ijtihad_pai 2010
DESCRIPTION
slide asisten mata kuliah agama islam itb 2010 kelas 5.TRANSCRIPT
IJTIHAD
Ijtihad (Arabic: اجتهاد ,’ iğtihād) is a technical term
of Islamic law that describes the process of making
a legal decision by independent interpretation of
the legal sources, the Qur'an and the Sunnah.
Ijtihad
Rasulullah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ra.
“Bagaimana kamu menghukumi bila ada sesuatu
masalah yang harus kamu putuskan?”
Mu’adz menjawab, “Aku akan menghukumi
dengan Kitab Allah .”
Rasul saw. Bertanya:”Bila kamu tidak
mendapatinya dalam Kitab Allah?”
Mu’adz menjawab , “Dengan sunah Rasulullah
saw.
(Next)
Rasul saw. Bertanya lagi,”Bila tidak kamu jumpai
dalam suna Rasulullah saw. Dan Kitabullah?”
Ia menjawab, “Aku akan berusaha keras berijtihad
dengan menggunakan pikiranku dan aku tidak
akan pernah menyerah.”
Rasulullah saw. Pun menepuk dadanya lanas
berabda, “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufik kepada utusan Rasulullah
untuk melakukan apa yang diridhai oleh
Rasulullah saw.” (h.r. Abu Dawud)
KONSEP DGPS
Dalil – dalil Syariat itu ada dua macam, yaitu naqliyah dan aqliyah, bila
diteliti, kita dapat menyimpulkan bahwa dalil – dalil syariat itu
terangkum dalam Al-Quran dan Sunah. Sebab , dalil-dalil yang
permanen tidak diterapkan dengan akal, tetapi diterapkan dengan
AlQuran dan Sunah. Sebab tanpa disandarkan pada keduanya , maka
dalil-dalil tidak dapat dijadikan pegangan. Dengan demikian , Al-Quran
dan. Sunah merupakan rujukan dan sandaran bagi setiap hukum.
(Imam asy-Syatibi)
Qath’iy, yaitu sekumpulan hukum yang
ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan kesimpulan yang qath’iy (pasti)
Hukum syar’i yang bersifat qath’iy ini tidak ada
peluang khilaf (beda pendapat) di antara kaum
muslimin di level ulama, madzhab, dan umat
secara umum. Sebab, semua itu adalah hukum-
hukum agama yang secara aksiomatis diterima
sebagai dharuriyyat (kepastian). Dan jumlahnya
relatif lebih kecil dibandingkan dengan hukum
syar’i yang zhanniy.
Zhanny, meliputi, pertama, sekumpulan hukum
yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan kesimpulan zhanniy (hipotesa); dan
kedua, sekumpulan hukum yang digali oleh para
ulama dari sumber-sumber syar’i yang lain
dengan berijtihad.
Syaikh Yusuf Al-Qaradlawi (Ketua Persatuan
Ulama Internasional ) menyatakan, tidak semua
orang berhak memberikan fatwa atau boleh
melakukan ijtihad. Sebab, untuk melakukan dua
hal itu dibutuhkan penguasaan ilmu-ilmu dasar
keIslaman (ushuluddin) yang memadai. Selain
itu, juga pengetahuan tentang perkembangan
dunia kontemporer.
"Tidak boleh orang yang ahli dalam satu bidang
tertentu memberikan fatwa tentang sesuatu.
Seorang dokter tidak bisa memberikan fatwa
tentang masalah kedokteran, karena itu ia harus
juga ahli ilmu hadis, ushul fiqh, bahasa Arab dan
'ulumuddin lainnya, " ujar al-Qaradhawi dalam
kuliah umum di depan civitas akademik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (10/1).
1. Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengansebutan Al-Imam Al-A’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlur-ra’yi, pencetus pemikiran istihsan(menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satusumber hukum Islam. Kepadanyalah Madzhab Hanafi dinisbatkan.
2. Malik bin Anas Al-Ashbahi (93-179 H). Dialah Imam Ahli Madinahyang menggabungkan antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah al-mashalih al-mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan menjadikannya sebagai sumberhukum Islam. Kepadanyalah Madzhab Maliki dinisbatkan.
3. Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Qurasyi (150-204 H). Madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits, meskipun ia banyakmengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Kepadanyalah Madzhab Syafi’iy dinisbatkan.
4. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy (164-241 H). Dia adalah muridImam Syafi’i, dan madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits.
“Karena perbedaanlah kita bisa menikmati indahnya pelangi”
(Agung Pandi Nugroho)