ggn penghidu & epistaksis
TRANSCRIPT
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
1/22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Gangguan Penghidu
Indera penghidu/pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat
hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena
seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio
olfaktorius dihidung bagian sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang
pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior.
1,2
Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena
penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang
telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati
maka refrat ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya.2
Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita
gangguan penghidu, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian
yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah
mengalami penurunan ketajaman pembauan.2
1.2. Epistaksis
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu penyakit,
melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan hampir
90% epistaksis dapat berhenti sendiri atau dengan tindakan sederhana yang dlakukan oleh pasien
sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
2/22
segera ditolong dapat berakibat fatal. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba yang membuat penderita
selalu ketakutan sehingga perlu memanggil dokter.2,3
BAB II
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
3/22
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gangguan Penghidu
2.1.1. Definisi
Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk
menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat bersifat total
(seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). 1
2.1.2. Anatomi dan fisiologi
Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate,
septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium
pseudostratified khusus yang di dalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus,
daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa
terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius. Dengan bertambahnya usia,
jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius, epitel ini juga
tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel
olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel.2
Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan
kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang
terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup
turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100
juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel
basal yang terletak di bawahnya.
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
4/22
Reseptor odorant termasuk bagian dari G-protein receptor superfamili yang berhubungan
dengan adenilat siklase. Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun
tiap neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta
pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan
akson yang kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria di dalam epitel.2
2.1.3. Pembagian Gangguan Penghidu
Gangguan penghidu dapat terbagi atas :2,3
Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah frontal
atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses degenerasi pada orang
tua.
Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau
Disosmia : distorsi identifikasi bau
Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau
tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma.
Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologik ata
kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis
Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang tua
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
5/22
2.1.4. Patogenesis
Pada gangguan penghidu yang perlu diperhatikan adalah kerja dari sistem olfaktori yang
merupakan ujung saraf, ditemukan pada membran mukosa atap hidung. Bagian ini disebut area
olfaktori yang berada di bawah lobus frontal otak.
Pada area olfaktori terdapat jutaan sel-sel olfaktori yang kecil. Masing-masing sel terdiri
dari 12 silia, mukus mempermudah gerak silia. Mukus juga menangkap molekul bau-bau, lalu
reseptor di silia menstimulasi molekul dan mengirim impuls saraf ke otak.
Serat-serat saraf olfaktorius membawa impuls kedua bulbus olfaktori di otak. Informasi
diproses di bulbi, kemudian dikirim ke korteks serebri. Setiap transmisi masuk ke pusat pembauan
di otak, sehingga manusia bisa mencium bau.
Seseorang yang memiliki penciuman yang baik dapat mengenali 10.000 bau-bauan. Sensasi
rasa ini merangsang kelenjar ludah. Oleh karena itu, gangguan penghidu sering mempengaruhi
sensasi rasa.1
2.1.5. Etiologi
1. Disfungsi pembauan
Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur
olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek
konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi
stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan
struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama
adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas
atas karena virus; dan trauma kepala.
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
6/22
2. Defek konduktif
a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.
Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis
alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinusitis kronik
seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi
medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi
aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering),
inverting papilloma, dan keganasan.
c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat
menyebabkan obstruksi.
d. Pasien pasca laringektomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena
berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan
trakeotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang
lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi. Hal
ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
3. Defek sentral/sensorineural
a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi
sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis
(mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome
ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme
hipogonadotropik.
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
7/22
c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada
fungsi pembauan.
d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan
regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan
anosmia.
e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan
sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa
yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik,
dan pengolesan garam zink secara langsung.
f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya
sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan
saraf pusat.
h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer
disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer
disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses
penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat
daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia
dekade ketujuh.2
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
8/22
2.1.6. Diagnosis
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
secara menyeluruh. Berikan penekanan khusus pada riwayat ISPA, patologi hidung atau sinus,
riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum. Lakukan CT scan jika
dipandang perlu. Seringkali dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan MRI apabila riwayat
penyakitnya tidak mendukung atau ditemukan gejala dan tanda neurologis sekunder. 2
A. Tanda dan Gejala
Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan. Anosmia hanya dapat dikenali dengan menguji bau
secara terpisah pada masing-masing lubang hidung. Anosmia bilateral, di lain pihak, membuat
pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien anosmik biasanya mengeluhkan hilangnya
kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada kisaran normal. Pada
kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi
dari penciuman.1,2
B. Temuan Fisik
Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas,
kepala, dan leher. Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan
disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat menunjukkan adanya massa nasofaring
atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang seksama untuk mencari massa hidung, jendalan darah,
polip, dan peradangan membran hidung sangat penting. Bila ada, rinoskopi anterior harus
ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada rongga hidung dan nasofaring. Keberadaan
telekantus pada pemeriksaan mata dapat mengarah ke massa atau peradangan di sinus. Massa
nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat ditemukan
pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran tiroid.
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
9/22
Pemeriksaan saraf yang menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensorimotorik sangat
penting. Mood pasien secara umum harus dinilai dan tanda-tanda depresi harus dicatat.2
C. Temuan Laboratorium
Walau tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium standar namun dapat
dilakukan pemeriksaan alergi, DM, fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hepar, fungsi endokrin, dan
defisiensi gizi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Telah dikembangkan teknik-
teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena degenerasi neuroepitelium
olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa tanpa
disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan hati-hati.2
D. Pencitraan
CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii
anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan
neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat melalui
CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-
jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit
pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus.2
E. Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk :2
(1) Memastikan keluhan pasien
(2) Mengevaluasi kemanjuran terapi
(3) Menentukan derajat gangguan permanen.
Langkah pertama : menentukan sensasi kualitatif
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
10/22
Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana
keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman :
a. Tes Odor stix
Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena
ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh
pasien secara kasar.
b. Tes alkohol 12 inci
Tes ini untuk memeriksa persepsi kasar terhadap bau. Tes alkohol 12 inci menggunakan paket
alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung.
c. Scratch and sniff card(Kartu gesek dan cium)
Scratch and sniff cardyang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT. Tes ini menggunakan 40 item
pilihan-ganda yang berisi bau-bauanscratch and sniffberkapsul mikro. Sebagai contoh, salah
satu itemnya berbunyi Bau ini paling mirip seperti bau coklat, pisang, bawang putih, atau jus
buah, dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat
reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan
jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit
penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor
pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit
lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah
bau-bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal.
Langkah kedua : menentukan ambang deteksi
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
11/22
Setelah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua
adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan
menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan
dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur
dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.
2.1.7. Terapi
A. Kurang Penciuman Hantaran
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan
sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung
dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut
ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau:
(1) Pengelolaan alergi
(2) Terapi antibiotik
(3) Terapi glukokortikoid sistemik dan topical
(4) Operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.2
B. Kurang Penciuman Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural.
Namun penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi seng dan
vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan
dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah
geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A.
Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi
vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
12/22
pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia
epitel penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan.
Karenanya, konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini.2
C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia)
Lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun menderita disfungsi penciuman. Belum
ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun sangat penting untuk membicarakan masalah
ini dengan pasien-pasien usia lanjut sehingga dapat menenangkan bagi pasien ketika seorang
dokter mengenali dan membicarakan bahwa gangguan penciuman memang umum terjadi.
Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh dengan mengidentifikasi masalah tersebut sejak
dini. Insidensi kecelakaan akibat gas alam sangat tinggi pada usia lanjut, kemungkinan
sebagian karena penurunan kemampuan membau secara bertahap. Merkaptan, bau busuk pada
gas alam, adalah perangsang olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih tua
dengan disfungsi penciuman mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan
makanan-makanan yang lebih kaya rasa. Metode yang paling umum adalah meningkatkan
jumlah garam dalam diitnya. Konseling dengan seksama dapat membantu pasien-pasien ini
mengembangkan strategi-strategi yang sehat untuk mengatasi gangguan kemampuan
membaunya.2
2.1.8. Prognosis
Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi
penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
13/22
deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman
semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama menderita
infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya. Namun sebagian
kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-alasan
yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada dekade keempat, kelima,
dan keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan ambang
pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya usia. Trauma kepala di daerah frontal
paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun anosmia total lima kali lebih sering
terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala
traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk.
Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.
Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan bahan penyebabnya.2
2.2. Epistaksis
2.2.1. Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung. Epistaksis bukanlah merupakan suatu
penyakit melainkan adalah gejala dari suatu penyakit.4
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
14/22
2.2.2. Anatomi Vaskuler
Suplai darah cavum nasi berasal dari arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Arteri
karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :4
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen
sphenopalatina yang mendarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui
kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior
dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior.
2.2.3. Klasifikasi
Walaupun sirkulasi kavum nasi sangat kompleks, epistaksis biasanya dibagi atas
pendarahan anterior atau posterior.5,6
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
15/22
o Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri etmoid anterior.
Pleksus Kiesselbach menjadi sumber perdarahan yang paling sering pada epistaksis, terutama
pada anak-anak, biasanya dapat berhenti sendiri (secara spontan) dan mudah diatasi.
o Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada
pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya arteri sfenopalatina.
2.2.4. Etiologi
Perdarahan hidung diawali dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus
tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis.4
Epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.4,7
1. Lokal
a. Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya karena mengeluarkan sekret dengan
kuat, bersin, mengorek hidung, atau trauma seperti terpukul. Selain itu iritasi oleh gas yang
merangsang dan trauma pada pembedahan bisa juga menyebabkan epistaksis.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik seperti
sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
16/22
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang disertai mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma
dapat menyebabkan epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik
herediter. Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah, atau bahkan di traktus
gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.
e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum
Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung.
Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran
udara pernafasan yang cenderung mengerikan aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta
yang keras dan usaha pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma.
Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane mukosa septum dan
menyebabkan perdarahan.
f. Faktor lingkungan
Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat
kering.
2. Sistemik
a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia, dan leukemia.
b. Penyakit kardiovaskuler
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
17/22
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arterisklerosis, nefritis kronis, sirosis
hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi
biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya kurang baik.
c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah
d. Gangguan endokrin
Wanita hamil, menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan epistaksis.
2.2.5. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.4,6
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan pada posisi dan ketinggian
yang memudahkan pemriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat penghisap
dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah beku.
Sesudah dibersihkan semua lapangan hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor
penyebab perdarahan.4
Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang telah diberi larutan anestesi lokal yaitu
larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam
hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti sementara. Sesudah 5-10 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan
dilakukan evaluasi.4
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
18/22
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat
kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien perdarahan hidung aktif yang
prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.4
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :4,6
1. Rinoskopi anterior
Pemriksaan harus dilakukan secara teratut dari anterior ke posterior, vestibulum,
mukosa hidung, septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa
dengan cermat.
2. Rinoskopi posterior
Pemriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting untuk pasien dengan
epistaksis berulang dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan hipertensi.
4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting untuk mengenali neoplasma atau infeksi.
5. Skrining terhadap koagulopati
6. Riwayat penyakit
2.2.6. Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis :7
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
19/22
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah berulangnya epistaksis
Penanganan epitaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal
penting adalah sebagai berikut :8
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (posterior) ataukah keluar dari
hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecendrungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes mellitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan misalnya aspirin dan fenilbutazon
2.2.6.1. Perdarahan anterior
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
20/22
Jika lokasi perdarahan telah ditemukan, vasokonstriktor harus diberikan bersama denagn
obat-obat topikal seperti larutan kokain 4% atau oxymetazoline atau phenylephrine. Untuk
perdarahan yang lebih aktif perlu diberikan anestesi topikal seperti lidocain dan tetrakain. Sebelum
penatalaksanaan dilakukan harus diberikan obat-obat anestesi topical yang adekuat. Obat-obat
intravena bisa diberikan pada kasus yang sulit atau pada penderita yang cemas.5,6
2.2.6.2. Perdarahan posterior
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq,
dibuat dari kasa dengan ukuran 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi
dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).4
Teknik pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai
tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat
pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik
keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk
tangan yang lain membantu mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi
perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain
kasa yang diletakkan di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
21/22
bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Belloq,
dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3
hari.3,4
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon
anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi a. etmoid anterior dan posterior dapat
dilakukan dengan membuat sayatan di dekat kantus medialis dan kemudian mencari kedua
pembuluh darah tersebut di dinding medial orbita. Ligasi a. maksilla interna yang terletak di fossa
pterigomaksila dapat dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding
posterior sinus maksila.
3
2.2.7. Komplikasi Tindakan
Akibat pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan sinusitis (karena ostium
tersumbat), air mata yang berdarah karena darah mengalir secara retrograde melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia.4
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang
ditarik.4
DAFTAR PUSTAKA
-
7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis
22/22
1. Wain Liz, 2006. http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/
transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsp. Diakses tanggal 1
Desember 2008.
2. Kris, 2008. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/ .
Diakses tanggal 1 Desember 2008.
3. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit
FK-UI, 2007.
4. Ikhsan M, 2001. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan Epistaksis.
pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis. html. Diakses tanggal 1 Desember 2008.
5. Kucik Corry, 2005. http://www.aafp.org/afp/20050115/305.html. Diakses tanggal 1
Desember 2008.
6. The Merck Manual, 2005. http://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.html.
Diakses tanggal 1 Desember 2008.
7. Arif Mansur, 2006. http://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/ epistaksis.htm.
Diakses tanggal 1 Desember 2008.
8. Hilger Peter, 1997. Penyakit Hidung. Dalam Boies Buku
Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC.
http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/%20transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsphttp://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/%20transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsphttp://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan%20Epistaksis.%20pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis.%20htmlhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan%20Epistaksis.%20pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis.%20htmlhttp://www.aafp.org/afp/20050115/305.htmlhttp://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.htmlhttp://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/%20epistaksis.htmhttp://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/%20transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsphttp://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/%20transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsphttp://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan%20Epistaksis.%20pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis.%20htmlhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan%20Epistaksis.%20pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis.%20htmlhttp://www.aafp.org/afp/20050115/305.htmlhttp://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.htmlhttp://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/%20epistaksis.htm