lp cidera kepala fix

37

Click here to load reader

Upload: atika

Post on 27-Jan-2016

76 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

LP Cidera Kepala

TRANSCRIPT

Page 1: LP Cidera Kepala Fix

LAPORAN PENDAHULUAN

“CEDERA KEPALA”

disusun untuk memenuhi tugas profesi ners

Departemen Surgical Ruang 13 RS Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :

ATIKATSANI LATIFAH

140070300011108

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

Page 2: LP Cidera Kepala Fix

1. Definisi

Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi

normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit

neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa

karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca

Fransisca, 2008, hal 96).

Cedera kepala merupakan proses diman terjadi trauma langsung atau deselerasi

terhasdap kepala yang menyebabkan kerusakan tenglorak dan otak. (Pierce

Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91).

Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi

otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak

tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara

otak dan selaput otak (rongga subaraknoid).diantara lapisan dalam (pia

mater) dan lapisantengah (arachnoid mater) para jaringan yang melindungan

otak (meninges).Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam

nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius.

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (diantara

duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena

jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena

tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada

permukaanotak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral

hemisferiumdan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging

veins. Perdarahansubdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan

kerusakan otak dibawahnya berat.

2. Etiologi

Cidera kepala dapat disebabkan karena:

1. Kecelakaan lalu lintas,

2. Terjatuh,

3. Kecelakaan industry,

4. Kecelakaan olahraga,

5. Luka, dan

6. Persalinan.

( Tarwoto&Wartonah, 2007, hal 125 )

Page 3: LP Cidera Kepala Fix

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang

terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah

atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan

kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.

Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan

dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba

terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya

mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian

muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).

3. Klasifikasi

a. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka

penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan

bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jia tulang tengkorak

menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,

jaringan sel otak akibat benda tajam / tembakan. Cedera kepala terbuka

memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.

b. Cedera kepala tertutup

Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang

mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian

serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedar kepala

tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar) dan laserasi.

(Brunner & Suddarth, 2001: 2211; Long, 1990 : 203)

Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi

dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala.

(IKABI, 2004).

a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu :

Cedera kepala tumpul.

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,

jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan

decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan

melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

Cedera tembus. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

(IKABI, 2004)

Page 4: LP Cidera Kepala Fix

b. Berdasarkan morfologi cedera kepala.

Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang

tengkorak yang meliputi :

Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit

kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective

tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan

ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang

kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung

pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat

mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi :

Fraktur linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada

tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier

dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar

tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen

fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.

Fraktur diastasis

Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak

yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini

sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan

erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan

dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

Fraktur kominutif

Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu

fragmen dalam satu area fraktur.

Fraktur impresi

Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang

langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi

pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada

duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika

tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen

tulang yang sehat.

Fraktur basis kranii

Page 5: LP Cidera Kepala Fix

Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang

tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang

merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak

anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur

fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii

dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan

daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang

dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat

menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan

cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak

(meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon

eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign

(fraktur basis kranii fossa media).

Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering

terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis)

dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis

kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak

misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak

menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika

perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/

otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda

bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan

kepala miring ke posisi yang sehat.

Cedera kepala di area intrakranial.

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan

cedera otak difus.

Cedera otak fokal yang meliputi :

a. Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang

potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural

hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama

beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis

kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain

sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

b. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.

Page 6: LP Cidera Kepala Fix

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang

terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil

dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh

hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan

prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

c. Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih

dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut

dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu

terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang

bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam

clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar

(durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan

pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses

degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan

hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka

akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan

subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH

kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang

menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit

neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang

d. Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen

yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan

oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan

oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya

pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh

darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain

adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi

oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.

e. Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal

baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki

ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya

Page 7: LP Cidera Kepala Fix

PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga

menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya

vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan

manifestasi edema cerebri.

Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011), meliputi :

Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim

otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena

gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan

bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.

Fasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit

traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan

manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat

renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran

morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala

difus dikelompokkan menjadi :

a. Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang

menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi),

maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan

serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)

mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi

antara initi profunda dengan inti permukaan.

b. Kontusio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena

efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab

kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut

menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang

terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi

kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang

berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.

c. Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada

edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat

pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih

Page 8: LP Cidera Kepala Fix

disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan

hipovolemik.

d. Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang

atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan

disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:

1. Cedera kepala ringan

Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan:

nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak,

kontusio/hematoma.

2. Cedera kepala sedang

Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami

fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).

3. Cedera kepala berat

Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,

laserasi, hematoma dan edema serebral.

(Hudack dan Gallo, 1996: 226)

4. Patofisiologi (Terlampir)

5. Manifestasi Klinis

Cedera kepala menurut Judikh Middleton (2007) akan menimbulkan gangguan

neurologis / tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi:

a. Lobus frontal

- Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)

- Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan rumit yang di perlukan untuk

menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopi

- Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain

- Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir

- Ketidakmampuan fokus pada tugas

- Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)

- Perubahan dalam perilaku social

- Perubahan dalam personalitas Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memori)

b. Lobus parietal

Page 9: LP Cidera Kepala Fix

- Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang

bersamaan

- Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)

- Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan (agraphia)

- Gangguan dalam membaca (alexia)

- Kesulitan menggambar obyek

- Kesulitan membedakan kiri dan kanan

- Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia)

- Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang

memicu kesulitan dalam perawatan diri

- Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan

- Kesulitan koordinasi mata dan tangan

c. Lobus oksipital

- Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang)

- Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan

- Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)

- Teriptanya halusinasi

- Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek

- Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata

- Kesulitan mengenali obyek yang bergambar

- Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek

- Kesulitan membaca dan menulis

d. Lobus temporal

- Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)

- Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)

- Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar

- Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek

- Hilang ingatan jangka pendek

- Gangguan memori jangka panjang

- Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual

- Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi)

- Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang persisten

- Peningkatan perilaku agresif

e. Batang otak

- Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato

- Menelan makanan dan air (dysfagia)

- Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan

Page 10: LP Cidera Kepala Fix

- Masalah dalam keseimbangan dan gerakan

- Sakit kepala dan mual (vertigo)

- Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)

f. Cerebellum

- Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus

- Kehilangan kemampuan berjalan

- Ketidakmampuan meraih obyek

- Bergetar (tremors)

- Sakit kepala (vertigo)

- Ketidakmampuan membuat gerakan cepat

Menurut Mansjoer (2000) manifestasi klinis cedera kepala berdasarkan beratnya

cedera sesuai skor GCS yaitu:

a. Cedera kepala ringan (GCS 13 – 15)

- Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi

- Tidak ada kehilangan kesadaran

- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

- Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala

- Tidak adanya criteria cedera kepala sedang sampai berat

b. Cedera kepala sedang (GCS 9 - 12)

- Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang

sesuai dengan pernyataan yang di berikan

- Amnesia paska trauma

- Muntah

- Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea

atau rinorea cairan serebro spinal)

- Kejang

c. Cedera kepala berat (GCS ≤ 8)

- Penurunan kesadaran sacara progresif

- Tanda neorologis fokal

- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (Mansjoer, 2000)

6. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang untuk trauma kepala menurut Doengoes (2000) dan Price &

Wilson (2006) antara lain:

1. CT Scan (dengan / tanpa kontras)

Page 11: LP Cidera Kepala Fix

2. Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, dan pergeseran

jaringan otak.

3. MRI (dengan / tanpa kontras)

4. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio, dapat mendiagnosis tumor,

infark, dan kelainan padapembuluh darah.

5. Angiografi serebral

6. Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat

edema dan trauma perdarahan. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan

kelainan vaskuler serebral.

7. Angiografi substraksi digital

8. Suatu jenis angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi

untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan

lunak di sekitarnya.

9. EEG (Electro Ensephalogram)

10. Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG

mengukur aktifitas listrik lapisan superficial korteks serebri melalui elektroda yang

dipasang di luar tengkorak pasien.

11. ENG (Electro Nistagmogram)

Merupakan pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk

mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.

12. X-ray

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari

garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.

13. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomography)

Menentuukan fungsi korteks dan batang otak.

14. PET (Positron Emmision Tomography)

Menunjukkan perubahan aktifitas metabolism batang otak.

15. Fungsi lumbal, CSS

Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subarachnoid.

16. GDA (Gas Darah Arteri)

Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan

TIK.

17. Kimia (elektrolit darah)

Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK / perubahan

mental. (Doengoes, 2000; Price & Wilson, 2006).

7. Penatalaksaan Medis

Page 12: LP Cidera Kepala Fix

Penatalaksanaan trauma kepala menurut Smeltzer (2001) dan Long (1996) antara lain:

a. Dexamethason / Kalmetason : sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis

sesuai dengan berat ringannya trauma.

b. Terapi hiperventilasi (pada trauma kepala berat) : untuk mengurangi vasodilatasi.

c. Analgetik : sebagai pereda nyeri.

d. Gliserol (manitol 20% glukosa 40%) : larutan hipertonis sebagai anti edema.

e. Metronidazole : untuk pengobatan infeksi anaerob, atau antibiotik yang mengandung

penicillin sebagai barier darah otak.

f. Cairan infuse dextrose 5%, aminousin, aminofel, diberikan 18 jam pertama sejak

terjadinya kecelakaan, selama 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

g. Tindakan pembedahan

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-gejala

yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran

hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang

tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation(ABCs). Tindakan

operasi ditujukan kepada:

a. Evakuasi seluruh SDH 

b. Merawat sumber perdarahan

c. Reseksi parenkim otak yang nonviable

d. Mengeluarkan ICH yang ada.Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau

pergeseranmidline shift > 5 mm pada CT-scan 

Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK 

Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm

dan pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2

poinantara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit

Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil

dilatasiasimetris/fixede.

Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Page 13: LP Cidera Kepala Fix

Gambar 11. Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)(catalog.nucleusinc.org)

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill

raniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahansub dural

kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukankomplikasi

yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap

sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yangsudah berusia lanjut

dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yangterjadi kembali, tidaklah perlu

untuk dilakukan operasi ulang kembali.

Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat

dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karenadengan

Page 14: LP Cidera Kepala Fix

trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanyasolid dan

kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita

SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.

Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yanginvasif

dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih

kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma danlokasi kerusakan

parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana didapatkan hematoma

dalam jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma,

tindakan ini akan segara menurunkan TIK. Lubang bor  berikutnya dibuat dan kepingan

kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibukalebar dan hematoma dievakuasi dari

permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah

keruang subdural, dilakukan irigasi,kemudian  surgical patties disedot (  suction ).

Surgical patties  perlahan – lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat

pada surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan

kateter kesegala arah. Kontusio jaringanotak dan hematoma intraserebral direseksi.

Dipasang drain 24 jam diruang subdural,duramater dijahit rapat.Usaha diatas adalah

untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukankraniotomi dekompresif yang luas

dengan maksud untuk mengeluarkan seluruhhematoma, merawat perdarahan dan

mempersiapkan dekompesi eksternal dari edemaserebral pasca operasi. Pemeriksaan

pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan

struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan

penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini.

Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural

kronik sudah mulai berkurang.Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan

membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan

definitif.Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran,

pupilanisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis

merupakantanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian

besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:

1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CTscan

kepala tidak bisa dilakukan.

Page 15: LP Cidera Kepala Fix

Perawatan Pasca bedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan

seperti biasanya.Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang

ataukranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.Setelah operasipun kita

harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasiendapat terjadi perdarahan lagi yang

berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk,subdural empiema, irigasi yang kurang

baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari

otak untuk mengembang kembali danterjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka

dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.

Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan. Follow-upCT scan

kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik danuntuk menilai apakah

masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

Page 16: LP Cidera Kepala Fix
Page 17: LP Cidera Kepala Fix

8. Komplikasi

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut Markam (1999) pada cedera

kepala meliputi:

a. Koma

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara

khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan

Page 18: LP Cidera Kepala Fix

terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun

demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya.

Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

b. Kejang / Seizure

Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya sekali

kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini

berkembang menjadi epilepsy.

c. Infeksi

Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen)

sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan

ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.

d. Hilangnya kemampuan kognitif

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan

kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah

kesadaran.

e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson

Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi

dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan

keparahan cedera.

Page 19: LP Cidera Kepala Fix

Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian Fokus

1. Riwayat kesehatan

Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian,

pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.

2. Pemeriksaan fisik

Sistem respirasi:

Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik), nafas

berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

Kardiovaskuler:

Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK

Kemampuan komunikasi:

Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf

hipoglosus dan saraf fasialis.

Psikososial:

Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

Aktivitas/istirahat

S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan

O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan

(ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.

Sirkulasi

O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi

jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.

Integritas Ego

S : Perubahan tingkah laku/kepribadian

O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi

Eliminasi

O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.

Makanan/cairan

S : Mual, muntah, perubahan selera makan

O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).

Neurosensori

S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,

perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.

O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,

atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan

Page 20: LP Cidera Kepala Fix

penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,

desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.

Nyeri/Keyamanan

S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.

O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat,

gelisah

Keamanan

S : Trauma/injuri kecelakaan

O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang

kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh

Penyuluhan/Pembelajaran

Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Scan CT (tanpa/denga kontras) : Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,

menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

b. MRI ; Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.

c. Angiografi serebral : Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran

jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma

d. EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang

patologis.

e. Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran

struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.

f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang

otak.

g. PET (Positron Emission Tomography) : Menunjukan perubahan aktifitas

metabolisme pada otak.

h. Fungsi lumbal, CSS : Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan

subarachnoid.

i. GDA (Gas Darah Artery) : Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi

yang akan dapat meningkatkan TIK.

j. Kimia /elektrolit darah : Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam

peningkatan TIK/perubahan mental.

k. Pemeriksaan toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab

terhadap penurunan kesadaran.

l. Kadar antikonvulsan darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang

cukup fektif untuk mengatasi kejang.

Page 21: LP Cidera Kepala Fix

Diagnosa Keperawatan:

a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia, edema serebral dan

peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,

perubahan respon mototrik dan sensorik, gelisah, perubahan TTV.

b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,

kerusakan medula oblongata neuromaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis

otot pernafasan.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH

dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema, dehidrasi, sindrom

kompartemen dan hemoragi.

d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan asam

lambung, mual, muntah, anoreksia ditandai dengan penurunan BB, penurunan massa

atau tonus otot

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan penurunan

kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi,

keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.

f. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan

tekanan intra kranial ditandai dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang,

perubahan terhadap respon rangsang.

g. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan

keseadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan kata-

kata.

h. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala,

perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi, hipertermi.

Intervensi dan Rasional

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan

peningkatan tekanan intrakranial

Tujuan:

Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan

serebral kembali normal

Kriteria Hasil:

a. Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala

b. Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial

c. Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13

d. Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada muntah.

Page 22: LP Cidera Kepala Fix

Intervensi Rasional1. Kaji tingkat kesadaran.2. Pantau status neurologis secara

teratur, catat adanya nyeri kepala, pusing.

3. Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input dan

output, lalu catat hasilnya.5. Kolaborasi pemberian oksigen.

1. Mengetahui kestabilan klien.2. Mengkaji adanya kecendeungan pada

tingkat kesadaran dan resiko TIK meningkat.

3. Untuk menurunkan tekanan vena jugularis.

4. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan penurunan tekanan darah diastolik serta napas yang tidak teratur merupakan tanda peningkatan TIK.

5. Mengurangi keadaan hipoksia

2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,

kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.

Tujuan :

Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas efektif

dengan

Kriteria hasil:

a. Klien tidak mengatakan sesak nafas

b. Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada.

c. Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat

d. bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,

e. kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.

Intervensi Rasional1. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi,

irama nafas, adanya sianosis. Kaji suara nafas tambahan (rongki, mengi, krekels).

2. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler 30o Berikan posisi semi prone lateral/ miring, jika tak ada kejang selama 4 jam pertama rubah posisi miring atau terlentang tiap 2 jam.

3. Anjurkan pasien untuk minum hangat (minimal 2000 ml/hari).

4. Kolaborasi terapi oksigen sesui indikasi.

5. Lakukan section dengan hati-hati (takanan, irama, lama) selama 10-15 detik, catat, sifat, warna dan bau sekret

6. Kolaborasi dengan pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.

1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi/atelektasi atau pneumonia (komplikasi yang sering terjadi).

2. Meningkatkan ventilasi semua bagian paru, mobilisasi serkret mengurangi resiko komplikasi, posisi tengkulup mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai dapat menimbulkan peningkatan resiko terjadinya gagal nafas.

3. Membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret/sebagai ekspektoran.

4. Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas. Mencegah hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan. Biasanya dengan menggunakan ventilator mekanis.

Page 23: LP Cidera Kepala Fix

5. Penghisapan yang rutin, beresiko terjadi hipoksia, bradikardi (karena respons vagal), trauma jaringan oleh karenanya kebutuhan penghisapan didasarkan pada adanya ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret.

6. Menyatakan keadaan ventilasi atau oksigen, mengidentifikasi masalah pernafasan, contoh: hiperventilasi (PaO2 rendah/ PaCO2 mengingkat) atau adanya komplikasi paru.Menentukan kecukupan oksigen, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan akan terapi.

3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine

dan elektrolit meningkat.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan keseimbangan

cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan

Kriteria Hasil:

a. Menunjukan membran mukosa lembab

b. Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.

Intervensi Rasional1. Kaji tanda klinis dehidrasi atau

kelebihan cairan.2. Catat masukan dan haluaran, hitung

keseimbangan cairan, ukur berat jenis urine.

3. Berikan air tambahan sesuai indikasi4. Kolaborasi pemeriksaan lab.

kalium/fosfor serum, Ht danalbumin serum.

1. Deteksi dini dan intervensi dapat mencegah kekurangan/kelebihan fluktuasi keseimbangan cairan.

2. Kehilangan urinarius dapat menunjukan terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine adalah indikator hidrasi dan fungsi renal.

3. Dengan formula kalori lebih tinggi,tambahan air diperlukan untuk mencegah dehidrasi.

4. Hipokalemia/fofatemia dapat terjadi karena perpindahan intraselluler elama pemberian makan awal dan menurunkan fungsi jantung bila tidak diatasi.

4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot

yang digunakan untuk mengunyah dan menelan

Tujuan :

Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24

jam dengan

Page 24: LP Cidera Kepala Fix

Kiteria Hasil:

a. Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. dalam rentang

normal.

b. Peningkatan berat badan sesuai tujuan.

Intervensi Rasional1. Kaji kemampuan pasien untuk

mengunyah dan menelan, batuk dan mengatasi sekresi.

2. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara hiperaktif.

3. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan lewat NGT.

4. Berikan makan dalam porsi kecil dan sering dengan teratur.

5. Kolaborasi dengan ahli gizi.

1. Faktor ini menentukan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.

2. Bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.

3. Menurunkan regurgitasi dan terjadinya aspirasi.

4. Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan

5. Metode yang efektif untuk memberikan kebutuhan kalori.

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan

kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.

Tujuan :

Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan

Kriteri Hasil :

a. Tidak adanya kontraktur, footdrop.

b. Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.

c. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya

Intervensi Rasional1. Periksa kembali kemampuan dan

keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.

2. Berikan bantu untuk latihan rentang gerak

3. Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan

1. Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.

2. Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis

3. Proses penyembuhan yang lambat seringakli menyertai trauma kepala dan pemulihan fisik merupakan bagian yang sangat penting. Keterlibatan pasien dalam program latihan sangat penting untuk meningkatkan kerja sama atau keberhasilan program.

Page 25: LP Cidera Kepala Fix

6. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,

peningkatan tekanan intra kranial.

Tujuan :

Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x 24

jam

Kriteria Hasil :

a. Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.

b. Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.

Intervensi Rasional1. Kaji kesadaran sensori dengan

sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan.

2. Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan, sensori dan proses pikir.

3. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.

4. Berikan lingkungan terstruktur rapi, nyaman dan buat jadwal untuk klien jika mungkin dan tinjau kembali.

5. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.

1. Semua sistem sensori dapatn terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi untuk menerima dan berespon sesuai dengan stimuli.

2. Fungsi cerebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Perubahan persepsi sensori motorik dan kognitif mungkin akan berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara bertahap

3. Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.

4. Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.

5. Pendekatan antar disiplin ilmu dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang berfokus pada masalah klien

7. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan

keseadaran.

Tujuan:

Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.

Kriteria hasil:

Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan klien dapat

menunjukan komunikasi dengan baik

Page 26: LP Cidera Kepala Fix

Intervensi Rasional1. Kaji derajat disfungsi2. Mintalah klien untuk mengikuti

perintah3. Anjurkan keluarga untuk

berkomunikasi dengan klien

1. Membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam proses komunikasi.

2. Melakukan penelitian terhadap adanya kerusakan sensori

3. Untuk merangsang komunikasi pasien, mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.

8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

Tujuan :

Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam

Kiteria Hasil:

a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu

b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5°C)

Intervensi Rasional1. Berikan perawatan aseptik dan

antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan

2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, kaji keadaan luka, catat adanya kemerahan, bengkak, pus daerah yang terpasang alat invasi dan TTV

3. Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi dan hidrasi yang adekuat.

4. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi

5. Pantau hasil pemeriksaan lab, catat adanya leukositosis

6. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi.

1. Cara pertama untuk menghindari nosokomial infeksi, menurunkan jumlah kuman patogen .

2. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya, monitoring adanyainfeksi.

3. Meningkatkan imun tubuh terhadap infeksi

4. Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman infeksi.

5. Leukosit meningkat pada keadaan infeksi

6. Menekan pertumbuhan kuman pathogen.

Page 27: LP Cidera Kepala Fix

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996

Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta

Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem

Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga

Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta

Sastrodiningrat, A. G. 2006.  Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural  Akut .

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306.FK USU:

Medan.

Heller, J. L., dkk,Subdural Hematoma , MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012.

Tom, S., dkk,Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference,2011.