halaqah tadabbur al quran 22 (al baqarah 142 - 145)

11
225 Halaqah Tadabbur Qur`an 22 (QS Al-Baqarah 142-145) Dr. Saiful Bahri, MA # ﻟﺤﻤﺪﻟﺬ # ﻟﺤﻤﺪ ﺑﺎﻟﻟﺨﻠﻖ ﺳﺎء ﻋﻠﻰ ﻓﻀﻠﻨﺎ ﻟﻨﻌﻢ ﺑﺎﻧﻮءﻧﻌﻤﻨﺎ ﻟﺒ ﻟﻌﻠﻢ ﺜﻌﻠ. ﻟﻠ ﺑﺎ ﺳﻠﻢ ﻠﻰ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪﺪﻧﺎﻻﻧﺎ ﺳﻠﻢ ﻋﻠ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺟﻤﻌ ﻣﺎ ﺑﻌﺪBapak-bapak dan Ibu-ibu kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah. Pada pagi yang berbahagia ini judulnya adalah hari yang lain yang Allah berikan kepada kita, berarti Allah memberikan peluang lain lagi agar kita menjaga peluang untuk semangat berbuat kebaikan, menebar kebaikan, meminimalisir hal-hal yang menjauhkan kita dari orbit keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Mudah-mudahan apa yang sudah kita lakukan, kita awali dengan shalat subuh berjamaah dan membuka ruang kebaikan kita dengan tadabbur, Allah jaga sampai akhir hari ini dan sampai akhir hayat kita. Allahumma amin. Kita akan melanjutkan rangkaian tema besar surah Al Baqarah. Kalau boleh al faqir memberikan tema besarnya ini adalah kedengkian, kemaksiatan yang dilakukan oleh bani Israil. Kata bani Israil itu berarti meliputi yahudi dan nasrani. Kenapa bani Israil kemudian kalau disebut, kita langsung ke yahudi? Karena pertama, dominasi mereka. Kedua, kejahatan yang dilakukan, kontinuitasnya dan sisi-sisi negatifnya, itu lebih mendominasi dibanding nasrani. Padahal kalau disebut kata-kata bani Israil itu dua-duanya. Pada beberapa ayat yang kita tadabburi saat ini, itu ayat yang menandakan mukjizat Allah. Allah mulai dengan sebuah prediksi: Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". Sa itu artinya akan. Di dalam bahasa Arab ada dua kata yang belum terjadi: sa dan saufa. Saufa itu biasanya untuk jangka panjang. Ketika ada pertikaian, seorang kemudian diklaim bersalah, yang satu lagi benar, itu biasanya sering dikatakan saufa, karena tidak pasti, tidak diketahui. Tapi ketika dikatakan sa, itu diketahui, dan yang mengetahui itu yang pengetahuannya sangat detil. Maka itu pasti terjadi. Dalam sebuah prediksi kalau ada pertandingan sepakbola, meskipun itu jaraknya dekat, tapi unpredictable, tidak bisa diketahui. Maka hal-hal yang tidak bisa diketahui itu lebih condong dikatakan saufa. Tapi kalau yang sudah pasti bisa diketahui, dan satu-satunya yang bisa memastikan

Upload: halaqahtafsir

Post on 30-Jul-2016

297 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Transcribbed by Adhe Purwanto

TRANSCRIPT

Page 1: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  225  

Halaqah Tadabbur Qur`an 22 (QS Al-Baqarah 142-145) Dr. Saiful Bahri, MA

لى وو سلم وو باررككااللهھم ص . ثعليیم االعلم وواالبيیانن اانعمنا بانوء االنعم وو فضلنا على ساءرر االخلق بالاالحمد # االذيي لحمد # ٬، اا بعد ااما ااجمعيین بهھاصحااوو االهھ وو علىصل هللا عليیهھ وو سلم سيید ااالناممسيیدنا محمد على

Bapak-bapak dan Ibu-ibu kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah. Pada pagi yang berbahagia ini judulnya adalah hari yang lain yang Allah berikan kepada kita, berarti Allah memberikan peluang lain lagi agar kita menjaga peluang untuk semangat berbuat kebaikan, menebar kebaikan, meminimalisir hal-hal yang menjauhkan kita dari orbit keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Mudah-mudahan apa yang sudah kita lakukan, kita awali dengan shalat subuh berjamaah dan membuka ruang kebaikan kita dengan tadabbur, Allah jaga sampai akhir hari ini dan sampai akhir hayat kita. Allahumma amin. Kita akan melanjutkan rangkaian tema besar surah Al Baqarah. Kalau boleh al faqir memberikan tema besarnya ini adalah kedengkian, kemaksiatan yang dilakukan oleh bani Israil. Kata bani Israil itu berarti meliputi yahudi dan nasrani. Kenapa bani Israil kemudian kalau disebut, kita langsung ke yahudi? Karena pertama, dominasi mereka. Kedua, kejahatan yang dilakukan, kontinuitasnya dan sisi-sisi negatifnya, itu lebih mendominasi dibanding nasrani. Padahal kalau disebut kata-kata bani Israil itu dua-duanya. Pada beberapa ayat yang kita tadabburi saat ini, itu ayat yang menandakan mukjizat Allah. Allah mulai dengan sebuah prediksi:

Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". Sa itu artinya akan. Di dalam bahasa Arab ada dua kata yang belum terjadi: sa dan saufa. Saufa itu biasanya untuk jangka panjang. Ketika ada pertikaian, seorang kemudian diklaim bersalah, yang satu lagi benar, itu biasanya sering dikatakan saufa, karena tidak pasti, tidak diketahui. Tapi ketika dikatakan sa, itu diketahui, dan yang mengetahui itu yang pengetahuannya sangat detil. Maka itu pasti terjadi. Dalam sebuah prediksi kalau ada pertandingan sepakbola, meskipun itu jaraknya dekat, tapi unpredictable, tidak bisa diketahui. Maka hal-hal yang tidak bisa diketahui itu lebih condong dikatakan saufa. Tapi kalau yang sudah pasti bisa diketahui, dan satu-satunya yang bisa memastikan

Page 2: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  226  

itu sebenarnya Allah, maka dalam bahasa manusia kata sa itu digunakan untuk prediksi yang mendekati kenyataan. “Oke dua hari lagi insya Allah saya akan ke rumah Anda.” Itu pakai sa. Biasanya untuk jarak dekat. Jadi sa itu untuk pengetahuan yang akan datang. Sayaqulu, maka akan mengatakan. Berarti belum terjadi. Siapa yang akan berkata? As sufaha. Sufaha itu adalah jamak dari safih. Safih itu orang bodoh yang memiliki perangkat untuk meninggalkan kebodohan. Jadi kata-kata yang senada itu, yang konotasinya negatif, ada jahil, dan di situ nanti ada jahiliyah, yang dia sebenarnya bisa jadi tahu tapi pura-pura tidak tahu. Kalau murni orang itu tidak tahu, dan ketidaktahuannya itu menyebabkan hal-hal yang tidak baik, itu lebih disebut sebagai dha’if, orang yang lemah. Dan lemah itu banyak, baik fisik ataupun non fisik. “Orang ini lemah pengetahuannya,” itu lebih sopan dibilang dibanding “Orang ini bodoh, jahil, sufaha.” Kenapa Allah mengatakan sufaha? Karena sebenarnya pada hakikatnya informasi itu sampai ke mereka. Orang yang disampaikan informasi kemudian dia melakukan sebaliknya, itu disebut dengan sufaha. Jahil juga demikian, tapi di sini ibarat sufaha itu, nanti Allah ingin menekankan sisi-sisi mereka itu tahu sebenar-benarnya. Nanti kita akan bisa melihatnya. Apa yang mereka katakan? Dan ini dikatakan minan nas, berarti tidak semuanya, tidak ada generalisir. Sayaqulus sufaha`u minan nas, orang-orang yang bodoh di antara manusia. Di sini para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan mereka ini kafir Quraisy, tapi pendapat ini lemah. Ada yang mengatakan, karena ini terjadi di Madinah, as sufaha itu orang-orang Madinah. Siapa mereka? Nah ini kan temanya masih bani Israil. Mereka adalah orang-orang yahudi. Ada yang mengatakan mereka adalah orang-orang munafiq yang nantinya akan protes. Orang-orang yang tidak siap dengan perubahan, itu juga termasuk orang sufaha. Sebenarnya sudah rutinitas Rasul shalatnya menghadap Masjidil Aqsha, Baitul Maqdis, atau tepatnya Shakhrah. Jadi di Masjidil Aqsha ada sebuah batu. Batu itu menjadi kiblat para nabi sebelum Nabi Muhammad, atau kiblat nabi-nabi bani Israil. Tapi begitu Nabi Muhammad shalat, setelah enam belas bulan di Madinah, diubah, kiblatnya bukan ke situ lagi, tapi ke Ka’bah, Baitulllah al Haram. Mereka akan bertanya ma wallahum ‘an qiblatihim allati kanu ‘alaiha. Ngapain sih, apa sebabnya yang mengakibatkan mereka orang-orang beriman itu, atau semua orang yang disebut di sini, berpaling dari kiblat yang sudah ada? Jadi memang tabiat manusia itu tidak bisa menerima perubahan, entah perubahan baik atau buruk. Begitu dia berada di zona aman, dia ingin seperti itu terus. Status quo itu sebenarnya melenakan manusia. Ketika ada perubahan cenderung akan ditolak. Maka di sini Allah menjawabnya. Qul, katakan Muhammad. Kita masih dalam rangkaian yang kita pelajari pekan lalu yaitu uslub talqin. Talqin ada dua: Ditalqinkan kepada pimpinan yaitu Nabi Muhammad, dan ditalqin langsung oleh Allah kepada semua person to person, orang per orang, kepada umat Islam.

Page 3: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  227  

Maka di sini Allah juga mentalqin kembali. Qul, katakan Muhammad kepada mereka. Lillahi, Allah yang memiliki, al masyriq dan al maghrib. Allah itu yang memiliki tempat terbitnya matahari dan tempat terbenamnya matahari. Kalau kita tanya di mana terbitnya matahari? Jawabannya pasti selalu timur. Kalau ditanya di negara mana, itu hampir semua negara. Hampir semua tempat di bumi ini disebut dengan masyriq. Makanya nanti di dalam Al Qur`an ada al masyariq, ada al magharib. Nanti di dalam Al Qur`an juga ada rabbul masyriqaini wa rabbul maghribain. Karena tempat terbit dan tempat tenggelam matahari itu ternyata setelah diselidiki para ilmuwan, itu tidak tepat di timur. Timur agak ke utara di bulan tertentu, nanti bergeser timur agak selatan di bulan tertentu. Jadi ada dua. Tafsirannya sangat banyak, yang jelas tidak ada tempat di bumi ini yang tidak disambangi oleh matahari. Dan tempo hari kita sudah memberikan visualisasi, demikian juga hidayah. Allah menyampaikan hidayah itu bukan karena kita tidak tahu, tapi posisi kita. Maka qul, katakan Muhammad, tempat di bumi ini sama, tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Padahal ini pembicaraannya tentang kiblat. Kenapa? Karena nanti pada hakikatnya, kita shalat menghadap ke mana itu bukan sesuatu yang esensi. Lalu kenapa ada kiblat? Ini kita bahas. Makanya Allah dalam sebuah syariat, memerintahkan sesuatu itu gampang. Shalat, puasa, zakat, bagi harta, itu gampang. Tetapi yang lebih penting itu biasanya ada nilai aqidahnya, sisi ideologisnya. Yas`alunaka ‘anil anfal, bertanya tentang pembagian harta rampasan perang, gampang. Kamu dapat seperlima, kamu dapat sekian, gampang. Makanya dibahas empat puluh ayat tentang apa di balik harta itu. Itu yang lebih penting, diselamatkan dari fitnah harta. Kemudian ketika haji juga demikian, di dalam surah Al Hajj, ayat pertamanya bukan membahas haji. Ada esensi-esensi lainnya. Baru dibahas tentang haji setelah ayat 26-27. Di sini juga begitu. Pemalingan kiblat itu gampang, maka harus disampaikan esensi pemalingan kiblat itu apa, yaitu arah tadi. Timur, barat, tenggelam matahari, terbit matahari, itu tidak ada artinya kecuali Allah yang memerintahkan, makanya bahasanya qul lillah. Kemudian dilanjutkan yahdi man yasya`u ila shiratin mustaqim, Dia yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. Petunjuk itu, kalau boleh al faqir berikan visualisasi, seperti sinar matahari. Dia adil menyambangi semua orang. Tapi pada saat sinar itu sampai, ada yang berpaling, ada yang menunggu sinar tersebut. Di ayat berikutnya Allah mengatakan:

Page 4: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  228  

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. Wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasatha, dan Kami menjadikan kalian, kum di sini adalah orang-orang yang beriman, bukan semua manusia. Ummatan wasatha, sebagai ummat yang moderat. Wasath di sini artinya banyak. Moderat itu artinya adil, moderat itu artinya pilihan, tapi pilihan itu kalau diterjemahkan itu duluan, berarti kita seperti orang yahudi juga. Kita ini bangsa pilihan, berarti rasis. Tapi tidak. Maksudnya wasatha itu memang kita betul dipilih Allah. Dengan syarat apa? Banyak syaratnya, tapi yang di sini adalah li takunu syuhada`a ‘alan nas. Kita itu nanti akan jadi saksi. Di sini al faqir akan melihat dari sisi bahasa dulu. Wa kadzalika ja’alnakum itu bentuknya past tense, sudah terjadi. Li takunu bentuknya adalah present atau lebih kepada future, yang akan datang. Berarti wa kadzalika ja’alnakum, Allah benar-benar sudah menjadikan kalian umat yang moderat. Kenapa moderat? Umat yang menggeser dari titik ekstrem. Para budak menjadi mulia melebihi raja ketika masuk Islam. Makanya para budak senang sekali, orang-orang yang lemah senang sekali atas datangnya Islam. Orang-orang yang kaya juga terbantu dengan adanya Islam, kenapa? Mereka tidak usah cari-cari, hartanya mau dikasih ke siapa. Sudah ada amil. Saya tidak perlu kebingungan ketika ada pertemuan yang disebut dalam shalat jamaah. Di dalam shalat jamaah itu bukan mengumpulkan orang saja. Di situ seharusnya kita saling bertanya, ketika ada orang yang terbiasa shalat kemudian tidak ada, jangan-jangan dia sakit. Itu disebut wasath, ada sisi-sisi yang membuat orang itu berbuat adil. Kemudian setelah berbuat adil, dia akan menonjol.

Page 5: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  229  

Ummah itu ada kalanya satu, ada kalanya banyak. Inna ibrahima kana ummah. Nabi Ibrahim itu disetarakan dengan umat karena kualitasnya. Maka di sini ja’alnakum ummah itu satu dan banyak sama. Berarti kualitas kum itu standar, apalagi disebut wasatha. Wasath ini kalau disebut dalam bahasa Arab, kan ada disebut wasath dan ada ausath. Wasath itu bisa untuk plural dan bisa untuk single, bisa untuk laki-laki dan bisa untuk perempuan. Maka wa kadzalika ja’alnakum itu tidak mungkin terjadi tanpa adanya keshalihan individu. Jadi dimulainya dari moderasi individu. Jadi orang itu moderat dari personal. Orang ini tidak terlalu ekstrem dalam beribadah, tidak juga malas. Itu disebut wasath. Berbuat adil itu, hak-hak orang lain dipenuhi tapi dia juga melihat dirinya. Orang-orang ahli kitab itu menyuruh orang lain tapi dirinya tidak melakukan, itu tidak wasath. Dilanjutkan, jaminannya apa orang yang bisa demikian? Dia akan menjadi saksi. ‘Alan nas. Nas di sini dengan nas di atas itu sama. Jadi di sini, nas itu yang sufaha tadi. Akan menjadi saksi bagi orang-orang yang bodoh. Pakar tafsir ada yang mengatakan ini saksi yang memberatkan. Saksi kan ada dua: saksi meringankan dan saksi memberatkan. Kita akan menjadi saksi memberatkan. Menjadi orang moderat kok memberatkan? Sebentar. Ini konteksnya adalah konteks bani Israil tadi yang tidak bisa menerima kebaikan. Nanti kita akan lebih jelas lagi beberapa kata setelah ini. Wa yakunur rasulu ‘alaikum syahida, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjadi saksi di atas persaksian kita. Contoh misalkan, “saya bersaksi bahwa si A melakukan kesalahan, kesalahannya dilakukan dengan sengaja, dia sudah diperingatkan.” Itu kita. Nabi Muhammad menjadi saksi bagi kita, “yang dikatakan oleh umatku betul Ya Rabb.” Kalau dipikir-pikir, persaksian di atas persaksian kuat atau tidak? Sangat kuat sekali. Berarti ini persaksian atas kesesatan. Padahal judulnya adalah huda, petunjuk. Sebenarnya tersesat itu tidak perlu ada persaksian kalau tersesatnya tidak sengaja. Tapi misalkan saja ada sebuah rapat penting sekali. Rapat itu terbatas, undangan sepuluh orang. Kemudian ada dua orang tidak datang. Lalu ditanya, Siapa yang bersaksi undangan sudah sampai? Saya bersaksi sudah sampai. Bukan hanya sampai, kamu sudah telepon? Saya sudah telepon. Jadi dia tahu hari ini ada rapat? Tahu ada rapat. Dia tahu tempat ini? Dia sudah tahu tempatnya, kalau tidak tahu saya sudah jelaskan tempatnya. Lalu kenapa dia tidak datang? Itu yang jadi masalah. Ketika saya bersaksi bahwa si A undangan rapatnya sudah sampai, tahu tempatnya, tahu agendanya, maka pimpinan yang mengundang rapat itu akan mengatakan, “persaksian anak buah saya ini benar Ya Rabb.” Ini wa lillahil matsalul a’la. Saya memberikan permisalan saja. Kenapa kita disebut wasath? Karena persaksian yang keluar dari orang yang adil itu tidak akan ditolak. Apa yang mereka tanyakan? Kalau yang pertama, apa yang membuat mereka berpaling. Di sini Allah langsung mengambil closingnya. Wa ma ja’alnal qiblata allati kunta ‘alaiha, Kami tidak menjadikan arah kiblat, disebut qiblah karena arahnya di depan. Allati kunta ‘alaiha, yang kamu ada nanti itu, yang pertama di atas tadi itu Baitul Maqdis, yang kedua ada yang menafsirkan sesudah pindah. Illa li na’lama man yattabi’ur rasul. Tetapi yang rajih itu adalah kiblat yang baru. Kalau yang di atas, kiblat yang lama. Yang kedua, kiblat yang baru yaitu Ka’bah. Pemindahan kiblat itu berat. Makanya untuk apa? Untuk mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berpaling. Wa innaha lakabiratun, sesungguhnya perpindahan kiblat itu lakabiratun, ini tafsirannya banyak ternyata. Lakabiratun itu artinya sangat-sangat berat. Illa ‘alal ladzina hadallah.

Page 6: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  230  

Kalau dipikir-pikir sebenarnya sederhana. Apa sih susahnya kita biasa menghadap katakanlah ke utara, tiba-tiba dipindah disuruh menghadap ke selatan. Apa sih bedanya? Jangan dikira itu sesuatuyang mudah. Karena ke utara itu artinya Nabi Muhammad mengakui, ada pengakuan terhadap bani Israil. Karena itu kiblat nenek moyang mereka. Begitu dipindah, itu artinya ada sesuatu. Dan itu simbol kecemburuan mereka. Makanya dikatakan lakabiratun, berat. Kalau berat, sebenarnya kan mereka juga tidak beriman? Kenapa? Nah ini berarti ada orang munafiq di sini. Al faqir tidak ingin cenderung mengupas ini karena waktu yang sangat terbatas. Lakabiratun itu berat. Jadi imam Al Lusi sendiri ada beberapa poin, nanti kita akan lebih menekankan prosesnya saja. Tapi intinya, perpindahan itu berat. Tidak usah begitu, Bapak-bapak dan Ibu-ibu sudah nyaman tinggal di rumah ini, sudah membuat ritme, tiba-tiba “Ayo kita pindah!” Bagaimana? Berat tidak? Meskipun itu pindahnya ke rumah yang lebih bagus. Kenapa? Karena ada penyesuaian. Alasannya kan penyesuaian. Pindah itu walau bagaimanapun juga tetap sulit. Anak SD sudah lulus, dia pindah SMP, pasti akan sulit. Kalau yang tanpa nilai ideologis saja sulit, apalagi ini sudah ideologis, mengakar. Orang sudah berkiblat kepada Amerika, kiblat ekonominya, kiblat ideologisnya, kiblat peradaban, kemudian tiba-tiba disuruh pindah ke Makkah, bisa tidak? “Saya biasa memakai baju terbuka, sekarang disuruh menutup aurat.” Itu pindah kiblat juga. “Saya terbiasa makan junk food, fast food, sekarang disuruh makan makanan yang alami, tanpa daging, disuruh meninggalkan nasi.” Perpindahan kiblat itu berat, apalagi yang disertai nilai ideologis.

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. Qad nara taqalluba wajhika fis sama`. Di dalam Al Qur`an, kata-kata nun, artinya kami, tidak bisa dipersepsikan dengan kami dalam bahasa Indonesia. Di dalam Al Qur`an kata kami itu banyak. Inna khalaqnakum, Kami menciptakan kalian. Razaqnakum. Inna arsalna, Kami mengutus para nabi.

Page 7: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  231  

Semua yang ada na itu, disamping menunjukkan keagungan Allah, itu menunjukkan adanya proses keterlibatan orang lain. Razaqnakum, Kami memberi rezeki, itu Allah tidak mungkin langsung memberi uang ke kita. Makanya disebut na, ada proses. Nanti ada yang menggaji kita, ada orang yang memberi uang ke kita melalui jual beli. Itu na. Karena ada manusia yang terlibat. Khalaqnakum, yang diciptakan secara langsung hanya nabi Adam, sisanya tidak langsung. Makanya na, ada keterlibatan bapak dan ibu kita. Tapi kalau untuk ibadah itu tidak ada na, pasti semuanya ni. Coba Bapak-bapak Ibu-ibu cari, wa’budni, itu selalu. Tidak ada wa’budna. Wa’budullah, karena beribadah itu hanya satu, tidak boleh ada keterlibatan yang lain. Iyyaka na’bud. Sudah dikunci, iyyaka. Satu. Di sini qad nara, ada keterlibatan yang lain selain Allah, makhluq-Nya dan sebagainya. Tapi di sini nun al ‘azhamah itu artinya Kami yang berkuasa, Kami sudah memperhatikan. Bahasanya juga bukan bahasa past tense. Nara itu sekali-kali kalau dalam bahasa Arabnya. Kadang-kadang. Bukan berarti Allah tidak melihat. Karena yang dilakukan Nabi Muhammad tidak selamanya demikian. Taqalluba wajhika fis sama`. Ada yang menerjemahkan taqalluba itu harapan. Tetapi ada para ulama yang mengatakan ‘aib’ bagi Nabi Muhammad untuk minta perpindahan kiblat, karena itu sangat ideologis. Wahyu itu tidak pernah diminta oleh Nabi Muhammad, tidak tamak dia. Tapi ada beberapa hal yang mengatakan, kita boleh mengambil pendapat bahwa meminta sesuatu yang berhubungan dengan wahyu itu boleh bagi para nabi. Nabi Muhammad ketika selama enam belas bulan kiblatnya ke arah Baitul Maqdis, wajar dan manusiawi kalau dia melihat ke atas. Allah tahu hatinya. Ternyata Nabi Muhammad menginginkan, atau berkhayal, kiblat itu pindah ke kampung halamannya. Pindah ke Ka’bah yang dibangun oleh nenek moyangnya, nabi Ismail dan nabi Ibrahim. Dan itu wajar, diperbolehkan. Ada yang mengatakan sampai berdoa, juga boleh, tidak ada masalah. Tapi taqallub di sini tidak berarti doa. Makanya yang mengatakan berdoa itu sebagian ulama. Kalau jumhur mengatakan perubahan itu hanya perasaan Nabi Muhammad. Makanya langsung, fa lanuwalliyannaka qiblatan tardhaha, maka Kami palingkan arah kiblat sesuai yang engkau inginkan. Makanya bahasa yang dipakai di sini tardhaha. Ridha. Ridha itu lebih dari sekadar disukai. Ridha itu kepuasan, meskipun itu juga susah. Terjemahan kata ridha itu perlu pelajaran yang baru. Jadi tardhaha di sini, supaya kamu puas. Tapi bukan berarti Allah memuaskan Nabi Muhammad. Di sana ada hikmahnya, yang nanti akan diketahui. Inti dari yang kita pelajari hari ini adalah kata-kata ini: Fa walli wajhaka syathral masjidil haram. Kata-katanya luar biasa. Fa walli, palingkan. Wajhaka, wajahmu. Wajah itu pilihan, tempat paling mulia. Maka dia representasi manusia. Yang menarik kata-kata syathral masjidil haram, ke arah Masjidil Haram. Makanya tidak bisa orang mengklaim, tempo hari kami di Majelis Ulama pernah berdiskusi, “Kiblat kita salah, menghadapnya ke barat.” Kalau ditarik garis lurus dari Indonesia ke barat, itu bisa ke afrika tengah. Berarti sesat shalat saya? Sebentar dulu. Ini kan namanya ijtihad. Untuk mengubah arah kiblat seluruh orang Indonesia juga susah. Makanya disebut syathral masjidil haram, arah, jadi kira-kira juga.

Page 8: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  232  

Bahkan dalam shalat musafir, dia sebisa mungkin menghadap kiblat. Kalau naik bus kan susah untuk menghadap kiblat. Makanya ada rukhshah orang dalam musafir, dia menghadap ke depan saja itu disebut dengan syathrah. Kita tidak membahas masalah fiqihnya. Ini masalah tidak kaku, kenapa? Kembali ke tadi, qul lillahil masyriqi wal maghrib. Tapi, kalau ada orang shalat kiblatnya salah, kita yang tidak shalat tahu, kita harus memalingkan. Putar. Dan yang diputar juga harus tahu, ini bukan mainan, bukan bercanda. Ketika kita bepergian ke daerah minoritas muslim, kemungkinan terjadi seperti ini ada. Apalagi nanti masuk hotel, ternyata tidak ada petunjuk arah kiblat. Apa yang kita lakukan? Cari matahari, sudah tenggelam. Tapi sekarang sudah dipermudah. Tinggal download aplikasi arah kiblat. Itu tingkat validitasnya cukup tinggi. Jadi sekarang eranya digital semua. Hampir rata-rata kita memiliki handphone, apalagi smartphone, itu ada aplikasi arah kiblat. Bukan hanya arah kiblat, waktu shalat di seluruh dunia sudah bisa diakses. Jadi kita sebenarnya sekarang beribadah sangat lebih mudah dibanding orang dulu. Orang dulu patokannya bintang. Waktu mendung bagaimana? Makanya kata-kata syathral masjidil haram itu luar biasa. Allah tidak kaku. Makanya jangan pernah kita terlalu asyik mendebat “kiblat Anda salah. Berarti shalat salah tidak diterma.” Dari mana Anda tahu? Kita main fleksibel saja. Bagaimana wacana pemindahan kiblat masjid yang sudah berbiaya milyaran? Kita keluar dari polemik itu. Karena dengan ayat syathral masjidil haram di sini, nanti diulang di pekan depan, kalau ada waktu kita bahas lagi. Maka kata Allah fa wallu. Diulang lagi. Wa haitsu ma kuntum, di manapun Anda berada, fa wallu wujuhakum, maka palingkan mukamu, hadapkan wajah kalian, syathrahu. Diulang lagi. Syathrah itu arah, mengarah. Seperti ini Bapak-bapak, ketika saya membawa mobil, saya tahu arahnya, itu membantu saya tidak tersesat. Tapi kalau misalkan saya tidak tahu arahnya, yang penting ikuti jalan, bisa jadi menjauh. Kenapa? Karena tidak tahu syathrah-nya itu. Maka kita perlu tahu juga yang namanya syathrah itu di mana, supaya ada kira-kira. Maka mengetahui syathrah itu bagian dari kewajiban kita. Semampunya. Begini misalkan, saya mau shalat tapi arah kiblatnya tidak diketahui sama sekali, saya tidak punya perangkat aplikasi, tidak punya handphone, ataupun ada handphone tapi sinyalnya tidak ada, tidak ada orang yang bisa ditanya, bagaimana coba? Ya sudah, shalat berdasarkan Anda yakin kemana menghadap kiblat. Itu maksudnya wa wallu wujuhakum syathrah. Tema ini dikembalikan lagi.Wa innalladzina utul kitab, orang-orang yang diberikan kitab itu, laya’lamuna, sungguh mereka tahu, annahul haqqu min rabbihim, perubahan itu bukan mainan, itu sungguh dari Allah. Jadi mereka menganggap ini permainan saja, itu ‘konferensi pers’ mereka. Hakikatnya mereka tahu yang menyuruh pindah itu Allah. Mereka hanya dengki saja. Wa ma Allahu bighafilin ‘amma ya’malun.

Page 9: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  233  

Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim. Seandainya Anda, Muhammad. Kenapa Nabi Muhammad? Karena tadi uslub talqin. Anda mendatangkan kepada mereka, para ahli kitab, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, bi kulli ayatin, semua bukti-bukti yang mengatakan bahwa kiblat ini betul suruhan Allah, ma tabi’u qiblatak, mereka tidak akan pernah menghadap kiblat Anda. Dan sudah ada test case-nya. Enam belas bulan kiblat ke Baitul Maqdis, berapa orang yahudi masuk Islam? Kalaupun ada satu-dua saja. Enam belas bulan itu tes dari Allah. Mendekatkan ikatan ideologis. Setidaknya bani Israil harusnya senang, “Katanya nabi pilihan, dia menghadap ke kiblat kami juga.” Kesamaan itu harusnya membawa mereka mengkaji dan menerima kebenaran. Ternyata tidak. Wa ma anta, dan Anda Muhammad, bi tabi’in qiblatahum, tidak mungkin juga kembali kepada kiblat mereka supaya mereka senang. Tidak ada itu cerita. Ditambah lagi, wa ma ba’duhum bi tabi’in qiblata ba’d. Ini sebagian mufassirin ada yang menafsirkan yahudi dan nasrani. Orang yahudi tidak pernah akan mengakui orang nasrani, orang nasrani juga demikian. Kiblat mereka masing- masing berbeda. Allah di sini mengclosing begini, wa la`in ittaba’ta ahwa`ahum, jika Anda Muhammad mengikuti keinginan mereka yang disebut dengan ahwa, hawa nafsu mereka, min ba’di ma ja`aka minal ‘ilm, setelah Anda tahu. Makanya ini disebut dengan ‘ilm. ‘Ilm di sini adalah klimaks tertinggi yaitu wahyu. Jadi ilmu dan hikmah paling tinggi itu wahyu, karena tingkat kebenarannya itu 100% dari Allah. Dan kenapa Allah perlu malaikat Jibril, bukannya Allah perlu bantuan. Allah ingin menguji valisditas dan amanah Rasul-Nya. Apa kira-kira hikmahnya Allah menurunkan melalui malaikat Jibril? Pernahkah kita bertanya, kenapa Allah perlu mengutus malaikat Jibril untuk menurunkan Al Qur`an. Kan bisa saja Allah berbicara langsung, toh disebut dengan kalamullah. Apa kira-kira hikmahnya Allah menurunkan malaikat Jibril? Di situ untuk menguji validitas dan amanah Rasul-Nya. Jibril itu utusan Allah. Dicek, dikurangi atau tidak oleh Jibril? Ternyata tidak. Maka ketika sampai ke Nabi Muhammad itu original, Nabi Muhammad ke kita juga original, karena itu sudah dibuktikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bukti penjagaan. Makanya dalam penurunan wahyu itu bahasanya inna

Page 10: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  234  

arsalna, inna anzalna. Kita sudah bahas, na itu berarti ada keterlibatan pihak lain. Bukan berarti Allah membutuhkan. Allah ingin menunjukkan penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau Anda sudah sampai informasi kiblatnya, maka Anda termasuk orang-orang yang zhalim. Zhalim itu mengerikan di dalam Al Qur`an. Dimensinya banyak. Tapi yang jelas zhalim itu adalah salah satu bentuk kesesatan. Lain waktu kita bahas kezhaliman. Al faqir ingin menjelaskan secara teknis begini. Pada saat perintah tahwilul qiblah, ada dua pendapat: Ini terjadi di shalat ashar, dan di riwayat lain ada yang menyebutkan subuh. Tapi yang sering dipakai itu yang ashar. Dalam riwayat lain disebutkan, di rakaat kedua. Jadi di tengah rakaat kedua, Jibril datang, membisiki Nabi Muhammad. “Muhammad, kamu disuruh pindah kiblat.” Itu di tengah shalat. Harusnya, secara masuk akal, itu berlakunya kapan? Shalat setelahnya. Tetapi tidak. Nabi Muhammad diperintah saat ini juga. Dan Nabi Muhammad tidak pernah konfirmasi. Karena mafhum, semua perintah kepada nabi dan kepada umat Islam itu dikerjakan segera. Makanya Nabi Muhammad langsung. Dan itu yang dibahas para pakar hukum atau pakar fiqih, cara teknisnya. Sampai sekarang terjadi perdebatan. Kenapa? Karena kiblatnya berubah dari utara menuju selatan. Itu artinya imam yang ada di utara, dia harus pindah ke paling selatan. Orang perempuan yang ada paling belakang akan berubah menjadi paling depan, dan dia harus mengubah menjadi paling belakang lagi. Bagaimana itu? Dan shalatnya tidak dibatalkan. Itu terjadi di tengah-tengah shalat. Filosofinya apa? Harusnya kan Jibril paham, ini sedang setengah shalat, nanti saja mengubah kiblatnya. Tapi itu tidak terjadi. Sama dengan Nabi Ibrahim ketika disuruh khitan, beliau dikhitan pakai batu. Nabi Ibrahim ketika ditanya kenapa khitan pakai batu, padahal Anda bisa menunggu beberapa waktu mencari alat yang lebih bagus. Nabi Ibrahim jawabannya apa? Saya khawatir kalau saya tunda maka cinta Allah akan berkurang atau tertunda turun kepada saya. Pada saat turunnya ayat hijab yang menutup aurat bagi umat muslimat di zaman Nabi, itu pada pengajian subuh, toko-toko belum buka. Tapi yang dilakukan kaum muslimat, itu taplak-taplak meja, gorden-gorden yang kecil langsung dipakai menutup kepala dan aurat mereka. Mereka tidak menunggu “maaf Ya Rabb, suami saya belum gajian.” Sudah gajian, “saya belum ke pasar beli kainnya.” Sudah ada kainnya, “saya belum ke tukang jahit. Boleh tidak, saya pakai hijabnya minggu depan.” Kan harusnya begitu, tapi tidak. Tahwilul qiblat, turunnya ayat hijab, khitannya Nabi Ibrahim itu, begitu kita mengetahui kebaikan, jangan ditunda. Kita ada wajib haji, ada peluang kita bisa, lakukan. Kita datang panggilan shalat, lakukan. Abu Hanifah menta’khirkan shalat supaya orang berkumpul dulu. Setelah kumpul baru iqamah. Karena menurut madzhab Abu Hanifah itu tidak ada jamaah masbuq. Kalau Imam Syafi’i ada. Tapi kalau madzhab Imam Abu Hanifah tidak ada. Dia dita`khirkan shalatnya supaya semua umat sebanyak-banyaknya, masjid sudah penuh, baru melakukan shalat. Setelah itu kalau ada orang terlambat, shalatnya sendiri-sendiri. Ini konklusi, inti dari perpindahan kiblat itu simbol. Kita jangan terjebak pada simbol. Esensinya apa? Qul lillahil masyriqi wal maghrib. Semua arah itu sama. Sama ketika kita begini, saya mau nikahkan anak saya, hari baiknya apa? Jangan terjebak begitu. Semua hari baik. Katanya hari Jum’at sayyidul ayyam? Betul. Tapi kita jangan menuhankan hari Jum’at. Sama saja hari Jum’at dengan hari-hari yang lainnya. Cuma Allah ada memuliakan satu hari. Nanti sepertiga malam. Itu jangan sampai kita lewatkan. Tapi kita jangan menyembah kemuliaan hari itu. Karena semua itu kepunyaan Allah. Maka lihat saja Umar, ketika mencium Hajar Aswad apa katanya? “Saya tahu Anda itu batu, tidak mendatangkan manfaat, tidak mendatangkan bahaya, saya tidak akan mencium Anda kalau saya tidak

Page 11: Halaqah Tadabbur Al Quran 22 (Al Baqarah 142 - 145)

  235  

lihat Rasulullah mencium.” Jadi bukan batunya keramat, tapi dia melihat Rasul melakukan itu. Maka kita ketika shalat menghadap kiblat, perenungan kita itu: masya Allah, persatuan umat, kita kiblatnya sama, masak iya hanya karena beda partai bertengkar, saya menyembah Tuhan dan yang diminta juga sama. Dan Allah juga tempatnya tidak di Ka’bah. Itu simbol saja. Salah orang yang mengira kita menyembah batu. Ini adalah simbol persatuan. Maka toleransi sesama umat Islam itu sangat memungkinkan. Dan closing terakhir, orang-orang yang akan dengki kepada kita jangan kita harapkan. Kita berusaha meyakinkan dia, tidak akan mungkin dia berubah kalau sudah sangat ideologis. Makanya kalau alasan ideologis kita sebaiknya sudahlah selesaikan saja. Kita lakukan yang bisa kita lakukan. Ini tidak hanya bagi non muslim. Sesama muslim ketika dia sudah diikat ideologis dia, saya shalat begini dalilnya ini, sementara yang satu shalat harus begini dalilnya ini, sudah. Kita saling toleran. Toh itu sama dalam koridor kebaikan. Yang tidak demikian saja, ini sudah divonis oleh Allah mereka tidak akan mengikuti kamu, kamu tidak akan mengikuti mereka, dan sebagian mereka di antara yang lainnya juga tidak akan saling mengikuti. Sekarang kenapa mereka memusuhi kamu Muhammad? Karena mereka punya kepentingan andai itu mengancam kezhaliman. Makanya dikatakan di closingnya, innaka idzan laminazh zhalimin. Berarti Anda sama dengan mereka. Kan Anda diutus untuk memerangi dan melawan kezhaliman. Kezhaliman itu apa? memonopoli. Zaman quraisy itu, orang yang menjaga berhala mendapat gaji. Dan berhala di zaman Quraisy juga ada ekspor dan impor. Jadi berhala Quraisy itu bukan buatan orang Quraisy semua. Itu ada yang impor dari Cina. Impor berhala dari Cina itu juga mendatangkan komoditi, dan ada orang-orang yang diuntungkan.Kalau itu diganggu, ada faktor ekonomi yang terganggu. Jadi ideologis itu selalu ditemani faktor lainnya. Faktor politisnya. Orang-orang yang dia mulia di zaman jahiliyahnya, ketika masuk Islam tetap akan menjadi tokoh. Itu karena kekhawatiran. Maka ketika ada datang orang di kampung kita, orang baru ini berpotensi. Jangan sampai kita yang lama, “Kan saya tokoh? Ini ada orang baru mengancam saya.” Itu salah perspektifnya. Padahal seharusnya ini potensi yang kita bisa bekerjasama, dengan kerjasama itu marilah kita singkirkan kezhaliman. Maka hindari dengki, hindari iri, hindari menganggap nikmat orang lain menjadi ancaman bagi kita. Ini yang bisa kita tadabburi, mudah-mudahan dengan momentum perpindahan kiblat yang terjadi di bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah ini kita bisa pelajarannya sangat banyak. Dan konsisten dalam beribadah kepada Allah.**