungan keluarga, (2) Lingkungan sekolah, (3) Lingkungan msyarakat, (4) Lingkungan kelompok

b. Faktor budaya seperti halnya adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.

c. Faktor lingkungan fisik seperti halnya fasilitas belajar, dan termasuk pula iklim beljar.

d. Faktor lingkungan spiritual atau keagamaan.

Pada faktor lingkungan keluarga menyangkut masalah situasi dalam keluarga itu sendiri, adakalanya situasi dalam keluarga itu menunjang terhadap proses belajaranak, dan adakalanya, situasi dalam keluarga ada yang kurang menunjang proses belajar anak, seperti halnya kekacauan rumah tangga (broken home), kurangnya perhatian dalam belajarnya dan kurangnya fasilitas belajar. Adakalanya juga karena tidak dapat memanfaatkan waktu belajar, sehingga proses belajar anak cenderung tidak terencana, dan bahkan kurang terarah sehingga pada akhirnya hal yang demikian itu akan mempengaruhi hasil belajarnya.

Faktor lingkungan sekolah, adakalanya faktor lingkungan sekolah itu menunjang, dan adakalanya faktor lingkungan sekolah itu kurang menunjang proses pembelajaran seperti halnya cara guru menyajikan materi atau sedang membahas materi tertentu dengan menggunakan model-model tertentu saja, sikap guru yang kurang bersikap interaktif, kurikulum atau materi modul yang sedang dipelajari atau sedang dibahas, dan perlengkapan belajar yang kurang memadai.

Perlengkapan belajar yang kurang memadai dalam hal ini bukan disebabkan karena bahan pelajarannya kurang, tetapi yang sering terjadi adalah karena terlambatnya bahan pembelajaran di tempat peserta didik belajar tidak ada

47

sama sekali karena juahnya transportasi. Disamping itu juga cara dan alat evaluasi yang digunakan pada setiap kegiatan akhir pembelajaran, alat evaluasi yang menunjang terhadap perolehan belajar peserta didik cenderung memiliki validitas, memiliki reliabilitas, memiliki kemudahan, dan memiliki norma tertentu.

Selain hal di atas, adalah alat evaluasi yang benar-benar menunjang terhadap tercapainya tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional sebagaimana terdapat dalam setiap bahan ajar, misalnya berupa tugas belajar. Demikian pula mengenai ruang belajar di dalam kelas pembelajaran, sistem administrasi, waktu belajar, keadaan kursi dan meja, serta situasi sosial di dalam kelas pembelajaran, ada yang terlihat baik, dan ada pula yang kurang baik.

Pada faktor lingkungan sosial masyarakat ada yang memadai, dan adakalanya juga kurang memadai seperti halnya pengaruh negatif dari pengulangan, situasi masyarakat yang kacau, adanya gangguan kebudayaan seperti film, bacaan-bacaan, dan sebagainya. Dalam pergaulan kadangkala terjadi: (a) Pergaualan atas dasar kesenangan berkawan, biasanya proses dan hasil belajarnya homogen, (b) Adakalanya juga pergaulan itu didasari atas kesamaan minat, terutama yang berkaitan dengan minat belajar, dan biasanya hasil belajar peserta didik cenderung heterogen. Jika pergaulan belajar itu didasari oleh motivasi dan minat belajar maka ada kecenderungan bagi peserta didik tersebut memperoleh hasil belajar yang optimal, karena hal ini diwarnai oleh semangat belajar yang cukup tinggi, dan motivasi belajar peserta didik cukup tinggi. Demikian pula tentang situasi masyarakat, situasi masyarakat yang kurang menunjang karena disebabkan oleh beberapa hal, seperti halnya: (a) Gangguan keamanan, (b) Seringnya terjadi pencurian, (c) Adanya judi di tempat-tempat tertentu di lingkungan masyarakat, (d) Adanya gangguan kebudayaan seperti halnya (1) Gangguan film, dan (2) Adanya buku-buku bacaan yang kurang menunjang terhadap proses pembelajarannya.

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia.

Perkembangan pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika deskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.

Tujuan mata pelajaran matema-tika menurut kurikulum 2004 adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, meranang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) Bilangan, (2) Geometri dan pengukuran, (3) Pengolahan data. III. PELAKSANAAN PERBAIKAN

Lokasi yang ditempati penelitian adalah SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan, dan sekolah ini merupakan tempat penulis bertugas.Waktu pelaksanaan penelitian dari masing-masing siklus adalah sebagai berikut: (1) Tanggal 10 Maret 2009 untuk siklus pertama, (2) Tanggal 14 Maret 2009 untuk siklus kedua.

Mata pelajaran yang disajikan untuk mata pelajaran eksakta adalah matematika khususnya dalam menuliskan lambang pecahan. Kelas

48

yang dijadikan ruang pelaksanaan praktek perbaikan baik siklus satu maupun siklus dua adalah Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan. Karakteristik siswa ditinjau dari sudut usia berkisar 10 - 11 tahun. Karena usia rata-rata adalah 10 – 11 tahun, dan kemampuan siswa dianggap homogen maka dalam pembelajaran dilaksanakan sistem klasikal.

Refleksi, hasil pengamatan adalah dalam memusatkan perhatian pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal memperjelas masalah dan uraian pendapat untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal menganalisis pandangan pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori tidak muncul. Dalam meningkatkan uraian pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori tidak muncul. Dalam menyebarkan kesempatan berpartisipasi pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam merumuskan permasalahan pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori tidak muncul. Dalam membimbing siswa untuk merumuskan dan mengidentifikasi permasalahan serta menarik kesimpulan pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam katgori cukup. Dalam Mengelompokkan siswa sesuai dengan kebutuhan permasalahan dan pengembangan kemampuan siswa pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori muncul. Dalam penguasaan permasalahan yang didiskusikan pada saat pembelajaran termasuk kategori muncul. Dalam memotivasi, meningkatkan perhatian, dan minat dalam berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori tidak muncul. Dalam melaksanakan diskusi pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori muncul. Kemampuan belajar secara bersama pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori tidak muncul. Kemampuan mengeluarkan isi pikiran atau pendapatatau ide pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori muncul. Dalam

memahami pendapat orang lain pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori tidak muncul. Dalam menutup diskusi pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori muncul

Sedangkan hasil pengamatan pada siklus dua terjadi adanya peningkatan pada sebagian aspek penilaian yaitu dalam memusatkan perhatian pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal memperjelas masalah dan uraian pendapat pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam hal menganalisis pandangan pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam meningkatkan uraian pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori muncul. Dalam menyebarkan kesempatan berpartisipasi pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam merumuskan permasalahan pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam membimbing siswa untuk merumuskan dan mengidentifikasi permasalahan serta menarik kesimpulan pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam katgori baik. Dalam mengelompokkan siswa sesuai dengan kebutuhan permasalahan dan pengembangan kemampuan siswa pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori muncul. Dalam penguasaan permasalahan yang didiskusikan pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori muncul. Dalam memotivasi, meningkatkan perhatian, dan minat dalam berdiskusi pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam melaksanakan diskusi pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk kategori muncul. Kemampuan belajar secara bersama pada saat pembelajaran untuk

49

menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Kemampuan mengeluarkan isi pikiran atau pendapat atau ide pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam memahami pendapat orang lain pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. Dalam menutup diskusi pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori muncul. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan data tentang rencana perbaikan pembelajaran, hasil pengamatan dan hasil tes akhir maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

i. Dalam memusatkan perhatian pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, dalam hal memperjelas masalah dan uraian pendapat pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, Dalam hal menganalisis pandangan pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, dalam meningkatkan uraian pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, dalam menyebarkan kesempatan berpartisipasi pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori baik, salam merumuskan permasalahan pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam membimbing siswa untuk merumuskan dan mengidentifikasi permasalahan serta menarik kesimpulan pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam mengelompokkan siswa sesuai dengan kebutuhan permasalahan dan pengembangan kemampuan siswa pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan , dalam penguasaan permasalahan yang didiskusikan untuk menuliskan lambang pecahan, dalam memotivasi, meningkatkan perhatian, dan minat dalam berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan,dalam pelaksanaan diskusi pada saat kegiatan inti untuk menuliskan lambang pecahan, kemampuan belajar secara bersama pada saat berdiskusi, kemampuan mengeluarkan isi pikiran atau pendapat

atau ide pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam memahami pendapat orang lain pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam menutup diskusi pada akhir pelaksanaan diskusi saat pembelajaran berlangsung untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori baik

ii. Hasil pengamatan pada siklus dua terjadi adanya peningkatan yaitu dalam memusatkan perhatian pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, dalam hal memperjelas masalah dan uraian pendapat pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam hal menganalisis pandangan pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, pada saat meningkatkan uraian pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, dalam menyebar-kan kesempatan berpartisipasi pada saat berdiskusi pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, dalam merumuskan permasalahan pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam mem-bimbing siswa untuk merumuskan dan mengidentifikasi permasalah-an serta menarik kesimpulan pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam menge-lompokkan siswa sesuai dengan kebutuhan permasalahan dan pengembangan kemampuan siswa pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam penguasaan permasalahan yang didiskusikan pada saat pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, dalam memoti-vasi, meningkatkan perhatian, dan minat pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam pelaksanaan diskusi pada saat kegiatan inti pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan, kemampuan belajar secara bersama pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, kemampuan mengeluarkan isi pikiran atau pendapat atau ide pada

50

saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam memahami pendapat orang lain pada saat berdiskusi untuk menuliskan lambang pecahan, dalam menutup diskusi pada kegiatan akhir pembelajaran untuk menuliskan lambang pecahan termasuk dalam kategori baik

iii. Ada sebanyak 18 siswa diantara 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan pada siklus satu berhasil dalam belajarnya. Ada sebanyak 25 siswa diantara 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan pada siklus duaI berhasil dalam belajarnya. Pada siklus satu ada sebanyak 8 siswa dari 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan memperoleh nilai rendah, dan pada siklus dua ada sebanyak 1 siswa diantara 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan memperoleh nilai yang rendah.

B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas

dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Pada saat pembelajaran guru bersama

siswa hendaknya mampu merumuskan permasalahan sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku. Pada saat pembelajaran guru hendaknya mampu membim-bing siswa untuk merumuskan dan mengidentifikasi permasalahan serta menarik kesimpulan. Pada saat pembelajaran guru hendaknya mampu mengelompokkan siswa sesuai dengan kebutuhan perma-salahan dan pengembangan ke-mampuan siswa, san pada saat pembelajaran guru hendaknya mampu mengelola pembelajaran melalui diskusi karena metode ini digunakan untuk memecahkan masalah yang menuntut kemampuan berpikir tinggi

2. Sebelum dilaksanakan diskusi hendaknya guru mempelajari kembali permasalahan yang didiskusikan. Pada saat pembelajaran hendaknya kondisi dan kemampuan siswa harus diperhatikan untuk menunjang pelaksanaan diskusi agar memiliki motivasi, perhatian, dan minat dalam berdiskusi, mampu melaksanakan diskusi, mampu belajar secara bersama, mampu mengeluarkan isi pikiran atau pendapat/ide, mampu memahami pendapat orang lain, dan sebelum

diskusi dimulai hendaknya guru memusatkan perhatian siswa terutama pada pokok persoalan yang akan dibahas

3. Dalam pembelajaran guru hendaknya memperjelas masalah dan uraian pendapat pada saat pelaksanaan diskusi, guru bersama siswa hendaknya menganalisis pandangan yang disampai-kan pada saat diskusi. Dalam pembelajaran guru perlu mening-katkan uraian agar siswa memiliki gagasan yang lebih luas tentang masalah yang sedang dipelajari. Guru hendaknya menyebarkan kesempatan berparti-sipasi pada siswa yang jarang mengemukakan pendapat atau ide atau gagasan. Dalam pembelajaran pada saat menutup diskusi hendaknya guru mengarahkan siswa agar memiliki catatan penting terkait dengan masalah yang sedang dibahas.

DAFTAR PUSTAKA Ali, M. (1992). Konsep dan Penerapan

CBSA dalam Pengajaran. Bandung:Sarana Pancakarya.

Asep HH, dkk. (2006). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Uter.

Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004. Jakarta: Depdiknas.

Denny S, dkk. (2005). Komputer dan Media Pembelajaran. Jakarta: Uter.

Dinn W. (2004). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Uter.

Hamalik, O. (1991). Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA. Bandung:Sinar Baru

Hasibuan, JJ, dkk. (2004). Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remadja Rosdakarya.

Herryanto, N dan Hamid, HM. Akib. (2005). Statistika Dasar. Jakarta: Uter.

51

Hasibuan, JJ, dan Moedjiono. (2004). Proses Belajar Mengajar. Bandung:Remadja Rosdakarya.

Mikarsa, dkk. (2005). Pendidikan Anak di SD. Jakarta : Uter.

Muhsetyo, Gatot dkk. (2005). Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Uter.

Nasution, N (1999). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Uter.

Sudjana, N. (1996). CBSA Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Sumantri, M, dan Syaodih, Nana. (2005). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Uter.

Suprayekti dkk. (2005). Pembaharuan Pembelajaran di SD. Jakarta: Uter.

Wardani. (2004). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Uter.

Winataputra, S.U. (2005). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Uniersitas Terbuka.

Zainul, A, dkk. (2005). Tes dan Asesmen di SD. Jakarta: Uter.

52

UPAYA MENINGKATKAN MINAT BACA SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR

Oleh: Sutini

Abstrak

Minat bacassiswa SD masih rendah. Meningkatkan siswa kelas III SD mulai ditekankan kemampuan membaca pemahaman, minat bacanya perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan minat baca siswa kelas III perlu adanya motivasi ekstrinsik yaitu : Sekolah/guru, lingkungan keuarga, dan lingkungan masyarakat. Upaya sekolah/guru bisa melalui pengadaan bahan bacaan, pengelolaan, dan pemodelan. Upaya lingkungan keluarga adalah membina keluarga pembaca, memperhatikan kelemahan anak dalam membaca, memperkaya skemata anak, dan berkunjung ke toko buku. Oleh lingkungan masyarakat berupa pengadaan perpustakaan, papan pajan, lomba membaca. Kata kunci : upaya meningkatkan, minat baca

Sekolah Dasar sebagai bagian dari pendidikan dasar 9 tahun merupakan lembaga pendidikan pertama yang menekankan siswa belajar membaca, menulis dan berhitung. Kecapakan ini merupakan landasan, wahana,dan syarat mutlak bagi siswa untuk belajar menggali dan menimba ilmu pengetahuan lebih lanjut.Tanpa penguasaan tersebut bagi siswa akan mengalami kesulitan menguasai ilmu pengetahuan (Depdikbud, 1991/1992:11).

Membaca di Sekolah Dasar merupakan landasan bagi tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai kemamuan yang mendasari tingat pendidikan selanjutnya, maka membaca perlu mendapat perhatian guru, sebab jika dasarnya tidak kuat pada tahap pendidikan berikutnya siswa akan mengalami kesulitan untuk dapat memperoleh dan memiliki pengetahuan,

Ahmad (dalam Sunarsono 1994:72) menyatakan bahwa kemampuan membaca siswa Sekolah Dasar tergolong rendah. Ribuan anak-anak Sekolah Dasar belum mampu membaca. Hal ini membuat siswa mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran lain. Pernyataan ini dipertegas oleh Achmadi (dalam sumarsono:72) yang menyatakan bahwa

kemampuan membaca siswa SD di Indonesia rata-rata paling rendah di tingkat Asean.

Selain itu hasil studi perbandingan tentang kemampuan memperoleh serta memahami informasi dan bacaan terungkap dalam The International Association Evaluation Achievement (IAEA) terhadap kelas IV SD dari 30 negara, ternyata Indonesia menduduki urutan yang ke-29 dari 30 negara peserta (Totong, 1998:9). Pada tahun 1992 laporan International for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) menyatakan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia menduduki peringkat ke-26 dari 27 negara sample (Dekdikbud, 1997:25). Sedangkan kemapuan membaca siswa SD di Malang diungkapkan oleh Syafi’ie (1999:4) sebagai berikut :

Diharapkan pada caturwulan ketiga, menjelang berakhirnya kelas, anak-anak telah mampu membaca. Namun kenyataannya tidaklah selalu demikian. Dari beberapa observasi yang dilaksanakan dibeberapa SD di kotamadya dan kabupaten Malang misalnya, diketahui bahwa banyak siswa di akhir tahun pertama di kelas I SD belum mampu membaca. Bahkan masih ditemui pula

53

beberapa siswa kelas II pada akhir cawu kedua masih belum mamu membaca.

Rendahnya kemampuan membaca dan memahami isi bacaan ini menurut Achmad (dalam Sumarsono 1994:72), diduga disebabkan antara lain oleh kurangnya minat baca siswa. Sehubungan dengan hal itu, Sugiharti (1997:39) menyatakan bahwa minat baca anak Indonesia tergolong paling rendah didunia. Diperkirakan hanya sekitar 10% anak Indonesia yang tergolong kelompok gemar membaca.

Ajip Rosidi (1973:18) mengatakan bahwa pembinaan minat baca bagi masyarakat Indonesia dapat dibina sejak mereka masih anak-anak (TK, SD, dan terus sampai SLTP/SLTA). Jika pembinaan minat baca tidak dimulai sejak dini, maka besar kemungkinan setelah besar pun tetap tidak gemar membaca. Kalaupun gemar membaca maka bahan bacaan yang dipilih hanya berkisar pada buku bacaan hiburan. Oleh karena itu masalah minat baca siswa SD perlu mendapat perhatian.

Minat baca siswa Sekolah Dasar yang sudah dimulai di kelas I dan II tetap dipertahankan di kelas III. Hal ini mengingat siswa kelas III Sekolah Dasar mulai ditekankan kemampuan membaca pemahaman. Selain itu siswa kelas III Sekolah Dasar memerlukan kemampuan membaca pemahaman untuk menerima mata pelajaran lain.

Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah upaya apakah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan minat baca siswa kelas III Sekolah Dasar? Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan makalah ini adalah memberikan gambaran tentang upaya yang bisa lakukan untuk meningkatkan minat baca siswa kelas III Sekolah Dasar. Minat dan Minat Baca

Perihal minat berhubungan dengan kebiasaan. Minat dan kebiasaan adalah dua pengertian yang berbeda tetapi

berkaitan. Pengertian minat menurut Poerbakawatja (1982:214) adalah ”kesedian jiwa yang sifatnya aktif untuk menerima sesuatu dari luar.”

Minat dibedakan menjadi dua macam, yaitu minat spontan dan minat terpola.Minat spontan adalah minat yang tumbuh secara spontan dari dalam diri seseorang tanpa dipengaruhi oleh pihak luar (Dawson dan Bamman, 1960:31). Minat terpola adalah minat yang timbul sebagai akibat adanya pengaruh dan kegiatan yang berencana atau terpola terutama kegiatan belajar mengajar,baik disekolah maupun di luar sekolah (Dawson dan Bamman,1960:15). Minat terpola dapat dipersamakan dengan factor eksternal, yang secara konkrit merupakan akibat dari motivasi ekstrinsik. Dengan demikian minat dapat dihambat, dipengaruhi, bahkan bisa ditumbuhkembangkan.

Tentang minta ini Sarwana (1982:34-36) menguraikan sebagai berikut. Minat memiliki lima sifat: (1) Pribadi, antara individu satu dengan yang lain mempunyai minat yang berbeda-beda. Kalau minat mereka sama, ada perbedaan intensitasnya. (2) Dipelajari, maksudnya minat bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir melainkan merupakan hasil belajar sehingga minat dapat berubah-ubah. Yang penting dalam belajar adalah factor penguat yang bisa berupa hadiah, ganjaran, atau hukuman. (3) Erat hubungannya dengan sikap, maksudnya minat bisa menimbulkan, yaitu kecenderungan bertingkah positif atau negatif pada suatu hal, dan sikap bias menimbulkan minat. (4) Diskriminatif, maksudnya dengan adanya minat, hal-hal tertentu yang menjadi minat dikeluarkan dari perhatian. Dengan demkian tingkah laku menjadi terarah. (5) Usaha, artinya minat dapat timbul sebagai hasil suatu usaha dan minat juga dapat mendorong usaha.

Faktor-faktor yang mendorong minat adalah sebagai berikut. Pertama factor kebutuhan, karena adanya

54

kebutuhan tertentu orang mempunyai minat untuk memenuhi kebutuhan itu. Kedua faktor perasaan; perasaan sukses, senang, mendorong timbulnya minat, sedangkan perasaan kecewa, gagal, menghambat atau bahkan menghilangkan minat. Ketiga, faktor lingkungan; maksudnya minat dipengaruhi dorongan untuk diterima atau diakui oleh lingkungan.

Berdasarkan uraian tentang minat, maka minat baca diartikan sebagai perwujudan perilaku baca murid yang disebabk oleh faktor-faktor pendorong tertentu baik oleh factor internal maupun eksternal. Pengertian ini sejalan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa minat dan motivasi dapat timbul dari kesadaran dan inisiatif diri seseorang dan dapat timbul dari pengaruh luar, dalam bentuk-bentuk yang terpola atau tidak terpola (Dawson dan Bamman, 1960: 140-144).

Dari uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa membaca bukanlah objek dari minat tetapi membaca merupaka kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi minatnya. Melalui membaca, informasi dan pengetahuan yang berguna bagi kehidupan dapat diperoleh. Inilah motivasi pokok yang dapat mendorong timbul dan berkembangnya minat anak. Apabila minat ini sudah tumbuh dan berkembang, dalam arti bahwa anak sudah dimulai suka membaca, maka minat baca pun akan meningkat. Membaca Pemahaman

Membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (KBBI,1990:42). Pada membaca mata mengenali kata, sementara pikiran menghubungkan dengan maknanya. Makna kata dihubungkan satu dengan yang lain sehingga menjadi makna frase, klause, kalimat, dan akhirnya makna seluruh bacaan.Membaca diartikan sebagai proses memetik serta memahami arti atau makna yang terkandung dalam

bahasa tulis ( Banomo dalam Khalid A. Harras, 1998:7 ).

Dari pengertian membaca tersebut tersirat bahwa ketika anak melakukan kegiatan membaca, kegiatan tersebut harus disertai pemahaman. Dengan kata lain, pada saat membaca anak harus dapat memahami maksud atau arti dari lambang-lambang bunyi bahasa tulis yang dibacanya. Demikian pula dikatakan oleh Harris (1988:8) membaca adalah kegiatan interprestasi untuk menghasilkan symbol verbal tulisan.

Membaca di Sekolah Dasar dibedakan menjadi dua, yaitu membaca permulaan dan membaca lanjut (membaca pemahaman). Dua tingkatan membaca tersebut bukanlah tingkatan yang bersifat terpisah tegas. Pada tingktan membaca permulaan focus kegiatanya adalah penguasaan system tulisan, namun telah dimulai pula pengajaran membaca pemahaman walaupun sangat terbatas. Sebaliknya, pada tingkat membaca lanjut yang focus kegiatannya adalah pada pemahaman isi bahan bacaan, masih pula dilaksanakan membaca teknik misalnya perbaikan dan penyempurnaan penguasaan teknik membaca.

Dalam proses membaca pemahaman ada empat level yang bertahap, yang meliputi (1) pemahaman literal, (2) pemahaman interpretatif, (3) pemahaman kritis, (4) pemahaman kreatif (Burns, 1980:369). Setiap level dipandang sebagai suatu jenis kemampuan tersendiri. Dalam prosesnya untuk level yang lebih tinggi selalu melewati proses pada level di bawahnya (Nurhadi, 1987:72).

Agar pada siswa kelas III Sekolah Dasar timbul minat dalam membaca, ia harus dengan mudah memahami isi bacaan. Untuk itu diperlukan bahan bacaan yang yang memenuhi cerita keterbacaan dan cerita kesesuaian. Kreteria keterbacaan adalah patokan mudah tidaknya suatu bahan bacaan bagi anak-anak, khususnya anak usia SD. Hal-hal yang termasuk dalam cerita ini, ialah

55

mudah tidaknya bahasa yang digunakan dan mudah tidaknya pesan yang ditemukan. Sedangakan cerita kesesuaian adalah patokan untuk menilai cocok tidaknya suatu bahan bagi kelompok usia atau lingkungan tertentu, khususnya anak usia SD. Hal-hal yang termasuk ke dalam criteria kesesuaian ini, ialah kesesuaian dengan lingkungan tempat belajar anak.

Siswa kelas III Sekolah Dasar dalam keadaan normal, telah mampu membaca dengan lancar. Pada jenjang ini menurut Piaget anak telah mencapai jenjang operasi konkret. Sejalan dengan itu siswa kelas III pada umumnya suka cerita yang penuh petualangan dan penuh misteri. Mereka yang menyukai dongeng, cerita yang menakutkan seperti cerita hantu.

Dengan Disediakannya bahan bacaan yang sesuai, diharapkan anak akan termotivasi untuk tumbuh minat bacanya. Secara perlahan-lahan, tahap demi tahap secara terus-menerus sehingga terbiasa bergaul dengan bahan bacaan dan akhirnya akan timbul kebiasaan gemar membaca. Upaya yang dapat Dilakukan untuk Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas III Sekolah Dasar

Kegemaran membaca siswa kelas III SD tidak akan tumbuh secara optimis. Oleh karena itu minat baca siswa kelas III SD harus ditanamkan, ditumbuhkan serta dipupuk , dan dibina sejak usia dini, khususnya usia Sekolah Dasar.

Baik minat maupun motovasi, keduanya mengacu dan berorientasi pda pemenuhan kebutuhan dasar individu murid, yaitu kebutuhan untuk memperoleh rasa aman, status atau kedudukan tertentu, afektif, dan kebebasan. Denngan kata lain, kebutuhan-kebutuhan dasar individu merupakan sumber yang menimbulkan minat dan motivasi. Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa kebutuhan dasar murid dapat terpenuhi jika ada atau tersedia sejumlah objek yang memungkinkan

timbulnya minat atau motivasi. Obyek yang dimaksud di sini adalah buku bacaan yang sesuai dengan tingkat keterbacaan dan tingkat kesesuaian siswa kelas III Sekolah Dasar. Adanya saling pengaruh timbal balik antara kebutuhan dasar murid menyebabkan timbulnya minat dan motivasi untuk melakukan kegiatan membaca.

Untuk meningkatkan rendahnya minat baca siswa kelas III Sekolah Dasar perlu adanya motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul sebagai hasil atau akibat adanya pengaruh pihak lain atau pihak luar. Yang dimaksudkan pihak luar disini adalah pihak di luar siswa kelas III SD yaitu: sekolah/guru, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Berikut ini diuraikan satu demi satu. Upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah/guru

Untuk meningkatkan minat dan kebiasaan membaca pada siswa kelas III SD, guru dapat memberikan tugas yang dapat membuat siswa kelas III SD harus membaca, tanpa melupakan minat setiap siswa. Upaya sekolah/guru untuk meningkatkan minat baca siswa kelas III sekolah yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat melalui bidang-bidang berikut ini. Pengadaan Bahan Bacaan

Sekolah/guru mendata buku bacaan yang sesuai untuk kelas III SD di perpustakaan sekolah. Untuk menambah buku bacaan dengan tema yang digemari siswa kelas III SD, Kepala Sekolah minta bantuan orang tua lewat BP. misanya pengurus BP mengedarkan surat kepada setiap siswa kelas III untuk membantu pengadaan buku bacaan dengan tema yang sesuai dengan siswa kelas III SD. Adapun caranya sekolah/ guru mendata buku bacaan yang temanya sesuai dengan siswa kelas III SD di toko buku beserta daftar harganya. Wali murid dapat menyumbang langsung buku atau iuran lewat BP.

56

Pengelolaan

Guru membacakan sejumlah judul buku bacaan dan memperlihatkan beberapa buku bacaan dengan tema yang sesuai dengan siswa kelas III SD, yang tersedia di perpustakaan sebagai salah satu bentuk motivasi agar siswa berminat membaca. Setelah itu guru memberikan ulasan singkat yang menarik tentang salah satu buku bacaan kepada siswa di depan kelas, namun ulasan tersebut tidak diselesaikan dengan maksud agar siswa berupaya mencari lanjutan ceritanya.

Selain itu, sekolah/guru menyediakan papan pajan sejumlah mata pelajaran yang bisa dipajankan. Secara bergantian siswa ditugasi membuat ringkasan setiap materi pokok bahasan mata pelajaran yang baru dipelajari bersama. Adapun pelaksanaannya siswa membuat kelompk sehingga ada kelompok Bahasa Indonesia, Kelompok IPS, Kelompok PPKN dan Kelompok sebagainya. Setiap kelompok secara Individual membuat ringkasan pokok bahasan mata pelajaran yang sesuai bidangnya. Hasil ditempel dipapan pajan yang telah tersedia di kelas. Dengan demikian pada saat istirahat siswa dapat membaca, berdiskusi dari berbagai mata pelajaran. Tempelan diganti setiap pokok bahasan selesai dipelajari. Ringkasan yang baru dilepas disimpan dalam stopmap, yang sewaktu-waktu diperlukan mudah diambil. Sedangkan kelompok maupun bidang studinya diusahakan bergantian. Pemodelan

Pertama, secara terbimbing, guru menugasi siswa kelas III membaca bacaan yang dicarinya sendiri dari majalah anak-anak atau buku bacaan sesuai dengan tema yang disenanginya. Setelah itu guru menyusun jadwal kegiatan murid untuk menyampaikan isi, kesan, dan pengalaman setelah membaca bacaan yang ditugaskan kepadanya.

Kedua, guru tidak pelit dalam memberikan pujian atau penguatan kepada siswa. Pujian itu sebaiknya tidak terlalu umum tetapi mengarah pada spesifikasi yang telah dicapai murid. Misalnya bagi anak yang telah menuliskan watak pelaku dalam bacaan dengan baik diberi pujian ”watak yang kamu uraikan untuk pelaku malin kundang sudah bagus”.

Ketiga, siswa dibimbing guru menciptakan kelas bahasa, khususnya kelas membaca di kelas III. Setiap saat bisa diganti atau ditambah dengan yang baru, sehingga dalam kelas kaya akan bahan bacaan.

Hal lain yang bisa dilakukan guru untuk mendorong minat baca murid adalah membuka kesempatan berdiskusi dengan murid. Diskusi tersebut misalnya tentang berbagi kesulitan yang dialami siswa dalam membaca buku bacaan, membuat ringkasan, atau membahas isi buku yang telah dibaca siswa. Upaya yang dapat Dilakukan oleh Lingkungan Keluarga

Lingkungan keluarga sangat penting perannya dalam menciptakan minat baca anak-anak sedang berkembang pesat pada aspek motorik, emos, perkembangan social, pemahan terhadp konsep maupun bahasanya. Dengan demikian penanaman minat dan kebiasaan membaca pada anak-anak, sangat besar pengaruhnya.

Untuk masa-masa selanjutnya, pentingnya peranan keluarga dalam membaca dijelaskan oleh Thorndike (dalam Kholid A Harras, 1998:129) sebagai berikut: Diantara berbagai faktor eksternal membaca (dia menyebutnya factor sosiologis) dia menyebutkan konon pengaruh keluargalah yang sangat tinggi kontribusinya dalam mempengaruhi terbentuknya minat serta kemahiran membaca pada anak. Bahkan tidak terdapat indikasi bahwa anak-anak yang memliki minat serta kemahiran membaca unggul sebagai akibat langsung (pengaruh)

57

dari pengajaran membaca yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Sebaliknya berkat pengaruh serta dukungan keluargalah minat serta ketrampilan membaca mereka terbentuk.

Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua/keluarga antara lain sebagai berikut. Orang tua/keluaga harus membina keluarga membaca. Budaya membaca sangat perlu dibina dan dikembangkan dalam keluarga. Membaca surat kabar, buku dan bacaan lainnya bagi keluarga setiap hari pada waktu-waktu tertentu menjadi kebiasaan keluarga, akan mendorong anak untuk melakuakn kebiasaan membaca yang akhirnya anak akan gemar membaca.

Orangtua perlu memperhatikan kelemahan anak dalam membaca. Siswa kelas III SD masih terbiasa membaca bersuara, sehingga orang tua mudah mengamati kelemahannya. Apabila melihat gejala kelemahan anak dalam membaca, orang tua perlu mencatanya, kemudian membicarakannya dengan guru, agar guru dapat juga memperhatikannya serta membantu memperbaikinya.

Orangtua perlu mengajak anak yang masih di kelas III SD jalan-jalan ke kota (bagi anak desa), ke kebun binatang, ke lapangan terbang yang terdekat, ke tempat pariwisata yang mudah di jangkau, ke musuem, dan hal – hal lainnya. Hal itu perlu di lakukan untuk memperkaya skemata anak.

Orangtua/keluarga perlu mengajak anak untuk berkunjung ke toko buku, keperpustakaan umum. Anak disuruh melihat-lihat dan membaca buku bacaan yang disenanginya. Jika memungkinkan orangtua membelikan buku bacaan yang disenangi anaknya. Upaya yang dapat Dilakukan oleh Lingkungan Masyarakat

Upaya masyarakat untuk meningkatkan minta baca siswa SD dapat melibatkan orangtua, guru, dan karang taruna. Dengan bantuan guru, orangtua,

karang taruna masyarakat dapat menciptakan lingkungan baca yang tidak jauh berbeda dengan lingkungan di sekolah. Misalnya pengadaan perpustakaan, papan pajan. Lingkungan baca tersebut diadakan pada tingkat RT, atau Pokja. Sedangkan pengelolanya bisa guru atau karang taruna yang tinggal dalam satu RT. Oleh karena untuk siswa usia kelas III SD, perginya bermainnya masih berada di lingkungan rumah.

Upaya lain yang bisa di lakukan masyarakat untuk meningkatkan minat baca siswa kelas III SD yaitu dengan mengadakan lomba membaca pada hari-hari besar pada tingkat RT atau desa yang bisa menampung banyak siswa kelas III SD. Jenis lomba membacanya sangat banyak, misalnya lomba ketrampilan memahami isi, ketrampilan membaca puisi, bercerita tentang buku yang telah di baca, kemampuan mengingat judul dan pelaku, atau jumlah buku yang telah dibaca. Dengan banyaknya jenis lomba dan hadiah yang tersedia akan mendorong timbulnya minat siswa untuk gemar membaca. Simpulan dan Refleksi

Minat baca siswa kelas II SD perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan minat bacanya perlu ada motivasi ekstrinsik antara lain: upaya dari sekolah/guru, dari lingkungan keluarga, dan upaya dari lingkungan masyarakat. Upaya sekolah/guru bisa berupa pengadaan bahan bacaan, pengelolaan, dan pemodelan. Upaya lingkungan keluarga adalah membina keluarga pembaca, memperhatikan kelemahan anak dalam membaca, memperkaya skemata anak, dan berkinjung ke toko buku dan perpustakaan umum. Dari lingkungan masyarakat berupa pengadaan perpustakaan, papan pajan, lomba membaca pada hari-hari besar.

Upaya meningkatkan minat baca siswa kelas III Sekolah Dasar sebagaimana yang telah diuraikan, akan

58

terwujud apabila sekolah/guru, lingkunngan keluarga, dan lingkungan masyarakat melaksanakan program yang telah dipaparkan. Hal tersebut merupakan tantangan untuk menciptakan kegemaran membaca siswa kelas III Sekolah Dasar.

Ada beberapa kendala dalam mewujudkan tujuan dalam meningkatkan mminat baca siswa kelas III Sekolah Dasar tersebut, antara lain sebagai berikkut. Meskipun sekolah sudah menyediakan buku bacaan dengan tema yang digemari anak, guru sudah menunjukkan judul bacaan yang tersedia, guru memberikan contoh tentang isi buku bacaan yang menarik, namun kemungkinan masih ada siswa yang tidak timbul minatnya untuk membaca. Kepada mereka sebaiknya diberikan tugas membaca dan melaporkan hasilnya secara lisan/tertulis. Jika perlu sekolah memberitahukan lewat surat atau mengundang orang tua dari anak tersebut ke sekolah untuk membicarakannya.

Untuk mengadakan lomba keterampilan membaca, biasanya yang mendaftar adalah siswa-siswa yang berminat baca tinggi. Bagi siswa yang berminat baca rendah guru harus mengupayakan untuk mengikuti lomba baca. Adapun caranya, guru yang sudah mengetahui kemampuan baca siswa kelas III mengatur peserta dengan jenis lombanya. Misalnya untuk siswa yang minat bacanya rendah diikutkan pada lomba keterampilan memmbaca bersuara, dan untuk siswa yang minat bacanya tinggi diikutkan lomba kemampuan mengingat judul dan pelaku.

Upaya menciptakan keluarga menjadi keluarga membaca dalam keluarga juga ada kendalanya, antara lain: pendidikan orangtua siswa yang rendah, ekonomi yang kurang, lokasi rumah yang jauh dari keramaian, tidak memungkinkan untuk membeli surat kabar atau bacaan. Untuk mengupayakannya, guru kelas mendata siswa di kelas yang orang tuanya kurang mampu. Siswa tersebut secara ajeg dipinjami majalah anak-anak atau bacaan dari sekolah. Selain itu guru

memberikan pesan kepada orang tua untuk mengawasinya.

Kemungkinan ada siswa kelas III SD yang memilih untuk membaca buku bacaan/majalah yang belum waktunya. Untuk itu guru dan orang tua harus mengawasinya dan membantu menyeleksi bacaan yang cocok untuk siswa.

Pengaktifan perpustakaan desa, RT, Pokja itu pun juga ada kendalanya, antara lain siapa petugasnya, honorarium petugasnya. Untuk mengupayakan agar perpustakaan ituaktif bisa dijadikan perpustakaan swalayan. Adapun tatacara penggunaan perpustakaan tersebut bisa diinformasikan lewat orang tua pada pertemuan RT, Pokja. Sedangkan untuk menjaga kerapiannya siswa bisa dipiketkan secara bergilir. DAFTAR PUSTAKA Burns, Roe, 1996. Teachcing Reading in

Today’s Elementary Schools. Boston: Houghton Mifflin Company.

Dawson, Mildred A. dan Henry A.

Bamman. 1960. Fundamentals of Basic Reading Instruction. New York: Longmans, Green and Co.

Depdikbud, 1991/1992. Petunjuk

Pengajaran Membaca Menulis di Kelas III-IV Sekolah Dasar. Jakarta: Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdikbud, 1997. Laporan Lokakarya

Pengembangan Minat dan Kegemaran Membaca Siswa. Jakarta: Depdikbud.

Harjasujana, Ahmat, Slamet. 1998.

Membaca I. Jakarta: Universitas Terbuka.

Harras, Khalid, A. 1998. Membaca I.

Jakarta: Depdikbud.

59

Harris, Albert, J. dan Sipay, Edward, R. 1980. How to Increase Reading Ability. New York: Longman.

Nurhadi, 1997. Kapita Selekta Kajian

Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Malang: FPBS IKIP Malang.

Poerbakawatja, Suganda. 1992.

Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.

Pusat Pembinaan dan Pengembanngan

Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rosidi, Ajip, 1973. Pembinaan Minat

Baca Apresiasi dan Penelitian Sastra. Jakarta: Panitia Tahun Buku Nasional.

Sarwana, Sarlita Wirawan, 1982.

Membanngkitkan Minat Membaca di Lingkungan

Keluarga Anda. Jakarta: Majalah Sarinah.

Syafi’ie, Imam, 1999. Pengajaran

Membaca di Kelas-kelas Awal SD: Pidato Pengukuhan Guru Besar. Malang: Universitas Negeri Malang

Sugihartati, Rahma. 1997. Perilaku dan

Kebiasaan Anak Gemar Membaca (Kasus Keluarga Perkotaan di Surabaya). Jakarta: LP3S.

Tampubolon, 1993. Mengembangkan

Minat dan Kebiasaan Membaca Pada Anak. Bandung: Penerbit Angkasa.

Totong, 1998. Membaca Merupakan

Suatu Kebutuhan. Mutu Media Komunikasi dan Informasi Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar. Volume VI (04).

60

AMBIGUITAS MAKNA DALAM RORA BHÂSA BAHASA MADURA

oleh: Rahmad *) Abstrak: Secara teoritis ambiguitas dikemukakan oleh Ullman dalam Pateda (2001:202-206) terdiri atas tiga macam, yaitu 1) ambiguitas pada tataran fonetik, 2) ambiguitas pada tataran gramatika, dan 3) ambiguitas pada tataran leksikal. Penelitian ini.memfokuskan diri pada ambiguitas pada tataran gramatika atau pada tataran frase. Untuk mengungkapkan persoalan ambiguitas makna pada tataran frase dalam rora bhâsa Bahasa Madura metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Melelaui metode ini data berupa fase yang berwujud rora bhasa dalam Bahasa Madura dikumpulkan, dianalisis, dan ditafsirkan. Untuk mendapatkan data yang cukup variatif, penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara ke sejumlah penutur bahasa Madura di Pamekasan. Validasi data dilakukan melalui trianggulasi ke sejumlah narasumber para ahli sekaligus praktisi bahasa Madura yang tergabung dalam Team Pakem Maddhu Pamekasan. Setelah dilakukan analisis diperoleh sejumlah frase yang mengandung ambiguitas dalam rora bhâsa Bahasa Madura, yaitu atana’ nasè’, nyèkot kalambhi, Ngandhel biddhâng, Matoro’a jhuko’, Namen kembhâng, Mellè AQUA, Ngocek Rojhă’, Nompa’ Honda, Băuna è kèding, Ngènom kopi, Namen bhâko, Maca buku, Maca koran, Naè’ nyèyor, Mèsel roko’, Nyolet kompor, Ngalè somor, Mogher keddhâng, dan Mokol salana. Frase-frase tersebut memiliki dua makna yaitu secara kebahasaan dan secara komunikatif. Secara kebahasaan memiliki makna sebagaimana yang dimaksudkan dalam kata-kata yang terungkap sedangkan secara komunikatif memiliki makna sebagaimana yang dimaksudkan penuturnya. Perbedaan makna tersebut tidak menimbulkan kesalahpahaman komunikasi sebab frase-frase tersebut sudah biasa digunakan oleh masyarakat Madura dengan makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh penuturnya.

Kata-Kata Kunci: Ambiguitas, frase, dan gramatikal.

Pendahuluan Pada umumnya masyarakat

Indonesia dapat dikatakan sebagai dwibahasawan, yaitu masyarakat yang bisa dan biasa memakai dua bahasa atau lebih dalam berinteraksi. Satu sisi menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama dan sisi yang lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa kedua. Bahasa daerah disebut bahasa pertama atau bahasa ibu karena yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari Ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak adalah bahasa

daerah. Bahasa Indonesia disebut bahasa kedua karena baru dipelajari ketika masuk sekolah atau setelah mengetahui bahasa pertama (Chaer, 1995 : 107-108). Namun demikian, pada perkembangan terakhir tidak jarang dijumpai bahwa pada keluarga tertentu -- keluarga yang terbentuk atas perkawinan antarsuku-- bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama.

Indonesia adalah negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, berbagai bahasa daerah, serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama (Chaer, 1995:294). Tiap-tiap suku bangsa

61

memiliki bahasa daerah tersendiri, seperti suku Jawa memiliki bahasa Jawa, suku Sunda memiliki bahasa Sunda, suku Madura memiliki bahasa Madura, dan sebagainya. Tiap-tiap bahasa daerah itu merupakan ciri khas masyarakat penutur bahasa daerah tersebut.

Dalam seminar bahasa daerah (1975) dirumuskan bahwa bahasa daerah ialah bahasa yang di samping bahasa nasional dipakai bahasa perhubungan intra daerah di wilayah Republik Indonesia. Kedudukan bahasa-bahasa daerah dijamin kehidupan dan kelestariannya seperti dijelaskan pada pasal 36, Bab XV Undang-Undang Dasar 1945 (Chaer, 1995:297).

Demikian pentingnya fungsi bahasa daerah itulah, penelitian bahasa daerah khususnya bahasa Madura mempunyai makna yang sangat penting bagi masyarakat dan bangsa. Daerah Madura itu sendiri serta bagi perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Bahasa Madura yang jumlah penuturnya relatif besar, wilayah pemakainya relatif luas, dan didukung oleh adat istiadat dan budaya yang sangat kuat dapat dipastikan tidak akan ditinggalkan oleh penuturnya. Hal itu sesuai dengan pendapat Chaer (1995:300) bahwa bahasa daerah yang jumlah penuturnya relatif besar, wilayah pemakainya relatif luas, dan di dukung oleh adat istiadat dan budaya yang kuat (termasuk karya sastranya) dapat dipastikan tidak akan ditinggalkan oleh penuturnya, setidaknya dalam waktu yang relatif lama.

Bahasa Madura merupakan bahasa ibu bagi penduduk asli yang tinggal di pulau Madura dan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti pulau Raas, Sepudi, Kangean, Sapeken, dan pulau lain yang termasuk wilayah Madura, serta beberapa daerah lainnya di Jawa Timur, seperti Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan daerah-daerah lain yang banyak dihuni orang Madura.

Selain itu, bahasa Madura sebenarnya memilki keragaman bahasa yang terdiri dari berbagai dialek, serta keragaman pada bahasa sastranya yang disebut dengan lalongèt. Namun terlepas dari itu, bahasa Madura juga seperti

bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang tak lepas dari keabsahan pada kaidah bahasanya, sekalipun itu pada bahasa sastra.

Hal yang penting tampak dalam bahasa Madura kaitannya dengan ketaksaan atau ambiguitas makna terdapat dalam rora bhâsa atau disebut juga bahasa salah kaprah. Jika dikaji dari struktur makna leksikal, bahasa dalam rora bhâsa memang salah. Namun karena bahasa ini sudah lumrah atau biasa dipakai oleh masyarakat dan para penuturnya sama-sama mengerti, maka bahasa ini tidak dapat dikatakan salah secara keseluruhan. Banyak sekali bahasa atau ungkapan dalam rora bhâsa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Dalam hal ini, penulis lebih khusus tertarik pada persoalan ambiguitas makna yang bersifat gramatikal pada tataran frase.

Ambiguitas adalah keraguan atau kebingungan dalam mengambil keputusan tentang makna dan keanekatafsiran makna atau bisa disebut sifat konstruksi yang dapat diberi lebih dari satu tafsiran atau makna (Chaer, 1994: 104).

Makna adalah suatu pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan, baik itu dalam bentuk kata dan kalimat (Pateda, 2001: 79).

Rora bhâsa Madhura, sèttong bhâsa sè nyatana kalèro manabi ètèngalè dâri sosonan ca’-oca’na ta’ cocok sareng sè èkamaksod sanaos sapanèka ta’ kèngèng èobâ è dâlem sastra sabâb ampon sala kappra (Dradjid, 2002: 54). Maksudnya adalah rora bhasa merupakan bagian dari sastra Madura yang sering disebut dengan bahasa salah kaprah. Bahasa ini memang dari segi struktur bahasa Madura kurang lengkap, tetapi semua orang bisa mengerti bahkan justru kalau disebut secara lengkap tidak dimengerti. Misalnya “nyêkot kalambhi”, yang dimaksud nyêkot kalambhi adalah bukan menjahit baju, melainkan menjahit kain dijadikan baju. Logikanya adalah pakaian jadi atau baju tidak mungkin dijahit lagi atau dipotong lagi.

Penelitian ini berkaitan dengan sekitar ambiguitas dan macam-macamnya. Di dalamnya juga terdapat bentuk-bentuk penggunaan ambiguitas dalam rora bhâsa bahasa Madura. Secara teoritik seperti

62

yang diungkapkan oleh Ullman dalam Pateda (2001:202-206) ambiguitas terdiri atas tiga macam, yaitu 1) ambiguitas pada tataran fonetik, 2) ambiguitas pada tataran gramatika, dan 3) ambiguitas pada tataran leksikal.

Ambiguitas pada tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan. Ambiguitas pada tataran Gramatikal biasanya muncul pada satuan kebahasaan yang disebut kalimat atau kelompok kata. Dan ambiguitas pada tataran leksikal terjadi pada kata yang bersifat polivalensi (multi makna).

Ambiguitas yang dikaji dalam penelitian ini terdapat pada rora bhâsa. Rora bhasa merupakan bagian sastra Madura yang sering disebut dengan bahasa salah kaprah yang sering digunakan dalam masyarakat ketika melakukan komunikasi sehari-hari. Bahasa Madura yang diteliti mencakup ragam bahasa dalam bentuk dialek dan tingkatan bahasa. Dialek dalam bahasa Madura terdiri dari empat jenis, yaitu (1) dialek Sumenep, (2) dialek Pamekasan, (3) dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean. Tingkatan tutur bahasa Madura terdiri dari ragam (1) Enja’ Iya, (2) Engghi Enten, dan (3) Engghi Bhunten.

Seluruh persoalan yang berkaitan dengan variabel dalam penelitian ini tidak diteliti. Penelitian difokuskan pada ambiguitas yang bersifat gramatikal sebab pada tataran inilah yang paling sering muncul dan yang paling mudah diidentifikasi jalan logikanya. Dialek yang diteliti adalah dialek Pamekasan pada tingkatan Enja’ Iya.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas maka masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah ambiguitas makna pada tataran gramatikal dalam rora bhâsa bahasa Madura dialek Pamekasan?

Pembahasan Teoritis

Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Ambiguitas timbul dalam berbagai variasi ujaran atau bahasa tertulis. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yakni frase atau kalimat,

dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda (Chaer, 1995: 104).

Sehubungan dengan ketaksaan ini Ullman (1976) dalam Djajasudarma (1999:54) menyebutkan ada tiga bentuk utama ketaksaan, yaitu ketaksaan pada tataran fonetik, gramatikal, dan leksikal. Ketaksaan ini muncul bila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit untuk menangkap pengertian yang kita baca, atau yang kita dengar.

Bahasa lisan sering menimbulkan ketaksaan sebab apa yang kita dengar belum tentu tepat benar yang dimaksudkan oleh si pembicara atau si penulis. Di dalam tulisan kita mengenal tanda baca yang akan memperjelas maknanya. Lebih-lebih bila pembicara berbicara dengan cepat, tanpa jeda. Tetapi di dalam bahasa tulis penafsiran ganda dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan.

Demikian jika kita mendengar ujaran “anak istri kapten cantik.” Kita bingung, apakah yang dimaksud dengan ujaran ini?. Apakah anak dan istri kapten yang cantik? Apakah anak, istri, dan kapten semuanya cantik? Semuanya masih merupakan tanda Tanya pada kita. Keraguan, kebingungan mengambil keputusan tentang makna, dan keanekaan tafsiran makna seperti ini, itulah yang disebut ambiguitas.

Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya ambigu atau ketaksaan atau keraguan dalam menangkap sebuah informasi, semua itu tergantung pada pembicara dalam mengukuhkan atau memperjelas makna kata atau kalimat yang diucapkan atau diujarkan oleh sang penutur.

1) Jenis-Jenis Ambiguitas Sehubungan dengan jenis

ambiguitas makna dibagi menjadi 3 bentuk utama, yakni ambiguitas pada tingkat fonetik, tingkat gramatikal, dan tingkat leksikal. Ketiga jenis ambiguitas itu akan dipaparkan berikut ini.

a.Ambiguitas Tingkat Fonetik Ambiguitas pada tingkat fonetik

timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan. Kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keraguan akan

63

maknanya. Misalnya ada ujaran /membeli kantin/. Apakah yang dimaksud adalah membelikan Tin, atau membeli kantin?. Dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang kita mendengar ujaran bakmi. Apakah yang dimaksuda adalah sejenis makanan yang disebut bakmi, ataukah bak mi, yang bermakna seperti mi?. Ini semua adalah hal yang berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi bahasa yang kita dengar. Kadang-kadang karena ragu-ragu, kita mengambil keputusan keliru. Seorang kapten pesawat terbang dapat merasa ragu, apakh fifteen ataukah fifty, yang dapat membahayakan pesawat dan seluruh awaknya, serta penumpangnya. Oleh karena itu, untuk menghindari ketaksaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk mengulangi apa yang diujarkan.

b. Ambiguitas Tingkat Gramatikal

Ambiguitas tingkat gramatikal biasanya muncul pada satuan kebahasaan yang disebut kalimat atau kelompok kata. Dengan demikian ambiguitas pada tingkat gramatikal dapat dilihat dari 3 segi.

Kemungkinan pertama adalah ambiguitas yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Misalnya pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna, prefiks peN-: Pemukul bermakna ganda: ‘orang yang memukul’ atau ‘alat untuk memukul’, dengan demikian pula: penidur ‘obat yang menyebabkan tidur’ atau ‘sifat’. Kemungkinan kedua, yakni ambiguitas pada frase yang mirip. Tiap kata membentuk frase sebenarnya jela, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian. Misalnya kalimat “I met a number of old friends and acquaintances” saya berjumpa dengan sejumlah teman lama dan kenalan”, kata old friends dan old acquaintances tidak dapat menimbulkan ketaksaan bila kita lihat konteks dan intonasi. Di dalam bahasa Indonesia frase orang tua dapat bermakna ganda ‘orang yang tua’ atau ‘ibu-bapak’. Kemungkinan ketiga, yakni ambiguitas yang muncul dalam konteks, apakah konteks orangan atau konteks situasi. Misalnya kalimat minor “pergi?” Apakah maksud kalimat ini? Orang dapat bertanya

:pergi kemana; dengan siapa pergi; pukul berapa pergi; mengapa pergi; untuk apa pergi? Untuk menghindarkan ambiguitas pada konteks, orang harus mengetahui betul pada konteks apa seseorang berbicara.

c.Ambiguitas Tingkat Leksikal Setiap kata dapat bermakna lebih

dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Misalnya orang mengujarkan bang mungkin mengacu kepada ‘abang’ atau ‘bank’, bentuk seperti itu dikatakan polyvalency yang dapat dilihat dari dua segi, polisemi dan homonimi.

Segi pertama yaitu polisemi. Polisemi menunjukkan bahwa suatu kata memiliki lebih dari satu mkna. Misalnya kata haram di dalam Bahasa Indonesia bermakna:

1. Terlarang, tidak halal Haram hukumnya, apabila makna

daging bangkai. 2. Suci, tidak boleh dibuat

sembarangan Tanah haram atau masjidilharam di

Mekah itu adalah semulia-mulia tempat di atas bumi.

Segi kedua adalah homonimi adalah kata-kata yang sama bunyinya. Misalnya di dalam bahasa Inggris bila diujarkan kata see ’melihat’ ataukah sea ‘laut’; di dalam bahasa Indonesia bisa ‘dapat’ atau ‘racun’, atau pukul ‘jam’ ataukah 'ketuk’ (mis., ia berangkat pukul lima; tukang ketuk = tukang pukul). Segi kedua ini tidak akan menimbulkan ketaksaaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks.

Ambiguitas makna dapat muncul akibat dari antara lain :

1). Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik). Misalnya kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat “anak ali amat sakit” belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.

2). Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.

3). Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahasa

64

tidak jelas. Misalnya sampai di mana batasa kata pandai itu.

4). Sebabnya kata yang kita pakai dengan acuannya (referentnya). Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi, politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?

Kekaburan makna inidapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus digunakan pada situasi tertentu.

Pembahasan Empiris

Di bawah ini adalah fakta penggunaan ambiguitas makna dalam rora bhâsa bahasa Madura yang biasa digunakan oleh masyarakat Pamekasan. 1. Penggunaan Frase Atana’ nasè’

Frase “Atana’ nasè’ ” memiliki makna ganda. Makna yang pertama secara kebahasaan adalah ‘memasak nasi’, sedangkan makna yang kedua secara faktual yang dimaksudkannya adalah ‘memasak beras untuk dijadikan nasi’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Atana’ nasè’” seharusnya adalah “Atana’ bhârres ghâbây nasè’”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Atana’ nasè’” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. N : “Apa bhâi sè è kalakonè è dâpor

jiyâ?” E : “Atana’” N : “Atana’ apa?” E : “Atana’ nasè’ “ (Data 1)

Frase Atana’ nasè’ biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘memasak beras untuk dijadikan nasi’ dan tidak biasa digunakan frase Atana’ bhârres ghâbây nasè’’. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak Bambang (Anggota Anggota Team Pakem Maddhu Pamekasan).

2. Penggunaan Frase Nyèkot kalambhi Frase “nyèkot kalambhi” memiliki

makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘menjahit baju’, sedangkan makna yang kedua adalah ‘menjahit kain untuk dijadikan baju’. Berdasarkan maksud sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “nyèkot kalambhi” adalah “nyèkot kain ghâbây kalambhi”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase nyèkot kalambhi dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. A : Nyoroaghi kalambhi. R : Yâ…toju’ ghâllu. Nyoroaghina kalambhi apa? J : Apa ya ba’ kalambhi biyasa, modèl

biyasa kèn è angghuyâ nyoba’ wan-sukwanan.

R : O…bânnya’ polana modèlla satèya, ano yâ mèlè dhibi’ yâ neng ghâmbhâre apaan yâ.

J : Iyâ la…! Nyongngo’a ghâmbhârre sèngko’. Yâ… sè nyaman kanta ba’ riska rèya satèya mosèmma na’ kana’ sakolah bânnya’ reng nyoroaghi jhâi’en.

R : Dimma, iyâ mon sĕ bănnya’ ano rowa, nyèkot băgiyân bhi kalambhi sakolaan, jhâ’ rowa bâgiyân tailor biyasana rowa, mon ghă-tatangghă dimma tadă’ mon nyèkot kalambhi bâgiyân sakolaan jiyâ, palèng ghun nyèkot kalambhi sa-biyasa rowa, è angguy ka mantan, è angguy dâ’ dimma dâ’ iyâ. (Data 2)

Frase nyèkot kalambhi biasa

digunakan untuk menyatakan maksud ‘menjahit kain untuk dijadikan baju’ dan tidak biasa digunakan frase nyèkot kain ghâbây kalambhi. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota Anggota Team Pakem Maddhu) dan Bapak M. Drajid, B.A (anggota Anggota Team Pakem Maddhu).

65

3. Penggunaan Frase Ngandhel biddhâng

Frase “ngandhel biddhâng” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘memasak air yang sudah bercampur dengan misalnya kopi dan gula untuk diminum’, sedangkan makna yang kedua adalah ‘memasak air mentah untuk dijadikan minuman’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “ngandhel biddhâng” adalah “ngandhèl aeng ghâbây biddhâng”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “ngandhel biddhâng” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. .......................... H : Tâ’ tao bâdâ è budiyân palèng. B : Soro ghâbây ra. H : Lè’…ya bâdâ nom Bai ya, lè’…bâ…! Y : Apa? H : Ya ngandhèl ano, ngandhèl biddhâng Y : Lu’ jhâ’ endi ghâllu marèna ya! B : Du… latorot bhing, sakèjjâ’ sèngko’

dâ’ dinna’, marèna la mangkadhâ alako. (Data 3)

............................. Frase ngandhel biddhâng biasa

digunakan untuk menyatakan maksud ‘memasak air mentah untuk dijadikan minuman’ dan tidak biasa digunakan frase ngandhèl aeng ghâbây biddhâng. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota Anggota Team Pakem Maddhu). 4. Penggunaan Frase Matoro’a jhuko’

Frase “Matoro’a jhuko’” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘menitip ikan’, sedangkan makna yang kedua adalah ‘menitipkan uang untuk dibelikan ikan”. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Matoro’a jhuko’” seharusnya adalah “Matoro’a pessè kabelliaghi jhuko’”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase

“Matoro’a jhuko’” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. ...................... N : Iyâ…iyâ…Jhâ’ endi ghâllu. Ko’

matoro’a dik. J : Matoro’a apa ba’? N : Matoro’a Jhuko’ Rp 5.000,- J : Polè? N : Wes la. ..................... (Data 4)

Frase Matoro’a jhuko’ biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘menitipkan uang untuk dibelikan ikan” dan tidak biasa digunakan frase Matoro’a pessè kabelliaghi jhuko’. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota Anggota Team Pakem Maddhu) dan Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 5. Penggunaan Frase Namen kembhâng

Frase “namen kembhâng” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘menanam bunga’ sedangkan makna yang kedua adalah ‘menanam batang pohon dari bunga tersebut’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “namen kembhâng” seharusnya “namen bhungkana kembhâng”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “namen kembhâng” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. ................................. M : Arapa cong? Ha : Enje’ masè namen kembâng bâri’. M : È kemma? Ha : È tèmor romana. Ho : Sèngko’ ro lè’ sè namen lè’. Ha : Namen kembâng, kembâng apa

rowa ka’? Ho : Kembâng ano rowa, apa rowa

nyamana, sekarjambi. .................................. (Data 5)

66

Frase namen kembhâng biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘menanam batang pohon dari bunga tersebut’ dan tidak biasa digunakan frase namen bhungkana kembhâng. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota Team Pakem Maddhu) dan Bapak M. Drajid, B.A. (anggota Team Pakem Maddhu). 6. Penggunana Frase Mellĕ AQUA

Frase “Mellè AQUA” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘membeli aqua’ sedangkan makna yang kedua adalah ‘membeli air minum dalam kemasan’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Mellè AQUA” seharusnya adalah “Mellè aèng mèrek AQUA”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Mellè AQUA” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. ........................................ S : Ghâbay apa ma’ mellè rokok cè’

bânnya’en. A : Biyasa orèng sibu’. S : Wa…dâ’ iyâ lakar mon orèng

penting. A : Ha..ha…ha… D : Cora’ bâdâ salameddhân yâ, ma’

mellè AQUA. A : Dhuliyân nom ya, ko’ bâdâ tamoy

polana. S : Bâ….tang andi’ ghâllu ba, krèna

ba…! ......................................... (Data 6)

Frase Mellè AQUA biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘membeli air minum dalam kemasan’ dan tidak biasa digunakan frase Mellè aèng mèrek AQUA. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh

Bapak H. sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 7. Penggunaan Frase Ngocek rojhâk

Frase “ngocek rojhâk” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘mengulek rujak’ yaitu rujak yang terdiri dari bahan (timun, kerupuk, dan lain-lain) dan bumbu (kacang, garam, petis, dan lain-lain). Makna yang kedua adalah ‘mengulek bumbu dari rujak itu sendiri yang terdiri dari kacang, garam, petis, dan lain-lain’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “ngocek rojhâk “ seharusnya adalah “ngocek plappana rojhâk“. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “ngocek rojhâk” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut.

.................................................. A : Riya ri… mon panakan pagghun e

bârri’, lambhâ’ lakar riya ri…! F : Ta’ ka è langan jhâ’ kalarangan B : Tun sèmangkaddhâ ka mantan è

dântos Halima F : Iyâ dântos ghâllu sèngko’ ghi’ ngocek

rojhâk karè duwâ’ aghi ya apa. A : Mantan è dimma jiya nya…? F : È larangan, marèna kol sanga’

mangkat ............. ................................... (Data 7)

Frase ngocek rojhâk biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘mengulek bumbu dari rujak itu sendiri yang terdiri dari kacang, garam, petis, dan lain-lain’ dan tidak biasa digunakan frase ngocek plappana rojhâk. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota Team Pakem Maddhu) dan Bapak M. Drajid, B.A. 8. Penggunaan Frase Nompa’ honda.

Frase “Nompa’ honda” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘naik kendaraan merek Honda’, sedangkan

67

makna yang kedua adalah ‘naik sepeda motor’ (apa pun mereknya). Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Nompa’ Honda” seharusnya adalah “Nompa’ sapeda motor merek apa bhâi”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Nompa’ Honda” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. .................................................. M : Semangkaddhâ ka sorbhâjâ bile jiya? O : Tangghâl empa’ bile tangghâl empa’? I : Tangghâl empa’ sabto M : Nompa’ apa? Nompa’ Honda Nompa’ honda jiya non bâ’en. ........

(Data 8)

Frase Nompa’ Honda biasa digunakan untuk menyatakan maksud naik sepeda motor (apa pun mereknya)’ dan tidak biasa digunakan frase Nompa’ sapeda motor merek apa bai. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan olehBapak M. Drajid, B.A dan Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 9. Penggunaan Frase Bâuna è kèding

Frase “Bâuna èkèding” termasuk dalam jenis ambiguitas makna, pada pergeseran dan perubahan makna, dan rora bhâsa tersebut termasuk ke dalam jenis metafora bercitra sinestesia yaitu salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra. Pengalihan dari salah satu indra yang lain. Dari contoh rora bhâsa di atas Frase bâuna èkèding merupakan pengalihan indra pencium (Bâuna) ke indra pendengar (èkèding). Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Bâuna èkèding” seharusnya adalah “Bâuna ka siom”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Bâuna èkèding” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. ..................................................

A : Jhâ’ kadhâng sampe’ cèlleng rowa, dhing kata din sami

F : Iyâ mon kopi ro nom A : Enje’ cong, bek ano rowa ning-

konengga rowa, kèng lakar dhungaddhu rèya, bâuna bhâbâng rèya ding è ghuring

F : Bâuna? A : Iyâ bâuna è kèding man-dâ’emman. E : Hhzzz…. (Data 9)

Frase Bâuna èkèding biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘baunya tercium’ dan tidak biasa digunakan frase Bâuna ka siom. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 10. Penggunaan Frase Ngènom kopi

Frase “Ngènom kopi” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘minum kopi’ sedangkan makna yang kedua adalah ‘minum minuman yang terbuat dari campuran air, gula, dan kopi’ (biddhâng kopi). Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Ngènom kopi” seharusnya adalah “Ngènom biddhâng kopi”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Ngènom kopi” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. .................................................. H : Ngellas è musholla S : Ta’ iyâ…malemma jiye taker malem

ko’ so eppa’en, adâ’ ko’ pas ta’ ngèddhâ tèdung malemma aca-cacaan, samalem ko’ Ris, sampe’ mole kol tello’ Ris. Ba ettara dateng dâ’ iyâ sè adâna è musholla, mole ko’ cètak la nyello, tèdungga ta’ ngeddhâ, bânnyâ’ ghâllu rowa Ngènom kopi, jhâ’ bi’ emma’en è eberri’ sa emmo’, ghun è kaduwei so eppa’en.

H : Sapa’an malemma nom? S : Mon ghi’ bhâri’ rowa bâdâ Nanang

rowa, Tanya Hp rowa. ................................................. (Data 10)

68

Frase Ngènom kopi biasa

digunakan untuk menyatakan maksud ‘minum air panas bercampur kopi dan gula’ dan tidak biasa digunakan frase Ngènom biddhâng kopi. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak H.M. Dradjid, B.A. (Anggota Team Pakem Maddhu) 11. Penggunaan Frase Namen bhâko

Frase “Namen bhâko” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘menanam tembakau’ sedangkan makna yang kedua adalah ‘menanam belta’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Namen bhâko” seharusnya adalah “Namen belta”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Namen bhâko” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. .................................................. J : Ngastanè napa’an nom? Ghun ka sabâ

malolo arè? S : Yâ lako apa polâ bhing, yâ…mon

mosèm bhâko namen bhâko, adâ’ polè lakona ghun dâ’ iyâ, rep-ngarep tanè dâri sabâ rèya.

J : Èkadhibi’I nom nyèram? Nyannya ka’ dimma ta’ nolongi?

S : Yâ tao…dhângkadâng nolongi nyannyana, yâ dhângkadâng enje’, jhâ’ ko’ ta’ nyoro rowa, nyamana ni’ bini’ rèpot è dâpor, yâ padâ’ remmaa polè, yâ la dhina dâ’ iyâ rèya, yâ mon bâdâ kaka’en, sè abhânto, yâ mon ano bi’ dhibi’en

.................................................. (Data 11) Frase Namen bhâko biasa

digunakan untuk menyatakan maksud ‘menanam tembakau’ dan tidak biasa digunakan frase Namen belta. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini

dibenarkan oleh Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 12. Penggunaan Frase Maca buku dan

Maca Koran Frase “maca buku atau maca koran”

memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah yang dibaca buku atau koran sebenarnya, sedangkan makna yang kedua adalah yang dibaca tulisan yang ada di dalam buku atau koran tersebut. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “maca buku atau maca koran” seharusnya adalah “maca tolèsan sè bâdâ è buku otaba maca tolèsan sè bâdâ è koran ”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “maca buku atau maca koran” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. .................................................. M : Enje’ computer, lakona computer

kabbhi, riya asalla sittong lember maso mèjâ kèng è rècarè

E : Jhâ’ iya’ ta’ terrang, bâ’en masa’ ghi’ ngatèla ba?

M : Enje’ ghi’ nyaman E : Mon maca buku rowa? M : Biyasa E : Maca Koran ? M : Iyâ biyasa E : Lakar molaè ta’ perna ngangghuy

kaca mata bâ’en ba? .................................................. (Data 12)

Frase maca buku atau maca koran biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘membaca tulisan yang ada di buku atau koran’ dan tidak biasa digunakan frase maca tolèsan sè bâdâ è buku otaba maca tolèsan sè bâdâ è koran. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 13. Penggunaan Frase Naè’ nyèyor

Frase “Naè’ nyèyor” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘memanjat buah kelapa’, sedangkan

69

makna yang kedua adalah ‘memanjat pohon kelapa’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Naè’ nyèyor” seharusnya adalah “Naè’ bhungkana nyèyor”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Naè’ nyèyor” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. .................................................. F : Yâ maju tolongi ris…, yâ jhâ’ benni

ano rèya, tarèna ghâbây pellet bâtteng, nèser rowa, parlo duwe’en ghun, bâ’en bisa naè’?

A : Apa? F : Naè’ nyèyor. A : Ya sèngko’ sibo’ nom . F : Ce’ sarana riya. A : Ta’ tao ko’ nom naè’ nyèyor, ta’ tao. F : Ngangghuy ghâle jhâ’ ma’semma’

jiya mon nyèyor konèng jiya ris…! A : Coba’ ka pa’ Rasyid, pa’ Rasyid rowa

pola tao, sengghut rowa pa’ Rasyid rowa pola nom, enje’ segghut rowa, tanyaaghi ka elle’ ja, enje’ ongghuen jiya..... (Data 13)

Frase Naè’ nyèyor biasa digunakan

untuk menyatakan maksud ‘memanjat pohon kelapa’ dan tidak biasa digunakan frase Naè’ bhungkana nyèyor. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak M. Drajid, B.A dan Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 14. Penggunaan Frase Mèsel roko’

Frase “mèsel roko’ ” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘menggulung rokok sudah jadi’, sedangkan makna yang kedua adalah ‘menggulung kertas yang diberi tembakau untuk dibuat rokok’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “mèsel roko’ ” adalah “mèsel dlubang è berri’ bhèko ghâbây roko’ ”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “mèsel

roko’” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. A : Ya’ nom roko’ anyar. J : Roko’ pa jiya, roko’ pèsellan rowa? A : Ta’ tao è berri’ ano ya nom Suhri. J : Hu…h. lambâ’ la jiya, embana rowa

mèsel malolo mon ghun roko’ jiya, ta’ mellè riya, mon la a roko’a mèsel, ghân sa plastic kressek rowa roko’en.

A : Mèsel roko’ jiya nom? J : Iyâ alakoa apa pole, ya sèngko’

aghâbây ya, pola bâ’en nyoba’a ya’. masa mon nyoba’a, ya’ roko’

.................................................. (Data 14) Frase mèsel roko’ biasa digunakan

untuk menyatakan maksud ‘menggulung kertas yang diberi tembakau untuk dibuat rokok’ dan tidak biasa digunakan frase mèsel dlubang è berri’ bhèko ghâbây roko’. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak Drajid, B.A dan Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu).

15. Penggunaan Frase Nyolet kompor

Frase “Nyolet kompor” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘menyalakan kompor’, sedangkan makna yang kedua adalah ‘menyalakan sumbu kompor’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Nyolet kompor” seharusnya adalah “Nyolet sombuna kompor”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Nyolet kompor” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. M : O’ ma’ o’ sèngko’ ghâlle’ jâr-

kalenjâr, èntar ka krèsidènan O : Kol bârempa? M : Kol bellu’ (8). Otao èntar, pas bâdâ

orèng jhuwel ba’so O’, yâ’ ko’ mellè O’, otao ba’sona jâriya ta’ panas o’.

O : Ma’ pas ta’ panas jiya, dâ’ remma orèng juwel ba’so jiya

M : Jhâ’ rèng ba’so ghâ-ohgâ, ba’sona gemblung, otao dhing è congngo’

70

komporra ta’ odi’, yâ…sèngko’ sè nyolet komporra terpaksa jiya, pas nyaman ba’sona, pas anga’

O : Anga’ pole? M : Iyâ mare mellè jiya, ko’ pas èntar lè-

mellè, mellè kunci, polè èntar ka dâjana terminal laju ro…, èntar dâ’ dissa ko’.

................................................... (Data 14)

Frase Nyolet kompor biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘menyalakan sumbu kompor’ dan tidak biasa digunakan frase Nyolet sombuna kompor. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 16. Penggunaan Frase Ngalè somor

Frase “Ngalè somor” memiliki makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘menggali sumur’, sedangkan makna yang kedua adalah ‘menggali tanah untuk membuat sumur’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Ngalè somor” seharusnya adalah “Ngalè tana è ghâbây somor”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Ngalè somor” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. A : Sapa neng dinna’ tokang ngalè somor

yâ? Rèng ngalè somor, wa’ neng tèmorenna korang dâlem, ra kèra bârampa permèterra bâ’en ta’ tao ris?

H : Apa nom? A : Orèng ngalè somor , masa’ bâ’en ta’

tao, atanya orèng ngalè somor sapa neng dinna’ sè bisa?

H : Coba’ atanya ka nom Halil, jiyâ nom Halil jiyâ, mon nom halil tao jiya. Sèl…sèl … nom Halil olok ja, nom alil, Halil…Halil olok, jiya panggil…panggil om dâpor

Ha : Apa…? Huk…huk… H : Ma’ bâto’an malolo nom? Ha : Ta’ iyâ sèngko’ bâri’ pas alako din

marsudi ngalè somor jiya hu… ghi’ bhuru mare, tanana ghâli, teng-

katengan, è kocco’ bârempa kale pagghun ..... (Data 16)

Frase Ngalè somor biasa digunakan

untuk menyatakan maksud ‘menggali tanah untuk membuat sumur’ dan tidak biasa digunakan frase Ngalè tana è ghâbây somor. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak Drajid, B.A (anggota Team Pakem Maddhu). 17. Penggunaaan Frase Mogher

keddhâng Frase “Mogher keddhâng” memiliki

makna ganda. Makna yang pertama adalah ‘menebang buah pisang’, sedangkan makna yang kedua adalah ‘menebang pohon pisang’. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “Mogher keddhâng” seharusnya adalah “Mogher bhungkana keddhâng”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “Mogher keddhâng” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. K : Tè’ ghâllu, rowa kan keddhâng sè è

dâjâenna somor, masè la ondung rowa ba?

E : Iyâ K : Din sapa rowa? E : Din dhibi’ rowa persendiânna dhing

kambrat K : Benni din Muhammad? E : Benni din dhibi’ le jiya bi’ sèngko’ è

poghârre bhungkana, keddhânga èyokebbe dâ’ iyâ, è ghâbây persediaenna dhing kambrat.

K : Abbâ…sè è dâjâna somor rowa, enjâ’ polana bâri’ sèngko’ ngatèla Muhammad mogher keddhâng neng dissa

E : È dâjâenna lèkè jiya sè din Muhammad. Benni din dhibi’, din Muhammad è pogher dhibi’, mon mogher din dhibi’ è ghi-ghiri bi’ sèngko’

K : Dhâddhi din bâ’en rowa ba? E : Iyâ din dhibi’

71

..................................... (Data 17)

Frase Mogher keddhâng biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘menebang pohon pisang’ dan tidak biasa digunakan frase Mogher bhungkana keddhâng. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak M. Drajid, B.A (anggota Team Pakem Maddhu). 18. Penggunaan Frase Mokol salana.

Frase “mokol salana” jika dikaji dari segi gramatikal Frase “mokol salana” adalah tidak benar, karena suatu kesalahan itu tidak berwujud atau tampak sehingga tidak dapat dipukul. Seharusnya adalah memukul orang yang mempunyai kesalahan. Berdasarkan maksud yang sesungguhnya dan apabila dinyatakan secara gramatikal, penggunaan frase “mokol salana” seharusnya adalah “mokol oreng sè andi’ sala”. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “mokol salana” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. H : Sulaiman dâ’ Emma Yu? R : Tao…amain wa. H : Main dimma? R : Tao… dâ’ bâre’ maso Vivin, è pokol

bi’ sèngko’ ghi’ bhuru pas nangis polana noro’a kaka’en, kaka’en belajar kelompok.

H : Jhâ’ ghun noro’a la è pokol, arapa jhâ’ ghun kerja kelompok bânni a sakola.

R : Ta’ iyâ aganggu, ta’ tenang, dhing jhâr-ajhâren, pas ghun rok-ngèrok dâ’ bukuna. Dhina ra ma’le ta’ katomani, sèpat dâ’ dimmaa pas noro’a, dhina jhâ’ sèngko’ ta’ mokol orèngnga mokol salana.

H : Yâ…enjâ’ kiya, mon ghun maso jiya dhâle dâ’ iyâ, jhâ’ bâghi jiya

R : Ghuta’ la marè .....................................(Data 18)

Frase mokol salana biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘memukul orang (biasanya anak-anak) yang melakukan kesalahan’ dan tidak biasa digunakan frase mokol oreng sè andi’ sala. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak M. Drajid, B.A dan Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem Maddhu). 19. Penggunaan Frase Ngala’ wudhu’

Secara kebahasaan makna frase ngala’ wudhu’ adalah ‘mengambil wudhu’. Padahal dalam logika sederhana dan dalam kenyataan tidak pernah wudhu’ bisa diambil. Berdasarkan logika dan fakta yang ada tuturan tersebut seharusnya adalah “Ngala’ aèng awudhu’â ” yang bermakna ‘mengambil air untuk berwudhu’. Namun pada kenyataannya masyarakat Madura tetap menggunakan frase “ngala’ wudhu’” dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak dalam percakapan berikut. .......................................... W : Dhing ka somor? E : Enje’ ca’en anga’ W : È…mon dhing sobbhu, mon ngala’

wudhu’ ngala’ è dimma rowa ma’? E : È somor W : Ngala’ wudhu’ è somor kiya. Ènje’

ca’en sèngko’ polana malem, arapa jhâ’ ngamponga ka yu ideh can sèngko’

E : Mon ngènep è dissa rowa, ngala’ wudhu’ è dissa kon ideh. Eppa’ soro ngala’ aèng è dinna’ ta’ ande’ pagghun ngala’ ka tèmor. “ apa è katako’a” è kowa.

........................................... (Data 19)

Frase ngala’ wudhu’ biasa digunakan untuk menyatakan maksud ‘mengambil air untuk berwudhu’ dan tidak biasa digunakan frase Ngala’ aèng awudhu’â. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan maka maknanya dimengerti oleh masyarakat Madura khususnya masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak M.

72

Drajid, B.A (anggota Team Pakem Maddhu).

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2000. Tata Bahasa Praktis

Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1995. Semantik Bahasa

Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta .

Chaer, Abdul & A. Leonie. 1995.

Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : PT Rineka Cipta .

Djajasudarma, Fatima.1999. Semantik 1

(Pengantar Ke Arah Ilmu Makna). Bandung : PT Refika Aditama.

Drajid, M. 2002. Pengajaran Bahasa

Madura Kembang Babur. Pamekasan : Yudistira.

Hartono Hs, Bambang. 2001. Palappa

Genna’. Pamekasan : Rakhiai Trunojoyo.

Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. Flores :

Nusa Indah Moleong, Lexy J. 2006. Metodelogi

Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya.

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal.

Jakarta : PT Rineka Cipta. Surakmad, Winarno, M, Se. Ed. Prof. Dr.

1998. Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Motode Teknik. Bandung tarsito.

Team Peneliti. 1977/1978. Undak Usus

Bahasa Madura. Jember :

Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember.

Team Pakem Maddhu. 2005. Bulletin

Pakem Maddhu. Surabaya : CV. Karunia.

Tim Penyusun Kamus. 1990. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.