formasi spiritual holistik di sekolah teologi...

24
STULOS 12/1 (April 2013) 121-144 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK DI SEKOLAH TEOLOGI INJILI Grace Emilia Abstrak: Tulisan ini bermaksud untuk mengangkat problema fragmentasi dalam pendidikan teologi di sekolah teologi yang berpotensi menghasilkan lulusan yang mengalami fragmentasi pribadi dan akhirnya merugikan gereja-Nya. Dilakukan penelusuran historis untuk mengetahui penyebab fragmentasi ini di level makro, selain juga meninjaunya secara mikro pada kehidupan individual para pendidik di dalam konteks sekolah teologi. Menerapkan formasi spiritual holistik merupakan solusi untuk mengatasi fragmentasi ini. Kata Kunci: Fragmentasi, formasi spiritual, holistik, pendidikan teologi, sekolah teologi. PROBLEMADI TENGAH GEREJA Sekolah teologi sebagai institusi pendidikan teologi memiliki peran yang sangat penting dalam kekristenan karena membentuk dan menelurkan para pemimpin gereja di masa depan. Namun realitas menunjukkan, banyak dari para pemimpin ini yang kemudian mengalami kegagalan (disfungsi) pribadi. Ada banyak alasan yang menyebabkan kegagalan ini, Gary L. McIntosh dan Samuel D. Rima dari Talbot School of Theology meyakini adanya ‘sisi gelap’ dalam kehidupan para pelayan Tuhan ini , seperti “rasa tidak aman, perasaan inferior, dan kebutuhan akan persetujuan orang tua yang mendorong orang-orang ini untuk bisa suksesNamun hal-hal ini pulalah yang menyebabkan kegagalan mereka.” 1 Para pemimpin ini 1 Gary L. McIntosh dan Samuel D. Rima, Sr., Overcoming the Dark Side of Leadership: the Paradox of Personal Dysfunction (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 11-12.

Upload: buitram

Post on 07-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

STULOS 12/1 (April 2013) 121-144

FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK DI SEKOLAH

TEOLOGI INJILI

Grace Emilia

Abstrak: Tulisan ini bermaksud untuk mengangkat problema fragmentasi dalam

pendidikan teologi di sekolah teologi yang berpotensi menghasilkan

lulusan yang mengalami fragmentasi pribadi dan akhirnya merugikan

gereja-Nya. Dilakukan penelusuran historis untuk mengetahui penyebab

fragmentasi ini di level makro, selain juga meninjaunya secara mikro

pada kehidupan individual para pendidik di dalam konteks sekolah

teologi. Menerapkan formasi spiritual holistik merupakan solusi untuk

mengatasi fragmentasi ini.

Kata Kunci: Fragmentasi, formasi spiritual, holistik, pendidikan teologi, sekolah

teologi.

PROBLEMADI TENGAH GEREJA

Sekolah teologi sebagai institusi pendidikan teologi memiliki peran

yang sangat penting dalam kekristenan karena membentuk dan menelurkan

para pemimpin gereja di masa depan. Namun realitas menunjukkan,

banyak dari para pemimpin ini yang kemudian mengalami kegagalan

(disfungsi) pribadi.

Ada banyak alasan yang menyebabkan kegagalan ini, Gary L.

McIntosh dan Samuel D. Rima dari Talbot School of Theology meyakini

adanya ‘sisi gelap’ dalam kehidupan para pelayan Tuhan ini, seperti “rasa

tidak aman, perasaan inferior, dan kebutuhan akan persetujuan orang tua

yang mendorong orang-orang ini untuk bisa sukses… Namun hal-hal ini

pulalah yang menyebabkan kegagalan mereka.”1 Para pemimpin ini

1Gary L. McIntosh dan Samuel D. Rima, Sr., Overcoming the Dark Side of Leadership:

the Paradox of Personal Dysfunction (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 11-12.

122 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

kerap melakukan hal-hal yang berbeda dari apa yang mereka yakini.

Dengan kata lain, terdapat problema integritas atau fragmentasi dalam

kehidupan pribadi mereka sehingga kerap kali, hidup mereka didorong

oleh apa yang ada di luar (outside-in). Padahal dalam Matius 15, Yesus

menekankan pentingnya hidup yang utuh, yang didorong oleh apa yang

ada di dalam (inside-out).

Dampak dari fragmentasi pribadi ini akan merugikan gereja-Nya,

mengingat bahwa para lulusan sekolah teologi ini akan melayani di

institusi-institusi gereja dan atau di pelayanan Kristen lainnya. Karena itu

penulis meyakini bahwa restorasi gereja-Nya perlu dimulai dengan

restorasi dalam pendidikan teologi di sekolah teologi. Pendidikan teologi

yang terfragmentasi akan menghasilkan lulusan yang juga terfragmentasi.

Tesis penulis adalah bahwa formasi spiritual secara holistik di sekolah

teologi merupakan solusi untuk mengatasi fragmentasi dalam pendidikan

teologi. Mengingat bahwa “spiritualitas yang otentik melibatkan integrasi

dari seluruh aspek hidup sebagai sebuah kesatuan yang menyeluruh,2

penulis akan mengeksplorasi permasalahan fragmentasi ini dari perspektif

makro dan mikro. Dari perspektif makro, penulis akan menelusuri proses

historis yang menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam pendidikan teologi.

Sementara secara mikro, penulis akan membahas mengenai fragmentasi ini

pada kehidupan individual para pendidik di dalam konteks sekolah teologi.

PROSES FRAGMENTASI DALAM PENDIDIKAN TEOLOGI:

PENELUSURAN HISTORIS

PergeseranMaknaTeologi

Isu fragmentasi dalam pendidikan teologi mulai mendapat perhatian

luas di Amerika Utara tahun 1980-an, dan kemudian menjalar ke berbagai

penjuru dunia termasuk di Asia. Penyulut dari isu ini adalah Edward Farley,

dosen teologi dari Vanderbilt University. Melalui bukunya Theologia:

2David B. Perrin, Studying Christian Spirituality (New York, Rouledge, 2007), 18.

JURNAL TEOLOGI STULOS 123

The Fragmentation and Unity of Theological Education (1983) dan

kelanjutannya The Fragility of Knowledge: Theological Education in the

Church and the University (1988). Farley menjelaskan bahwa problema

dari inkoherensi dalam pendidikan teologi dimulai dari pergeseran makna

mengenai definisi dan peran dari istilah ‘teologi’.

Pergeseran makna ini akhirnya membentuk pendidikan teologi

menjadi seperti yang terjadi di masa kini. Farley menunjukkan bahwa di

masa pra-modern, ada dua makna dari ‘teologi’ sebagai berikut:

Pertama, teologi adalah istilah yang merujuk padacognition (=proses

mental yang menyertakan atensi, memori, pemahaman bahasa,

pembelajaran, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan) pribadi

yang bersifat aktual dan individual akan Tuhan dan hal-hal yang

berhubungan dengan Tuhan; yang berhubungan dengan iman dan yang

melihat kebahagiaan kekal sebagai tujuan utamanya.

Kedua, teologi adalah istilah yang merujuk pada dislipin atau usaha

sadar untuk memahami yang memiliki kualitas keilmuan. Menurut

makna yang pertama, teologi adalah kebiasaan (habitus) dari jiwa

manusia. Sementara menurut makna kedua, teologi adalah disiplin

yang biasanya terjadi dalam setting pedagogis.3

Pengaruh Pencerahan

Makna original teologi sebagai ‘hikmat’ dan sebagai ‘disiplin’ ini

kemudian mengalami transformasi radikal pada periode Pencerahan di

abad ke-18. Pada periode ini, terjadi kegerakan intelektual secara luas,

khususnya di Inggris, Perancis, dan Jerman, yang menolak superstisi dan

misteri, dan lebih berfokus pada kuasa dari rasio manusia serta

usaha-usaha ilmiah.4 Hal ideal yang ingin dicapai dalam periode ini

adalah masyarakat progresif yang hidup secara harmonis dan adil,yang

dipimpin oleh para pemimpin yang tidak mudah dipengaruhi oleh

superstisi dan prasangka, serta yang berusaha untuk menggunakan rasio

3Edward Farley, Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological Education (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 31.

4Nicholas Bunnin and Eric P. Tsui-James (ed), The Blackwell Companion to Philosophy, Second Edition (Oxford: Blackwell Publishing, 2003), 880.

124 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

sebagai kompasnya.5 Dengan kata lain, ilmu pengetahuan menggantikan

pewahyuan sebagai standar hidup dan para filsuf pun mendapat tempat

terhormat.

Dampaknya adalah, makna teologi sebagai kualitas pribadi dari

hikmat terus berlanjut, tapi tidak berhubungan dengan keselamatan

pribadi, melainkan lebih sebagai pengetahuan praktis untuk melakukan

pekerjaan pelayanan. Sementara makna teologi sebagai disiplin terus

berlanjut, tidak lagi sebagai usaha integral dari studi teologi, tapi sebagai

usaha keilmuwan yang bersifat teknis dan spesifik, yaitu sebagai teologi

sistematis.6

Ini berarti, teologi sebagai hikmat yang memimpin seseorang pada

cara hidup Kristen telah digantikan oleh pemahaman terfragmentasi yang

merujuk pada sekumpulan informasi dan pengetahuan akan Tuhan.

Sementara itu, teologi sebagai disiplin kini menjadi sekumpulan ‘ilmu

pengetahuan’ (sciences) yang merujuk pada sebuah tujuan baru, yaitu

mendidik mereka yang menjadi klergi (clergy) atau pelayan di gereja.

Farley lalu menyajikan perkembangan historis dari fragmentasinatur

pendidikan ke dalam tiga periode:

Periode pertama adalah periode pembelajaran hal-hal yang bersifat

ilahi (divinitas). Ini adalah periode kesatuan dalam teologi, ketika teologi

masih dilihat sebagai pengetahuan yang berdasarkan wahyu dari Allah

yang memimpin pada hikmat dan merupakan jalan untuk hidup dengan

setia, atau habitus. Pendidikan teologi yang semacam ini terbuka bagi setiap

orang, tapi tujuannya adalah mencapai hikmat dan menghidupi habitus.

Di periode yang kedua, terdapat pendidikan yang bersifat ministerial

di sekolah tinggi dan juga praktik untuk melakukan studi akan hal-hal

yang bersifat keilahian (divinitas). Saat itu, divinitas masih dilihat sebagai

sebuah topik yang menyatu, tapi menjadi area yang terpisah dari

5Edward Farley, the Fragility of Knowledge (Philadelphia; Fortress Press, 1988), 4. 6Ibid., 39.

JURNAL TEOLOGI STULOS 125

bidang-bidang studi lainnya. Ini adalah era spesialisasi yang menandai

pendekatan baru dari pendidikan, khususnya dengan pendirian Andover

(1808) sebagai sebuah institusi yang terpisah dari pendidikan teologi.

Periode ketiga berhubungan dengan pendidikan profesional. Pada

periode ini, teologi sebagai sebuah subjek yang menyatu tidak lagi eksis,

karena telah digantikan dengan fokus pada pelatihan para calon klergi.

Pada saat ini, pendidikan teologi hanya dibutuhkan oleh mereka yang

akan masuk ke dalam dunia ‘pelayanan’ profesional. Penekanannya pun

bergeser dari teologi sebagai pemahaman yang menyatu menjadi

pembelajaran keahlian yang berhubungan dengan pelayanan profesional.

PengaruhPietisme

Pergeseran makna dari istilah ‘teologi’ dan pengaruhnya pada

pendidikan teologi dipengaruhi pula oleh Pietisme, yang dimulai sebagai

kegerakan dalam gereja Lutheran di Jerman pada abad ke-17. Kegerakan

ini menekankan iman pribadi pada Tuhan sebagai usaha untuk mengatasi

kondisi iman yang begitu ‘steril’ di gereja Lutheran pada masa itu yang

mulai terseret arus rasionalisme.

Karakterisasi dari Pietisme adalah kehidupan devosional yang

didasarkan oleh perasaan religius dan juga praktek religius yang ketat.

Kehidupan religius yang hangat dianggap jauh lebih penting dari

dogma-dogma intelektual yang kering. Dengan kata lain, pietisme muncul

sebagai “protes terhadap ortodoksi dingin yang bersebelahan dengan

skolastisisme, yang sangat menekankan rasionalitas dan intelektualitas.”7

Pietisme berusaha memperbaiki pendekatan skolastik-ilmiah dalam

studi teologi yang lebih mementingkan pembelajaran kognitif yang serba

rasional daripada pembentukan iman pribadi. Akibatnya, pietisme sangat

menekankan persiapan dan pelatihan untuk melakukan tugas-tugas

7Randall Balmer, Encyclopedia of Evangelism (Waco: Baylor University Press,

2004), 543.

126 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

ministerial (pelayanan) secara spesifik, yang akhirnya menghasilkan

tujuan (telos) kedua dari studi teologi, yaitu mempersiapkan para klergi

untuk melakukan tugas-tugas pelayanan.8

Friedrich Schleiermacher (1768-1834) bertanggung jawab pada

pengkategorian dari studi teologi di kampus-kampus modern. Ia lah yang

pertama menelurkan ‘paradigma klergi’ (clerical paradigm) dalam

usahanya merekonsiliasi perbedaan yang terjadi antara kalangan pietis

dan kalangan rasionalis. Ia mendefinisikan ulang teologi sebagai ilmu

pengetahuan dengan disiplin riset kritis di area riset di satu sisi dan

sebagai pendidikan profesional bagi para klergi di sisi lainnya.

Dalam usahanya untuk menerapkan paradigma klergi ini,

Schleiermacher mengusulkan adanya tiga tingkatan dalam studi teologi:

teologi historis, teologi filosofis dan teologi praktis. Teologi historis

terdiri dari studi biblika, sejarah gereja dan teologi sistematis. Teologi

filosofis berusaha untuk mengembangkan pertanyaan mengenai apa yang

menjadi esensi dari kekristenan. Jawaban dari hal ini ditarik dari analisis

filosofis dari studi historis mengenai kekristenan. Sementara itu, tujuan

dari teologi praktika adalah menentukan aturan-aturan normatif untuk

memenuhi tugas dari pelayanan Kristen.

Scheiermacher percaya bahwa setiap aspek ini berkontribusi pada

tugas keseluruhan dari pendidikan teologia dan membentuk ‘kesatuan

organis’ yang digambarkan dalam bentuk sebuah pohon: 1) Filosofis –akar, 2)

Historis – batang 3) Praktika – mahkota. Ringkasnya visi Schleiermacher

untuk mengintegrasikan teologia praktika dengan teologi filosofis dan

teologi historis sebagai kesatuan yang menyeluruh tidak pernah terealisasi.

Teologi praktika terfragmentasi ke dalam berbagai area yang berbeda, yang

masing-masing berfokus pada fungsi khususnya (contoh: khotbah, pastoral,

dsb.). Pasca Schleiermacher, teologi praktika cenderung menjadi pelatihan

bagi mereka yang akan melakukan fungsi-fungsi pelayanan.

8Farley, Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological Education, 41.

JURNAL TEOLOGI STULOS 127

Dalam realitasnya, hal yang kemudian terjadi adalah subordinasi dari

teologi praktika terhadap teologi historis dan filosofis. Terpecahnya

kesederajatan (equality) dari tiga aspek teologi ala Schleiermacher ini

berimplikasi negatif pada dikotomi antara teori dan praktek serta

subordinasi teologia praktika pada teologi sistematik dan historis.

Pengaruh Modernisasi

Di periode modern pada awal abad ke-20, fragmentasi ini diperparah

oleh modernisasi yang sangat menekankan spesialisasi. Nicholas Wolterstorff

menggambarkan dua faktor utama yang menurut Max Weber merupakan

esensi dari modernisasi: (1) dibebaskannya berbagai aktivitas, termasuk

wissenschaft atau riset ilmiah dari kontrol eksternal gereja dan negara,

serta (2) kemandirian setiap area untuk memiliki dan menggunakan alur

logikanya masing-masing.9

Sementara itu, Mark Schwehn mengidentifikasi kuliah terbuka Weber

di Munich University tahun 1918 sebagai kunci yang memengaruhi

perkembangan pengetahuan rasional dari universitas-universitas di Jerman

dan di Amerika Utara:

Weber mendefinisikan vokasi akademis sebagai aktivitas yang rasional

dan berjarak dimana para akademisi berusaha memajukan pengetahuan

dengan riset dan studi di berbagai disiplin yang terspesialisasi. Harga

dari usaha untuk mempertahankan spesialisasi yang kaku ini adalah

tidak bisa diterapkannya penyelidikan akan hal-hal yang bersifat

menyeluruh dan juga dalam mengetahui makna dari hidup manusia.

Weber berargumentasi bahwa koherensi dari disiplin-disiplin yang

bersifat spesialisasi merupakan hal yang mungkin, karena vokasi yang

terpisah dan bersifat spesialisasi akan dapat dirancang sesuai dengan

tujuan Allah. Karena itu manusia dapat menemukan makna dari vokasi

individual mereka, mempercayai Allah yang mengetahui kerangka

menyeluruhnya dan mengatur dunia sesuai dengan hal tersebut.10

9Ibid., 177. 10Ibid., 178.

128 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

Pandangan ini sesuai dengan teori Weber yang meyakini bahwa

organisasi dapat dipersatukan oleh pemimpin yang karismatik, kepercayaan

umum, dan hubungan yang hierarkis, dimana setiap bagian dapat

melakukan tugasnya tanpa harus mengetahui gambaran menyeluruhnya

dan tanpa mengetahui sumber dari tujuan. “Ini adalah teori yang sangat

cocok dengan era industri, suatu era yang berusaha mencari hasil-hasil

yang identik dalam melakukan operasinya dari waktu ke waktu, tanpa

peduli siapa yang melakukannya.”11

Dampaknya di Masa Kini

Warisan dari proses sejarah ini kini berpengaruh terhadap bagaimana

pendidikan teologi diterapkan di sekolah-sekolah teologi. Di kalangan

sekolah-sekolah teologi ekumenikal, hal ini sudah menjadi kekuatiran

tersendiri sejak tahun 1980-an. Di bulan Juni 1989, disponsori oleh World

Council of Churches, sekitar 75 pendidik teologia (ekumenikal) dari seluruh

dunia berkumpul dalam sebuah konsultasi di Yogyakarta-Indonesia.

Tujuan dari konsultasi itu adalah mendorong diterapkannya formasi

spiritual dalam pendidikan teologi sebagai cara untuk mengatasi dikotomi

yang terjadi disekolah-sekolah teologi. Jacques Nicole, Director Programme

for Theological Education dari Ecumenical Institute of Bosey menjelaskan

dampak dari dikotomi ini:

Sejak Abad Pertengahan yang diwarnai oleh pendekatan skolastis

dalam berteologi, pertanyaan mengenai spiritualitas telah menimbulkan

rasa tidak enak di kalangan para pendidik teologi. Mereka kuatir hal

ini akan menghancurkan usaha dalam mengembangkan karakter

ilmiah dari teologi di tengah berbagai disiplin ilmiah dari universitas.

Dengan beberapa pengecualian, seperti misalnya di kalangan Jesuit

atau Pietis dari Halle, kebanyakan dari sekolah-sekolah teologi ini

memiliki pedagogi yang berkonsentrasi pada memperlengkapi

mahasiswa dengan teknik-teknik dan metodologi intelektual, dan

meninggalkan formasi spiritual di tangan para pendeta atau pastur di

gereja. Tak heran banyak fakultas dan sekolah-sekolah teologi yang

11Ibid., 177.

JURNAL TEOLOGI STULOS 129

akhirnya menghasilkan para ‘ateis fungsional’ ...”12

Elsa Tamez, seorang presenter di konsultasi tersebut, menyatakan

bahwa kebanyakan dari sekolah teologia di masa kini tanpa sadar telah

lebih mementingkan kualitas akademik dibandingkan praktek hidup

pribadi. Tamez membuktikan poinnya dengan menunjukkan bahwa di

kebanyakan institusi akademis, nilai yang diberikan pada seorang

mahasiswa berhubungan dengan performa intelektual. “Praktek pastoral,

liturgi, dan kegiatan sosial komunitas biasanya diletakkan di tempat

kedua. Sebagai dampaknya, kita berpikir bahwa aktivitas intelektual

bersifat anti-spiritual dan spiritualitas sebagai anti-intelektual.”13

Situasi ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah teologi yang

ekumenis. Richard Herring dan Fritz Deininger menyatakan bahwa jika

kita meneliti katalog dari institusi-institusi teologi Injili di berbagai

penjuru dunia, terlihat bahwa “tujuan dari pendidikan mereka biasanya

berfokus pada tiga area utama: pengetahuan biblika, pelatihan melayani,

dan pembentukan karakter untuk menjadi seperti Kristus. Namun dalam

realitanya, pengetahuan biblika (yang bersifat kognitif) dan pengetahuan

melayani selalu mendapatkan penekanan utama.

Herring dan Deininger menyatakan bahwa institusi gereja turut

bertanggung-jawab terhadap situasi ini karena mereka menyebabkan

terjadinya ‘diploma disease’ dimana label akademis lebih dipentingkan

dari kedewasaan spiritual. Namun pada saat bersamaan, terjadi ironi

karena “gereja-gereja, lembaga-lembaga Kristen serta masyarakat Kristen

pada umumnya mengharapkan para lulusan dari institusi-institusi teologis

12Samuel Amirtham dan Robid Pryor (ed), Resources for Spiritual Formation in

Theological Education (World Council of Churches – Programme on Theological Education, 1989), v.

13Elsa Tamez, “Spiritual Formation and Critical Study: A Case Study,” Resources for Spiritual Formation in Theological Education (World Council of Churches: Programme on Theological Education, 1989), 18.

130 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

ini menjadi model dari spiritualitas.”14

Alex Tang, Director of Kairos Spiritual Formation di Johor Baru –

Malaysia, melakukan sebuah survei sederhana pada situs-situs dari

beberapa STT injili di Singapura dan Malaysia tahun 2010. Dari survei

ini, Tang menemukan fakta bahwa kurikulum dari berbagai STT injili ini

juga memiliki fokus yang sangat kuat pada pengembangkan keahlian

kognitif tapi sangat lemah dalam mengembangkan pribadi mahasiswa

dan juga dalam mengembangkan relevansi bagi gereja-gereja lokal.

Kurikulumnya lebih berfokus pada isi (content-based) daripada hasil

(outcome-based).15

Para mahasiswa yang ‘terlatih’ untuk lebih

mementingkan keahlian kognitif akan mulai melihat hidupnya

terkotak-kotak dalam domain akademik dan domain pribadi, sehingga

kehilangan interpretasi yang begitu kaya dari berbagai dimensi dalam

kehidupan Kristen.

FRAGMENTASI INDIVIDUAL DI SEKOLAH TEOLOGI:

PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Berdasarkan warisan historis dalam pendidikan teologi, diketahui

adanya ketidakseimbangan dalam formasi pendidikan mahasiswa.

Terdapat fokus yang kuat pada pengetahuan kognitif dan keterampilan

melayani dibandingkan formasi karakter. Ketidakseimbangan ini dapat

bersifat destruktif pada usaha untuk mengembangkan para pemimpin

Kristen yang utuh di masa depan, karena pendidikan semacam ini

menyebabkan terjadinya fragmentasi di level pribadi.

Thomas Merton menyebut fragmentasi ini sebagai ‘keutuhan yang

terselubung’ (hidden wholeness), sementara Parker J. Palmer menyebutnya

14Richard Herring & Fritz Deininger, “The Challenges and Blessings of Spiritual Formation in Theological Education,“ Educating for Tomorrow: Theological Leadership for the Asian Context (Bangalore: India: SAIACS Press, 2007), 126.

15 Alex Tang, “Surfing the Tsunami of Change: Problem-based Learning in Theological Education in Asia”, Tending the Seedbeds: Educational Perspectives on Theological Education in Asia (Quezon City: Asia Theological Association, 2010), 240.

JURNAL TEOLOGI STULOS 131

sebagai ‘hidup yang terbagi’ (divided life). Ironisnya, di antara ketiga area

tadi, area yang paling diabaikan yaitu formasi karakter (disiplin hati)

adalah justru yang paling penting. Hal ini disebabkan karena:

1. Hati, atau kehendak atau roh adalah pusat eksekutif dari

kehidupan manusia

2. Hati adalah sumber dari segala yang kotor, termasuk pikiran

jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah

palsu dan hujat (Mat. 15:19).

3. Hati adalah tempat berkuasanya dosa dalam hidup seseorang

(Maz. 19:12-13).

4. Hati penuh dengan tipu muslihat (Yer. 17:9).

5. Hati yang berdosa telah membuat manusia berdosa sejak lahir

(Kej. 6:5, 8:21).

6. Hati yang tidak dikontrol oleh Roh akan dikontrol oleh natur

keberdosaannya dan menghasilkan tindakan-tindakan yang

berdosa (Gal. 5:19-21a).

7. Hati yang gelap oleh dosa akan merusak pikiran seseorang

(Markus 17:21-23).

Dengan kata lain, apa yang ada di hati sangat menentukan siapa kita

dan bagaimana kita akan menjadi. Hati yang kotor akan memengaruhi

akal budi (head) serta karya (hands) dari para mahasiswa di sekolah

teologi; sebab hidup yang terfragmentasi akan menyebabkan seseorang

hidup dalam kemunafikan. Tak beda dengan orang-orang Farisi yang

memiliki status sebagai pemimpin religius, tapi gaya hidupnya yang

moralistis nan legalistis dikutuk oleh Yesus karena mereka mengajar

orang lain tanpa terlebih dulu melakukannya sendiri.

Dalam konteks pendidikan teologi di sekolah teologi, dosen adalah

elemen krusial yang justru mendorong terjadinya fragmentasi ini atau

sebaliknya, memfasilitasi seorang peserta didik pada hidup yang utuh.

Karena itu Cornel West menyatakan, jika menginginkan terjadinya

perubahan di pendidikan teologi, maka “tempat terbaik untuk memulai

132 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

adalah di area yang paling rapuh tapi juga paling sulit, yaitu: gambar diri

dan identitas diri dari para dosen di sekolah teologi.”16

Seorang pendidik yang hatinya belum direnovasi akan menempatkan

identitas dan keberhargaan dirinya di berbagai hal (jabatan, intelektualitas,

dsb), kecuali hubungan pribadi dengan Tuhan. Para pendidik semacam ini

tidak mau disentuh secara terbuka oleh Tuhan dan karena itu juga sulit

untuk bisa menyentuh orang lain. Akibatnya, mengajar akan menjadi

beban berat, karena seperti yang dikatakan oleh Parker J. Palmer,

“mengajar adalah latihan harian di area kerapuhan... dan tidak seperti

profesi lainnya, mengajar selalu dilakukan di persimpangan yang

berbahaya antara kehidupan pribadi dan kehidupan publik.” Palmer

menjelaskan lebih lanjut:

Saya tidak perlu menyingkapkan rahasia pribadi saya untuk merasa

telanjang di depan kelas. Saya hanya perlu menyatakan sebuah kalimat

atau menuliskannya di papan sementara para murid tertidur atau saling

bertukar catatan. Tak peduli apa pun bidang yang saya tangani, bidang

yang saya ajarkan adalah hal-hal yang paling saya pedulikan – dan apa

yang saya pedulikan menentukan keberadaan diri (selfhood) saya.17

Ketakutan pribadi yang dialami seorang pendidik yang rapuh untuk

terhubung dengan orang lain akan menyebabkan mereka memisahkan diri

dari keterhubungan dengan mahasiswa untuk mengurangi bahaya dari

menjadi terluka. Mereka juga akan membangun tembok antara apa yang

terdapat di dalam hati dengan kinerja yang tampak. Dalam situasi

sepertiitu, apa yang dikatakan oleh seorang pendidik belum tentu keluar

dari hati yang terdalam. Budaya akademis yang tidak mempercayai

kesubjektifan dari pengetahuan pribadi menjadi tempat yang aman untuk

bersembunyi dari ketakutan ini. Palmer menjelaskan,

Institusi akademis menawarkan berbagai cara untuk melindungi diri

dari ancaman untuk harus berjumpa (live encounter). Untuk menghindari

perjumpaan dengan guru, murid bersembunyi di balik buku-buku dan

16C.West, Prophetic Fragments (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 276. 17Parker J. Palmer, The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscape of A

Teacher’s Life (San Francisco: Joseey-Bass, 1998), 17.

JURNAL TEOLOGI STULOS 133

keheningan. Untuk menghindari keharusan untuk berjumpa dengan

mahasiswa, dosen bersembunyi di balik podium, kredensial, atau

kuasa. Untuk menghindari keharusan untuk berjumpa dengan rekan

lainnya, para guru bersembunyi di balik spesialisasi akademis

masing-masing. Untuk menghindari keharusan berjumpa dengan

subjek studi, makabaik guru maupun murid dapat sama-sama

bersembunyi di balik kepura-puraan objektivitas... Sementara itu,

untuk menghindari keharusan berhadapan dengan diri kita sendiri, kita

dapat belajar seni mengasingkan diri atau seni untuk hidup secara

terbagi.18

Selain rasa takut, ketidaktahuan (ignorance) juga dapat menyebabkan

seorang dosen bersembunyi di balik topeng objektivitas. John Coe, Ph.D.

(Associate Professor of Philosophy and Theology di Biola University)

mengakui bahwa setelah mengajar selama 17 tahun di universitas dan

seminari, ia merasa dirinya kering, kosong dan bingung. Sebagai

akibatnya, ia mengakui telah melakukan kekerasan spiritual terhadap para

mahasiswa di kelasnya. Coe menulis, “Di satu sisi saya meningkatkan

pengetahuan mereka, namun secara simultan saya juga membuat jiwa

mereka menjadi kosong dan kering dari kehidupan doa, menanti Tuhan,

hening, mengasihi dan mendengar suara-Nya.”19

Bersembunyi dari orang lain karena rasa takut atau ketidaktahuan

adalah satu hal. Namun akan jadi berbahaya jika tanpa sengaja kita

menjadi manipulator yang berkuasa akibat dari kehidupan pribadi yang

tidak diuji. Sisi gelap seorang pendidik dapat membuatnya menggunakan

posisinya untuk mendominasi orang lain atau sekedar untuk memuaskan

dorongan kompulsifnya sebagai pribadi. Dalam “Pedagogy of the

Distressed”, edukator Jane Tomplins mengakui bahwa obsesinya sebagai

guru tidak menolong para muridnya untuk mempelajari apa yang mereka

ingin atau butuhkan untuk pelajari, karena ia telah:

(a) Menunjukkan kepada para muridnya betapa hebat dirinya.

18Ibid, 37-38. 19John Coe, “Intentional Spiritual Formation in the Classroom: Making Space for

the Spirit in the University,”Christian Education Journal 4 (2000): 13.

134 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

(b) Menunjukkan kepada mereka betapa dirinya sangat

berpengetahuan, dan

(c) Menunjukkan kepada mereka betapa ia sangat siap di kelas.Saya

telah mengajar tapi tujuannya bukan untuk menolong

murid-murid saya belajar, tapi agar mereka berpikir betapa

hebatnya saya.20

Contoh-contoh di atas tentu saja tidak sehat, khususnya dalam

konteks sekolah teologi dimana pendidik dan mahasiswa saling

berinteraksi dengan intensif dalam kesehariannya. Apalagi mengingat

fakta bahwa perubahan dalam hidup seseorang, khususnya para

mahasiswa, tidak akan terjadi hanya dengan kata-kata saja, tapi melalui

keteladanan hidup seperti yang dinyatakan oleh Paulus kepada jemaat

Tesalonika di 1 Tes. 1:5-6.

Dengan kata lain, jika para pendidik hidup secara terfragmentasi,

akan sulit bagi mahasiswa untuk menemukan teladan hidup dan mentor

spiritual di kampus. Fokus pada keberhasilan akademis akan membuat

para pendidik sibuk dengan persiapan materi dan para mahasiswa pun

akan mendapat pesan yang jelas bahwa pencapaian tertinggi yang harus

mereka raih selama kuliah adalah nilai akademis yang baik. Karena itu,

belajar untuk mendapatkan nilai yang baik akan menghabiskan sebagian

besar waktu mereka, sehingga hal-hal lain, khususnya yang berhubungan

dengan disiplin rohani, tidak dapat diterapkan dengan maksimal.

Satu aspek lainnya yang akan terabaikan dalam situasi yang

terfragmentasi adalah hubungan pribadi antara dosen dan mahasiswa.

Sebagai pribadi, seorang mahasiswa memiliki kerinduan yang dalam

terhadap sesuatu yang pribadi di dalam hubungan manusiawinya – tidak

hanya dengan teman-teman sesama mahasiswa, tapi juga dengan

orang-orang yang mereka hormati, yaitu para dosen. Dari hubungan

dosen-mahasiswa ini, mereka diam-diam berharap dapat diberdayakan

20Palmer, The Courage to Teach, 28.

JURNAL TEOLOGI STULOS 135

secara maksimal agar bertumbuh seperti yang Tuhan inginkan dalam

hidup mereka – selain juga belajar seni untuk bisa akuntabel sebagai

seorang pribadi yang berintegritas.

Tahun 1987, Gordon MacDonald, seorang teolog dan penulis

terkenal, secara terbuka mengakui di Christianity Today edisi 10 Juli

1987 tentang hatinya yang terbelah akibat dari kurangnya hubungan

pribadi dan akuntabilitas. Ia menyatakan:

Kemampuan si iblis untuk merusak hati dan pikiran benar-benar

tidak terbayangkan. Saya bertanggung-jawab atas apa yang terjadi dan

saya membuat keputusan-keputusan tersebut dari hati yang kotor.

Selain itu saya juga sadar bahwa saya tidak memiliki teman-teman

dimana saya bisa mempertanggung-jawabkan akuntabilitas diri saya.

Kita butuh pertemanan dimana seseorang bisa melihat ke mata yang

lainnya dan bertanya pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan moral

kita, nafsu kita, ambisi kita, serta ego kita.21

Kebiasaan untuk akuntabel ini harus dimulai sedini mungkin, sejak

para pemimpin masa depan ini masih berada di sekolah-sekolah teologi.

Dibutuhkan disiplin hati baik dari dosen maupun mahasiswa untuk bisa

melakukan hal tersebut. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika para dosen

sebagai pendidik tidak siap untuk hal ini.

Penulis akan menutup bagian ini dengan merangkum fragmentasi

yang terjadi di level individual ini dengan menggunakan poin-poin

fragmentasi dari Parker J. Palmer, yang disebutnya sebagai ‘paradoks

yang terbelah’ berikut ini:

- Kita memisahkan rasio (head) dari hati (heart). Hasilnya adalah

pikiran yang tidak tahu bagaimana cara merasa dan hati yang

tidak tahu bagaimana cara berpikir.

- Kita memisahkan fakta dari perasaan. Hasilnya adalah fakta

yang ‘dingin’ yang membuat dunia terasa jauh dan berjarak,

21Gordon MacDonald, “Leader’s Insight: When Leaders Implode,” Evangelism Today;

http://evangelismtoday.blogspot.com/2006/11/leaders-insight-when-leaders-implode.html(diakses 5 September 2012).

136 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

serta emosi tak peduli yang mereduksi kebenaran menjadi

bagaimana seseorang merasa pada hari ini.

- Kita memisahkan teori dari praktek. Hasilnya adalah teori ayng

tidak berhubungan dengan kehidupan dan praktek yang tidak

didasarkan pada pemahaman.

- Kita memisahkan pengajaran dari pembelajaran. Hasilnya adalah

dosen yang bicara tapi tidak mendengarkan dan mahasiswa yang

mendengarkan tapi tidak bicara.22

FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK DALAM SUATU

PENDIDIKAN TEOLOGI INJILI

Setelah mengeksplorasi problema fragmentasi dalam pendidikan

teologi dari perspektif historis dan perspektif individual, maka penulis

meyakini bahwa formasi spiritual holistik dalam pendidikan teologi injili

merupakan solusi dari problema fragmentasi ini.

Formasi spiritual adalah “respon kita secara berkelanjutan pada

realita dari anugerah Allah yang terus membentuk kita untuk menjadi

seperti Kristus, melalui karya Roh Kudus di dalam komunitas iman, bagi

kepentingan dunia ini.”23

Istilah ‘formasi’ berasal dari akar kata ‘morphe’ (Roma 12:12, 2 Kor

3:18) yang dari padanya muncul istilah ‘metamorfosis’. Dalam proses

formasi spiritual ini akan terjadi transformasi spirit (atau hati atau

kehendak) yang akan memengaruhi semua aspek dari seorang individu,

tanpa terkecuali, termasuk pikiran (gambaran, konsep, penilaian,

pemikiran), perasaan (sensasi, emosi), pilihan (kehendak, keputusan,

karakter), tubuh (tindakan, interaksi dengan dunia fisik), dan sosial

konteks (hubungan pribadi dengan orang lain).

22Palmer, The Courage to Teach, 66. 23

Jeffrey P. Greenman, “Spiritual Formation in Theological Perspective: Classic Issues, Contemporary Challenges,” Life in the Spirit: Spiritual Formation in Theological Perspective (Downers Grove: IVP Academic, 2010), 24.

JURNAL TEOLOGI STULOS 137

Disebut ‘respon’ karena proses untuk menjadi seperti Kristus ini

tidak pasif; sebab walaupun hal ini merupakan inisiatif Allah, tetapi

dibutuhkan respon manusia untuk “mengenakan manusia baru yang

terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar

menurut gambar Khaliknya.” (Kolose 3:10).

Sementara itu, istilah ‘holistik’ dalam ‘formasi spiritual holistik’

berasal dari kata halos yang merupakan istilah bahasa Yunani untuk

‘menyeluruh’ (whole). Di ranah pendidikan, ini berarti bahwa bagian-bagian

dari keseluruhan tidak dapat berdiri sendiri dan hanya dapat dipahami

dalam hubungannya dengan keseluruhan yang lain.24

Dalam konteks pendidikan teologi di sekolah teologi, formasi

spiritual holistik inibukan berarti menghabiskan lebih banyak waktu di

kapel kampus dan mengurangi waktu belajar di kelas. Paradigma semacam

ini merupakan “pandangan yang sangat miskin tentang spiritualitas yang

membatasi formasi spiritual pada sesi-sesi ibadah formal bersama di

kapel kampus, meskipun hal tersebut merupakan hal yang esensial.”25

Formasi spiritual holistik haruslah mencakup seluruh proses pendidikan

yang menyertakan pula proses formal di dalam kelas, tapi juga proses non

formal di luar kelas. Marcus Throup secara menarik menggunakan istilah

‘paradigma penyembahan’ dalam usahanya meredefinisi kembali formasi

spiritual holistik di dalam pendidikan teologi. Ia menyatakan bahwa

menerapkan penyembahan sebagai motif utama yang mendasari pendidikan

teologi adalah berarti “mengklaim bahwa mengetahui, mengasihi, dan

mengikuti Kristus adalah esensi dan tujuan dari studi teologi dan juga

proses pembelajaran hidup yang terdapat di sekolah teologi atau

seminari.”26

24Ken Gnanakan, “Integrating Real Life Issues Into Theological Education in Asia,”

The Church in a Changing World: An Asian Response (Quezon City: Asia Theological Association, 2010), 272.

25Marcus Throup, “Toward Integration: Re-envisioning Theological Education as Worship.” (2001), 3.

26Ibid., 4-5.

138 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

Dengan demikian, formasi intelektual dalam teologi dan formasi

dalam kehidupan spiritual sebetulnya saling berhubungan dan bahkan

terintegrasi; karena yang satu tidak akan menghilangkan yang lainnya.

Riset yang berkualitas tidak akan menghilangkan keintiman dalam

kehidupan doa, tapi justru saling menguatkan. Susanne Johnson, edukator

Kristen kontemporer, menyatakan bahwa kunci utama dari pendidikan

Kristen dan formasi spiritual adalah bahwa “formasi spiritual bukanlah

hal yang terpisah, tapi justru merupakan dinamika kunci dari menjadi

seorang Kristen.”

Solusi di Level Historis: Kembali ke Awal

Integrasidari formasi intelektual dan formasi kehidupan spiritual

sebagai suatu kesatuan ini merupakan solusi dari fragmentasi yang telah

terjadi dalam proses historis. Edward Farley mengatakan bahwa

pendidikan teologi “harus memperbaiki (recover) makna dari teologi”27

seperti maknanya semula sebelum terfragmentasi, yaitu sebagai hikmat

yang menuntun pada pengenalan akan Allah dan sebagai disiplin.

Kevin J. Vanhoozer, berpendapat teologi bertujuan pada tercapainya

pengetahuan akan Allah dan bersifat kontekstual. Ia meyakini bahwa baik

theoria (pengetahuan akan proposisi yang benar) maupun techem

(pengetahuan atau keterampilan fungsional) tidak cukup bagi sebuah

interpretasi teologis. Karena itu ia mengusulkan cara ketiga yang disebutnya

sebagai phronesis, yaitu “kemampuan untuk menerapkan penilaian yang

baik dalam konteks yang spesifik. Dengan kata lain, teologi adalah hikmat

atau kemampuan untuk mengatakan atau melakukan hal yang tepat dalam

situasi yang spesifik.28

Hikmat ini dicapai tidak hanya dengan mengetahui secara kognitif

karena secara epistemologis, “mengetahui” (knowing) dalam kekristenan,

27

Farley, Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological Education, 156. 28Linda Cannell, Theological Education Matters: Leadership Education for the

Church (Newburgh, IN: EDCOT Press, 2006), 41.

JURNAL TEOLOGI STULOS 139

telah didefinisikan oleh Agustinus sebagai ‘percaya untuk mengerti’.

Dengan kata lain, iman adalah presuposisi yang memimpin pada

pemahaman yang rasional. Tanpa panggilan Tuhan yang didasarkan pada

iman dan anugerah, tidak akan ada seorang pun yang memahami Tuhan

dan kebenaran-Nya.

Sementara itu dari definisi klasik oleh Anselmus, ‘teologi adalah

iman yang berusaha memahami.’ Ini adalah iman yang menyelidiki dan

mengajukan berbagai pertanyaan. Sebagai objek iman, Tuhan tidak berhenti

untuk menjadi subjek. Iman adalah hubungan dengan Allah yang hidup

dan bukan dengan berhala yang dapat dengan mudahnya dimanipulasi.

Rasul Paulus juga membedakan istilah ‘pengetahuan’ antara

pengetahuan kognitif dengan pengetahuan yang berdasarkan pengalaman.

Perbedaan ini sangat signifikan karena mengetahui tentang Tuhan secara

kognitif sangat berbeda dengan mengenal Tuhan dalam suatu hubungan

pribadi yang dalam dan intim. Paulus biasanya menggunakan istilah

“gnosis”untuk pengetahuan kognitif seperti yang terdapat di 1 Korintus

8:1, dan istilah “epignosis” untuk pengetahuan yang berdasarkan

pengalaman seperti yang tertulis di Efesus 4:13.

Karena itu, teologi Kristen berdasarkan pada spiritualitas Kristen

yang berakar pada iman, yang meyakini bahwa hidup yang penuh dari

seorang manusia hanya dapat dicapai melalui hubungan yang dalam

dengan Tuhan.29

Ini mengimplikasikan bahwa semua dimensi hidup

adalah milik Tuhan dan dapat digunakan untuk mengenal-Nya secara

intim – dan bukan sekedar tahu secara kognitif tentang-Nya. Calvin pun

menyatakan, “mengenal Tuhan adalah diubahkan oleh Tuhan; pengetahuan

sejati akan Tuhan memimpin pada penyembahan, sementara seorang

pemercaya berada dalam perjumpaan yang mentransformasi dan

memperbarui dengan Allah yang hidup.”30

29 Alister McGrath, Christian Spirituality: An Introduction (Oxford: Blackwell

Publishing, 1999), 29. 30Ibid., 28.

140 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

Dalam konteks sekolah teologi, cara terbaik untuk menerapkan

pemahaman yang integratif dari ‘teologi’ ini adalah melalui kurikulum

yang integratif. Donald Senior dan Timothy Weber yang menulis tentang

karakter dari formasi kurikulum mengatakan bahwakurikulum bersifat

formatif sebab kurikulum tidak hanya mengakomodasi berbagai mata

kuliah, tapi merupakan sebuah proses refleksi kritis dan integratif.

Melalui kurikulum kita dapat mengakomodasi tidak hanya pemberian

pengetahuan, tapi juga mentransformasi pemahaman mahasiswa yang

akan mempengaruhi mereka secara personal maupun vokasional.31

Marcus Throup, yang melihat integrasi dalam pendidikan teologi

sebagai penyembahan, menunjukkan bahwa hal mendasar yang dapat

dilakukan untuk mengatasi fragmentasi yang telah terjadi adalah dengan

menguji dan lalu meredefinisi formasi akademis dalam pendidikan

teologi. Dengan melakukan hal itu, sekolah teologi dapat menemukan dan

meredefinisi inti dari permasalahan spiritual dan tujuannya, sehingga

formasi spiritual dapat diaplikasikan tidak hanya diluar, tapi juga di

dalam kelas.32

Herring dan Deininger menamai proses formasi spiritual di dalam

formasi akademis sebagai ‘metoda-metoda formasi spiritual di dalam

kelas’, yang merujuk pada proses untuk menjadi seperti Kristus melalui

proses pengajaran dan pembelajaran formal. Mereka telah melakukan

riset dan observasi di enam sekolah teologi Injili di Thailand dan

menemukan bahwa beberapa mata kuliah memiliki potensi formasi

spiritual yang tinggi, yaitu mata kuliah teologi, kehidupan Kristen,

penginjilan, khotbah, sejarah gereja dan kelas-kelas praktek Alkitabiah.

Namun mereka mengakui bahwa riset lebih lanjut perlu dilakukan untuk

melihat adanya mata-mata kuliah lain yang juga potensial bagi tujuan

integrasi ini. Selain itu, talenta mengajar dosen juga dapat mempengaruhi

aplikasi dari formasi spiritual di mata-mata kuliah tersebut.

31 Robert Banks, Reenvisioning Theological Education: Exploring a Missional

Alternative to Current Models (Grand Rapids: Wm.b. Eerdmans Publishing, 1999), 223. 32Throup, 3.

JURNAL TEOLOGI STULOS 141

Namun tidak dapat disangkali, bahwa formasi spiritual di luar kelas

dapat lebih berpengaruh pada kehidupan mahasiswa. Melalui riset yang

sama di Thailand, Herring dan Deininger menyajikan metoda-metoda

utama dari formasi spiritual non formal yang telah diidentifikasi memiliki

nilai formasi spiritual yang tinggi, yaitu: kehidupan di kampus, ibadah

penyembahan, hubungan pribadi antara dosen-mahasiswa, praktek lapangan,

hubungan antar mahasiswa, seminar/camp, serta proses pembelajaran

dalam senat mahasiswa.33

Walaupun metoda-metoda di luar ruang kelas ini tidak disebutkan

secara eksplisit dalam kurikulum, namun semuanya ini harus

dipertimbangkan sebagai bagian dari kurikulum yang integratif. Edukator

Elizabeth Vallance menyebutnya ‘kurikulum tersembunyi’ (hidden

curriculum) yang diidentifikasikan sebagai “dampak sistematik dan non

non akademis dari pendidikan yang nyata, tapi tidak dirujuk secara cukup

dan eksplisit di dalam kurikulum.”34

Lawrence Richards menyatakan bahwa kurikulum tersembunyi ini

jauh lebih efektif dalam proses pendidikan Kristen. Hal ini disebabkan

karena di dalamnya ada penekanan yang kuat pada mentoring melalui

keteladanan. Dengan kata lain, ada elemen-elemen interaksi yang

mendukung proses transformasi yang merupakan inti dari pendidikan

Kristen. Hal ini esensial karena mengkomunikasikan iman Kristen

sebagai sesuatu yang hidup.35

Karena itu, sekolah-sekolah tinggi teologi harus melatih para dosennya

agar mengerti paradigma dari kurikulum yang integratif ini; termasuk

pula kurikulum non formal yang sangat penting dalam proses formasi

spiritual holistik. Termasuk di dalamnya adalah dengan menciptakan

sistem yang akan mendorong para dosen untuk menerapkan hal ini, tapi

juga menolong para mahasiswa untuk belajar sebanyak mungkin dari

33Herring & Deininger, 132-134. 34Robert W. Pazmino, Foundation Issues in Christian Education: An Introduction in

Evangelical Perspective (Grand Rapids: Baker Books, 1997), 236. 35Ibid., 238.

142 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

berbagai sumber yang berbeda.

Solusi di Level Individual: Renovasi Hati Pendidik

Pada level individual, ketidakseimbangan antara head, heart, hands

ini perlu diatasi melalui renovasi hati para pendidik. Karena itu, pertama-tama,

sekolah teologi harus mencari dosen yang tidak hanya berkualitas secara

akademis, tapi juga memiliki rekam jejak yang baik dalam pelayanan,

khususnya dalam hubungan panggilannya sebagai pendidik. Hal ini penting

karena menjadi pendidik bukan hanya sekedar talenta, tapi juga tanggung

jawab seperti yang terdapat di Yakobus 3:1, Saudara-saudaraku, janganlah

banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa

sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.”

Kedua, pekerjaan yang bukan panggilan merupakan kekerasan yang

kita lakukan pada diri sendiri. Parker Palmer secara jujur menyatakan hal

ini: “Ketika saya melakukan kekerasan pada diri saya, pada akhirnya saya

melakukan kekerasan juga pada orang-orang yang bekerja bersama saya.

Berapa banyak pendidik yang telah membagikan luka pribadinya pada

para muridnya? Luka karena melakukan pekerjaan yang tidak pernah atau

tidak lagi merupakan pekerjaan sejati mereka?”36

Ketiga, keseluruhan hidup seorang pendidik akan diimpartasikan

kepada para anak didiknya, karena seorang pendidik akan secara otomatis

menjadi teladan hidup. Sebagai guru, Yesus Kristus tidak hanya

mengajarkan suatu pengajaran. Ia juga identik dengan pesan-Nya itu. Ia

tidak hanya menawarkan roti hidup, tapi Ia sendiri menjadi roti hidup.

Karena itu, jika seorang pendidik ingin menjalankan perannya secara

efektif, maka ia sendiri harus menjadi seorang yang utuh secara pribadi.

Seorang pendidik yang baik akan memiliki identitas pribadi yang berakar

pada hubungan pribadi dengan Allah yang hidup.

36Palmer, The Courage to Teach, 30.

JURNAL TEOLOGI STULOS 143

Pendidik yang semacam itu secara otomatis akan memiliki kapasitas

bagi keterhubungan, dan karena itu, para muridnya yang berinteraksi

dengan mereka akan belajar untuk membangun kapasitas yang sama juga.

Palmer mengatakan bahwa metodanya bisa bervariasi, tetapi “koneksi

yang dibuat oleh guru yang baik bukan terletak pada metodenya, tapi pada

hati-nya.”37

Karena itu, persiapan hati bersama Tuhan – dan bukan sekedar

materi pengajaran, sangat penting untuk dilakukan oleh seorang pendidik.

KESIMPULAN

Terjadi ketidakseimbangan dalam formasi mahasiswa dimana

terdapat fokus yang kuat pada formasi kognitif (head) dan karya (hands)

dibanding formasi karakter (heart). Dampaknya, mahasiswa terlatih

untuk lebih berfokus pada pencapaian akademik dan keterampilan

melayani, namun berpotensi untuk mengalami fragmentasi dalam

kehidupan pribadinya, karena kehidupannya di ranah pribadi berbeda

dengan kehidupannya di ranah publik.

Formasi spiritual holistik merupakan solusi untuk mengatasi

fragmentasi ini. Dalam konteks sekolah teologi, cara terbaik untuk

menerapkan pemahaman yang integratif ini adalah melalui kurikulum

yang integratif, baik yang bersifat formal (di dalam kelas) maupun

non-formal (di luar kelas). Sementara itu di level individual, penting

sekali terjadinya renovasi hati para pendidik yang merupakan fasilitator

untuk menolong mahasiswa agar memiliki hidup yang utuh.

37Ibid., 11.

144 FORMASI SPIRITUAL HOLISTIK

DAFTAR PUSTAKA TERPILIH

Banks, Robert. Reenvisioning Theological Education: Exploring a

Missional Alternatif to Current Models. Grand Rapids:Wm.B.

Eerdmans Publishing, 1999.

Bunnin, Nicholas and Eric .P. Tsui-James (ed). The Blackwell Companionto

Philosophy. Second Edition. Oxford: Blackwell Publishing, 2003.

Cannell, Linda. Theological Education Matters: Leadership EducationFor

the Church. Newburgh: EDCOT Press, 2006.

Farley, Edward. The Fragility of Knowledge. Philadelphia: Fortress

Press,1988.

Farley, Edward. Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological

Education. Philadelphia: Fortress Press, 1983.

McGrath, Alister E. Christian Spirituality: An Introduction. Oxford:

Blackwell Publishing, 1999.

McIntosh, Gary L. & Samuel D. Rima, Sr. Overcoming the Dark Side

ofLeadership: the Paradox of Personal Dysfunction. Grand Rapids:

Baker Books, 2004.

Palmer, Parker J. The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscapeof

A Teacher’s Life. San Francisco: Jossey-Baass, 1998.

Pazmino, Robert W. Foundation Issues in Christian Education: An

Introduction in Evangelical Perspective. Grand Rapids: Baker, 1997.

Perrin, David B. Studying Christian Spirituality. New York: Rouledge, 2007.

Programme on Theological Education, Resources forSpiritual Formation

in Theological Education. World Council of Churches, 1989.

Tang, Alex. (ed.). Tending the Seedbeds:EducationalPerspectives on

Theological Education in Asia. Quezon City: Asia Theological

Association, 2010.