contoh proposal ptk non daftar pustaka
TRANSCRIPT
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
MELALUI PENDEKATAN MATEMATIS REALISTIK KELAS V SD SWASTA AMALIA MEDAN
T.A 2015/2016
PROPOSAL
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Dasar
OLEH:
TRI ASTARINIM: 08146182041
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2015DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................
i
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................................
1
1.2 Identifikasi Masalah.............................................................................................
7
1.3 Pembatasan Masalah ...........................................................................................
8
1.4 Perumusan Masalah ............................................................................................
8
1.5 Tujuan Penelitian ...............................................................................................
9
1.6 Manfaat Penelitian .............................................................................................
9
1.7 Definisi Operasional ...........................................................................................
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................
8
2. 1 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika...................................................
11
2.2 Kemampuan Komunikasi Matematis ..................................................................
14
....................................................................................................................................
12
1. Pembelajaran Matematika .................................................................
13
2. Konsep Accelerated learning ............................................................
14
3. Materi ................................................................................................
25
B. Kerangka Konseptual ....................................................................................
28
C. Hipotesis tindakan .........................................................................................
29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................................
30
A. Setting Penelitian ..........................................................................................
30
B. Subjek Penelitian ...........................................................................................
30....................................................................................................................
C. Objek Penelitian ............................................................................................
30
D. Jenis dan Pendekatan Penelitian ....................................................................
31
E. Prosedur Penelitian ........................................................................................
32
F. Alat Pengumpulan Data ...............................................................................
34
G. Teknik Analisis Data .....................................................................................
38
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu pembentukan jiwa manusia yang memungkinkan
manusia tumbuh dan berkembang dengan potensi dan kemampuan yang
dimilikinya. Selain itu, pendidikan juga merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kualitas setiap individu dalam semua ranah, baik ranah afektif,
kognitif dan psikomotorik, yang dipersiapkan agar mampu mengikuti laju
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dalam rangka
menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh, terampil dan siap
kerja.
Hal ini sangat berhubungan dengan sistem pendidikan nasional yang terdapat
pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, yaitu “untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Sehubungan dengan hal
ini maka diperlukan adanya sumber daya manusia yang handal dan dapat
menghadapi tantangan diera global serta menciptakan lapangan kerja, karena
berdasarkan SDM Indonesia dalam persaingan global pengalaman salah satu
penyebab terjadinya krisis ekonomi adalah rendahnya kualitas sumber daya
manusia. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan sumber daya manusia
Indonesia dalam mengahadapi tantangan era global, dan salah satu upaya untuk
meningkatkan sumber daya manusia itu adalah pendidikan.Karena dengan
pendidikan yang baik dan berkualitas, dapat menciptakan sumber daya manusia
yang berdaya saing pula.
Salah satu diantara masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang
banyak diperbincangkan adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari
rendahnya rata-rata hasil belajar. Masalah lain dalam pendidikan di Indonesia
yang juga banyak diperbincangkan adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran
masih terlalu didominasi peran guru (teacher center). Guru banyak menempatkan
siswa sebagai obyek dan bukan sebagai subyek didik. Pendidikan kita kurang
memberikan kesempatan pada siswa dalam berbagai mata pelajaran untuk
mengembangkan kemampuan berpikir holistik (menyeluruh), kreatif, objektif, dan
logis.
Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika berhasil
jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur
yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan. Dengan mengenal konsep dan
struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan
memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi
yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih dipahami dan diingat
anak.
Sejalan dengan teori Bruner, pembelajaran matematika yang optimal
seharusnya dapat membuat siswa menjadi pandai menyelesaikan permasalahan
dimana tujuan ini dapat tercapai bila prinsip pembelajaran matematika diterapkan
secara dua arah sehingga siswa dapat benar-benar menguasai konsep-konsep
matematika dengan baik. Selain itu, siswa diharapkan pandai dalam berhitung dan
mampu melakukan perhitungan dengan benar dan tepat sesuai kreativitas diri
siswa masing-masing. Pada dasarnya belajar matematika haruslah dimulai dari
mengerjakan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Melalui
mengerjakan masalah yang dikenal dan berlangsung dalam kehidupan nyata ,
peserta didik dapat membangun konsep dan pemahaman dengan naluri, insting,
daya nalar, dan konsep yang telah diketahui(Slamet H.W. dan Nining
Setyaningsih, 2010 : 126).
Menurut Gagne (dalam Ruseffendi, 1988: 335) menyatakan bahwa,
“Pemecahan masalah adalah tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan
kompleks dibandingkan dengan tipe belajar lainnya”. Kemampuan pemecahan
masalah adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah atau proses yang
menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah,
yang juga merupakan metode penemuan solusi melalui tahap-tahap pemecahan
masalah. Siswa di Singapura dilatih kemampuannya dalam memecahkan
masalah pada setiap jenjang sekolah. Untuk menunjang pencapaian tujuan
tersebut, konsep silabus matematika dikembangkan dengan mengintegrasikan
lima komponen yang terdiri dari konsep (concept), keterampilan (skill),
proses (process), sikap(attitude), dan metakognisi (metacognition) (Kaur,
2004). Di Jepang, soal-soal pemecahan masalah berupa soal-soal yang bersifat
open-ended. Gerakan penggunaan soal open-ended ditujukan untuk menggantikan
penggunaan soal tertutup yang hanya mempunyai satu jawaban (Yamada,
1977:1).
Walaupun secara formal Indonesia telah menempatkan kemampuan
pemecahan masalah matematik sebagai salah satu tujuan utama pembelajaran
matematika, namun dalam pembelajaran pengetahuan siswa masih didominasi
oleh belajar secara verbal. Misalnya, ketika siswa diberikan permasalahan tentang
perkalian 8 x 4 mereka dapat menjawab 32, tetapi ketika dipresentasikan 8 x 5 =
…, mereka tidak mampu menyelesaikannya. Hal ini terjadi karena mereka tidak
mampu berpikir bahwa penjumlahan berturutan delapan buah angka empat
sehingga menghasilkan tiga puluh dua merupakan bagian pemecahan masalah
yang dihadapinya.
Menurut Bell (dalam Widjayanti: 2009) hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa strategi-strategi pemecahan masalah yang umumnya dipelajari dalam
pelajaran matematika, dalam hal-hal tertentu, dapat ditransfer dan
diaplikasikan dalam situasi pemecahan masalah yang lain. Penyelesaian
masalah secara matematis dapat membantu para siswa meningkatkan daya
analitis mereka dan dapat menolong mereka dalam menerapkan daya tersebut
pada bermacam-macam situasi. Dengan perkataan lain, bila peserta didik
dilatih menyelesaikan masalah, maka peserta didik itu akan mampu
mengambil keputusan, sebab peserta didik itu telah menjadi trampil tentang
bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi,
dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
Selain kemampuan pemecahan masalah matematika yang masih rendah,
kemampuan komunikasi matematis juga masih perlu dikembangkan. Kemampuan
komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam
menyampaikan sesuatu yang diketahuinya. Sedikitnya ada dua alasan penting
mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuh
kembangkan di sekolah dasar, pertama adalah matematika tidak hanya sekedar
alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau
mengambil keputusan tetapi matematika juga sebagai alat untuk
mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat dan ringkas, kedua adalah
sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika di sekolah, matematika
juga sebagai wahana interaksi antarsiswa dan juga sebagai sarana komunikasi
guru dan siswa.
Greenes dan Schulman (1996: 168) mengatakan bahwa komunikasi matematik
merupakan: (I) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan
strategi matematik, (2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan
penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, (3) wadah bagi siswa
dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi
pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk
meyakinkan orang lain.
Kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication) dalam
pembelajaran matematika sangat perlu untuk dikembangkan. Hal ini karena
melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan berpikir
matematisnya baik secara lisan maupun tulisan. Di samping itu, siswa juga dapat
memberikan respon yang tepat antar siswa dan media dalam proses pembelajaran.
Bahkan dalam pergaulan bermasyarakat, seseorang yang mempunyai kemampuan
komunikasi yang baik akan cenderung lebih mudah beradaptasi dengan siapa pun
dimana dia berada dalam suatu komunitas, yang pada gilirannya akan menjadi
seorang yang berhasil dalam hidupnya.
Komunikasi matematika perlu menjadi fokus perhatian dalam pembelajaran
matematika, sebab melalui komunikasi, siswa dapat mengorganisasi dan
mengkonsolidasi berpikir matematisnya (NCTM, 2000a), dan siswa dapat
meng’explore’ ide-ide matematika (NCTM, 2000b).
Beberapa masalah belajar diatas dapat terlihat ketika guru memberikan
ulangan harian kebanyakan siswa kelas V SD Swasta Amalia Medan salah dalam
menyelesaikan suatu permasalahan. Akibatnyalebih dari 70 % siswa belum tuntas
belajar dan rata-rata nilai ulangan harian kurang dari batas ketuntasan belajar
minimal adalah 65 serta siswa tidak paham dalam memecahkan masalah yang
terdapat pada soal. Hal ini dapat diketahui dari hasil rata–rata nilai ulangan harian
dan dokumentasi ulangan siswa kelas V SD Swasta Amalia Medansebagaimana
diperlihatkan berikut ini:
Tabel 1.1
Nilai rata-rata Ulangan Harian Matematika Siswa
Nilai rata-rata Ulangan Harian (UH)
UH 1 UH 2
51.94 57.54
Salah satu dokumentasi mengenai cara siswa menyelesaikan masalah dari
sebuah soal cerita
Soal:
Seorang pedagang membeli seekor kambing dengan harga Rp
250.000. Kambing tersebut dia jual kembali seharga Rp 275.000.
Setelah itu dia membeli kambing yang lebih besar dengan harga Rp
300.000, dan menjualnya kembali seharga Rp350.000. Apakah
pedagang tersebut untung atau rugi? Tentukan keuntungan atau
kerugiannya!
Penyelesaian beberapa orang siswa:
Siswa I
Siswa II
Sumber : SD Swasta Amalia Medan
Dari data observasi diatas dapat diindikasikan bahwa kemampuan
pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah.
Faktor yang menyebabkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah dan
kemampuan komunikasi matematis di SD Swasta Amalia Medan dikarenakan
siswa tidak mampu menunjukkan pemahaman masalah, tidak dapat
mengorganisasikan data dan memilih informasi yang relevan, serta siswa juga
lemah dalam menafsirkan model atau pola matematika dari suatu masalah. Di
samping itu dalam pembelajaran siswa tidak dapat mengkomunikasikan ide dalam
pemikirannya, sehingga tidak dapat menganalisa dan mengevaluasi pemikiran
matematika. Hal demikian menjadikan kondisi belajar mengajar tidak kondusif
yang dapat menimbulkan tidak munculnya keterampilan siswa dalam belajar
matematika dan berakibat nilai yang diperoleh siswa cenderung rendah.
Dalam proses pembelajaran respon siswa terhadap pembelajaran juga menjadi
sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan karena
pembelajaran adalah proses interaksi yang dilakukan oleh guru dan siswa di
dalam maupun di luar kelas dengan menggunakan berbagai sumber belajar
sebagai bahan kajian. Interaksi antara guru dan siswa akan efektif jika
berlangsung dua arah. Guru diharapkan menciptakan proses pembelajaran yang
dapat memunculkan respons siswa. Respons siswa dapat dilihat dari partisipasi
siswa selama proses pembelajaran.
Menurut hasil observasi terhadap proses pembelajaran siswa kelas IV SD
Swasta Amalia Medan pada semester ganjil menunjukkan bahwa respons siswa
masih kurang. Hal tersebut tampak pada perilaku siswa antara lain sekitar 15%
kurang memperhatikan pelajaran, 15% siswa bermain sendiri dan 20%
mengganggu teman yang lain. Peran serta atau keterlibatan siswa dalam
kegiatan belajar mengajar masih kurang, hal ini karena kegiatan siswa dalam
proses belajar mengajar lebih banyak mendengarkan dan menulis apa yang
disampaikan oleh guru.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan belajar diatas, telah
direncanakan dengan menyusun pembelajaran matematika realistik yang akan
diterapkan pada semester ganjil tahun pelajaran 2015 – 2016. Pembelajaran
matematika relistik memungkinkan siswa untuk berfikir ilmiah, serta mampu
mengkomunikasikan ide, gagasan serta konsep dengan tepat. Pembelajaran
matematika realistik mungkin dapat memotivasi siswa untuk aktif sehingga dapat
mengurangi kebosanan dan bahkan meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti akan mengkaji masalah ini melalui
Penelitian Tindakan Kelas dengan menerapkan pembelajaran matematika realistik
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
komunikasi matematis siswa yang pada akhirnya akan memperbaiki hasil belajar
matematika siswa kelas V SD Swasta Amalia Medan. Adapun judul penelitian ini
adalah “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Kemampuan
Komunikasi Matematis Siswa Melalui Pendekatan Matematika Realistik Kelas V
SD Swasta Amalia Medan T.A 2015/2016”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat
diidentifikasi masalah-masalah yang terjadi sebagai berikut :
1. Kondisi pembelajaran yang masih bersifat verbalistik, sehingga siswa
belajar dengan konsep ingatan dan hafalan.
2. Dalam proses pembelajaran guru kurang memberi kesempatan kepada
siswa untuk terlibat langsung dalam pembentukan pengetahuan
matematika mereka, sehingga kemampuan pemecahan masalah yang
dimiliki siswa masih rendah.
3. Siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika
karena pemahaman materi yang bersifat menghafal sehingga keterampilan
siswa menyelesaikan soal masih kurang.
4. Kurang bervariasi pendekatan belajar yang digunakan guru di dalam
menyampaikan materi ajar, sehingga siswa mengalami kebosanan dalam
menerima pelajaran.
5. Pembelajaran matematika yang dilakukan di kelas masih bersifat abstrak
sehingga siswa kurang memahami konsep matematika dari materi yang
diajarkan
6. Komunikasi siswa dalam belajar masih sangat terbatas sehingga siswa
hanya mampu menjawab pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai
pertanyaan yang diajukan oleh guru
7. Kurangnya partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, sehingga siswa
kurang merespon pembelajaran yang pada akhirnya dapat mengakibatkan
rendahnya hasil belajar siswa.
1.3 Pembatasan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian ini lebih terarah dan jelas maka masalah
Penelitian ini dibatasi pada :
1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis
siswa kelas V SD Swasta Amalia Medan.
2. Efektivitas penerapan pembelajaran matematika realistik pada siswa kelas V
SD Swasta Amalia Medan.
3. Respon siswa kelas V SD Swasta Amalia Medan terhadap pembelajaran
matematika realistik.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah tersebut di atas,
diajukan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika pada
siswa kelas V SD Swasta Amalia Medan tahun pelajaran 2015/2016 melalui
pendekatan realistik dilihat per siklus?
2. Bagaimana peningkatan kemampuan komunikasi matematispada siswa kelas
V SD Swasta Amalia Medan tahun pelajaran 2015/2016 melalui pendekatan
realistik dilihat per siklus?
3. Bagaimana efektivitas penerapan Pembelajaran Matematika Realistik terhadap
pembelajaran matematika siswa kelas V SD Swasta Amalia Medan Tahun
Pelajaran 2015/2016?
4. Bagaimana respon siswa terhadap Pendekatan Realistik yang dilakukan di
kelas V SD Swasta Amalia Medan Tahun Pelajaran 2014/2015?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas V
SD Swasta Amalia Medan Tahun Pelajaran 2014/2015 melalui pendekatan
matematika realistik.
2. Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis pada siswa kelas V SD
Swasta Amalia Medan Tahun Pelajaran 2014/2015 melalui pendekatan
matematika realistik.
3. Mengetahui efektivitas penerapan Pembelajaran Matematika Realistik
terhadap pembelajaran matematika siswa kelas V SD Swasta Amalia Medan
Tahun Pelajaran 2014/2015.
4. Mengetahui respon siswa terhadap Pendekatan Realistik yang dilakukan di
kelas V SD Swasta Amalia Medan Tahun Pelajaran 2014/2015.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat dalam penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagi siswa penelitian ini dapat dimanfaatkan siswa sebagai upaya untuk
meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa khususnya dalam proses
pembelajaran matematika.
2. Bagi guru penelitian ini dapat dimanfaatkan guru sebagai dasar pemikiran
dalam memilih strategi pembelajaran di kelas yang tepat dalam proses belajar
mengajar matematika.
3. Bagi sekolah penelitian ini memberikan sumbangan yang baik dalam rangka
perbaikan pembelajaran matematika, peningkatan mutu sekolah dan
mengembangkan profesionalisme guru.
1.7 Definisi Operasional
Dalam pembahasan penelitian ini agar lebih terfokus pada permasalahan yang
akan dibahas, sekaligus menghindari terjadinya persepsi lain mengenai istilah-
istilah yang ada, maka perlu adanya penjelasan mengenai defenisi istilah dan
batasan-batasannya.
Adapun defenisi dan batasan istilah yang berkaitan dengan judul dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan pemecahan masalah, kemampuan pemecahan masalah adalah
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dengan
memperhatikan proses memperhatikan proses menemukan jawaban
berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah yaitu: (1) memahami
masalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3) melaksanakan penyelesaian, dan
(3) memeriksa kembali kebenaran jawaban. Kemampuan pemecahan masalah
juga merupakan salah satu sarana bagi siswa untuk mengasah penalaran yang
cermat, logis, kritis, analitis, dan kreatif.
2. Kemampuan komunikasi matematis adalah kekuatan/kemampuan siswa dalam
memberikan respon yang tepat terhadap media dalam proses pembelajaran
matematika. Kemampuan komunikasi matematis juga merupakan kemampuan
siswa dalam menyampaikan suatu informasi matematis yang diketahuinya.
3. Efektivitas Pembelajaranmatematika merupakan suatu usaha atau strategi yang
melibatkan seluruh komponen pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan sebelumnya secara tepat terutama pada pembelajaran
matematika. Efektivitas pembelajaran pada penelitian ini mengacu pada tiga
hal yaitu: (1) Ketuntasan belajar secara klasikal, (2) Ketuntasan Tujuan
Pembelajaran, (3) Waktu, dalam hal ini efisiensi waktu yang digunakan
selama proses pembelajaran.
4. Respon siswa adalah pendapat atau tanggapan siswa terhadap apa yang
diberikan guru kepadanya untuk mempelajari sesuatu dengan suka, senang,
dan berminat. Respon siswa merupakan salah satu aspek yang ikut
mempengaruhi keberhasilan siswa dalam pembelajaran matematika.
5. Pendekatan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran
matematika yang menggunakan konteks ‘dunia nyata’. Dalam hal ini dunia
nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang ada diluar matematika seperti
kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar ataupun mata pelajaran yang lain.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Pemecahan masalah adalah proses melibatkan suatu tugas yang metode
pemecahannya belum diketahui lebih dahulu, untuk mengetahui penyelesaiannya
siswa hendaknya memetakan pengetahuan mereka, dan melalui proses ini mereka
sering mengembangkan pengetahuan baru tentang matematika, sehingga
pemecahan masalah merupakan bagian tak terpisahkan dalam semua bagian
pembelajaran matematika, dan juga tidak harus diajarkan secara terisolasi dari
pembelajaran matematika (Turmudi, 2008). Menurut Bell (1978) hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa strategi-strategi pemecahan masalah yang
umumnya dipelajari dalam pelajaran matematika, dalam hal-hal tertentu, dapat
ditransfer dan diaplikasikan dalam situasi pemecahan masalah yang lain.
Penyelesaian masalah secara matematis dapat membantu para siswa
meningkatkan daya analitis mereka dan dapat menolong mereka dalam
menerapkan daya tersebut pada bermacam-macam situasi. Conney (dikutip
Hudoyo, 1988) juga menyatakan bahwa mengajarkan penyelesaian masalah
kepada peserta didik, memungkinkan peserta didik itu menjadi lebih analitis di
dalam mengambil keputusan di dalam hidupnya. Dengan perkataan lain, bila
peserta didik dilatih menyelesaikan masalah, maka peserta didik itu akan mampu
mengambil keputusan, sebab peserta didik itu telah menjadi trampil tentang
bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi, dan
menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
NCTM (2000) mengemukakan bahwa pemecahan masalah
merupakanproses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya pada
situasi barudan berbeda. Selain itu NCTM juga mengungkapkan tujuan
pengajaran pemecahanmasalah secara umum adalah untuk (1) membangun
pengetahuan matematika baru,(2) memecahkan masalah yang muncul dalam
matematika dan di dalam konteks-kontekslainnya, (3) menerapkan dan
menyesuaikan bermacam strategi yang sesuaiuntuk memecahkan permasalahan
dan (4) memantau dan merefleksikan proses daripemecahan masalah matematika.
Branca (Krulik dan Reys, 1980) mengemukakan bahwa
pemecahanmasalah memiliki tiga interpretasi yaitu: pemecahan masalah (1)
sebagai suatutujuan utama; (2) sebagai sebuah proses, dan (3) sebagai
keterampilan dasar. Ketiga hal itu mempunyai implikasi dalam pembelajaran
matematika. Pertama,jika pemecahan masalah merupakan suatu tujuan maka ia
terlepas dari masalahatau prosedur yang spesifik, juga terlepas dari materi
matematika, yang terpenting adalah bagaimana cara memecahkan masalah sampai
15
berhasil. Dalam hal inipemecahan masalah sebagai alasan utama untuk belajar
matematika. Kedua, jikapemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses maka
penekanannya bukansemata-mata pada hasil, melainkan bagaimana metode,
prosedur, strategi danlangkah-langkah tersebut dikembangkan melalui penalaran
dan komunikasi untukmemecahkan masalah. Ketiga, pemecahan masalah sebagai
ketrampilan dasar ataukecakapan hidup (life skill), karena setiap manusia harus
mampu memecahkanmasalahnya sendiri.Jadi pemecahan masalah merupakan
ketrampilan dasar yangharus dimiliki setiap siswa.
NCTM (2000) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja
merupakan suatu sasaran belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat
utama untuk melakukan belajar itu.Oleh karena itu, kemampuan pemecahan
masalah menjadi fokus pembelajaran matematika di semua jenjang, dari sekolah
dasar hingga perguruan tinggi. Dengan mempelajari pemecahan masalah di dalam
matematika, para siswa akan mendapatkan cara-cara berfikir, kebiasaan tekun,
dan keingintahuan, serta kepercayaan diri di dalam situasi-situasi tidak biasa,
sebagaimana situasi yang akan mereka hadapi di luar ruang kelas matematika. Di
kehidupan sehari-hari dan dunia kerja, menjadi seorang pemecah masalah yang
baik bisa membawa manfaat-manfaat besar. Karena menyelesaikan masalah bagi
siswa itu dapat bermakna proses untuk menerima tantangan, sebagaimana
dikatakan Hudoyo (1988), maka mengajarkan bagaimana menyelesaikan masalah
merupakan kegiatan guru untuk memberikan tantangan atau motivasi kepada para
siswa agar mereka mampu memahami masalah tersebut, tertarik untuk
memecahkannya, mampu menggunakan semua pengetahuannya untuk
merumuskan strategi dalam memecahkan masalah tersebut, melaksanakan strategi
itu, dan menilai apakah jawabannya benar. Untuk dapat memotivasi para siswa
secara demikian, maka setiap guru matematika harus mengetahui dan memahami
langkah-langkah dan strategi dalam penyelesaian masalah matematika. Langkah
pemecahan masalah matematika yang terkenal dikemukakan oleh G. Polya, dalam
bukunya ”How to Solve It”. Empat langkah pemecahan masalah matematika
menurut G. Polya tersebut adalah: ” (1) Understanding the problem, (2)Devising
plan, (3) Carrying out the plan, (4) Looking Back” (Alfeld, 1996).
Hampir sama dengan Polya, Dominowski (2002) menyatakan ada 3
tahapan umum untuk menyelesaikan suatu masalah, yaitu: interpretasi, produksi,
dan evaluasi. Interpretasi merujuk pada bagaimana seorang pemecah masalah
memahami atau menyajikan secara mental suatu masalah.Produksi menyangkut
pemilihan jawaban atau langkah yang mungkin untuk membuat penyelesaian.
Evaluasi adalah proses dari penilaian kecukupan dari jawaban yang mungkin, atau
langkah lanjutan yang telah dilakukan selama mencoba atau berusaha
menyelesaikan suatu masalah.
Kirkley (2003) menyebutkan bahwa model pemecahan masalah yang
umum pada tahun 60-an, adalah Bransford’s IDEAL model, yaitu: (1) Identify the
problem, (2) Define the problem through thinking about it and sorting out the
relevant information, (3) Explore solutions through looking at alternatives,
brainstorming, and checking out different points of view, (4) Act on the strategies,
and (5) Look back and evaluate the effects of your activity.Sedangkan model
pemecahan masalah yang lain, yang akhir-akhir sering digunakan adalah model
dari Gick (Kirkley, 2003). Dalam model ini urutan dasar dari tiga kegiatan
kognitif dalam pemecahan masalah, yaitu: (1) Menyajikan masalah,termasuk
memanggil kembali konteks pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasi
tujuan dan kondisi awal yang relevan dari masalah tersebut, (2) Mencari
penyelesaian,termasuk memperhalus tujuan dan mengembangkan suatu rencana
untuk bertindakguna mencapai tujuan, dan (3) Menerapkan penyelesaian,
termasuk melaksanakan rencana dan menilai hasilnya.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini kemampuan pemecahan
masalah adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
dengan memperhatikan proses menemukan jawaban berdasarkan langkah-langkah
pemecahan masalah. Langkah-langkah pemecahan masalah menurutPolya secara
garis besar mengemukakan empat langkah utama dalam pemecahan masalah
yaitu: (1) Understanding the problem(memahami masalah), (2) Devising a
Plan(menyusun rencana pemecahan masalah),(3) Carrying out
thePlan(melaksanakan rencana penyelesaikan masalah), dan (4) Looking Back
(melakukan pengecekankembali).
Adapun indikator untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah
matematis menurut Sumarmo (2012) sebagai berikut:
(1) mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur,
(2) membuat model matematika,
(3) menerapkan strategi menyelesaikan masalah dalam/diluar matematika,
(4) menjelaskan/menginterpretasikan hasil,
(5) menyelesaikan model matematika dan masalah nyata,
(6) menggunakan matematika secara bermakna.
Memperhatikan apa yang akan diperoleh siswa dengan belajar
memecahkanmasalah, maka wajarlah jika pemecahan masalah adalah bagian yang
sangat penting,bahkan paling penting dalam belajar matematika. Hal ini karena
pada dasarnya salahsatu tujuan belajar matematika bagi siswa adalah agar ia
mempunyai kemampuan atauketrampilan dalam memecahkan masalah atau soal-
soal matematika, sebagai saranabaginya untuk mengasah penalaran yang cermat,
logis, kritis, analitis, dan kreatif.
2.2. Kemampuan Komunikasi Matematis
Kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication)
dalampembelajaran matematika sangat perlu untuk dikembangkan.Hal ini karena
melaluikomunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan berpikir
matematisnya baik secara lisan maupun tulisan. Di samping itu, siswa juga dapat
memberikan respon yangtepat antar siswa dan media dalam proses pembelajaran.
Bahkan dalam pergaulanbermasyarakat, seseorang yang mempunyai kemampuan
komunikasi yang baik akan cenderung lebih mudah beradaptasi dengan siapa pun
dimana dia berada dalam suatu komunitas, yang pada gilirannya akan menjadi
seorang yang berhasil dalam hidupnya.
Greenes dan Schulman (1996: 168) mengatakan bahwa komunikasi
matematik merupakan: (I) kekuatan sentral bagi siswa dalammerumuskan konsep
dan strategi matematik, (2) modal keberhasilan bagisiswa terhadap pendekatan
dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasimatematik, (3) wadah bagi
siswa dalam berkomunikasi dengan temannyauntuk memperoleh informasi,
membagi pikiran dan penemuan, curahpendapat, menilai dan mempertajam ide
untuk meyakinkan orang lain.
Komunikasi matematika perlu menjadi fokus perhatian dalam
pembelajaranmatematika, sebab melalui komunikasi, siswa dapat mengorganisasi
dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya (NCTM, 2000a), dan siswa
dapatmeng’explore’ ide-ide matematika (NCTM, 2000b). Selain itu menurut
Atkins(1999) komunikasi matematika secara verbal (mathematical
conversation)merupakan “a tool for measuring growth in understanding, allow
participants to learn about the mathematical constructions from others, and give
participants opportunities to reflect on their own mathematical understandings.”
Menurut Baroody (1993) sedikitnya ada 2 alasan penting yang
menjadikankomunikasi dalam pembelajaran matematika perlu menjadi fokus
perhatianyaitu (1) mathematics as language (matematika sebagai bahasa);
matematika tidak hanya sekedar alat bantuberpikir (a tool to aid thinking), alat
untuk menemukan pola, ataumenyelesaikan masalah namun matematika juga “an
invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly, precisely, and
succintly,” dan (2)mathematics learning as social activity (belajar matematika
merupakan aktivitas sosial); sebagai aktivitas sosial, dalampembelajaran
matematika, interaksi antar siswa, seperti juga komunikasi guru-siswamerupakan
bagian penting untuk “nurturing children’s mathematical potential”. Bahkan
menurut Cai (1996) “communication is considered as the means by which
teachers and students can share the process of learning, understanding, dan
doing mathematics.”
Melalui komunikasi, siswa dapat mengeksplorasi dan mengonsolidasikan
pemikiran matematisnya, pengetahuan dan pengembangan dalam memecahkan
masalah dengan penggunaan bahasa matematis dapat dikembangkan, sehingga
komunikasi matematis dapat dibentuk.Menurut Hirschfeld (2008:4) komunikasi
adalah bagian penting dari matematika dan pendidikan matematika.Pentingnya
komunikasi tersebut membuat beberapa ahli melakukan riset tentang komunikasi
matematis.Beberapa hasil temuan penelitian (Fuentes, 1998; Wahyudin, 1999;
Osterholm, 2006; Ahmad, Siti & Roziati, 2008) dalam Neneng Maryani (2011:23)
menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dinilai masih
rendah terutama keterampilan dan ketelitian dalam mencermati atau mengenali
sebuah persoalan matematika.Menurut riset Bergeson dalam penelitian Gusni
Satriawati (2006:24) mengemukakan bahwa siswa sulit mengomunikasikan
informasi visual terutama dalam mengkomunikasikan sebuah lingkungan tiga
dimensi (misalnya, sebuah bangunan terbuat dari balok kecil) melalui alat dua
dimensi (misalnya kertas dan pensil) atau sebaliknya.
National Council Teachers Of Mathematics (2000: 60) melalui Principles
and Standard for School Mathematics,menempatkan komunikasi sebagai salah
satu bagian penting dalam matematika dan pendidikanmatematika (Wijaya, 2012:
72).Berkaitan dengan komunikasi matematis, menurut Sumarmo (dalam Zainab,
2011) memberikan indikator-indikator yang lebih rinci yaitu: 1)merefleksikan
benda–benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika;2) membuat
modelsituasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik,
dan aljabar; 3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa dan simbol
matematika; 4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulistentang matematika; 5)
membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematik tertulis; 6)
membuatkonjektur, menyusun argument, merumuskan definisi, dan genneralisasi;
7) menjelaskan dan membuatpernyataan tentang matematika yang telah dipelajari.
Sejumlah pakar telah mendefenisikan pengertian, prinsip, dan
standarkomunikasi matematis. NCTM (1989:78) mengemukakan bahwa standar
kurikulum, matematika sebagai alat komunikasi (mathematics as communication)
untuk siswa kelas 5 – 8 (SMP) adalah dapat: (1) memodelkan situasi baik secara
lisan, tulisan, nyata, gambar, graphis, dan metode aljabar; (2) merefleksikan dan
mengklarifikasikan pemikiran mereka sendiri tentang ide-ide matematika
danhubungannya; (3) mengembangkan pemahaman dengan ide-ide matematika
kedalam aturan dan defenisi; (4) menggunakan kemampuan membaca,
mendengaruntuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematika;
(5)mendiskusikan ide-ide matematika, membuat konjektur dan
meyakinkanargumen; (6) mengapresiasikan nilai, notasi matematika, dan
perannya dalammengembangkan ide-ide matematika.
Selain pengertian matematika sebagai alat komunikasi, ada juga
pengertiankomunikasi dalam matematika yakni berkaitan dengan kemampuan
keterampilansiswa dalam berkomunikasi. Standar evaluasi untuk mengukur
kemampuankomunikasi (NCTM, 1989:214) adalah: (1) kemampuan
mengekspresikan ide-idematematis melalui lisan, tulisan, dan
mendemonstrasikannya sertamenggambarkannya secara visual; (2) kemampuan
memahami,mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara
lisan, tulisan,maupun dalam bentuk visual lainnya; (3) kemampuan dalam
menggunakanistilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya
untukmenyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-
modelsituasi.
Menurut Baroody (1993:107) ada lima aspek komunikasi. Kelima aspekitu
adalah:
1) Representasi (representating) adalah: (a) bentuk baru sebagai hasil translasi
dari suatu masalah, atau ide, (b) translasi suatu diagram atau model fisik ke
dalam simbol atau kata-kata. Misalnya, representasi bentuk perkalian ke dalam
beberapa model konkret, dan representasi suatu diagram ke dalam bentuk
simbol atau kata-kata. Representasi dapat membantu anak menjelaskan konsep
atau ide, dan memudahkan anak mendapatkan strategi pemecahan. Selain itu,
penggunaan representasi dapat meningkatkan fleksibilitas dalam menjawab
soal-soal matematik.
2) Mendengar (listening) merupakan aspek penting dalam suatu diskusi. Siswa
tidak akan mampu berkomentar dengan baik apabila tidak mampu mengambil
inti sari dari topik diskusi. Siswa sebaiknya mendengar dengan hati-hati
manakala ada pertanyaan dan komentar dari temannya. Mendengar secara
hati-hati terhadap pertanyaan teman dalam suatu grup juga dapat membantu
siswa mengkontruksi lebih lengkap pengetahuan matematika dan mengatur
strategi jawaban yang lebih efektif. Pentingnya mendengar secara kritis juga
dapat mendorong siswa berpikir tentang jawaban pertanyaan sambil
mendengar.
3) Membaca (reading) adalah aktivitas membaca teks secara aktif untuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun. Pembaca yang baik
terlibat aktif dengan teks bacaan dengan cara: (a) membangun pengetahuan
dalam pikiran mereka berdasarkan apa yang telah mereka ketahui, (b)
menggunakan strategi untuk memahami teks bacaan dan
mengorganisasikannya dalam bentuk visual berupa bagan, diagram, atau
outline, (c) memonitor, merencanakan dan mengatur pembentukan makna, (d)
membangun penafsiran atau pemahaman teks bacaan yang bermakna dalam
memori jangka pendek, dan (e) menggunakan strategi dan pengetahuan yang
sudah ada yang digali dalam memori jangka panjang.
4) Diskusi (discussing) merupakan sarana untuk mengungkapkan dan
merefleksikan pikiran siswa. Beberapa kelebihan dari diskusi kelas, yaitu
antara lain: (a) dapat mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan
kemahiran menggunakan strategi, (b) membantu siswa mengkonstruk
pemahaman matematk, (c) menginformasikan bahwa, para ahli matematika
matematika biasanya tidak memecahkan masalah sendiri-sendiri, tetapi
membangun ide bersama pakar lainnya dalam suatu tim, dan (d) membantu
siswa menganalisis dan memecahkan masalah secara bijaksana.
5) Menulis (writing) adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk
mengungkapkan dan merefleksikan pikiran. Menulis adalah alat yang
bermanfaat dari berpikir karena melalui berpikir, siswa memperoleh
pengalaman matematika sebagai suatu aktivitas yang kreatif. Menulis dapat
meningkatkan taraf berpikir siswa ke arah yang lebih tinggi (higher-order-
thinking).
Untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis diperlukan beberapa
indikator. Sumarmo (2010:6) menuliskan kegiatan yang tergolong pada
komunikasi matematis dan merupakan indikator untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematis di antaranya adalah: (1) menyatakan suatu situasi, gambar,
diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematik;
(2) menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan; (3)
mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (4) membaca dengan
pemahaman suatu representasi matematika tertulis; (5) mengungkapkan kembali
suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri.
Komunikasi matematik merupakanserangkaian kegiatan-kegiatan
pembelajaran matematika yang dapat diukurmelalui indikator-indikator
komunikasi metematik, dalam hal ini Aryan (2007)menjelaskan bahwa indikator
komunikasi matematik dalam pembelajaranmatematika pada setiap jenjang
pendidikan adalah sebagai berikut:
1) Komunikasi matematik untuk siswa setingkat SD adalah a) menghubungkan
benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika, b) menjelaskan
ide, situasi dan relasi matematika, secara lisan atau tulisan, dengan benda
nyata, gambar, grafik, dan aljabar, c) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa atau simbol matematika, d) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika.
2) Komunikasi matematik untuk siswa setingkat SMP adalah a) menyatakan
masalah matematika dengan menggunakan benda-benda nyata, gambar ke
dalam bahasa atau simbol matematika, b) menginterpretasikan gambar ke
dalam model matematika, c) menuliskan informasi dari pernyataan ke dalam
bahasa matematika, dan d) mendiskusikan ide-ide, membuat
konjektur,menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi,
3) Komunikasi matematik untuk siswa setingkat SMA adalah: a) menyusun
refleksi dan membuat klarifikasi tentang ide-ide matematika, b) menyusun
formulasi dari definisi-definisi matematika dan membuat generalisasi dari
temuan-temuan yang ada melalui investigasi, c) mengekspresikan ide-ide
matematika secara lisan dan tulisan, d) membaca dengan pemahaman suatu
presentasi matematika tertulis, e) menjelaskan dan membuat pertanyaan
tentang matematika yang telah dipelajari.
Kemampuan komunikasi matematis dalam penelitian ini diukur melalui
indikator-indikator berikut ini: (1) menyatakan masalah kehidupan sehari-hari
kedalam symbol atau bahasa matematis, (2) menginterpretasikan gambar ke dalam
model matematika, (3) menuliskan informasi dari pernyataan ke dalam bahasa
matematika.
2.3 Efektivitas Pembelajaran Matematika
Efektivitas dapat dijadikan barometer untuk mengukur keberhasilan
pendidikan. Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam
mencapai tujuan atau sasarannya. Efektivitas sesungguhnya merupakan suatu
konsep yang lebih luas mencakup faktor di dalam maupun di luar diri seseorang.
Dengan demikian efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting, karena
mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan seseorang dalam mencapai
sasaran. Dalam dunia pendidikan, efektivitas dapat ditinjau dari 2 segi yaitu dari
segi efektivitas menagajar guru dan segi efektivitas belajar murid.
Kriteria utama suatu proses pembelajaran dapat dikatakan berhasil adalah
dengan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses untuk
mencapai tujuan tersebut harus memperhatikan beberapa faktor, salah satunya
adalah efektivitas dalam pembelajaran. Nana Sudjana (1995:59) menyatakan
bahwa efektif berkenaan dengan jalan, upaya, teknik, strategi yang digunakan
dalam mencapai tujuan secara tepat dan cepat.Sedangkan menurut Hartutik (2006:
8) ”Efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya
tujuan, ketepatan waktu, adanya partisipasi aktif dari anggota”. Pembelajaran
dikatakan efektif apabila dalam proses pembelajaran setiap elemen berfungsi
secara keseluruhan, peserta merasa senang, puas dengan hasil pembelajaran,
membawa kesan, sarana/fasilitas memadai, materi dan metode affordable, guru
profesional. Keefektifan program pembelajaran tidak hanya ditinjau dari segi
tingkat prestasi belajar, melainkan ditinjau dari segi proses dan sarana penunjang.
Aspek hasil meliputi tinjauan terhadap hasil belajar siswa setelah mengikuti
program pembelajaran yang mencakup kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotorik.
Aspek proses meliputi pengamatan terhadap keterampilan siswa, motivasi,
respon, kerjasama, partisipasi aktif, tingkat kesulitan padapenggunaan media,
waktu serta teknik pemecahan masalah yang ditempuh siswa dalam menghadapi
kesulitan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Aspek sarana
penunjang meliputi tinjauan-tinjauan terhadap fasilitas fisik dan bahan serta
sumber yang diperlukan siswa dalam proses belajar mengajar seperti ruang kelas,
laboratorium, media pembelajaran dan buku-buku teks. Menurut Nurgana(1985:
63) kriteria keefektifan mengacu pada:
1. Ketuntasan belajar, pembelajaran dapat dikatakan tuntas apabila sekurang-
kurangnya 75% dari jumlah siswa telah memperoleh nilai = 65 dalam
peningkatan prestasi belajar.
2. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa
apabila hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran (gain yang
signifikan).
3. Model pembelajaran dikatakan efektif jika dapat meningkatkan minat dan
motivasi apabila setelah pembelajaran siswa menjadi lebih termotivasi untuk
belajar lebih giat dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Serta siswa
belajar dalam keadaan yang menyenangkan.
Eggen dan Kauchak (dalam Fauzi, 2002) mengatakan bahwa, keefektifan
suatu pembelajaran dapat dilihat dari yang tidak hanya secara pasif menerima
informasi yang diberikan guru, tetapi siswa ikut terlibat dalam mengorganisasikan
hubungan-hubungan dari informasi yang diberikan. Slavin (1997) menyatakan
bahwa, keefektifan pembelajaran ditentukan oleh beberapa indikator antara lain :
a. Kualitas Pembelajaran
Kualitas pembelajaran adalah banyaknya informasi bantuan media
pembelajaran dapat diserap oleh siswa, yang nantinya dapat dilihat dari hasil
belajar siswa.
b. Kesesuaian Tingkat Pembelajaran
Kesesuaian tingkat pembelajaran adalah sejauh mana guru dapat memastikan
tingkat kesiapan siswa untuk mempelajari materi baru.
c. Intensif
Intensif adalah seberapa besar peran media dapat memotivasi siswa dalam
mempelajari materi yang diberikan.
d. Waktu
Waktu yaitu lamanya waktu yang disediakan cukup dan dapat dimanfaatkan
dalam proses pembelajaran dengan penggunaan media.
Sedangkan menurut Sinambela (2008:78),pembelajaran dikatakan efektif
apabila mencapai sasaran yang diinginkan, baik dari tujuan pembelajaran dan
prestasi siswa yang maksimal sehingga yang merupakan indikator kefektifan
pembelajaran berupa:
a. Ketercapaian keefektifan aktivitas siswa, yaitu pencapaian waktu ideal
yang digunakan siswa untuk melakukan setiap kegiatan dalam rencana
pembelajaran.
b. Ketercapaian kemampuan guru mengelola pembelajaran.
c. Respon siswa terhadap pembelajaran positif.
d. Ketercapaian ketuntasan belajar
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang efektivitas pembelajaran
maupun indikator efektivitas dapat ditarik kesimpulan bahwa efektivitas
pembelajaran matematika merupakan suatu usaha atau strategi yang melibatkan
seluruh komponen pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan sebelumnya secara tepat terutama pada pembelajaran matematika.
Efektivitas pembelajaran pada penelitian ini mengacu pada tiga indikator yaitu:
1. Ketuntasan belajar secara klasikal.
Menurut H. Erman (2003:11)Pembelajaran dapat dikatakan tuntas
apabila sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa dikelas telah memperoleh
nilai 70 dalam peningkatan hasil belajar matematika. Jika ketuntasan belajar
suatu kelas belum mencapai 85% perlu diadakan diagnostik dan remidial
sebelum materi dilanjutkan.
2. Ketuntasan Tujuan Pembelajaran.
Dalam proses tercapainya tujuan pembelajaran ada hal penting yang
harus diperhatikan yaitu bagaiman orientasi proses pembelajaran di kelas.
Orientasi proses pembelajaran di kelas dapat dilihat dari bagaimana siswa
dapat memahami tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan mampu
menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru. Dalam penelitian ini
ketuntasan tujuan pembelajaran siswa secara individu harus mencapai 75%.
3. Aktivitas Siswa dan Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran
Efektif atau tidaknya suatu pembelajaran di kelas juga dapat dilaht dari
aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa selama pembelajaran
berlangsung. Aktivitas belajar matematika siswa yang dimaksud pada
penelitian ini adalah aktivitas yang dilakukan siswa secara individu atau
kelompok untuk menyelesaikan permasalahan matematika atau untuk
menemukan konsep matematika. Untuk mengamati aktivitas siswa selama
proses pembelajaran berlangsung maka dilakukan observasi. Aktivitas siswa
yang diobservasi ditentukan dalam indikator aktivitas.
Indikator yang menyatakan aktivitas siswa dalam proses belajar
mengajar menurut Diedrich yang dikutip Sardiman (2006:100) adalah :
a. Visual Activities seperti membaca, memperhatikan
gambar, demonstrasi, mengamati percobaan.
b. Oral Activities Seperti menyatakan, merumuskan,
bertanya, memberikan saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan
wawancara,diskusi dan instrupsi.
c. Listening Activities Seperti mendengar uraian,
mendengar percakapan, mendengar diskusi dan mendengan pidato.
d. Writing Activities seperti menulis, membuat laporan,
mengisi angket, dan menyalin.
e. Drawing Activities seperti menggambar, membuat
grafik, membuat peta dan diagram.
f. Motor Activities seperti melakukan percobaan,
membuat konstruksi model, dan melakukan demonstrasi.
g. Mental Activities seperti menanggapi, mengingat,
memecahkan soal/masalah, menganalisa, melihat hubungan dan
mengambil keputusan.
h. Emosional Activities seperti menaruh minat, merasa
bosan, gembira, bersamangat, bergairah, berani, tengang, dan gugup.
Aktivitas yang akan peneliti amati selama dalam proses pembelajaran
adalah bentuk-bentuk aktivitas yang dikemukakan oleh Diedrich yang penulis
sesuaikan dengan tahap pelaksanaan Pendekatan Matematika Realistik.
4. Waktu
Efisien Waktu terhadap penerapan suatu model pembelajaran juga
perlu diperhatikan. Waktu yang digunakan dianggap efisien dalam suatu
proses pembelajaran jika dalam proses pelaksanaanya pemanfaat waktu yang
digunakan guru tepat dengan apa yang telah dirancang sebelumnya.
2.4 Respon Siswa
Respon berasal dari kata response, yang berarti balasan atau tanggapan
(reaction). Respon adalah istilah psikologi yang digunakan untuk menamakan
reaksi terhadap rangsang yang di terima oleh panca indra. Hal yang menunjang
dan melatarbelakangi ukuran sebuah respon adalah sikap, persepsi, dan
partisipasi. Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap
merupakan kecendrungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku jika
menghadapi suatu rangsangan tertentu. Respon juga merupakan sebagai suatu
tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail,
penelitian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada
suatu fenomena tertentu (Sobur 2003:451).
Sambutan (responding) adalah suatu sikap terbuka ke arah sambutan.
Menurut Hamalik (2005:172), sambutan (respon) siswa terhadap pembelajaran
dapat dijadikan sebagai masukan bagi guru untuk menilai keberhasilan dan
kelemahan dari pengelolaan pembelajaran yang telah dilakukan.
Belajar merupakan proses yang aktif, apabila siswa tidak dilibatkan dalam
berbagai aktivitas pembelajaran sebagai respon siswa terhadap stimulus guru,
mustahil siswa dapat mencapai hasil belajar yang diharapkan. Respon siswa
terhadap stimulus guru dapat meliputi berbagai bentuk seperti perhatian, proses
internal terhadap informasi, tindakan nyata seperti memecahkan masalah, dan
mengerjakan tugas-tugas.Dalyono (2010:204) menyatakan bahwa apabila respon
siswa terhadap stimulus guru memuaskan kebutuhannya maka siswa cenderung
untuk mempelajari tingkah laku tersebut. Untuk memperkuat respon dapat
dilakukan dengan memberi nilai, penghargaan, ganjaran, hadiah, dan pengakuan
prestasi.
Mulyani (2007:35) berpendapat bahwa terdapat tiga faktor
yangmempengaruhi respon seseorang, yaitu : (1) Diri orang yang bersangkutan
yang melihat dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya
itu, ia dipengaruhi oleh sikap, motif, kepentingan, dan harapannya, (2) Sasaran
respon tersebut, berupa orang, benda, atau peristiwa, dan (3) Faktor situasi,
respon dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana respon itu
timbul mendapat perhatian. Situasi turut berperan dalam pembentukan tanggapan
seseorang.
Respon yang muncul ke dalam kesadaran dapat memperoleh dukungan
atau rintangan. Dukungan terhadap respon akan menimbulkan rasa senang.
Sebaliknya respon yang mendapat rintangan akan menimbulkan rasa tidak senang.
Respon yang kecenderungan tindakannya menyukai, menyenangi, dan
mengharapkan suatu objek merupakan respon positif. Sedangkan kecenderungan
menjauhi dan menghindari objek tertentu merupakan respon negatif.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, respon siswa
terhadap pembelajaran adalah pendapat atau tanggapan siswa terhadap apa yang
diberikan guru kepadanya untuk mempelajari sesuatu dengan sikap senang dan
berminat. Respon siswa merupakan salah satu aspek yang ikut mempengaruhi
keberhasilan siswa dalam pembelajaran matematika.Respon positif terhadap
pembelajaran akan membuat siswa senang, tertarik dan berminat untuk belajar.
Respon negatif akan membuat siswa tidak tertarik dan tidak akan terlibat aktif
dalam pembelajaran. Respon siswa dalam penelitian ini meliputi respon terhadap
komponen pembelajaran seperti: pengalaman belajar siswa, kesan siswa setelah
menerapkan model pembelajaran, dan harapan kedepan siswa terhadap
pembelajaran matematika.
2.5 Pendekatan Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik adalah sebuah pendekatan belajar
matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli
matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda.
Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa
matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika
bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan
tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi
masalah-masalah nyata.
Karena itu, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus
diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di
bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui
penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia nyata diartikan sebagai
segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari,
lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia
nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk
menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan
matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu proses
mematematikakandunia nyata (Sudharta, 2004).
Zulkardi (2002), mendefinisikan pembelajaran matematika realsitik sebagai
berikut:
PMR adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal ’real’ bagi
siswa, menekankan ketrampilan ’process of doing mathematics’,
berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas
sehingga mereka dapat menemukan sendiri (’student inventing’ sebagai
kebalikan dari ’teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakann
matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik individual maupun
kelompok.
PMR berdasarkan ide bahwa mathematics as human activity dan
mathematics must be connected to reality, sehingga pembelajaran matematika
diharapkan bertolak dari masalah-masalah kontekstual. Teori ini telah diadopsi
dan diadaptasi oleh banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Denmark,
Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brazil, USA dan Jepang. Salah satu hasil
positif yang dipcapai oleh Belanda dan negara-negara tersebut bahwa prestasi
siswa meningkat, baik secara nasional maupun internasional.
Dua pandangan penting Freudenthal (dalam Hartono) tentang PMR adalah:
a. mathematics as human activity, sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk
belajar melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam
matematika,dan
b. mathematics must be connected to reality, sehingga matematika harus dekat
terhadap siswa dan harus dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari-hari.
Konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan
matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana
meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya
nalar. PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajar selanjutnya;
Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu
untuk dirinya sendiri;
Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi
penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan
penolakan;
Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari
seperangkat ragam pengalaman; setiap siswa tanpa memandang ras, budaya
dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Konsepsi tentang guru sebagai berikut:
Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa
dalam menafsirkan persoalan riil;
Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum,
melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun
sosial (Hartono).
Implementasi pembelajaran matematika realistik dalam pembelajaran di kelas
tidak dapat dilepaskan dari berbagai karakteristik dan prinsip-prinsip yang
mendasari model pembelajaran ini. Oleh karena itu, sebelum
mengimplementasikan pembelajaran matematika realistik, guru harus memahami
dengan sungguh-sungguh berbagai karakteristik dan prinsip-prinsip tersebut.
Prinsip utama dalam PMR adalah sebagai berikut (Gravemeijer, 1994:90):
1. Guided Reinvention dan progressive mathematization (Penemuan kembali
terbimbing dan matematisasi progresif)
Menurut prinsip reinvention bahwa dalam pembelajaran
matematika perlu diupayakan agar siswa mempunyai pengalaman dalam
menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip atau prosedur, dengan
bimbingan guru. Seperti yangdikemukakan oleh Hans Freudenthal bahwa
matematika merupakan aktivitas insani dan harus dikaitkan dengan
realitas. Dengan demikian, ketika siswa melakukan kegiatan belajar
matematika maka dalam dirinya terjadi proses matematisasi. Terdapat
dua macam proses matematisasi, yaitu matematisasihorizontal dan
matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal merupakan proses
penalaran dari dunia nyata ke dalam simbol-simbol
matematika.Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses penalaran
yang terjadi di dalam sistem matematika itu sendiri, misalnya :
penemuan cara penyelesaian soal, mengkaitkan antar konsep-konsep
matematis atau menerapkan rumus-rumus matematika.
2. Didactial phenomenology (Fenomenologi Didaktis)
Yang dimaksud fenomenologi didaktis adalah para siswa dalam
mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi lain yang terkait
dengan matematika bertolak dari masalah-masalah kontekstual yang
mempunyai berbagai kemungkinan solusi, atau setidaknya dari masalah
masalah yang dapat dibayangkan siswa sebagai masalah nyata. Dalam hal ini
siswa mendapatkan gambaran matematika formal melalui proses generalisasi
dan formalisasi prosedur penyelesaian masalah pada suatu situasi.
Fenomenologi ini diharapkan dapat menemukan situasi masalah yang mana
pendekatan suatu situasi dapat digeneralisasi.Selain itu juga diharapkan dapat
menemukan situasi yang dapat menimbulkan paradigma prosedur
penyelesaian yang dapat diambil sebagai dasar bagi matematika formal.Oleh
karena itu, siswa perlu memulai dari masalah (fenomena) kontekstual yaitu
masalah kehidupan sehari-hari.
3. Self developed models (Mengembangkan model sendiri)
Yang dimaksud mengembangkan model adalah dalam mempelajari
konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi lain yang terkait dengan
matematika, dengan melalui masalah-masalah konteksual, siswa perlu
mengembangkan sendiri model-model atau cara-cara menyelesaikan
masalah tersebut. Model-model atau cara-cara tersebut dimaksudkan
sebagai wahana untuk mengembangkan proses berpikir siswa, dari proses
berpikir yang paling dikenal siswa, ke arah proses berpikir yang lebih
formal. Jadi dalam pembelajaran guru tidak memberikan informasi atau
menjelaskan tentang cara penyelesaian masalah, tetapi siswa sendiri yang
menemukan penyelesaian tersebut dengan cara mereka sendiri.
Sedangkan Van den Heuvel-Panhuizen (1996) merumuskan prinsip PMR
sebagai berikut:
a. Prinsip aktivitas, yaitu bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Si
pebelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran
matematika. Si pebelajar bukan insane yang pasif menerima apa yang
disampaikan oleh guru, tetapi aktif baik secara fisik, teristimewa secara mental
mengolah dan menganalisis informasi, mengkonstruksi pengetahuan
matematika.
b. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-
masalah yang realistic bagi siswa, yaitu dapat dibayangkan oleh siswa.
Masalah yang realistik lebih menarik bagi siswa dari masalah-masalah
matematis formal tanpa makna. Jika pembelajaran dimulai dengan masalah
yang bermakna bagi mereka, siswa akan tertarik untuk belajar. Secara gradual
siswa kemudian dibimbing ke masalah-masalah matematis formal.
c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematia siswa melewati berbagai
jenjang pemahaman,yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah
kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh
insight tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi
suatu masalah matematis secara formal. Model bertindak sebagai jembatan
antara yang informal dan yang formal. Model yang semula merupakan model
suatu situasi berubah melalui abtraksi dan generalisasi menjadi model untuk
semua masalah lain yang ekuivalen.
d. Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan
dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin
satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu
secaa lebih baik. Konsep matematika adalah relasi-relasi. Secara psikologis,
hal-hal yang berkaitan akan lebih mudah dipahami dan dipanggil kembali dari
ingatan jangka panjang daripada hal-hal yang terpisah tanpa kaitan satu sama
lain.
e. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagi aktifitas sosial. Kepada
siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya
menyelesai-kan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan
menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan hal itu
serta menanggapinya. Melalui diskusi, pemahaman siswa tentang suatu
masalah atau konsep menjadi lebih mendalam dan siswa terdorong untuk
melakukan refleksi yang memungkinkan dia menemukan insight untuk
memperbaiki strateginya atau menemukan solusi suatu masalah.
f. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberikan kesempatan untuk
“menemukan kembali (re-invent) ” pengetahuan matematika‘terbimbing’.
Guru menciptakan kondisi belajar yangmemungkinkan siswa mengkonstruk
pengetahuan matematika mereka.
Karakteristik PMR adalah menggunakan konteks ‘dunia nyata’ ,model-
model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment).
(Treeffers dalam Sudharta, 2004).
1. Menggunakan konteks ‘dunia nyata’
Gambar berikut menunjukan dua proses matematisasi yang berupa siklus
di mana ‘dunia nyata’ tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga
sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika.
Dunia Nyata
Matematisasi dalam aplikasi Matematisasi dan refleksi
Aplikasi dan Formalisasi
Gambar 1. Konsep Matematisasi (De Lange dalam Sudharta, 2004)
Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah konstekstual (‘dunia
nyata’), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya
secara langsung. Proses penyaringan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi
nyata dinyatakan oleh De Lange (dalam Sudharta, 2004) sebagai matematisasi
konseptual.
Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang
lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matemika
ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk
menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari
perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of
everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (Cinzia
Bonotto dalam Sudharta, 2004).
2. Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang
dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed
models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau
dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model
sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat
dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan Formalisasi model tersebut akan
berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematika
model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya,
akan menjadi model matematik formal.
3. Menggunakan produksi dan konstruksi
Streefland (dalam Sudharta, 2004) menekankan bahwa dengan pembuatan
“produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang
mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang
berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi
dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi
pengetahuan matematika formal.
4. Menggunakan Interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam
PMR. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan,
pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk
mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
5. Menggunakan Keterkaitan (intertwinment)
Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial jika
dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka
akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika,
biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya
aritmatika, aljabar atau geometri tetapi juga bidang lain.
Kelima karakteristik tersebut akan dilihat pada aktivitas yang dilakukan oleh guru
maupun siswa. Secara umum implementasi pembelajaran matematika realistik di
kelas dilakukan dengan:
a. Memulai pembelajaran dengan masalah kontekstual yang diambil dari dunia
nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata
bagi siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai
dengan pengalaman mereka.
b. Menjembatani dunia abstak dan nyata dengan model. Model harus sesuai
dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di sini model dapat
berupa keadaan atau situasi nyata kehidupan siswa, seperti cerita-cerita lokal
atau bangunanbangunan yang ada di tempat tinggal siswa. Model dapat pula
berupa alat peraga yang dibuat dari sekitar siswa.
c. Memberi keleluasaan siswa menggunakan strategi, bahasa, atau simbol
mereka sendiri dalam proses mematematikakan dunia mereka. Artinya, siswa
memiliki kebebasan mengekspresikan hasil kerja dalam menyelesaikan
masalah nyata yang diberikan guru.
d. Membangun proses pembelajaran yang interaktif. Interaksi baik antara guru
dan siswa maupun antara siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting
dalam pembelajaran matematika. Di sini siswa dapat berdiskusi dan
bekerjasama dengan siswa lain, bertanya dan menanggapi pertanyaan, serta
mengevaluasi pekerjaan.
e. Menghubungkan bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain,
dan dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang
saling kait mengait dalam penyelesaian masalah.
Dengan mencermati karakteristik PMR, pengertian PMR dibatasi
penentuan masalah kontekstual dan lingkungan yang pernah dialami siswa dalam
kehidupan sehari-hari agar siswa mudah memahami pelajaran matematika
sehingga mudah mencapai tujuan.
Menurut Sudharta (2004), dalam pengajaran matematika realistik,
dibutuhkan upaya:
1. Penemuan kembali terbimbing dan matematisasi progresif, artinya
pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada siswa untuk mengalami sendiri proses penemuan matematika.
2. Fenomena didaktik, artinya pembentukan situasi dalam pemecahan
masalah matematika realistic harus menetapkan aspek aplikasi dan
mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif.
3. Mengembangkan model-model sendiri, artinya pemecahan masalah
matematika realistic harus mampu dijembatani melalui pengembangan model-
model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi
abstrak, atau model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan
masalah, dapat menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktifitas
di bawah bimbingan guru.
Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan PMR dapat digambarkan
sebagai berikut (Sudharta, 2004):
Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pembelajaran
matematika realistik diawali dengan fenomena yang ada di dalam dunia nyata,
kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali
dan mengkonstruksi dalam model matematika kemudian membuat jawaban atas
model matematika tersebut.Setelah itu diaplikasikan dalam masalah sehari-hari
atau dalam bidang lain.
Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih
dahulu siswa dibawa ke ‘situasi informal’, misalnya pembelajaran pecahan dapat
diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue)
Dunia Nyata
Masalah Konkrit
Dunia
Model Matematika
Jawaban Atas Masalah Jawaban Model
sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep
matematika (pengetahuan matematika formal). Setelah siswa memahami
pembagian menjadi bagian yang sama, baru dikenalkan istilah pecahan. Ini sangat
berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan PMR) di mana siswa sejak
awal sudah dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Jadi, Pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena,
kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali
dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah
sehari-hari atau dalam bidang lain. Jika digambarkan dalam bagan, sebagai
berikut:
Pembelajaran matematika realistis mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan. Adapun kelebihan dan kekurangan PMR di antaranya adalah sebagai
berikut :
KelebihanPMR:
1. Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan
kehidupan sehari – hari dan kegunaan matematika pada umumnya.
2. Pembelajaran matematika reaslistis memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu kajian yang
dikonstruksi dan dikembangkan oleh siswa .
Pengaplikasian Konsep
Penguasaan Konsep
3. Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian masalah tidak harus
tunggal dan tidak harus sama antara satu siswa dengan siswa yang lainnya.
4. Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa bahwa untuk menemukan suatu hasil dalam
matematika diperlukan suatu proses.
Kekurangan PMR:
1. Upaya penerapan Pembelajaran matematika realistik membutuhkan
perubahan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah
untuk dipraktekan dan juga diperlukan waktu yang lama.
2. Pencarian soal – soal kontekstual yang memenuhi syarat – syarat yang
dituntut pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap
topik yang akan dipelajari , terlebih lagi soal – soal tersebut harus
diselesaikan dengan berbagai macam cara.
3. Upaya mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah juga merupakan
salah satu kerugian pembelajaran matematika realistik.
4. Metode Pembelajaran matematika realistik memperlukan partisipasi siswa
secara aktif baik fisik maupun mental.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa PMR adalah suatu
pendekatan yang ditempuh dalam mengajarkan matematika dengan memadukan
proses matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Dengan demikian,
dalam proses pembelajaran pendekatan ini memiliki karakteristik: memakai
konteks dunia riil, menggunakan model, mengoptimalkan kontribusi siswa,
interaktif, dan keterkaitan dengan materi atau bidang lain.
2.6 Teori Pendukung Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik
Beberapa teori yang mendukung atau sejalan dengan pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik diantaranya adalah:
2.6.1 Teori Bruner
Menurut J. Bruner belajar merupakan suatu proses aktif yang
memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang
diberikan kepada dirinya. Pengetahuan perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu
agar pengetahuan itu dapat diinternalisasikan dalam pikiran (struktur kognitif)
yang mempelajarinya. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh
(yang berarti proses terjadi secara optimal) jika pengetahuan tersebut dipelajari
dalam tahap-tahap sebagai berikut: (a) Tahap Enaktif : Suatu tahappembelajaran
dimana pengetahuan dipelajari secara aktif dengan menggunakanbenda-benda
konkret atau situasi yang nyata. (b) Tahap Ikonik : Suatu tahappembelajaran
dimana pengetahuan direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan
visual, gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan konkret yang terdapat
pada tahap enaktif. (c) Tahap simbolik : Suatu tahap pembelajaran dimana
pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol, baik simbol verbal
(missal: huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang abstrak
lainnya.
Suatu proses belajar akan berlangsung secara optimal jika pembelajaran
diawali dengan tahap enaktif dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini
dirasa cukup, siwa beralih ketahap kedua yaitu tahap dengan menggunakan modus
reprensentasi ikonik. Selanjunya kegiatan belajar itu dilanjutkan pada tahap ketiga
yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik.
2.6.2 Teori Piaget
Piaget mengemukakan bahwa perkembangan intelektual suatu organisme
didasar pada dua fungsi yaitu fungsi organisasi dan adaptasi. Fungsi organisasi
memberikan organisme kemampuan untuk mensistematikakan mengorganisasikan
proses-proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem yang
teratur dan berhubungan yang disebut dengan strukturkognitif. Disamping itu
semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri
(beradaptasi)dengan lingkungan.
Adaptasi dilakukan dalam dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi merupakan proses penggunaan struktur kognitif yang telah ada.
Akomodasi merupakan proses perubahan struktur kognitif. Dalam proses
asimilasi orang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk
menanggapi masaah yang dihadapi oleh lingkungan. Dalam akomodasi orang
melakukan modifikasi struktur struktur yang sudah ada dalam menanggapi respon
terhadap masalah yang dihadapi dalam lingkungan.
Adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi.Jika dalam proses asimilasi orang tidak dapat melakukan adaptasi pada
lingkungan maka akan terjadi ketidaksimbangan yaitu ketidaksesuaian atau
ketidak cocokan antara pemahaman saat ini dengan pengalaman baru.
Pertumbunhan intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksimbangan kembali, maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang
lebih tinggi dari pada sebelumnya.
Teori Piaget tersebut yang mendasari teori konstruktivistik. Menurut teori
konstruktivistik, perkembangan intelektual adalah suatu proses dimana anak
secara aktiv membangun pemahamannya dari hasil pengalaman dan interaksi
dengan lingkungan. Anak secara aktif membangun pengetahuannya dengan terus-
menerus melakukan akomodasi dan asimilasi terhadap informasi yang diterima.
Implikasi dari teori piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Memusatkan perhatian pada proses berpikir siswa, bukan sekedar hasilnya.
b. Menekankan pada pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri
danketerlibatannya secara aktiv dalam pembelajaran. Dalam
pembelajarandikelas, pengetahuan diberikan tanpa adanya tekanan melainkan
anakdidorong menemukan sendiri melalui proses interaksi dengan
linkungannya.
c. Memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuanperkembangan
sehingga guru harus melakukan upaya khusus untukmengatur kegiatan kelas
dalam bentuk individu-individu atau kelompokkelompok.
Berdasarkan teori Bruner dan teori Piaget, PMR cocok dalam kegiatan
pembelajaran, karena diawal pembelajaran sangat dimungkinkan siswa untuk
memanipulasi obyek-obyek yang ada kaitannya dengan masalah kontekstual yang
diberikan guru secara langsung. Kemudian pada matematisasi vertikal siswa
memanipulasi simbol-simbol.
2.7 Penelitian yang Relevan
Ada beberapa penelitian yang mendasari mengapa pendekatan matematika
realistik begitu tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran. Pamekas (2011)
menyatakan bahwa pendekatan realistik pada pembelajaran matematika dapat
meningkatkan prestasi matematika siswa. Pernyataan tersebut didukung dengan
data ketuntasan belajar yang menunjukkan kemajuan prestasi belajar siswa yang
sangat signifikan, dimana ketuntasan belajar siswa meningkat dari 11 siswa
menjadi 21 siswa yang tuntas dalam belajar. Selain itu, pendekatan realistik pada
pelajaran matematika dapat meningkatkan keterlibatan aktif siswa. Peningktan
keterlibatan aktif siswa ditunjukkan dengan adanya peningktan keterlibatan aktif
siswa dari 24% masuk pada kategori cukup aktif menjadi 30,5% masuk kategori
aktif. Peningktan prestasi belajar tersebut terjadi secara bertahap tiap siklusnya.
Lasati (2005) mengemukakan bahwa efektivitas pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan realistic mathematic education memenuhi kriteria
efektivitas pembelajaran. Hal tersebut dipaparkannya melalui hasil tes siswa yang
menggambarkan sekurang-kurangnya 85% siswa mendapatkan nilai minimal 75
dan minat siswa juga meningkat.
Rahmawati (2013) memaparkan bahwa peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan
PMR berbeda secara signifikan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran
konvensional. Data tersebut didapatkan dengan membandingkan antara kelas
kontrol dan kelas eksperimen. Dimana kelas eksperimen yang mendapatkan
pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik skor rata-ratanya adalah
71,97 dengan nilai tertinggi 89,5 dan nilai terendah 52,6. Sedangkan kelas kontrol
yang mendapatkan pembelajaran konvensional mengalami kenaikan skor rata-rata
kemampuan komunikasi matematis yaitu 63,41. Dengan demikian
disimpulkannya bahwa pembelajaran matematika dengan PMR sangat potensial
diterapkan dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis.
Supardi (2012), dalam penelitiannya ditemukan bahwa, Pertama hasil
belajar siswa yang diajar dengan menggunakan RME lebih tinggi daripada hasil
belajar siswa yang diajar secara konvensional.Pernyataan tersebut terjadi karena
pembelajaran dengan pendekatan PMR menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan bagi siswa. Hal tersebut ditunjukkan dari data hasil belajar yang
diperoleh, apabila mereka diajar melalui pendekatan PMR diperoleh skor hasil
belajar matematika mean 18,6; simpangan baku 3,9; skor tertinggi 24 dan skor
terendah 8, dari skor total 30. Sedangkan apabila mereka diajarkan dengan
pendekatan konvensional, diperoleh hasil belajar matematika: mean13,1;
modus 11; simpangan baku 4,0; skor tertinggi 19 serta skor terendah 6 dari
skor total 30. Dari data tersebut teruji kebenarannya bahwa hasil belajar siswa
yang diajar dengan pendekatan PMR lebih tinggi secara signifikan daripada
yang diajar dengan pendekatan konvensional (mekanistik). Kedua, terdapat efek
interaksi pendekatan pendidikan dan motivasi belajar terhadap hasil belajar.Hal
ini menunjukkan adanya pengaruh hubungan timbal balik antara pendekatan
pembelajaran matematika dan motivasi belajar dalam meningkatkan hasil belajar
siswa SD.
Dari beberapa penelitian diatas menunjukkan bahwa pembelajaran
matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik mampu meningkatkan hasil
belajar dan prestasi belajar matematika siswa.Penelitian diatas memiliki
perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan.Pada penelitian ini penulis
menekankan pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
komunikasi matematis siswa melalui pendekatan matematika realistic. Serta
mengamati perkembangan aktifitas siswa selama proses pembelajaran.
Perkembangan aktifitas siswa dilakukan setiap kali pertemuan dengan
menggunakan lembar observasi aktifitas siswa.
2.8 Kerangka Konseptual
Melalui proses belajar siswa dapat berinteraksi dengan lingkungannya,
memiliki keterampilan dan kecakapan hidup. Dalam setiap kegiatan belajar
mengusahakan siswa berpartisipasi aktif, baik aktif secara fisik maupun mental.
Sebagai seorang guru harus mampu menciptakan iklim pembelajaran yang
dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan komunikasi dalam
belajar sehingga diperoleh hasil belajar yang diinginkan. Banyak strategi, metode,
model ataupun pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran. Salah satunya dengan menggunakan pembelajaran pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik.
Pada Pembelajaran Matematika Realistik memungkinkan siswa bekerja
dalam kelompok di mana setiap anggota kelompok mempunyai peran masing-
masing sehingga tugas kelompok dapat selesai tepat waktu. Pembelajaran ini
memungkinkan siswa menyelesaikan masalah materi pelajaran yang berkaitan
dengan kegiatan sehari-hari. Pembelajaran ini juga memungkinkan siswa untuk
mandiri dalam menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara mereka sendiri.
Selain itu, pembelajaran ini juga memberikan pemahaman kepada siswa
bahwa dalam suatu penyelesaian masalah harus melalui proses/ langkah
penyelesaian dan proses komunikasi secara utuh dan adil dalam kelas.
Pembelajaran yang terjadi cenderung membuat siswa lebih mengingat materi
pelajaran, mengurangi kebosanan dan menimbulkan minat belajar pada siswa.
Dengan menggunakan pembelajaran Pembelajaran Matematika Realistik
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
komunikasi matematika siswa yang dengan sendirinya dapat meningkatkan hasil
belajar matematika siswa.
2.9 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berfikir dapat diajukan hipotesis
sebagai berikut.
1. Penggunaan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
2. Penggunaan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik dapat
meningkatkan komunikasi matematis siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Swasta Amalia Medan yang beralamat di
Jalan Raya Meneteng Gg. Benteng No. 7. Status sekolah yaitu sekolah swasta
dengan kualitas sarana dan prasarana yang memadai untuk proses belajar
mengajar. Sekolah tersebut hanya memiliki satu rombongan belajar untuk setiap
tingkatan. Lokasi sekolah berada diantara lingkungan masyarakat yang heterogen.
Walaupun berada di lingkungan masyarakat, namun lokasi sekolah masih tetap
memiliki suasana yang kondusif untuk proses belajar mengajar.
Adapun alasan peneliti memilih SD Swasta Amalia Medan sebagai tempat
penelitian adalah:(1) terdapat masalah belajar pada siswa terutama mengenai
kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi, (2) pembelajaran
matematika dikelas selama ini masih bersifat abstrak dan sulit dipahami oleh
siswa, (3) belum adanya penelitian tindakan kelas mengenai penggunaan
pendekatan pembelajaran matematika realistik, dan (4) memiliki jumlah siswa
yang representatif untuk dilakukannya penelitian ini.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil. Penelitian berlangsung
dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2015 Tahun Pelajaran 2015/2016.
Penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender akademik sekolah, karena
penelitian ini memerlukan beberapa siklus yang membutuhkan proses
belajarmengajar yang efektif di kelas.
3.2 Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD Swasta Amalia
Medan. Tahun ajaran 2015/2016 yang berjumlah 23 siswa, terdiridari 13 siswa
laki-laki dan 10 siswa peremuan. Pemilihan dan penentuan subyek penelitian ini
berdasarkan pada purposive sampling (sampel bertujuan), dengan alasan bahwa
siswa kelas V SD telah memiliki kemampuan membaca dan berbahasa yang
memadai, memenuhi persyaratan operasi hitung dan sudah mampu diajak
berkomunikasi dan berdiskusi baik dengan guru maupun sesama temannya.
3.3 Partisipasi
Penelitian ini dibantu oleh Guru Kelas V SD Swasta Amalia Medan
sebagai mitra dalam melakukan penelitian. Peneliti bertindak sebagai pelaku
tindakan, sedang guru kelas bertindak sebagai observer untuk mengamati berbagai
kegiatan selama proses tindakan berlangsung.
3.4 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research)
yang bertujuan memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran matematika
terkait dengan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
komunikasi matematis, aktivitas belajar serta hasil belajar matematika siswa
melalui Pembelajaran Matematika Realistik.
Penelitian ini menggunakan siklus PTK yang dikemukakan oleh Kemmis
dan Mc Taggart dalam Arikunto (2008: 16) yang terdiri dari empat komponen
yaitu, rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi/ evaluasi, dan refleksi.
Tahapan siklus terlihat pada gambar 3.1 berikut.
Gambar 3.1. Siklus PTK Pembelajaran MatematikaRealistik
Model Spiral KemmisdanMc Taggart (DalamArikunto2008 :16)
a. Siklus 1Siklus Selanjutnya
Revisi Perencanaan
Pelaksanaan Tindakan
Refleksi
Observasi/ Evaluasi Siklus II
Perencanaan Tindakan
Pelaksanaan Tindakan
RefleksiObservasi/ Evaluasi
Siklus I
Kegiatan pada siklus 1 penelitian meliputi kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi.
1) Perencanaan
Pada kegiatan perencanaan setelah dimulai dari mengidentifikasi masalah
belajar dikelas dan menentukan tindakan perbaikan yang akan dilaksanakan
selanjutnya menyiapkan beberapa perangkat pembelajaran dan penelitian.
2) Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan. Sesuai
jadwal pelajaran yang ditetapkan dikelas.
3) Observasi/Evaluasi
Observasi dilakukan pada setiap pertemuan kegiatan. Observasi ditujukan
untuk mengamati bagaimana proses dan hasil pembelajaran dengan penggunaan
strategi pembelajaran matematika realistik. Peneliti menggunakan lembar
observasi yang telah di sediakan. Hasil-hasil observasi dapat langsung diketahui
setelah pelaksanaan pembelajaran setiap pertemuan. Evaluasi dilaksanakan untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi
matematis siswa.
b. Siklus Selanjutnya
Hasil refleksi siklus sebelumnya menentukan pelaksanaan selanjutnya.
Hasil refleksi dikaitkan dengan kriteria/ indikator keberhasilan tindakan dalam
penelitian. Apa bila pada siklus I indikator keberhasilan tindakan belum tercapai
akan dilanjutkan pada siklus II, siklus berikutnya tidak diteruskan agar
pembelajaran dikelas tempat dilakukan penelitian tidak terganggu.
3.5 Indikator Keberhasilan Tindakan
Indikator kinerja yang digunakan dalam ukuran “keberhasilan” terhadap
tindakan yang dilakukan dalam satu siklus penelitian menggunakan dua indicator yaitu
sebagai berikut: indicator pertama, yang digunakan untuk menunjukkan keberhasilan
proses pembelajaran adalah suksesnya siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Indikator kedua, yang digunakan untuk menunjukkan suksesnya proses belajar mengajar
adalah hasil belajar siswa.
Tindakan dianggap berhasil atau dihentikan, jika sudah memenuhi criteria berikut
ini:
1. 85 % siswa sudah mencapai nilai KKM keatas yaitu 65.
2. Nilai rata-rata kelas sudah menunjukkan angka 65,00. Menunjukkan ada
peningkatan hasil belajar di setiap siklus.
3. Terjadinya peningkatan aktivitas belajar siswa sekurang-kurangnya 75% yang
ditandai dengan kreativitas siswa dalam menyelesaikan permasalahan
matematika, serta terjadinya interaksi antara siswa dan guru maupun sesamanya
dalam proses belajar mengajar.
3.6 InstrumenPenelitian
Instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut:
a) Observasi
Observasi digunakan untuk memperoleh data yang dapat memperlihatkan
pengelolaan pembelajaran Matematika Realistik oleh guru dan partisipasi siswa
dikelompokkan, juga kerja kelompok secara keseluruhan. Lembar pengamatan ini
mengukur secara individu maupun kelas, keaktifan, dan sikap mereka dalam
belajar (berkomunikasi, bertanya, dan kerja kelompok).
b) Angket Respon Siswa
Instrumen untuk mengukur respon siswa terhadap pembelajaran matematika realistik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket respon siswa, yang jawabannya
dikelompokkan menjadi empat peringkat jawaban dengan mengacu pada Skala Likert
sebagai berikut: SL = Selalu, SR = Sering, KD = Kadang, TP = Tidak Pernah.
c) Tes
Tes digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa. Tes disusun berdasarkan
kompetensi dasar dan indikator. Bentuk tes yang digunakan adalah tes uraian.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode alur. Dimana langkah-langkah yang harus dilalui dalam metode alur
meliputi pengumpulan data, penyajian data dan verifikasi data.
1. Proses Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber. Setelah dikaji kemudian membuat rangkuman untuk setiap pertemuan
atau tindakan di kelas. Berdasarkan rangkuman yang dibuat kemudian peneliti
melaksanakan reduksi data yang kegiatan mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
a. Memilih data atas dasar relevansi.
b. Menyusun data dalam satuan-satuan sejenis.
c. Memfokuskan penyederhanaan dan menstrasfer dari data kasar ke catatan
lapangan.
2. Penyajian Data
Pada langkah penelitian ini, peneliti berusaha menyusun data yang relevan sehingga
menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Dengan cara
menampilkan data dan membuat hubungan antara variabel peneliti mengerti apa yang
terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian.
3. Verfikasi Data
Verifikasi data atau penarikan kesimpulan dilakukan secara bertahap untuk
memperoleh derajat kepercayaan tinggi. Dengan demikian analisis data dalam penelitian
ini dilakukan sejak tindakan dilaksanakan. Verifikasi data dilakukan pada setiap tindakan
yang pada akhirnya dipadukan menjadi kesimpulan.