cidera kepala
DESCRIPTION
cidera kepala ringanTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
CIDERA KEPALA
A. PENGERTIAN
Menurut Morton (2012), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada
kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Brunner dan Suddarth ,
(2007) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang
terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar,
leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural,
intraserebral, batang otak.
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak (Pierce & Neil. 2006).
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
B. Macam-macam cedera kepala
Menurut, Morton, (2012) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk
dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan
masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman
pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:
kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
C. Klasifikasi cedera kepala
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari
Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu :
a. Ringan
1) GCS = 13 – 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1) GCS = 9 – 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) GCS = 3 – 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
D. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Tengkorak
Tulang tengkorak
menurut, Evelyn C Pearce
(2008) merupakan struktur
tulang yang menutupi dan
melindungi otak, terdiri
dari tulang kranium dan
tulang muka. Tulang
kranium terdiri dari 3
lapisan:
Lapisan luar, etmoid dan
lapisan dalam. Lapisan
luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur
yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior
didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis,
parientalis,oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.
2. Meningen
Pearce, Evelyn C.
(2008) otak dan
sumsum tulang
belakang diselimuti
meningia yang
melindungi syruktur
saraf yang halus itu,
membawa pembulu
darah dan dengan
sekresi sejenis cairan,
yaitu: cairan
serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan. Selaput
meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit
kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4)
perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-
arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium
ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media
fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat
lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis . Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
3. Otak
Menurut Ganong, (2007); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan
kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital,
temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda,
yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada
korteks serebri terutama
mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis,
memainkan alat musik atau
mengikat tali sepatu. Lobus
frontalis juga mengatur
ekspresi wajah dan isyarat
tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap
aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari
kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu
sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata,
meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke
bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan
kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau
samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga
membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi
dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang
agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan
serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah
kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita
dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung
atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis
sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan
pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan
menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan
lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama
yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi
dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan
posisi dan mengintegrasikan input sensori.
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah
midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah
dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara
medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula
oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat
otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung,
pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.
4. Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2005) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala
meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan
nervus yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya
terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-
otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit
daerah temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala
fungsinya sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf
ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum
minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf
perasa.
k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
E. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
F. PATOFISIOLOGI
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat
pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak,
seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan
bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila
posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan
pada substansi alba dan batang otak. Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua
macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak
banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi
substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan
trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem
dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi
karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan
hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial,
dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo,
2009).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf
kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas
(Brain, 2009).
G. MANIFESTASI KLINIK
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2008)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2008)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
H. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi
respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah
dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada
proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan
karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi
serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau
dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan
klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
5. Infeksi
I. PENATALAKSANAAN
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
7. Pembedahan.
(Smelzer, 2001)
J. PENGKAJIAN FOKUS
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan
karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler: Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial: Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
S:Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam
berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan
depresi
h. Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap
cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang
hebat, gelisah
l. Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang
kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh.
m. Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang
(Doenges, 1999)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Scan CT (tanpa/denga kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
b. MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan, trauma
d. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
e. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
h. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
i. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
j. Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
k. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif untuk
mengatasi kejang.
(Doenges, 1999)
FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Diagnosa Keperawatan:
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan ruangan
untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral ( Nanda 2013 )
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata neuromaskuler ( Nanda 2013).
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine
dan elektrolit meningkat (Carpenito, 2005).
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang
digunakan untuk mengunyah dan menelan (Doenges, 1999).
e. Nyeri akut ( Nanda 2013 )
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungandengankerusakan persepsi / kognitif, terapi
pembatasan / kewaspadaan keamanan, missal tirah baring, immobilisasi ( Nanda 2013 )
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial (Doenges, 1999).
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan
keseadaran (Carpenito, 1999).
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
(Carpenito, 2005).
2. Intervensi dan Rasional:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intracranial
Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi
jaringan serebral kembali normal.
Kiteria Hasil:
1) Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
2) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
3) Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
4) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tingkat kesadaran.
2. Pantau status neurologis secara
teratur, catat adanya nyeri kepala,
pusing.
3. Tinggikan posisi kepala 15- 30
derajat
4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi,
input dan output, lalu catat
hasilnya.
5. Kolaborasi pemberian
6. Anjurkan orang terdekat
untuk berbicara dengan klien.
1. Mengetahui kestabilan klien.
2. Mengkaji adanya kecendeungan
pada tingkat kesadaran dan resiko
TIK meningkat.
3. Untuk menurunkan tekanan vena
jugularis.
4. Peningkatan tekanan darah
sistemik yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah diastolik
serta napas yang tidak teratur
merupakan tanda peningkatan
TIK.
5. Mengurangi keadaan hipoksia
6. Ungkapan keluarga yang
menyenangkan klien tampak
mempunyai efek relaksasi pada
beberapa klien koma yang akan
menurunkan TIK.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas
efektif dengan Kriteria hasil:
1) Klien tidak mengatakan sesak nafas
2) Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot
3) dinding dada.
4) Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
5) bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
6) kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi,
irama nafas, adanya sianosis. Kaji suara
nafas tambahan (rongki, mengi, krekels).
2. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler
30o Berikan posisi semi prone lateral/
miring, jika tak ada kejang selama 4 jam
pertama rubah posisi miring atau terlentang
tiap 2 jam.
3. Anjurkan pasien untuk minum hangat
(minimal 2000 ml/hari).
4. Kolaborasi terapi oksigen sesuai indikasi.
5. Lakukan section dengan hati-hati (takanan,
irama, lama) selama 10-15 detik,
1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi/atelektasi atau
pneumonia (komplikasi yang sering
terjadi).
2. Meningkatkan ventilasi semua bagian
paru, mobilisasi serkret mengurangi
resiko komplikasi, posisi tengkulup
mengurangi kapasitas vital paru,
dicurigai dapat menimbulkan
peningkatan resiko terjadinya gagal
nafas.
3. Membantu mengencerkan sekret,
meningkatkan mobilisasi sekret/
sebagai ekspektoran.
4. Memaksimalkan bernafas dan
menurunkan kerja nafas. Mencegah
hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan.
Biasanya dengan menggunakan
ventilator mekanis.
5. Penghisapan yang rutin, beresiko
terjadi hipoksia, bradikardi (karena
respons vagal), trauma jaringan oleh
catat, sifat, warna dan bau sekret
6. Kolaborasi dengan pemeriksaan AGD,
tekanan oksimetri.
karenanya kebutuhan penghisapan
didasarkan pada adanya
ketidakmampuan untuk mengeluarkan
sekret.
6. Menyatakan keadaan ventilasi atau
oksigen, mengidentifikasi masalah
pernafasan, contoh: hiperventilasi
(PaO2 rendah/ PaCO2 mengingkat)
atau adanya komplikasi paru.
Menentukan kecukupan oksigen,
keseimbangan asam-basa dan
kebutuhan akan terapi.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine
dan elektrolit meningkat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan
keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan
Kriteria Hasil:
1) Menunjukan membran mukosa lembab
2) Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tanda klinis dehidrasi atau
kelebihan cairan.
2. Catat masukan dan haluaran,
hitung keseimbangan cairan,
ukur berat jenis urine.
3. Berikan air tambahan sesuai
1. Deteksi dini dan intervensi
dapatmencegah
kekurangan/kelebihan fluktuasi
keseimbangan cairan.
2. Kehilangan urinarius dapat
menunjukan terjadinya dehidrasi
dan berat jenis urine adalah
indikator hidrasi dan fungsi renal.
3. Dengan formula kalori lebih tinggi,
indikasi
4. Kolaborasi pemeriksaan lab.
kalium/fosfor serum, Ht dan
albumin serum
tambahan air diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
4. Hipokalimia/fofatemia dapat
terjadi karena perpindahan
intraselluler selama pemberian
makan awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak diatasi.
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang
digunakan untuk mengunyah dan menelan
Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3
x 24 jam dengan Kiteria Hasil:
1) Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam rentang normal.
2) Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji kemampuan pasien untuk
mengunyah dan menelan, batuk
dan mengatasi sekresi.
2. Auskultasi bising usus, catat
adanya penurunan/hilangnya
atau suara hiperaktif.
3. Jaga keamanan saat memberikan
makan pada pasien, seperti
meninggikan kepala selama
makan atatu selama pemberian
makan lewat NGT.
4. Berikan makan dalam porsi kecil
dan sering dengan teratur.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi.
1. Faktor ini menentukan terhadap
jenis makanan sehingga pasien
harus terlindung dari aspirasi.
2. Bising usus membantu dalam
menentukan respon untuk makan
atau berkembangnya komplikasi
seperti paralitik ileus.
3. Menurunkan regurgitasi dan
terjadinya aspirasi.
4. Meningkatkan proses pencernaan
dan toleransi pasien terhadap
nutrisi yang diberikan dan dapat
meningkatkan kerjasama pasien
saat makan
5. Metode yang efektif untuk
memberikan kebutuhan kalori..
e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam rasa nyeri dapat
berkurang/ hilang dengan Kriteria Hasil:
1) Sekala nyeri berkurang 3-1
2) Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien rileks
INTERVENSI RASIONAL1. Teliti keluhan nyeri, catat
intensitasnya, lokasinya dan
lamanya.
2. Catat kemungkinan
patofisiologi yang
khas,misalnya adanya infeksi,
trauma servikal.
3. Berikan tindakan
kenyamanan, misal pedoman
imajinasi, visualisasi, latihan
nafas dalam, berikan aktivitas
hiburan, kompres
4. Kolaborasi dengan pemberian
obat anti nyeri, sesuai indikasi
misal, dentren (dantrium)
analgesik; antiansietas missal
1. Mengidentifikasi karakteristik nyeri
merupakan faktor yang penting untuk
menentukan terapi yang cocok serta
mengevaluasi keefektifan dari terapi.
2. Pemahaman terhadap penyakit yang
mendasarinya membantu dalam
memilih intervensi yang sesuai.
Menfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan koping.
3. Tindakan alternatif mengontrol nyeri
4. Dibutuhkan untuk menghilangkan
spasme/nyeri otot atau untuk
menghilangkan ansietas dan
meningkatkan istirahat.
diazepam (valium).
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan kognitif,
penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan
Kriteri Hasil :
1) Tidak adanya kontraktur, footdrop.
2) Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
3) Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya
INTERVENSI RASIONAL
1. Periksa kembali kemampuan
dan keadaan secara fungsional
pada kerusakan yang terjadi.
2. Berikan bantu untuk latihan
rentang gerak
3. Bantu pasien dalam program
latihan dan penggunaan alat
mobilisasi.
4. Tingkatkan aktivitas dan
partisipasi dalam merawat diri
sendiri sesuai kemampuan
1. Mengidentifikasi kerusakan
secara fungsional dan
mempengaruhi pilihan intervensi
yang akan dilakukan.
2. Mempertahankan mobilitas dan
fungsi sendi/ posisi normal
ekstrimitas dan menurunkan
terjadinya vena statis.
3. Proses penyembuhan yang lambat
seringakli menyertai trauma
kepala dan pemulihan fisik
merupakan bagian yang sangat
penting.
4. Keterlibatan pasien dalam
program latihan sangat penting
untuk meningkatkan kerja sama
atau keberhasilan program.
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial.
Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x
24 jam Kriteria Hasil :
1) Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
2) Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji kesadaran sensori dengan
sentuhan, panas/ dingin, benda
tajam/tumpul dan kesadaran
terhadap gerakan.
2. Evaluasi secara teratur perubahan
orientasi, kemampuan berbicara,
alam perasaan, sensori dan
proses pikir.
3. Bicara dengan suara yang lembut
dan pelan. Gunakan kalimat
pendek dan sederhana.
Pertahankan kontak mata.
4. Berikan lingkungan terstruktur
rapi, nyaman dan buat jadwal
untuk klien jika mungkin dan
tinjau kembali.
1. Semua sistem sensori dapat
terpengaruh dengan adanya
perubahan yang melibatkan
peningkatan atau penurunan
sensitivitas atau kehilangan
sensasi untuk menerima dan
berespon sesuai dengan stimuli.
2. Fungsi cerebral bagian atas
biasanya terpengaruh lebih
dahulu oleh adanya gangguan
sirkulasi,oksigenasi. Perubahan
persepsi sensori motorik dan
kognitif mungkin akan
berkembang dan menetap dengan
perbaikan respon secara bertahap
3. Pasien mungkin mengalami
keterbatasan perhatian atau
pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan tindakan
ini akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
4. Pasien mungkin mengalami
keterbatasan perhatian atau
pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan tindakan
ini akan membantu pasien untuk
5. Kolaborasi pada ahli fisioterapi,
terapi okupasi, terapi wicara dan
terapi kognitif.
memunculkan komunikasi.
5. Pendekatan antar disiplin ilmu
dapat menciptakan rencana
panatalaksanaan terintegrasi yang
berfokus pada masalah klien
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan
keseadaran. Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi Kriteria hasil:
1. Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan klien dapat
menunjukan komunikasi dengan baik.
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji derajat disfungsi
2. Mintalah klien untuk mengikuti
perintah
3. Anjurkan keluarga untuk
berkomunikasi dengan klien
1. Membantu menentukan daerah
atau derajat kerusakan serebral
yang terjadi dan kesulitan pasien
dalam proses komunikasi.
2. Melakukan penelitian terhadap
adanya kerusakan sensori
3. Untuk merangsang komunikasi
pasien, mengurangi isolasi sosial
dan meningkatkan penciptaan
komunikasi yang efektif..
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
Kiteria Hasil:
a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5OC)
INTERVENSI RASIONAL
1. Berikan perawatan aseptic dan
antiseptik, pertahankan teknik cuci
1. Cara pertama untuk menghindari
nosokomial infeksi, menurunkan
tangan
2. Observasi daerah kulit yang
mengalami kerusakan, kaji keadaan
luka, catat adanya kemerahan,
bengkak, pus daerah yang terpasang
alatinvasi dan TTV
3. Anjurkan klien untuk memenuhi
nutrisi dan hidrasi yang adekuat.
4. Batasi pengunjung yang dapat
menularkan infeksi
5. Pantau hasil pemeriksaan lab, catat
adanya leukositosis
6. Kolaborasi pemberian atibiotik
sesuai indikasi.
jumlah kuman patogen .
2. Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya, monitoring adanya
infeksi.
3. Meningkatkan imun tubuh terhadap
infeksi
4. Menurunkan pemajanan terhadap
pembawa kuman infeksi.
5. Leukosit meningkat pada keadaan
infeksi
6. Menekan pertumbuhan kuman
pathogen.