halaqah tadabbur al quran 3 (al baqarah 6 - 16). dr saiful bahri
DESCRIPTION
Transcribed by Adhe PurwantoTRANSCRIPT
11
Halaqah Tadabbur Quran 3 (QS Al-‐Baqarah 6-‐16) Dr. Saiful Bahri, MA Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi rabbil-‐‘alamin. Alhamdulillahil-‐ladzii anzalal-‐qur`an, wa fadhdhalana ‘ala sairi khalqihi bi ta’limil-‐‘ilmi wal-‐bayan. Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘ala sayyidil-‐anam, sayyidina Muhammadin shallallahu ‘alaihi wasallam wa ‘ala alihi wa ashhabihi wa man tabi’ahu ila yaumiddin, ‘amma ba’du. Kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala, pada pagi hari ini setelah kita melakukan kewajiban shalat subuh bersama-‐sama, mengiringi dan menantikan terbitnya matahari, mudah-‐mudahan ini dianggap Allah subhanahu wa ta’ala sebagai tasbih kita, bertasbih bersama alam, dan dijadikan kita nantinya berkumpul dengan orang-‐orang yang shalih. Allahumma amin. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kajian halaqah Al-‐Quran kita yang ketiga dan tema kesempatan kali ini akan berkaitan dengan dua tema besar, yaitu orang-‐orang yang kafir dan orang-‐orang yang munafiq. Jika pada pertemuan yang kemarin kita membahas sifat orang yang terbaik, jadi sangat ekstrim hari ini akan membahas yang sebaliknya. Orang-‐orang yang memiliki karakteristik al-‐muttaqin, itu yang terbaik dari orang-‐orang yang beriman, maka pagi hari ini Allah akan memulainya membahas dengan orang-‐orang yang terburuk. Jadi dua kutub yang berlawanan ini akan dibahas Allah jelas, yang paling baik dan yang paling buruk, nanti di tengah-‐tengahnya ada golongan abu-‐abu yang susah diprediksi atau juga susah diidentifikasi. Itu nanti yang paling banyak dibahas Allah sebelum membahas dan menguraikan isi surah Al-‐Baqarah. Kita akan segera memulainya saja. Di ayat yang keenam Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-‐orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Yang menarik adalah, ayat ini diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Muhammad yang tidak mengubah eksistensi mereka. Jadi meskipun hanya dua ayat, ayat ini tafsirannya panjang. Yang menarik, pakar bahasa mengatakan, kenapa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengatakan sawa`un ‘alaika tapi sawa`un ‘alaihim? Karena yang sama itu mereka. Mau dikasih nasihat, tidak dikasih nasihat, dikasih peringatan, tidak dikasih peringatan, melihat kebaikan, tidak melihat kebaikan, itu sama. Tetapi tidak sama bagi Anda. Kenapa? Usaha Anda tetap ditulis Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi kewajiban berdakwah kepada orang-‐orang seperti ini tetap ada. Meskipun mereka itu tidak punya efek, tetapi kewajiban dakwah kepada mereka tetap ada. Ini yang pertama.
12
Yang kedua, yang dinilai Allah itu bukan hasilnya. Yang dinilai Allah di sini adalah prosesnya. Makanya nanti yang dinilai Allah itu bukan sedikit-‐banyaknya pengikut. Meskipun kata baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, fa inni mukatsirun bikumul umam yaumal qiyamah. Jadi nanti baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangga umatnya banyak. Tapi yang menjadikan kebanggan itu bukan banyaknya umat, tetapi kualitasnya. Nah, di sini yang menarik, para mufassirin mencoba menganalisa, lalu kalau Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.Lalu gunanya diberikan ayat ini untuk apa? Gunanya disuruh dakwah untuk apa kalau pada akhirnya tidak bisa? Ini di dalam ilmu tauhid disebut dengan ‘ilmul kasysyaf. Jadi ilmu Allah itu menyingkap segala hal yang gaib. Dan ini, kata Ibnu Katsir, ayat ini dan ayat setelahnya diperuntukkan bagi orang-‐orang yang divonis Allah secara takdirnya tidak akan beriman. Atau kalau lebih berani lagi kita mengambil hubungan kaitan dengan ayat Al-‐Quran, di dalam surah Al-‐Lahab Allah berfirman: Tabbat yada abi lahab. Ayat itu diturunkan, Abu Lahab masih hidup atau sudah meninggal? Masih hidup. Seharusnya kalau Abu Lahab itu orangnya cerdas, dia beriman saja dan mengikuti golongan yang berikutnya. Karena orang-‐orang itu, meskipun pada hakikatnya ada tiga golongan, tetapi dalam hukumnya tetap ada dua, beriman dan tidak beriman. Kalau dia beriman masuk dihukumi orang yang muslim, kalau dia tidak beriman masuk golongan non-‐muslim. Tetapi itu tidak terjadi. Padahal kalau dia memilih ‘Saya beriman kepadamu Muhammad’ tetapi dia pada hakikatnya seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, itu bisa saja. Tetapi itu tidak dilakukan, dan itu menandakan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat hebat. Padahal kalau dia beriman, runtuh itu klaim Tabbat yada Abi Lahab. Kalau Al-‐Quran itu runtuh klaimnya, dakwah Islam Nabi Muhammad juga runtuh. Kalau dia cerdas. Tetapi kita tidak pernah mendengar sedikitpun usaha Abu Lahab untuk melakukan itu. Maka sangat benar, ayat ini kita tidak bisa memahaminya secara sepotong saja, karena ayat ini diikuti kepada ayat berikutnya. Allah berfirman pada ayat ketujuh:
Allah telah mengunci-‐mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. Ini bisa dijadikan akibat, bisa dijadikan sebab. Allah memberikan kunci. Jadi ini disebut di dalam ilmu balaghah al isti’arah at tamtsiliyyah, jadi meminjam istilah. Karena hati kita itu tidak ada kuncinya. Tapi kenapa Allah mengunci? Dan kunci kemudian ditutup. Ibarat kalau kita punya rumah itu tidak cukup pintunya dikunci, tetapi digembok, sudah digembok ada pintu gerbangnya lagi. Itu menyulitkan orang-‐orang yang akan masuk ke dalamnya. Kenapa diperumpamakan seperti ini? Karena mereka tidak menerima kebaikan. Kalau di dalam penafsirannya, ketika menggunakan ta’qid
13
innalladzina kafaru itu ‘nanti ada’, ‘sesungguhnya ada orang-‐orang yang kafir’. Jadi tidak semua orang-‐orang kafir itu satu jenis. Nanti ada orang-‐orang yang jenis ini. Dan yang menarik, pembahasannya hati. Nanti kebawah semuanya berbicara tentang hati, maka didahulukan. Khatamallahu ‘ala qulubihim dulu. Dan ini sighatnya adalah plural, jamak. Yang menarik, yang kedua bukan wa ‘ala asma’ihim tapi wa ‘ala sam’ihim. Satu saja. Dan kemudian wa ‘ala absharihim, dipluralkan lagi. Para pakar bahasa, dan yang sempat al-‐faqir baca dalam I’rabul Qur`anul Karim wa Bayanuhu karangan Muhiddin Ad-‐Darwis, di sini wa ‘ala sam’ihim itu satu, sementara dua yang mengapitnya itu plural, itu yang terjadi hakikatnya. Seseorang bisa merasakan sesuatu, mengetahui sesuatu itu bisa lebih dari satu. Bisa melihat lebih dari satu. Tetapi untuk mendengar lebih dari satu fokus, sepertinya kalau tidak bisa dikatakan mustahil, itu sangat sulit terjadi. Ini yang pertama. Yang kedua, kenapa didahulukan qulub? Karena qulub itu adalah tempatnya iman. Masih ingat yang kemarin kita tadabburi? Ciri-‐ciri pertama orang muttaqin itu apa? Alladzina yu`minuna bil ghaib. Iman itu tempatnya di mana? Di hati. Maka ketika mengatakan khatamallahu, dikunci dulu hatinya, ketika hati sudah dikunci, maka pendengaran tidak berfungsi. Dia hanya mendengar dan keluar begitu saja. Penglihatan juga demikian. Dia melihat sesuatu yang baik di depannya, tetapi itu gelap dan tidak kelihatan. Maka ini yang dikatakan khatam, dikatakan kunci, dikatakan kunci itu bergembok. Wa lahum ‘adzabun ‘azhim, maka mereka, orang-‐orang itu akan mendapatkan azab yang sangat sangat berat. Jenis azab dalam Al-‐Qur`an ada banyak. Ada ‘adzabun ‘azhim, azab yang sangat besar dan berat, ada ‘adzabun alim, azab yang sangat sakit, menyakitkan, ada ‘adzabun muhin, azab yang menghinakan secara fisik dan secara mental. Misalkan kepalanya diinjak, itu secara fisik sakit, tapi lebih sakit itu adalah dihinakan. Nanti ada yang disebut ‘adzabun muqim, dia sehari-‐harinya di tempat itu, neraka. Seperti misalnya kalau seseorang disiksa, tapi di ruangan ber-‐AC, tetap sakit juga. Tetapi nanti tidak seperti itu. Disiksa, tapi tempat penyiksaannya neraka. Tidak diapa-‐apakan saja sudah panas, dicemplungin ke neraka saja sudah panas. Tapi tidak, ‘adzabun muqim bukan itu artinya. Dicemplungin dibiarkan itu panas, tapi ditambah siksaan yang lainnya. Itu sesudah siksaan mereka di dunia dan di alam kubur. Nah ini, dua itu, sifat ada, itu karena ilmu Allah mukasyafah. Allah itu tahu, kenapa seseorang perlu ditentukan Allah, si A nanti akan jadi orang baik dan masuk surga, si B akan menjadi orang tidak baik dan masuk neraka. Bahkan dalam hadits qudsi, ada nanti orang, antara dia dan surga jaraknya cuma sejengkal saja, kemudian dia melakukan amal ahli neraka dan dia masuk neraka, menjadi su`ul khatimah. Demikian juga sebaliknya, ada ahli neraka yang antara dia dan neraka tinggal sejengkal jaraknya, kemudian dia melakukan kebaikan, dia berubah menjadi ahli surga. Jadi itu pengetahuan Allah yang sangat-‐sangat detil. Ini kalau dibandingkan dengan pengetahuan kita tidak ada bandingannya. Tetapi seseorang kalau disuruh mengira-‐ngira, ada klub sepakbola A bertanding dengan klub sepakbola B. Kalau seandainya klub sepakbola A ini sudah terbiasa menang bertanding dengan klub sepakbola B, prediksi orang, kira-‐kira yang menang pada pertandingan itu yang mana? A. Padahal ilmu kita itu tidak seberapa, tetapi kita berani memprediksi itu. Tapi Allah
14
bisa memastikan kenapa? Karena Allah tahu. Ini kok orang baik-‐baik tiba-‐tiba divonis dengan takdir Allah? Itu karena nanti perjalanan hidupnya seperti ini, seperti ini. Maka nanti yang jadi perdebatan dalam ilmu tauhid: Apakah takdir itu bisa diubah? Karena takdir itu gaib, tapi takdir itu azali, sudah ditulis. Apakah jaffatil qalam (ketika qalam itu sudah kering ditulis), artinya takdir itu sudah dibunyikan oleh Allah, tidak bisa diubah? di situ terjadi perbedaan ulama. Kalau takdir besarnya tidak bisa diubah. Tetapi detil-‐detilnya itu bisa diubah dengan doa. Karena ada misalkan, kita kalau silaturahim memperpanjang umurnya, di situ didebatkan lagi, apa arti perpanjang umur. Atau misalkan saja ketika hati kita bergetar, zadatuhum imana, bertambah imannya, itu kan tambahan. Nah itu, kita tidak usah mendebatkan ini takdir boleh diubah apa tidak, tetapi ilmullah yang sangat mukasyafah itu ada menyisakan ruang-‐ruang manusia. Dan tugas kita adalah menyisakan ruang manusia. Buktinya apa? Tadi, sawa`un ‘alaihim, bagi mereka sama, tidak ada bedanya, mau berbuat baik atau tidak, kalau sudah dikunci, tidak berfaidah. Tetapi tidak sama bagi Anda wahai Muhammad, maka lanjutkan dakwahnya. Itu pesan morilnya di ayat ini. Nah ini kita tutup jenis klasifikasi kedua. Orang yang terbaik kemarin sudah kita bicarakan, orang muttaqin bukan sekadar beriman. Sekarang kita membicarakan orang yang sudah dikunci, tidak ada kebaikan yang bisa masuk. Nah sekarang kita membicarakan orang yang ada di tengah-‐tengahnya, yaitu orang munafiq.
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir," pada hakikatnya mereka tidak beriman. Ini yang disebut dengan orang munafiq. Tapi sekali lagi, orang munafiq itu tidak bisa dilihat, orang munafiq itu juga tidak bisa diklaim, orang munafiq juga tidak bisa ditunjuk. Kenapa? Di dalam hadits dan di dalam Al-‐Qur`an tidak pernah diidentifikasi namanya. Jadi yang diidentifikasi itu hanya penyakitnya, hanya ciri-‐cirinya. Harusnya kita bertanya: kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebut siapa itu orang munafiq? Kenapa kemudian sekretaris rahasia beliau, Hudzaifah ibn Yaman yang diberitahu oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam nama-‐nama orang munafiq, tidak pernah membocorkan rahasia itu kepada siapapun. Bahkan pada saat ditanya dan diinterogasi oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab, beliau marah. “Hudzaifah, tahukah engkau siapa orang-‐orang munafiq itu?” Beliau marah. Dan ketika bertanya, oke, saya hanya bertanya terakhir sama kamu, saya termasuk orang munafiq atau bukan? Hudzaifah menjawab, Anda bukan termasuk orang munafiq. Ini menandakan kenapa orang-‐orang munafiq itu dirahasiakan. Kenapa yang kita ketahui dari sekian banyak jumlah para sahabat hanya satu, dan itu muttafaq ‘alaih, bukan seorang sahabat. Meskipun
15
dia beriman, berinfaq, ikut keluar bersama Rasulullah, tetapi dia dikatakan ra’sul munafiqin, yaitu Abullah bin Ubay bin Salul. Itupun, Abdullah bin Ubay bin Salul diperlakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang muslim. Kenapa? Pada saat meninggalnya kan beliau dishalatkan. Baru setelah itu ayat Al-‐Qur`an turun, dilarang melakukan shalat kepada orang-‐orang yang munafiq. Dan itupun Nabi. Kalau kita kan nggak bisa. ‘Wah, kita nggak boleh nyolatin si ini karena dia orang munafiq.’ Itu lain lagi ceritanya, karena kita tidak bisa mengklaim orang munafiq. Munafiq itu tempatnya di mana tadi? Di hati. Itu yang pertama. Yang kedua, kalau seandainya orang-‐orang munafiq itu disebutkan, orang munafiq di zaman Rasulullah adalah A, B, dan seterusnya, dari sekian ratus ribu, 114 ribu menurut Abu Zur’ah Ar-‐Razi, jumlah sahabat, itu disebutkan katakanlah ada seribu orang munafiq, itu nanti dikhawatirkan ketika baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal, itu nanti habislah cerita orang munafiq. “Oh kita sekarang aman, orang munafiq sudah meninggal.” Sahabat kan sekarang sudah nggak ada. Kalau ada orang ngaku-‐ngaku sebagai sahabat Nabi pasti ditertawakan orang. Jumlah sahabat definitif, jelas. Kalau seandainya orang munafiq itu disebut per nama secara definitif, maka nanti dikhawatirkan orang munafiq sudah meninggal, tidak ada lagi mereka. Makanya itu dirahasiakan supaya kita sadar dan kita berhati-‐hati, jangan-‐jangan kita itu mulai bergeser ke kiri. Jadi posisi orang munafiq itu kadang ke kanan kadang ke kiri. Terus ke kiri itu masuknya kepada tadi, sawa`un ‘alaihim a andzartahum am lam tundzirhum la yu`minun. Dan orang munafiq itu nanti diklaim oleh Allah lebih buruk dari orang yang kafir tadi itu. Kenapa? Innal munafiqina fid darkil asfali minan-‐nar. Dia lebih buruk kenapa? Karena dia bermain, secara fisik dia orang baik, tetapi pada hakikatnya dia jauh lebih buruk. Karena dia juga merancang pembunuhan kepada Nabi, dia juga merancang jangan sampai kebaikan ini terorganisir, dia juga merancang jangan sampai pengaruh orang-‐orang buruk ini direbut oleh orang-‐orang munafiq. Justru dia lebih buruk. Kalau orang-‐orang kafir itu jelas membuat front permusuhan. Sementara mereka kelihatannya sahabat, tetapi sesungguhnya adalah orang-‐orang yang memusuhi. Nah, kata Allah di sini dilanjutkan,
Mereka hendak menipu Allah dan orang-‐orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Bisa nggak orang menipu Allah? Nggak bisa, makanya jawabannya di sini, yang ditipu sesungguhnya adalah diri mereka sendiri sedang mereka tidak merasa. Nah yang menarik di sini, di ayat berikutnya,
16
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Kalau sebelumnya khatamallahu ‘ala qulubihim, maka di sini juga diangkat, fi qulubihim maradh, di dalam hati mereka itu ada penyakit. Penyakitnya apa? Ya itu nifaq. Karena nifaq itu adalah seburuk-‐buruk penyakit. Nanti kalau di dalam Al-‐Qur`an itu surah Al-‐Mu`minun ada, surah Al-‐Kafirun ada, surah Al-‐Munafiqun ada nggak? Ada. Allah punya kepentingan untuk menyebutkan bahwa jenis ini akan selalu ada di dalam masyarakat. Bahkan, surah Al-‐Munafiqun itu bukan satu-‐satunya surah yang membicarakan orang munafiq. Di sini, di bagian kita sekarang memulai, dibicarakan orang munafiq. Surah At-‐Taubah, judulnya At-‐Taubah, mengisahkan taubatnya tiga orang sahabat yang menyesal melakukan kesalahan pada saat perang Tabuk, tetapi itu mayoritas isi surah At-‐Taubah itu adalah sifat-‐sifat orang munafiq. Nanti disebutkan di ayat-‐ayat yang lainnya selalu disinggung jenis manusia ini, yaitu manusia yang pada zahirnya dia mengatakan ‘saya beriman’, tetapi pada hakikatnya wa ma hum bimu`minin. Dan mereka itu tujuannya apa? Menipu Allah dan orang-‐orang yang beriman, tetapi sesungguhnya yang dia tipu adalah diri mereka sendiri, mereka tidak merasa. Fa zadahumullahu maradha, orang yang demikian akan ditambah penyakit hatinya. Kalau sudah nanti tidak bisa disembuhkan, itu baru disebut dengan khatam, dikunci. Kalau di kita khatam diartikan stempel ya, bisa juga. Sesuatu itu sah kalau ada stempelnya. Kalau sudah distempel sebagai penduduk neraka ya susah. Mencabut stempel itu dengan SK yang baru. Kalau itu perumpamaan manusia. Tapi di sini isti’arah tanfiliyah, bahwa hati itu memiliki kunci, karena hati itu yang memiliki adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika dikatakan wa lahum ‘adzabun alim bi ma kanu yakdzibun, ini munculnya yakdzibun dari mana padahal tadi mereka itu beriman? Sesungguhnya mereka itu mendustakan. Yakdzib itu berbeda dengan yukadzdzib. Kalau yukadzdzib itu dilakukan oleh orang yang terang-‐terangan. Kafir. Tapi di sini wa lahum ‘adzabun alim bi ma kanu yakdzibun, bukan yukadzdzibun, karena mereka melakukan itu dengan diam-‐diam. ‘Jangan dikira saya dukung ente, saya di sini mah basa-‐basi aja.’ Nah orang seperti itu mendustakan dirinya sendiri. Itu membohongi. Yakdzib itu bohong. Kalau yukadzdzib mendustakan. Jadi beda artinya. Mana yang lebih buruk? Dua-‐duanya buruk. Maka disebut di sini ‘adzabun alim itu azab yang menyakitkan. Alim itu sakit. Jadi azab yang menyakitkan. Kalau tadi itu ‘adzabun ‘azhim, yang berat, jangan dikatakan, ‘Oh azab yang berat bukan berarti yang menyakitkan?’ Nggak juga, dua-‐duanya itu akan digabung, seperti tadi ‘adzabun muqim itu dia dicemplungin neraka saja itu sudah panas, apalagi ditambah disiksa. Dan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Muslimnya, Seringan-‐ringannya siksa ahli neraka itu apa? Ketika bara api ditaruh di telapak kakinya, ubun-‐ubunnya mendidih. Itu
17
seringan-‐ringannya siksaan ahli neraka. Dan itu dilakukannya bukan di ruang ber-‐AC, tapi di mana? Di neraka, yang belum diapa-‐apain saja sudah panas. Ini sifat yang pertama. Sifat yang kedua,
Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-‐orang yang mengadakan perbaikan." Kalau mereka itu dikasih nasihat, jangan melakukan kerusakan di muka bumi, mereka akan membalik, ‘Oh nggak, kami orang baik-‐baik saja.’ Ini konsekuensi seorang dai. Amar ma’ruf itu sulit, tapi yang lebih sulit adalah nahi munkar. Mengajak orang shalat, konsekuensinya apa? Kalau dia baik ikut shalat. Kalau nggak mau, nggak ada konsekuensinya, dia nggak mau shalat kan? Diajak puasa, ikut puasa sama tidak kita tidak tahu, diajak zakat juga demikian. Tapi kalau kita larang, itu pasti ada konsekuensinya. Ada orang sedang asyik-‐asyik berjudi kita larang, konsekuensinya apa? Kalau dia lemah ngikutin, kalau dia lebih kuat dari kita apa yang terjadi? Kita akan kena akibatnya. Maka ini sifat pertama, ketika dikatakan jangan berbuat kerusakan, ini melarang atau memerintah? Melarang. Akibatnya apa? Yang pertama, dibalik. Innama nahnu mushlihun. Nanti kata Fir’aun juga, dibalik. Sesungguhnya Fir’aun itu a’la fil ardhi, dia tinggi hati dan sombong, berbuat kerusakan. Tetapi yang diklaim membuat kerusakan itu adalah Musa. Kita akan dituduh balik berbuat jahat. Maka hati-‐hati. Kita ketika amar ma’ruf itu kecil resikonya. Ketika sudah masuk ranahnya nahi munkar, kalau tidak diikuti dengan policy (kebijakan) dan cara berdakwah yang bagus, akan dibalik, justru kita yang dianggap berbuat salah sama mereka. Dan mereka akan terbebas dari tuduhan-‐tuduhan yang tidak semestinya. Kita larang dia berbuat judi, kita jebloskan dalam penjara, ternyata mereka punya backing yang kuat, justruk terbalik, kita dituduh mencemarkan nama baik. Bisa terjadi nggak itu? Bisa terjadi.
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-‐orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Ala innahum humul mufsidun, kata Allah, sesungguhnya mereka meskipun mengklaim seperti itu, mereka itulah orang-‐orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Wa lakin la yasy’urun, bukan berarti la yasy’urun di sini mereka membunuh tidak merasa, mereka merusak tidak merasa, tetapi mereka tidak mau dianggap seperti itu. Syu’ur itu tempatnya di mana? Di hati. Secara fisik mereka berbuat kezaliman, mau mereka dianggap zalim? Nggak mau.
18
Orang-‐orang zalim itu tidak mau dianggap zalim. Ya masih mending kalau seandainya tingkat kejahatannya itu, ‘maaf saya ini mencuri karena tingkat kebutuhan ekonomi.’ Itu bukan orang yang buruk awalnya, itu karena dia ada nilai yang lain kepepetnya. Tetapi kalau dia sudah nggarongin, sudah mengambil harta yang demikian banyak, dia enjoy saja, hatinya sudah mati. Padahal itu uang haram, tetapi dia anggap uang itu seperti halnya uang halal, itu disebut la yasy’urun. Dia membunuh orang, itu dianggap sebuah kebaikan, ‘Oh ini kan demi menjaga.’ Dia adu domba orang, ‘Oh ini karena membahayakan bagi saya.’ Dia tangkapi orang, itu juga tidak terasa. Itu disebut dengan la yasy’urun. Bukan berarti la yasy’urun itu artinya mereka tidak tahu itu keburukan, tetapi la yasy’urun itu hatinya sudah mati. Karena tempatnya syu’ur di mana tadi? Hati. Ketika Allah mengatakan fi qulubihim maradhun, fa zadahumullahu maradha. Kalau sakit hatinya itu sudah kronis, maka tidak bisa merasakan itu. Nanti akan dibalik, ada sebagian orang yang kepuasannya itu menzalimi. Ada sebagian orang yang kepuasannya itu berbuat maksiat. Ada kepuasannya orang yang sebaliknya, dia menolong orang puas hatinya. Ini kalau kita mau jujur silakan Bapak-‐bapak dan Ibu-‐ibu renungkan. Sama-‐sama bershadaqah, itu pasti dari sekian kali percobaan, itu ada beberapa yang sangat puas kita bershadaqah, lega begitu rasanya. Padahal jumlahnya juga nggak banyak. Kadang kita bershadaqah banyak tapi biasa saja. Itu yang disebut, tempatnya di hati. Iman dan syu’ur itu tempatnya di hati.
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-‐orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-‐orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-‐orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. Yang kedua ini sifatnya, kalau yang tadi hatinya mati, yang kedua adalah mereka disuruh beriman sebagaimana berimannya manusia. Kenapa yang disebut di sini manusia? Ini manusia yang pertama dengan yang di sini beda. Wa minannas dengan yang ada di sini ka ma amanannas itu beda. Amanannas yang ini adalah orang-‐orang dari kalangan mu`minin, dari kalangan sahabat. ‘Kamu mbok ya beriman, seperti berimannya sahabat-‐sahabat itu.’ Apa jawaban mereka? Mereka jawab: ‘Enak saja!’ Anu`minu kama amanas sufaha. ‘Emang kami sama seperti mereka?’ ‘Emang kami ini orang bodoh seperti mereka?’ Jadi ketika dinasihati dia merasa lebih tinggi dari orang-‐orang. Itu sifat orang-‐orang munafiq. Jadi, na’udzubillah kalau kita ada perasaan seperti ini, kita segera berdoa dibebaskan dari sifat nifaq. Jadi kalau dia disuruh meninggalkan perbuatan buruk, dia membalik, ‘Ah enggak kok, saya enggak melakukan keburukan.’ Karena hati mereka tidak bisa merasakan itu. Kalau sekarang ditanya, ‘Kamu beriman lah, lakukanlah kebaikan seperti kebaikan yang dilakukan si A,’ dia mengatakan, ‘Ah masa
19
kami melakukan kebodohan?’ ‘Masa sih iya hari gini kami membaca Al-‐Qur`an? Gengsi dong.’ ‘Masa sih iya saya di depan transportasi umum membaca Al-‐Qur`an, gengsi dong.’ ‘Bagusnya saya buka gadget. Bagusnya saya main BB. Malu saya membaca Al-‐Qur`an. Apa orang-‐orang itu? Bodoh.’ Nah ini merendahkan dan merasa lebih baik dari orang lain, itu adalah sifat orang-‐orang yang munafiq. Ketika dikatakan, ala innahum humussufaha, dibalikin lagi sama Allah, sesungguhnya mereka itulah orang-‐orang yang bodoh. Mendapatkan mutiara keimanan tetapi tidak dipelihara. Wa lakin la ya’lamun.
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-‐orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-‐syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-‐olok." Ini yang paling membahayakan. Wa idza laqulladzina amanu, kalau mereka berjumpa dengan orang-‐orang beriman, mereka mengatakan apa? Qalu amanna, kami beriman. Wa idza khalau ila syayathinihim. Ibnu Katsir, Imam Al-‐Alusi dan para mufassirin menerjemahkan syayathin di sini adalah pimpinan-‐pimpinan mereka. Maka di sini, keburukan itu terkoordinir. Kita jangan menyangka hanya kebaikan itu bisa dikoordinasi. Tetapi keburukan itu terkoordinir. Bahkan, meskipun ini diragukan apakah perkataannya Imam Ali, tetapi terkenal sebagai perkataannya Imam Ali, Al-‐Haqqu bi la nizhomin yaghlibuhul bathil binizhom. Kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh keburukan yang terorganisir. Itu juga berat. Kalau kita gagal merekayasa kebaikan, maka yang terjadi adalah rekayasa keburukan. Contohnya, suatu ketika di dalam masyarakat, orang yang melakukan pengajian, dulu itu dianggap aib, ketinggalan jaman. Tapi kalau kita berhasil melakukan rekayasa, nanti terjadi sebaliknya, orang kalau enggak ngaji, dia ketinggalan jaman. Itu berarti tandanya keberhasilan di dalam merekayasa kebaikan. Kenapa? Karena nanti kaidahnya begini, idza katsural munkaru, shara ma’rufan. Kemunkaran itu kalau sudah banyak, akan berubah menjadi ma’ruf. Lho, kalau kemunkaran banyak jadi halal? Yang haram jadi banyak akan jadi halal? Bukan. Kemunkaran itu kalau sudah merajalela, dia akan dianggap biasa, sehingga tidak diingkari. Kalau satu desa ini biasa minum minuman, orang yang enggak minum dianggap munkar. Kalau satu desa itu meninggalkan shalat dianggap biasa, yang melakukan shalat disebut munkar. Kalau satu di desa itu, menghidupkan malam-‐malam Ramadhan itu dianggap kebaikan, yang meninggalkan dianggap munkar. Itu terjadi di mana saja. Kalau itu sudah menjadi adat, itu bisa lebih kuat dari peraturan yang tertulis.
20
Makanya kita harus berusaha merekayasa sebanyak dan sekuat mungkin kebaikan. Karena ini kalau mereka berjumpa dengan orang-‐orang beriman, dia mengatakan beriman. Khalau ila syayathinihim, ini yang bahaya. Mereka katakan, innaa ma’akum, kami bersama Anda. Loyalitas kami adalah kepada Anda. Syayathin di sini kan sudah jelas. Kenapa kata yang dipilih Allah bukan wa idza khalau ilalladzina kafaru misalnya, atau wa idza khalau ila a’da`illah misalnya, tetapi ila syayathinihim. Kalau dalam benak orang, syaitan itu apa? Syaitan itu adalah simbol keburukan yang paling buruk kan? Padahal sebenarnya syaitan itu di dalam Al-‐Qur`an ada disampaikan dalam simbol yang menyeramkan tetapi kadang kita lupa bahwa syaitan itu kadang simbolnya sebaliknya. Kelemahan kita, kenapa syaitan itu selalu kita ikonkan sebagai yang buruk. Harusnya syaitan itu juga bisa berupa hal-‐hal yang menarik. Kalau syaitan itu tidak menarik, tidak mungkin dong Adam dan Hawa mendengarkan mereka. Coba bayangan kita kalau seandainya syaitan itu seperti gambaran kita, mukanya seram, kemudian punya tanduk di kepalanya, itu kira-‐kira Adam sama Hawa mau mendengarkan perkataan mereka nggak? Nggak mau kan? Itu kesalahan kita. Kita membayangkan syaitan itu buruk, padahal syaitan itu secara fisik orangnya mungkin ganteng kalau berbentuk orang. Makanya khalau ila syayathinihim itu, secara fisik bisa jadi dia sama dengan lainnya, tetapi kelakuannya lebih buruk daripada syaitan. Syaitan itu jelas, dia mengatakan dia masih mengakui Tuhan. Syaitan itu mengakui Allah sebagai Tuhan, lho. Makanya, orang-‐orang yang lebih buruk dari syaitan itu adalah orang-‐orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhannya. Khalau ila syayathinihim itu maksudnya, pemimpin-‐pemimpin mereka itu sama secara fisik seperti kita. Maka nanti di dalam surah Al-‐Munafiqun itu digambarkan. Di dalam surah Al-‐Baqarah juga nanti digambarkan. Perkataan mereka enak didengar, tampilan fisiknya enak dilihat. Kalau dia diskusi itu argumentatif, pendapatnya bisa diterima. Tetapi mereka itu disebut apa? Syayathinihim. Tetapi mohon maaf sekali lagi, ini tidak untuk menunjuk orang lain. (Mewaspadai) Sifat nifaq itu harus kembalinya kepada diri kita. Saya ada nggak ciri-‐ciri ini? Harusnya itu. Jangan ditunjuk, oh itu kayaknya si A, itu adalah si B. Bukan. Tetapi harusnya kita katakan, wah kayaknya saya mulai ini, agak condong ke kiri. Khalau ila syayathinihim, di dalam hati saya sudah mulai ada syaitan. Maka kita harus berhati-‐hati karena apa akibatnya? Berikutnya ketika mengatakan innaa ma’akaum innama nahnu mustahzi`un, sesungguhnya kami mengolok-‐olok mereka, ngibulin mereka. Jadi ‘saya beriman’ itu cuma tuntutan peran saja. Pada hakikatnya sesungguhnya watak saya yang asli seperti ini. Dia menjadi seorang pemain sinetron berpura-‐pura melakukan sesuatu yang tidak menjadi sikapnya. Maka itu disebut apa? Ngibulin orang. Mustahzi`un. Maka Allah langsung membalas tanpa jeda di situ. Harusnya kan, fallahu, tsummallahu, maka Allah, tetapi tidak dipakai jeda. Jedanya itu hanya tanda titik.
Allah akan (membalas) olok-‐olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-‐ambing dalam kesesatan mereka.
21
Allahu yastahzi`u bihim. Allah yang sesungguhnya mengolok-‐olok mereka. Ini pertanyaan kita, ‘Nggak boleh dong Allah mengolok-‐olok, tidak ada di asmaul husna mustahzi`u itu.’ Itu sama dengan kata-‐kata Allah, nasullaha fa nasiyahum, mereka melupakan Allah maka Allah melupakan mereka. Lho, katanya la ta`khudzuhu sinatun wa la naum, katanya Allah itu nggak ngantuk, nggak tidur, nggak lupa, lha ini kok ada melupakan mereka? Kan berusaha untuk lupa? Kan kita sering ya? Udah lupakanlah masa lalumu. Kita sudah maaf-‐maafan lupakanlah. Itu kan artinya kita berusaha tidak mengingat. ‘Lho, itukan bertentangan dengan sifat Allah?’ Yastahzi` itu juga bertentangan dengan sifat Allah. Maka harus ditakwilkan. Sebagian ulama ada yang mengatakan nggak boleh ditakwilkan, tapi pengertian mengolok-‐olok tentu berbeda. Tapi sebagian lagi menakwilkan, yastahzi` di sini, Allah membiarkan mereka. Mereka tertipu, seolah-‐olah melakukan kebaikan banyak, pada hakikatnya tidak ada. Itu disebut dengan mengolok-‐olok. Ada penafsiran lain, yastahzi` itu, Allah mengolok-‐olok mereka itu nanti di dalam pengadilan itu akan disebut-‐sebutkan oleh Allah dan itu akan semakin menyakiti hatinya. Mereka merasa baik kemudian divonis, kamu masuk neraka. Kan protes, kenapa saya masuk neraka Ya Allah? Itu kan sering di dalam Al-‐Qur`an. Rabbi li ma hasyartani a’ma wa qad kuntu bashira (dalam surah Thaha). Kenapa Engkau kumpulkan kami dalam keadaan buta padahal kami tadi di dunia itu melihat. Kenapa? Karena kamu dulu melupakan. Kamu dulu meninggalkan. Sekarang Aku tinggalkan. Itu maksudnya diolok-‐olok secara psikis. Ini yang paling bahaya, wa yamudduhum fi thughyanihim ya’mahun. Al A’mah itu kebalikan daripada Al Huda, meskipun Al Huda itu kebalikannya Adh Dhalal. Ya’mah itu begini. Al Huda kemarin kita bicarakan, kalau kita sampai kepada sebuah tempat, itu dikatakan kita minal muhtadin. Di sini kita mencari tempat shalat kita, tempat A, sampai, itu disebut kita mendapatkan petunjuk yang benar. Kalau ya’mahun, itu hampir sama dengan yatihun, tersesat, itu berusaha tapi nggak sampai-‐sampai. Nah Allah wa yamudduhum, memperpanjang. Orang tersesat itu kan ada batasnya. Biasanya orang kan ada frustrasi ya. Saya misalkan, saya mencari rumah si A. Saya sudah melakukan tujuh kali percobaan nggak ketemu, apa yang terjadi biasanya? Balik. Pulang. Tetapi Allah tidak demikian. Wa yamudduhum fi thughyanihim ya’mahun. Mereka mau pulang, tersesat lagi. Itu yang terjadi saat bani Israil melawan perintah Allah masuk Palestina. Yatihuna fil ardh, mereka begitu-‐begitu saja selama 40 tahun itu. Itu disebut ya’mahun secara fisik. Nah secara nonfisik di sini, thughyan, mereka akan ya’mahun, buta. Kenapa? Kembalinya kemana tadi? Khatamallahu ‘ala qulubihim. Sebelum khatama apa? Fa zadahumullahu maradha. Fi qulubihim maradh, hatinya sudah sakit, akan menjadi kronis dan akan menjadi semakin sakit.
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
22
Di sini endingnya, ulaa`ikalladzinasytarawudh-‐dhalalata bil huda, sesungguhnya mereka itulah orang-‐orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Ingat, membeli, bukan menukar. Kalau menukar itu kan gratis. Eh tolong dong mushafnya tukar sama saya, eh mobilnya dong tukar, itu kan kita nggak keluar lagi. Ditukar begitu saja, meskipun sebenarnya itu juga rugi. Barang A yang bagus ditukar dengan barang B yang tidak bagus, yang rugi yang mana? Yang nukar yang tidak bagus. Ini perumpamaan, dikatakan isti’arah lagi. Petunjuk itu nggak bisa dijualbelikan, tetapi di sini, isytarawudh-‐dhalalata bil huda, membeli barang yang buruk dengan harga yang baik. Rugi nggak, kira-‐kira? Ketipu nggak, kira-‐kira? Ketipu. Ini barang harusnya harganya cuma seratus, itu dhalal, dhalal nggak ada harganya, dibeli dengan harga seribu. Nyesel nggak itu? Nyesel. Itulah yang terjadi pada mereka. Mereka mengatakan untung mereka melakukan seperti itu, fa ma rabihat tijaratuhum, tidak pernah beruntung mereka seperti itu. Jadi orang-‐orang itu melakukan kemunafikan tujuannya mendapatkan, saya kalau di sini aman. Orang-‐orang itu bermentalnya naf’i. Naf’i itu mental hipokrit yang dia mencari aman. Biasanya untuk kepentingan yang bersifat duniawi. Jabatan kah, hartanya kah. Sifat-‐sifat ini akan mendidik mental individualistik dan egoistik. Kenapa? Karena kalau ‘yang penting mah saya aman’, hati-‐hati itu perkataan yang demikian. Nanti seperti ini, kita kira kita aman, fa ma rabihat tijaratuhum, wa ma kanu muhtadin. Kembali kepada pertemuan yang lalu, ‘ala hudan min rabbihim wa ula`ika humul muflihun. Jadi muhtadin itu orang kalau sudah sampai rumah biasanya, meskipun usaha itu muter-‐muter tapi kalau sudah dibukakan pintu, benarkah ini rumah pak Fulan? Iya! Apa yang dirasakan? Bahagia sekali. Dia masuk meskipun belum disuguhi apa-‐apa sudah tenang. Apalagi disuguhi apa-‐apa, disilakan mandi, disilakan bersih-‐bersih, disilakan istirahat. Ula`ika humul muflihun, orang yang seperti itu adalah orang-‐orang yang berbahagia. Ini tadabbur kita pada kesempatan kali ini, temanya meskipun agak seram, berbeda dengan pekan lalu yang lebih enak untuk kita jadikan obat dan tambatan hati kita, tetapi dengan tahunya ini (ini belum selesai, karena Allah membicarakan orang beriman di dalam tiga atau empat ayat, orang-‐orang kafir yang sudah divonis di front yang paling kiri, itu dua ayat saja, orang-‐orang munafiq dibicarakan Allah belasan ayat jumlahnya). Ini kita baru sebagian membicarakan orang-‐orang munafiq dari ayat 8 sampai 16, delapan ayat, nanti masih ada sisanya, insya Allah kita sambung pada pertemuan yang akan datang.