halaqah tadabbur quran 14 (al baqarah 89-93). dr saiful bahri

14
133 Halaqah Tadabbur Qur`an 14 (QS Al-Baqarah 89-93) Dr. Saiful Bahri, MA ! ﻟﺤﻤﺪ ! ﻟﺤﻤﺪ ﻟﻨﻮ ﻟﻰ ﻟﻈﻠﻤﺎ ﻣﻦﺧﺮﺟﻨﺎ ﻟﺬ . ﺑﺎ ﺳﻠﻢ ﺻﻠﻰﻟﻠ ﻋﻠﻰﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻞﺳﻠﻢ ﺟﻤﻌ ﺻﺤﺎﺑ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺪBapak-bapak ibu-ibu kaum muslimin muslimat yang dicintai Allah. Bersyukur pada Allah pagi hari ini, di hari Jum’at terakhir di bulan Dzul Qa’dah kita dipertemukan Allah subhanahu wa ta’ala, dengan harapan mudah-mudahan keistiqamahan yang dikaruniakan Allah sanggup kita jaga dan juga dijaga oleh Allah hingga akhir hidup kita, Allahumma amin. Pada majelis tadabbur kita kali ini insya Allah masih meneruskan tentang kisah bani Israil. Dan pagi hari ini kita akan membahas ayat 89 sampai 93. Seperti halnya pekan lalu, kita akan membahas beberapa karakteristik sekaligus solusi yang Allah tawarkan. Yang menarik bahwa dalam kajian Al Qur`an, Allah mengkritik sepedas apapun, selalu diberikan solusi. Seburuk apapun sifat yang diungkap Allah pasti ada solusinya. Kini melanjutkan dari pekan lalu kita sama-sama mendiskusikan bahwa mereka ternyata berkelompok, yang kelompok-kelompok itu juga punya afiliasi dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka sendiri pada hakikatnya juga tidak bisa dikatakan utuh satu kesatuan. Yang kita bahas pekan lalu ada bani Quraizhah, bani Qainuqa, bani Nadzir, masing-masing memiliki koalisi dengan orang-orang Arab, yang nantinya, pada hari ini kita akan tadabburi, mereka pun dengan koalisi mereka juga tidak akur. Itu yang pertama. Yang kedua yang menarik, dalam bagian-bagian tertentu setelah melakukan kritikan terhadap bani Israil itu Allah akan mengatakan orang-orang ini menjual diri mereka, menjual agama mereka dengan dunia. Itu selalu diulang-ulang, nanti kita akan membahas. Kita akan memulainya pada ayat 89: Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa

Upload: halaqahtafsir

Post on 25-Jul-2016

244 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Transcribed by Adhe Purwanto

TRANSCRIPT

Page 1: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  133  

Halaqah Tadabbur Qur`an 14 (QS Al-Baqarah 89-93) Dr. Saiful Bahri, MA

وو ليیهھ ووسلمصل هللا ع محمد سيیدنا على االلهھم صلى وو سلم وو بارركك .االذيي ااخرجنا من االظلماتت االى االنورر ٬، االحمد ! االحمد ! بعد اامم على االهھ وو ااصحابهھ ااجمعيین

Bapak-bapak ibu-ibu kaum muslimin muslimat yang dicintai Allah. Bersyukur pada Allah pagi hari ini, di hari Jum’at terakhir di bulan Dzul Qa’dah kita dipertemukan Allah subhanahu wa ta’ala, dengan harapan mudah-mudahan keistiqamahan yang dikaruniakan Allah sanggup kita jaga dan juga dijaga oleh Allah hingga akhir hidup kita, Allahumma amin. Pada majelis tadabbur kita kali ini insya Allah masih meneruskan tentang kisah bani Israil. Dan pagi hari ini kita akan membahas ayat 89 sampai 93. Seperti halnya pekan lalu, kita akan membahas beberapa karakteristik sekaligus solusi yang Allah tawarkan. Yang menarik bahwa dalam kajian Al Qur`an, Allah mengkritik sepedas apapun, selalu diberikan solusi. Seburuk apapun sifat yang diungkap Allah pasti ada solusinya. Kini melanjutkan dari pekan lalu kita sama-sama mendiskusikan bahwa mereka ternyata berkelompok, yang kelompok-kelompok itu juga punya afiliasi dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka sendiri pada hakikatnya juga tidak bisa dikatakan utuh satu kesatuan. Yang kita bahas pekan lalu ada bani Quraizhah, bani Qainuqa, bani Nadzir, masing-masing memiliki koalisi dengan orang-orang Arab, yang nantinya, pada hari ini kita akan tadabburi, mereka pun dengan koalisi mereka juga tidak akur. Itu yang pertama. Yang kedua yang menarik, dalam bagian-bagian tertentu setelah melakukan kritikan terhadap bani Israil itu Allah akan mengatakan orang-orang ini menjual diri mereka, menjual agama mereka dengan dunia. Itu selalu diulang-ulang, nanti kita akan membahas. Kita akan memulainya pada ayat 89:

Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa

Page 2: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  134  

yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Ini sangkutannya adalah dengan Al Qur`an. Ketika datang kepada mereka sebuah kitab min ‘indillah yaitu Al Qur`an, mushaddiqun li ma ma’ahum, sebagai pembenar, yang menyokong, yang membenarkan terhadap apa yang mereka pegang yaitu Taurat. Jadi dua-duanya di sini dibicarakan sebagai kitab. Nanti kita akan bahas kenapa redaksinya seperti ini. Wa kanu min qablu, padahal mereka sebelum datangnya Al Qur`an atau sebelum Nabi Muhammad diutus, yastaftihun. Ini bahasanya juga menarik. Yastaftihun itu artinya yastanshirun. Mereka itu bertafa`ul, mengambil optimisme dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi ceritanya begini. Bani Quraizhah, bani Qainuqa, bani Nadzir, yang masing-masing punya koalisi dengan suku-suku yang ada di Madinah. Ketika mereka berperang di belakang mereka, itu statusnya sebagai follower. Sebagai orang yang bukan orang pribumi. Ketika orang pribumi bersengketa, mereka hanya tukang kipas. Mereka hanya penggembira. Status seperti itu tidak enak buat mereka. Satu ketika mereka tidak ada kecocokan dengan orang-orang itu, baik Aus ataupun Khazraj. Dua suku besar ini berseteru sehingga mengakibatkan bani Qainuqa, bani Quraizhah dan bani Nadzir juga berseteru sesama mereka, tetapi status mereka bukan pihak inti yang berseteru. Mereka mengikut saja. Suatu ketika mereka juga tidak sepakat. Dan ketika tidak sepakat dengan orang-orang Aus dan Khazraj itu mereka yastaftihun. Jadi mereka bilang seperti ini, intinya al faqir rangkum, bahwa mereka mengatakan, “Ya Allah, demi Muhammad yang Engkau utus.” Jadi nama Muhammad itu sudah ada di dalam Taurat. “Demi Muhammad yang namanya sudah ada dalam buku kami Ya Allah, utuslah dia. Menangkanlah dia, sehingga kami bisa bersama-sama dia memerangi orang-orang yang bodoh itu.” Jadi intinya mereka itu ingin berjumpa dengan Nabi Muhammad, dengan itu harapan mereka bisa menundukkan orang-orang musyrik atau orang-orang Arab jahiliyah. Sebenarnya mereka yastaftih. Yastaftih itu berharap bahwa karena sifat Nabi Muhammad, namanya, karakteristiknya, itu sangat gamblang ada di dalam Taurat. Saking tahunya mereka itu berharap mereka dapat berjumpa dan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mereka sanggup menundukkan orang-orang itu. Sehingga tujuan utamanya sebenarnya bukan Nabi Muhammad, tapi agar mereka dapat meraih posisi, bukan sebagai follower. Bukan sebagai orang yang mengikuti, tapi sebagai orang yang berada di depan. Tapi mereka sesungguhnya tidak tahu siapa itu Nabi Muhammad nantinya. Yastaftihuna ‘alal ladzina kafaru. Mereka juga sudah mengetahui bahwa posisi orang-orang musyrik itu di sini dibahasakan ‘alal ladzina kafaru. Kenapa tidak dikatakan misalnya mereka yastaftih terhadap koalisi mereka? Karena bahasa koalisi itu kan bisa negatif bisa positif. Tapi kalau sudah dikunci oleh Allah yastaftihuna ‘alal ladzina kafaru. Mereka

Page 3: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  135  

sebenarnya juga tahu bahwa orang-orang itu tidak benar. Mereka juga sebenarnya tahu bahwa yang disebut orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang mengingkari Allah dan utusan-Nya. Ini bahasanya bukan sembarang bahasa. Dan tanpa jeda, tanpa titik, tanpa disela yang lain, Allah langsung katakan, fa lamma ja`ahum ma ‘arafu kafaru bihi, dan ketika orang yang tadi dia jadikan istiftah, yang dijadikan sebab mereka sangat berharap Nabi Muhammad diutus bersama mereka agar mereka bisa menang, ketika itu benar-benar datang dan ternyata bukan dari golongan mereka, bukan dari bani Israil, apa kata Allah? Kafaru bihi. Ini dalam bahasa Arab diulang dua kali. Coba kita perhatikan. Jadi setelah tadi wa kanu min qablu yastaftihuna ‘alal ladzina kafaru, mereka melakukan itu, fa lamma ja`ahum ma ‘arafu kafaru bihi, jadi kafaru di sini diulang dua kali. Jadi misalkan hari ini kita mengatakan, “orang yang melakukan perbuatan A, dia adalah orang A.” Tapi perbuatan A ini dia tidak suka. Eh ternyata orang yang mengatakan dan orang yang tahu itu melakukan. Ini termasuk jenis kesalahan yang sangat besar. Karena mereka yang mengatakan ‘alal ladzina kafaru, terhadap orang-orang yang kafir, itu meskipun bahasa Allah, itu mereka tahu bahwa yang dilakukan orang-orang musyrik Aus dan Khazraj itu salah. Ketika mereka melakukan itu, maka maksud Allah di sini, status orang Yahudi bani Israil itu lebih buruk dari Aus dan Khazraj. Kalau Aus dan Khazraj, mereka kafir terhadap Nabi karena mereka tidak tahu. Berangkatnya dari ketidaktahuan. Tetapi bani Israil, sebelum Nabi Muhammad diutus itu sudah tahu. Makanya di sini fa lamma ja`ahum ma ‘arafu. Dan kemarin kita bahas, pengetahuan mereka itu seperti halnya mereka mengenal anaknya. Tidak ada seorang ayah yang tidak tahu seluk beluk anaknya. Di sini ma ‘arafu, kafaru bihi. Makanya hukuman yang setimpal juga layak. Di-closing Allah di akhir ayat, fa la’natullahi ‘alal kafirin. Kalau ridha di dalam Al Qur`an itu klimaks dari balasan cinta Allah, maka la’nah di sini klimaks dari kemarahan Allah. Kalau ada la’nah, ada laknat Allah, itu sudah tidak ada yang sanggup memberikan tameng perlindungan. Ini sekadar visualisasi saja, kalau seseorang marah, ada redanya. Tapi kalau sudah melaknat, itu tidak mungkin bisa dicabut laknat itu. Maka fa la’natullahi ‘alal kafirin. Jadi laknat itu diberikan kepada sesuatu yang sangat besar. Di dalam Al Qur`an ada juga fa la’natullahi ‘alazh zhalimin, karena kezhaliman dan kekafiran itu mirip-mirip, nyaris. Maka di sini, kenapa tidak fa la’natullahi ‘alal jahilin? Ini sekali lagi, pengulangan. Jadi kalau dalam satu ayat ini diulang kata kafir tiga kali, yang pertama adalah mereka sendiri yang mengatakan, yang kedua mereka yang melakukan, yang ketiga, baik mereka yang dikatakan ataupun mereka yang melakukan, kedua-duanya mendapatkan laknat. Tapi meski sama-sama mendapatkan laknat, mana yang lebih dahulu mendapatkan laknat? Yaitu yang terakhir. Jadi ayat ini sangat luar biasa, dalam maknanya. Ketika Allah mengatakan fa la’natullahi ‘alal kafirin, orang yang membaca akhir ayat ini kemudian bertanya, siapa orang-orang kafir

Page 4: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  136  

yang dilaknat Allah di dalam ayat ini? Langsung akan menengok yang paling terdekat, fa lamma ja`ahum ma ‘arafu kafaru bihi. Yaitu orang-orang Yahudi yang sudah tahu Muhammad itu haq. Bahwa kitab suci Allah itu benar. Itu satu. Yang kedua, beda kasus, tetapi Allah tetap memberikan laknat, yaitu orang-orang yang tadi disebut didatangi Nabi Muhammad pada waktu itu tapi mereka tidak mau beriman. Tetapi pada praktiknya, orang-orang Madinah, suku Aus dan Khazraj itu sangat sedikit yang tidak beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kenapa? Apa bedanya suku Aus dan Khazraj dengan suku Quraisy? Suku Quraisy itu dari awalnya mereka tidak ingin tersaingi, sementara Aus dan Khazraj ini dari awalnya mereka bertikai. Ketika datang Nabi Muhammad memberikan harapan. Dan kenapa Nabi Muhammad kemudian penerimaannya jauh lebih mudah dibanding di Mekkah? Karena sebelum Nabi datang sudah diutus Mush’ab bin Umair. Ia memasuki setiap rumah. Tidak ada rumah di Madinah yang tidak dimasuki beliau. Siapapun orangnya. Mau orangnya galak, mau orangnya murah senyum, mau kaya, mau miskin, dia masuki, dia sampaikan Islam. Maka ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam datang memberikan follow up, itu sangat mudah. Dan tujuan utama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam datang adalah mendamaikan Aus dan Khazraj, di antara tujuannya setelah memberikan risalah Allah. Maka kenapa didahulukan ‘alal ladzina kafaru, ini kan menurut penilaian orang-orang Yahudi. Dan kata-kata ‘alal ladzina kafaru memposisikan step mereka lebih baik dari orang-orang itu. Jadi ketika mengatakan, “Ya Allah kirimkan kami Muhammad, berikanlah kesempatan kami berjumpa dengan Muhammad, dengan dia akan kami tundukkan orang-orang kafir itu.” Itu kan klaim. Klaim seolah-olah dia bukan orang kafir. Itu satu. Yang kedua, klaim bahwa dia lebih baik dari yang mereka sebut ‘alal ladzina kafaru itu. Yang ketiga, klaim ini sekaligus menunjukkan bahwa mereka sangat tamak dengan kenabian, karena tahu posisi nabi itu seperti apa. Begitu datang dan ternyata Nabi Muhammad bukan dari golongan mereka, mulailah di situ menjadi masalah yang sesungguhnya. Fa lamma ja`ahum ma ‘arafu kafaru bihi. Mereka langsung kafaru bihi. Jadi di sini tidak ada jeda sama sekali. Maka Allah langsung menghukum fa la’natullahi ‘alal kafirin. Itu yang menarik, diulang kata-kata kafir dalam satu ayat tiga kali. Itu sama dengan kata-kata al mizan atau al waznu dalam surah Ar Rahman dalam beberapa ayat langsung diulang empat kali, berarti ada satu fenomena yang menarik. Di sini fenomena kekafiran, fenomena pengingkaran terhadap dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu bukan sesuatu yang baru. Bahkan orang yang mengetahuinya pun akan mengingkarinya. Maka jangan heran, nanti suatu ketika, kita tahu itu benar tapi kita tidak melakukan, kita tahu itu salah tapi kita melakukan, hukumannya berat. Fa la’natullahi ‘alal kafirin. Jadi sebenarnya yang kita lihat fenomena masyarakat itu bukan seseorang ini tahu dan tidak tahu, tapi seseorang ini mau atau tidak. Permasalahannya begini kalau dakwah Islam itu. Dia

Page 5: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  137  

sampai atau tidak dakwah Islam, itu betul. Tetapi yang urgen adalah dia tahu atau tidak, kemudian dia mau melakukan. Karena sebenarnya itulah sesungguhnya yang disebut jahiliyah. Jahiliyah itu tidak dimaksudkan dia tahu dan tidak, tapi mau dan tidak. Karena orang-orang kafir di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum beliau hijrah, itu bukan orang-orang bodoh. Saya termasuk orang yang tidak sepakat bahwa orang-orang kafir Quraisy itu termasuk orang yang bodoh. Bahkan meskipun mereka tidak bisa baca dan tidak bisa tulis tidak bodoh. Sebagian mereka ketika thawaf tidak memakai baju sama sekali, itu alasannya sangat rasional. Kenapa? “Karena baju yang kami pakai penuh dosa. Maka pada saat thawaf kami tidak mau memakai baju itu.” Itu kan sangat rasional. Berarti mereka bisa berpikir meskipun itu salah. Mereka dalam bahasa Al Quran menyembah berhala itu apa? li yuqarribuna ilallahi zulfa. Jadi itu sebagai perantara mendekatkan diri dengan Tuhan. Jadi mereka menyembah berhala bukan berhalanya tapi sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah. Yang disebut dengan jahiliyah itu bukan ketidaktahuan, tetapi ketidakmauan mereka melaksanakan kebenaran dan meninggalkan kesalahan. Makanya di sini ketika fa la’natullahi ‘alal kafirin semua dipukul rata, tetapi nanti di situ ada derajatnya. Yang paling parah adalah orang-orang yang sudah tahu, dan kenapa diletakkan terakhir ma ‘arafu bihi, kafaru bihi. Itu adalah orang-orang yang nanti pertama dilaknat oleh Allah, sebelum yang mereka klaim tadi. Yang mereka klaim bisa jadi tidak melakukan. Dan itu bisa jadi hanya sedikit saja. Maka diulang. Seperti halnya yang kita bahas pada ayat 86, diulang pada ayat 90:

Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.

Page 6: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  138  

Bi`sama, sangat-sangat buruk. Isytarau bihi, mereka menjual diri mereka. Kalau di ayat 86 itu dengan dunia, di sini dengan harapan palsu. Masih ingat ya? Mereka mengatakan qalu lan tamassan naru illa ayyaman ma’dudat, kami tidak bakal masuk neraka, kalaupun masuk neraka paling sehari dua hari. Insya Allah pekan depan kita bahas lagi jawaban yang lebih mematikan. Dijawab Allah nanti, fa tamanna al mauta, kalau sudah begitu kamu mati saja sekarang. Mereka tidak bakal mau mati. Nanti kita bahas pekan depan insya Allah di ayat 94. Bi’sama isytarau bihi anfusahum, sungguh sangat buruk orang yang menjual diri mereka sendiri. Diulang lagi sekali lagi, an yakfuru. Jadi Allah seolah-olah ingin membenamkan kata-kata kufr sekaligus menaruh itu di tempat nomor satu orang membaca. Jadi mereka buruk melakukan aktivitas jual beli itu sebab apa? an yakfuru, mereka kafir. An yakfuru itu berlaku untuk selama-lamanya. Jadi sangat sedikit mereka yang mau percaya, bi ma anzalallahu, terhadap apa yang diturunkan Allah yaitu Al Qur`an. Baghyan, mereka berharap apa? an yunazzilallahu min fadhlihi ‘ala man yasya`u min ‘ibadihi. Jadi mereka iri, kenapa Allah turunkan dengan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya kepada siapa saja hamba-Nya. Jadi kenapa mereka harus iri? Nanti suatu ketika ada orang yang semangat memperjuangkan kebenaran. Tetapi kemudian ternyata ada sesuatu di balik perjuangan mereka. Ketika muncul tokoh, “kok tokohnya bukan dari golongan saya?” maka akan kelihatan aslinya. Tujuannya bukan memperjuangkan kebenaran, tetapi tujuannya sangat personal dan golongan. Dan ini bisa jadi, na’udzu billah. Lihat kata Allah, ini ulangan yang keempat cuma beda ayat, bi’sama isytarau bihi anfusahum an yakfuru. Jadi mereka sangat buruk aktivitas jual belinya, sebab mereka melakukan kekafiran, melakukan pengingkaran terhadap apa yang diturunkan Allah yaitu Al Qur`an. Kenapa sebabnya? Baghyan. Ini juga pilihan katanya sangat luar biasa. Kenapa yang dipilih al baghyu? Al baghyu itu adalah melampaui batas. Baghyan itu juga bisa berarti tujuan akhir yang sangat tamak. Mereka sangat tamak menginginkan bahwa Nabi Muhammad yang mereka ketahui, nabi yang akan diutus itu dari golongan mereka. Tetapi kata Allah an yunazzilallahu min fadhlihi ‘ala man yasya`u min ‘ibadihi. Itu hak prerogatif Allah. Kenabian itu tidak bisa diusahakan. Kita mau ilmunya sampai kata orang sundul langit, mau ada koneksi dengan seluruh ulama, kemudian permintaan kita mau jadi nabi, tidak bakal terjadi. Kalau di zaman kita sudah diclosing, sudah tidak ada peluang. “Ya Rabb, jadikan aku nabi,” tidak bisa. Itu doa yang tidak diperbolehkan. Mustahil. Sebaik-baik orang di zaman sekarang, itu doa yang tidak tahu diri. Kalau kita sekarang “Ya Allah jadikanlah aku orang yang bertetangga dengan nabi di surga,” itu baru tahu diri. Meskipun nanti kita lihat, “Eh orang mau bertetangga dengan Nabi kok kayak gini akhlaknya?” itu lain lagi. Tetapi masih mungkin. Kalau doa yang pertama tidak mungkin.

Page 7: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  139  

Nah ini mereka ketika dikatakan baghyan, itu adalah gabungan dari hasad dan tamak. Jadi kalau bughyatul wushul, itu orang tamak sampai ke tujuan. Tamaknya itu sampai begini, “Ini saya sudah satu jam ini. Dikasih alamat tapi tidak sampai-sampai.” Itu kira-kira di benak orang apa? Gabungan antara jengkel dan keinginan sampai. Makanya nanti dikatakan hidayah itu ada yang disebut bughyatul wushul, orang yang mendapatkan hidayah itu kalau sudah sampai alamat. Ada orang yang punya potensi untuk sampai. Tetapi itu tentunya beda. Orang yang sudah mencari alamatnya, sudah muter-muter satu jam, keinginan untuk sampainya itu adalah gabungan ketamakan ingin sampai dan kejengkelan karena tidak sampai-sampai. Orang yang sudah lama cari alamat, ditambah dengan keinginan untuk sampai ke alamat yang dia tuju, itulah yang disebut dengan baghyan. Kira-kira seperti itu. “Kok bisa yang dipilih bukan dari kita? Kurang apa sih baiknya kita?” itu kata-katanya. “Kok bisa Muhammad dari orang Arab? Ini kan yang tadi kita tuduh orang-orang kafir.” Gabungan antara tamak dan hasad ini menghasilkan baghyan itu. Dan Allah meletakkan kata-kata yang meredam di belakangnya, an yunazzilallahu min fadhlihi ‘ala man yasya`u min ‘ibadihi. Itu kunci. Dalam surah Ali Imran, qulillahumma malikal mulki tu`til mulka man tasya` wa tanzi`ul mulka min man tasya` wa tu’izzu man tasya` wa tuzhillu man tasya` bi yadikal khair. Itu semua hak prerogatif Allah. Allah yang mengutus Nabi Muhammad, sama juga yang mengutus Musa. Kenapa yang dipilih Musa? Kenapa yang dipilih anak angkatnya Fir’aun? Allah yang punya keinginan. Kenapa yang dipilih Muhammad, dan bukan dari golongan kalian? Ada keinginan. Nanti akan di-istidraj, akan diungkap keburukan-keburukan mereka. Maka balasannya, kalau tadi laknat, ini lebih dahsyat lagi. Fa ba`u bi ghadhabin ‘ala ghadhab wa lil kafirina ‘adzabun muhin. Jadi di ayat pertama kafir itu diulang tiga kali, di ayat kedua diulang dua kali. Maka Allah memberikan bisyarah, memberikan kabar buruk bagi mereka. Fa ba`u bi ghadhabin ‘ala ghadhab itu artinya, maka mereka duduk seperti duduknya kita. Ghadhab ‘ala ghadhab, murka di atas murka. Jadi mereka duduk di atas murka, di atas murka. Bahasa kita, marah yang sampai ke ubun-ubun. Harusnya cukup fa ba`u bi ghadabin minallah. Itu cukup. Karena marahnya Allah itu levelnya di bawah la’nah. Tapi Allah katakan fa ba`u bi ghadhabin ‘ala ghadhab. Setiap kita rata-rata pernah marah. Kemarahan paling dahysat itu yang kapan? Kemarahan yang pertama kali kita lampiaskan, itu paling dahsyat. Setelah itu makin menyusut dan makin menyesal orangnya. Apalagi ketika marah dia melakukan pelampiasan. Memukul, memecahkan, na’udzu billah main fisik, menampar. Kalau pelampiasannya ke benda mati tidak ada masalah. Tetapi itu masih tidak ngeri. Ghadhabin ‘ala ghadhab itu kalau orang,

Page 8: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  140  

adalah yang tukang marah. Kalau orang kalem, senyum, tidak pernah marah, tau-tau marah. Ngeri tidak? Ngeri. “Wah ini orang tidak pernah marah ternyata bisa marah juga.” Tetapi kalau yang marah itu tukang marah, ngeri tidak? Mungkin kita biasa, tetapi kata-kata ‘ala ghadhab, dia itu biasanya kalau marah cuma ngatain, ini dia sampai memukul-mukul, mengeluarkan sesuatu. Ghadhab ‘ala ghadhab itu gabungan antara keduanya. Kita menyaksikan Allah Yang Maha Pemurah itu bisa marah. Allah yang sanggup mengeluarkan siksaan itu bisa marah. Dan marahnya itu siksaannya bukan seperti biasa. Apa kata Allah di sini? wa lil kafirina ‘adzabun muhin. Kalau tadi sudah mendapatkan laknat, yang kedua mendapatkan ghadhab ‘ala ghadhab, yang ketiga mendapatkan ‘adzabun muhin. Kita pernah membahas jenis adzab di dalam Al Qur`an, ada ‘adzabun alim, ‘adzabun ‘azhim, ‘adzabun muqim, ‘adzabun muhin. Mengulang sejenak, ‘adzabun alim adzab yang sangat pedih, adzabun ‘azhim itu siksaan yang sangat besar, ‘adzabun muqim itu siksaan yang kita berada di dalamnya. Kata-kata muqim itu, orang disiksa di ruang ber-AC, sakit, tapi ‘adzabun muqim itu tanpa dipukuli orang sudah kepanasan. Kenapa? Karena diletakkan di dalam neraka. Di dalam neraka, di sekelilingnya dia melihat orang-orang ada yang disiksa. Itu belum disiksa, dibiarkan saja, sudah luar biasa sengsaranya. ‘Adzabun muqim. Dia belum diapa-apakan, sekadar di-muqim saja itu sudah tersiksa secara psikisnya. Ini ditambah ‘adzabun muhin, adzab yang menghinakan. Di dalam ayat-ayat lain diceritakan, fa yu`khadzu bin nawashi, ubun-ubun mereka ditarik paksa. Kalau misalkan tangan kita ditarik secara paksa, ya sakit. Tetapi coba, kepala kita yang ditarik malaikat. Kemudian ada lagi, ditarik hidung kita. Ada yang ditarik kakinya. Itu muhin. Sangat-sangat terhina. Ketika kita dipukul seseorang, sakit. Tetapi pukulan yang disertai dengan kata-kata, itu lebih sakit lagi. Ketika yang memukul ini adalah Allah yang punya rahmat. Allah yang mereka sangka “Ah kalau kita masuk neraka paling sehari dua hari.” Ternyata, yang dianggap memasukkan mereka ke neraka sehari dua hari itu sangat marah dan memberikan adzab. Itu terhinakan tidak? Kalau kita misalnya masuk ke sebuah rumah, “Saya kalau nanti masuk ke dalam, insya Allah diberi suguhan, makanan minuman berbagai macam.” Ketika masuk, dimarahi. Itu sangat berat sekali. Sudah tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan, mereka terhinakan. Kira-kira visualisasinya seperti itu.

Page 9: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  141  

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". Dan mereka kafir kepada Al-Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al-Qur'an itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?" Ini kembali kepada salah satu akhlak mereka. Wa idza qila lahum aminu bi ma anzalallah. Judulnya Al Qur`an. Pertama tadi mushaddiqun, yang kedua bi`sa ma, pengetahuan mereka dijual. Aminu bi ma anzalallahu, berimanlah kepada apa yang diturunkan Allah yaitu Al Qur`an. Qalu, mereka menjawab, nu`minu bi ma unzila ‘alaina, kami hanya beriman kepada Taurat, setelah Taurat kami tidak beriman. Wa yakfuruna bi ma wara`ahum, dan mereka kafir. Ini Al Qur`an juga meliuk-liukkan hati kita. Jadi seolah-olah Allah berbicara langsung dengan mereka, aminu bi ma anzalallahu, kemudian wa yakfuruna bi ma wara`ahum menggunakan gaya bahasa orang ketiga. Kemudian wa huwal haqqu mushaddiqan li ma ma’ahum. Qul, katakan Muhammad. Fa li ma taqtulunal anbiya`allahi min qablu in kuntum mu`minin. Mereka ingin melarikan dari Al Qur`an, “Kami tidak beriman dengan Al Qur`an, kami beriman kepada Taurat saja.” Di ayat ketiga diulang apa kata-katanya? Kafir lagi kan? Di ayat pertama diulang tiga kali, di ayat kedua (ayat 90) diulang dua kali, sekarang di sini diulang lagi, wa yakfuruna bi ma wara`ahum. Jadi judul pertemuan kita pada hari ini adalah kufr. Kita masih ingat ayat terakhir yang kita bahas pekan lalu, qulubuna ghulfun, tertutup. Jadi kafir itu menutup peluang. Ketika Anda mau menawar sesuatu yang saya miliki, tidak ada tawar menawar. Qalu qulubuna ghulfun. “Ini sudah tutup harga. Kalau mau ambil, kalau tidak ya sudah.” Itu ibarat jual beli aktivitasnya seperti itu. Ini adalah jenis kekafiran yang sangat luar biasa. Ketika mereka mengatakan “kami hanya beriman kepada Taurat,” seolah-olah sudah menang, kan? Tapi kata Allah, Qul, katakan Muhammad. Fa li ma taqtulunal anbiya`allahi. Kalau kamu beriman kepada Taurat, kenapa kamu bunuhi itu nabi-nabi kalian?

Page 10: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  142  

Dan bani Israil itu kaum yang paling banyak membunuh nabi-nabi. Kita masih ingat kaumnya nabi Nuh. Seburuk-buruk kaum nabi Nuh, nabi Nuh tidak dibunuh. Seburuk-buruk kaum ‘Ad masih menganggap Hud adalah saudara mereka, karena itu orang terbaik di antara mereka. Mereka tidak membunuh. Kaum-kaum terdahulu sebelum mereka, seburuk-buruk mereka, itu tidak sampai membunuh. Mengancam bunuh iya. Tapi membunuh tidak sampai. Tetapi bani Israil na’udzu billahi min dzalik. Bapak-bapak bisa membaca surah Yasin. Dua rasul diutus kepada mereka, tidak cukup. Fa ‘azzazna bi tsalitsin, diutus tiga rasul, tiga utusan, dibunuh ketiga-tiganya. Bahkan orang yang menunjukkan kebenaran, wa ja`a rajulun min aqshal madinah, dibunuh juga. Jadi kalau diibaratkan, derajat yang di bawah rasul itu da’i, itu sahabat kalau di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Itu keempat-empatnya orang baik yang terbaik, dibunuh oleh mereka. Nabi Zakaria dibunuh oleh mereka. Nabi Yahya dibunuh oleh mereka. Dan yang terakhir nabi Isa ‘alaihissalam kalau tidak diselamatkan Allah akan dibunuh oleh mereka. Jadi ketika dikatakan fa li ma taqtulunal anbiya`allahi, itu sudah habis. Mereka tidak bisa menjawab. Makanya di sini in kuntum mu`minin. Kalau kalian beriman kepada Taurat kenapa kamu bunuhi nabi-nabi itu?

Sesungguhnya Musa telah datang kepadamu membawa bukti-bukti kebenaran (mu'jizat), kemudian kamu jadikan anak sapi (sebagai sembahan) sesudah (kepergian)nya, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim. Ini metode yang sebenarnya tidak boleh dalam kita berhujjah, berdialog, itu mengingatkan kesalahan orang, masa lalu orang. Tetapi ini, kalau memang dia menyerang dengan sesuatu yang tidak rasional, ini adalah kata-kata kunci. Kalau kamu beriman kepada Taurat saja, kenapa kamu bunuhi nabi-nabi? Yang kedua, kalau kamu beriman kepada Taurat saja, kenapa ketika Musa datang bil bayyinat tsummat takhadztumul ‘ijl. Kalau kamu bilang percaya pada nabi Musa, kenapa kamu sembah anak sapi? Dalam bahasa Arab, sapi dan anak sapi beda. Di bahasa Indonesia tidak ada. Anak sapi ya anak sapi. Di sini untuk membedakan, sekaligus untuk menghinakan. Harusnya kan Allah

Page 11: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  143  

mengumumkan saja jenisnya. Tsummat takhadztumul baqar misalnya. Lalu kemudian kalian jadikan sapi itu disembah. Tapi di sini al ‘ijl. Al ‘ijl itu anak sapi. Jadi supaya mereka ini tersakiti lagi memorinya. Kita masih ingat tempo hari waktu mempelajari perintah menyembelih sapi. Kenapa yang disembelih itu sapi? Supaya mereka benar-benar menyembelih sapi itu di dalam hatinya. Karena nanti ini luar biasa. Min ba’dihi wa antum zhalimun, kemudian kalian menjadi orang zhalim setelahnya. Itu dua. Yang pertama, kamu mengaku beriman tapi membunuhi rasul, mengaku beriman kepada Musa tapi ketika Musa datang kenapa kamu kemudian menyembah anak sapi. ‘Ijlan jasadan lahu khuwar, anak sapi yang berbunyi. Baqar, sapi. ‘Ijl, anak sapi. Khuwar, bunyi sapi.

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!" Mereka menjawab: "Kami mendengar tetapi tidak mentaati". Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: "Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat). Wa idz akhadzna mitsaqakum. Ini yang dahsyat. Ketika kami ambil janji kalian. Kan mereka mengatakan, “kami kalau masuk neraka paling sehari dua hari. Kami akan dimuliakan Allah.” Memang kamu sudah janjian sama Allah? Sudah hitam di atas putih? Tetapi kata Allah wa idz akhadzna mitsaqa bani Israil. Ternyata janji yang disebut bukan itu, tetapi supaya tidak syirik, berbuat baik pada orangtua, dzawil qurba dan seterusnya. Ini juga wa idz akhadzna mitsaqakum. Wa rafa’na fauqakum, dan kami angkat di atas kalian, ath thur, gunung. Mayoritas mufassirin mengatakan ini majaz. Jadi ketika seseorang berjanji, itu seolah-olah gunung diletakkan di atas kepalanya. Ini bukan ancaman, tapi ketakutan mereka pada saat dijanji itu bagaikan ditaruh gunung di atas mereka. Di kita, kalau seseorang bersumpah, biasanya Al Qur`an ditaruh di atas kepalanya. Itu dia takut atau tidak, itu

Page 12: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  144  

bagaikan gunung ditaruh di sana. Dia diikat. Kalau dia ingkar janji, luar biasa. Makanya di sini wa rafa’na fauqakumuth thur, seolah-olah gunung ditaruh di atas kepalanya, besar sekali. Mereka sangat takut. Dia akan mengatakan, “Iya Ya Rabb.” “Kamu akan beriman kepada-Ku?” “Iya Ya Allah.” “Kamu tidak saling membunuh?” “Labbaik Ya Allah.” “Kamu tidak saling menawan dan menzhalimi satu sama lain?” “Iya Ya Allah.” Itu dia mengatakan “Iya Ya Allah” seolah-olah melihat gunung di atas kepala mereka. Jadi jangan kita pahami bahwa Allah main ancam. Tidak. Allah hanya menggambarkan bahwa mereka taatnya luar biasa itu karena melihat seolah-olah gunung diletakkan di atas kepala mereka. Khudzu ma atainakum, ambil, laksanakan, bi quwwah. Nah ini luar biasa. Melaksanakan hukum Allah itu harus dengan bi quwwah. Tidak bisa kita basa-basi. “Ayo kita pura-pura shalat, supaya orang-orang yang jelek itu tidak tahu kalau kita sedang shalat.” Jadi kita perlu kekuatan supaya kita bisa bebas mengekspresikan keagamaan kita. Di zaman-zaman ketika dinistakan, kita malu. Sekarang Bapak-bapak kalau pergi ke mall dengan pakaian seperti ini (baju koko) pede tidak? Pasti tidak. Nanti dibilang salah kostum. Ibu-ibu kalau pergi ke tempat yang di situ aurat dibuka-buka, hanya sekadar menutup aurat saja bisa jadi minder, karena sendiri. Jadi kata-kata bi quwwah itu luar biasa. Di sini bahasanya bi quwwatin, pakai nakirah. Perlu kekuatan yang sangat besar. Bukan pemaksaan, tapi kekuatan mentalitas dulu sebelum ekspresi keagamaan itu. Kemudian kita menjaga diri dan kehormatan pada saat negara kita lacur, menjaga mental supaya kita optimis, itu juga perlu bi quwwah. Kita melaksanakan agama harus bi quwwah. Kalau tidak bi quwwah, sulit sekali. Wasma’u, dengarkan. Kenapa tidak isma’u dulu khudzu ma atainakum? Karena tabiat manusia itu lupa atau pura-pura lupa atau berusaha lupa kalau berhubungan dengan taklif. Saatnya bayar pajak, pura-pura dia, “emang saya ada pajak ya?” Maka ada adzan, ada pengingat. Karena wasma’u itu bukan sekadar mendengar. Lihat kata mereka. Ini juga untuk merendahkan mereka. Qalu sami’na, kami mendengar. Tapi wa ‘ashaina, kami tidak melakukan. Seburuk-buruk orang, dia mendengar tapi tidak melakukan. Pasti menyesal, “Mendingan saya tidak dengar sekalian.” Ini ciri-cirinya orang

Page 13: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  145  

yang sudah lemah secara mental. Karena harusnya ketika mereka mendengar, sampai dakwah kepada mereka. Ini kembali ke topik awal tadi yang kita bahas. “Kok yang diutus Muhammad? Bukan dari golongan kita?” Ketika mereka mengingkari itu buruk sekali. Mereka sudah mendengar Nabi Muhammad itu akan diutus di akhir zaman. Sudah tahu. Dan ketika mereka seperti itu, mereka tidak melakukan. Dan sebelum Nabi Muhammad, dulu pada zaman Musa mereka melakukan yang sama. Ini ada satu yang mudah-mudahan cukup saya bahas. Wa usyribu fi qulubihimul ‘ijla bi kufrihim. Ini ada riwayat israiliyat sangat banyak, tetapi tanpa komentar dari Ibnu Katsir, Ath Thabari, dan buku-buku tafsir lainnya termasuk buku-buku tafsir kontemporer memuat cerita ini. Jadi pada saat mereka menyembah al ‘ijl tadi, anak sapi, Musa pulang itu kan marah sekali. Setelah itu taubatnya mereka disuruh membunuh. “Oh tidak, saya tidak ikut-ikutan.” Nah, nabi Musa kan ingin tahu mana yang menyembah dan mana yang tidak. Akhirnya mereka semua dibawa ke laut, kemudian disuruh minum air laut satu teguk. Yang menyembah anak sapi emas itu, mukanya berubah jadi kuning keemasan. Makanya di sini bahasanya wa usyribu fi qulubihimul ‘ijla bi kufrihim. Tapi tafsirannya tentu bukan itu. Itu hanya kisah yang mendukung. Tapi kita tidak bisa membenarkan dan tidak bisa menyalahkan. Karena riwayatnya itu tidak bisa dipertanggungjawabkan, tapi juga tidak bisa langsung divonis tidak benar. Karena buku-buku tafsir termasuk yang sangat teliti, Ibnu Katsir, memuat ini tanpa komentar. Kalau tanpa komentar berarti boleh kita pakai. Jadi mereka itu sudah mendarah daging, bukan sekadar ikut-ikutan. Jadi kalau saya boleh membahasakan, itu mereka iseng. Ketika ditinggal nabi Musa, “kita ngapain ya?” Mau shalat, yah shalat mah gitu-gitu aja. Mau puasa, yah puasa mah gini-gini aja. Pada saat kekosongan itu muncul ide yang sangat gila dari Samiri. Samiri itu salah satu pengikut nabi Musa. Dia membuat sapi-sapian. Kalau menurut teknologi sekarang, itu bukan sesuatu yang istimewa. Jadi sapi hanya sekadar bisa berbunyi, bukan ngomong. ‘Ijlan jasadan lahu khuwar, bukan sapi berbicara. Jadi sapi bisa bunyi. Khuwar itu hanya bunyi sapi. “sapi, kira-kira kalau saya berdagang untung atau rugi?” “ngoo,” “oh berarti dia merestui saya.” Jadi ditafsiri sendiri juga. Bodoh juga orang itu. Makanya dikatakan Wa usyribu fi qulubihimul ‘ijla. Jadi intinya sapi itu di dalam hati mereka. Makanya Allah ingin mendustakan itu. Dan lihat, kunci lagi, bi kufrihim. Hari ini mohon maaf judulnya kafir kafir saja ini. Bukan berarti mengkafirkan orang, tapi betapa buruknya ketika hati itu tidak bisa kebenaran. Maka diclosing, qul bi`sama ya`murukum bihi imanukum in kuntum mu`minin. Jadi sangat buruk sekali, mereka termasuk orang-orang yang tidak beriman.

Page 14: Halaqah Tadabbur Quran 14 (Al Baqarah 89-93). Dr Saiful Bahri

  146  

Ini yang mungkin bisa al faqir sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Kita lanjutkan insya Allah pekan depan membahas tentang jawaban Allah yang lebih parah. Dan tadi saya belum menyinggung masalah solusinya. Jadi solusinya adalah di sini Allah menyebut kufur, kufur, kufur beberapa kali, solusinya adalah hati. Ketika hati kita terkunci dari kebaikan, ibarat seorang yang sudah patah hati, “saya tidak mau lagi menerima orang di hatiku.” Itu sebenarnya dia dusta. Dia hanya perlu waktu untuk membuka hatinya. Sama juga dengan kita. Ketika kita iri dengan seseorang, “kok yang membawa kebaikan dia?” karena mungkin punya masa lalu dengan orang itu. Harusnya tidak demikian. Bukalah pelan-pelan. Lihat hatinya, lihat perkataannya. Maka solusi kalau kita punya kekerasan hati, berarti yang kita lembutkan bukan materinya. Materi ada di buku, di mana-mana, tapi yang menerima kebaikan itu adalah hati. Maka solusinya adalah kita perlu membersihkan hati kita. Wa bil khusus kita menyambut bulan Dzul Hijjah, sepuluh hari pertama itu hari yang sangat luar biasa. Kalau kita sanggup berpuasa dari tanggal 1 sampai tanggal 9 itu lebih bagus. Baca Al Qur`an dan berdzikir. Kata Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, amal di hari itu bahkan mengalahkan jihad sekalipun. Kecuali mereka yang berjihad dan syahid. Mudah-mudahan dengan kajian singkat ini hati kita dijaga oleh Allah agar jangan sampai tertutup menerima kebenaran. Juga kita berdoa mudah-mudahan yang kita lakukan dan kita sampaikan ini bisa sebanyak mungkin direkayasa sehingga kebaikan itu menjadi mudah, sehingga kita bisa melaksanakan ekspresi keagamaan kita bi quwwah, dengan kekuatan, tidak perlu kita tahan-tahan, kita bisa ekspresi sangat luar biasa. Mudah-mudahan Allah berikan jalan kebaikan bagi kita semua, Allahumma amin. Ini yang bisa al faqir sampaikan, mohon maaf, jazakumullahu khairan.**