dasar anestesi umum

Upload: dwi-utami-kusumastuti

Post on 18-Oct-2015

60 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

REFERAT

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesia yang ideal terdiri (1) Hipotik, (2) Analgesia, (3) Relaksasi otot. 1

Kata anestesia berasal dari bahasa Yunani yang berarti insensible (tanpa merasa). Insensible itu sendiri tidak harus berarti hilangnya kesadaran. Sedangkan kata analgesia dalam bahasa Yunani berarti suatu keadaan tanpa nyeri atau tidak merasa sakit. Sangat sulit untuk mengartikan anestesi umum secara memuaskan. Mungkin yang patut dipertimbangkan adalah suatu kondisi yang disebabkan secara farmakologi atau hal lain yang mengakibatkan efek sebagai berikut : 1) hilangnya kesadaran, 2) tidak dapat mengingat kejadian pada tingkat sadar, walau mungkin juga kejadian tersebut dapat tertahan pada tingkat bawah sadar sehingga mereka dapat mengingat pada keadaan tertentu, 3) hilangnya respon otot terhadap stimulus operasi, perkecualian pada otot pernapasan biasanya mempunyai respon terhadap stimulus operasi dengan peningkatan pulmonary minute volume bahkan pada anestesi yang dalam, 4) respon otonom yang minimal terhadap stimulus operasi, walau tidak hilang seluruhnya, dan 5) proses tersebut harus bersifat reversibel. Sebagai tambahan juga ada relaksasi otot. 1,2

Tinjauan pustaka ini membahas hal-hal utama pada pemberian anestesi umum, seperti persiapan praoperasi, induksi, pemeliharaan, terapi cairan perioperatif, teknik ekstubasi, transportasi, serta kunjungan pasca operasi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN PRA ANASTESI

1. Evaluasi pra operatif

Setiap anestesi dimulai dalam evaluasi praoperatif. Pertemuan antara pasien dengan dokter dapat memberikan informasi, penilaian status fisik, dan perencanaan anestesi. Pasien yang akan menjalani anestesia dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesia dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesia. Kunjungan pra anestesia pada pembedahan elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.1Tujuan kunjungan pra anastesi :

a. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan lain.

b. Merencanakan dan memilih tekhnik serta obat-obat anastesi yang sesuai dengan keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.

c. Menentukan klasifikasi sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik. Dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.

Persiapan mental dan fisik pasien

Yang patut diperhatikan pada evaluasi praoperasi yaitu :

a. Anamnesis

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis :

(1) Identitas pasien, misal: nama, umur, alamat, dan pekerjaan dan lain-lain.

(2) Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesia, antara lain :

(a) Penyakit alergi;

(b) Diabetes melitus;

(c) Penyakit paru-paru kronik: asma bronkial, pneumonia, bronkitis;

(d) Penyakit jantung dan hipertensi: infark miokard, angina pektoris, dekompensasi kordis;

(e) Penyakit hati;

(f) Penyakit ginjal.

(3) Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dan lain-lain) dengan obat-obat anestetik.

(4) Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.

(5) Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesia seperti :

Merokok : perokok berat (di atas 20 batang/hari dapat mempersulit induksi anestesia karena merangsang batuk-batuk, sekresi ialah nafas yang banyak atau memicu atelektasis dan pneumonia pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO dalam darah.

Alkohol : pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat-obat anestesia khususnya golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatik.

Meminum obat-obat penenang atau narkotik.

b. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

Pemeriksaan fisik dan laboratorium dilakukan dengan teliti, bila terdapat indikasi lakukan konsultasi dengan bidang keahlian lain seperti ahli penyakit jantung, paru, penyakit dalam untuk mendapat ekspertise yang memadai tentang pasien tersebut.

Pemeriksaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan. Perhatian yang khusus dan terarah ditujukan pada (1,2,3)(1) Keadaan psikis : gelisah, takut, kesakitan.

(2) Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas.

(3) Tanda-tanda penyakit saluran pernafasan, batuk-batuk, sputum kental atau encer, sesak nafas, tanda-tanda sumbatan jalan nafas atas, bising, mengi (wheezing), hemoptisis, dan lain-lain.

(4) Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskular, dispnu atau ortopnu, sianosis, jari clubbing, nyeri dada, edem tungkai, hipertensi, anemia, syok, murmur (bising katup).

(5) Sistem-sistem :

Mulut : gigi palsu, gigi goyah, gigi menonjol, lapisan tambahan pada gigi, kebersihan mulut.

Mandibula : sikatrik, fraktur, perhatikan sendi temporo mandibula, dagu kecil, trismus.

Hidung : obstruksi jalan nafas oleh polip, tonsil dan adenois hipertrofi, perdarahan dan deviasi septum.

Leher : pendek/panjang struma, cikatrik, mobilitas dari sendi-sendi servikal.

(6) Kulit : perabaan hangat, dingin, berkeringatan, tanda-tanda infeksi di regio vertebrae lumbalis atau sakralis.

(7) Sistem persyaratan : hemiparasis atau paralisis, distrofi otot, neuropati tepi, besar hidrosefalus.

(8) Pemeriksaan laboratorium dan uji lain :

Pemeriksaan laboratorium ada 2 yaitu pemeriksaan rutin dan khusus.

Pemeriksaan laboratorium rutin :

Darah : Hb, Leukosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, masa pembekuan, masa perdarahan.

Urine : protein, reduksi, sedimen.

Keto toraks : terutama untuk bedah mayor.

EKG : terutama untuk pasien-pasien berumur di atas 40 tahun, karena ditakutkan adanya iskemia miokard.

Pemeriksaan khusus :

Dilakukan bila ada riwayat atau indikasi, misalnya :

EKG pada anak.

Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru.

Fungsi hati pada pasien ikterus.

Fungsi ginjal pada pasien hipertensi.

Analisa gas darah, elektrolit pada pasien ileus obstruktif atau bedah mayor.

Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam, misalnya ekokardiografi atau kateterisasi jantung diperlukan konsultasi dengan ahli-ahli bidang lain sehingga persiapan dan penilaian pasien dapat dilakukan lebih baik.

Tabel 1. Garis Besar Wawancara Pasien Preoperatif

1. Bicarakan pembedahan yang direncanakan

2. Masalah-masalah medis saat ini

3. Pengobatan saat ini

4. Pemakaian rokok dan alkohol

5. Pemakaian obat unuk bersenang-senang

6. Alergi obat

7. Riwayat anestesi sebelumnya

8. Kesehatan umum (kajian sistem organ)

a. Sistem sirkulasi (hipertensi, penyakit jantung, angina pektoris, toleransi latihan)

b. Sistem respiratori (batuk, dahak, stridori, asma, infeksi traktus respiratori bagian atas)

c. Sistem syaraf pusat (sakit kepala, pusing, gangguan penglihatan, stroke, serangan penyakit)

d. Sistem hepatik (penyakit kuning, hepatitis)

e. Sistem renal.

f. Gastrointestinal system (mual, muntah-muntah, reflekx, diare, perubahan berat badan)

g. Sistem endokrin (diabetes melitus, gangguan tiroid, pheochromocytoma)

h. Sistem hematologis (pendarahan berlebihan, anemia)

i. Sistem muskuloskeletal (sakit punggung atau persendian, artritis)

j. Sistem dental (gigi tanggal, tambalan)

k. Sistem reproduksi (riwayat menstruasi)

l. Obesitas.

Perencanaan anestesia :

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan dan memperoleh gambaran tentang keadaan mental pasien beserta masalah-masalah yang ada, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesia yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes melitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Atau premedikasi untuk pasien dengan riwayat tirotiksikosis tidak memakai atropin.

Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesia umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesia yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.1,3Menentukan prognosis Berdasarkan status fisik pasien pra anestesia, ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien ke dalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut :

ASA 1:Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.

ASA 2:Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya.

Contohnya : Pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.

ASA 3: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab.

Contohnya : Pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemik miokardium.

ASA 4:Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.

Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.

ASA 5:Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.

Contohnya : Pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hamoragik karena ruptura hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E emergency), misalnya ASA I E atau III E.

Persiapan pada hari operasi :a. Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan :

Pengosongan lambung sebelum anestesia penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : pasien dewasa 6 - 8 jam, bayi/anak 3 - 5 jam.

Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang muntah seperti apomorphin, dan lain-lain.

Cara-cara ini tidak menyenangkan untuk pasien sehingga jarang sekali dilakukan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menetralkan asam lambung dengan memberi antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (simetidin dan ranitidin). Puasa yang cukup lama pada kasus akut kadang-kadang tidak menjamin lambung kosong secara sempurna, misalnya pada stres mental yang hebat, kehamilan, rasa nyeri atau pasien DM.

Pemberian obat pencahar umumnya dilakukan pada laparatomi eksplorasi. Komplikasi penting yang harus dihindari karena puasa adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak dan pasien geriatrik.

b. Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus ditinggalkan dan bahan kosmetik seperti lipstik, cat kuku harus dibersihkan agar tidak mengganggu pemeriksaan selama anestesia, misalnya sianosis.

c. Kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi. Untuk membersihkan jalan nafas, pasien diminta batuk kuat-kuat dan mengeluarkan lendir jalan nafas.

d. Penderita dimasukkan ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian khusus, diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi. Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed consent).

e. Pemeriksaan fisik yang penting dapat diulang sekali lagi di kamar operasi karena mungkin terjadi perubahan bermakna yang dapat menyulitkan perjalanan anestesia, misalnya hipertensi mendadak, dehidrasi atau serangan akut asma.

f. Pemberian obat premedikasi secara intra muskular atau oral dapat diberikan - 1 jam sebelum dilakukan induksi anestesia atau beberapa menit bila diberikan secara intra vena. 12. Premedikasi

Dengan kemajuan teknik anestesia sekarang, tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan, akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesia.

Kini obat premedikasi ringan banyak digunakan, agar masa pulih setelah pembedahan singkat. Selain itu ditekankan agar obat-obat yang digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien oleh karena kebutuhan tiap-tiap pasien berbeda.1

Tujuan dari premedikasi adalah memberikan kenyamanan kepada pasien dengan :

a. Menghilangkan ansietas baik dengan psikologis maupun dengan medikasi

b. Memberikan sedasi

c. Memberikan amnesia

d. Memberikan analgesia.

Serta mengatasi problem anestesi yang akan timbul seperti :

a. Mengurangi salivasi,

b. Mengurangi sekresi bronkial,

c. Meminimalkan timbulnya reflek vagal,

d. Mengontrol hipertensi dan takikardi,

e. Mencegah mual dan muntah,

f. Mencegah aspirasi lambung,

g. Mencegah infeksi, serta melanjutkan penatalaksanaan pengobatan penyakit yang telah ada. Pada tabel 2 berikut daftar obat-obat yang sering digunakan untuk premedikasi.1Tabel 2. Obat-obat untuk premedikasi 5No.ObatDosisTujuan premedikasi

1.Diazepam0,15 025 mg/kg BB (oral)Ansietas

Sedasi

Amnesia

2.Midazolam0,07 0,1 mg/kg BB (IM)

0,5 mg/kg BB (IV)

3.Morfin0,1 02 mg/kg BB (IV)Analgesia

4.Petidin1 1,5 mg/kg BB (IV)

5.Fentanyl1 2 (g/kg BB (IV)

6.Atropin0,3 0,3 mg (IV) dewasaSalivasi & sekresi

refleksi vagal

0,01 0,02 mg/kg (IV) anak

7.Droperidol75 (g/kg BB (IV)Nausea & vomit

8.Metoclopramide0,15 mg/kg BB (IV)

9.Ondanstron0,05 0,15 mg/kg BB (IV)

10.Cimetidine3 4 mg/kg BBH2 blocker

11.Ranitidine2 3 mg/kg BB

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat : 1Usia:merupakan variabel yang penting dalam kerja obat. Sesudah usia 40 tahun efek narkotik dan sedativa meninggi, karena rasa nyeri berkurang dengan peningkatan usia. Fenomena ini disebabkan oleh karena penurunan kepekaan terhadap rangsangan sensorik dengan pertambahan usia tidak hanya penurunan persepsi nyeri, tetapi juga penurunan aktivitas refleks jalan nafas.

Suhu:setiap kenaikan suhu 1 derajat F laju metabolisme basal naik sebesar 7 %.

Emosi:mungkin merupakan penyebab terbanyak kenaikan laju metabolisme basak pra anestesia. Takut dan ketegangan merupakan faktor utama dan keduanya meninggikan kepekaan terhadap rasa nyeri.

Nyeri:laju metabolisme basal meningkat, oleh karena rasa nyeri yang sebanding dengan intensitas rasa nyeri.

Penyakit:pasien harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan terapinya. Pada pasien penyakit kronis seperti osteomielitis dengan gizi jelek morfin lebih mudah toksik, karena hati tidak dapat mengolah morfin dosis besar. Pada pasien anemia pemakaian opiat atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.1

3. Akses Intravena

Ukuran dan kateter IV yang diperlukan ditentukan oleh kondisi media pasien dan jenis operasi. Satu kateter 18 atau 20 yang berfungsi baik seringkali mencukupi bagian pasien sehat yang akan dilakukan operasi rutin. Sedang pada keadaan yang membutuhkan penggantian volume atau darah secara cepat, setidaknya dibutuhkan kateter berukuran 14 atau 16. Kateter IV biasanya ditempatkan di tangan, lengan bawah dengan infiltrasi lidokain 1 % subkutan 1 - 2 ml. Pada pasien yang cemas, gemuk dan defisit volume intravaskuler, akan sulit dilakukan pemasangan kateter IV. Biasanya digunakan kateter IV berukuran 20 atau 22 lebih dahulu untuk keperluan induksi, untuk kemudian dipasang ukuran yang lebih besar. Bila pasien datang sudah dengan kateter IV, maka harus diperiksa fungsinya dan harus terfiksir dengan baik, bila perlu jenis kateter dan cairannya dapat diganti.44. Monitor Anestesi

Dalam anestesiologi, tindakan monitoring sangat vital dalam menjaga keselamatan pasien.

Dalam tindakan anestesia harus dilakukan monitoring terus-menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi terhadap pemberian obat anestesi khusus terhadap fungsi pernapasan dan jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan panca indra kita yaitu dengan meraba, melihat atau mendengar atau yang lebih teliti dan obyektif dengan alat. Selama monitor reaksi pasien, alat-alat yang digunakan seperti mesih anestesi dan respirator juga perlu di monitor fungsinya. Alat monitor sekarang disertai dengan sistem alarm untuk memberi pernyataan, misalnya dengan bunyi-bunyian bawah batas-batas nilai yang normal telah dilampaui sehingga perbaikan segera dapat dilakukan. Monitoring dalam anestesia dan pembedahan mempunyai tujuan utama : (1) Diagnosis adanya permasalahan, (2) Perkiraan kemungkinan terjadi kegawatan, (3) Evaluasi hasil suatu tindakan, termasuk efektivitas dan adanya efek tambahan.1

Memonitor selama anestesi termasuk memonitor mesin anestesi, ventilator, dan observasi pasien yang bertujuan menilai keadaan-keadaan sebagai berikut :

a. Respon pasien terhadap anestesi dan operasi dengan prediksi perubahan-perubahan pada pernapasan, denyut jantung, tekanan darah dan variabel lain,

b. Pasien akibat anestesi dan operasi mengalamai perubahan fisiologik, seperti hilangnya darah, hipotermia, hipertensi, iskemia, perubahan metabolik atau gangguan paru,

c. Keadaan yang tidak terduga seperti infark miokard atau obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa pasien,

d. Suksesnya pemberian anestesi sekaligus mencegah terjadinya malpraktek. 1

Pada operasi-operasi yang rutin, untuk memonitor pasien intraoperatif sesuai dengan standarisasi oleh ASA tahun 1986, yaitu Standards for Basic Intraoperative Monitoring,

a. Standard I :Personel anestesi yang memenuhi syarat dan harus berada di ruang operasi.

b. Standard II :Memonitor oksigenasi dengan oxygen analizer with a low-oxygen-concentration-limit alarm dan pulse aximetry. Memonitor ventilasi dengan observasi terus-menerus tanda-tanda klinis secara kualitatif dan capnograf. Memonitor sirkulasi baik dengan palpasi nadi, auskultasi, monitor tekanan darah dan nadi non invasif maupun EKG, dan monitor invasif. Dan memonitor urine output serta suhu pasien.

Untuk memonitor perubahan hemodinamik akibat perubahan dan fungsi ventrikel kiri dan volume intravaskuler diperlukan monitor intraoperatif yang bersifat invasif. Karena dengan monitor invasif akan lebih mudah dan tepat dalam memberikan kebutuhan cairan, darah atau obat yang diperlukan.

Memonitor dengan pulmonary artery baloon-tipped catheter dan arterial line diindikasikan pada pasien-pasien dengan kondisi seperti :

a. Gagal jantung sedang sampai berat (klas III atau IV),

b. Adanya bunyi jantung ketiga atau distensi vena jugular,

c. Efection fraction kurang dari 40 % walaupun sudah diberikan terapi yang optimal,

d. Tingkat kegagalan yang lebih ringan atau mempunyai riwayat gagal jantung dan operasi resiko tinggi (aorta, intraorakal, atau intraabdominal) atau operasi yang membutuhkan penggantian volume cairan yang besar.

B. INDUKSI

Induksi adalah suau keadaan transisi dan pasien bangun, sadar dengan reflek-reflek proteksi yang intak untuk kemudian pasien menjadi tidak sadar dan bergantung sepenuhnya pada ahli anestesi. Mempertahankan jalan napas dan stabilitas hemodinamik adalah komponen yang kritis pada saat induksi.4

Induksi biasanya dilakukan dengan posisi pasien supine, ekstremitas ditempatkan sesuai posisi anatomis dan kepala diletakkan warm blankes atau menghangatkan suhu ruangan.

Metode induksi juga ditemukan oleh berbagai faktor seperti kondisi medis pasien, prosedur operasi, tingkat kecemasan, kemampuan untuk kooperasi dan komunikasi serta keadaan lambung (lambung penuh atau tidak).

1. Tehnik

a. Intravena

Obat intravena diberikan sampai hilangnya reflek bulu mata, serta dilanjutkan dengan membuka volatil anestesi. Pasien bisa tetap bernafas spontan atau membutuhkan bantuan. Jika intubasi akan dilaksanakan pelemas otot diberikan sesuai dengan kondisi pasien. 4

Obat anestesi intravena yang ideal yaitu : 1) stabil, tidak mengiritasi, 2) kerja cepat, 3) masa kerja singkat sehingga tidak memperpanjang masa pemulihan pada operasi yang singkat dan dapat diberikan berulang dengan infus tanpa adanya efek kumulasi pada operasi yang lama, 4) tidak mendepresi miokard, 5) tidak mendepresi pernapasan, 6) tidak menyebabkan eksitasi otak seperti rigiditas, atau kejang, 7) tidak menyebabkan eksitasi korteks serebri seperti halusinasi, 8) tidak menyebabkan gangguan metabolik seperti supresi adrenal, dan 9) tidak menyebabkan pelepasan histamin. Tabel 3. Obat-obat Anestesi Intravena 5

No Obat Dosis InduksiPemeliharaan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.Thiopental

Etomidat

Propofol

Ketamin

Midozolam

Fentanil

Sufentanil 4 - 5 mg/kg BB

0,3 mg/kg BB

1 - 3 mg/kg BB

1,5 - 2,5 mg/kg BB

50 - 150 (g/kg BB

5 - 15 (g/kg BB

1 - 5 (g/kg BB30 - 80 (g/kg BB/menit

-

50 - 150 (g/kg BB/menit

25 - 75 (g/kg BB/menit

0,25 - 1,5 (g/kg BB/menit

0,03 - 0,1 (g/kg BB/menit

0,01 - 0,05 (g/kg BB/menit

b. Inhalasi

Induksi inhalasi biasanya digunakan untuk mempertahankan ventilasi spontan (pada keadaan compromise airway) dan pada penundaan pemasangan kateter IV (pasien pediatrik). Pada induksi inhalasi ini stadium anestesi umum dapat terlihat jelas khusus pada ether. 1, 4

Seseorang yang memberikan anestesia sangat penting mengetahui stadia anestesia pasien terutama dalam menentukan stadia terbaik untuk pembedahan pasien itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis. Stadia anestesia sudah dikenal sejak Morton mendemonstrasikan eter. Pomley (1817) membaginya menjadi 3 stadia. Satu tahun kemudian John Snow menambah stadia IV yaitu stadia parafisis atau kelebihan dosis. Pembagian secara sistemik dilakukan oleh Gueded yaitu pada pasien-pasien yang mendapat anestesia umum dengan eter, premedikasi dengan sulfas atropin, yang dipantau adalah respirasi, pergeseran bola mata, perubahan pada besarnya pupil dan refleks kelopak mata. Tahun 1943 Gillespie menambahkan tanda-tanda perubahan pada perubahan pada pernafasan karena pengaruh insisi kulit, sekresi mata dan refleks laring pada pembagian menurut Guedel.

Tabel 4. Stadia anestesia menurut Guedel 1

Stadia (St)Respirasi Pupil Depresi-refleksi

RitmeVolume Ukuran Letak

St I Anangesia sampai hilang kesadaran

St II Sampai pernafasan teratur, otomatis

St III P1 sampai hilang gerakan bola mata

P2 sampai awal parese otot pernafasan

P3 sampai lumpuh otot pernafasan

P4 sampai lumpuh diagfragma

St IV Henti nafas sampai henti jantungTidak teratur

Tidak teratur

Teratur

Teratur

Teratur pause setelah eksp

Tidak teratur, jerky

insp cepat dan memanjangKecil

Besar

Besar

Sedang

Sedang

Kecil Kecil

Lebar

Kecil

lebar

lebar

melebar

maksimal Divergen

Divergen

Divergen

Menetap di tengah

Menetap di tengah

Menetap di tengahTidak ada

Bulu mata kelopak mata

Kulit konyungtiva

Kornea

Faring eritoneum

Sfingternia karina

Tabel 5. Obat-obat Anestesia Inhalasi 5

Ether HalotanEnfluranIsofluran Isofluren Sevofluran N2O

BM74,12197,39184,5184,5168,4200,544

MAC dlm 021,920,741,681,1562,05104

MAC dlm 70% 020,660,290,574,50,66

Stabil in soda lime (40C)tidakyayayatidakya

V absorbi dan ekskresi>>>>>>

Ekskresi hepar15 %2-5%>>>>>n>

Menurunkan CMR>>>>>>

Respon terhadap CO2+++++++++++

Efek SSP lainDepresi pusat suhu dan muntahSadar (-) dg 5 nafas pd 2%

Depresi myocard>>>>>>Plg kecil

Vasodilatasi sistemik>>>>>>

NadiNaik lalu turunT (depresi SA node)n 30%((n 60%

TD(Trn 20-40%

Iritasi sal nafas>>>>>>>>>>Spsm

Depresi nafas+>>> (+dep otot interkostal)>>>Halothan

Bronchodilatasi++

Sistem otot/ relaksasi>>>> blok NM-junction vasodilatasi>>>>>>>Moderat. Intuvasi bisa tanpa relaxan

C. PEMELIHARAAN

Interval waktu pemberian dimulai bila seorang pasien telah mendapat cukup kedalaman anestesi untuk memulai operasi dan dilanjutkan sampai pemberian anestesi tidak diperlukan lagi. Perubahan fisiologis yang terjadi berhubungan dengan anestesi pada periode ini tidak sebesar yang terjadi sewaktu induksi dan emergence, namun banyak manuver-manuver operasi yang dapat menyebabkan perubahan hemodinamik secara dramatis. 1,4

Kedalaman anestesi harus terus dipertahankan, dengan cara mengobservasi respon yang ditimbulkan oleh stimulus operasi dan mengantisipasi perubahan-perubahan yang mungkin timbul. Respon tersebut dapat bersifat somatik seperti pergerakan batuk, dan menahan napas. Atau otonomik seperti takikardi, hipertensi, midriasis, berkeringat dan meneteskan air mata. Evaluasi kedalaman anestesi adalah suatu penggabungan dari berbagai observasi, penilaian dan pengalaman klinis yang digunakan untuk merespon secara tepat terhadap situasi klinis yang terjadi.

1. Metode

Pada tehnik inhalasi murni, kadar volatil anestesi dtitrasi sesuai dengan a) pergerakan pasien (jika pelemas otot tidak digunakan), b) tekanan darah (menurun dengan meningkatnya kedalaman anestesi), c) ventilasi (meningkatnya RR dan menurunnya VT dengan meningkatnya kedalaman anestesi). Jika N2O digunakan disesuaikan dengan oksigenasi yang adekwat. Tehnik ini dapat menghasilkan ventilasi spontan dan emergence yang cepat.

Pada tehnik N2O-narkotik-relaksan (balans), obat-obat tertentu digunakan untuk memberikan kondisi anestesi umum. N2O 65 - 70 % dikombinasikan dengan narkotik yang diberikan dengan dosis awal sebelum operasi dan kemudian dititrasi sesuai dengan HR dan TD pasien dalam merespon stimulus operasi. Perkiraan dari kebutuhan narkotik total harus dihitung dan dosis besar pada akhir operasi harus dihindari untuk mencegah terlambatnya emergence. Ventilasi dikontrol karena depresi napas akibat narkotik dan kebutuhan pelemas otot sesuai jenis operasinya. Tehnik ini meminimalkan depresi miokard dan merupakan tehnik pilihan untuk pasien dengan suspek hipotermi malignan.

Pada tehnik TIVA menggunakan infus berkelanjutan atau bolus berulang dari satu atau lebih obat annestesi IV yang bekerja cepat dengan atau tanpa pelemas otot. Infus dihentikan sesuai dengan interval waktu yang cukup sebelum berakhirnya operasi. Interval waktu ini tergantung pada durasi obat anesesi IV. Tehnik ini terutama sekali berguna pada situasi dimana ventilasi dihentikan (misalnya pada bronkoskopi) dan menghasilkan emergence yang cepat. Meskipun demikian waktu pulih sadar dan emergence pada tehnik inhalasi (VIMA) lebih cepat dibandingkan dengan tehnik TIVA.

Kombinasi dari berbagai metode sering diberikan. Konsentrasi volatil anestesi yang rendah (misalnya isoflurence 0,3 - 0,5 %) sering diberikan sebagai tambahan bagi tehnik N2O-narkotik-relaksan untuk menjamin amnesia. N2O sering digunakan bersama-sama dengan anestesi IV. Berbagai macam anestesi akan mengurangi kemungkinan toksititas dibandingkan dengan satu jenis anestesi namun efek samping dan interaksi obat dapat meningkat juga.

2. Ventilasi

a. Spontan atau Assited

Seorang pasien dengan napas spontan dengan atau tanpa bantuan, dapat menggunakan sungkup muka atau ETT. Namun, fungsi respirasi dapat beresiko sesuai dengan kondisi medis pasien, posisi, tekanan eksternal pada thoraks, manuver operasi, atau berbagai medikasi. Sebagian besar anestesi umum mendepresi napas tergantung dari dosis yang diberikan, dan oleh karena itu hipoventilasi dan penurunan VT sering timbul pada keadaan peningkatan ringan dan sedang PaCO2. Ventilasi spontan atau assited memberikan kemampuan untuk menilai kedalaman anestesi dengan mengobservasi corakan dan frekwensi napas. 4

b. Ventilasi Kontrol

Walaupun sungkup muka digunakan, ETT dan ventilator mekanik diberikan jika ventilasi dikontrol selama periode tertentu. Penyetelan ventilator awal biasanya terdiri dari VT 10 - 15 ml/kg dan RR 8 - 10 napas/menit. Tekanan inspirasi puncak dicatat dan harus kurang dari 50 cm H2O.

Penilaian ventilasi yang adekwat dikonfirmasikan sesuai dengan observasi berkelanjutan pada pasien, termasuk auskultasi suara napas dan inspeksi mesin anestesi (misalnya reservoir breathing bag, ventilator bellows, dan peak inspiratory presure) dan memonitor (misalnya capnograf atau pulse oksimeter). Analisa gas darah dan pengaturan ventilasi juga dapat dibutuhkan. Jika ventilasi mekanik tidak adekwat, ventilasi manual dengan 100 % oksigen harus diberikan sampai masalahnya dapat dikoreksi.

D. TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF

Tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kekurangan air dan elektrolit, memenuhi kebutuhan, mengatasi syok, untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan. Terapi cairan perioperatif meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa praoperasi, perioperasi dan postoperasi.7

1. Defisit cairan praoperasi

Sebagian besar pasien puasa setidaknya 8 jam sebelum operasi. Cairan pemeliharaan (maintenance fluid) adlah jumlah cairan yang hilang pada orang dewasa saat istirahat per jam yaitu 60 ml ditambah 1 ml/kg (untuk BB lebih dari 20 kg). Jadi misalnya seorang dewasa 50 kg yang berpuasa 8 jam mempunyai defisit cairan (60 + 30) x 80 ml = 720 ml. Pada umumnya setengah cairan defisit tersebut harus sudah dikoreksi sebelum diinduksi, sedang sisanya dilakukan intraoperasi.

2. Kebutuhan cairan IV intraoperasi

Kebutuhan cairan pemeliharaan dihitung seperti di atas. Sedangkan hilangnya cairan kompratemen ketiga (jaringan yang edema karena trauma operasi dan proses evaporasi) diganti berdasarkan besarnya operasi. Berkisar antara 3 - 5 ml/kgBB/jam (mastektomi), sampai dengan 15 - 20 ml/kgBB/jam (abdominal aneurisma aorta).

Jumlah darah yang hilang sulit dipastikan. Jumlah terlihat pada suction cansters harus sering diperhatikan juga perlu dipertimbangkan adanya jumlah cairan irigasi, ascites atau kista. Penggunaan jumlah kasa harus diperhatikan dan bila perlu pada pasien pediatri perlu ditimbang. Darah yang tercecer pada kain dan lantai juga harus dinilai jumlahnya. Jika darah yang hilang banyak sekali maka diperlukan pemeriksaan hematokrit serial.

3. Penggantian defisit

Cairan harus diberikan IV untuk mengkoreksi defisit pada pasien. Perubahan HR, TD, dan urine output dapat digunakan sebagai petunjuk penggantian volume intravaskuler. Pengukuran CVP atau kateter arteri pulmonal juga dapat dibutuhkan.

Cairan kristaloid digunakan untuk mengganti kebutuhan cairan pemeliharaan dan hilangnya cairan kompartemen ketiga. Optimalnya adalah larutan isotonik (misalnya ringer laktat). cairan kristaloid yang digunakan untuk mengganti darah yang hilang dihitung dengan perbandingan 3 : 1. Bila darah yang hilang lebih banyak maka rasio tersebut dapat ditingkatkan. Sedangkan pemberian cairan glukosa tidak dibutuhkan kecuali pada keadaan khusus (IDDM, penyakit hati).

Cairan koloid mislanya PRC, albumin 5 %, HAES 6 % dapat digunakan untuk mengganti darah yang hilang atau menggantikan volume intravaskuler. Penggantian darah yang hilang dengan koloid dihitung dengan perbandingan 1 : 1.

E. TEKNIK EKSTUBASI

Pada kasus emergence pasien mengalami transisi dan unconsciousness state menjadi awake state sehingga reflek-reflek vital kembali (misalnya reflek proteksi jalan napas). Pasien harus bangun dan responsif terhadap resiko obstruksi jalan napas dan aspirasi pulmonal. Penilaian neurologik juga diperlukan pada periode ini. Sedang pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, hemodinamik harus terkontrol.

Pada akhir operasi dimana stimulasi mulai berkurang kedalaman anestesi yang sesuai tetap harus dipertahankan. Relaksasi otot harus dikembalikan dan pasien harus diusahakan bernapas spontan. Adanya ETT dan manipulasi jalan napas sangat mengiritasi pasien. Bila posisi pasien dirubah induksi, maka posisi pasien harus dikembalikan seperti semula. Pada keadaan nyeri sedang sampai berat akan menyebabkan pasien menjadi gaduh gelisah, oleh karena itu pemberian analgesik yang adekwat diberikan sebelum operasi berakhir.

Pada waktu emergence, pasien dangan sungkup muka harus bernapas spontan dengan oksigen 100 %. Stimulus jalan napas yang dapat menyebabkan spasme laring harus dihindari. Pasien dapat dipindah dari meja operasi bila reflek proteksi jalan napas telah kembali, pasien bangun dan dapat berkomunikasi verbal serta telah mendapat cukup oksigenasi.

Pada pasien yang terpasang ETT biasanya diekstubasi setelah sadar dari anestesi (awake extubation) atau masih teranestesi pada akhir operasi (deep extubation). Pasien pada keadaan gagal napas, terlambat bangun, hemodinamik yang tidak stabil, pasien dengan resiko jalan napas terganggu (pada operasi ekstensif di mulut), menjalani operasi yang lama dan bersifat invasif biasanya tetap terpasang ETT.

1. Ekstubasi sadar

Diindikasikan pada pasien dengan lambung penuh, pasien yang sulit di ventilasi dengan sungkup muka atau sulit diintubasi, pasien dengan edema glotis (pada posisi head down yang lam) dan pasien yang menjalani operasi trakea atau maksilofasial.

Kriteria ekstubasi sadar yaitu : 1) pasien harus dapat mempertahankan dan memprotksi jalan napas, 2) pasien harus sadar dan dapat mengikuti komunikasi verbal yang sederhana, 3) hemodinamik stabil, 4) bernapas spontan dengan oksigenasi dan ventilasi yang adekwat, 5) relaksasi otot yang tersisa harus telah dihilangkan sesuai penilaian kriteria klinis atau stimulator saraf perifer.

Tehnik ekstubasi sadar adalah 1) pasien bernapas 100 % dari sekret orofaring dihisap, 2) tekanan positif ringan diberikan lewat ETT (untuk mencegah apsirasi), 3) cuff dikempiskan dan ETT dikeluarkan, 4) oksigen 100 % diberikan lewat sungkup muka dan venbilasi dinilai. Pada keadaan ini pulseoksimeter sangat berguna, dan oleh karena pada periode ini adalah masa yang kritis maka ahli anestesi harus tetap berfokus sepenuhnya pada pasien sambil menilai kemampuan ventilasi, oksigenasi dan proteksi jalan napasnya.

2. Ekstubasi dalam

Dapat mencegah muntah, ketegangan yang dapat mempengaruhi hasil operasi (misalnya pada operasi telinga tengah, TUR prostat, open procedures, abdominal atau herniorafi inguinal. Ekstubasi dalam juga bermanfaat pada pasien dengan riwayat asma.

Kriteria ekstubasi dalam yaitu : 1) kedalaman anestesi harus cukup untuk menghindari respon stimulus jalan napas yang tidak diinginkan (batuk, dan spasme laring), 2) relaksasi otot yang tersisa harus telah dihilangkan, 3) pasien harus bernapas spontan atau dengan bantuan. Bila diperlukan anestesi dapat diperdalam baik dengan pemberian dosis kecil IV hipnotik anestesi inhalasi dengan konsentrasi tinggi volatil anestesi.

Tehnik ekstubasi dalam yaitu : 1) peralatan jalan napas dan medikasi yang diperlukan harus tersedia, 2) cuff dikempiskan dan ETT dikeluarkan, 3) anestesi inhalasi dilanjutkan lewat muka sampai keadaan yang diinginkan.

Agitasi yang berat sering terlihat pada emergence dari anestesi umum, khususnya pada pasien dewasa. Penyebab fisiologik yaitu nyeri, hipoksia, hiperkarbia, obstruksi jalan napas, dan kandung kemih yang penuh. Dan penatalaksanaan dilaksanakan sesuai kausanya. 4, 6

F. TRANSPORTASI

Setelah pasien diekstubasi dari kamar operasi, pasien dibawah dari kamar operasi ke PACU (postanesthetic care unit) atau ICU dengan tempat tidur yang dapat diposisikan head down atau head up, tergantung kondisi klinis pasien. Oksigen harus terus diberikan dan jalan napas, ventilasi dan kondisi keseluruhan pasien harus terus diobservasi. Menempatkan pasien dengan posisi lateral akan memperkecil kemungkinan aspirasi dan obstruksi jalan napas. Jika hemodinamik pasien tidak stabil dan membutuhkan vasoaktif IV, monitor TD atau EKG sangat dibutuhkan. Medikasi dan peralatan jalan napas harus tetap tersedia.

G. KUNJUNGAN PASCA OPERASI

Evaluasi paska operasi harus dilakukan oleh ahli anestesi dalam waktu 24 - 48 jam dan ditulis pada rekam medis pasien baik kondisi umum, diskusi maupun medikasi yang diberikan. Perspektif pasien atas pelaksanaan perioperasi akan sangat membantu. Komplikasi khusus seperti mual, muntah, sakit tenggorokan, trauma pada gigi, mata, saraf, pneumonia atau perubahan status mental harus dicatat. Komplikasi yang membutuhkan terapi dan konsultasi harus dikerjakan.

BAB III

RINGKASAN

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesia yang ideal terdiri (1) Hipotik, (2) Analgesia, (3) Relaksasi otot.

Tinjauan pustaka ini membahas hal-hal utama pada pemberian anestesi umum, seperti persiapan praoperasi, induksi, pemeliharaan, terapi cairan perioperatif, teknik ekstubasi, transportasi, serta kunjungan pasca operasi.

Pada evaluasi praoperasi tujuannya adalah untuk mendapatkan kondisi pasien yang sebaik mungkin baik psikis maupun fisik. Pada premedikasi tidak hanya untuk mempermudah iniduksi dan mengurangi jumlah obat-obatan yang digunakan, juga menenangkan pasien sebagai persiapan pra anastesi. Pada monitor anastesi yang harus dipantau adalah fungsi pernapasan dan fungsi jantung

Pada induksi teknik yang dilakukan adalah intravena, inhalasi. Pada pemeliharaan kedalaman anastesi harus terus dipertahankan dengan cara mengobservasi respon yang ditemukan oleh stimulus operasi. Pada terapi cairan perioperatif meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa pra operasi, perioperasi dan postoperasi.

Pada evaluasi pasca operasi harus dilakukan 24-48 jam dan ditulis pada rekam medis pasien baik kondisi umum maupun medikasi yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jusrafli, J, Said A. Latief, Anestesi Umum, dalam Anesthesiologi, FKUI, Jakarta, 1989. Hal. 34-7, 93-102.

2. Boulton TB, Blogg CE. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta. 1994. Hal 7-8.

3. Lennon, P. Administration of General Anesthesia. Dalam J.K. Davison, W.P Eckhard dan D.A. Perese. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachussetts General Hospital. Little Brown, Boston, 1993.

4. Edward, M.W. Premedication. Dalam D.E. Longnecker dan F.L Murphy. Introduction to Anesthesia. Saunders, Philadephia, 1992.

5. Dobson MB. Anaesthesia at the district hospital. WHO. EGC. Jakarta. 1994

6. Morgan, G.E. dan Mikhail, M.S. Clinical Anesthesiology. Appleton and Lange, Stamford, 1996.

7. Sunatrio S, Resusitasi Cairan, FKUI, Jakarta, 2000, Hal 43-55.

8. Guarnieri, D.M dan Prevoznik, S.J. Preoperative Evaluation. Dalam D.E Longnecker dan F.L Murphy. Introduction to Anesthesia. Saunders, Philadephia, 1992.

9. Nunn, J.F., Utting, J.E., dan Brown, B.R. General Anesthesia. Butterworth, London, 1989.

10. Edward, M.W. Premedication. Dalam D.E. Longnecker dan F.L Murphy. Introduction to Anesthesia. Saunders, Philadephia, 1992.

11. Lennon, P. Administration of General Anesthesia. Dalam J.K. Davison, W.P Eckhard dan D.A. Perese. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachussetts General Hospital. Little Brown, Boston, 1993.

12. Savino, J.S. Monitoring the Anesthesia patient. Dalam D.E Longnecker dan F.L Murphy. Introduction to Anesthesia. Saunders, Philadephia, 1992.

13. Foxwell,. M.M. dan Meyerson, D.A. Cardiovascular Assessment and Management. Dalam S.D. Wolfsthal : Medical Perioperative Management, Appleton dan Lange, Conecticet, 1989.

14. Nileshkumar, P., Charles, S. dan Donald, K. Head Conservation vs Convecting Warming in Adults Undergoing Elective Surgey. Canadian Journal of Anaesthesiology, 1997, 44 : 6, 669-673.

15. Cote, C.J. Pediatric Anesthesia. Dalam R.D. Miller. Anesthesia. Churchill Livingstone, Philadelphia, 2000.

16. Feeley, T.W. The Postanesthesia care Unit. Dalam R.D. Miller. Anesthesia. Churchill Livingstone. Philadelphia, 2000.

17. Kennedy, S.K. Nonopioid Intravenous Anesthesia. Dalam D.E Longnecker dan F.L Murphy. Introduction to Anesthesia. Saunders, Philadephia, 1992.

118