cidera kepala
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan
kecacatan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian
akibat trauma.1 Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.Pada abad ke 20, pasien dengan cedera
kepala dapat diselamatkan, karena adanya perkembangan trepanasi/kraniotomi
dan prosedur lain, serta penemuan antibiotik.2
Di Amerika Serikat cedera kepala menyebabkan 290.000 orang dirawat di
rumah sakit, 51.000 kematian dan 80.000 pasien dengan cacat, gangguan kognitif
dan perilaku. Di Inggris, insiden cedera kepala yang dilaporkan sekitar 400 per
100.000 orang tiap tahunnya. Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian
pada dewasa kurang dari 45 tahun dan pada anak-anak (1-15 tahun). Cedera
kepala umumnya diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS).
Kebanyakan cedera kepala yang terjadi diklasifikasikan sebagai cedera kepala
ringan, dan sekitar 8-10% diklasifikasikan sebagai cedera kepala sedang dan
berat. Meskipun banyak pasien kembali bekerja setelah menderita cedera kepala
ringan, sekitar 50% pasien menderita kelumpuhan sedang atau berat dinilai
dengan Glasgow Outcome Scale (GOS). Untuk pasien dengan cedera kepala berat
prognosisnya lebih buruk. Sekitar 30% pasien dengan skor GCS kurang dari 13
akan meninggal. Mortalitas untuk pasien dengan GCS kurang dari 8 setelah
resusitasi adalah sekitar 50%. Sedangkan pasien dengan skor GCS kurang dari 12,
sekitar 8% akan meninggal dalam 6 jam pertama, 2% dalam 1 jam pertama.
Akibat jangka panjang pada pasien dengan cedera kepala berat lebih buruk
dibandingkan cedera kepala ringan, hanya 20% yang sembuh sempurna.3 Frenchay
Hospital di Bristol, Inggris, mencatat pada 1997-2000, terdapat 452 pasien dengan
cedera kepala. Pasien dengan GCS kurang dari 8 sebanyak 353 pasien (78%),
1
umur rata-rata pasien 35,1 tahun, dan 215 pasien (47,6%) menjalani prosedur
operasi. Sekitar 20% pasien mendapat perawatan di ICU dan sisanya di ruang
perawatan rumah sakit. Sekitar 94 pasien (20,8%) meninggal saat mendapat
perawatan di ruang perawatan. Di ICU setelah mendapat perawatan, 61 pasien
(13,5%) meninggal dan 33 pasien (7,3%) meninggal setelah keluar dari ICU.
Rata-rata lama perawatan pasien di ruang perawatan adalah 10 hari, di ICU adalah
3 hari.4
Data di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada di
urutan 6 dari total kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan
jumlah mencapai 340.000 kasus, namun belum ada data pasti mengenai porsi
cedera kepala. Data rekam medik RSU Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun
2003-2007. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 577 kasus cedera. Proporsi
kasus cedera kepala yang meninggal sebesar 7,3%. Proporsi kasus tertinggi pada
laki-laki 86,3%, berusia 17-39 tahun. Hal ini dikarenakan usia dewasa muda dan
laki-laki cenderung lebih mobile atau lebih banyak menggunakan kendaraan.
Cedera yang paling banyak pada kasus adalah cedera fraktur multiple dengan
cedera otot dan tendon sebesar 53%, sedangkan 40,6% lokasi cedera terletak pada
kepala. 5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI KEPALA2,6,7
Kepala merupakan bagian superior tubuh yang menempel dengan batang tubuh
melalui leher. Kepala terdiri dari :
A. KULIT KEPALA (SCALP)
Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior pada
os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit
kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri
dari lima lapis jaringan; tiga lapis pertama saling berhubungan secara erat satu
dengan yang lain dan bergerak sebagai satu kesatuan.
1. Skin (kulit). Merupakan kulit yang tipis, mengandung banyak kelenjar
keringat dan kelenjar minyak (kecuali daerah occipital), serta folikel
rambut.
2. Connective tissue (jaringan ikat). Merupakan lapisan subkutan, memiliki
banyak pembuluh darah dan saraf.
3. Aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica). Selembar jaringan ikat
yang kuat dan merupakan lembar tendo bagi m. occipitalis dan m.
frontalis.
- M. frontalis: menarik kulit kepala ke depan, mengerutkan dahi, dan
mengangkat kedua alis.
- M. occipitalis: menarik kulit kepala ke belakang dan mengerutkan kulit
tengkuk.
4. Loose connective tissue (jaringan ikat longgar). Bentuknya menyerupai
spon karena berisi banyak ruang potensial yang dapat mengembang karena
menyerap cairan yang terbentuk akibat cedera atau infeksi; lapis ini
memungkinkan ketiga lapis di atasnya bergerak secara bebas terhadap
lapis terdalam.
5. Pericranium. Selapis jaringan ikat padat, melekat erat pada ossa cranii
3
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgleal
( hematoma subgalea). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup
lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.
Gambar 1. Anatomi SCALP2
B. TULANG TENGKORAK (CRANIUM / SKULL)
Cranium (skull) adalah bagian superior tengkorak yang bulat dan besar, yang
menutupi otak dan terbuat dari tulang-tulang cranial.Terdiri dari :
a. Kubah (kalvaria), khususnya di regio temporal adalah tipis, namun dilapisi
oleh otot temporalis.
b. Basis kranii, berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
c. Rongga tengkorak dasar:
4
o Fosa anterior : lobus frontalis
o Fosa media : lobus temporalis
o Fosa posterior : ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum
Vaskularisasi7
arcus aorta a.brachiocephalic a.carotid communis:
- a. carotis externa a. occipitalis: bagian belakang kepala
a. auricularis posterior: bagian belakang telinga
a. temporalis superficialis: bagian depan auricular
- a.carotis interna a. supratrochlearis: bagian depan/dahi kepala
a. supraorbitalis: bagian depan/dahi kepala
v. supraorbitalis v. occipitalis v.temporalis superficialis
v. supratrochlearis (dari daerah v. auricularis posterior
occipitalis) (dari depan dan belakang
Auricular)
v. facialis
(dari depan)
v. retromandibularis anterior v. retromandibularis posterior
v. jugularis interna v. jugularis eksterna
5
v. subclavia
Vaskularisasi Otak
Vaskularisasi otak terjadi melalui cabang a.carotis interna dan a.vertebralis:
carotis communis di leher dipercabangkan a. carotis interna cabang
terminal a. cerebri anterior dan a. cerebri media.
a. subclavia di pangkal leher, dipercabangkan a. vertebralis bersatu
di tepi kaudal pons a. basilaris melintas lewat cisterna pontis ke tepi
superior pons a. cerebri posterior dextra dan a. cerebri posterior
sinistra.
Circulus arteriosus cerebri (Willis), terdapat di dasar otak, dibentuk oleh a.
cerebri posterior, a. communicans posterior, a. carotis interna, a. cerebri anterior
dan a. communicans anterior.
C. MENINGEN
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam
dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan
araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
6
laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan
tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang
melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi
dalam ruang sub araknoid.
D. OTAK
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri
dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon
(otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Serebrum
terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falk serebri yaitu lipatan
dura mater yang berada di inferior sinus sagitalis superior.
Gambar 2. Anatomi Otak1
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
7
proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan
medulla oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.
E. CAIRAN SEREBROSPINAL
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
Gambar 3. Cairan serebrospinal pada otak 3
8
F. TENTORIUM
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior). Nervus okulomotorius (saraf otak ke 3) berjalan di
sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang
umumnya diakibatkan oleh adanya masa supratentorial atau edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil
mata berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut ini yang
disebabkan oleh penekanan akan mengakibatkan dilatsi pupil karena aktivitas
serabut simpatik tidak dihambat. Bila penekanan ini terus berlanjut akan
menimbulkan paralisis total okulomotorik yang menimbulkan gejala deviasi bola
mata ke lateral dan bawah.
Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi unkus juga
menyebabkan penekanan traktur piramidalis yang berjalan pada otak tengah.
Traktus piramidalis atau trunkus motorik menyilang garis tengah menuju sisi
berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini
menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral
disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom kalsik herniasi. Jadi,
umumnya perdarahan intracranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil
yang berdilatasi, walaupun tidak selalu.
2.2. FISIOLOGI2
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai
15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
9
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang
jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada
salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie5,7,8
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga
bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi
neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi
otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran
darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin
meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif
dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo,
2003).
2.3. CEDERA KEPALA
Pada trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder.6 Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala. Cedera otak sekunder didefinisikan sebagai cedera
berikutnya ke otak yang terjadi setelah cedera awal/primer. Cedera otak sekunder
dapat terjadi akibat hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan ICP, atau sebagai
10
hasil serangkaian perubahan fisiologis yang disebabkan oleh cedera primer.
Perawatan dari cedera kepala bertujuan untuk mencegah atau meminimalkan
cedera otak sekunder.10
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.10,11
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak.
A. Patofisiologi7,12
1. Tekanan intrakranial (intracranial pressure = ICP)
Perubahan ICP mencerminkan perubahan dalam volume isi intrakranial
dalam tengkorak. Volume intrakranial selalu konstan, karena pada dasarnya
rongga kranium tidak mungkin membesar. Pada orang dewasa volume intrakranial
adalah sekitar 1500 ml di mana parenkim otak 1200-1600 ml, darah 100-150 ml,
cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid = CSF) 100-150 ml. Mekanisme
kompensasi awalnya mengurangi efek dari lesi intrakranial menempati
ruang. Mekanisme ini melibatkan perpindahan dari CSF ke dalam ruang
subaraknoid tulang belakang, peningkatan penyerapan CSF, dan penurunan
volume darah intrakranial. Akhirnya mekanisme ini tidak mampu lagi
11
mengkompensasi, akibatnya bila terjadi peningkatan kecil pada volume
intrakranial menyebabkan kenaikan tajam pada tekanan intrakranial. Jika lesi
berkembang perlahan-lahan, mungkin akan mencapai volume yang relatif besar
sebelum menyebabkan kenaikan yang signifikan dalam ICP. Sebuah lesi kecil
yang tampak pada CT scan mungkin dapat berkembang cepat, sehingga hanya
sedikit waktu untuk kompensasi. 1,7
2. Tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure = CPP)
CPP adalah tekanan efektif yang menghasilkan aliran darah ke otak. CPP
didefinisikan sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure/MAP) dan ICP.
CPP = MAP – ICP
CPP berkolerasi dengan MAP pasien individu, tetapi aliran darah serebral
dipertahankan konstan oleh autoregulasi.7,8,12
3. Aliran darah otak (Cerebral Blood Flow = CBF )
Pada individu non-trauma, aliran darah otak adalah konstan di kisaran 50-
150 mmHg. Hal ini disebabkan oleh autoregulasi arteriol, yang akan menyempit
atau melebar dalam rentang tekanan darah tertentu untuk mempertahankan jumlah
konstan aliran darah ke otak. CBF dipengaruhi oleh metabolisme, tekanan parsial
karbon dioksida (carbon dioxide partial pressure/PaCO2), dan suhu. CBF
terutama ditentukan oleh tuntutan metabolisme otak. Ini meningkat selama
serangan epilepsi dan rasa sakit/kecemasan. Hal ini berkurang dalam keadaan
koma, hipotermia, dan setelah pemberian substrat/obat anestesi. Hipokapnia
menghasilkan vasokonstriksi serebral dan penurunan CBF. Efek terbesar adalah
saat PaCO2 normal, di mana perubahan 7,5 mmHg menyebabkan perubahan 30%
pada dalam aliran darah. Hipotermia mengurangi metabolisme otak sekitar 5%
untuk setiap derajat celcius, sehingga mengurangi CBF. 1,8
Ketika MAP kurang dari 50 mmHg maka aliran darah otak akan menurun
dengan tajam dan otak berisiko iskemia akibat aliran darah tidak mencukupi, bila
lebih besar dari 150 mmHg maka terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan
aliran darah otak meningkat yang dapat mengakibatkan peningkatan ICP. Pada
kedua kondisi tersebut arteriol tidak dapat mempertahankan mekanisme
autoregulasi dan aliran darah menjadi sepenuhnya tergantung pada tekanan darah.
12
Pada pasien cedera kepala mekanisme autoregulasi ini sering mengalami
gangguan sehingga pasien tersebut rentan terhadap cedera otak sekunder akibat
iskemi yang timbul karena hipotensi. 8,9
B. Klasifikasi Cidera Kepala2,7
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan: Ada riwayat trauma
kapitis, Tidak pingsan, dan gejala sakit kepala dan pusing. Umumnya tidak
memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan
cukup istirahat.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak
lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan
jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin
muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya
pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat
amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas
sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman
kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah
foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan
selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan
mobilisasi bertahap.
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-
neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi
contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak
13
membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible
terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak
mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade
reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” ,
“contrecoup”, dan “intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik
yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN.
Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic
brain syndrome”.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi
pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral
terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan
nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif
terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan
adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral
edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan
robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan
subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat
dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed
terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas
jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
5. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan
fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana
yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala berupa hematom
kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding, Epistaksis,
14
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala: Hematom
retroaurikuler, Ottorhoe, Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis
kranii. Komplikasi :
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi
terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk
mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang
berlangsung lebih dari 6 hari.
6. Epidural Hematoma
Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan
duramater yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga
terjadi kompresi otak. Sering terjadi pada daerah temporal. Ditemukan adanya
lusid interval pada 50% kasus yaitu pada saat kejadian pasien tidak pingsan/
pingsan sebentar/ hanya nyeri kepala sebentar lalu membaik dengan
sendirinya, tetapi beberapa jam kemudian gejala menjadi progresif, nyeri
kepala , pusing, kesadaran menurun hingga koma.
Gejala klinis :
Gejala fokal, akibat herniasi tentorial
– timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+)
pada daerah kontralateral
– midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks
cahaya direct / indirect (-).
Nadi bisa bradikardi karena adanya peningkatan TIK
15
Pemeriksaan fundus : pupil N. II yang homolateral slight oedema.
LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi
7. Subdural hematoma
Yaitu perdarahan yang terjadi antara ruang duramater dengan araknoid
akibat trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari permukaan otak
yang berjalan menuju sinus venosus didalam duramater. Gejala-gejala, akut
seperti epidural bleeding, bila mengenai vena yang besar atau merupakan
perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan
ringan. Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan dilapisi
oleh kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya sehingga menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan gejala-
gejala menyerupai tumor serebri/ proses intrakranial yang meninggi. Gejala
klinis :
menyerupai tumor serebri dimana ditemukan
peninggian tekanan intrakranial.
Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma
Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat
disertai mual muntah
Midriasis homolateral,gangguan visus.
Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese.
Refleks patologi (+)
Adanya gangguan psikis seperti mudah tersinggung.
Hati-hati melakukan LP karena TIK meninggi.
8. Subarachnoid hematoma
Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma
kapitis yang sering disebabkan oleh kontusio serebri.
Gejala klinis :
o timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba
16
o Pusing, mual, muntah
o Kesadaran menurun hingga koma
o Kaku kuduk (+)
o Suhu tubuh meninggi
o Refleks patologi (+)
o Umumnya terjadi gejala diffus, sekali-sekali bisa
o timbul kejang atau gejala fokal
9. Intraserebral hematoma
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang
menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral. Terbanyak
pada lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis,
kadang- kadang pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya
penderita tidak tertolong, perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan
menekan batang otak, bila hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong.
Adapun Klasifikasi lain membagi cedera kepala berdasarkan14:
Patologi:
• Komosio serebri
• Kontusio serebri
• Laserasi serebri
Lokasi lesi
– Lesi diffus
– Lesi kerusakan vaskuler otak
– Lesi fokal
• Kontusio dan laserasi serebri
• Hematoma intrakranial
– Hematoma ekstradural (hematoma epidural)
– Hematoma subdural
– Hematoma intraparenkhimal
» Hematoma subarakhnoid
» Hematoma intraserebral
» Hematoma intraserebellar
17
C. Pemeriksaan Penunjang13,15,16
1. Foto Polos
Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna
untuk melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan lunak
di dalam kepala.
Indikasi Foto Polos Kepala
Tidak semua penderita dengan cidera kepaladiindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaanyang sekarang makin ditinggalkan.
Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya
corpus alineum, deformitas kepala (dariinspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, Gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto
polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut
tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan
foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
2. CT Scan
Secara umum, semua pasien dengan cedera kepala harus memiliki gambaran
CT scan, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan sebagai risiko rendah
(misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan neurologis pada pemeriksaan, dan
tanpa bukti atau kecurigaan dari patah tengkorak, alkohol atau keracunan obat,
atau moderat-risiko kriteria lain). Kemungkinan mendeteksi intra serebral
hemoragik oleh CT pada pasien ini hanya 1 dalam 10.000. MRI lebih baik untuk
mendeteksi cedera halus otak, terutama untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya
tidak digunakan untuk evaluasi darurat kecuali dengan cepat dan mudah tersedia
gambar CT harus dinilai untuk bukti adanya hematoma epidural atau subdural,
subarachnoid atau intraventricular, memar parenkim dan perdarahan, edema otak,
dan memar berhubungan dengan diffuse axonal injury.
Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa tindakan operasi pada trauma kepala
berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat
menyelamatkan + 60 – 70 %. Bila lebih 4 jam tingkat kematian melebihi sekitar
90%. Hal ini dapat dapat dilakukan setelah adanya penegakan diagnosa trauma
18
kepala dengan pemeriksaan klinis awal yang ditunjang dengan diagnosa imajing
(khususnya CT-Scan Kepala).
Pemeriksaan CT – Scan sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk
menentukan adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat.
Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT – Scan pada kasus
trauma adalah :
a. Menurut New Orland :
* Sakit kepala.
* Muntah.
* Umur > 60 tahun.
* Adanya intoksikasi alkohol.
* Amnesia retrograde.
* Kejang.
* Adanya cedera di area clavicula ke superior.
b. Menurut The Cranadian CT Head :
* GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.
* Adanya dugaan open / depressed fracture.
* Muntah – muntah ( > 2 kali ).
* Umur > 65 tahun.
* Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.
D. Gambaran Radiologi Cidera Kepala14,16,17,18
1. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)
a. Hematoma Epidural
Hematoma Epidural adalah akumulasi darah di ruang antara duramater dan
tulang tengkorak.
19
Gejala klinis : penurunan kesadaran, penglihatan kabur, susah bicara, nyeri
kepala hebat, keluar cairan dari hidung atau telinga, Nampak luka yang dalam
atau goresan pada kulit kepala, mual, pupil anisokor.
Pada foto polos kepala, tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteriameningea media.
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedera intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,
paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen
(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural hematoma.
Gambar 4. Gambaran CT-Scan Epidural Hematoma17
Pemeriksaan MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater.
MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan
salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.
20
Gambar 5. MRI Hematoma Epidural17
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia
juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura
tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) Subdural Hematoma Akut
Dikatakan akut bila kurang dari beberapa hari atau dalam 24 sampai 48
jam setelah trauma. Gejala klinis dari subdural hematoma akut tergantung dari
ukuran hematoma dan derajat kerusakan otak. Gejala neurologis yang sering
muncul adalah penurunan kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral hematom,
hemiparesis kontralateral, dan papil edema.
Pada foto polos kepala, tidak dapat didiagnosa pasti sebagai subdural
hematom. Dengan proyeksi AP lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada
film, bertujuan untuk mencari adanya fraktur tulang pada daerah
frontoparietotemporal.
21
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas
medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.
Menekan dan mengkompresi otak.
Pada MRI, konfigurasi SDH berbentuk kresentris ( bulan sabit ).
Gambar 6. MRI Otak pada SDH akut Gambar 7. CT – Scan pada SDH
akut17
2) Subdural Hematoma Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada
pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit
hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin
lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens.
22
Gambar 8. CT - Scan pada SDH kronis Gambar 9. MRI pada SDH
kronik17
d. Perdarahan Subarakhnoid
Pada CT-Scan, perdarahan subarachnoid (SAH) terlihat mengisi ruangan
subarachnoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSS di sekitar otak. Rongga
subarachnoid yang biasanya hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut.
Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga subarachnoid yang besar.
Ketika CT-Scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan
awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan
cenderung menurun dan tampak sebagai abu-abu.
Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT-Scan berguna untuk
melokalisir sumber perdarahan. Hal ini sangat penting dalam kasus- kasus
aneurisma intracranial ganda, yang terjadi pada 20% pasien. Lokalisasi SAH pada
CT-Scan berkorelasi dengan lokasi dari pecahnya aneurisma. Kehadiran darah
dalam celah interhemisfer anterior atau lobus frontal yang berdekatan
menunjukkan pecahnya aneurisma arteri anterior. Bekuan fisura Sylvian
berkorelasi dengan aneurisma arteri serebral tengah ipsilateral. Jika darah terdapat
di fossa posterior, hal ini menunjukkan perdarahan dari aneurisma sirkulasi
posterior.
23
Gambar 10. MRI dan CT-Scan Perdarahan Subarakhnoid17
d. Kontusi dan hematoma intraserebral18
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Mayoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma
intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup).
Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada
lokasi dan luas perdarahan.
Gambar 11. CT-Scan dan MRI- Perdarahan intraserebral17
24
e. Cedera difus4,7,17
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran
tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara
dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali
tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan
bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala
sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung
disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita
sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedera otak kerena
hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering
terjadi bersamaan .
Gambar 12. MRI & CT-Scan pada Cedera Aksonal Difus
25
E. Penatalaksanaan18,19,20
Pengelolaan awal terhadap pasien trauma yaitu survei primer (ABCDE),
resusitasi, survei sekunder dan perawatan definitif. Tujuan dari survei primer
adalah untuk segera mencari cedera mengancam kehidupan pasien.18,20
Pemeriksaan jalan napas (airway), yaitu membersihkan jalan napas dengan
memperhatikan kontrol servikal. Pada setiap penderita multitrauma, bila ada
penurunan kesadaran atau jejas di atas dari klavikula, segera pasang cervical
collar untuk immobilisasi servikal. Bersihkan jalan napas dari segala sumbatan,
benda asing, darah dari maksiofasial, gigi yang patah. Lakukan intubasi jika
pasien apnea, GCS kurang dari 8 atau ada bahaya aspirasi akibat perdarahan
fraktur maksilofasial.1 9
Pemeriksaan pernafasan (breathing), tentukan apakah pasien bernapas
spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien
bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat.
Pemeriksaan sirkulasi (circulation) yaitu menilai sirkulasi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang EKG bila tersedia. Pasang jalur inravena yang
besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum,
elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Keadaan syok harus segera
diatasi, dengan pemberian cairan kristaloid melalui jalur intravena.
Survei sekunder atau pemeriksaan dari kepala sampai kaki pasien, tidak
dimulai sampai tanda vital pasien stabil kembali. 19
a. Terapi konservatif21
Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi,
jangan menggunakan cairan hipotonis / glukosa. Cairan garam hipertonis :
cairan NaCl 0,9 %, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan
saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak
sehingga menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume
intravaskular euvolume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75
cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor
pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan
26
dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari
Hiperventilasi fase akut
Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi
jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus
dicegah. Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama
setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi
saat aliran darah serebral berkurang.Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa
yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang
lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis,
drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.
Terapi hiperosmoler –manitolMerupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient
osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek
optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas
darah, meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan
tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan
efek samping reboun peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar
darah otak terjadi skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi,
takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Manitol
diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan
atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif
dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan
0,25- 1 g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan
mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.
Barbiturat
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan
hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap
tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun
risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim
27
dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah
atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan
dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3
pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk
profilaksi. menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan
volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari
peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.
Nutrisi21,22
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih
15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30%
akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat
dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan
selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian
hiperglikemi, infeksi.
Kebutuhan Nutrisi:
• Kalori 25 – 30 Kcal/KgBB/Hr
• Protein 1,5 – 2 gr/KgBB/Hr
• Karbohidrat 75 – 100 gr/Hr (7,2 gr/KgBB/Hr)
• Lipid 10 – 40 % kebutuhan kalori / hari
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral berat meningkat rata-
rata 40%.
b. Terapi prevensi kejang6,7,14
Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK,
penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat
mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling).
Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada
minggu pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-faktor yang lain misalnya:
hipoglikemi, gangguan elektrolit, infeksi.
28
c. Penatalaksanaan Pembedahan 6,12
Kriteria pasien rujukan ke Unit Bedah Saraf yaitu semua pasien dengan
massa intrakranial, cedera otak primer yang memerlukan ventilasi, fraktur depresi
tulang tengkorak, kebocoran CSF persisten, cedera tembus tengkorak, perburukan
progresif dengan tanda-tanda lesi massa intrakranial10
Untuk persiapan prabedah dilakukan: evaluasi status generalis, periksa
darah rutin, elektrolit dan cross match, pasang kateter dan pasang infus 2 jalur;
usaha menurunkan ICP: hiperventilasi (PaCO2 ± 30-35 mm Hg); atasi kejang:
diazepam atau penthothal secara intravena; terapi oksigen; koreksi segala keadaan
patologis ekstrakranial yang mengancam; pemberian antibiotik profilaksis
sebelum operasi dimulai. 15,16
Pilihan obat anestesi yang digunakan yaitu thiopental atau propofol
dikombinasikan dengan remifentanil, fentanil atau sufentanil dosis disesuaikan.
Pilihan obat pelumpuh otot non depolarisasi adalah vekuronium atau
atracurium.1,16
Pemantauan yang dilakukan selama anesthesia yaitu pemantauan respirasi
meliputi parameter volume tidal, frekuensi napas, dan tahanan jalan napas,
PaCO2: 35 – 40 mmHg dan PaO2 lebih besar dari 100 mmHg, kardiovaskular:
EKG, tekanan darah, tekanan vena sentral, fungsi ginjal: produksi urin ditampung
dan diukur, keseimbangan elektrolit, suhu tubuh (secara kontinyu), tekanan
intrakranial (oleh dokter bedah saraf).16
Kriteria pasien cedera kepala yang harus mendapat perawatan di ICU
adalah pasien cedera kepala berat dengan GCS kurang dari 8, cedera kepala
dengan status neurologis yang menurun progresif disertai gagal napas atau gagal
jantung-sirkulasi, pasien dengan kejang, gangguan keseimbangan elektrolit berat
disertai gangguan metabolik berat yang bisa berefek pada sistem saraf pusat, serta
untuk monitoring pasca operasi (kateter arteri dan vena pusat, monitor ICP). 17
Perawatan neurologis di ICU atau Ne-ICU (Neurological Intensive Care)
meliputi monitor tanda vital dan neurologis yang ketat, monitor tekanan
intrakranial, monitor keseimbangan cairan, pemberian nutrisi enteral dan
parenteral, resusitasi jantung paru, ventilator, tenaga intensif. 18,19
29
Strategi untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial, antara lain:
Menghindari terjadinya hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menyebabkan
peningkatan aliaran darah ke otak sehingga terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Untuk menurunkan tekanan intrakranial dapat dilakukan
hiperventilasi ringan, tetapi sebaiknya selalu diikuti dengan analisa gas darah
untuk menghindarkan terjadinya iskemi pada otak. 8
Hindarkan pemberian cairan yang berlebihan, untuk mempertahankan
tekanan darah agar stabil, harus diberikan cairan kristaloid atau darah untuk
menggantikan kehilangan darah yang terjadi pada trauma. Keseimbangan cairan
harus diperhatikan untuk menghindarkan terjadinya pemberian cairan berlebihan
(overloading). Diuretika dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial
pada cedera kepala akut. Diuretika yang banyak digunakan dalam hal ini adalah
manitol.8
Elevasi kepala 30-45º, sebab pada posisi kepala yang dielevasi 30-45º
akan mengoptimalkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan membantu
mengurangi tekanan intrakranial. Posisi diatur sedemikian rupa, supaya tidak
terjadi penekanan terhadap salah satu vena jugularis interna. Berikan sedasi jika
penderita gelisah. Tetapi harus diingat bahwa tindakan sedasi yang rutin akan
meningkatkan insiden pneumonia, perawatan ICU lebih lama, dan kemungkinan
sepsis lebih besar.8
F.Komplikasi17
1.Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal
cedera 4- 25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari
trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural,
parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
2.Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan
memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,
efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis.
30
Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
3.Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala
dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan
muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
4.Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada
posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi
gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder
dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin,
botulinum, benzodiasepin
5. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant,
benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
6. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik
setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2
tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku
atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah
(fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%,
gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif
31
berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering
digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan
hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki
fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat
dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-
50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera
kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan
antidepresan.
7. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80%
pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun
pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual,
mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian,
konsentrasi, memori,Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
G.Prognosis cidera kepala1,2,6,12
Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg
selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg
kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat
mengalami gangguan kejang- kejang dalam dua tahun pertama post trauma.
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya
pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American
college of surgeon,1997). Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada
saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
32
BAB III
PENUTUP
Cidera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa
mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada
lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya trauma kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu
cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari ruda paksa dan cedera
sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahp
lanjutan dari kerusakan otak primer.
Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi juga tergantung kepada
bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa merupakan perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan, dan pendengaran. Berbagai fungsi otal dapat dijalankan
ole beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa
menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. McQuillan PM, Allman KG, Wilson IH. Oxford American Handbook of Anesthesiology 1st Ed. New York: Oxford University Press; 2008.
2. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th ed. McGraw-Hill;2005. 1615-205
3. Elf K. Secondary Insults in Neurointensivecare of Patients With Traumatic Brain Injury. Dissertations. Uppsala University; 2005.
4. Soertidewi Lyna,dkk. Konsensus Nasional; Penanganan Trauma Kapitits dan Trauama Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta 2006, hlm:1 – 18.
5. Clayton TJ, Nelson RJ, Manara AR. Reduction in mortality from severe head injury following introduction of a protocol for intensive care management. British Journal of Anaesthesia; 2004. 93. h. 761–7.
6. Dadowu TS. Journal of Traumatic Brain Injury: Definition, Epidemiology, Pathophysiology; 2007. h. 1-6.
7. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Oxford Textbook of Surgery.2nd ed. Volume 3. Oxford Press;2000
8. Steiner LA, Andrews PJD. Monitoring the injured brain: ICP and CBF. British Journal of Anaesthesia; 2006. 97. h. 26–38.
9. Euliano TY, Gravenstein JS. Essential Anesthesia From Science to Practice. New York: Cambridge University Press; 2004.
10. Bendo AA. Anesthesia for the Patient with an Intracranial Mass Lesion. ASA Refresher Courses in Anesthesiology; 2002. 30. h. 15-26.
11. Pinnock C, Lin T, Smith T. Fundamentals of Anaesthesia. London: Greenwich Medical Media Ltd; 2001.h. 78-89.
12. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge University Press. Cambridge.2009
13. Ugan R, Yogen A. Preoperative assesment of neurosurgical patients. Anesthesia and Intensive Care Medicine; 2010. 11. h. 357-62.
14. Bajamal AH. Perawatan Cidera Kepala Pra Dan Intra Rumah Sakit. In : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2005
15. Mishra LD, Rajkumar N, Hancock SM. Current controversies in neuroanaesthesia, head injury management and neurocritical care. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain; 2006. 6. h. 79-82.
16. Warner DS. Anesthesia for Craniotomy. Canadian Journal of Anesthesia; 2002. 49. h. 1–8.
17. Gregory T, Wilson SR. Anaesthesia for Neurosurgery. Anesthesia and Intensive Care Medicine; 2010. 11. h. 363-5.
34
18. Bruder N, Ravussin P. Recovery from Anethesia and Postoperative Extubation of Neurosurgical Patients. Journal of Neurosurgical Anethesiology; 2001. 11. h. 282-93.
19. Koenig HM. Anesthesia for Awake Intracranial Procedures. Advances in Anesthesia; 2006. 24. h. 127–48.
20. Kendall R, Menon DK. Anaesthesia and intensive care medicine. Abingdon: The Medicine Publishing Company; 2007.
21. Saline or Albumin for Fluid Resuscitation in Patients with Traumatic Brain Injury the New England Journal of Medicine; 2007. 357. h. 874-84.
22. Andrews S. European society of intensive care medicine study of therapeutic hypothermia for intracranial pressure reduction after traumatic brain injury. Trials; 2011. 12. h. 8.
35