hubbusy-syahawât; antara fitrah dan fitnah

15
Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah dan Fitnah (Kajian Komparatif antara Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhailî dan Tafsîr al-Mishbâh karya Quraish Shihab mengenai penafsiran Q.S Âli ‘Imrân [3]: 14) Firman Sholihin (Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islâm Persis [STAIPI] Garut Jurusan Tafsîr Hadits, Smst. III) A. Pendahuluan Tak bisa dipungkiri bahwa perkara syahwat (baca: perkara duniawi) akan selalu menjadi hal yang diidam-idamkan oleh manusia tanpa terkecuali. Pasangan yang cantik/tampan, anak keturunan yang banyak, harta—dengan segala bentuk dan rupanya—yang berlimpah, dan hal-hal duniawi lainnya, merupakan sebagian dari perkara syahwat yang senantiasa didambakan keberadaannya oleh manusia. Kecintaan tersebut bukanlah hal yang ganjil bagi mereka, justru ketiadaannya akan melahirkan keabnormalan dalam menjalani kehidupan. Kecintaan tersebut meru- pakan fitrah bawaan yang melekat dalam diri manusia. Ketika kecintaan dan hasrat tersebut tidak ada, maka dia tidak akan pernah menjadi manusia yang sempurna, dan akan lebih dekat dengan kepunahan. Akan tetapi, fitrah tersebut terkadang dibawa ke arah yang salah oleh man- usia. Kecintaannya terhadap perkara syahwat seringkali mengantarkan mereka pada prilaku hina yang sejajar dengan binatang. Pelecehan seksual, praktek curang, prilaku aniaya, zhalim, dan paksa dalam mencari harta, merupakan beberapa di antara bukti nyata yang lahir akibat kecintaan tersebut. Manusia tak mampu menahan hasrat kecintaan terhadapnya, sehingga menimbulkan fitnah bagi diri dan orang di sekitarnya. Dalam kajian ini—in syâ’ Allâh—penulis hendak mencoba untuk membahas salah satu ayat yang menerangkan perkara syahwat tersebut dan kaitannya dengan manusia, tepatnya dalam Q.S Âli ‘Imrân [3]: 14, dengan membandingkan penafsiran Wahbah al-Zuhailî dan Quraish Shihab terhadap sekelumit pembahasan dalam ayat tersebut. Besar harapan penulis supaya pembahasan ini bisa memberikan kita penerangan tentang bagaimana kita harus menyikapi hubbusy-syahawât (kecintaan terhadap perkara-perkara yang diingini) yang posisinya dilematis antara fitrah dan fitnah . Wabillahi musta’an B. Mengenal Wahbah al-Zuhailî dan Kitab Tafsîrnya 1. Biografi Wahbah al-Zuhailî Nama asli beliau adalah Wahbah bin Musthafâ al-Zuhailî (selanjutnya ditulis: al-Zuhailî). Dilahirkan di Dair ‘Athiyyah—satu kota yang berada di kawasan Damsyiq (Suriya), pada tahun 1922 H. Ayah beliau adalah salah seorang di antara

Upload: firman-supzz

Post on 16-Feb-2016

232 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Kecintaan terhadap syahawat (perkara-perkara duniawi yang sangat diinginkan) merupakan fitrah yang dianugrahkan kepada manusia. Akan tetapi, fitrah tersebut kadang dibawa ke arah yang salah sehingga banyak fitnah yang lahir akibat kecintaan tersebut. Artikel ini membahas secara gamblang Q.S Ali 'Imran [3]: 14 yang di dalamnya terkandung problematika tentang kecintaan terhadap syahawat, dengan mengkomparasikan penafsiran Wahbah al-Zuhali dan Quraish Shihab dalam masing-masing kitab tafsir keduanya.

TRANSCRIPT

Page 1: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah dan Fitnah (Kajian Komparatif antara Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhailî dan

Tafsîr al-Mishbâh karya Quraish Shihab mengenai penafsiran

Q.S Âli ‘Imrân [3]: 14)

Firman Sholihin (Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islâm Persis [STAIPI] Garut

Jurusan Tafsîr Hadits, Smst. III)

A. Pendahuluan

Tak bisa dipungkiri bahwa perkara syahwat (baca: perkara duniawi) akan selalu menjadi hal yang diidam-idamkan oleh manusia tanpa terkecuali. Pasangan yang cantik/tampan, anak keturunan yang banyak, harta—dengan segala bentuk dan rupanya—yang berlimpah, dan hal-hal duniawi lainnya, merupakan sebagian dari perkara syahwat yang senantiasa didambakan keberadaannya oleh manusia. Kecintaan tersebut bukanlah hal yang ganjil bagi mereka, justru ketiadaannya akan melahirkan keabnormalan dalam menjalani kehidupan. Kecintaan tersebut meru-pakan fitrah bawaan yang melekat dalam diri manusia. Ketika kecintaan dan hasrat tersebut tidak ada, maka dia tidak akan pernah menjadi manusia yang sempurna, dan akan lebih dekat dengan kepunahan.

Akan tetapi, fitrah tersebut terkadang dibawa ke arah yang salah oleh man-usia. Kecintaannya terhadap perkara syahwat seringkali mengantarkan mereka pada prilaku hina yang sejajar dengan binatang. Pelecehan seksual, praktek curang, prilaku aniaya, zhalim, dan paksa dalam mencari harta, merupakan beberapa di antara bukti nyata yang lahir akibat kecintaan tersebut. Manusia tak mampu menahan hasrat kecintaan terhadapnya, sehingga menimbulkan fitnah bagi diri dan orang di sekitarnya.

Dalam kajian ini—in syâ’ Allâh—penulis hendak mencoba untuk membahas salah satu ayat yang menerangkan perkara syahwat tersebut dan kaitannya dengan manusia, tepatnya dalam Q.S Âli ‘Imrân [3]: 14, dengan membandingkan penafsiran Wahbah al-Zuhailî dan Quraish Shihab terhadap sekelumit pembahasan dalam ayat tersebut. Besar harapan penulis supaya pembahasan ini bisa memberikan kita penerangan tentang bagaimana kita harus menyikapi hubbusy-syahawât (kecintaan terhadap perkara-perkara yang diingini) yang posisinya dilematis antara fitrah dan fitnah . Wabillahi musta’an

B. Mengenal Wahbah al-Zuhailî dan Kitab Tafsîrnya

1. Biografi Wahbah al-Zuhailî Nama asli beliau adalah Wahbah bin Musthafâ al-Zuhailî (selanjutnya

ditulis: al-Zuhailî). Dilahirkan di Dair ‘Athiyyah—satu kota yang berada di kawasan Damsyiq (Suriya), pada tahun 1922 H. Ayah beliau adalah salah seorang di antara

Page 2: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

deretan ulama dan peneliti di negri Syam, di samping bermatapencaharian juga sebagai petani. Seorang yang hâfizh Alqurân, bersemangat keras dalam membela agama dan ajaran Allâh Swt, banyak ibadah, gemar shaum, serta bercita-cita tinggi.1 Begitulah gambaran ayah beliau, yang secara tidak langsung ikut andil mempengaruhi kelilmuan beliau dalam ‘uluûm al-islâmiyyah (ilmu-ilmu keislaman).

Al-Zuhailî menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1946 dan al-Tsanawiyah al-‘Ammah (SMA) pada tahun 1954. Melanjutkan studi ke Fakultas Syariah, Universitas al-Azhar dan selesai tahun 1957. Pada tahun yang sama, ia juga berhasil memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas ‘Ain Syams, Mesir. Pada tahun 1963, al-Zuhailî berhasil meraih gelar Doktor di bidang Hukum Islam (Syariah) pada Fakultas Hukum Universitas Kairo dengan yudisium Summa Cum Laude. Setelah lusus, selain sebagai dosen di Universitas al-Azhar, al-Zuhailî juga mengajar di berbagai Universitas lain seperti di Fakultas Hukum Pasca Sarjana di Benghazi, Libia (1976-1977), Pasca Sarjana Universitas Islam Ummu Durman, Sudan, dan Universitas Emirat al-‘Ain (1985-1989).2

Selain sukses sebagai pengajar, beliau juga pigur yang sukses dalam bidang tulis-menulis. Hal itu bisa kita lihat dari produktifitasnya dalam melahirkan karya-karya islami terutama dalam bidang fiqih dan Alqurân. karya yang telah diram-pungkannya tak kurang dari 48 buku, dan karya ensiklopedik (mausû’ah) di bidang hukum adalah al-Fiah al-Islâmî wa Adillatuhu (1997) dalam 9 jilid tebal dan Ushûl al-fiqh al-Islâmî dalam 2 jilid tebal. Sedangkan dalam bidang Tafsîr ada tiga; (1) Tafsîr al-Munîr, terdiri dari 16 jilid tebal, yang mendapat penghargaan sebagai karya terbaik di dunia Islâm pada tahun 1995; (2) Tafîr al-Wajiz, yang merupakan ringkasan dari Tafsîr al-Munîr; dan (3) Tafsîr al-Washîth dalam 3 jilid besar.3

2. Sekilas Tentang Tafsîr al-Munîr Tafsîr al-Munîr—sebagaimana sudah disinggung di atas—merupakan salah

satu di antara tiga kitâb tafsîr yang beliau tulis, yaitu Tafsîr al-Wajîz, al-Wasîth, dan al-Munîr. Tujuan mulia dari penulisan kitâb tafsîr tersebut tiada lain adalah; supaya Alqurân bisa diterima oleh berbagai kalangan, sesuai dengan tingkat keilmuan mereka.4 Penulisan al-Munîr ini beliau mulai setelah selesai merampung-

1 Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn; Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu’assasah al-

Thabâ’ah wa al-Nasyr wa Zarât al-Tsaqâfah al-Irsyad al-Islâmî, 1313 H), hal. 684. 2 Muhsin Mahfudz, “Konstruksi Tafsîr Abad 14 H/20 H”, al-Fikr Vol. 4 No. 1, 2010 M, hal. 34. 3 Ibid., mengutip dari “Makalah dan Biografi Wahbah al-Zuhaili” yang disampaikan di UIN

Alauddin Makassar, Mei 2001. 4 Hal itu sebagaimana dikatakan sendiri oleh beliau dalam kata pengantar kitâb tafsîr al-wasith—

kitâb tafsîr terakhir yang beliau tulis:

Page 3: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

kan dua kitâb esiklopedinya, yaitu Ushûl al-Fiqh al-Islâmî dan al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu.

Dalam penyusunanya, al-Zuhailî menggunakan corak yang berbeda dengan mufassir lainnya, yaitu menggabungkan antara corak bil-ma’tsûr (berdaasrkan riwayat) dan corak penafsiran bil-ma’qûl (berdasarkan akal/rasio) lalu dikemas dalam uslûb dan pokok bahasan yang modern serta gaya bahasa yang lugas, jelas, dan mudah difahami.5 Penggabungan corak ini lahir dari keprihatinan beliau atas pandangan yang menyudutkan tafsîr klasik karena dianggap tidak mampu menawarkan solusi atas problematika kontemporer. Di sisi lain, menurut al-Zuhailî, para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpanan interpretasi terhadap ayat Alqurân dengan dalih pembaharuan. Oleh karena itu, al-Zuhailî merasa terpanggil untuk mengemas tafsîr klasik dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.6

Pada setiap permulaan surat, sebelum masuk pada pembahasan ayat per ayat, beliau terlebih dahulu memaparkan keistimewaan surat tersebut, keutamaan-nya, isi kandungannya secara keseluruhan, sejumlah pembahasan yang terangkum di dalamnya, serta gambaran umum tentang surat tersebut. Selain itu, beliau juga memberikan tema/judul tersendiri pada setiap ayat atau kumpulan ayat yang akan belau tafsîrkan.7 Masing-masing tema/judul tersebut kemudian diungkap dengan tiga sub-pembahasan pokok, yaitu:

a) Al-Lughawiyyat, yang mencakup penjelasaan ayat secara literal dan penjelasan balâghah dan i’râb pada kata yang penting untuk dijelaskan unsur balâghah dan i’râb-nya.

b) Al-Tafsîr wa al-Bayân, yang mengemukakan gambaran kumpulan ayat tersebut secara keseluruhan dengan pembahasan yang ringan serta pengaitan makna-maknanya dengan ayat Alqurân yang lain dan hadits-hadits yang shahih.

“Allâh Swt sungguh telah memberikan kemudahan kepada saya untuk menulis tafsîr Alqurân sebanyak tiga kali secara berturut-turut, supaya orang-orang disestiap kalangan bisa mengambil manfa’at darinya, sesuai tingkat kecerdasan dan keilmuan mereka. Maka jadilah—segala puji bagi Allâh Swt—tiga kitâb tafsîr ini, yang untuk pertama kalinya saya persembahkan ketiganya kepada para pembaca berdasarkan tingkatannya; (1) Tafsîr al-Munir fî al-‘Aqidah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj ditulis untuk orang-orang yang keilmuannya memadai (lîl-al-ikhtishâsh); (2) Tafsîr al-Wajîz ditulis untuk kalangan umum (lî al-‘ammah wa akstasiyyah al-nâs); dan (3) Tafsîr al-Wasîth ditulis untuk kalangan menengah (lî al-mutawassith).” (lihat: Wahbah bin Musthafâ al-Zuhailî, Tafsîr al-Wasith, [Damsyiq; Dâr al-Fikr, cet. Ke-1, 1422 H], juz. 1, hal. 6.)

5 Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn, Op. Cit., hal. 685-686. 6 Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Alqurân, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008

M), hal. 175-176. 7 Seperti halnya pembahasan Q.S Âli ‘Imrân [3]: 14, yang diberi judul oleh beliau Mahabbah

al-Syahawât fî al-Dunya (kecintaan terhadap hal-hal yang diingini di dunia)”. Lihat, Wahbah bin Musthafâ al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Damsiq: Dâr al-Fikr, 1418 H), vol. 3, hal. 163.

Page 4: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

c) Fiqh al-Hayâh wa al-Ahkâm, yang menjelaskan kandungan-kandungan ayat yang kompatibel dengan realitas kehidupan supaya bisa diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.8

Selain itu, keistimewaan lain yang terkandung dalam kitâb tafsîr ini adalah rujukan-rujukan yang menjadi pengangannya. Dalam tafsîrnya ini, al-Zuhailî banyak mengutip perbedaan-perbedaan pendapat tentang penafsiran suatu ayat dari berbagai kitâb-kitâb tafsîr, bahasa, hadits, dan fiqih, baik itu yang kasik ataupun kontemporer, kemudian menjelaskan letak pengutipannya dan memilih pendapat yang benar dalam pandangan beliau.9 Kitâb Tafsîr ini dipublikasikan untuk pertama kalinya oleh penerbit Maktabah al-Babî al-Halabî (Kairo) pada tahun 1957 M.10

C. Mengenal M. Quraish Shihab dan Kitab Tafsîrnya

1. Biografi M. Quraish Shihab Nama lengkap beliau adalah Muhammad

Quraish Shihab (selanjutnya ditulis: Shihab). Lahir di Rampang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944. Beliau menyelesaikan pendidikan dasarnya dan SMP hingga kelas 2 di Ujung Pandang. Setelah itu, pada tahun 1956, beliau berangkat ke Malang untuk melanjutkan pendi-dikan di pesantren Darul Hadits al-Fiqhiyyah. Pada tahun 1958, beliau berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azhar. Pada tahun 1967, beliau meraih gelar Lc. (S.1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Uni-versitas al-Azhar. Selanjutnya, beliau mengambil

pendidikan S.2 pada fakultas yang sama di Universitas al-Azhar, dan memperoleh gelar Master (MA) pada tahun 1969 untuk spesialis bidang Tafsir Alqurân dengan tesis berjudul al-I’Jâz al-Tasyrî’îy li al-Qurân al-Karîm (Kemukjizatan Alqur-ân dari Segi Hukum).11

Setelah menyelesaikan jenjeang S.2, beliau kembali ke Tanah Air dan diserahi beberapa jabatan penting, salah satunya adalah menjadi Rektor Bidang Akademis dan Kemahasiswaan di IAIN (Sekarang UIN) Alaudin, Ujung Padang. Merasa tidak puas dengan gelar S.2, beliau kemudian kembali ke Universitas almamaternya, al-Azhar, pada tahun 1980. Gelar doktor dalam bidang Ilmu-ilmu Alqurân pun berhasil beliau dapatkan pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durâr li al-Biqâ’îy; Tahqîq wa Dirasah. Beliau berhasil meraih gelar doktor

8 Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn, Op. Cit., hal. 686. 9 Ibid., hal. 687. 10 Saiful Amin Ghafur, Profil, Op. Cit., hal. 177. 11 Muhammad Iqbal, “Metode Penafsiran al-Qur’an M. Quraish Shihab”, Tsaqafah; Jurnal

Peradaban Islâm, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010, hal. 255.

Page 5: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

di al-Azhar dengan yudisium Summa Cum Laude, disertasi penghargaan tinggi ke-1 (mumtâz ma’a martabah al-syarf al-ûlâ).12 Dengan yudisium tersebut, beliau pun tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang merasih gelar doktor dalam bidang Ilmu-ilmu Alqurân dengan nilai tertinggi di Universitas al-Azhar.13

Pengabdiannya di bidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992). Selain berkiprah di bidang akademis, beliau juga aktif memegang jabatan-jabatan strategis di dunia pemerintahan RI. Pada tahun 1985-1996, beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat. Jabatan-jabatan lain yang pernah beliau pegang adalah anggota MPR-RI pada tahun 1982-1987 dan 1987-2002. Selain itu, pada tahun 1998, beliau juga dipercaya untuk mengemban jabatan Mentri Agama RI.14

Shihab merupakan ulama-pemikir yang sangat produktif melahirkan karya-karya tulis, baik berbentuk makalah, artikel, ataupun buku. Dalam menulis, beliau sangat konsisten dalam jalurnya, yaitu pengkajian Alqurân dan tafsir. Karya-karya beliau senantiasa mendapat sambutan hangat dari para pembaca dan pengkaji, juga menjadi best seller dan mengalami beberapa kali cetak ulang. Dengan produk-tivitasnya tersebut—menurut data dari Wikipedia—tak kurang dari 51 karya tulis berhasil beliau rampungkan.15 Di antara karyanya yang paling legendaris adalah; Membumikan al-Quran (Mizan, 1994), Lentera Hati (Mizan, 1994), Wawasan al-Qur-an (Mizan, 1996), dan karya terbesarnya Tafsîr al-Mishbâh sebanyak 15 Jilid dengan variasi ketebalan (Lentera Hati, 2003).16

2. Sekilas Tentang Tafsîr al-Misbâh Tafsir al-Mishbâh merupakan karya Shihab yang paling monomental

dibanding karya-karyanya yang lain. Buku ini berisi 15 volume yang secara lengkap memuat penafsiran 30 juz ayat-ayat dan surah-surah Alqurân. Penulisan tafsir ini menggunakan metode tahlîlî, yaitu menafsirkan ayat per ayat Alqurân sesuai urutannya dalam mushaf. Menurut pengakuan Shihab, beliau menyelesaikan tafsirnya itu selama empat tahun; dimulai di Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awwal 1420 H/18 Juni 1999 dan selesai di Jakarta, Jum’at 5 September 2003. Dalam sehari, Shihab rata-rata menghabiskan waktu tujuh jam untuk menyele-saikannya.17

12 Lihat, Ludfi Madani, Munafiq dalam al-Quran Kajian Muqaran Antara Tafsir al-Misbah dan

Tafsir al-Maraghi, (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islâm Negri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, 2010 M), hal. 12-13. 13 Saiful Amin Ghafur, Profil, Op. Cit., hal. 237.

14 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Quran, (Bandung; PT. Mizan Pustaka, edisi ke-2, cet. Ke-2, Des. 2013 M), hal. ii.

15 https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab/karya. 16 M. Quraish Shihab, Secercah, Op. Cit., hal. iii.

17 Muhammad Iqbal, “Metode Penafsiran..”, Op. Cit., hal. 263, mengutip dari: M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. viii.

Page 6: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

Sebelum memulai menafasirkan surat, Shihab terlebih dahulu memberi pengantar. Isinya antara lain, nama surat dan nama lain surat tersebut, jumlah ayat (terkadang disertai tentang perbedaan perhitungan), tempat turun surat (makiyyah dan madaniyyah) disertai pengecualian ayat-ayat yang tidak termasuk kategori, nomor surat berdasarkan urutan mushaf dan urutan turun, tema pokok, keterkaitan (munâsabah) antara surat sebelum dan sesudahnya, dan sebab turun ayat (asbâb al-nuzûl).18

Ada beberapa catatan yang layak dikemukakan tentang penulisan Tafsir al-Mishbâh ini:

a) Penafsian ayat-ayat Alqurân dilakukan dengan membuat pengelompokan ayat yang masing-masing jumlah kelompok ayat dapat berbeda antara satu sama lainnya.

b) Dalam menafsirkan ayat, Shihab mengikuti pola yang dilakukan para ulama klasik pada umumnya, yaitu menyelipkan komentar-komentarnya di sela-sela terjemahan ayat yang sedang ditafsirkan. Untuk membedakan terjemahan ayat dan komentar, Shihab menggunakan cetak miring (italic) pada kalimat terjemahan ayat.

c) Dalam tafsir ini jelas sekali nuansa kebahasaan penulis, sebagaimana terlihat pada karya-karyanya sebelumnya. Elaborasi kosakata dan kebahasan yang dilakukan oleh Shihab dalam bukunya ini mengantarkan pembaca untuk memahami makna Alqurân dengan baik, sehingga kesulitan-kesulitan pema-haman terhadap Alqurân dapat teratasi.

Sebagaimana kitâb tafsir lain, Tafsir al-Mishbâh ini tentu bukan murni hasil ijtihad penulisnya saja. Dalam tafsirnya ini, Shihab banyak mengutip pendapat-pendapat ulama, baik yang klasik atau pun kontemporer. Ulama yang paling dominan dirujuk pendapatnya oleh beliau adalah Ibrâhîm ‘Umar al-Biqâ’î (w. 885/4180), ulama asal libanon, lewat kitabnya, Tafsir Nazhm al-Durâr. Selain al-Biqâ’î, ulama lain yang Shihab banyak mengutip pemikiran mereka adalah Thabâthabâ’î, Muhamamd al-Thanthawî, Mutawallî al-Syar’awî, Sayyid Quthb, Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, dan yang lainnya.19

D. Redaksi Ayat ن زي حب لناس تل و ه ٱلش اءمن س ي و ٱلن طيو ٱلب ن ن ةٱلبق ر نط بمق ٱل بمن ه ٱذل

ةو ةٱلب يبلو ٱلبفض وم بمس مو ٱل نبع و ٱلب ٱلب ربث ع ت م ك ل ةذ ي ا ٱلب ي و نب و ٱدل ۥهعند ٱلل

ن حسب ٱلبم ١٤اب“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,

18 Saiful Amin Ghafur, Profil, Op. Cit., hal. 241. 19 Untuk lebih jelasnya bisa di rujuk di: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan

Keserasia al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2000 M), vol. 1, hal. 5.

Page 7: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesena-ngan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S Ali ‘Imran [3]: 14)

E. Kajian Munasabah Ayat

Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allâh Swt menerangkan beberapa akibat yang akan timbul dari fatamorgana harta dan keturunan. Dalam ayat ini, Allâh kemudian mengabarkan bentuk kepalsuan dan penyebabnya sebagai peringatan terhadap manusia agar menjauhkan dirinya dari perkara-perkara syahawât tersebut, juga supaya mereka tidak tersibukan dengannya sehingga lupa untuk beramal sebagai bekal menuju akhirat. Demikian ungkap al-Zuhailî dalam tafsîrnya.

Nampaknya, dalam kajian relevansi Q.S Alî ‘Imrân (3): 14 ini al-Zuhailî mengungkap keterkaitan ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya, mulai dari ayat 10 yang menceritakan sikap orang-orang kafir yang tertipu oleh gemerlapnya fatamorgana perkara-perkara syahawât, kemudian di ayat selanjutnya Allâh Swt menerangkan akibat buruk dari sikap tersebut yang mengakibatkan mereka terjerumus dalam kekalahan dan kehinaan seraya dilemparkan kedalam Jahannam.

Sedikit berbeda dengan al-Zuhaili, dalam kajian relevansi Q.S Alî ‘Imrân (3): 14 ini Shihab lebih terfokus untuk mengaitkan ayat ini dengan satu ayat sebelumnya, yaitu ayat 13 yang di dalamnya tersirat perintah kepada kaum muslimin untuk berjihad di jalan Allâh Swt. Seakan-akan Q.S Alî ‘Imrân (3): 14 ini menerangkan perkara-perkara yang bisa membuat seorang muslim lalai dalam melaksanakan jihâd fî sabîlillâh. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Shihab:

“Ada yang menghalangi seseorang untuk mengambil pelajaran dari peris-tiwa-peristiwa di atas (ayat dan penafsiran sebelumnya—pen). Ada juga yang menghalanginya terlibat dalam perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan. Hal-hal itulah yang dilukiskan oleh ayat ini (Q.S Alî ‘Imrân [3]: 14—pen).”

Selain itu, diakhir penafsirannya terhadap Q.S Alî ‘Imrân (3): 14 ini, Shihab juga menerangkan relevansi ayat ini dengan ayat selanjutnya, yaitu ayat 15, dengan menegaskan bahwa perkara-perkara syahawât dalam ayat ini, mulai dari lawan seks, anak dan harta yang beraneka ragam, adalah baik. Akan tetapi, ungkap Shihab, apa yang dijelaskan oleh ayat selanjutnya lah yang lebih baik.

F. Tafsîr Ayat Lewat Q.S Alî ‘Imrân (3): 14 ini, Allah Swt memberikan pengabaran

kepada manusia bahwa salah satu kecenderungan yang akan senantiasa ada dalam jiwa mereka—siapapun dia—adalah kecintaannya terhadap syahawât. Tak hanya itu, mereka juga akan selalu cenderung untuk memandang kecintaannya itu sebagai suatu hal amat sangat indah di mata mereka.

Page 8: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

ن زي حب لناس تل و ه ...ٱلش

“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini..”

Apa Itu Syahwat? Menegnai penjelasan tentang syahwat, al-Zuhailî lebih cenderung untuk membuat definisi yang lebih tertuju kepada sesuatu yang disifati oleh kata tersebut. Beliau mengatakan bahwa syahwat itu adalah; ‘sesuatu yang diinginkan, disukai, dan dinikmati oleh jiwa’ (mâ tasytahî al-nafs wa tamîlu ilaihi wa tastalidzdzuhu). Adapun definisi yang diajukan oleh Shihab, definisinya itu lebih tertuju pada sikap terhadap sesuatu yang disifati dengan kata syahwat tersebut. Beliau berpendapat bahwa syahwat itu adalah ‘kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi, material.’

Al-Zuhaili menambahkan bahwa kata syahawât dalam ayat di atas semakna dengan kata al-musytahiyat atau sesuatu yang diingini/disukai, sebagaimana jika dikatakan, “hadza al-tha’am syahwat fulan”, maka maksudnya “Makanan ini adalah kesukaan si fulan”. Al-Zuhailî menjelaskan lebih detail, bahwa tujuan diungkap-kannya sesuatu yang diingini dengan lafad syahawât adalah sebagai bentuk mubâlaghah atau melebih-lebihkan keadannya yang sangat diinginkan dan diidam-idamkan oleh manusia untuk segera dinikmati. Hal itulah, tutur al-Zuhaili, yang menjadi isyarat akan tercelanya perkara-perkara syahawat, sampai-sampai membuat kecintaan manusia senantiasa tertuju kepadanya.

Selanjutnya, Shihab kemudian menerangkan beberapa keadaan yang mungkin terjadi pada perkara syahawât tersebut. Beliau mengatakan bahwa jika dikatakan, “dijadikan indah,” maka sesuatu yang indah itu bisa jadi benar-benar indah, seperti keimanan yang dijadikan indah oleh Allâh Swt di dalam hati orang-orang yang beriman (baca Q.S al-Hujurât [49]: 7), bisa juga ia buruk tetapi diperindah oleh pemuka-pemuka masyarakat, sebagaimana pemimpin kaum musyrikin memperindah pembunuhan anak-anak dalam pandangan masyarakat mereka (baca Q.S al-An’âm [6]: 137), bisa jadi juga yang memperindah keburukan tersebut adalah setan (baca antara lain Q.S al-Anfâl [8]: 48). Demikian tutur Shihab dalam tafsîrnya.

Lantas, siapa yang memperindah syahawât tersebut dimata manusia? Al-Zuhailî dan Shihab sepakat untuk berpendapat bahwa di duga kuat yang berperan memperindah hal tersebut adalah Allâh Swt, dimana Dia menjadikannya sebagai fitrah, yakni bahwaan manusia sejak kelahirannya, bahwa manusia mencintai lawan seksnya serta harta benda yang beraneka ragam. Shihab bahkan menganggap fitrah kecintaan terhadap syahawât ini sebagai suatu hal yang sangat penting bagi manusia. Hal itu dikarenakan, menurut Shihab, tugas sebagai khalifah bumi yang Allâh Swt embankan kepada manusia tidak akan bisa dijalan-kan manakala manusia tidak mencintai perkara syahawât ini. Kecintaan tersebut

Page 9: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

akan mendorong manusia untuk “memelihara diri” dan “memelihara jenis”, sehingga tugas kekhalifahan akan senantiasa berlanjut secara turun-temurun.

Adapun al-Zuhailî, beliau lebih cenderung untuk mengatakan bahwa tujuan Allâh Swt memperindah syahâwat tersebut adalah lil-ibtilâ’; ‘untuk menguji manusia’, sehingga dapat diketahui mana di antara mereka yang tertipu oleh fatamorgana dunia dan mana yang tidak.

Kedua mufassir ini pun sepakat pula untuk mengatakan bahwa bisa juga yang memperindah syahawât ini adalah setan dengan bisikan dan godaannya supaya manusia berlebihan dalam mencintai syahawât ini. Shihab menjelaskan bahwa jika Allâh Swt yang memperindah perkara syahawât ini, maka perkara tersebut akan dijadikan manusiia sebagai “media” pedukung tugas kekhalifahan. Namun jika setan yang memperindahnya, maka perkara tersebut oleh manusia akan dijadikan “tujuan” memuaskan hawa nafsu sepuas-puasnya, sekalipun dengan cara yang kotor, seperi, memperkosa, korupsi, aniaya, zhalim, dan semacamnya.

.. . اءمن س ي و ٱلن طيو ٱلب ن ن ةٱلبق ر نط بمق ٱل بمن ه ةو ٱذل وٱلب يبلو ٱلبفض بمس ةٱل م مو نبع

و ٱلب عٱلب ربث ت م ك ل ةذ ي ا ٱلب ي و نب ...ٱدل

“..yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang..”

Dalam kutipan ayat ini, Allâh Swt merinci keenam perkara-perkara syahawât yang keadaannya sangat digemari, dicintai, dan sangat ingin segera dinikmati oleh manusia, yaitu; (1) Wanita; (2) Anak-anak laki-laki; (3) Harta yang berlimpah berupa emas dan perak; (4) Kuda pilihan; (5) Hewan ternak; dan (6) Sawah ladang.

1. Wanita (al-Nisâ)

Sesungguhnya lelaki sangatlah cinta kepada wanita, dan kecondongan lelaki senantiasa tertuju kepadanya. Hal itu dikarenakan mata lelaki yang senan-tiasa berhasrat kepadanya, disamping wanita itu sendiri yang menajdi muara perhatian, dan denganyalah jiwa lelaki bisa merasakan ketentraman (baca Q.S al-Rûm [30]: 21). Selain itu, kepada wanita jugalah kaum lelaki memberikan hartanya dengan suka rela. Demikian jelas al-Zuhailî.

Menurut al-Zuhailî, alasan Allâh Swt memulai rincian ini dengan menyebutkan wanita tiada lain dikarenakan fitnah yang timbul dari mereka sangatlah besar. Hal itu, tutur al-Zuhailî, sebagaimana telah tsubût dalam hadits shahih:

Page 10: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

م: رسول هللا قالى هللا عليه وسل

ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من »صل

«النساء

Rasûlullâh Saw bersabda, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih memadlaratkan bagi kaum lelaki setelahku dari pada fitnah yang timbul dari wanita.” (H.R Ahmad, al-Syaikhan, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, dan Ibn Majah dari Usâmah bin Zaid)

2. Anak-anak laki-laki (al-Banûn)

Masih penjelasan dari al-Zuhailî, beliau menegaskan bahwa anak-anak merupakan pangkal kelezatan hati, dan penyegar bola mata. Terkadang mereka disejajarkan dengan harta, sebagai fitnah yang harus mendapat perhatian besar (baca Q.S al-Taghabun [64]: 15). Fitnah yang timbul karena anak-anak bisa berupa cobaan dengan terkumpulnya harta dikarenakan keberadaan mereka. Sebab lahirnya kecintaan terhadap anak pada hakikatnya hanya satu; tercapainya keinginan untuk melanggengkan keturunan, sehingga hal itu akan membuat jejak, kemashuran, dan sebutan tentangnya tetap terkenang.

Menurut al-Zuhailî, alasan hanya anak lelaki yang disebut dalam ayat ini tiada lain dikarenakan kecintaan terhadap mereka lebih besar daripada kecintaan terhadap anak perempuan. Kekalnya sebutan dan kemashuran di antara manusia akan didapat dari jalan anak laki-laki. Selain itu, tutur al-Zuhailî, anak perempuan kelak akan memisahkan diri dari keluarganya dan mengikuti keluarga lain. Harapan pertolongan dan penanggungan dari seorang anak terhadap kedua orang tuanya ketika keduanya membutuhkan kebanyakan bergantung kepada anak lelaki. Selain itu, resiko dan bahaya mempunyai anak perempuan lebih besar daripada anak lelaki. Demikian ungkap al-Zuhailî.

Sampai pada rincian syahwat yang kedua ini, kita belum menemukan penjelasan dari Quraish Shihab. Nampaknya, Shihab memfokuskan pembahasan kedua hal ini (wanita dan anak lelaki) lebih pada problematika penyebutannya, bukan mengenai esensi keduanya. Beliau mempertanyakan; Apakah lelaki dan anak wanita tidak dicintai oleh manusia atau kata manusia pada ayat ini khusus pria? Setelah mempertanyakan hal itu, Shihab kemudian menegaskan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah semua putra-putri Âdam apalagi yang dewasa, baik pria maupun wanita. Shihab pun kemudian menguraikan secara detail dua alasan tidak disebutkannya lelaki dan anak-anak perempuan dalam ayat ini.

Pertama, ayat ini enggan mencatat secara eksplisit syahwat wanita terhadap pria demi memelihara kehalusan perasaan wanita. Di sisi lain, ayat ini menyebut-kan anak-anak lelaki, tidak anak-anak perempuan, karena keadaan masyarakat ketika itu masih mendambakan anak-anak lelaki dan tidak menyambut baik kehadiran anak-anak perempuan.

Page 11: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

Kedua, berkaitan dengan gaya bahasa Alqurân yang cenderung memper-singkat uraian. Menurut Shihab, Alqurân sering kali tidak menyebut lagi kata atau penggalan kalimat jika dalam rangkaian susunan kalimat satu ayat telah ada yang mengisyaratkan kata atau penggalan kalimat yang tidak disebutnya itu. Dalam istilah tata bahasa Arab, ungkap Shihab, hal semacam ini dikenal dengan istilah ihtibâk. Shihab kemudian menyajikan ayat pembanding yang di dalamnya mengandung unsur ihtibâk, yaitu firman Allâh Swt di bawah ini:

يهو ل كمٱذل ل ع بل ج كنٱل و لت سب فيه ار وا مٱنله وب ق ل ت ألي ك ل ذ ف اإن مببص عون م ٦٧ي سب

“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (Q.S Yûnus [10]: 67)

Shihab menjelaskan bahwa dalam Q.S Yûnus (10): 67 di atas Allâh Swt tidak mencantumkan kata gelap karena pada penggalan berikutnya telah disebut kata siang. Demikian juga supaya kamu mencari anugerah Allâh tidak disebut dalam redaksi ayat ini karena lawannya, yaitu supaya kamu beristirahat, telah dikemukakan sebelumnya.

Dalam Q.S Âli ‘Imrân [3]: 14, lanjut Shihab, Allâh Swt tidak menyebut anak-anak perempuan sebagai salah satu yang dicintai oleh manusia karena wanita telah disebut sebelumnya sebagai salah satu yang dicintai mereka, demikian juga tidak disebut kecintaan kepada lelaki karena anak-anak lelaki telah disebut sebagai salah satu yang dicintai oleh mereka. Dengan demikian, tutur Shihab, dapat dikatakan bahwa ayat tersebut menyatakan, Dijadikan indah bagi manusia seluruhnya kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita bagi pria, dan pria-pria bagi wanita, serta anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan. Demikian tutur Shihab

3. Harta yang Berlimpah Berupa Emas dan Perak (al-Qanâthîr al-Muqan-tharah min al-Dzahab wa al-Fidldlah)

Shihab menjelaskan bahwa kata al-qanâthîr adalah bentuk jamak dari kata qinthâr. Menurut beliau, ada yang memahami kata qinthâr ini dalam bilangan tertentu, seperti 100 kg, atau uang dalam jumlah tertentu, ada juga yang tidak menetapkan jumlahnya. Al-Zuhailî lebih lebih condong untuk memegang pendapat yang kedua sebagaimana penegasan di awal penafsirannya terhadap shahwah jenis ketiga ini.

Shihab kemudian melanjutkan penjelasannya, bahwa qinthâr menurut pendapat kedua ini adalah timbangan yang tanpa batas. Ia adalah sejumlah harta

Page 12: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

yang menjadikan pemiliknya dapat menghadapi kesulitan hidup dan membelanja-kannya guna meraih kenyamanan bagi diri dan keluarganya.

Adapun mengenai kata muqantharah, al-Zuhailî memandang kata tersebut sebagai kata penegasan (ta’kîd) bagi al-qanâthîr, sedangkan Shihab memfungsikan-nya sebagai pelipatganda bagi kata al-qanâthîr. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa Shihab lebih condong untuk mengartikan kata qinthâr sebagai bilangan yang jumlahnya tidak berbatas. Hal itu tersirat juga dalam kelanjutan penjelasannya:

“Dengan memperhatikan ayat ini dapat tergambar betapa kecintaan manusia kepada harta. Bukan saja satu qinthâr, yakni jumlah yang tidak terbatas dan mencukupinya meraih kenyamanan, tetapi qanâthîr, yakni banyak qinthâr, bahkan bukan hanya banyak, yang banyak itu pun berlipat ganda yakni menjadi muqantharah. Itulah sifat manusia menyangkut harta benda dari jensi emas, perak, dan sebagainya.”

Al-Zuhailî menjelaskan bahwa kecintaan terhadap harta adalah bagian dari fitrah kemanusiaan, karena ia merupakan media untuk mewujudkan setiap keinginan dan mencapai setiap harapan. Perlu diketahui, lanjut al-Zuhailî, tercelanya harta bukanlah secara dzatnya, karena harta merupakan nikmat yang datang dari Allah Swt. Harta akan menjadi tercela jika ternyata mengantarkan pemiliknya untuk bersikap melampaui batas, sombong, dan fasik (baca Q.S al-‘Alaq [96]: 7-6). Adapun jika seorang muslim menunaikan hak-hak Allah Swt dan manusia dari harta tersebut, mensyukuri nikmatnya, menyambungkan sillaturrahim, melaksanakan infaq di jalan Allah Swt, maka harta tersebut merupa-kan harta yang baik dan kelak akan menjadi sebab kebahagiaan dan dekatnya diri kepada Allah Swt.

4. Kudan Pilihan (al-Khail al-Musawwamah)

Al-Zuhailî dan Shihab sepertinya sepakat untuk menta’wil arti kata musawwamah dalam Q.S ‘Alî ‘Imrân (3): 14 ini kepada kuda pilihan yang digembala di tempat penggembalaan. Lebih lanjut Shihab menjelaskan bahw kuda ini merupakan kuda yang yang dapat makan seenaknya; bukan kuda yang diikat dan disajikan makanan kepadannya.

Kedua mufassir ini juga bersepakat, bahwa selain dita’wil kepada arti tersebut, kata musawwamah di sana bisa juga dita’wilkan kepada mu’allamah; yakni kuda yang mempunyai tanda-tanda khusus yang membedakannya dari kuda-kuda yang lain. Menurut al-Zuhailî, kuda semacam ini adalah kuda yang gemuk lagi elok yang hanya dimikili oleh para pembesar dan orang-orang kaya. Oleh karena itu, tutur al-Zuhailî, kuda semacam ini serngkali dijadikan ajang membanggakan diri dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya.

Page 13: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

Shihab menambahkan, bahwa selain dua makna yang telah disajikan, makna yang bisa dibubuhkan kepada kata musawwamah ini adalah kuda yang terlatih dan jinak. Shihab cenderung lebih longgar dalam mengartikan kata musawwamah ini, sehingga beliau pun mengatakan bahwa makna manapun yang kita pilih, yang pasti kuda-kuda yang dimaksud adalah kuda-kuda istimewa yang berbeda dengan kuda-kuda biasa sehinggaa ia benar-benar merupakan ‘kuda pilihan’.

Di akhir penafsirannya terhadap rincian syahwat yang keempat ini, al-Zuhailî menegaskan bahwa jika kuda-kuda ini menjadi sebab lahirnya kejelekan dan menjauhkan dari Allâh Swt serta mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya, maka kuda ini akan menjadi tercela. Adapun jika kuda-kuda ini dipakai untuk sarana jihad dijalan Allâh Swt, maka kuda ini statusnya menjadi terpuji (baca Q.S al-Anfal [8]: 60).

5. Binatang Ternak (al-An’âm)

Shihab menjelaskan bahwa kata al-an’âm merupakan bentuk jamak dari kata ni’am. Menurutnya, binatang yang dimaksud di sini adalah sapi, kambing, domba, dan unta, baik yang jantan maupun betina (baca Q.S al-An’âm [6]: 143-144). al-Zuhailî menjelaskan bahwa binatang ternak ini merupakan kekayaan pokok bagi manusia, dan dengannyalah manusia mencukupi kehidupan mereka, saling berbangga-bangga, berlomba-lomba, dan menjadikannya sebagai perhiasan. Al-Zuhailî menegaskan bahwa jika sang pemilik hanya bermaksud mencukupi kehidupannya dengan binatang ternak ini, maka itu statusnya baik. Namun apabila dia bermaksud membanggakan dirinya dan bersikap riyâ, maka ternak ini akan menjadi hal yang jelek baginya.

6. Sawah Ladang (al-Harts)

Al-Zuhailî menjelaskan bahwa sawah ladang di sini mencakup pesawahan dan pertanian. Menurut Shihab, alasan diakhirkannya penyebutan sawah ladang dikarenakan untuk memilikinya diperlukan upaya yang ekstra dari manusia, bukan seperti emas, perak, dan lain-lain. Barang-barang tersebut adalah barang-barang yang sudah berwujud dan tidak diperlukan upaya khusus manusia untuk mengadakannya. Adapun kata harts, menurut Shihab, lebih tertuju kepada upaya membajak tanah. Tanah bersipat keras sehingga harus terlebih dahulu dibajak untuk ditanami benih, kemudian diolah dengan menyiraminya agar tumbuhan dapat tumbuh, selanjutnya tanah tersebut menjadi sawah dan ladang.

Menurut al-Zuhailî, kebutuhan terhadap ladang ini sangatlah besar dibanding kebutuhan terhadap perkara sebelumnya. Apabila sawah ladang ini dimanfaatkan untuk sarana ibadah, maka pemiliknya akan mendapatkan pahala. Namun apabila dimaksudkan untuk menumpuk-numpuk dan menyalahgunakan-nya, tegas al-Zuhailî, maka sawah ladang tersebut menjadi jelek.

Page 14: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

ع. .. ت م ك ل ةذ ي ا ٱلب ي و نب و ٱدل هٱلل نۥعند حسب ٱلبم ١٤اب

“..Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Al-Zuhailî menjelaskan bahwa penggalan ayat di atas merupakan penerangan bahwa Allâh Swt mensifati enam perkara syahawât di atas dengan sifat yang umum, yaitu kesenangan sementara yang hanya didapat di dunia saja, sedang di sisi Allâh Swt-lah tempat kembali (kehidupan akhirat) yang lebih baik. Menurut Shihab, kata matâ’ dalam pengalan ayat di atas makna asalnya adalah kesenangan yang diperoleh lagi sementara.

Shihab kembali menegaskan hipotesanya, bahwa jika syahawât di atas digunakan sebagaimana digariskan oleh Allâh Swt serta sesuai dengan tujuan-Nya memperindah (yaitu digunakan sebagai media pendukung tugas kekhalifahan—pen), semua yang disebut di atas adalah baik. Sedangkan kalau yang memperindahnya setan (juga digunakan sesuai dengan tujuan setan—pen), maka syahawât tersebut akan dijadikan sebagai tujuan. Ia diupayakan dan dimanfa’atkan untuk tujuan disini dan sekarang, di dunia ini, bukan akhirat kelak.

Amanat terakhir yang disampaikan oleh al-Zuhailî juga tak jauh berbeda dengan Shihab. Beliau menegaskan bahwa hendaklah manusia menjadikan perkara syahawât tersebut semata-mata sebagai media (al-wasîlah) untuk mencukupi kehidupannya di dunia, dan jangan sampai hal-hal tersebut membuatnya lalai dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agamanya. Hal itu dikarenakan, lanjut al-Zuhailî, seorang mu’min itu beramal untuk kebahagiaan dua kehidupan (al-dârân) secara langsung, sebagaimana (do’a orang mu’min—pen) firman Allâh Swt:

... ن اف بن اء ات ي ار نب ٱدل ف ن ةو س ةح ر ٱألخ اب ذ قن اع ن ةو س ٢٠١ٱنلارح “..Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S al-Baqarah [2]: 201)

G. Penutup

Dari pemaparan tafsir Q.S Âli ‘Imrân [3]: 14 yang dikemukakan oleh al-Zuhailî dan Shihab di atas, kita dapat menilai bahwa hubbusy-syahawât atau ‘kecintaan terhadap perkara-perkara syahawat’, yaitu yang dirinci oleh Allâh Swt dalam ayat tersebut, mulai dari pasangan seks, anak keturunan, serta harta yang berlimpah dengan segala bentuk dan macamnya, merupakan fitrah yang akan akan selalu melekat di jiwa manusia, siapapun dia. Fitrah kecintaan ini akan menjadi baik jika manusia dapat bersikap proporsional dalam mencintainya, atau hanya sekedar menjadikan perkara-perkara tersebut sebagai media pendukung tugas kekhalifahan, sehingga sesuai dengan apa yang dikehendaki Allâh Swt yang menganugrahkan fitrah tersebut. Jika tidak demikian, maka manusia harus siap menghadapi berbagai fitnah yang timbul akibatnya. Wallahu a’lâm

Page 15: Hubbusy-Syahawât; Antara Fitrah Dan Fitnah

Daftar Pustaka

Buku:

Ludfi Madani, Munafiq dalam al-Quran Kajian Muqaran Antara Tafsir al-Misbah dan Tafsir al-Maraghi, (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islâm Negri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, 2010 M).

M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Quran, (Bandung; PT. Mizan Pustaka, edisi ke-2, cet. Ke-2, Des. 2013 M).

________________, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasia al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2000 M).

Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn; Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu’assasah al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa Zarât al-Tsaqâfah al-Irsyad al-Islâmî, 1313 H).

Muhammad Iqbal, “Metode Penafsiran al-Qur’an M. Quraish Shihab”, Tsaqafah; Jurnal Peradaban Islâm, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010 M.

Muhsin Mahfudz, “Konstruksi Tafsîr Abad 14 H/20 H”, al-Fikr Vol. 4 No. 1, 2010 M.

Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Alqurân, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008 M).

Wahbah bin Musthafâ al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Damsiq: Dâr al-Fikr, 1418 H), al-Maktabah al-Syâmilah.

__________________________, Tafsîr al-Wasith, (Damsyiq; Dâr al-Fikr, cet. Ke-1, 1422 H), al-Maktabah al-Syâmilah.

Website:

https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab.

Software:

Add Ins Quran In Words.

Al-Maktabah al-Syâmilah.