faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi wanita ... · masyarakat dalam pembangunan, ikut...
TRANSCRIPT
6
TINJAUAN PUSTAKA
Partisipasi
Partisipasi masyarakat (Community participation) adalah suatu bentuk
interaksi sosial yang menjadi perhatian dan bahan kajian sosiologi dan beberapa
disiplin ilmu lain. Sebagai suatu istilah, partisipasi mempunyai berbagai
pengertian dan batasan. Dusseldorp (1981) yang dikutip oleh Saardi (2000)
menyatakan bahwa partisipasi di tingkat masyarakat perdesaan adalah bentuk
interaksi dan komunikasi khas, yaitu berbagi dalam kekuasaan dan tanggung
jawab. Selanjutnya dikatakan bahwa partisipasi sebagai pengambilan bagian
dalam kegiatan bersama (taking part in joint action).
Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan. Partisipasi
tidak hanya sebatas keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
secara fisik tetapi juga keterlibatan secara kejiwaan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Swasono (1995) bahwa partisipasi tidaklah hanya pada tahap
pelaksanaan pembangunan saja, tetapi meliputi seluruh spektrum pembangunan
tersebut yang dimulai dari tahap menggagas rencana kegiatan hingga memberikan
umpan balik terhadap gagasan rencana yang telah dilaksanakan.
Budiono (2002) menyatakan terdapat beberapa unsur penting yang
merupakan eksistensi dari partisipasi, yaitu: (1) dalam partisipasi terdapat unsur
keterlibatan mental dan emosional individu yang berpartisipasi; (2) dalam
partisipasi terdapat unsur ketersediaan memberikan kontribusi atau sumbangan
untuk mencapai tujuan bersama, dan dilakukan secara suka rela; (3) dalam
partisipasi diikuti oleh rasa tanggung jawab terhadap kegiatan yang dilakukan
dalam usaha mencapai tujuan bersama; dan (4) tingkat partisipasi ditentukan oleh
kadar keterlibatan masyarakat untuk menentukan segala sesuatu sendiri, tidak
ditentukan oleh pihak lain.
Partisipasi dalam lingkup sosial dan masyarakat adalah pengembangan
sejumlah metode partisipasi yang lebih luas untuk penilaian, perencanaan,
pemantauan, pelatihan dan pembangunan kesadaran. Tekanannya lebih pada
pentingnya partisipasi bukan saja agar pihak lain bertanggung gugat tidak sekedar
memberikan laporan tetapi juga menyertakan pembuktian atas segala sesuatu yang
7
dikerjakan. Partisipasi juga merupakan suatu proses pengembangan diri, mulai
dari artikulasi kebutuhan tingkat bawah dan prioritasnya, serta membangun
bentuk organisasi rakyat. Partisipasi mencakup bidang pengetahuan dan tindakan
langsung, bukan sekadar perwakilan dan pertanggunggugatan (akuntabilitas),
(Rosni, 2003).
Pengertian partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1977) adalah keterlibatan
aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan
dilakukan dan bagaimana cara kerjanya, keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan program dan pengambilan keputusan yang telah ditetapkan melalui
sumbangan sumberdaya atau bekerja sama dalam suatu organisasi, keterlibatan
masyarakat menikmati manfaat dari pembangunan serta dalam evaluasi
pelaksanaan program.
Definisi di atas mengacu pada pengertian partisipasi sebagai keterlibatan
aktif masyarakat pada 4 (empat) tahap kegiatan yang dimulai dari tahap proses
pengambilan keputusan tentang rencana kegiatan, tahap pelaksanaan kegiatan,
tahap menikmati hasil, dan tahap evaluasi pelaksanaan kegiatan. Biasanya
keterlibatan aktif masyarakat dalam bentuk keterlibatan fisik, material dan sikap
(Cohen dan Uphoff, 1977).
Partisipasi dalam tahap pengambilan keputusan/perencanaan dibedakan atas
3 (tiga) kegiatan yakni: (1) pada saat penentuan keputusan awal mengenai
kegiatan dengan memperhatikan keperluan dan prioritas kegiatan yang akan
dikerjakan; (2) ikut serta secara terus menerus dalam setiap proses pengambilan
keputusan; serta (3) ikut serta dalam merumuskan keputusan mengenai rencana
kerja. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan dibedakan dalam 3 (tiga) kegiatan
yakni: (1) sumbangan sumberdaya yang berupa sumbangan tenaga dengan ikut
bekerja dalam program, sumbangan materi dan atau informasi, (2) terlibat dalam
kegiatan administrasi dan koordinasi, serta (3) ikut serta sebagai peserta dari
program yang dilaksanakan. Partisipasi dalam tahap evaluasi merupakan tahap
yang penting bagi para pengambil keputusan untuk memperoleh masukan
mengenai pelaksanaan program. Partisipasi dalam tahap menikmati manfaat
mencakup: (1) keuntungan materiil yang berupa meningkatnya pendapatan dan
konsumsi, baik dalam bentuk jumlah maupun distribusinya merata, (2)
8
keuntungan sosial antara lain meningkatnya pendidikan dan terberantasnya buta
huruf; (3) keuntungan perorangan, antara lain berupa kemampuan status sosial
seseorang serta meningkatnya kekuasaan politik (Cohen dan Uphoff, 1977).
Selain tahap partisipasi, terdapat pula tiga dimensi partisipasi yang harus
diperhatikan antara lain (1) bentuk partisipasi apa yang dilakukan (What), (2)
siapa yang terlibat dalam kegiatan partisipasi (who), dan (3) bagaimana partisipasi
itu berlangsung (How) (Cohen dan Uphoff, 1977). Menurut Dusseldorp seperti
yang dikutip oleh Slamet (1993), partisipasi dapat diklasifikasikan berdasarkan
sembilan dasar yang terpisah satu sama lainnya yaitu (1) partisipasi berdasarkan
derajat kesukarelaan yang terbagi atas partisipasi bebas dan partisipasi terpaksa,
(2) partisipasi berdasarkan cara keterlibatan yang terbagi atas partisipasi langsung
dan partisipasi tidak langsung, (3) partisipasi berdasarkan keterlibatan di dalam
berbagai tahap dalam proses pembangunan terencana, terdiri atas enam langkah
yaitu perumusan tujuan, penelitian, persiapan rencana, penerimaan rencana,
pelaksanaan dan penilaian, (4) partisipasi berdasarkan tingkatan organisasi,
terbagi atas partisipasi yang terorganisasi dan partisipasi yang tidak terorganisasi,
(5) partisipasi berdasarkan intensitas dan frekuensi kegiatan, (6) partisipasi
berdasarkan lingkup liputan kegiatan, terbagi atas partisipasi tidak terbatas, dan
partisipasi terbatas, (7) partisipasi berdasarkan efektifitas, terbagi atas partisipasi
efektif dan partisipasi tidak efektif, (8) partisipasi berdasarkan siapa yang terlibat.
Partisipasi dalam pembangunan dapat diartikan sebagai ikut sertanya
masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan dan ikut serta
dalam memanfaatkan hasil, serta menikmati hasil-hasil pembangunan yang nyata.
Partisipasi masyarakat sangat mutlak demi berhasilnya pembangunan. Slamet
(1993) menyatakan bahwa, berdasarkan pengertian tentang partisipasi dalam
pembangunan, maka partisipasi dalam pembangunan dapat dibagi menjadi 5
(lima) jenis:
1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input
tersebut dan ikut menikmati hasilnya.
2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya
3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil
pembangunan secara langsung.
9
4. Menikmati /memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input.
5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya
Tanpa partisipasi masyarakat, setiap pembangunan dinilai tidak berhasil. Oleh
karena itu penting sekali untuk memikirkan dan mengusahakan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Meningkatkan partisipasi masyarakat harus dilakukan dengan cara
meningkatkan keterlibatan warga secara langsung dalam pengambilan keputusan
oleh perseorangan atau kelompok dalam suatu kegiatan. Peningkatan partisipasi
masyarakat tidak hanya berhenti pada tahap perumusan rencana dan pelaksanaan
program, tetapi juga menyangkut aspek pengambilan keputusan. Perluasan
partisipasi masyarakat merupakan bagian dari pendekatan pembangunan yang
mencakup peningkatan kepribadian atau kualitas manusia baik perorangan
maupun masyarakat. Masyarakat memiliki identitas yang kolektif sifatnya. Oleh
karena itu pembangunan masyarakat harus mencakup pembangunan kolektif
(Oepen, 1988)
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
khususnya di wilayah perdesaan adalah dengan mengelola secara komprehensif
kesempatan, kemampuan dan kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan sesuai dengan potensi dan kondisi perdesaan yang bersangkutan.
Kemampuan seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, keterampilan dan
juga sikap mental. Pengetahuan dan pengertian tentang pembangunan sampai
pada seluk beluk pelaksanaannya sangat perlu bagi masyarakat sehingga mereka
dapat cepat tanggap terhadap kesempatan yang ada. Pengetahuan tentang adanya
potensi di lingkungannya yang dapat dikembangkan atau dibangun sangat penting
artinya. Demikian pula pengetahuan dan keterampilan tentang teknologi tepat
guna yang dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan sumberdaya alam yang
ada untuk dipadukan dengan berbagai sarana produksi lain sangat penting bagi
keberhasilan masyarakat yang membangun. Keterbelakangan bangsa kita antara
lain karena kekurangan pada bidang ini. Ditambah lagi dengan sikap mental yang
sering kurang sesuai dengan tuntutan pembangunan. Masyarakat sering masih
bersikap tradisional, sulit untuk diajak berpikir dan bertindak yang berbeda
dengan tradisi yang sudah dimilikinya selama ini. Oleh karena itu, kemampuan
10
adaptif masyarakat dalam menerima inovasi untuk meningkatkan akselerasi
pembangunan di wilayah perdesaan perlu ditingkatkan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan,
menurut Tjokroamidjojo (1991), terdapat 2 (dua) cara yang dapat ditempuh yaitu
memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat yang serasi untuk kepentingan-
kepentingan pencapaian tujuan pembangunan dan meningkatkan oto-aktivitas,
swadaya dan swakarya masyarakat sendiri sehingga masyarakat menjadi dewasa
untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, partisipasi
bukanlah sekedar suatu keikutsertaan kelompok-kelompok tertentu saja atau
kelompok-kelompok status sosial ekonomi tinggi sebagai perencana dan
kelompok-kelompok status ekonomi rendah sebagai pelaksana kegiatan
pembangunan. Partisipasi harus dapat mengikutsertakan seluruh anggota
masyarakat untuk aktif melakukan hak dan kewajibannya sebagai partisipan, tidak
ada aktivitas ekslusif dan tidak ada pula penonton pasif, seluruh anggota
masyarakat berperan secara produktif. Sihombing (1980) mempertegas bahwa
pengertian partisipasi berakar pada pemahaman bahwa setiap makhluk yang
disebut manusia adalah pemilik dan ahli waris yang sah dari dunia (alam), dengan
demikian partisipasi merupakan hak dasar manusia untuk mengobyektivikasikan,
mengeluarkan dan menyatakan dirinya melalui upaya mengerjakan alam
(memanusiawikan).
Lebih lanjut Saardi (2000) mengemukakan 5 (lima) hal yang menentukan
kelengkapan partisipasi masyarakat yaitu:
1. adanya aliran informasi: yang menggambarkan aliran informasi timbal balik
dari masyarakat yang disampaikan ke masyarakat melalui lembaga atau tokoh
masyarakat,
2. konsultasi: masyarakat dilibatkan untuk berkonsultasi mengenai isu penting
dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program,
3. keputusan: masyarakat atau tokoh-tokoh masyarakat termasuk dari golongan
sasaran program, terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan
mengontrol jalannya program,
11
4. inisiatif: tidak semua ide-ide dan perencanaan datang dari luar, tetapi
masyarakat memiliki kebebasan untuk mengambil inisiatif dalam
mengidentifikasi kebutuhan dan strategi dalam pelaksanaan program dan,
5. evaluasi: masyarakat ikut mengevalusi rencana dan pelaksanaan program.
Sejalan dengan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat sebagai partisipan
aktif, Sihombing (1980) mengemukakan bahwa partisipasi dalam konteks
pembangunan yang memerdekakan manusia, bukan semata-mata berdasarkan
”kebaikan hati” para elite pengambil keputusan, akan tetapi partisipasi adalah hak
dasar yang sah dari umat manusia untuk turut serta merencanakan, melaksanakan
dan mengendalikan pembangunan yang menjanjikan harapan pemerdekaan
dirinya itu. Dengan demikian, melalui kegiatan partisipasi terjadi perubahan
struktur sosial, politik dan ekonomi. Tjokroamidjojo (1991) mengemukakan
bahwa keberhasilan keterlibatan aktif masyarakat tergantung apabila rencana
pembangunan itu berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
Konsepsi tentang partisipasi, dapat dikemukakan bahwa timbulnya
partisipasi akibat adanya ekspresi perwujudan perilaku mental seseorang, dimana
ekspresi perilaku tersebut timbul karena adanya kemampuan dan kemauan petani
untuk berpartisipasi serta adanya kesempatan untuk menunjukkan kemampuan
dan kemauan tersebut (Dorojatin, 1990). Krech et al. (1962) mengemukakan
bahwa perilaku interpersonal merupakan awal timbulnya keinginan sebagai
partisipan.
Anwar (2007) mengemukakan bahwa partisipasi petani timbul dari
kepincangan-kepincangan struktural yang terdapat di dalam sistem sosial, yakni
kepincangan antara kemampuan untuk menyerap informasi dan kesempatan yang
diharapkan untuk menggunakan informasi. Kepincangan itu dapat timbul dengan
bermacam-macam cara antara lain, (1) kemampuan untuk menyerap bertambah
akan tetapi kesempatan untuk menerapkan tidak ada, (2) kemampuan dan
kesempatan itu kedua-duanya bertambah, tetapi bertambahnya kemampuan lebih
cepat daripada bertambahnya kesempatan, dan (3) kemampuan bertambah,
sedangkan bersamaan dengan itu kesempatan berkurang.
Beberapa hal yang merupakan eksistensi suatu partisipasi yang penting
seperti dikemukakan oleh Holle (2000), sebagai berikut:
12
(1) Pada partisipasi terdapat adanya keterlibatan mental dan emosional dari
seseorang yang berpartisipasi
(2) Pada partisipasi terdapat adanya kesediaan dari seseorang untuk memberi
kontribusi, memberikan suatu aktivitas, kegiatan-kegiatan untuk mencapai
tujuan
(3) Suatu partisipasi menyangkut kegiatan-kegiatan dalam suatu kehidupan
kelompok atau suatu komunitas dalam masyarakat
(4) Pada partisipasi akan diikuti oleh adanya rasa tanggung jawab terhadap
aktivitas yang dilakukan seseorang
(5) Pada partisipasi terkandung di dalamnya bahwa ada hal yang akan
menguntungkan individu, artinya menyangkut adanya pemuasan akan
tercapai suatu tujuan bagi dirinya.
Lebih lanjut Holle (2000), mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam
pembangunan bukan hanya berarti pengerahan tenaga rakyat secara sukarela,
tetapi justru yang lebih penting adalah tergeraknya rakyat untuk mau
memanfaatkan kesempatan-kesempatan memperbaiki kualitas hidup sendiri.
Guna mencapai hal-hal tersebut, maka rakyat perlu mengalami suatu proses
belajar agar mampu mengetahui kesempatan-kesempatan yang ada untuk
peningkatan kualitas hidupnya.
Meningkatkan partisipasi masyarakat harus dilakukan dengan cara
meningkatkan keterlibatan warga secara langsung dalam pengambilan keputusan
dalam suatu kegiatan. Perluasan partisipasi masyarakat merupakan bagian dari
pendekatan pembangunan yang mencakup peningkatan kepribadian atau kualitas
manusia baik perorangan maupun masyarakat. Masyarakat memiliki identitas
yang kolektif sifatnya. Oleh karena itu pembangunan masyarakat harus mencakup
pembangunan secara kolektif (Oepen, 1988).
Berbagai uraian macam dan jenis partisipasi maka dapat dikatakan bahwa
partisipasi seseorang dapat dilakukan pada semua aspek dari suatu proses
kegiatan, mulai dari perencanaan hingga pemanfaatan hasil yang dicapai dari
suatu pelaksanaan kegiatan. Jika seseorang sejak awal dilibatkan secara penuh
dalam suatu kegiatan maka dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan
13
tanggung jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang
dilaksanakan.
Wanita tani sebagai salah satu bagian integral dalam konstelasi
pembangunan di perdesaan memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Peran aktif wanita tani tidak hanya sebagai
ibu rumah tangga tetapi juga dalam perolehan pendapatan rumah tangga melalui
kegiatan usahatani, pengolahan, penyediaan kebutuhan pangan dan kegiatan
lainnya. Partisipasi wanita dalam aktivitas ekonomi dan sekaligus aktivitas rumah
tangga hubungannya dengan usaha tani di perdesaan merupakan salah satu hal
menarik yang perlu diteliti lebih mendalam. Sejalan dengan hal tersebut, maka
penelitian ini akan mengkaji partisipasi wanita tani khususnya dalam kegiatan
usahatani kakao.
Faktor-Faktor yang berhubungan dengan partisipasi
Timbulnya partisipasi merupakan ekspresi perilaku manusia untuk
melakukan suatu tindakan, di mana perwujudan dari perilaku tersebut didorong
oleh adanya tiga faktor utama yang mendukungnya yaitu (1) kemauan, (2)
kemampuan, dan (3) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
(Dorodjatin, 1990).
Hasil penelitian Dorojatin (1990) menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua)
faktor yang dominan berhubungan dengan partisipasi, yaitu faktor dalam diri
individu (internal), dan faktor di luar individu (eksternal). Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Abdussamad (1991) bahwa untuk berperilaku tertentu minimal
ada dua hal yang mendukung dalam berpartisipasi yaitu pertama, adanya unsur
yang bersumber dari diri seseorang yang mendorong untuk berperilaku tertentu,
dan kedua, terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan untuk berperilaku
tertentu.
Faktor Internal Wanita Tani
Rakhmat (2001) menyatakan faktor internal individu merupakan ciri-ciri
yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan
dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor biologis dan
sosiopsikologis. Karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting
14
untuk diketahui dalam rangka mengetahui suatu prilaku dalam masyarakat.
Karakteristik individu yang merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang
berhubungan dengan semua aspek dan lingkungan seseorang.
Umur
Umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh
umur, adalah faktor psikologis. Kemampuan belajar seseorang berkembang
secara gradual semenjak lahir sampai menjadi dewasa. Asumsi ini dapat
diketahui bahwa anak berusia lebih tua, akan belajar lebih cepat dan berhasil
mempertahankan retensi dalam jumlah besar bila dibandingkan dengan anak yang
berusia lebih muda. Kemampuan belajar seseorangpun akan berkurang secara
gradual dan terasa sangat nyata setelah berumur 55 atau 60 tahun
(Padmowihardjo, 1994).
Umur seseorang berkaitan dengan kemampuannya dalam proses belajar dan
atau mengajar yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas kerjanya dalam
berusaha. Menurut Mappiare (1983) terdapat kecenderungan bagi perempuan
yang berusia tiga puluh lima tahun ke atas untuk lebih memantapkan dirinya
dalam bekerja, alasannya berkenaan dengan semakin tingginya biaya hidup yang
perlu dikeluarkan.
Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menghasilkan
perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Perubahan perilaku yang
disebabkan oleh kegiatan pendidikan biasanya berupa: (1) perubahan dalam
pengetahuan atau hal yang diketahui; (2) perubahan dalam keterampilan atau
kebiasaan dalam melakukan sesuatu; dan (3) perubahan dalam sikap mental atau
segala sesuatu yang dirasakan.
Pendidikan merupakan suatu faktor penting bagi kehidupan manusia.
Seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
sangat berguna bagi diri dan kehidupannya maupun bagi pelaksanaan tugasnya
sehari-hari. Pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir, cara merasa dan cara
bertindak. Saharuddin (1987) mengatakan, bahwa tingkat pendidikan seseorang
mempunyai pengaruh pada partisipasi pada tingkat perencanaan. Oleh karena itu
15
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan semakin baik pula
cara berpikir dan cara bertindaknya.
Mosher (1987) menyatakan pendidikan formal mempercepat proses belajar,
memberikan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan-keterampilan yang
diperlukan masyarakat. Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa pendidikan
berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas, menampilkan individu
yang memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif, mandiri, dan profesional dalam
bidangnya masing-masing. Hernanto (1993) menyatakan rendahnya tingkat
pendidikan akan berpengaruh kepada rendahnya adopsi teknologi. Tingkat
pendidikan merupakan salah satu tolok ukur kualitas sumberdaya manusia.
Tingkat pendidikan yang relatif tinggi akan mendorong tumbuhnya pola pikir dan
kreatifitas yang mampu menangkap peluang atau kesempatan berusaha.
Masyarakat sebagai manusia yang rasional sebelum memutuskan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan, didahului oleh masa belajar dan menilai
manakala partisipasi itu mendatangkan manfaat bagi dirinya. Jika bermanfaat,
maka akan berpartisipasi, dan sebaliknya jika tidak bermanfaat maka masyarakat
tidak bergerak untuk berpartisipasi.
Besarnya Jumlah Keluarga
Besar kecilnya jumlah keluarga mempunyai kaitan erat dengan upaya untuk
memperoleh pendapatan dalam keluarga, sehingga dapat menyebabkan besarnya
biaya yang harus dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga
tersebut. Sajogyo (1984) mengemukakan, peningkatan pendapatan yang
diperoleh dari perempuan yang bekerja sangat diperlukan untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarganya terlebih bagi yang mempunyai jumlah tanggungan dan
beban keluarga yang tidak sedikit. Pandangan yang disampaikan Surtiyah (1990)
menyatakan bahwa bagi perempuan miskin yang mempunyai anggota keluarga
yang besar umumnya mempunyai semangat kerja yang tinggi.
Pengalaman Berusahatani
Osipow (1983), mengemukakan bahwa selain faktor kebutuhan, faktor
pengalaman juga mempengaruhi dalam pemilihan kerja. Seseorang yang
berinteraksi seumur hidupnya dengan lingkungannya akan mendapatkan
16
pengalaman yang merupakan pengetahuan, keterampilan dan pengertian tentang
sesuatu yang telah terjadi.
Beberapa ahli pertanian berkeyakinan bahwa pada masa lalu wanitalah yang
pertama kali membudidayakan tanaman dan merintis ilmu seni bertani
(Departemen Pertanian, 1991). Pengalaman wanita tani dalam bercocok tanam
kebanyakan diperoleh secara empirik berasal dari warisan turun-temurun,
sehingga mereka sudah mengetahui keterampilan dasar yang diperlukan dalam
berusahatani. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan stimulus
meningkatnya pengetahuan, sikap dan keterampilan wanita tani yang diperlukan
dalam berusahatani. Semakin cocok pengalaman wanita tani dengan peristiwa
yang dialami di masa lampau, akan semakin mempermudah baginya untuk
mengerti dan memahami stimulus tersebut. Pengalaman berusaha tani yang
dimiliki oleh wanita tani berpengaruh dalam penglolaaan usahatani. Hal ini secara
tidak langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan, sehingga petani
yang memiliki pengalaman berusahatani lebih lama cenderung sangat efektif
dalam proses pengambilan keputusan (Mardikanto, 1996).
Motivasi Berusahatani
Motivasi terdiri atas kata ‘motif’ yang berarti dorongan dan ‘asi’ berarti
usaha. Motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan
dorongan untuk berbuat atau melakukan suatu tindakan (Padmowiharjo, 1994).
Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melaksanakan
sesuatu. Daya atau kekuatan tersebut dapat berupa pemenuhan akan kebutuhan
biologis, seperti kebutuhan makan, istirahat, atau kebutuhan untuk berkuasa.
Handoko (1995) mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu tenaga atau faktor
yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, menggerakkan dan
mengorganisasikan tingkah lakunya. Tingkah laku manusia disebabkan oleh
adanya kebutuhan dan dorongan tertentu. Dengan adanya kebutuhan dan
dorongan ini seseorang akan merasa siap untuk melakukan suatu perilaku tertentu.
Jika keadaan siap mengarah kepada suatu kegiatan konkrit disebut sebagai motif.
Selanjutnya usaha untuk menggiatkan motif-motif tersebut menjadi tingkah laku
konkrit disebut dengan tingkah laku bermotivasi. Motivasi merupakan keadaan
17
dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.
Motivasi terdiri atas dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi
ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri
seseorang, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan dari luar diri seseorang
sehingga melakukan sesuatu hal. Motivasi seseorang akan muncul jika ia
memiliki keinginan. Keinginan tersebut muncul melalui proses yang diterima
seseorang dan dipengaruhi oleh kepribadian, sikap, pengalaman dan harapan.
Segala sesuatu yang diperoleh seseorang akan diberi arti menurut minat dan
keinginannya. Motivasi yang demikian bersumber pada faktor psikologis manusia
yang menyangkut emosi dan perasaan.
Maslow seperti dikutip Wahjosumidjo (1984) dalam bukunya “Motivation
dan Personality” mengungkapkan lima jenjang kebutuhan pokok manusia: (1)
kebutuhan mempertahankan hidup, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan
sosial, (4) kebutuhan akan penghargaan, dan (5) kebutuhan mempertinggi
kapasitas kerja.
Aspirasi
Aspirasi merupakan tingkat perwujudan ataupun pencapaian sesuatu di masa
yang akan datang yang menentukan dan mempolakan usaha-usaha seseorang
untuk mencapai hal tersebut. Adanya aspirasi, akan menentukan dan mempolakan
petani untuk melakukan usaha-usaha untuk mencapai aspirasi tersebut. Dengan
demikian akan semakin tinggi pula kemauan petani untuk ikut berpartisipasi.
Sifat Kekosmopolitan
Mardikanto (1996) menyatakan sifat kekosmopolitan adalah tingkat
hubungannya “dunia luar” di luar sistem sosialnya sendiri. Sifat kekosmopolitan
dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan
media massa. Bagi warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi
inovasi dapat berlangsung cepat. Bagi warga yang lebih “lokalit” (tertutup,
terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan
berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk
18
hidup lebih “baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar
sistem sosialnya sendiri.
Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang
membedakan mereka dari orang-orang lain di dalam komunitasnya, yaitu
memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang lebih tinggi, lebih
banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih banyak menggunakan media massa
dan memiliki hubungan lebih banyak dengan orang lain maupun lembaga yang
berada di luar komunitasnya. Sifat kosmopolit mencakup pengertian tentang
keterbukaan wanita tani terhadap inovasi atau informasi dari luar. Keterbukaan ini
akan berdampak bagi pengembangan usahatani yang berimplikasi bertambahnya
pengetahuan, perubahan sikap dan peningkatan keterampilan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kemampuan wanita tani dalam menghadapi permasalahan
yang timbul dalam usahatani kakao.
Haji (1991) seperti yang dikutip Belem (2002), mengatakan faktor
kosmopolit berpengaruh terhadap perilaku wanita dalam bentuk adopsi inovasi.
Hal ini berarti bahwa semakin banyak wanita tani melakukan komunikasi dan
berhubungan dengan pihak luar dapat menambah kemampuan wanita tani dalam
pengambilan keputusan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi dalam
kegiatan usahatani kakao. Sumber informasi yang diperlukan tentunya dari pihak
luar yang dianggap lebih memahami permasalahan yang dihadapi.
Dalam hal hubungan antara aktivitas komunikasi dengan berbagai sumber
informasi (sifat kekosmopolitan), Asngari (1984) mengemukakan bahwa kegiatan
tersebut akan menyebabkan individu membentuk persepsi yang dimulai dengan
pemilihan, kemudian menyusun menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya
menginterpretasikan dalam bentuk perilaku dan tindakan. Dengan demikian, sifat
kosmopolit merupakan suatu proses awal yang mampu menggerakkan daya pikir
seseorang untuk memahami hasil hubungan yang terjadi dan untuk selanjutnya
dicerna serta diwujudkan dalam bentuk perubahan perilaku ke arah yang lebih
baik dan menguntungkan bagi pribadi yang bersangkutan.
Apabila suatu masyarakat memiliki sifat kosmopolit yang terbuka dalam
sistem sosialnya maka masyarakat tersebut cenderung lebih cepat mengalami
perubahan. Demikan pula sebaliknya, apabila masyarakat tersebut tertutup atau
19
hanya bersifat lokalit saja maka perubahan ke arah yang lebih maju akan
terlambat atau terhambat. Sifat kekosmopolitan diduga mempengaruhi wanita
tani dalam pengembangan usahatani kakao.
Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan selalu terjadi dalam setiap gerak kehidupan nyata
pada setiap individu atau organisasi. Pengambilan keputusan diartikan sebagai
aktivitas pemilihan di antara sejumlah kemungkinan untuk menyelesaikan suatu
masalah, pertentangan atau kebimbangan. Pengambilan keputusan adalah suatu
proses memilih dan menetapkan alternatif yang tepat untuk suatu tindakan yang
diinginkan. Proses ini melibatkan pertimbangan rasional, aspek psikologis, dan
sosial budaya (Martianto et al. 1993). Persoalan pengambilan keputusan pada
dasarnya adalah bentuk pemilihan dari berbagai alternatif tindakan yang mungkin
dipilih dan prosesnya melalui mekanisme tertentu, dengan harapan akan
menghasilkan sebuah keputusan yang terbaik.
Keputusan yang diambil biasanya dilakukan berdasarkan pertimbangan
situasional, bahwa keputusan tersebut adalah keputusan terbaik. Keputusan dapat
dilihat dalam kaitannya dengan proses yang lebih dinamis yaitu pengambilan
keputusan. Keputusan merupakan sebuah kesimpulan yang dicapai setelah
melakukan pertimbangan dan terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara
yang lain dikesampingkan. Pertimbangan adalah proses menganalisis beberapa
kemungkinan atau alternatif kemudian memilih satu di antaranya.
Sajogyo (1984) mengemukakan bahwa untuk menganalisis peranan wanita
dalam pengambilan keputusan di rumah tangga dengan cara mengelompokkan
pengambilan keputusan pada lima tingkatan dimulai dari dominasi oleh isteri
(keputusan yang dibuat oleh isteri sendiri) sampai dominasi oleh suami
(keputusan yang diambil oleh suami sendiri) sebagai berikut:
1). Keputusan dibuat oleh isteri seorang diri tanpa melibatkan suami,
2). Keputusan dibuat bersama oleh suami isteri dengan pengaruh lebih besar dari
isteri
3). Keputusan dibuat bersama oleh suami isteri tanpa salah satu mempunyai
pengaruh yang lebih besar
20
4). Keputusan dibuat bersama oleh suami isteri tetapi dengan pengaruh suami
lebih besar
5). Keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan isteri.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh suami dan isteri diharapkan dapat
menggambarkan adanya dominasi relatif dari pria dan wanita dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan kegiatan meningkatkan taraf hidup rumah
tangga.
Perbedaan dalam pengambilan keputusan tersebut mencerminkan distribusi
dan alokasi kekuasaan dalam rumah tangga, menurut pandangan Blood dan Wolfe
(Sajogyo, 1983) ditentukan oleh struktur keluarga dan faktor sumberdaya pribadi
suami isteri yang diperoleh dalam keluarga inti masing-masing. Aspek yang
paling penting dalam struktur keluarga adalah posisi anggota keluarga karena
distribusi dan alokasi kekuasaan. Aspek berikutnya yang juga penting adalah
pembagian kerja dalam keluarga (Sajogyo, 1981).
Kekuasaan yang dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengambil
keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga itu bisa tersebar dengan sama
nilainya atau tidak sama nilainya, khususnya antara suami dan isteri (Sajogyo,
1983). Pembagian kerja menunjuk kepada pola peranan yang ada dalam keluarga
dimana khususnya suami dan isteri melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Kombinasi kekuasaan dan pembagian kerja menurut Blood dan Wolfe adalah hal
yang paling mendasar dalam keluarga, dan dipengaruhi pula oleh posisi keluarga
dalam lingkungan dan masyarakatnya.
Peranan wanita dapat dianalisis dari alokasi kekuasaan yang ada antara
suami dan isteri dalam keluarganya dengan mengukur pola pengambilan
keputusan mereka. Peranan wanita dapat pula dianalisis dari pembagian kerja
yang ada dalam keluarga terutama dari diferensiasi peranannya. Hal ini dapat
diketahui dalam mengukur penggunaan waktu dalam berbagai kegiatan baik di
dalam maupun di luar rumahtangga.
Alokasi Waktu
Munculnya pembagian kerja bukan merupakan hal yang hanya terjadi
karena konstruksi budaya, tetapi terkait dengan proses kapitalisasi di perdesaan.
Pembagian kerja yang berlangsung selama ini masih menempatkan laki-laki
21
sebagai pencari nafkah dan mengalokasikan waktunya untuk bekerja di ranah
produktif. Sedangkan perempuan, selain bekerja di ranah produktif yang dari sisi
waktu tidak jauh berbeda dari laki-laki memiliki beban untuk mengerjakan tugas
domestik atau reproduktif. Ditambah lagi dengan kegiatan sosial di komunitas
yang merupakan bagian dari tugas pengelolaan komunitas. Pembagian kerja
mencerminkan beban kerja perempuan di ranah domestik tidak terbagi cukup adil
di antara anggota keluarga lainnya sehingga seolah-olah tanggung jawab tugas
domestik diletakkan hanya di punggung perempuan. Kegiatan produktif yang
dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki dapat digantikan oleh orang lain yang
diupah, tetapi tugas domestik yang menjadi tugas perempuan tidak dapat
sepenuhnya dialihkan pada pihak lain. Pembagian kerja erat kaitannya dengan
strategi bertahan dan pola pemenuhan kebutuhan usaha dan keluarga.
Diversifikasi usaha yang dilakukan di desa merupakan satu keharusan bagi
setiap rumah tangga produsen karena pendapatan sering kali tidak mencukupi
kebutuhan minimum. Dewayanti et al. (2004) menyatakan pola pembagian kerja
dalam keluarga sangat terkait dengan variasi diversifikasi sumber pendapatan
yang dilakukan oleh sebuah keluarga. Jika kebutuhan keluarga tidak terlalu besar
dan masih dapat dipenuhi melalui usaha utama, hasil dari usaha sampingan
biasanya ditabung dan hanya digunakan untuk membiayai kebutuhan mendadak
dan terencana yang membutuhkan biaya besar, seperti pendidikan anak ke tingkat
yang lebih tinggi atau mengadakan selamatan.
Curahan waktu yang tersedia pada wanita tani merupakan faktor yang
berhubungan dengan tingkat partisipasi wanita tani. Besarnya curahan waktu
yang tersedia bagi setiap wanita tani dalam pengelolaan usahatani berbeda-beda di
tiap-tiap daerah. Evenson (1978) dalam Belem (2002) mengemukakan dalam
kerangka ekonomi keluarga, waktu dan anggota keluarga merupakan sumberdaya
dan faktor produksi. Bagi keluarga miskin, waktu merupakan sumberdaya yang
sangat penting yang akan dialokasikan untuk berbagai kegiatan dengan cara
sedemikian rupa sehingga dapat meminimumkan biaya produksi kebutuhan
keluarga. Makin rendah ekonomi keluarga petani, makin besar curahan waktu
yang digunakan wanita untuk memperoleh penghasilan. Jika dihubungkan dengan
pola pembagian kerja keluarga nampak jelas sumbangan masing-masing anggota
22
keluarga dalam mencurahkan alokasi waktunya. Hal ini dapat mempengaruhi
tingkat partisipasi wanita tani dalam pengambilan keputusan berusahatani.
King (1976) seperti yang dikutip Suandi (2001) mengemukakan bahwa
sesuai dengan peranannya, pembagian alokasi waktu wanita dalam rumah tangga
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu pertama, waktu untuk bekerja
produktif di pasar kerja (mencari nafkah); kedua, waktu untuk bekerja produktif di
rumah tangga; ketiga, waktu untuk konsumsi lainnya seperti: waktu untuk
kebutuhan fisiologis dan rekreasi
Peran domestik disebut juga dengan peran reproduktif yaitu peran yang
dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan
sumberdaya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak,
memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika,
membersihkan rumah, dan lain-lain.
Menurut kondisi normatif, pria dan wanita mempunyai status atau
kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang sama, akan tetapi menurut
kondisi objektif, wanita mengalami ketertinggalan yang lebih besar daripada pria
dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak
lain disebabkan oleh norma sosial dan nilai sosial budaya yang masih berlaku di
masyarakat. Norma sosial dan nilai sosial budaya tersebut, di satu pihak
menciptakan status dan peranan wanita di sektor domestik yakni berstatus ibu
rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, di lain pihak
menciptakan status dan peranan pria di sektor publik yakni sebagai kepala
keluarga atau rumah tangga dan pencari nafkah.
Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang menyangkut
pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun
untuk diperdagangkan. Kerja produktif yang dilakukan oleh wanita akan
berpengaruh terhadap sumbangan pendapatan keluarga. Semakin tinggi
pendapatan keluarga, semakin terwujud dan terbentuk keluarga sejahtera yang
bahagia.
Faktor Eksternal
Rakhmat (2001) mengemukakan bahwa faktor eksternal individu merupakan
ciri-ciri yang dapat menekan seseorang yang berasal dari luar dirinya. Faktor
23
eksternal individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui
dalam rangka mengetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha.
Budaya/Sistem nilai
Koentjaraningrat seperti dikutip oleh Nurjanah (1999) menyatakan sistem
nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, terdiri atas
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam
hidup. Oleh karena itu, sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia. Lebih lanjut dikatakan bahwa sikap mental atau
attitude diartikan sebagai suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan
diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan
manusia atau masyarakatnya, lingkungan alamiahnya.
Perilaku merupakan bentuk kebudayaan sebagai perwujudan aktifitas serta
tindakan berpola dari manusia dan masyarakatnya. Pada wujud lainnya,
kebudayaan terbentuk sebagai sistem nilai budaya atau orientasi nilai budaya.
Kebudayaan pada bentuk ini merupakan suatu kompleksitas dari ide, gagasan-
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Orientasi nilai
budaya (sikap mental) yang akan menjadi unsur pengatur, pengendali dari
perbuatan akan berpengaruh pada penciptaan karya-karya fisik.
Budaya yaitu nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dan merupakan
salah satu faktor yang mengakibatkan berpartisipasi atau tidaknya masyarakat
dalam pembangunan. Adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional
statis dan tertutup terhadap suatu perubahan dapat menyebabkan masyarakat tidak
berpartisipasi. Hal ini terjadi karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat
yang akan berimplikasi pada rendahnya kemampuan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan.
Norma dan nilai sosial budaya, di satu pihak menciptakan status dan peranan
wanita di sektor domestik yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan
melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, di lain pihak menciptakan status
dan peranan pria di sektor publik yakni sebagai kepala keluarga atau rumah
tangga dan pencari nafkah. White dan Hastuti (1980), mengemukakan bahwa
dalam sistem kekerabatan patrilineal, terdapat adat dalam perkawinan
24
(pernikahan) yang biasanya wanita (istri) mengikuti pria (suami) atau tinggal di
pihak kerabat suami. Pola adat seperti itu merupakan salah satu faktor yang secara
relatif cenderung mempengaruhi status dan peranan wanita, yakni status dan
peranan wanita menjadi lebih rendah daripada pria. Proses partisipasi wanita
dalam usahatani kakao dipengaruhi oleh budaya masyarakat di mana rumah
tangga itu berada.
Ketersediaan Tenaga Kerja
Ketersediaan tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang
dibutuhkan guna menghasilkan produksi yang optimal. Ketersediaan tenaga kerja
dalam usahatani bisa bersumber dari: (1) dalam keluarga, dan (2) luar keluarga.
Tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga biasanya merupakan tenaga-tenaga
kerja yang tidak dibayar secara upah dan terdiri atas tenaga ayah, ibu dan anak-
anak serta beberapa kerabat terdekat dalam keluarga. Tenaga kerja luar keluarga
biasanya merupakan tenaga-tenaga upahan yang berfungsi untuk membantu
kekurangan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga.
Ketersediaan tenaga kerja dalam kegiatan usahatani dapat dipenuhi dari
tenaga kerja wanita maupun tenaga kerja pria. Berkaitan dengan produktifitas
kerja yang dapat dicurahkan diketahui bahwa usia produktif tenaga kerja pada
kegiatan usahatani berada pada usia 15 tahun sampai dengan 55 tahun. Kondisi
usia produktif tenaga kerja ini belum menjamin keseragaman di setiap daerah,
karena berdasarkan beberapa pengamatan diketahui bahwa keterlibatan tenaga
kerja dalam usahatani di beberapa daerah berkaitan erat dengan sistem budidaya.
Penyuluhan
Penyuluhan adalah proses mengubah perilaku petani menjadi lebih baik agar
mampu memecahkan tantangan yang dihadapi serta meningkatkan kualitas
hidupnya. Kegiatan penyuluhan adalah proses pendidikan non formal. Materi
dan metode penyuluhan disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan sasaran.
Penyuluhan pertanian dilakukan agar petani memiliki kemampuan baru
untuk menyelesaikan permasalahannya, artinya penyuluh berusaha melakukan
perubahan terhadap sasaran yaitu petani. Petani yang tidak tahu menjadi tahu,
yang tidak mampu menjadi mampu, dan dari tidak mau menjadi petani yang mau
25
melakukan perbaikan diri, serta mau mengambil keputusan dari berbagai alternatif
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Sistem penyuluhan pertanian memerlukan kerjasama antar komponen yang
berada dalam sistem itu sendiri. Kerjasama tersebut ditujukan untuk mencapai
optimalisasi sumberdaya yang ada, baik sumberdaya regional maupun nasional.
Tujuan kerjasama diarahkan ke dalam sistem penyuluhan pertanian yang lebih
profesional dengan reorientasi penyuluhan pertanian sebagai berikut: (1) dari
instansi ke kualitas penyuluh, (2) dari pendekatan top down ke bottom up, (3) dari
hierarki kerja vertikal ke horizontal, (4) dari pendekatan instruktif ke
partisipatif/dialogis, dan (5) dari sistem kerja linier ke jaringan.
Van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan bahwa kerjasama dalam
sistem penyuluhan pertanian juga ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan
pemerintah, seperti: (1) meningkatkan produksi pangan, (2) merangsang
pertumbuhan ekonomi, (3) meningkatkan kesejahteraan keluarga petani dan
masyarakat pedesaan, serta (4) mengusahakan pertanian yang berkelanjutan.
Pendekatan yang dilakukan kepada petani guna mencapai tujuan tersebut adalah
dengan mengupayakan pemberdayaan petani dengan memberikan kebebasan pada
petani untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan.
Kerjasama dalam sistem penyuluhan pertanian memerlukan strategi yang
tepat agar memperoleh hasil yang tepat dan optimal. Stategi tersebut adalah
dengan melibatkan sektor-sektor penting di luar petani yang dapat bermanfaat
bagi keberlangsungan usahataninya. Keterlibatan sektor lain di luar petani seperti
penelitian dan informasi pasar dapat dijembatani oleh penyuluh untuk
memudahkan penyampaian informasi kepada petani. Hal paling penting dalam
membangun sistem penyuluhan pertanian yang berorientasi ke arah yang lebih
modern adalah petani sebagai sasaran penyuluhan harus ditempatkan pada posisi
utama. Petani mempunyai hak untuk menentukan yang terbaik bagi mereka.
Petani sebagai subyek bukan sebagai obyek dalam kegiatan penyuluhan.
Penyuluhan berpengaruh bagi kelancaran masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan. Peranan penyuluhan pembangunan untuk menggerakkan
masyarakat terlibat aktif dalam pembangunan antara lain penerima gagasan,
inspirasi dan aspirasi khalayak sasaran dan motivator yang mampu mendorong
26
sasaran penyuluhan untuk merasa bertanggung jawab dalam melaksanakan dan
memelihara hasil-hasil program.
Penyuluh haruslah memiliki kaitan erat dengan masyarakat lokal, tertarik
dengan permasalahan atau persoalan lokal, maupun berbagi pengetahuan dan ide
serta mau bekerja sama dengan masyarakat. Penyuluh diperlukan sebagai
komunikator yang baik, pembicara dan kemampuan mendorong pemimpin lokal
untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan pertanian.
Kontak dengan penyuluh diartikan sebagai terjadinya hubungan antara
petani dengan penyuluh. Menurut Soekanto (2006) hubungan yang terjadi antara
seseorang dengan orang lain dapat bersifat primer dan sekunder. Hubungan yang
bersifat primer terjadi apabila seseorang mengadakan hubungan langsung dengan
bertemu dan berhadapan muka. Hubungan yang bersifat sekunder terjadi melalui
perantara baik orang lain maupun alat-alat seperti telepon, radio dll. Keikutsertaan
wanita tani dalam kegiatan penyuluhan merupakan faktor yang mendukung
kemajuan dalam pengelolaan usahatani kakao. Kegiatan penyuluhan yang diikuti
oleh wanita tani dengan sendirinya akan sangat bermanfaat baik dalam menerima
teknologi tepat guna atau informasi lain yang penting bagi kegiatannya
Iklim Usaha
Iklim usaha merupakan suasana usaha yang mempengaruhi keikutsertaan
wanita tani untuk berperan dalam kegiatan usahatani kakao. Suasana usaha ini
selain berkaitan dengan permintaan pasar dan harga kakao yang cukup tinggi juga
keamanan usaha. Keamanan usaha yang dimaksud di sini adalah keamanan
kegiatan-kegiatan/pekerjaan-pekerjaan dalam usahatani kakao bagi kaum wanita
tani.
Rosni (2003) mengemukakan kebutuhan keamanan antara lain adalah:
kebutuhan stabilitas, kebebasan, keterlindungan, bebas dari ketakutan, bebas dari
kegelisahan. Petani akan memilih produksi dengan resiko produksi atau kerugian
akibat keragaman proses ekologis, ekonomis atau sosial yang terkecil (minimal)
supaya petani tidak gelisah, takut dan mempunyai kepastian. Keamanan usaha
adalah meminimalkan resiko berkaitan dengan kelangsungan usahatani dan harga
yang diinginkan petani.
27
Keamanan bukan saja dari gangguan penjahat dan binatang buas, tetapi yang
tidak kalah penting adalah keamanan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dalam
kegiatan usahatani kaum wanita tani. Keamanan usaha adalah meminimalkan
resiko produksi atau kerugian usaha sebagai akibat keragaman ekologis, ekonomi
atau sosial. Termasuk dalam faktor keamanan adalah sistem pemasaran produksi
dengan harga yang diinginkan petani (Reijntjes et al., 1999).
Sistem/Peluang Pasar
Aspek pemasaran merupakan masalah di luar usahatani yang perlu
diperhatikan. Petani dengan segala keterbatasan yang dimiliki berada pada posisi
yang lemah dalam penawaran dan persaingan, terutama menyangkut penjualan
hasil dan pembelian bahan-bahan pertanian. Penentu harga produk pertanian
tidak berada di pihak petani.
Salah satu keadaan yang harus dihindarkan adalah membiarkan salah satu
bagian dari sistem tataniaga menjadi monopoli perorangan atau organisasi tanpa
adanya jaminan yang efektif bagi kepentingan petani. Pengertian monopoli selalu
dihubungkan dengan pedagang, swasta bahkan koperasi ataupun lembaga
pemerintah bisa melakukan monopoli. Diperlukan pengendalian harga serta
pengendalian jasa-jasa tataniaga yang cukup, sehingga kepentingan petani
dilindungi. Mosher (1987) menyatakan jika ada monopoli dalam pemasaran,
perlu ditertibkan atau dorongan dapat diberikan kepada koperasi atau perusahaan
dagang lain yang baru untuk menyainginya. Pemerintah turut membeli dan
menjual dengan harga layak, dengan demikian perlu penyediaan saluran tataniaga
tambahan.
Peran/dorongan Kepala Keluarga
Faktor-faktor yang mendorong tumbuhnya peranan wanita dalam proses
produksi pertanian antara lain adalah adanya dorongan dari dalam keluarga
terutama dari suami sebagai kepala rumah tangga untuk bekerja dan membantu
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Handewi (1997) menyatakan bahwa alasan
suami mendorong istri untuk bekerja adalah : 1) menambah penghasilan keluarga,
2) mengisi waktu luang, 3) tidak tergantung suami, 4) menaikkan status sosial,
dan 5) kepuasan diri.
28
Sajogyo (1981) menyatakan besarnya peranan wanita dalam pekerjaan
rumah tangga dan pekerjaan di bidang nafkah tidak selalu bersamaan dengan
besarnya pengaruh di dalam maupun di luar rumah tangganya, perlu
memperhatikan faktor-faktor wewenang keluarga serta sumberdaya pribadi yang
disumbangkan pria dan wanita dalam keluarganya.
Wanita Tani
Wanita tani menurut Pusat Penyuluhan Pertanian (1997) seperti yang dikutip
oleh Rosni (2003), adalah kaum wanita dalam keluarga petani dan masyarakat
pertanian, yang dibagi:
1. Menurut statusnya dalam keluarga, terdiri atas:
a. Kepala Keluarga, yaitu wanita tani pada kondisi: wanita janda (ditinggal
suami karena bercerai atau meninggal), atau wanita tidak menikah yang
hidup mandiri, tidak menjadi tanggungan orang lain, bahkan sering juga
mempunyai tanggungan.
b. Isteri petani, yaitu wanita yang menjadi isteri petani, hidup satu rumah
sebagai suami isteri yang sah.
c. Wanita dewasa anggota keluarga, yaitu wanita yang berumur di atas 30
tahun atau yang sudah menikah, yang tinggal bersama seorang petani (ibu,
mertua, saudara, ipar, anak, kemenakan dan lain-lain)
d. Pemuda tani wanita, yaitu wanita berumur 16-30 tahun dan belum pernah
menikah, yang tinggal bersama satu keluarga petani (anak, kemenakan dan
lainnya)
e. Taruna tani wanita, yaitu wanita remaja berumur di bawah 16 tahun dan
belum pernah menikah, yang tinggal dan menjadi tanggungan seorang
petani.
2. Menurut fungsinya dalam usahatani, terdiri atas:
a. Petani wanita, yaitu wanita pengusaha tani yang mengelola usahataninya
secara mandiri. Petani wanita dapat berstatus sebagai:
(1) Kepala keluarga, yang hidup/mencukupi nafkah keluarganya dari
usahatani.
(2) Sebagai isteri petani, dimana suaminya tidak berfungsi selaku
pencari nafkah utama atau bekerja di luar usahatani keluarga atau
29
(3) Sebagai wanita dewasa anggota keluarga atau pemuda tani wanita di
mana yang bersangkutan mengelola suatu usahatani secara mandiri.
b. Mitra/pembantu usaha petani, yaitu wanita tani yang membantu pengusaha
tani dalam keluarganya, tanpa diberi upah/pembagian hasil secara
ekonomi. Mitra usaha petani tersebut berstatus sebagai:
(1) Isteri petani
(2) Wanita dewasa anggota keluarga, atau
(3) Pemuda/taruna tani wanita.
Departemen Pertanian (1997) seperti yang dikutip oleh Belem (2002)
mendefinisikan wanita tani adalah kaum wanita dalam keluarga petani dan
masyarakat pertanian yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dan ikut
bertanggung jawab dalam kegiatan usahatani dan kegiatan lainnya yang
berhubungan dengan usaha peningkatan kesejahteraan keluarganya. Wanita tani
dapat diklasifikasikan berdasarkan : 1) menurut status dalam keluarga, istri petani,
yaitu wanita yang menjadi istri petani, hidup satu rumah sebagai suami istri yang
sah, 2) menurut fungsinya dalam usahatani sebagai mitra atau pembantu usaha
petani, yaitu wanita tani yang membantu pengusaha tani dalam keluarganya, tanpa
diberi upah atau pembagian hasil secara ekonomi. Mitra atau pembantu usahatani
tersebut berstatus sebagai istri petani. Wanita tani yang berstatus sebagai
pendamping suami, dalam hubungannya dengan usahatani kakao ikut bertanggung
jawab untuk melakukan kegiatan dalam rangka peningkatan pendapatan guna
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari usahatani yang dikelolanya.
Peranan Wanita
Peran dan kedudukan merupakan dua aspek penting dalam hubungan sosial
masyarakat. Peran merupakan perilaku individu dalam struktur sosial dan
merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yang akhirnya akan memberikan
fasilitas tertentu sesuai dengan peranan (role) tersebut. Posisi mengindikasikan
status sosial individu di masyarakat. Dengan kata lain, kedudukan memberikan
seseorang sebuah peran sebagai pola interaksi dalam bersosialisasi
(bermasyarakat) (Elizabeth, 2007).
30
Sajogyo (1984) mengatakan bahwa peranan merupakan aspek dinamis dari
status dan apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya maka ia menjalankan peranannya. Peranan mencakup sikap, nilai,
perilaku seseorang yang ditentukan oleh masyarakat yang berada pada posisi
tertentu. Menurut Soekanto (2006) ada tiga pengertian peranan yaitu: (1) peranan
meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang
dalam masyarakat, (2) peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dilakukan
oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, dan (3) peranan juga dapat
dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial dalam
masyarakat.
Peranan seseorang dalam masyarakat diatur oleh norma-norma yang berlaku
dalam masyarakatnya. Di perdesaan masih berlaku norma tradisional yang
umumnya mengharapkan wanita berperan sebagai isteri, ibu dan anggota rumah
tangga yang baik dalam melayani kebutuhan keluarga.
Peranan antara suami dan isteri diharapkan dapat mempengaruhi
peningkatan produksi pertanian. Perbedaan peranan biasanya ditentukan oleh
struktur keluarga dan oleh faktor sumberdaya pribadi suami isteri yang diperoleh
dalam keluarga inti masing-masing, misalnya pendidikan (formal dan informal),
pengetahuan, keterampilan, kekayaan, pengalaman, latar belakang perkawinan,
dan kedudukan dalam masyarakat. Aspek yang paling penting dalam struktur
keluarga adalah posisi anggota keluarga karena distribusi dan alokasi kekuasaan.
Aspek berikutnya yang juga penting adalah pembagian kerja dalam keluarga
(Sajogyo, 1983).
Anwar (2007) mengatakan bahwa kekuasaan yang dinyatakan sebagai
kemampuan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga
itu bisa tersebar dengan sama nilainya atau tidak sama nilainya khususnya antara
suami dan isteri. Pembagian kerja menunjuk pada pola peranan yang ada dalam
keluarga di mana khususnya suami dan isteri melakukan pekerjaan-pekerjaan
tertentu. Kombinasi kekuasaan dan pembagian kerja adalah hal yang paling
mendasar dalam keluarga, dan dipengaruhi pula oleh posisi keluarga dalam
lingkungan dan masyarakat di mana dia berada.
31
Selanjutnya dikatakan pula oleh Sajogyo (1983) bahwa hubungan antara
laki-laki dan wanita atas dasar perkawinan, masing-masing pihak mempunyai
kekuasaan, dalam arti masing-masing mempunyai potensi untuk saling
mempengaruhi perilaku satu sama lainnya. Jika hal itu terjadi maka gejala
tersebut digambarkan sebagai proses terjadinya pembagian peranan misalnya
dalam pekerjaan. Kekuasaan masing-masing tersebut oleh kedua pihak dianggap
wajar, sehingga diakui sebagai wewenang masing-masing (authority).
Hubungan suami isteri dikaitkan dengan pembagian kekuasaan, yaitu
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain dalam berbagai kegiatan
sosial, ekonomi dan politik baik dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat
yang lebih luas (Sajogyo, 1983). Peran yang diamati dari seorang wanita di dalam
melakukan berbagai aktivitas khususnya di bidang pertanian mencerminkan
tingkat kemandirian dirinya.
Masyarakat menganggap wajar jika suami lebih banyak berperan dalam
bermacam hal yang berkaitan dengan kehidupan keluarganya. Kedudukan wanita
dalam arti distribusi dan alokasi kekuasaan antara pria dan wanita di dalam dan di
luar keluarga dan rumah tangga berhubungan erat dengan kebudayaan dalam
masyarakat, serta sumberdaya pribadi (personal resource) yang disumbangkan
pada perkawinan/keluarga oleh masing-masing pria dan wanita baik yang
dipunyai sebelum maupun setelah perkawinan. Sumberdaya pribadi ini mencakup
pendidikan (formal dan non formal), keterampilan, pengetahuan, uang, tenaga
kerja, tanah, pengalaman dan sebagainya.
Keberadaan perempuan di perdesaan merupakan satu fenomena yang
menggambarkan bagaimana proses arus globalisasi yang semakin meminggirkan
bukan saja sektor-sektor mikro perdesaan tetapi juga pelaku-pelaku yang terlibat
di dalamnya, termasuk perempuan. Di tengah arus globalisasi yang membuka
percepatan arus informasi, teknologi, investasi (modal), perempuan hampir tidak
tersentuh oleh perubahan global yang ada. Mereka masih tetap lekat dengan
gambaran sektor-sektor perdesaan dengan karakteristiknya yang bertumpu pada
sumberdaya alam, produksi berbasis rumah tangga, penggunaan teknologi yang
rendah (manual), pasar dan modal yang sangat terbatas, serta relasi-relasi ekonomi
yang dibungkus relasi sosial yang mengikat.
32
Perubahan peran dan status wanita umumnya disebabkan oleh
perkembangan masyarakat dan wilayah di lingkungannya. Perubahan masyarakat
tersebut makin dipacu oleh pertumbuhan ekonomi, akibat beralihnya sistem
perekonomian dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Perubahan tersebut
akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya masyarakatnya.
Perkembangan ekonomi dan sosial menimbulkan desintegrasi pembagian kerja
antar pria dan wanita (Elizabeth, 2007).
Wanita tani selain melakukan pekerjaan rumah tangga yang merupakan
pekerjaan seorang wanita atau isteri petani sesuai dengan masyarakat tempat ia
tinggal (home work) juga melakukan kegiatan untuk menambah penghasilan
keluarga (income earning work). Dengan demikian wanita tani mempunyai dua
porsi atau status dalam rumah tangga.
Curahan waktu yang tersedia pada wanita tani juga merupakan faktor yang
berhubungan dengan tingkat partisipasi wanita tani dalam usahatani kakao.
Besarnya curahan waktu yang tersedia bagi setiap wanita tani dalam tingkat
partisipasi wanita tani dalam usahatani kakao berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi
oleh banyak faktor, diantaranya adalah (1) pola hidup; (2) pemilikan asset
produktif; (3) keadaan sosial ekonomi keluarga; (4) tingkat upah; dan (5)
karakteristik yang melekat pada setiap anggota rumah tangga (umur, tingkat
pendidikan atau keahlian) Alam (1984).
Sajogyo dan Sajogyo (1989) mengemukakan bahwa meningkatnya peluang
bekerja wanita perdesaan yang mempunyai peranan beragam di sektor pertanian
berarti meningkatkan pendapatan rumah tangga, meningkatkan potensi wanita
untuk mengambil keputusan di pelbagai aspek kehidupan dan memberikan
motivasi yang kuat terhadap kemandiriannya. Perubahan dari sistem
perekonomian dalam masyarakat membawa perubahan pula pada alokasi ekonomi
keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Boserup (1970) perubahan sistem
pertanian akan dapat mengubah pola pembagian kerja dalam keluarga antara pria
dan wanita dibidang pencaharian nafkah atau keterlibatan wanita dalam usahatani.
Usahatani
Bunch (2001) mendefinisikan usahatani sebagai ”organisasi dari alam, kerja,
dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian”. Organisasi ini
33
ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau
sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis maupun
teritorial sebagai pengelolanya. Komponen usahatani terdiri atas manusia petani
(bersama keluarga), tanah atau lahan.
Suatu usahatani merupakan agroekosistem yang unik yaitu suatu kombinasi
sumberdaya fisik dan biologis seperti bentuk-bentuk lahan, tanah, air, tumbuhan
(tumbuhan liar, pepohonan, tanaman budidaya) dan hewan. Proses yang saling
mempengaruhi dan interaksi antar komponen-komponen agroekosistem ini
menyebabkan rumah tangga petani mendapatkan hasil atau produk seperti
tanaman (batang, daun, buah dan umbi).
Reijntjes et. al. (1999) mengatakan bahwa usahatani bukanlah sekadar
kumpulan tanaman atau hewan, di mana orang bisa memberikan input apa saja
dan kemudian mengharapkan hasil langsung. Usahatani merupakan suatu jalinan
yang kompleks yang terdiri atas tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja,
input lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang
disebut petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Petani tersebut
mengupayakan out put dari input dan teknologi yang ada.
Usahatani tidak terlepas dari budaya dan sejarah. Peluang dan hambatan
ekologis dan geografis (lokasi, iklim, tanah, tumbuhan) yang tercermin dalam
budaya setempat. Hal ini kemudian tercermin dalam pertanian setempat yang
merupakan hasil dari suatu proses interaksi antara manusia dan sumberdaya
setempat. Nilai-nilai masyarakat perdesaan, pengetahuan, teknologi dan institusi
sangat mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah dan terus berkembang.
Setiap rumah tangga petani membutuhkan input, misalnya benih, energi,
unsur hara, air untuk menjaga agar proses produksi terus berlangsung. Input
produksi terdiri atas dua macam, yaitu input dalam dan input luar. Input dalam
adalah input yang diambil dari dalam usahatani itu sendiri, misalnya energi
matahari, air hujan, sedimen, nitrogen yang diikat dari udara atau yang dihasilkan
sendiri, misalnya: sisa tanaman, pupuk hijau, tenaga kerja keluarga, dan
pengalaman-pengalaman belajar. Input luar adalah input yang diperoleh dari luar
usahatani misalnya: informasi, tenaga buruh, pupuk buatan, benih, air irigasi, alat-
alat mesin dan jasa. Hasil usahatani dapat digunakan sebagai input dalam,
34
dikonsumsi oleh rumah tangga petani (dan menghasilkan tenaga kerja keluarga),
dijual, ditukar atau diberikan.
Suatu sistem pertanian juga ditentukan oleh ciri-ciri sosioekonomi, budaya,
dan politik, lebih-lebih yang berhubungan dengan rumah tangga petani. Setiap
rumah tangga merupakan sebuah gabungan yang unik antara laki-laki dan
perempuan, orang dewasa dan anak-anak yang semuanya memberikan
pengelolaan, pengetahuan, tenaga kerja, modal, dan lahan untuk usahatani dan
yang mengkonsumsi paling tidak sebagian dari usahataninya. Jadi rumah tangga
petani merupakan pusat alokasi sumberdaya, produksi dan konsumsi.
Rumah tangga bisa terdiri atas beberapa subsistem yang kurang lebih
otonom, seperti isteri dengan subrumahtangga dan/atau usahatani. Melalui
hubungan luarnya, rumah tangga berfungsi dalam konteks sistem ekonomi, sosial
budaya, dan politik yang lebih luas, tetapi juga mempengaruhi sistem-sistem ini.
Hubungan-hubungan luar ini, misalnya lewat pasar atau media massa, juga
mempengaruhi rumahtangga dan berikutnya mempengaruhi sistem usahataninya.
Ikatan dengan masyarakat misalnya ikatan keluarga, persahabatan, sejarah,
dan budaya umum serta pengawasan umum terhadap wilayah bisa saling
menghubungkan sistem usahatani perorangan. Anggota masyarakat sering
memanfaatkan lahan bersama dan saling memberi dukungan dengan saling
berbagi. Interaksi ini berfungsi sebagai pembendung resiko dan merupakan
bagian dari strategi keluarga atau individu untuk mempertahankan hidup.
Anggota keluarga yang lain bisa saja terlibat dalam berbagai jaringan kerja dalam
masyarakatnya sendiri maupun antar masyarakat.
Salah satu peubah utama dalam sistem usahatani adalah tingkat partisipasi
yang dimiliki oleh petani, dalam hal ini adalah wanita tani. Cara yang ditempuh
suatu rumah tangga petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan usahatani
tergantung pada ciri-ciri rumah tangga yang bersangkutan, misalnya jumlah laki-
laki, perempuan, dan anak-anak, usia, kondisi, kesehatan, kemampuan, keinginan,
kebutuhan, pengalaman bertani, pengetahuan, dan keterampilan serta hubungan
antar anggota rumah tangga.
Anggota-anggota suatu rumah tangga petani bisa berfungsi secara
independen dan memiliki kebutuhan, orientasi serta tujuan masing-masing yang
35
berbeda. Mungkin ada beberapa subunit dalam rumah tangga di mana tiap-tiap
subunit itu berada di bawah pengelolaan seorang dewasa (sering kali seorang
perempuan) yang bertanggung jawab untuk memproduksi dan mencari pangan
bagi kebutuhan keluarga.
Tujuan suatu rumah tangga berkenaan dengan proses dan hasil usahatani
bisa digolongkan sebagai berikut: produktivitas, keamanan, kesinambungan dan
identitas. Tujuan-tujuan tersebut bisa saja digolongkan seperti itu oleh individu
petani dan sedikit banyak tumpang tindih serta saling menguatkan. Penggolongan
yang dibuat di sini adalah untuk memberikan suatu kerangka kerja bagi agen
pembangunan serta masyarakat petani untuk menilai status dan alur pembangunan
sistem usahatani dengan memperhatikan keberlanjutannya. Dengan menilai
sejauh mana tujuan-tujuan yang sedang dan ingin dicapai, dimungkinkan
mengidentifikasi masalah yang dihadapi rumah tangga petani dan kebutuhan
terhadap dukungan dalam mengembangkan sistem usahatani mereka.
Berbagai teknik yang diterapkan oleh petani ditujukan untuk memenuhi satu
atau beberapa tujuan-tujuan tersebut. Seorang petani memadukan teknik-teknik
sedemikian rupa sehingga menurut persepsi petani tujuan keluarga itu bisa dicapai
dengan sebaik-baiknya mengingat keterbatasan usahatani tersebut.