cidera kepala

54
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. 1 Menurut Brain Injury Assosiation of America , cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.Pada abad ke 20, pasien dengan cedera kepala dapat diselamatkan, karena adanya perkembangan trepanasi/kraniotomi dan prosedur lain, serta penemuan antibiotik. 2 Di Amerika Serikat cedera kepala menyebabkan 290.000 orang dirawat di rumah sakit, 51.000 kematian dan 80.000 pasien dengan cacat, gangguan kognitif dan perilaku. Di Inggris, insiden cedera kepala yang dilaporkan sekitar 400 per 100.000 orang tiap tahunnya. Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian pada dewasa kurang dari 45 tahun dan pada anak-anak (1-15 tahun). Cedera kepala umumnya diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS). Kebanyakan cedera kepala yang terjadi diklasifikasikan sebagai 1

Upload: puteri-rara-balerna-pratiwi

Post on 01-Feb-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: cidera kepala

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan

kecacatan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian

akibat trauma.1 Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala

adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat

mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik.Pada abad ke 20, pasien dengan cedera

kepala dapat diselamatkan, karena adanya perkembangan trepanasi/kraniotomi

dan prosedur lain, serta penemuan antibiotik.2

Di Amerika Serikat cedera kepala menyebabkan 290.000 orang dirawat di

rumah sakit, 51.000 kematian dan 80.000 pasien dengan cacat, gangguan kognitif

dan perilaku. Di Inggris, insiden cedera kepala yang dilaporkan sekitar 400 per

100.000 orang tiap tahunnya. Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian

pada dewasa kurang dari 45 tahun dan pada anak-anak (1-15 tahun). Cedera

kepala umumnya diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS).

Kebanyakan cedera kepala yang terjadi diklasifikasikan sebagai cedera kepala

ringan, dan sekitar 8-10% diklasifikasikan sebagai cedera kepala sedang dan

berat. Meskipun banyak pasien kembali bekerja setelah menderita cedera kepala

ringan, sekitar 50% pasien menderita kelumpuhan sedang atau berat dinilai

dengan Glasgow Outcome Scale (GOS). Untuk pasien dengan cedera kepala berat

prognosisnya lebih buruk. Sekitar 30% pasien dengan skor GCS kurang dari 13

akan meninggal. Mortalitas untuk pasien dengan GCS kurang dari 8 setelah

resusitasi adalah sekitar 50%. Sedangkan pasien dengan skor GCS kurang dari 12,

sekitar 8% akan meninggal dalam 6 jam pertama, 2% dalam 1 jam pertama.

Akibat jangka panjang pada pasien dengan cedera kepala berat lebih buruk

dibandingkan cedera kepala ringan, hanya 20% yang sembuh sempurna.3 Frenchay

Hospital di Bristol, Inggris, mencatat pada 1997-2000, terdapat 452 pasien dengan

cedera kepala. Pasien dengan GCS kurang dari 8 sebanyak 353 pasien (78%),

1

Page 2: cidera kepala

umur rata-rata pasien 35,1 tahun, dan 215 pasien (47,6%) menjalani prosedur

operasi. Sekitar 20% pasien mendapat perawatan di ICU dan sisanya di ruang

perawatan rumah sakit. Sekitar 94 pasien (20,8%) meninggal saat mendapat

perawatan di ruang perawatan. Di ICU setelah mendapat perawatan, 61 pasien

(13,5%) meninggal dan 33 pasien (7,3%) meninggal setelah keluar dari ICU.

Rata-rata lama perawatan pasien di ruang perawatan adalah 10 hari, di ICU adalah

3 hari.4

Data di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada di

urutan 6 dari total kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan

jumlah mencapai 340.000 kasus, namun belum ada data pasti mengenai porsi

cedera kepala. Data rekam medik RSU Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun

2003-2007. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 577 kasus cedera. Proporsi

kasus cedera kepala yang meninggal sebesar 7,3%. Proporsi kasus tertinggi pada

laki-laki 86,3%, berusia 17-39 tahun. Hal ini dikarenakan usia dewasa muda dan

laki-laki cenderung lebih mobile atau lebih banyak menggunakan kendaraan.

Cedera yang paling banyak pada kasus adalah cedera fraktur multiple dengan

cedera otot dan tendon sebesar 53%, sedangkan 40,6% lokasi cedera terletak pada

kepala. 5

2

Page 3: cidera kepala

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KEPALA2,6,7

Kepala merupakan bagian superior tubuh yang menempel dengan batang tubuh

melalui leher. Kepala terdiri dari :

A. KULIT KEPALA (SCALP)

Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior pada

os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit

kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri

dari lima lapis jaringan; tiga lapis pertama saling berhubungan secara erat satu

dengan yang lain dan bergerak sebagai satu kesatuan.

1. Skin (kulit). Merupakan kulit yang tipis, mengandung banyak kelenjar

keringat dan kelenjar minyak (kecuali daerah occipital), serta folikel

rambut.

2. Connective tissue (jaringan ikat). Merupakan lapisan subkutan, memiliki

banyak pembuluh darah dan saraf.

3. Aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica). Selembar jaringan ikat

yang kuat dan merupakan lembar tendo bagi m. occipitalis dan m.

frontalis.

- M. frontalis: menarik kulit kepala ke depan, mengerutkan dahi, dan

mengangkat kedua alis.

- M. occipitalis: menarik kulit kepala ke belakang dan mengerutkan kulit

tengkuk.

4. Loose connective tissue (jaringan ikat longgar). Bentuknya menyerupai

spon karena berisi banyak ruang potensial yang dapat mengembang karena

menyerap cairan yang terbentuk akibat cedera atau infeksi; lapis ini

memungkinkan ketiga lapis di atasnya bergerak secara bebas terhadap

lapis terdalam.

5. Pericranium. Selapis jaringan ikat padat, melekat erat pada ossa cranii

3

Page 4: cidera kepala

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari

perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgleal

( hematoma subgalea). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga

bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak

kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup

lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.

Gambar 1. Anatomi SCALP2

B. TULANG TENGKORAK (CRANIUM / SKULL)

Cranium (skull) adalah bagian superior tengkorak yang bulat dan besar, yang

menutupi otak dan terbuat dari tulang-tulang cranial.Terdiri dari :

a. Kubah (kalvaria), khususnya di regio temporal adalah tipis, namun dilapisi

oleh otot temporalis.

b. Basis kranii, berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar

otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.

c. Rongga tengkorak dasar:

4

Page 5: cidera kepala

o Fosa anterior : lobus frontalis

o Fosa media : lobus temporalis

o Fosa posterior : ruang bagi bagian bawah batang otak dan

serebelum

Vaskularisasi7

arcus aorta a.brachiocephalic a.carotid communis:

- a. carotis externa a. occipitalis: bagian belakang kepala

a. auricularis posterior: bagian belakang telinga

a. temporalis superficialis: bagian depan auricular

- a.carotis interna a. supratrochlearis: bagian depan/dahi kepala

a. supraorbitalis: bagian depan/dahi kepala

v. supraorbitalis v. occipitalis v.temporalis superficialis

v. supratrochlearis (dari daerah v. auricularis posterior

occipitalis) (dari depan dan belakang

Auricular)

v. facialis

(dari depan)

v. retromandibularis anterior v. retromandibularis posterior

v. jugularis interna v. jugularis eksterna

5

Page 6: cidera kepala

v. subclavia

Vaskularisasi Otak

Vaskularisasi otak terjadi melalui cabang a.carotis interna dan a.vertebralis:

carotis communis di leher dipercabangkan a. carotis interna cabang

terminal a. cerebri anterior dan a. cerebri media.

a. subclavia di pangkal leher, dipercabangkan a. vertebralis bersatu

di tepi kaudal pons a. basilaris melintas lewat cisterna pontis ke tepi

superior pons a. cerebri posterior dextra dan a. cerebri posterior

sinistra.

Circulus arteriosus cerebri (Willis), terdapat di dasar otak, dibentuk oleh a.

cerebri posterior, a. communicans posterior, a. carotis interna, a. cerebri anterior

dan a. communicans anterior.

C. MENINGEN

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan

yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang

keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam

dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka

terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan

araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan

otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,

dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis

superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.

Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari

kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan

6

Page 7: cidera kepala

laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang

paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada

fosa temporalis (fosa media).

Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan

tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang

melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi

dalam ruang sub araknoid.

D. OTAK

Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri

dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon

(otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Serebrum

terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falk serebri yaitu lipatan

dura mater yang berada di inferior sinus sagitalis superior.

Gambar 2. Anatomi Otak1

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan

dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal

berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal

mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam

7

Page 8: cidera kepala

proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan

medulla oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi

retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula

oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan.

E. CAIRAN SEREBROSPINAL

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju

ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio

arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS

dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS

dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok

populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS

per hari.

Gambar 3. Cairan serebrospinal pada otak 3

8

Page 9: cidera kepala

F. TENTORIUM

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial

(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial

(berisi fosa kranii posterior). Nervus okulomotorius (saraf otak ke 3) berjalan di

sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang

umumnya diakibatkan oleh adanya masa supratentorial atau edema otak.

Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil

mata berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut ini yang

disebabkan oleh penekanan akan mengakibatkan dilatsi pupil karena aktivitas

serabut simpatik tidak dihambat. Bila penekanan ini terus berlanjut akan

menimbulkan paralisis total okulomotorik yang menimbulkan gejala deviasi bola

mata ke lateral dan bawah.

Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial

adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi unkus juga

menyebabkan penekanan traktur piramidalis yang berjalan pada otak tengah.

Traktus piramidalis atau trunkus motorik menyilang garis tengah menuju sisi

berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini

menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral

disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom kalsik herniasi. Jadi,

umumnya perdarahan intracranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil

yang berdilatasi, walaupun tidak selalu.

2.2. FISIOLOGI2

Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :

1. Tekanan Intra Kranial

Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan

suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai

15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh

9

Page 10: cidera kepala

aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang

jauh lebih tinggi dari normal.

Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai

kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan

serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada

salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang

ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial.

2. Hipotesa Monro-Kellie5,7,8

Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga

bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus

mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan).

Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi

neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari

meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi

otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme

kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran

darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin

meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.

Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif

dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo,

2003).

2.3. CEDERA KEPALA

Pada trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder.6 Cedera primer merupakan cedera pada kepala

sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan

langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-

deselerasi gerakan kepala. Cedera otak sekunder didefinisikan sebagai cedera

berikutnya ke otak yang terjadi setelah cedera awal/primer. Cedera otak sekunder

dapat terjadi akibat hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan ICP, atau sebagai

10

Page 11: cidera kepala

hasil serangkaian perubahan fisiologis yang disebabkan oleh cedera primer.

Perawatan dari cedera kepala bertujuan untuk mencegah atau meminimalkan

cedera otak sekunder.10

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada

permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada

duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan

disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya

kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut

dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi

linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis

adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi

rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,

bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,

countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi

yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.10,11

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang

tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan

tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi

dalam tengkorak memaksa otak.

A. Patofisiologi7,12

1. Tekanan intrakranial (intracranial pressure = ICP)

Perubahan ICP mencerminkan perubahan dalam volume isi intrakranial

dalam tengkorak. Volume intrakranial selalu konstan, karena pada dasarnya

rongga kranium tidak mungkin membesar. Pada orang dewasa volume intrakranial

adalah sekitar 1500 ml di mana parenkim otak 1200-1600 ml, darah 100-150 ml,

cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid = CSF) 100-150 ml. Mekanisme

kompensasi awalnya mengurangi efek dari lesi intrakranial menempati

ruang. Mekanisme ini melibatkan perpindahan dari CSF ke dalam ruang

subaraknoid tulang belakang, peningkatan penyerapan CSF, dan penurunan

volume darah intrakranial. Akhirnya mekanisme ini tidak mampu lagi

11

Page 12: cidera kepala

mengkompensasi, akibatnya bila terjadi peningkatan kecil pada volume

intrakranial menyebabkan kenaikan tajam pada tekanan intrakranial. Jika lesi

berkembang perlahan-lahan, mungkin akan mencapai volume yang relatif besar

sebelum menyebabkan kenaikan yang signifikan dalam ICP. Sebuah lesi kecil

yang tampak pada CT scan mungkin dapat berkembang cepat, sehingga hanya

sedikit waktu untuk kompensasi. 1,7

2. Tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure = CPP)

 CPP adalah tekanan efektif yang menghasilkan aliran darah ke otak. CPP

didefinisikan sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial

pressure/MAP) dan ICP.

CPP = MAP – ICP

CPP berkolerasi dengan MAP pasien individu, tetapi aliran darah serebral

dipertahankan konstan oleh autoregulasi.7,8,12

3. Aliran darah otak (Cerebral Blood Flow = CBF )

Pada individu non-trauma, aliran darah otak adalah konstan di kisaran 50-

150 mmHg. Hal ini disebabkan oleh autoregulasi arteriol, yang akan menyempit

atau melebar dalam rentang tekanan darah tertentu untuk mempertahankan jumlah

konstan aliran darah ke otak. CBF dipengaruhi oleh metabolisme, tekanan parsial

karbon dioksida (carbon dioxide partial pressure/PaCO2), dan suhu. CBF

terutama ditentukan oleh tuntutan metabolisme otak. Ini meningkat selama

serangan epilepsi dan rasa sakit/kecemasan. Hal ini berkurang dalam keadaan

koma, hipotermia, dan setelah pemberian substrat/obat anestesi. Hipokapnia

menghasilkan vasokonstriksi serebral dan penurunan CBF. Efek terbesar adalah

saat PaCO2 normal, di mana perubahan 7,5 mmHg menyebabkan perubahan 30%

pada dalam aliran darah.  Hipotermia mengurangi metabolisme otak sekitar 5%

untuk setiap derajat celcius, sehingga mengurangi CBF. 1,8

Ketika MAP kurang dari 50 mmHg maka aliran darah otak akan menurun

dengan tajam dan otak berisiko iskemia akibat aliran darah tidak mencukupi, bila

lebih besar dari 150 mmHg maka terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan

aliran darah otak meningkat yang dapat mengakibatkan peningkatan ICP. Pada

kedua kondisi tersebut arteriol tidak dapat mempertahankan mekanisme

autoregulasi dan aliran darah menjadi sepenuhnya tergantung pada tekanan darah.

12

Page 13: cidera kepala

Pada pasien cedera kepala mekanisme autoregulasi ini sering mengalami

gangguan sehingga pasien tersebut rentan terhadap cedera otak sekunder akibat

iskemi yang timbul karena hipotensi. 8,9

B. Klasifikasi Cidera Kepala2,7

1. Simple Head Injury

Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan: Ada riwayat trauma

kapitis, Tidak pingsan, dan gejala sakit kepala dan pusing. Umumnya tidak

memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan

cukup istirahat.

2. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak

lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan

jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin

muntah dan tampak pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya

pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat

amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas

sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman

kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah

foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan

selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan

mobilisasi bertahap.

3. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam

jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-

neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi

contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan

pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi

yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak

13

Page 14: cidera kepala

membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible

terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak

mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade

reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” ,

“contrecoup”, dan “intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik

yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN.

Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic

brain syndrome”.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi

pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral

terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan

nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif

terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.

Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan

adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral

edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

4. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan

robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan

subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat

dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.

Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan

oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed

terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas

jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.

5. Fracture Basis Cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan

fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana

yang terkena.

Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala berupa hematom

kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding, Epistaksis,

14

Page 15: cidera kepala

Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala: Hematom

retroaurikuler, Ottorhoe, Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis

kranii. Komplikasi :

Gangguan pendengaran

Parese N.VII perifer

Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi

terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk

mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang

berlangsung lebih dari 6 hari.

6. Epidural Hematoma

Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan

duramater yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga

terjadi kompresi otak. Sering terjadi pada daerah temporal. Ditemukan adanya

lusid interval pada 50% kasus yaitu pada saat kejadian pasien tidak pingsan/

pingsan sebentar/ hanya nyeri kepala sebentar lalu membaik dengan

sendirinya, tetapi beberapa jam kemudian gejala menjadi progresif, nyeri

kepala , pusing, kesadaran menurun hingga koma.

Gejala klinis :

Gejala fokal, akibat herniasi tentorial

– timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+)

pada daerah kontralateral

– midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks

cahaya direct / indirect (-).

Nadi bisa bradikardi karena adanya peningkatan TIK

15

Page 16: cidera kepala

Pemeriksaan fundus : pupil N. II yang homolateral slight oedema.

LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi

7. Subdural hematoma

Yaitu perdarahan yang terjadi antara ruang duramater dengan araknoid

akibat trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari permukaan otak

yang berjalan menuju sinus venosus didalam duramater. Gejala-gejala, akut

seperti epidural bleeding, bila mengenai vena yang besar atau merupakan

perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan

ringan. Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan dilapisi

oleh kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan dari

sekitarnya sehingga menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan gejala-

gejala menyerupai tumor serebri/ proses intrakranial yang meninggi. Gejala

klinis :

menyerupai tumor serebri dimana ditemukan

peninggian tekanan intrakranial.

Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma

Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat

disertai mual muntah

Midriasis homolateral,gangguan visus.

Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese.

Refleks patologi (+)

Adanya gangguan psikis seperti mudah tersinggung.

Hati-hati melakukan LP karena TIK meninggi.

8. Subarachnoid hematoma

Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma

kapitis yang sering disebabkan oleh kontusio serebri.

Gejala klinis :

o timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba

16

Page 17: cidera kepala

o Pusing, mual, muntah

o Kesadaran menurun hingga koma

o Kaku kuduk (+)

o Suhu tubuh meninggi

o Refleks patologi (+)

o Umumnya terjadi gejala diffus, sekali-sekali bisa

o timbul kejang atau gejala fokal

9. Intraserebral hematoma

Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang

menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral. Terbanyak

pada lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis,

kadang- kadang pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya

penderita tidak tertolong, perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan

menekan batang otak, bila hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong.

Adapun Klasifikasi lain membagi cedera kepala berdasarkan14:

Patologi:

• Komosio serebri

• Kontusio serebri

• Laserasi serebri

Lokasi lesi

– Lesi diffus

– Lesi kerusakan vaskuler otak

– Lesi fokal

• Kontusio dan laserasi serebri

• Hematoma intrakranial

– Hematoma ekstradural (hematoma epidural)

– Hematoma subdural

– Hematoma intraparenkhimal

» Hematoma subarakhnoid

» Hematoma intraserebral

» Hematoma intraserebellar

17

Page 18: cidera kepala

C. Pemeriksaan Penunjang13,15,16

1. Foto Polos

Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna

untuk melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan lunak

di dalam kepala.

Indikasi Foto Polos Kepala

Tidak semua penderita dengan cidera kepaladiindikasikan untuk pemeriksaan

kepala karena masalah biaya dan kegunaanyang sekarang makin ditinggalkan.

Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya

corpus alineum, deformitas kepala (dariinspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang

menetap, Gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto

polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut

tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan

foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

2. CT Scan

Secara umum, semua pasien dengan cedera kepala harus memiliki gambaran

CT scan, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan sebagai risiko rendah

(misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan neurologis pada pemeriksaan, dan

tanpa bukti atau kecurigaan dari patah tengkorak, alkohol atau keracunan obat,

atau moderat-risiko kriteria lain). Kemungkinan mendeteksi intra serebral

hemoragik oleh CT pada pasien ini hanya 1 dalam 10.000. MRI  lebih baik untuk

mendeteksi cedera halus otak, terutama untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya

tidak digunakan untuk evaluasi darurat kecuali dengan cepat dan mudah tersedia

gambar CT harus dinilai untuk bukti adanya hematoma epidural atau subdural,

subarachnoid atau intraventricular, memar parenkim dan perdarahan, edema otak,

dan memar berhubungan dengan diffuse axonal injury.

Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa tindakan operasi pada trauma kepala

berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat

menyelamatkan + 60 – 70 %. Bila lebih 4 jam tingkat kematian melebihi sekitar

90%. Hal ini dapat dapat dilakukan setelah adanya penegakan diagnosa trauma

18

Page 19: cidera kepala

kepala dengan pemeriksaan klinis awal yang ditunjang dengan diagnosa imajing

(khususnya CT-Scan Kepala).

Pemeriksaan CT – Scan sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk

menentukan adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat.

Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT – Scan pada kasus

trauma adalah :

a. Menurut New Orland :

* Sakit kepala.

* Muntah.

* Umur > 60 tahun.

* Adanya intoksikasi alkohol.

* Amnesia retrograde.

* Kejang.

* Adanya cedera di area clavicula ke superior.

b. Menurut The Cranadian CT Head :

* GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.

* Adanya dugaan open / depressed fracture.

* Muntah – muntah ( > 2 kali ).

* Umur > 65 tahun.

* Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.

D. Gambaran Radiologi Cidera Kepala14,16,17,18

1. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau

kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk

hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma

intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,

menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium

atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)

a. Hematoma Epidural

Hematoma Epidural adalah akumulasi darah di ruang antara duramater dan

tulang tengkorak.

19

Page 20: cidera kepala

Gejala klinis : penurunan kesadaran, penglihatan kabur, susah bicara, nyeri

kepala hebat, keluar cairan dari hidung atau telinga, Nampak luka yang dalam

atau goresan pada kulit kepala, mual, pupil anisokor.

Pada foto polos kepala, tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural

hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang

mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong

sulcus arteriameningea media.

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan

potensi cedera intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja

(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,

paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen

(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula

garis fraktur pada area epidural hematoma.

Gambar 4. Gambaran CT-Scan Epidural Hematoma17

Pemeriksaan MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang

menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater.

MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan

salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

20

Page 21: cidera kepala

Gambar 5. MRI Hematoma Epidural17

b. Hematom Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara

duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan

sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat

robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.  Namun ia

juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura

tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari

hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih

buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin

diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis

agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.

1) Subdural Hematoma Akut

Dikatakan akut bila kurang dari beberapa hari atau dalam 24 sampai 48

jam setelah trauma. Gejala klinis dari subdural hematoma akut tergantung dari

ukuran hematoma dan derajat kerusakan otak. Gejala neurologis yang sering

muncul adalah penurunan kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral hematom,

hemiparesis kontralateral, dan papil edema.

Pada foto polos kepala, tidak dapat didiagnosa pasti sebagai subdural

hematom. Dengan proyeksi AP lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada

film, bertujuan untuk mencari adanya fraktur tulang pada daerah

frontoparietotemporal.

21

Page 22: cidera kepala

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )

dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas

medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure

interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.

Menekan dan mengkompresi otak.

Pada MRI, konfigurasi SDH berbentuk kresentris ( bulan sabit ).

Gambar 6. MRI Otak pada SDH akut Gambar 7. CT – Scan pada SDH

akut17

2) Subdural Hematoma Kronis

Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi

yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada

pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit

hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada

prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin

lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya

menjadi hipodens.

22

Page 23: cidera kepala

Gambar 8. CT - Scan pada SDH kronis Gambar 9. MRI pada SDH

kronik17

d. Perdarahan Subarakhnoid

Pada CT-Scan, perdarahan subarachnoid (SAH) terlihat mengisi ruangan

subarachnoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSS di sekitar otak. Rongga

subarachnoid yang biasanya hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut.

Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga subarachnoid yang besar.

Ketika CT-Scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan

awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan

cenderung menurun dan tampak sebagai abu-abu.

Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT-Scan berguna untuk

melokalisir sumber perdarahan. Hal ini sangat penting dalam kasus- kasus

aneurisma intracranial ganda, yang terjadi pada 20% pasien. Lokalisasi SAH pada

CT-Scan berkorelasi dengan lokasi dari pecahnya aneurisma. Kehadiran darah

dalam celah interhemisfer anterior atau lobus frontal yang berdekatan

menunjukkan pecahnya aneurisma arteri anterior. Bekuan fisura Sylvian

berkorelasi dengan aneurisma arteri serebral tengah ipsilateral. Jika darah terdapat

di fossa posterior, hal ini menunjukkan perdarahan dari aneurisma sirkulasi

posterior.

23

Page 24: cidera kepala

Gambar 10. MRI dan CT-Scan Perdarahan Subarakhnoid17

d. Kontusi dan hematoma intraserebral18

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak

hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Mayoritas terbesar

kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap

tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan

hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,

terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma

intraserebral dalam beberapa hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan

(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan

otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam

jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan

temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi

lainnya (countrecoup).

Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada

lokasi dan luas perdarahan.

Gambar 11. CT-Scan dan MRI- Perdarahan intraserebral17

24

Page 25: cidera kepala

e. Cedera difus4,7,17

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera

akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada

cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran

tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara

dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali

tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan

bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala

sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung

disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad.

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana

penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak

diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita

dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.

Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih

sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita

sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan

hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedera otak kerena

hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering

terjadi bersamaan .

Gambar 12. MRI & CT-Scan pada Cedera Aksonal Difus

25

Page 26: cidera kepala

E. Penatalaksanaan18,19,20

Pengelolaan awal terhadap pasien trauma yaitu survei primer  (ABCDE),

resusitasi, survei sekunder dan  perawatan definitif. Tujuan dari survei primer

adalah untuk segera mencari cedera mengancam kehidupan pasien.18,20

Pemeriksaan jalan napas (airway), yaitu membersihkan jalan napas dengan

memperhatikan kontrol servikal. Pada setiap penderita multitrauma, bila ada

penurunan kesadaran atau jejas di atas dari klavikula, segera pasang cervical

collar untuk immobilisasi servikal. Bersihkan jalan napas dari segala sumbatan,

benda asing, darah dari maksiofasial, gigi yang patah. Lakukan intubasi jika

pasien apnea, GCS kurang dari 8 atau ada bahaya aspirasi akibat perdarahan

fraktur maksilofasial.1 9

Pemeriksaan pernafasan (breathing), tentukan apakah pasien bernapas

spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien

bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat.

Pemeriksaan sirkulasi (circulation) yaitu menilai sirkulasi. Hentikan

semua perdarahan dengan menekan arterinya. Ukur dan catat frekuensi denyut

jantung dan tekanan darah, pasang EKG bila tersedia. Pasang jalur inravena yang

besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum,

elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Keadaan syok harus segera

diatasi, dengan pemberian cairan kristaloid melalui jalur intravena.

Survei sekunder atau pemeriksaan dari kepala sampai kaki pasien, tidak

dimulai sampai tanda vital pasien stabil kembali. 19

a. Terapi konservatif21

Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi,

jangan menggunakan cairan hipotonis / glukosa. Cairan garam hipertonis :

cairan NaCl 0,9 %, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan

saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak

sehingga menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume

intravaskular euvolume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75

cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor

pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan

26

Page 27: cidera kepala

dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari

Hiperventilasi fase akut

Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi

jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus

dicegah. Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama

setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi

saat aliran darah serebral berkurang.Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa

yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang

lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis,

drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.

Terapi hiperosmoler –manitolMerupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient

osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek

optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas

darah, meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan

tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan

efek samping reboun peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar

darah otak terjadi skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi,

takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Manitol

diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan

atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif

dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan

0,25- 1 g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan

mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.

Barbiturat

Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan

hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap

tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun

risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim

27

Page 28: cidera kepala

dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah

atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan

dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3

pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk

profilaksi. menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan

volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari

peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.

Nutrisi21,22

Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih

15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30%

akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat

dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan

selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian

hiperglikemi, infeksi.

Kebutuhan Nutrisi:

• Kalori 25 – 30 Kcal/KgBB/Hr

• Protein 1,5 – 2 gr/KgBB/Hr

• Karbohidrat 75 – 100 gr/Hr (7,2 gr/KgBB/Hr)

• Lipid 10 – 40 % kebutuhan kalori / hari

Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral berat meningkat rata-

rata 40%.

b. Terapi prevensi kejang6,7,14

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK,

penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat

mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling).

Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada

minggu pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-faktor yang lain misalnya:

hipoglikemi, gangguan elektrolit, infeksi.

28

Page 29: cidera kepala

c. Penatalaksanaan Pembedahan 6,12

Kriteria pasien rujukan ke Unit Bedah Saraf yaitu semua pasien dengan

massa intrakranial, cedera otak primer yang memerlukan ventilasi, fraktur depresi

tulang tengkorak, kebocoran CSF persisten, cedera tembus tengkorak, perburukan

progresif dengan tanda-tanda lesi massa intrakranial10

Untuk persiapan prabedah dilakukan: evaluasi status generalis, periksa

darah rutin, elektrolit dan cross match, pasang kateter dan pasang infus 2 jalur;

usaha menurunkan ICP: hiperventilasi (PaCO2 ± 30-35 mm Hg); atasi kejang:

diazepam atau penthothal secara intravena; terapi oksigen; koreksi segala keadaan

patologis ekstrakranial yang mengancam; pemberian antibiotik profilaksis

sebelum operasi dimulai. 15,16

Pilihan obat anestesi yang digunakan yaitu thiopental atau propofol

dikombinasikan dengan remifentanil, fentanil atau sufentanil dosis disesuaikan.

Pilihan obat pelumpuh otot non depolarisasi adalah vekuronium atau

atracurium.1,16

Pemantauan yang dilakukan selama anesthesia yaitu pemantauan respirasi

meliputi parameter volume tidal, frekuensi napas, dan tahanan jalan napas,

PaCO2: 35 – 40 mmHg dan PaO2 lebih besar dari 100 mmHg, kardiovaskular:

EKG, tekanan darah, tekanan vena sentral, fungsi ginjal: produksi urin ditampung

dan diukur, keseimbangan elektrolit, suhu tubuh (secara kontinyu), tekanan

intrakranial (oleh dokter bedah saraf).16

Kriteria pasien cedera kepala yang harus mendapat perawatan di ICU

adalah pasien cedera kepala berat dengan GCS kurang dari 8, cedera kepala

dengan status neurologis yang menurun progresif disertai gagal napas atau gagal

jantung-sirkulasi, pasien dengan kejang, gangguan keseimbangan elektrolit berat

disertai gangguan metabolik berat yang bisa berefek pada sistem saraf pusat, serta

untuk monitoring pasca operasi (kateter arteri dan vena pusat, monitor ICP). 17

Perawatan neurologis di ICU atau Ne-ICU (Neurological Intensive Care)

meliputi monitor tanda vital dan neurologis yang ketat, monitor tekanan

intrakranial, monitor keseimbangan cairan, pemberian nutrisi enteral dan

parenteral, resusitasi jantung paru, ventilator, tenaga intensif. 18,19

29

Page 30: cidera kepala

Strategi untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial, antara lain:

Menghindari terjadinya hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menyebabkan

peningkatan aliaran darah ke otak sehingga terjadi peningkatan tekanan

intrakranial. Untuk menurunkan tekanan intrakranial dapat dilakukan

hiperventilasi ringan, tetapi sebaiknya selalu diikuti dengan analisa gas darah

untuk menghindarkan terjadinya iskemi pada otak. 8

Hindarkan pemberian cairan yang berlebihan, untuk mempertahankan

tekanan darah agar stabil, harus diberikan cairan kristaloid atau darah untuk

menggantikan kehilangan darah yang terjadi pada trauma. Keseimbangan cairan

harus diperhatikan untuk menghindarkan terjadinya pemberian cairan berlebihan

(overloading). Diuretika dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial

pada cedera kepala akut. Diuretika yang banyak digunakan dalam hal ini adalah

manitol.8

Elevasi kepala 30-45º, sebab pada posisi kepala yang dielevasi 30-45º

akan mengoptimalkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan membantu

mengurangi tekanan intrakranial. Posisi diatur sedemikian rupa, supaya tidak

terjadi penekanan terhadap salah satu vena jugularis interna. Berikan sedasi jika

penderita gelisah. Tetapi harus diingat bahwa tindakan sedasi yang rutin akan

meningkatkan insiden pneumonia, perawatan ICU lebih lama, dan kemungkinan

sepsis lebih besar.8

F.Komplikasi17

1.Kejang pasca trauma.

Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal

cedera 4- 25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari

trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural,

parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.

2.Demam dan mengigil :

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan

memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,

efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis.

30

Page 31: cidera kepala

Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.

3.Hidrosefalus:

Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non

komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala

dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat

penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan

muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.

4.Spastisitas :

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan

gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada

posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi

gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.

Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder

dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin,

botulinum, benzodiasepin

5. Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam

bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga

sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi

sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan

antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant,

benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.

6. Mood, tingkah laku dan kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik

setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2

tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku

atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah

(fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%,

gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif

31

Page 32: cidera kepala

berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering

digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan

hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki

fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat

dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-

50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera

kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan

antidepresan.

7. Sindroma post kontusio

Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80%

pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun

pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual,

mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian,

konsentrasi, memori,Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

G.Prognosis cidera kepala1,2,6,12

Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg

selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg

kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat

mengalami gangguan kejang- kejang dalam dua tahun pertama post trauma.

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah

mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya

pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai

kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American

college of surgeon,1997). Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada

saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

32

Page 33: cidera kepala

BAB III

PENUTUP

Cidera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa

mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada

lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.

Terjadinya trauma kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu

cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari ruda paksa dan cedera

sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahp

lanjutan dari kerusakan otak primer.

Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,

yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas

(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi juga tergantung kepada

bagian otak mana yang terkena.

Gejala yang terlokalisir bisa merupakan perubahan dalam gerakan, sensasi,

berbicara, penglihatan, dan pendengaran. Berbagai fungsi otal dapat dijalankan

ole beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa

menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.

33

Page 34: cidera kepala

DAFTAR PUSTAKA

1. McQuillan PM, Allman KG, Wilson IH. Oxford American Handbook of Anesthesiology 1st Ed. New York: Oxford University Press; 2008.

2. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th ed. McGraw-Hill;2005. 1615-205

3. Elf K. Secondary Insults in Neurointensivecare of Patients With Traumatic Brain Injury. Dissertations. Uppsala University; 2005.

4. Soertidewi Lyna,dkk. Konsensus Nasional; Penanganan Trauma Kapitits dan Trauama Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta 2006, hlm:1 – 18.

5. Clayton TJ, Nelson RJ, Manara AR. Reduction in mortality from severe head injury following introduction of a protocol for intensive care management. British Journal of Anaesthesia; 2004. 93. h. 761–7.

6. Dadowu TS. Journal of Traumatic Brain Injury: Definition, Epidemiology, Pathophysiology; 2007. h. 1-6.

7. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Oxford Textbook of Surgery.2nd ed. Volume 3. Oxford Press;2000

8. Steiner LA, Andrews PJD. Monitoring the injured brain: ICP and CBF. British Journal of Anaesthesia; 2006. 97. h. 26–38.

9. Euliano TY, Gravenstein JS. Essential Anesthesia From Science to Practice. New York: Cambridge University Press; 2004.

10. Bendo AA. Anesthesia for the Patient with an Intracranial Mass Lesion. ASA Refresher Courses in Anesthesiology; 2002. 30. h. 15-26.

11. Pinnock C, Lin T, Smith T. Fundamentals of Anaesthesia. London: Greenwich Medical Media Ltd; 2001.h. 78-89.

12. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge University Press. Cambridge.2009

13. Ugan R, Yogen A. Preoperative assesment of neurosurgical patients. Anesthesia and Intensive Care Medicine; 2010. 11. h. 357-62.

14. Bajamal AH. Perawatan Cidera Kepala Pra Dan Intra Rumah Sakit. In : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2005

15. Mishra LD, Rajkumar N, Hancock SM. Current controversies in neuroanaesthesia, head injury management and neurocritical care. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain; 2006. 6. h. 79-82.

16. Warner DS. Anesthesia for Craniotomy. Canadian Journal of Anesthesia; 2002. 49. h. 1–8.

17. Gregory T, Wilson SR. Anaesthesia for Neurosurgery. Anesthesia and Intensive Care Medicine; 2010. 11. h. 363-5.

34

Page 35: cidera kepala

18. Bruder N, Ravussin P. Recovery from Anethesia and Postoperative Extubation of Neurosurgical Patients. Journal of Neurosurgical Anethesiology; 2001. 11. h. 282-93.

19. Koenig HM. Anesthesia for Awake Intracranial Procedures. Advances in Anesthesia; 2006. 24. h. 127–48.

20. Kendall R, Menon DK. Anaesthesia and intensive care medicine. Abingdon: The Medicine Publishing Company; 2007.

21. Saline or Albumin for Fluid Resuscitation in Patients with Traumatic Brain Injury the New England Journal of Medicine; 2007. 357. h. 874-84.

22. Andrews S. European society of intensive care medicine study of therapeutic hypothermia for intracranial pressure reduction after traumatic brain injury. Trials; 2011. 12. h. 8.

35