dermatitis atopik eksema

Upload: novelinmanroe

Post on 03-Jun-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    1/136

    1

    PROBLEMATIKA DERMATITIS ATOPIK

    A. Pendahuluan

    Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi yangkhas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi)terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa.

    Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgEdalam serum serta adanya riwayat rinitis alergika dan atau asmapada keluarga maupun penderita (1). Menurut definisi Rajkadermatitis atopik adalah suatu inflamasi yang spesifik padakompartemen dermo-epidermal, terjadi pada kulit atopik yangbereaksi abnormal; dengan manifestasi klinis timbulnya gatal danlesi kulit inflamasi bersifat eczematous (2). Istilah dermatitis banyakdigunakan oleh para dermatologist yang berorientasi pada sumber

    ilmu dari Amerika, digunakan untuk mengganti kata eksemayang banyak dipakai di benua Eropa (3). Kata eksema sendiri telahlama dikenal sejak dahulu yaitu pada zaman sebelum masehi (543AD), berasal dari bahasa Yunani ekzein yang berarti mendidihatau berbuih (4, 5, 6). Istilah eksema ini barangkali digunakanuntuk menggambarkan penyakit kulit yang beragam ujudkelainan kulitnya, seperti air mendidih.

    Pada tahun 1933 Wise dan Silzberger menyebut penyakit

    kulit dengan gejala seperti tersebut di atas sebagai dermatitisatopik, istilah yang untuk selanjutnya dapat diterima sampai saatini (5, 7) dan penyakit kulit ini harus dibedakan dengan dermatitiseksematosa tipe kontak (8). Konsep atopi diperkenalkan pertamakali oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, sebagai suatu istilahyang dipakai secara spontan pada individu yang mempunyairiwayat keluarga terhadap kepekaan tersebut (1, 5, 6, 9). Kata atopidiambil dari bahasa Yunani atopia yang berarti sesuatu yangtidak lazim, different atau out of place, dan istilah ini untuk meng-

    gambarkan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hiper-sensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yangterdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia.

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    2/136

    2

    B. Gejala klinis

    Gejala klinis DA secara umum adalah gatal, kulit kering dan

    timbulnya eksim (eksematous inflammation) yang berjalan kronikdan residiv. Rasa gatal yang hebat menyebabkan garukan siangdan malam sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratchmark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa

    papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likeni-fikasi bila proses menjadi kronis (5).

    Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papules) bersamaandengan timbulnya vesikel (papulovesikel) dan eritema, merupa-kan gambaran lesi eksematous. Prurigo papules, lesi eksematousdan likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan danterjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulityang sangat basah (weeping)dan berkrusta sering didapatkan padakelainan yang lanjut (1, 5, 6, 7).

    Awitan timbulnya DA berdasar usia dapat terjadi pada masabayi, anak dan dewasa. Gejala pada bayi biasanya mulai padawajah kemudian menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesibiasanya basah, eksudativ, berkrustae dan sering terjadi infeksi

    sekunder. Pada kurang dari setengah kasus kelainan kulit akanmenyembuh pada usia 18 bulan, dan sisanya akan berlanjut men-jadi bentuk anak (1, 6). Lesi DA pada anak berjalan kronis akanberlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapatpada lipat siku, lipat lutut, leher dan pergelangan tangan. Jari-jaritangan sering terkena dengan lesi eksudativ dan kadang-kadangterjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada kulit DAanak tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likeni-

    fikasi. Perubahan pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnyalesi, menjadi hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi bahkandepigmentasi (1, 4, 5).

    Pada DA bentuk dewasa lesi mirip dengan lesi pada anak-anak usia lanjut (8-12 tahun) dengan didapatkan likenifikasiterutama pada daerah lipatan-lipatan dan tangan. Selain gejalautama yang telah diterangkan, juga ada gejala lain yang tidakselalu terdapat, yang dikenal dengan kriteria minor seperti pada

    kriteria diagnosis dari Hanifin-Rajka (tabel 1).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    3/136

    3

    Gambar 1 : Dermatitis atopik tipe infan

    Gambar 2: Dermatitis atopik tipe Gambar 3: Dermatitis atopikanak atopik pe anak adult tipe adult adult

    C. Diagnosis

    Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atasberbagai fenomena klinis yang tampak menonjol, terutama gejalagatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis dermatitisatopik tidak dapat dibuat tanpa adanya riwayat gatal (7). Dalamperkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan di bidang

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    4/136

    4

    imunologi maka untuk diagnosis DA mulai dimasukkan uji alergisebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan/uji alergik tersebut adalahuji tusuk (=skin pricktest) terhadap bahan alergen inhalan danpemeriksaan kadar IgE total di dalam serum penderita DA (Rajka,1989).

    Pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatukriteria diagnosis DA yang sampai sekarang masih banyakdigunakan (1, 5, 10, 11). Kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel(tabel 1). Beberapa kriteria diagnosis lain kemudian menyusul,seperti kriteria dari Svenssons (tabel 2) dan yang terbaru adalahkriteria berdasarkan manifestasi klinis oleh William dkk. th. 1994,

    yang sangat sederhana dan dengan cepat dapat dikerjakan (tabel3) (11,12). The Europian Task Force on Atopic Dermatitis membuatsuatu indek untuk menstandardisasi diagnosis DA, dikenaldengan istilah SCORAD (Score of atopic dermatitis) (10, 13).

    Tabel 1.1. Hanifin and Rajkas diagnostic criteria for atopic dermatitis *Major criteria

    PruritusTypical mprphology and distribution

    Adults : Flexural lichenification or linearityChildren and infants : Facial, extensor

    Chronic or relapsing dermatitisPersonal or family history of atopy

    Minor criteriaXerosisIchthyosis/keratosis pilaris/palmar hyper-linearity

    Type I skin test reactivity Orbital darkeningElevated serum IgE KeratoconusEarly age at onset Anterior subcapsular cataracts

    Tendency to skin infection (Staphylococcus, Facial pallor/erythemaaureus herpes simplex)/ impaired cell- Pityriasis albamediated immunity

    Hand/foot dermatitis Anterior neck foldsNipple eczema Itch when sweatingConjunctivitis Intolerance to wool and lipid

    solventsDennie-Morgan fold Perifolliculer accentuationFood intoleranceCourse influenced by enviromental/emotional factorsWhite dermatographism/delayed blanch

    * Must have 3 major crietria and 3 minor criteria

    dikutip sesuai dengan aslinya dari Atopic Dermatitis: An update (Rotheand Grant-Kels, 1996).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    5/136

    5

    Tabel 1.2. Kriteria diagnosis Dermatitis Atopik dari Svensson *

    Kelompok kesatu (p

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    6/136

    6

    1. History of involvement of skin creases such as folds of elbows,behind the knees, fronts of ankles or around the neck(including cheeks in children under 10)

    2. A personal history of asthma or hay fever (or history of atopicdisease in a first degree relative in children under 4

    3. A history of a general dry skin in the last year4. Visible flexual aczema (or eczema involving the cheeks/

    forehead and outer limbs in children undere 4)5. Onset under the age of 2 (not used if child under 4)

    * Dikutip dari Siti Aisah Boediardja, 1997 dari kepustakaan : William HC et al.

    Working Party Report. The UK Working Partys Diagnostic Criteria for AtopicDermatitis II. Observer variation of clinical diagnosis and sign of atopicdermatitis, British J Dermatol. 1994, 131;397-405.

    D. Imunopatogenesis Dermatitis Atopik

    Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan pato-genesisnya sangat kompleks serta melibatkan banyak faktor,sehingga menggambarkan suatu penyakit yang multifaktorial (14,

    15). Salah satu teori yang banyak dipakai untuk menjelaskanpatogenesis DA adalah teori imunologik. Konsep imunopatologiini berdasarkan bahwa pada pengamatan 75% penderita DAmempunyai riwayat penyakit atopi lain pada keluarga atau padadirinya (1, 5, 6, 7). Selain itu beberapa parameter imunologi dapatdiketemukan pada DA, seperti peningkatan kadar IgE dalamserum pada 60-80% kasus (3, 14, 15), adanya IgE spesifik terhadapbermacam aerolergen dan eosinofilia darah (14) serta diketemu-

    kannya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal(3,14). Pada DA didapatkan pula abnormalitas imunitas seluler,dengan manifestasi klinisnya antara lain penderita lebih rentanterhadap infeksi virus seperti herpes simpleks virus, vaccinia,coxsackie A16 dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksikronis dermatofita serta menurunnya kepekaan pada alergenkontak yang spesifik (1, 15).

    Peranan reaksi alergi pada etiologi DA masih kontroversi dan

    menjadi bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi di-pakai untuk merujuk pada setiap bentuk reaksi hipersensitivitasyang melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat paparanalergen. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umumantara lain, sebagai berikut (9, 10) :

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    7/136

    7

    1. Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (housedust mite), serbuk sari buah (polen), bulu binatang (animaldander), jamur (molds) dan kecoa

    2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dangandum

    3. Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, strep-tococcus species, dan ragi (yeast) seperti pityrosporum ovale,candida albicans dan trichophyton species.

    4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel, Perubalsam dan sebagainya.

    Imunopatogenesis DA dimulai dengan paparan imunogenatau alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasisetelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit(14, 15). Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimanaalergen akan ditangkap oleh sel penyaji antigen (antigen pre-senting cell= APC) untuk kemudian diproses dan disajikan kepadasel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal inimenyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut

    melalui reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah paparan, sel T akanberdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresiIL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi selplasma dan memproduksi IgE (yang spesifik terhadap alergen).Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast(=MC) dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telahtersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antaraalergen dengan IgE. Ikatan Ini akan menyebabkan degranulasi

    MC. Degranulasi MC akan mengeluarkan mediator baik yangtelah tersedia (preformed mediators) seperti histamin yang akanmenyebabkan reaksi segera, ataupun mediator yang baru diben-tuk (newly synthesiized mediators) seperti leukotrien C4 (LTC4),

    prostaglandin D2(PGD2) dan lain sebagainya (14, 15).

    Sel Langerhans epidermal (LC) berperan penting pula didalam patogenesis DA oleh karena mengekpresikan reseptor padapermukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE

    (=FcRI) (3, 14) serta menseksresi berbagai sitokin. Apabila adaalergen masuk akan diikat dan disajikan pada sel T dengan bantu-an molekul MHC klas II dan sel T akan mensekresi limfokindengan profil Th2 yaitu IL-4. IL-5, IL-6 dan IL-10 (1, 15). IL-5secara fungsional bekerja mirip ECF-A sehingga sel eosinofil

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    8/136

    8

    ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi aktif dan akanmengeluarkan granula protein yang akan membuat kerusakanjaringan. Terjadinya lesi DA pada keadaan ini didasari olehmekanisme reaksi fase lambat atau late phase reaction (=LPR).Respon imun pada DA terjadi mirip respon tipe lambat atau reaksitipe IV karena melibatkan sel limfosit T dan oleh karena diperan-tarai oleh IgE maka dikenal sebagai IgE-mediated delayed typehypersensitivity (16).

    E. Penatalaksanaan Dermatitis Atopik (17)

    Berdasarkan konsep imunologik DA merupakan kelainankulit inflamasi yang terjadi oleh karena gangguan fungsi penga-turan sel imun (dysfunction in the cellular immunoregulation). Hal initerlihat di dalam merespon paparan alergen, sel T akan berdefe-rensiasi menjadi sel T helper dengan profil Th2 yang mengeluarkansitokin IL-4, IL-5. Sitokin ini selanjutnya akan memacu prosesinflamasi untuk terjadinya DA. Oleh karena itu penatalaksanaanDA harus mengacu pada kelainan dasar tersebut, selain meng-obati gejala utama gatal untuk meringankan penderitaan pen-

    derita.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di SMF Kulit

    & Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta bertujuan untuk: meng-hilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,mencari faktor pencetus dan mengurangi kekambuhan. Pengobat-an masa depan tentunya akan berdasarkan terjadinya proses infla-masi alergi pada dermatitis atopik.

    Secara konvensional pengobatan DA kronik pada prinsipnya

    adalah sbb. (Boguniewicz & Leung 1996):1. menghindari bahan iritan2. mengeliminasi alergen yang

    telah terbukti

    5. kortikosteroid topical6. pemberian antibiotic7. pemberian antihistamin

    3. menghilangkan pengeringankulit (hidrasi)

    8. mengurangi stress dan9. memberikan edukasi pada

    4. pemberian pelembab kulit(moisturizing)

    penderita maupun keluarga-nya

    Selain itu harus dijelaskan pula bahwa pengobatan tidak ber-sifat currative(menghilangkan penyakit) tetapi untuk mengurangigejala dan mencegah kekambuhan.

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    9/136

    9

    Ad 1 : Menghindari bahan iritanBahan-bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi,rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem dan lembabharus dihindari karena penderita DA mempunyai nilaiambang rendah dalam merespon berbagai iritan. Peng-gunaan sabun mandi harus yang mild dan dengan pHnetral. Pemakaian krim tabir surya perlu untik mencegahpaparan sinar matahari yang berlebihan.

    Ad 2 : Mengeliminasi allergen yang telah terbuktiAlergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhanharus dihindari, seperti makanan, debu rumah, bulu

    binatang, serbuk sari tanaman dan sebagainya.Ad 3 : Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)

    Kulit penderita atopik menunjukkan adanya transepi-dermal water lossyang meningkat. Oleh karena itu hidrasipenting dalam berhasilnya terapi, misalnya pada kulitpenderita atopik diberikan suatu bebat basah selama 15-20 menit agar terjadi penyerapan air atau mandi denganair hangat.

    Ad 4 : Pemberian pelembab kulit (moisturizing)Pelembab bisa berbentuk cairan, krim atau salep. Pema-kaian pelembab dapat memperbaiki fungsi barier stratumkorneum dan mengurangi kebutuhan steroid topikal.

    Ad 5 : Kortikosteroid topikalKortikosteroid topikal dipakai sebagai anti inflamasi dananti pruritus dan berguna pada saat eksserbasi akut.Selain itu berkhasiat pula sebagai anti mitotik. Berdasar

    potensi kedua khasiat tadi steroid digolongkan menjadisteroid dengan potensi lemah, sedang, kuat dan sangatkuat.Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih yangpaling lemah potensinya yang masih efektif .Oleh karenamakin kuat potensi makin banyak efek samping sepertiatrofi kulit, hipopigmentasi, erupsi akneformis, infeksisekunder dan terjadinya striae

    Ad 6 : Pemberian antibiotik

    Penderita DA mempunyai kepekaan yang meningkatterhadap berbagai agen mikrobial, seperti virus jamurmaupun bakteri. Lebih dari 90% kulit penderita DA dapatditemukan S. aureus di dalam lesi kulit. S. aereus ini

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    10/136

    10

    kadang-kadang dapat sebagai pemicu kekambuhan, me-lalui produksi toksin yang dapat bersifat sebagai super-antigen.Penggunaan antibiotik terutama ditujukan pada lesi DAdengan infeksi sekunder (oleh S. aureus). Sebagai obatpilihan adalah eritromisin; dan bila ada gangguangastroiintestinal atau telah resistan, maka obat alternatifadalah sefalasporin generasi pertama atau kedua.Mupirocin sebagai anti-staphylococcal topikal dapatmencegah meluasnya lesi kulit.

    Ad 7 : Pemberian antihistamin

    Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukupmemuaskan untuk terapi simptomatis pada DA. Klasifi-kasi antihistamin berdasarkan ada tidaknya efek sedasiadalah:-antihistamin generasi pertama atau generasi lama-antihistamin generasi kedua atau non sedatif antihis-

    tamineGenerasi pertama dapat menembus sewar darah otak

    sehingga mempunyai efek sedasi sebagai contoh : klor-feneramin, difenhidramin, hidroksizin, prometazin, piri-lamin dan tripolidin.Sedangkan generasi kedua termasuk antara lain: aste-mizol, loratadin, citirisin, terfenadin dan fexofenadin.Loratadine 10 mg ataupun citirisin 5-10 mg dosis tanggaldikatakan dapat mengurangi gejala secara cepat. Selainitu citirisin atau fexofenadine mempunyai efek anti-

    inflamasi pula yaitu dengan menghambat ekspresimolekul adesi sehingga mengurangi migrasi sel-selradang menuju ketempat inflamasi.Apabila rasa gatal pada malam hari masih mengganggudapat diberikan antihistamin generasi pertama, sepertihidroksizin atau doxepin agar penderita dapat tidurnyenyak. Pemberian antihistamin lokal tidak dianjurkanoleh karena mempunyai potensi sensitisasi, sehinggadapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas.

    Ad 8 : Mengurangi stressStres emosi pada penderita DA merupakan pemicu ke-kambuhan, bukan sebagai penyebab. Di dalam meresponstress, rasa frustasi atau kekecewaan sering kali dengan

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    11/136

    11

    timbul gatal dan garukan maka terjadi lingkaran setan:stres-gatal-garukan. Garukan pada kulit merupakantrauma pada keratinosit yang dapat merangsang keluar-

    nya sitokin IL-1 dan TNF-dan sitokin ini akan mening-katkan ekspresi molekul adesi yang pada akhirnya akanlebih memudahkan terjadinya inflamasi.Usaha-usaha mengurangi stres adalah dengan melakukankonselingpada penderita DA, terutama yang mempunyai

    kebiasaan menggaruk. Pendekatan psiko-terapi perlupula dilaksanakan untuk mengurangi stress kejiwaanpenderita.

    Ad 9 : Memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga-nyaUnsur pendidikan mengenai penyakitnya, faktor-faktorpemicu kekambuhan, kebiasaan hidup dansebagainyaperlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasilpengobatan yang optimal.

    1. Pengobatan untuk kasus-kasus sulit

    DA yang sulit disembuhkan (recalcitrant disease) perlu perhati-an khusus dan bila mulai didapatkan tanda-tanda eritrodermikatau toxik harus dirujuk ke rumah sakit dimana ada pelayananspesialis seperti RSUD Dr. Moewardi Solo. Hospitalisasi jugadipertimbangkan untuk kasus-kasus dengan lesi meluas, derajatberat dan resisten terhadap pengobatan.

    2. Pengobatan (masa depan) dengan Imunomodulator

    DA merupakan kelainan yang disertai gangguan responimunatau kelainan regulasi sistem imun. Maka pengobatan idealharus ditujukan adalah memperbaiki gangguan tersebut. Korti-kosteroid sebagai anti inflamasi mempunyai efek imunomodulatorjuga yaitu dengan cara menghambat proliferasi sel T dan produksisitokin secara invitro. Beberapa obat yang (kelak) dipakai sebagaiimunomodulator adalah sebagai berikut:

    a. Interferon:

    - telah terbukti bahwa IFN-dapat menekan sintesis IgE danmenghambat fungsi dan proliferasi sel Th2. Beberapa per-

    cobaan menunjukkan terapi IFN- dapat menurunkanderajat penyakit dan jumlah eosinofil dalam darah.

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    12/136

    12

    b. Siklosporin A (CsA)/ Fk 506:

    - obat imunosupresi yang potent, bekerja langsung pada sel

    T dengan menekan transkripsi sitokin. Secara in vitro CsAdapat menekan produksi IL-5 dan menurunkan jumlaheosinofil.

    FK 506 merupakan imunosupresi dengan spektrumaktivitas sama dengan CsA dalam bentuk oinment(tacrolimus). Pada percobaan awal obat ini dapatmengurangi gatal dalam waktu 3 hari dan pada biopsiinfiltrasi sel T dan eosinofil pada dermis berkurang secaranyata.

    c. Anti-sitokin:

    - anti IL-5 antibodi, pada percobaan binatang dapat men-cegah infiltrasi sel eosinofil sehingga akumulasi sel ini ter-hambat sampai 3 bulan. Obat ini berperan penting padaDA kronik karena pada inflamasi kronik didominasi eks-presi IL-5 dan infiltrasi eosinofil.

    - reseptor IL-4 yang larut (soluble IL-4 receptor),0bat ini efek-

    tif mengikat IL-4 sehingga menekan IL-4 sehingga mene-kan fungsi sel T dan sel B yang diperantarai IL-4. sIL-4Rjuga menghambat produksi IgE spesifik (terhadap paparanalergen).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    13/136

    13

    ATOPI DAN CUTANEOUS LATE PHASEREACTION

    A. Pendahuluan

    Istilah atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca danCooke pada tahun 1923, menerangkan suatu bentuk reaksi hiper-sensitivitas pada manusia terhadap alergen lingkungan denganmanifestasi sebagai asma dan hay fever, cenderung diturunkanatau familiar (18). Kata atopi berasal dari bahasa Yunani untukmenjelaskan suatu keadaan atau penyakit yang aneh. Atopi ber-beda dengan anafilaksis yang berarti tidak ada perlindungan,maupun berbeda dengan alergi, yang berarti suatu reaksi ber-lebihan atau hipersensitiv (4,6,9,19). Kemajuan di bidang biologi

    molekuler dan imunologi mendorong untuk lebih memahamipatogenesis atopi sehingga pemahaman tentang atopi saat iniperlu diperbaiki. Konsep yang dianut sekarang, atopi meliputigejala pada saluran nafas seperti asma dan rinitis serta manifestasipada kulit sebagai dermatitis atopik yang memunjukkan responsimun Th2 dengan predisposisi genetik dengan didapatkan hiper-reaktivitas organ (sasaran) terhadap agen farmakologi atau iritandisertai produksi IgE spesifik yang fakultatif dan aktivitas eosi-

    nofil (19).Late phase reaction (LPR) adalah reaksi inflamasi lokal, yang

    merupakan bentuk kaskade alergi, terjadi setelah atau mengikutireaksi tipe cepat (early phase)pada orang atopi. Reaksi ini dimulai2 jam setelah kontak dengan alergen dan mencapai puncak padajam ke 6 sampai 12 (20,21,22). LPR pada kulit dapat dipakaisebagai model adanya reaksi inflamasi alergi pada kulit dansaluran nafas (pada orang atopi), yang terjadi setelah pemberian

    alergen intra kutan (21). Pada patogenesis penyakit alergi yangdiperantarai IgE, LPR memberi kontribusi penting dan beberapasitokin pro-inflamasi berperan pada kejadian LPR (20,21). Secaramikroskopis pada LPR terlihat akumulasi sel radang terutama

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    14/136

    14

    eosinofil sebagai petanda bahwa eosinofil merupakan komponenselular yang penting.

    Pada makalah ini dibahas konsep tentang atopi dan responsimun Th2 pada dermatitis atopik (DA) sebagai manifestasi reaksiatopi di kulit serta mekanisme serta peran sitokin pada terjadinyaLPR.

    B. Konsep Atopi

    Konsep awal Atopi seperti dikemukakan oleh Coca danCooke adalah : 1. bersifat herediter, 2. terbatas pada sebagian kecilmanusia, 3. berbeda dengan anafilaksis ataupun alergi, 4. terjadipada beberapa orang (atopik) tertentu, 5. klinis berupa hay feverdan asma bronkial, dan 6. dapat disertai reaksi kulit segera berupakemerahan dan bentol (19). Pada awal konsep tersebut DA masihbelum dikenal sebagai salah satu manifestasi klinis atopi. Barupada tahun 1933, Wise dan Sulzberger melaporkan suatu penyakitkulit, yang sebelumnya dikenal sebagai neurodermatitis disseminata,yang mempunyai sifat sifat seperti eksema dengan likenifikasi,kumat-kumatan, cenderung familiar dan berhubungan erat de-

    ngan penyakit atopi lainnya. Penyakit tersebut diusulkan dengannama dermatitis atopik, dan selanjutnya dikenal sebagai salah satumanifestasi klinis atopi (8).

    Pada kondisi atopi terjadi keadaan hipersensitivitas terhadapfaktor eksternal dan telah dibuktikan adanya zat yang bereaksi didalam serum, yang dikenal sebagai atopic reagin. Setelah kuranglebih 30 tahun kemudian zat ini diidentifikasi oleh Ishzaka dkk(1967), sebagai imunoglobulin yang berbeda dengan imuno-

    globulin lain dengan sifat sitotrofik, dan diberi nama sebagaiimunoglobulin-E (IgE) (23). Peningkatan kadar IgE dalam serumpenderita bukanlah persaratan yang esensial bagi terjadinya kon-disi atopi, oleh karena itu pada beberapa kasus kadar IgE tetapnormal dan tidak didapatkan IgE spesifik terhadap alergen.Keadaan ini dikenal sebagai bentuk intrinsik atau non-IgE mediateddari sindroma atopi. Jadi peningkatan IgE pada penderita atopi,belum memberikan kontribusi pada patogenesis DA secara jelas,

    oleh karena itu Wuthrich (1999) menyatakan bahwa atopi lebihmerupakan suatu kondisi dari pada suatu penyakit atau sindroma(19).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    15/136

    15

    Diagnosis DA merupakan hal yang mudah apabila bersandarpada keadaan kliniko-morfologik, namun belum mencerminkanhubungan kausalitas antara penyakit dengan kondisi atopik. Ber-dasar studi keluarga didapatkan bahwa faktor genetik menentu-kan seseorang akan mendapatkan kondisi atopi atau tidak(24,25,26) sedangkan faktor non-genetik berperan mempengaruhiekspresi penyakit (24) atau menentukan spesifitas terhadap jenisalergen. Pada mulanya sebagai penyakit genetik atopi diturunkandengan model simple autosomal dominant inheritance, namun

    banyak yang tidak sependapat karena ada interaksi kompleks diantara multigena yang menyebabkan manifestasi penyakit atopi

    (7,10). Penelitian lebih mendalam mendapatkan beberapa lokusgenetik pada kromosom tertentu mengandung gen atau candidatgen yang produknya berperan pada patogenesis penyakit atopik(21,27). Dengan demikian penyakit penyakit yang tergolongsindroma atopi merupakan penyakit polygenic inheritance yangberinteraksi dengan faktor lingkungan dan dapat dibedakan men-jadi dua tipe yaitu tipe ektrinsik atau IgE mediated dan tipeintrinsik atau non-IgE mediated (gambar 2.1).

    Gambar 2.1 : Klasifikasi penyakit atopi (Wutrich, 1999)

    Sindroma Atopi

    (polygenic inheritance)

    Tes kulit positf, ujiRASTpositif, kadar IgEtotal sedang atau tinggi

    Dermatitis atopik (eczema)Asma bronkhiale

    Rinitis

    Tes kulit negative, ujiRASTnegative, kadar

    IgE total rendah

    extrinsic type,

    Ig-E mediated

    intrinsic type,

    non-IgE mediated

    Faktor lingkunganProduksi IgEspesifik allergen

    (fakultatif)

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    16/136

    16

    C. Imunopatogenesis Dermatitis Atopik

    Kajian dan penemuan di bidang imunologi membuktikan

    penyakit berdasar atopik dapat diterangkan dengan mengguna-kan berbagai fakta imunologik. Teori yang menjelaskan patoge-nesis penyakit atopi pada kulit (DA) didukung oleh beberapabukti adanya perubahan variabel imunitas humoral, sepertikenaikkan kadar IgE pada sekitar 80% kasus DA (15,28), uji kulitpositif pada lebih dari 85% kasus terhadap berbagai alergen(14,16), sering disertai dengan penyakit atopi lain seperti asma danrinitis (1,4,6,18,) dan pada pemeriksaan imunopatologiditemukanpada permukaan membrana sel Langerhans didapatkan IgE spe-

    sifik (1,21). Demikian pula perubahan variabel imunologik selulerseperti meningkatnya kerentanan terhadap infeksi virus maupundermatofita, menurunnya kepekaan terhadap alergen kontak,menurunnya transformasi limfosit dengan rangsangan mitogendan sebagainaya (1,3).

    Wollenberg dkk (2000) menyimpulkan beberapa aspek pato-genesis DA, seperti respon imun Th1/Th2 yang imbalans, defekintrinsik fungsi keratinosit (KC), apoptosis eosinofil tertunda,

    presentasi antigen oleh sel dendritik epidermal melalui IgE danefek superantigen dari Stafilokokus (29). Keseimbangan responsTh1/Th2 abnormal terlihat pada DA stadium akut yang menun-jukkan respons Th2 sedang pada stadium kronis beralih kerespons Th1, dikenal sebagai biphasic response (30,31). Teori ini

    dibuktikan dengan paparan alergen tungau debu rumah padakultur limfosit penderita DA dapat menyebabkan peningkatanIL-4 yang menunjukkan respons imun Th2 dominan (32). Defek

    fungsi KC terjadi akibat disregulasi aktivitas transkripsi AP-1(activator protein-1) transcription factorssehingga ekspresi GM-CSFdan sitokin lain meningkat, menyebabkan amplifikasi dandipertahankannya inflamasi pada kulit (33). Apoptosis eosinofilyang tertunda dipengaruhi IL-5 dan IL-3 yang menyebabkan masahidup eosinofil lebih panjang dan lebih aktif (34,35). Penyajianantigen oleh sel Langerhan (LC) yang merupakan keluarga selberdendrit epidermal dapat terjadi karena pada permukaan LC

    terdapat molekul IgE yang berfungsi menangkap alergen (1).Imunoglobulin-E pada permukaan LC ini sangat efisien dalammenyajikan alergen pada sel T, sehingga sel T berproliferasi sertaberdeferensiasi menjadi sel Th2 yang aktif. Sel Th2 aktif menge-luarkan sitokin IL-4, IL-13 yang akan memacu sel B untuk mem-

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    17/136

    17

    produksi IgE dan IL-5 yang akan mengaktifkan eosinofil. Koloni-sasi Staphylococcus aureusmeningkat pada kulit penderita derma-titis ataupun kulit yang nampak normal pada penderita DA diban-ding kontrol orang normal (6,7,9). Kuman ini melepas eksotoksinsebagai superantigen yang terlibat dalam patogenesis DA melaluipeningkatan frekuensi migrasi dan aktivasi sel T memori.

    Dengan konsep imunopatogenesis DA, menunjukkan bahwarespon imun berperanan penting pada terjadinya lesi kulit padapenyakit tersebut. Namun spektrum kelainan imunologik DAsangat lebar sehingga tidak mudah untuk diklasifikasikan secarategas sebagai hipersensitifitas tipe cepat dengan perantaraan IgE

    atau merupakan kelainan berdasar respon imun seluler (hiper-sensitifitas tipe lambat). Maka secara tepat Tanaka dkk (1989)menyebut DA sebagai IgE mediated delayed type of hypersensitivity(16).

    D. Paradigma Th2-Th1 pada penyakit atopik

    Peran sel T helpersangat penting dalam proses inflamasi padapenyakit atopi, oleh karena sel ini memegang kendali terjadinya

    respon imun (36). Ada tiga sub-populasi sel Thelper yaitu Th-1,Th-2 dan Th-0. Ketiga subset ini dibedakan atas dasar sekresisitokin yang diproduksinya pada saat ia menerima paparan anti-gen dari sel penyaji antigen.

    Tahun 1997 Romagnani menulis tentang polarisasi sel Th1/Th2 dalam konteks yang berhubungan dengan patofisiologi pe-nyakit. Penyakit atopik menunjukkan fenomena hipersensitif yangditandai dengan respons imun Th2 lebih dominan terhadap satu

    atau beberapa alergen lingkungan, oleh karean itu disebut Th2disease, artinya produksi sitokin Th2 berlebihan (Th2 excess).Beberapa penemuan yang mendukung konsep ini antara lain (37):

    1. Sel Th2 terakumulasi pada organ target penderita alergi2. Rangsangan alergen dapat menyebabkan aktivitasi dan

    rekrutmen sel Th2 spesifik3. Th2 dengan marka CD 30+ yang reaktif terhadap alergen

    berada dalam sirkulasi darah penderita atopi selama

    paparan alergan musiman4. Sel TCD4+ darah umbilukus (cord blood lymphocytes) dari

    neonatus dengan orang tua atopi memproduksi IL-4 lebihtinggi dari orang tua non atopi.

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    18/136

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    19/136

    19

    IL-4/IL-13

    Th2 B IgE MC(EA,EAD)

    (EA,EAD& IA,IAD) Histamin

    ECF-A LeukotrieneIL-5

    Sitokin pro- Reaksi alergi

    inflamatorik lain? segera

    Eo MBP

    ECPEPO

    Reaksi alergi fase lambat

    (Late phase reaction)

    Inflamasi

    Gambar 2.2 : Model patogenesis pada asma dan dermatitis atopik(Wuthrich,. 1999)

    Keterangan:

    - EA =-EAD =- IA =- IAD =- ECF-A =

    - MBP =-ECP =

    Extrinsic asthmaExtrinsic atopic dermatitisIntrinsic asthmaIntrinsic atopic dermatitiseosinophil chemotactic factor ofanaphylaxismajor basic proteineosinophil cationic protein

    -EPO =- MC =- Eo =- B =

    Eosinophilperoxidesmast celleosinophilsB cells

    E. Redefinisi atopik

    Dari penelitian di bidang imunologi molecular, pengertianatopi dewasa ini telah banyak berbeda dengan konsep awal.Berdasar hal tersebut maka Lowell (1979), yang kemudian disem-

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    20/136

    20

    purnakan oleh Wuthrich (1999) mengajukan definisi baru atopi,atopi meliputi sindroma respirasi asma dan rinitis serta manifestai padakulit (dermatitis atopik) adalah suatu hipersensitivitas dari organ(sasaran) terhadap agen farmakologis atau iritan, dan merupakan suaturespons imun Th2 terhadap alergen dengan produksi IgE spesifik yang

    fakultatif, disertai aktivitas eosinofil, dan mempunyai predisposisi genetic(19). Dengan demikian dapat diterangkan respons imun padapenyakit atopi saat kambuh adalah respons Th2. Khusus pada DApada stadium kronis respons imun beralih menjadi respons Th1yang lebih prominen, suatu keadaan yang dikenal dengan biphasicresponse (31,32).

    F. Late phase reaction

    Penderita dengan kondisi atopi yang telah sensitif terhadapalergen spesifik, apabila terpapar ulang akan memberikan reaksi,mula mula terjadi respons fase dini (early phase) kemudian diikuti

    respons fase lambat (LPR). Respons fase lambat terjadi 26 jamsetelah paparan alergen, dengan puncak pada jam ke 6-12 danakan tetap ada sampai 2448 jam (20,21,22). Penelitian Wildschut

    dkk (1996) pada penderita DA, setelah pemberian alergen Derma-tophagoides pteronyssinus intrakutan terjadi reaksi alergi mulai jamke 2 sampai maksimum 6-10 jam dan berakhir setelah 24 jam (21).Gambaran makroskopis cutaneous LPR yang terlihat adalah edemadifus, eritema, sedikit indurasi, gatal dan pada perabaan kenyal(tenderness). Ini berbeda dengan hasil tes tempel (atopic patch test=APT) 24 sampai 48 jam setelah aplikasi epikutan alergen Der pterlihat eritema, indurasi, papel dan atau vesikel pada tempat

    penempelan. Dengan teknik imunositokimia terlihat perbedaanantara lesi LPR dibanding APT maupun dibanding lesi DA(L) dannon-lesi (NL). Pada LPR tanda khas adalah rekrutmen bermacammacam sel radang terutama eosinifil dan neutrofil pada tempatinflamasi disertai edema dan degranulasi sel mast. Tidak didapat-kan spongiosis dan akantosis seperti pada lesi DA. Pada hasilAPT tampak spongiosis, akantosis dan infiltrasi sel pada dermisyang didominasi CD1+, CD4+ sel T dan eosinofil aktif, gambaranini sesuai dengan lesi DA.

    Komponen selular pada APT dan LPR yang diperiksa denganimunositokimia pada jam ke 2 dan 24, dibandingkan dengan lesiDA dan non-Lesi, didapatkan hasil seperti pada tabel di bawah(21):

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    21/136

    21

    Tabel Komponen selular pada LPR, APT dan Lesi DA (L).

    NLLPR APT

    Ljam ke2 jam ke24 jam ke 2 jam ke24

    Neurotrofil - +++ ++ +/- + +/-

    Eosinofil - ++ +++ + ++ +/-

    Sel mast + +/- +/- + + +

    Sel T (CD3+) +/- + ++ + ++ +++

    Ekspresimol.adesi

    +/- + ++ +/- + +

    Lokasi

    neutrofilpada dermis

    ekstra vaskular intra vaskular

    Intra

    vas-kular

    Keterangan:NL : non lesi + /- : sedikit sekali (very small)LPR : late phase reaction + : sedikit (small)APT : atopic patch test ++ : banyakL : lesi DA +++ : banyak sekali (extensive)

    Infiltrasi neutrofil pada cutaneous LPR terlihat prominensedang pada lesi DA maupun APT minim atau sedikit sekali.Eosinofil pada jam ke 2 setelah paparan alergen telah banyakterkumpul, berarti ada faktor yang mempengaruhi tertariknya selini pada fase awal lesi LPR. Sel mast (MC) terdapat dalam jumlahlebih sedikit dibanding pada lesi maupun non-lesi (p

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    22/136

    22

    tinggi secara signifikan (p

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    23/136

    23

    - penderita DA yang dipaparDer.farmenunjukkan respons Th2,

    dengan peningkatan IL-4 dan IL-5 yang signifikan dibandingtanpa paparan maupun paparan alternaria (gambar 2.6 & 2.7).Ini sesuai dengan penelitian Harijono (2003), menggunakantungau debu rumah sebagai alergen, terjadi peningkatan kadarIL-4 dibanding tanpa paparan Dibanding kontrol orang sehat,penderita DA yang dipapar Der far, kadar IL-4 meningkatnamun tidak signifikan, sedang IL-5 meningkat signifikan (39).

    Pada penderita DA paparanDer fartidak terjadi peningkatanIL-2 dan IFN-gamma yang signifikan dibanding kontrol, dan

    kadar IFN-gamma sendiri lebih rendah pada DA dibandingkontrol (gambar 2.4 & 2.5), berarti paparan alergen pada DA tidakmenyebabkan respons Th1, hal ini juga sesuai dengan penelitianHarijono (32).

    Gambar 2.4. Produksi IL-2 akibat stimulasi alergen pada penderita DA

    dan kontrol. Terdapat peningkatan kadar IL-2 sebagai respon paparanC. albicans dibanding paparan alergen yang lain. , DA (n=29);

    o, kontrol (n=13). (Dikutip dari : Okada et al, 2002).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    24/136

    24

    Gambar 2.5. Produksi IFN- setelah stimulasi alergen pada penderita DA dankontrol. Terdapat kenaikan produksi IFN- sebagai respon paparan C. albicandibanding allergen yang lain atau tanpa paparan. , DA (n=29); o, kontrol

    (n=13). (Dikutip dari : Okada et al, 2002).

    Gambar 2.6. Produksi IL-4 setelah stimulasi alergen pada penderita DA dankontrol. Terdapat kenaikan produksi IL-4 sebagai respon paparan C. albican dan

    D. farinae dibanding paparan Alternaria atau tanpa paparan. , DA (n=29);o, kontrol (n=13). (Dikutip dari : Okada et al, 2002)

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    25/136

    25

    Gambar 2.7. Produksi IL-5 setelah stimulasi alergen pada penderita DA dankontrol. Terdapat kenaikan produksi IL-5 sebagai respon paparan C. albican dan

    D. farinae dibanding paparan Alternaria atau tanpa paparan. Produksi IL-5setelah paparan D. farinae lebih tinggi pada DA dibanding kontrol. , DA

    (n=29); o, kontrol (n=13). (Dikutip dari : Okada et al, 2002).

    G. Peran sitokin dan kemokin pada LPR

    Kejadian LPR tidak terlepas dari peran berbagai sitokin ter-utama berasal dari sel T aktif dan lain, serta beberapa kemokindan molekul adesi, yang semuanya memberi kontribusi terkum-pulnya sel inflamasi pada tempat peradangan (21,22). Akumulasieosinofil sejak awal LPR disebabkan karena alergen masuk kedermis dan akan berinteraksi dengan IgE spesifik dipermukaan sel

    mast melalui reseptor FcRI, dan mengakibatkan degranulasi MC.Hal ini akan menyebabkan keluarnya mediator inflamasi sepertihistamin, proteoglikans, triptase, prostaglandins, leukotriene,

    platelet activating factor (PAF) dan sebagainya. Leukotiene B4 danPAF merupakan kemotaktik faktor bagi tertariknya eosinofil danneutrofil sehinggga kedua sel ini banyak didapatkan pada faseawal LPR. Selain itu MC juga memproduksi sitokin IL-4, IL-5, IL-6,

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    26/136

    26

    IFN-gamma dan TNF-(21) yang terlibat dalam respons inflamasidengan merangsang ekspresi molekul adesi seperti ICAM-1, E-selectin pada sel endotel (SE) sehinggga terjadi migrasi neutrofilke jaringan. Penelitian Zweiman dkk (1998) menunjukkan di-dapatkan kadar IL-8 yang lebih tinggi pada LPR dibanding padareaksi hipersensitivitas lambat (DH= delayed hypersentivity) yangdiduga menyebabkan eksudasi neutrofil(40).

    Migrasi eosinofil melalui sel endotel vaskuler (trans endothelmigration) tidak lepas dari peran molekul adesi yang di ekspresi-

    kan oleh SE. Induksi oleh IL-1 dan TNF-, juga IL-4 dan IL-5menyebabkan SE mengekspresikan VCAM-1 yang secara selektifakan berikatan dengan eosinofil, sehingga terjadi migrasi. EkspresiVCAM-1 dapat ditunjukkan pada LPR yang terjadi di kulit,hidung dan paru (22). Sitokin lain yang berperan adalah IL-3, GM-CSF, RANTES dan Eotaxin yang diproduksi sel epitel, pentingdalam migrasi leukosit terutama eosinofil. Eosinofil di jaringandermis akan mengalami degranulasi yang akan mengeluarkangranula proteinnya seperti MBP, ECP EDN dsb yang dapatbersifat toksik pada jaringan.

    Mekanisme terjadinya inflamasi pada LPR, disebabkan olehkarena pengaruh atau induksi sitokin yang menyebabkan ekspresimolekul adesi pada SE sehingga terjadi infiltrasi sel ke tempatperadangan. Sebagai pemicu LPR adalah MC yang mengeluarkan

    TNF-, IL-5, GM-CSF dan MIP-1, sedangkan sel Th2 yangmemproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan RANTES akan memper-tahankan inflamasi sampai 24-48 jam (22). Berdasar mekanismetersebut Ebisawa membagi LPR menjadi dua sub fase yaitu late

    phase dan very late phase(gambar 2.8).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    27/136

    27

    Gambar 2.8. Mekanisme LPR. Sel Th2, sel mast, eosinofil, basofil, selendotel, dan sel epitel memberi kontribusi pada terjadinya LPR melalui

    ekspresi dan produksi sitokin dan kemokin. Sitokin dari mast sel dan Th2mungkin berfungsi sebagai trigger terjadinya LPR yang klasik. (Dikutip

    dari : Ebiwasa, M et al, 1997).

    KesimpulanAtopi adalah suatu kondisi yang meliputi sindroma respirasi

    seperti asma dan rinitis serta manifestasi pada kulit, merupakanreaksi hipersensitivitas terhadap allergen lingkungan yang me-nunjukkan respons imun Th2 dengan produksi IgE spesifik fakul-tatif disertai aktivitas eosinofil dan mempunyai predisposisigenetic. Manifestasi atopi pada kulit sebagai dermatitis atopik,berupa inflamasi kronis spesifik disebabkan reaksi hipersensi-tivitas terhadap alergen dengan respons imun Th2 dominan padastadium akut dan Th1 pada stadium kronis.

    Reaksi atopi dapat didahului oleh suatu inflamasi lokal yangterjadi 2-6 jam setelah paparan alergen, disebut late phase reaction(LPR). LPR diawali dengan infiltrasi eosinofil dan neutrofil ketempat peradangan oleh karena pengaruh sitokin dan kemokinyang dikeluarkan MC yang mengalami degranulasi dan pada faseselanjutnya dipertahankan oleh sitokin Th2. Pengamatan terjadi-

    nya LPR sebelum reaksi atopi penting, memungkinkan kita dapatmelakukan pengobatan berdasar mekanisme terjadinya LPR,antara lain terapi antagonis terhadap IL-5 atau sitokin lain yang

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    28/136

    28

    berperan pada LPR, atau terhadap eosinofil, agar tidak berlanjutmenjadi inflamasi kronis seperti pada DA.

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    29/136

    29

    EOSINOFILPERAN DAN FUNGSINYA PADA

    DERMATITIS ATOPIK

    A. Pendahuluan

    Eosinofil adalah salah satu granulositpolimorfonuklear(PMN),

    yang berasal dari sumsum tulang, pada keadaan normal beradadalam darah tepi dan jaringan dalam jumlah tidak prominen (34).Dalam sirkulasi jumlah eosinofil hanya 13% dari seluruh darahperifer dan sangat kecil dibandingkan yang ada di sumsum tulang(1:200) serta di dalam jaringan, yaitu 1:500 (41). Sebagian besar

    eosinofil tinggal di jaringan terutama pada epitel mukosa yangberhubungan dengan dunia luar seperti pada traktus respirasi,gastrointestinal, saluran urogenital bawah (42). Pada keadaantertentu seperti alergi, infeksi parasit atau beberapa penyakitidiofati lain, jumlahnya dalam darah meningkat (eosinofilia)(34, 41,43).

    Pertama kali eosinofil dapat diidentifikasi oleh Paul Ehrlichpada tahun 1879 dari lekosit yang mempunyai afinitas kuat ter-

    hadap zat warna asam oleh karena adanya granul granul di dalamsitoplasma (44). Korelasi antara peningkatan jumlah eosinofilyang menyertai adanya infeksi parasit dan alergi telah diketahuisejak lebih dari seratus tahun yang lalu, namun peranannyasebagai sel efektor proinflamasi, saat itu masih belum jelas. Barupada dekade 1970an diketahui bahwa eosinofil mengandung gra-nula spesifik yang bersifat sangat toksik dan mampu membangkit-kan reaksi inflamasi serta dapat menyebabkan kerusakan jaringan(34, 43, 44). Peran eosinofil pada penyakit alergi, terutama karena

    terdapat bemacam-macam reseptor pada membrana sel, sepertireseptor untuk imunoglobulin, integrin, komplemen dan sitokin,yang memungkinkan sel ini dapat berinteraksi dengan komponenrespon imun lainnya (34, 41, 45).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    30/136

    30

    Pertumbuhan dan diferensisasi eosinofil dalam sumsumtulang dipengaruhi oleh sitokin IL-3, IL-5 dan GM-CSF (Granulo-cyte Macrophag Colony Stimulating Factor), terutama IL-5 yangdapat secara akut menyebabkan keluarnya sekelompok eosinofilmatang ke dalam sirkulasi (34, 41, 43, 46). Aktivasi, rekrutmen danakumulasi eosinofil pada tempat peradangan merupakan prosesyang kompleks, meliputi peristiwa marginasi baik melalui selectinmediated maupun integrin mediated margination dan dilanjutkandengan migrasi transendotel sampai terkumpul dilokasi inflamasidan diakhiri dengan keluarnya granul-granul yang menyebabkanterjadinya inflamasi (44, 47, 50).

    Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit yang kronisresidif disertai dengan kenaikkan kadar IgE dalam serum danadanya riwayat asma, rinitis alergika dan atau dermatitis (atopi)pada penderita ataupun keluarganya (1, 6, 17). Etio-patogenesisnya sampai sekarang belum jelas, banyak faktor yang ikut terlibatdan berperan di dalam terjadinya penyakit ini (multifaktorialdisease). Magnerin dkk (1995) menyimpulkan bahwa eosinofilberperan dalam patogenesis terjadinya lesi kulit pada DA dengan

    food sensitivity (49). Leiferman dan Gleich (1996) menyatakanadanya kenaikan IgE dan hipereosinofilia dalam darah tepipenderita DA serta deposisi granul protein pada kulit yangmengalami inflamasi menunjukkan keterlibatan dan aktivitaseosinofil (46). Bruinjzeel PL dkk (1993) melakukan uji tempel padapenderita DA dan dari hasil biopsi setelah 24 & 48 jam, ternyataeosinofil dalam keadaan aktif dengan mengeluarkan eosinophilcationic protein (ECP) serta menginfiltrasi dermis dan epidermis.

    Uji tempel ini dikenal dengan APT (Atopic Patch Test) yang dapatdipakai sebagai model (in vivo) untuk mempelajari patogenesisDA (50).

    B. Struktur Dan Aktivitas Biologi Eosinofil

    Eosinofil dikenal sebagai sel yang mempunyai inti dua lobi,dengan diameter berukuran 12-17 milimikron, sedikit lebih besardari pada neutrofil dan ditandai dengan adanya granula protein di

    dalam sitoplasma yang berbentuk kurang lebih bulat denganukuran 0.5 mili mikron(34,41). Terdapat sejumlah kurang lebih 200granul dalam satu sel dan setiap granul mengandung crystaloidcore di tengah yang padat elektron, dikenal sebagai major basicprotein (MBP). Di sekelilingnya terdapat non-core granule matrix

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    31/136

    31

    yang radiolusen berisi eosinophil cationic protein (ECP), eosino-phil derivat neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxydase (EPO)(34, 41, 44). Eosinofil yang aktif menunjukkan kepadatan granulyang kurang (hypodense eosinophils).

    Selain granul spesifik tersebut didapatkan pula dalam sito-plasma, protein Chargot-Leyden crystal atau lipofosfolipase, berupakristal kristal bipiramidal heksagonal yang merupakan tanda ada-nya eosinofil dalam jaringan dan cairan ubuh (34, 51). Eosinofilaktif juga dapat mengeluarkan mediator lipid yang dihasilkanoleh lipid bodies dan lipid membrane antara lain: PAF (plateletactivating factor), LTC4 (leukotrien C4), dan PGE2 (prostaglandin E2)

    (34, 46).

    Pada beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa eosinofilmerupakan sumber sitokin dan disimpan juga di dalam granulaspesifik (34, 43, 46). Sitokoin yang diproduksi eosinofil adalah:IL-3, IL-5, GM-CSF dan faktor pertumbuhan seperti: TGF-alfa,TGF-beta, PDGF-beta (platelet-derived growth fator), VEGF(vascularendothelial growth factor) dan HB-EGF(heparin-binding epidermal

    growth factor), sitokin imunoregulator seperti IL-2, IL-4, IL-10 dan

    IFN-gamma, sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-alfa dan kemokin seperti RANTES, MIP-1 alfa dan eotaxin (34, 42).

    Pada dua dekade terakhir, penelitian menunjukkan bahwagranul protein eosinofil mempunyai aktivitas proinflamasi yangpoten, dan berikut ini adalah beberapa sifat dari granula proteineosinifil (34, 42, 43, 45):1. Major bacic protein (MBP), mempunyai sifat sangat toksik dan

    mampu membunuh parasit, cacing ataupun protozoa, bakteri

    dan sel-sel mamalia. Selain itu dapat menyebabkan pelepasanhistamin dari basofil dan mastosit, menetralisir heparin danmengaktifkan neutrofil dan platelet.

    2. Eosinophil cationic protein (ECP), bersifat helmintotoksin danneurotoksin yang poten, dapat menghambat proliferasi lim-fosit serta mempunyai aktivitas ribonuklease lemah.

    3. Eosinophil derivat neurotoxin (EDN), aktivitas neurotoksin danribonuklease sangat kuat dan seperti ECP dapat menghambat

    proliferasi limfosit dalam kultur.4. Eosinophil Per-oxydase (EPO),merupakan golongan peroksidaseyang bila berikatan dengan H2O2 dan Halida seperti Br. akanmenjadi oksidan yang poten, dapat membunuh mikroorga-

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    32/136

    32

    nisme dan sel sel tumor serta menyebabkan pelepasan hista-min dan degranulasi mastosit.

    Selain sifat merusak jaringan (sitotoksin) seperti tersebut diatas MBP, ECP, EDN dan EPO dapat pula mempengaruhi lang-sung pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan permeabilitasyang menyebabkan terjadinya reaksi radang dan urtika (34, 43,44).

    Aktivitas mediator lipid yang dikeluarkan eosinofil terutamaLTC4 (Leukotrien C4), semula dikenal dengan SRS-A, menyebab-kan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan sebagai mediatorvasoaktif (34, 46). Sedangkan PAF mempunyai fungsi menarik danmengaktifkan lekosit ke area terjadinya inflamasi (34, 41, 46). Eosi-nofil dapat berperan pula sebagai sel penyaji antigen yang khusus(specialized APC) melalui ekspresi molekul MHC klas II dan pro-duksi IL-1 alfa (3, 7). Demikian pula eosinofil mungkin dapat ber-peran dalam penyembuhan jaringan dengan cara mendorongsintesa kolagen dan DNA fibroblas serta memproduksi proteinmatriks ekstrasel (42, 46).

    Reseptor membranFungsi efektor eosinofil terutama dalam hubungan dengan

    penyakit alergi dan infeksi parasit banyak ditentukan oleh ber-macam-macam reseptor pada membran sel. Studi tentang efeksitokin dari eosinofil terhadap larva parasit telah banyak dilaku-kan (45). Mekanisme efektor eosinofil sangat dipengaruhi olehantibodi dan atau komplemen yang berinteraksi dengan reseptorspesifik pada membrane eosinofil.

    Beberapa reseptor membran beserta ligand dan fungsinya adalahsebagai berikut:1. Reseptor imunoglobulin untuk IgA, IgG dan IgE, dapat ber-

    fungsi memacu proses degranulasi eosinofil, fagositosis danrespiratory burst activation (45, 56). Peranan reseptor ini didalam mengikat antigen untuk dipresentasikan atau sebagaisel penyaji antigen (SPA) masih diselidiki (34).

    2. Reseptor adesi eosinofil dengan ligandnya pada sel endotel

    (E-selectin), yaitu : selectin, integrin dan Ig-like structures (56).3. Reseptor untuk komplemen seperti C3a, C5a, C3b berfungsi

    sebagai aktivasi eosinofil. C3a dan C5a terlibat pula dalamproses kemotaksis (34, 56).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    33/136

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    34/136

    34

    INFILTRASI JARINGAN:-Peningkatan CD4+T cell :

    ekspresi reseptor IL-2 dan

    ekspresi HLA-DR meningkat-Peningkatan sel mas dan sel Langerhans-IgE terikat pada permukaan sel Langerhans dan makrofag.

    (*) dikutip dari Leifermann & Gleich, 1996.

    D. Degranulasi Eosinofil Pada Dermatitis Atopik

    Pada dermatitis atopik (DA) eosinofil mengalami degranulasi

    sehingga mengeluarkan granul toksiknya antara lain MBP. Seba-gai petanda adanya degranulasi eosinofil terlihat deposisi MBPdalam jaringan, yang dapat di deteksi setelah biopsi denganmenggunakan metode imunofluoresen tidak langsung (46). Eosi-nofil juga memberi kontribusi pada terjadinya reaksi alergi faselambat (late phase reaction = LPR), dengan mengeluarkan produkgranula protein 68 jam setelah paparan alegen (57), dan penge-luaran granul granul protein ini melalui proses sitolisis (51).

    Bruinjzeel, PL dkk. melakukan APT (atopic patch test) denganmenggunakan alergen inhalan; setelah paparan antigen 26 jam,pada biopsi didapatkan infiltrasi limfosit dan eosinofil di dalamdermis, dan 2448 jam setelah paparan didapatkan eosinofildalam bentuk aktif (49). Reaksi eksematous berkurang serta tidakdidapatkan lagi eosinofil dalam dermis dan epidermis pada 4872jam seteleh aplikasi alergen (49).

    Parameter adanya degranulasi eosinofil pada DA selain dapat

    dilihat dari deposisi granul granul protein dalam jaringan dapatpula dengan mengukur kadar MBP, ECP, EDN yang larut dalamserum atau urine dengan metode immunoassay, serta jumlaheosinofil dalam darah tepi (46). Kadar ECP dalam serum dapatmenggambarkan atau adanya korelasi dengan aktivitas penyakitDA, tetapi huhungannya dengan jumlah eosinofil darah bervariasidan tidak ada hubungan dengan kadar IgE (46, 52). Di dalamdarah tepi eosinofil meningkat jumlahnya pada DA berat danmenurun kadarnya setelah pengobatan sedangkan eosinofilhipodensa berkorelasi dengan aktivitas penyakit (48). Beberapapenelitian menunjukkan serum ECP pada DA meningkat danberkorelasi dengan berat ringan penyakit. Kadar ECP dalamserum, juga soluble ICAM-1dan solublereseptor IL-2 dalam serum

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    35/136

    35

    dapat dipakai sebagai petanda untuk monitoring gejala klinis

    dermatitis atopi (46,52,53). Peranan eosinofil pada dermatitisatopik secara umum dapat dilihat pada tabel 3.2.

    TABEL 3.2. EOSINOFIL PADA DERMATITIS ATOPI. (*)

    - Granul protein eosinofil tersimpan secara ektensif di dalamjaringan/lesi

    - Eosinofil dalam darah tepi meningkat pada DA yang berat,menurun setelah terapi dan eosinofil aktif (hypodense eosino-

    phils) berkorelasi dengan aktivitas penyakit- Granul protein eosinofil yang larut meningkat dalam darah

    tepi dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit- Pada atopic patch test eosinofil menginfiltrasi jaringan dan

    didapatkan deposisi protein ekstrasel.

    (*) dikutip dari Leifermann & Gleich, 1996.

    E. Peran Molekul Adesi Dan Sitokin Di Dalam RekrutmenEosinofil

    Eosinofil dalam jumlah besar dapat ditemukan pada tempatterjadinya reaksi alergi pada penyakit alergi termasuk DA. Sel inijuga memberi kontribusi pada kerusakan jaringan saluran nafaspada penderita asma. Di dalam cairan bronkus (bronchoalveolarlavage=BAL) pada paru yang terpapar alergen dari penderitaalergi, 60% atau lebih sel2 radang yang ada adalah eosinofil (55).

    Eosinofil berperan penting dalam imunopatogenesis terjadinyainflamasi alergi melalui proses pengerahan (rekrutmen) eosinofildan mengeluarkan protein kationik yang menyebabkan kerusakandan disfungsi sel di tempat inflamasi. Pada percobaan binatangdengan menghambat rekrutmen dan adesi eosinofil akan menu-runkan derajad inflamasi dan sequeleyang diakibatkannya (34).

    Pada dermatitis atopik, faktor kemotaktik seperti FMLP(formyl methionyl-leucyl-phenylalanine), PAF, dan platelet faktor-4

    menyebabkan tertariknya eosinofil ketempat inflamasi. RANTES(Regulated upon Activation, Novel Tcell Expressed, and presumablySecreted) merupakan sitokin yang bersifat chemoattractant, dikenalsebagai kemokin dan berfungsi kusus menarik monosit, limfosit Tdan eosinofil (56). RANTES dapat berfungsi sebagai kemotaksis

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    36/136

    36

    yang poten terhadap eosinofil dan mempunyai efek pula meng-aktifkan fungsi eosinofil (17). Eosinofil sendiri dapat pula mem-produksi beberapa kemokin, antara lain RANTES, MIP-1 alfa danIL-8 (34).

    Mekanisme paparan alergen dapat menyebabkan infiltrasiyang ekstensif dari eosinofil ke tempat peradangan tidak lepasdari peran molekul adesi dan pengaruh sitokin pada interaksiantara eosinofil dan sel endotel pembuluh darah. Secara garisbesar mekanismenya adalah sebagai berikut (lihat gambar) (55):

    Paparan antigen pertama kali akan menyebabkan makrofagdan sel mast mengeluarkan sitokin IL-1 dan TNF-alfa. Keduanyaakan mempengaruhi sel endotel pembuluh darah untuk mengeks-presikan molekul adesi yakni ICAM-1, E-Selectin (ELAM-1) danVCAM1. Peningkatan ekspresi molekul adesi akan menyebabkanterjadinya proses marginasi, adesi dan migrasi transendotel dari selsel lekosit seperti eosinofil, basofil, neutrofil, dan limfosit. Limfositselanjutnya memproduksi IL-4 (mungkin juga oleh sel mas) secarasendiri atau bersama dengan IL-2 dan TNF-alfa dan menyebabkanekspresi molekul adesi kususnya VCAM-1. Rekrutmen eosinofil

    akan meningkat oleh karena VCAM-1 merupakan ligand darimolekul VLA (very late antigen) yang diekspresikan oleh eosinofil

    (46). Interaksi eosinofil dengan IL-3, IL-5 dan GM-CSF yang dipro-duksi oleh sel T ataupun eosinofil sendiri akan menyebabkaneosinofil menjadi lebih aktif dengan masa hidup lebih lama.

    Gambar 3.1 : Peranan molekul adesi dan sitokin pada kejadian inflamasialergi

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    37/136

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    38/136

    38

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    39/136

    39

    HUBUNGAN KADAR IgEDALAM SERUM DENGAN EOSINOFIL DARAHDAN DERAJAT PENYAKIT PADA PENDERITA

    DERMATITIS ATOPIK

    A. Pendahuluan

    Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi kronisdengan gejala utama gatal, biasanya disertai peninggian kadar IgEdalam serum dan eosinofilia serta adanya riwayat asma dan ataurinitis pada diri atau keluarga. Penyakit ini merupakan manifest-tasi atopi pada kulit yang biasanya diderita sejak umur kurang

    dari 1 tahun, yaitu pada 60% kasus dan 30% timbul pada usia 1-5tahun (Leung dkk. 1992); namun dapat pula timbul pada saatdewasa bahkan di usia 50 tahun (Champion dan Parish 1992).Penderita DA banyak dijumpai di masyarakat, prevalensinya saatini di negara-negara barat cenderung meningkat dibanding duadecade yang lalu yakni 10-20% (58), sedang di Indonesia belumada laporan yang resmi. Perjalanan penyakit yang kronis dansering kambuh terutama pada DA berat (severe)dapat menyebab-kan penderitaan bagi penderita bahkan kecacatan fisik sehinggadapat menghambat komunikasi sosial yang akhirnya dapat me-ngurangi kualitas hidup (5, 59).

    Etiologi DA sampai sekarang masih belum jelas dan pato-genesis-nya sangat komplek, melibatkan banyak faktor sehinggaDA digambarkan sebagai penyakit multifaktorial (9, 14). Konsepyang banyak diterima sekarang adalah DA merupakan penyakitalergi yang paralel dengan asma dan rinitis alergik berdasarkankurang lebih 80% kasus didapatkan kadar IgE tinggi serta hasil uji

    kulit positif terhadap berbagai alergen hirup (aeroallergen) danmakanan (15). DA dengan kadar IgE yang meninggi dikategorikansebagai bentuk ekstrinsik (extrinsic atopic dermatitis), di sampingada pula bentuk intrinsik (intrinsic atopic dermatitis) (60, 61).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    40/136

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    41/136

    41

    pula pemeriksaan tapisan (screening)untuk menyingkirkan penya-

    kit sistemik dan infestasi parasit.

    Diagnosis DA ditegakkan berdasar kriteria Hanifin dan Rajka(1985) dan penilaian derajat penyakit menurut kriteria Rajka &Langerland (1989) (tabel 1) sebagai berikut:

    DA ringan: apabila luas lesi kurang dari 9% luas permukaantubuh (dengan menggunakan rule of mine), mengalami remisi lebihdari 3 bulan dalam satu tahun dan intensitas gejala gatal ringan,kadang kadang saja mengganggu tidur malam. Skor total = 34.5.

    DA sedang: bila luas lesi berkisar 9-36%, periode remisi

    kurang dari 3 bulan dalam satu tahun dan keluhan gatal cukupsampai mengganggu tidur malam lebih dari biasanya. Skor total =4.57.5.

    DA berat: luas lesi > 36%, mengalami kekambuhan terusmenerus dan mengeluh gatal yang sangat sehingga selalu meng-ganggu tidur malam. Skor total = 8-9.

    Penentuan jumlah eosinofil: bahan diambil dari darah tepi,dihitung dengan metoda Dunger, dan untuk ketelitian menghitung

    dapat dipertinggi dengan menggunakan kamar hitung, misalnya :Fuschs- Rosental, sebagaimana prosedur rutin pemeriksaan untukleukosit. Angka normal jumlah eosinofil absolut = 0.08 0.360 103/ ul.

    Kadar IgE total dalam serumdiukur dengan metoda micro-particle enzyme immunoassay(MEIA), menggunakan kit IMX systemdari Abbot. Kadar dinyatakan dalam ukuran International Unit(IU).Angka normal kadar IgE total dalam serum = < 120 IU.

    C. Hasil Penelitian

    1. Subjek penelitianSelama waktu penelitian 4 bulan, diperoleh sejumlah subjekyang memenuhi kriteria dan diikut sertakan dalam penelitiansebanyak 15 kasus DA, terdiri 7 laki-laki dan 8 wanita. Usiaberkisar antara 1-41 tahun dengan usia rata-rata = 21,06. 13penderita di antaranya (86.6%) mempunyai riwayat atopi padadiri atau keluarganya. Penyakit atopik yang lain menyertaiadalah asma pada 4 kasus, rinitis pada 7 dan urtikaria atopipada 2 kasus (tabel 4.2). Distribusi usia yang mencerminkanbentuk klinis DA terdiri dari seorang kasus dengan tipe infant,4 kasus tipe anak dan 10 kasus tipe dewasa (tabel 4.3).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    42/136

    42

    2. Pengukuran jumlah eosinofil :Jumlah eosinofil darah di antara 15 subjek penelitian dida-

    patkan hasil 5 kasus di atas normal (>0.360) dan 10 kasus yanglain dalam batas normal (tabel 4.4).

    3. Hasil penentuan kadar IgE :Pemeriksaan kadar IgE total dalam serum di laboratoriumklinik Prodia didapat hasil (tabel 4.5):

    - 4 kasus : dalam batas normal (26-107 IU)

    - 4 kasus : di atas normal (231 383.6 IU)

    - 7 kasus: kadar IgE tinggi > 450 IU (461-6702)

    4. Penilaian derajat penyakitBerdasar kriteria gradasi klinik Rajka & Langeland, dari 15penderita dA, ternyata sebagian besar adalah DA sedang yaitupada 11 kasus (73.3%) dan 4 kasus sisanya DA derajat ringan(lihat tabel 4.6). Tidak ada yang menderita DA berat.

    5. Hubungan antara kadar IgE dengan jumlah eosinofil darah danderajat penyakit

    Tabel 4.7 memperlihatkan daftar urutan penderita berdasar

    usia, jenis kelamin, jumlah eosinofil darah, kadar IgE total danderajat penyakit. Tabel 4.8 memperlihatkan hubungan antarakadar IgE total dengan jumlah eosinofil dan derajat penyakit.

    Uji statistik menggunakan uji korelasi peringkat Spearmanmenunjukkan tak ada korelasi positif antara kadar IgE total

    dengan jumlah eosinofil darah (p>0.05, dB =1, = 0.05). ujistatistik hubungan antara kadar igE total dengan derajatpenyakit dengan menggunakan uji chi-Square menunjukkan

    tidak ada korelasi yang bermakna (p>0.005).

    D. Pembahasan

    Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik residif, biasa-nya dijumpai dengan prevalensi paling tinggi pada bayi dan anak(52). Pada penelitian ini dijumpai hanya satu kasus bentuk infant(6.6%) dan 4 kasus bentuk anak (26.6%). Hal ini mungkin olehkarena DA bentuk anak dan terutama infant lebih banyak datang

    ke poli anak. Untuk itu di masa datang kiranya di pusat-pusattpendidikan Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin, adanya sub bagianDermatologi Anak perlu lebih disosialisasi agar dapat diperolehdata penyakit kulit anak yang lebih akurat.

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    43/136

    43

    Penemuan antibodi reagin pada penderita atopik yang di-identifikasikan sebagai antibody klas tersendiri yaitu IgE olehIshizaka dkk pada tahun 1968 merupakan sumbangan yang berartibagi penelitian selanjutnya. (23). Namun peninggian kadar IgEdalam serum bukan merupakan sarat mutlak untuk DA; hanya60-80% kasus DA yang disertai IgE yang meningkat (60), ini sesuaidengan hasil penelitian ini yaitu 11 kasus (73.3%). Dengan kadarIgE meninggi, > 120 IU sedang 4 kasus lain dalam batas normal.Tingginya kadar IgE total pada DA tidak berkaitan dengan gejalaklinik atau riwayat penyakit atopi lain yang menyertai (Juhlin dkk1969), namun beberapa peneliti yang lain menyatakan DA yang

    disertai penyakit atopi saluran napas (atopic respiratory disease=ARD)kadar IgE totalnya jauh di atas normal dibanding bila hanyamenderita DA (1, 6). Penelitian Jones dkk menyatakan tingginyakadar IgE pada AD+ARD bukan disebabkan oleh aktivitas penya-kit saluran napas atau luas lesi dermatitis, tetapi mungkin adahubungan dengan bentuk AD disertai ARD adalah highly atopic(66)

    Pada penelitian ini subjek penelitian yang disertai asma dan

    rinitis kadar IgE bervariasi dari normal (=107 IU, pada kasus 1)sampai tinggi (=3833 IU, kasus no 9). Produksi IgE pada manusiadiinduksi oleh sitokin IL-4 dan dihambat oleh interferon gamma

    (IFN-). Peninggian produksi IgE (dan IgG4) menggambarkanabnormalitas ekspresi IL-4 sehingga menyebabkan polarisasisitokin ke arah profil Th2. sebagaimana diketahui DA merupakanpenyakit dengan kelainan fungsi limfosit T (14, 30, 67).

    Jumlah eosinofil pada keadaan normal dalam darah tepi tidak

    terlalu banyak, hanya 1-3% dari seluruh leukosit. Ini merupakansebagian kecil dari seluruh populasi eosinofil; diperkirakan setiapeosinofil darah terdapat 200 eosinofil matang dalam sumsumtulang dan 500 di dalam jaringan ikat di seluruh tubuh (28). Padakeadaan tertentu seperti penyakit alergi termasuk DA, infeksiparasit dan beberapa penyakit idiopati dapat menyebabkan pe-ninggian eosinofil darah. Pertumbuhan dan deferensiasi eosinofildalam sumsum tulang dipengaruhi oleh sitokin IL-3, IL-5 dan

    GM-CSF, terutama IL-5 yang dapat dengan segera mengeluarkansel ini keadaan sirkulasi dan mengaktifkannya serta memperlamadaya hidup (28, 34, 46). Dalam darah tepi eosinofil aktif terlihatsebagai sel dengan densitasnya berkurang (Light density eosinofil =LDEs) oleh karena mengalami degranulasi sehingga mengeluar-

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    44/136

    44

    kan granula protein seperti mayor basic protein (MBP), eosinofilcationic protein (=ECP), dan sebagainya. Dengan menggunakanteknik pemeriksaan indirect immunofluorensence atau imunosi-tokimiawi dapat dilihat adanya granula protein eosinofil tersebuttertimbun dalam jaringan (Leiferman & Gleich 1996). Untukmengetahui aktivitas penyakit DA dapat pula diukur korelasinyadengan kadar ECP dalam plasma atau serum (53).

    Pada penelitian ini dari 15 penderita DA hanya 5 kasus yangdidapatkan eosinofilia sedang yang 10 yang lain jumlah eosinofilnormal. Untuk melihat peranan eosinofil di dalam patogenesis DAmungkin diperlukan penelitian lebih lanjut misalnya dengan

    pemeriksaan imunoflurresence atau imunositokimia pada jaringankulit guna melihat timbunan produk produk eosinofil.

    Dalam menilai keparahan penyakit (disease severity), TheEuropean Task Force on Atopic Dermatitis pada tahun 1993 mem-buat suatu system yang disebut Scorad Index.Dengan mengguna-kan system ini keparahan penyakit DA dinilai berdasar 3 para-meter yaitu luas penyakit (A), Intensitas (B) dan gejala subjektif(C). Masing-masing diberi skor dan akhirnya ditotal dengan

    rumus SCORAD, yaitu = A/5 + 7 B/2 + C (13). Pada penelitian inidigunakan criteria gradasi klinis dari Rajka & Langeland untukmenilai derajat penyakit oleh karena lebih praktis, dapat ditentu-kan dengan sekali konsultasi.

    Dari 15 subjek penelitian tidak didapatkan bentuk DA yangberat dengan skor 8-9; hal ini mungkin waktu penelitian terlalupendek sehingga belum menemukan kasus DA berat, yangmemang jarang ditemukan.

    E. Kesimpulan dan Saran

    Telah dilakukan penelitian terhadap penderita dermatitisatopik (DA) yang datang berobat ke Poli Kulit & Kelamin FKUNS/RSUD Dr. Moewardi Solo. Dari 15 penderita terdiri dari11 kasus DA derajat sedang dan 4 kasus yang lain adalah DAringan. Data yang diperoleh adalah didapatkan eosinofilia pada 5(33.3%) kasus sedang 10 yang lain jumlah eosinofil darah dalam

    batas normal. Pada 11 (73.4%) kasus kadar IgE total dalam serummeninggi. Tidak didapatkan korelasi positif antara kadar IgE totaldengan jumlah eosinofil darah (p>0.05) maupun derajat penyakit(p>0.05).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    45/136

    45

    Untuk memperoleh hasil yang lebih validkiranya diperlukanpenelitian lebih lanjut dengan jumlah kasus yang lebih besar danuntuk mengetahui peranan eosinofil di dalam patogenesis derma-titis atopik perlu penelitian dengan metoda pemeriksaan sepertiimunofluoresenatau imunohistokimia.

    Tabel 4.1. Gradingthe Severity of Atopic Dermatitis

    Criteria Score1. Extent

    a. Childhood and adult phase

    less than approximately 9% of body area = 1More than 9% but less that 36% of body area = 2More than approximately 36% of body area = 3

    b. Infantile phaseLess than approximately 18% of body area = 1More than 18% but less that 54% of body area = 2More than 54% of body area = 3

    2. Course

    More than 3 months remission per year* = 1Less than 3 months remission per year* = 2Continous course = 3

    3. IntensityMild itch, only occasionally disturbing nightsleep = 1

    Moderate itch, disturbing night sleep more thanoccasionally but not continually = 2Severe itching, continually disturbing night sleep = 3

    Score SummationTotal score : Disease severity :

    3 4 Mild4.5 7.5 Moderate8 - 9 Severe

    * May be adjusted in infants or if onset was < 1 year before grading if necessaryscores of 1.5 or 2.5 may also be usedSOURCE : Adapted from reference Rajka & Langeland (1989)

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    46/136

    46

    Tabel 4.2. Subjek PenelitianT

    abel 2. Subjek Penelllitian

    4. Intensity

    Tabel 4.3. Distribusi penderita berdasar usia

    Usia(Tahun)

    Bentuk klinis DA %

    11

    Tipe BayiTipe Anak

    Tipe Dewasa

    1410

    6.626.766.7

    15 100

    Tabel 4.4. Penghitungan jumlah eosinofil darah

    Jumlah(103, ul)

    %

    Normal (0.08 0.360)> 0.360

    105

    66.733.3

    15 100

    Tabel 4.5. Kadar IgE Total dalam serum

    Kadar Ig E(UI/ml)

    %

    8081 120

    121 400> 400

    22

    47

    13.313.3

    26.746.7

    15 100

    Jumlah (N) = 15 Laki-laki = 7 Wanita = 8.Rata-rata usia (rentang) = 21.06 (1 - 41) tahun

    Riwayat atopi (+) = 13 (86.6%) pada penderita dan atau keluarga

    Riwayat Atopi yang menyertai :

    - Asma = 5

    Rinitis = 7

    - Urtika = 3

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    47/136

    47

    Tabel 4.6. Derajat Penyakit (Rajka & Langeland, 1989)

    DerajatPenyakit

    skor %

    RinganSedangBerat

    3 4.55 7

    7.5 - 9

    4110

    26.773.3

    0

    15 100

    Tabel 4.7. Daftar penderita Dermatitis Atopi

    Pend.

    No

    Usia

    (Tahun)

    Jenis

    Kelamin

    Eosinofil

    Darah(103, ul)

    Kadar Ig E

    Serum(IU/ml)

    SkorDerajat

    penyakit

    Penyakit

    Atopi lain

    1.2.

    3.4.5.

    6.7.

    8.9.

    10.11.12.

    13.

    14.15.

    1135

    62211

    4127

    3.536

    11425

    12

    1822

    Laki-lakiWanita

    WanitaWanitaWanita

    WanitaLaki-laki

    Laki-lakiLaki-laki

    Laki-lakiLaki-lakiWanita

    Laki-laki

    WanitaWanita

    0.880.20

    0.280.330.68

    0.890.34

    0.140.09

    0.890.420.12

    0.36

    0.1060.10

    107221

    868383.6

    30

    261045.2

    2706.63833

    81.26702282.4

    1425.2

    461.6245.4

    3.54

    645

    55.5

    67

    576.5

    5.5

    5.55

    RinganRingan

    SedangRinganSedang

    SedangSedang

    SedangSedang

    SedangSedangSedang

    Sedang

    SedangSedang

    Asm, RinRin, Urt

    AsmRin-

    Rin, urt-

    -Rinitis

    --Rin, Asm,

    Urt-

    AsmRin, Asm

    Keterangan:Asm = asmaRin = rinitis

    Urt = urtikaria.

    Tabel. 4.8. Hubungan kadar Ig E total dengan jumlah eosinofildan derajat penyakit

    Kadar Ig E(UI/ml)

    Eosinofil (103, ul) Derajat Penyakit (Rajka &Langeland)

    Normal > Normal Ringan Sedang Berat

    8081 120

    121 400> 400

    --

    46

    22

    -1

    12

    --

    21

    27

    --

    --

    10 5 3 12 -P >0.05

    Uji korelasi SpearmanP > 0.05

    Chi square, n.s

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    48/136

    48

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    49/136

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    50/136

    50

    IgE spesifik pada penderita DA yang berobat di Rumah SakitUmum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Surakarta.

    B. Bahan dan Cara Pemeriksaan

    Subjek penelitian adalah penderita dermatitis atopik, laki-lakidan perempuan dengan usia antara 6 sampai 40 tahun, yang ber-obat di poliklinik kulit & kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta.Penelitian dilakukan selama periode Februari sampai Nopember2001, melibatkan 18 penderita DA dan 12 orang kelompok kontrolterdiri dari 8 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS yangsehat dan 4 orang penderita penyakit kulit non atopik, semuanya

    tidak mempunyai riwayat atopik (tabel 5.1).

    Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin &Rajka, 1980 (10), penderita bersedia mengikuti penelitian denganmengisi dan menandatangani formulir kesediaan (informedconsent). Kelompok DA maupun kelompok kontrol tidak men-dapat pengobatan kortikosteroid dan atau antihistamin sebelumpenelitian, kurang dari atau maksimal satu minggu. Ethicalclearance penelitian diperoleh dari Komisi Etik RSUD Dr.

    Moewardi Surakarta.Diagnosis klinis dibuat apabila didapatkan paling sedikit tiga

    kriteria major dan tiga atau lebih kriteria minor dari Hanifin &Rajka (Rothe & Grant-Kels, 1996). Pada semua subjek penelitiandilakukan uji kulit secara uji tusuk (skin prick test) dan alergenyang digunakan adalah ekstrak tungau debu rumah (mite)dengankonsentrasi 0.20 mg/ml, didapat dari instalasi Farmasi RSUDDr. Soetomo Surabaya (no.197/01, exp. date: 4-1-02). Larutan hista-

    min 1 mg/ml digunakan sebagai kontrol positif dan larutan cocasebagai kontrol negatip.Uji tusuk dilakukan pada lengan bawah

    bagian volar kanan atau kiri dibersihkan lebih dahulu dengancairan alkohol 70%, kemudian ditetesi cairan alergen ekstraktungau debu rumah (house dust mite), larutan histamin dan larutancoca. Kemudian dilakukan penusukan ringan pada kulit yang adatetesan alergen, menggunakan jarum nomor 26G hanya di epider-mis, dan ditunggu selama kurang lebih 20 menit. Apabila pada

    tempat tusukan terjadi kemerahan disertai edema atau urtika(bentol), seperti yang terjadi pada tempat yang ditetesi larutanhistamin maka uji dikatakan positif. Diameter bentol diukur danapabila eritema disertai edem ukuran kurang dari 2 mm hasil

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    51/136

    51

    positif satu (+), bila ukuran 2-4 mm, positif dua (++) dan ukuranlebih dari 4 mm, hasil positif tiga (+++).

    Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan mengambildarah perifer atau darah vena kelompok kasus dan kelompokkontrol sebanyak 5 cc dengan vacutainertanpa antikoagulan untuk

    diambil serum guna pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik.Pemeriksaan IgE total menggunakan metode microparticle enzymeimmunoassay (MEIA), dikerjakan di laboratorium klinik ProdiaSurakarta dan pemeriksaan IgE spesifik terhadap tungau deburumah (Dermatophagoides pteronyssimus) dengan metode RAST(Radio Allergo Sorbent Test), dikerjakan di Laboratorium Biolisa

    Jakarta.

    Analisa statistik menggunakan anova (analysis of variance) satuarah untuk mencari korelasi antara reaktivitas uji tusuk padakelompok DA dan kelompok kontrol dengan variabel IgE. Per-bedaan bermakna secara statistik diambil pada nilai p 0.05)di antara kelompok DA dan NDA.Gambar grafik diagram balok rerata DA dan NDA pada variabel

    umur terlihat pada gambar 5.1.Hasil pemeriksaan kadar IgE total pada kelompok kasus ber-

    variasi antara 16.2 sampai 6702 IU/ml., dengan rerata 1231.64IU/ml, sedang pada kontrol 61836.6 IU/ml, rerata 216.14 IU/ml.Uji statistik menggunakan Anova satu arah, tidak ada beda(p=0.120) kadar IgE total pada kelompok DA dan NDA (tabel 5.4).Gambar 5.2 menunjukkan grafik diagram balok rerata kadar IgEtotal pada kelompok kasus DA dan kelompok komtrol (NDA).

    Pengelompokan kadar IgE total berdasar nilai rujukan normal(kadar normal adalah < =120 IU/ml) mendapatkan hasil, kadarIgE total penderita DA yang di atas angka normal sebesar 83.32%,sedang pada kelompok kontrol 33.3% di atas normal (tabel 5.5).

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    52/136

    52

    Pemeriksaan IgE spesifik terhadap Dermatophagoides pteronyssimus(Der pter) atau tungau debu rumah, didapatkan 8 penderita darikelompok DA (44.44%) menunjukkan reaktivitas dengan berbagaitingkat alergi, dan pada NDA hanya seorang (8.33%) yang ber-reaksi positif. Tabel 5.6 menunjukkan hasil pemeriksaan IgE total,IgE Spesifik dan uji tusuk pada kelompok DA dan NDA. Tingkatalergi terhadap TDR ini dibagi atas 7 kelas, kelas 0 tidak terdeksi,kelas 1 lemah, kelas 2 sedang, kelas 3 kuat dan kelas 4 sampai 6sangat kuat terdeteksi. Kadar IgE spesifik terhadap Der pterpada

    kelompok kasus DA dan kontrol NDA dengan analisis statistikAnova didapatkan tidak ada perbedaan bermakna pada kadar IgE

    spesifik (p>0.05) pada kelompok kasus dan kelompok kontrol(tabel 5.7). Pada gambar 5.3 memperlihatkan grafik diagram balokrerata IgE spesifik (RAST) pada DA dan NDA.

    Hasil uji kulit, 16 penderita pada kelompok kasus memberireaksi positif (88.8%) dengan berbagai tingkat positif yaitu 8 kasusdengan hasil positif satu (+), 5 dengan positif dua (++), dan 3kasus positif 3 (+++). Hasil negatip didapatkan pada 2 penderita.Pada kelompok kontrol (NDA) hanya 2 orang (16.66%) yang

    memberi reaksi positif satu (+) (tabel 5.8).Hubungan tingkat reaktivitas uji tusuk dengan kadar IgE

    total dan IgE spesifik terhadap TDR (IgE-rast)dapat dilihat padatabel 5.9. Analisis univariat (anova) mendapatkan hasil ada perbe-daan variabel IgE total (p=0.000) dan IgE Rast (p=0.000). Gambar5.4 menunjukkan grafik diagram balok rerata variabel imuno-globulin dengan gradasi uji tusuk.

    D. PembahasanMasalah penyakit kulit di masyarakat, khususnya yang ber-

    sifat kronis dan kambuhan seperti DA, bukan merupakan masalahkesehatan semata tetapi dapat berimbas pada kondisi sosialekonomi dan kualitas hidup penderita (59, 71). Sebagai sumberdaya manusia, penderita yang sering kambuh akan tergangguaktivitasnya sehingga tidak dapat atau kurang berproduksidengan baik. Mereka yang sering kambuh, sulit bekerja baik oleh

    karena faktor kondisi penyakitnya yang sangat gatal, sehinggasering menggaruk, maupun secara psikologis merasa malu. Resikotejadinya iritasi kulit pada penderita DA ini akan meningkat (72).Penderita DA mendapat kesulitan bila terpapar bahan yang basah,terlalu kering atau bersifat kaustik karena mudah terjadi iritasi

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    53/136

    53

    kulit. Kekambuhan yang berulang dan terus menerus akan me-nyebabkan penyakitnya lebih berat, sehingga mungkin dapat ter-jadi cacat fisik. MenurutAmerican Medical Association,di Amerika,DA dapat menyebabkan 15% kecacatan (impairment) dari semuapenderita (73).

    Kekambuhan DA sulit dicegah karena banyak faktor yangdapat mempengaruhinya, antara lain berbagai macam alergen,yang banyak ditemukan di lingkungan hidup. Salah satu alergenpenting dan banyak diketemukan di negara dengan iklim tropisdengan kelembaban tinggi seperti Indonesia adalah tungau deburumah (TDR). Peran TDR pada patogenesis DA sampai sekarang

    masih kontroversi, namun berbagai penelitian menunjukkan buktiadanya hubungan TDR dengan kekambuhan DA (74, 75, 76, 77).Aplikasi ekstrak TDR sebagai alergen epikutan dapat menyebab-kan terjadinya dermatitis atau lesi eksematosa (76, 78). Demikianpula uji tempel dengan menggunakan alergen TDR pada pende-rita DA, dapat menimbulkan lesi mirip gambaran klinis DA (3, 25).Keadaan ini menunjukkan pentingnya peran TDR pada kejadianDA, dan atas dasar itu maka penggunaan TDR dalam penelitian

    ini sangat beralasan.Kadar IgE Total dalam serum penderita DA dan kelompok

    kontrol terlihat pada table 4. Sebagai perbandingan hasil pene-litian Juhlin dan kawan-kawan (1967) mendapatkan rerata hargaIgE total dalam serum penderita DA yang diambil dari Upsala -Swedia, sebesar 2733 ng/ml atau setara 1138.75 IU/ml. (64). Hargaini tidak jauh berbeda dengan rerata IgE total pada penelitian inipada penderita DA yang berasal dari kota Surakarta-Indonesia

    dan sekitarnya, yakni 1231.64 IU/ml. Peningkatan kadar IgE Totaldalam serum dapat disebabkan oleh beberapa keadaan sepertiinfeksi parasit, penderita penyakit alergi, penyakit atopi lain dansebagainya (28, 70). Penderita DA disertai sindrom atopik lainseperti asma atau rinitis alergik, peningkatan kadar IgE total biasa-nya lebih tinggi dari penderita DA saja (18). Tingginya kadar IgEtotal dalam serum tidak berhubungan secara bermakna denganeosinofil darah maupun derajat keparahan penyakit pada pende-

    rita dermatitis atopik (79).Kelompok kasus yang bereaksi positif terhadap TDR denganpemeriksaan IgE spesifik terhadap Der pter sebanyak 8 penderita(44,44%) dengan berbagai tingkat alergi. Artinya terdapat variasikadar IgE spesifik sebagai antibodi monoclonal terhadap Der pter

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    54/136

    54

    yang terdeteksi secara kuantitatif. Pada kelompok kontrol, satuorang (8.33%) yang termasuk orang sehat mempunyai IgE spesifikdengan kadar dalam serum 7,45 Pru/ml, berarti terdeteksi kuat(kelas 3). Kemungkinan yang terjadi adalah pada orang sehat ter-sebut tidak mempunyai predileksi alergi yang spesifik, ia men-derita alergi terhadap TDR tetapi tidak ada manifestasi pada kulitataupun pada saluran nafas.

    Uji kulit sering digunakan untuk mengetahui reaksi hipersen-sitifitas tipe I (69). Pada penelitian ini hasil uji tusuk kelompokkasus 88.8% menunjukkan reaktivitas dengan alergen TDR dan11.2% nonreaktif, sedang pada kelompok kontrol 16.66% bereaksi

    positif dan 83.34% memberikan reaksi negatip. Dari hasil tersebutpenderita DA cenderung menunjukkan uji tusuk yang lebih reaktifdibanding kontrol, namun penilaian hasil uji tusuk pada kondisialergi secara umum masih merupakan perdebatan (5).

    Pada awalnya DA dianggap sebagai manifestasi reaksi hiper-sensitivitas cepat (immediate hypersensitivity), yang dibuktikan de-ngan kadar IgE meningkat pada kebanyakan kasus. Hal ini ditun-jukkan pula pada 20-60% penderita DA mempunyai sensitifitas

    terhadap mite (TDR) dengan menggunakan uji tusuk. Ternyatadelayed hypersensitivity yang merupakan respons seluler berperan

    penting juga, terlihat dengan hasil uji tes tempel dengan antigenTDR menunjukkan sensitifitas sebesar 30-50% pada penderita DA(80). Hal ini diperkuat pada lesi DA secara klinis dan histologismirip dan tidak dapat dibedakan dengan lesi dermatitis kontakalergik, yang merupakan penyakit kulit berdasar reaksi akergilambat (DTH) (Grewe dkk., 1998). Atas dasar tersebut DA dapat

    dianggap sebagai IgE mediated delayed type hypersensitivity(16).

    E. Ringkasan

    Telah dilakukan penelitian pada penderita DA, dengan di-lakukan uji tusuk dan pemeriksaan kadar IgE total maupun IgEspesifik terhadap TDR serta kontrol pada kelompok NDA. Hasilyang didapat ada perbedaan bermakna antara reaktivitas uji tusukdengan kadar Ig E total maupun IgE spesifik, berarti ada korelasi

    antara reaktivitas uji tusuk dengan kadar IgE, baik total maupunspesifik. Semakin tinggi kadar IgE total atau semakin kuatreaktivitas IgE spesifik, uji tusuk akan memberikan hasil semakinkuat. Berdasar hasil penelitian, pelaksanaan uji tusuk pada pen-

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    55/136

    55

    derita DA masih diperlukan, selain untuk menunjukkan sensi-tifitas terhadap alergen tertentu juga untuk mengetahui gambaranpeningkatan kadar IgE dalam serum.

    Tabel 5.1. Komposisi subjek penelitian (kasus dan kelompokkontrol).

    DiagnosisKelompok

    kasusKelompok

    kontrol

    Dermatitis atopik (DA)

    Kelompok kontrol :Akne vulgarisTinea krurisKandidiasisOrang sehat

    18

    2118

    Jumlah 18 12

    Tabel 5.2. Sebaran subjek penelitian berdasar jenis kelamin.

    Jeniskelamin

    DA (%) NDA (%) Jumlah

    Laki laki 5(27,78)

    5 (41.66) 10

    20Perempuan 13(72.22)

    7 (58.33)

    Jumlah 18 (100) 12 (100) 30

    Tabel 5.3. Perbandingan usia pada kelompok kasus dan kontrol

    NilaiDA

    (thn)NDA (thn) Uji Statistik

    RentangRerata (mean)Simpang baku

    6 3820.33

    8.77

    8 3021.33

    5.79

    = 0.731(Anova satu

    arah)

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    56/136

    56

    19.5

    20

    20.5

    21

    21.5

    DA NDA

    DA

    NDA

    Gambar 5.1 : Grafik diagram balok variabel umur pada DA dan NDA

    Tabel 5.4. Perbandingan kadar IgE Total dalam serum pada DAdan NDA

    NilaiKadar IgE Total (IU/ml)

    Uji StastistikDA NDA

    RentangRerataStd. DevStd.error

    16.2 - 67021231.642169.322511.314

    61 - 836.6216.14253.429

    73.158

    p= 0.120(anova satu

    arah)

    0

    500

    1000

    1500

    DA NDA

    IgE total

    DA

    NDA

    Gambar 5.2 : Grafik diagram balok rerata Ig E total pada DA & NDA

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    57/136

    57

    Tabel 5.5. Sebaran kasus dan kontrol berdasar pengelompokankadar IgE total

    Kadar IgE total(IU/ml)

    Jumlah (%)DA NDA

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    58/136

    58

    KELOMPOK KONTROL : NDA

    NoUsia(th)

    L /P DiagnosisUji Tusuk

    dg.allergen

    TDR

    IgE totalTDR

    (IU/ml)

    IgE Spesthd. TDR

    (Pru/ml)1 24 P Sehat - 206.2 0 ( - )

    2 25 L Sehat + 94.8 Kelas 3(7.45)

    3 23 L Sehat - 113.2 0 ( - )4 24 L Sehat - 87.4 0 ( - )

    5 15 P AkneVulgaris

    - 71.4 0 ( - )

    6 8 P Kandidiasis - 84.6 0 ( - )

    7 19 P Sehat - 207.8 0 ( - )

    8 20 P Tinea Kruris - 99.8 0 ( - )9 19 P Akne

    Vulgaris- 836.6 0 ( - )

    10 27 L Sehat - 647.4 0 ( - )

    11 30 P Sehat - 61 0 ( - )

    12 22 L Sehat - 834 0 ( - )

    Rata2 216.14 0.6208

    Tabel 5.7. Perbandingan kadar IgE Spesifikthd. Der pterpada DA

    & NDA.

    NilaiKadar IgE Spesifik (Pru//ml)

    Uji StatistikDA NDA

    RentangRerata (mean)Std.DevStd.Error

    0.0 26.45.31289.66712.27686

    0.0 7.450.62082.15060.6298

    p = 0.111(Anova satuarah)

    0

    2

    4

    6

    DA NDA

    DA

    NDA

    Ig E Spesifik

    Gambar 5.3: grafik diagram rerata Ig E spesifik pada DA & NDA

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    59/136

    59

    Tabel 5.8. Reaktivitas uji tusuk menggunakan alergen TDR

    Reaktivitas

    Uji tusuk

    Jumlah

    DA (%) NDA (%)Positif:

    +++

    +++Negatip

    16 (88.8)842

    2 (11.2)

    2 (16.66)2--

    10 (83.34)

    Jumlah 18 (100) 12 (100)

    Tabel 5.9. Hubungan variabel imunoglobulin dan reaktivitas ujitusuk

    Variabelimunologi

    Tingkat reaktivitas uji tusuk

    Pos.3(n=4)

    Pos.2(n=4)

    Pos.1(n=10)

    Neg.(n=12)

    Uji statistik

    IgE total 3905.2 423.90 514.9 191.50 p= 0.00

    IgE-RAST 19.885 2.675 1.247 0.031 p= 0.00

    IgE

    Total

    IgE-Rast

    Pos 3Pos 2 Pos 1

    Negatif

    0

    500

    1000

    1500

    2000

    2500

    3000

    3500

    4000

    Pos 3

    Pos 2

    Pos 1

    Negatif

    Gambar 5.4 : Grafik diagram balok reaktivitas uji tusuk terhadapvariabel Ig.

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    60/136

    60

  • 8/12/2019 Dermatitis Atopik Eksema

    61/136

    61

    THE ROLE OF HOUSE DUST MITE (HDM) INATOPIC DERMATITIS

    A Preliminary Report : Effect of HDM Exposure on LymphocyteCulture from Atopic dermatitis (AD) Patients

    A. Introduction

    The role of house dust mite (HDM) in pathogenesis of atopicdermatitis (AD) is still controversial (74, 77). Some studies indi-cated that the application of HDM extract as epicutaneous allergenon to the skin may induce dermatitis or eczematous lesion (76, 78,81). Similarly, HDM challenge through inhalation had beenproved that it may cause bronchial reaction suspected as the cause

    of inducing skin reaction (77). The manifestation of allergy fromHDM is variabel, usually causing respiratory symptom, such asallergic rhinitis, bronchial asthma, and evenmore, watering eyesand eczema or atopic dermatitis (82, 83, 84).

    From the immunological point of view, external factors play arole in the recurrence of atopy including extrinsic type AD. Therole of HDM as the important external factor and allergen in ADhad been investigated for a long time (74, 75, 77, 78, 81). The effect

    of HDM challenge epicutaneously on the immune system modula-tion in atopic people had also ever been been studied (85, 86, 87,88). The stimulation of D.pteronyssimusto the lymphocyte culturefrom patients with allergy to HDM showed the proliferation oflymphocytes if compared to the healthy control subjects; and theresults also showed that the expression of IL-4 mRNA increasedsignifycantly and the p