cidera kepala

40
LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA A. PENGERTIAN Menurut Morton (2012), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Brunner dan Suddarth , (2007) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006). Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

Upload: andritarulana

Post on 12-Dec-2015

65 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

cidera kepala ringan

TRANSCRIPT

Page 1: CIDERA KEPALA

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA

A. PENGERTIAN

Menurut Morton (2012), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada

kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Brunner dan Suddarth ,

(2007) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang

terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar,

leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural,

intraserebral, batang otak.

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau

deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan

otak (Pierce & Neil. 2006).

Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera

kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital

ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik

dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana

menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala

adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara

langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan

terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.

Page 2: CIDERA KEPALA

B. Macam-macam cedera kepala

Menurut, Morton, (2012) cedera kepala ada 2 macam yaitu:

a. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka

penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk

dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan

masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak

akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman

pathogen memiliki abses langsung ke otak.

b. Cedera kepala tertutup

Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang

mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian

serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:

kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.

C. Klasifikasi cedera kepala

Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari

Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu :

a. Ringan

1) GCS = 13 – 15

2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30

menit.

3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

Page 3: CIDERA KEPALA

b. Sedang

1) GCS = 9 – 12

2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang

dari 24 jam.

3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c. Berat

1) GCS = 3 – 8

2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. Tengkorak

Tulang tengkorak

menurut, Evelyn C Pearce

(2008) merupakan struktur

tulang yang menutupi dan

melindungi otak, terdiri

dari tulang kranium dan

tulang muka. Tulang

kranium terdiri dari 3

lapisan:

Lapisan luar, etmoid dan

lapisan dalam. Lapisan

luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur

yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior

didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis,

parientalis,oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.

Page 4: CIDERA KEPALA

2. Meningen

Pearce, Evelyn C.

(2008) otak dan

sumsum tulang

belakang diselimuti

meningia yang

melindungi syruktur

saraf yang halus itu,

membawa pembulu

darah dan dengan

sekresi sejenis cairan,

yaitu: cairan

serebrospinal yang

memperkecil benturan atau goncangan. Selaput

meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:

a. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu

ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,

pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus

sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami

robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior

mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari

sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang

Page 5: CIDERA KEPALA

besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui

pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit

kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4)

perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-

arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium

ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi

pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering

mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media

fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat

lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga

dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar

yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,

disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang

terisi oleh liquor serebrospinalis . Perdarahan sub arakhnoid umumnya

disebabkan akibat cedera kepala.

c. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk

kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh pia mater.

3. Otak

Menurut Ganong, (2007); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:

a. Cerebrum

Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan

kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital,

Page 6: CIDERA KEPALA

temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda,

yaitu:

1) Lobus frontalis

Lobus frontalis pada

korteks serebri terutama

mengendalikan keahlian

motorik misalnya menulis,

memainkan alat musik atau

mengikat tali sepatu. Lobus

frontalis juga mengatur

ekspresi wajah dan isyarat

tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap

aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari

kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi

kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu

sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata,

meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke

bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan

kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau

samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,

kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.

2) Lobus parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,

tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan

matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga

membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi

dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis

Page 7: CIDERA KEPALA

menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang

agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan

serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah

kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita

dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa

mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik

misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung

atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan

sehari-hari lainnya.

3) Lobus temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan

mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga

memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya

kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis

sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan

pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan

menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan

lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami

perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama

yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

4) Lobus Oksipital

Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan

kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.

b. Cereblum

Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah

lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan

menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi

dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan

posisi dan mengintegrasikan input sensori.

Page 8: CIDERA KEPALA

c. Brainstem

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah

midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer

sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek

pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah

dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara

medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula

oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat

otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung,

pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.

4. Syaraf-Syaraf Otak

Suzanne C Smeltzer, (2005) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala

meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan

nervus yaitu:

a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)

Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan

aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.

b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)

Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.

c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)

menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris

dan otot iris.

d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya

terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.

e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)

Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang.

Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,

sarafnya yaitu:

Page 9: CIDERA KEPALA

1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan

kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.

2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,

palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.

3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-

otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit

daerah temporal dan dagu.

f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)

Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf

penggoyang sisi mata

g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi

otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat

serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala

fungsinya sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.

h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)

Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari

pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.

i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf

ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.

j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)

Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,

sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum

minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf

perasa.

k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),

Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,

fungsinya sebagai saraf tambahan

l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)

Page 10: CIDERA KEPALA

Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini

terdapat di dalam sumsum penyambung.

E. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI

Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:

1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

3. Cedera akibat kekerasan.

4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat

merobek otak.

5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.

6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek

otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

F. PATOFISIOLOGI

Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya

konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika

benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat

pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan

deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak,

seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan

bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila

posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan

pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan

pada substansi alba dan batang otak. Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua

macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak

primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan

merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak

banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang

Page 11: CIDERA KEPALA

sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang

terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi

substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan

trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem

dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang

berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan

fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan

autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi

karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan

adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai

pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan

hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas

kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial,

dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo,

2009).

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan

terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,

perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf

kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas

(Brain, 2009).

G. MANIFESTASI KLINIK

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.

1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)

a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.

b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau

lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

Page 12: CIDERA KEPALA

2. Cedera kepala sedang, Diane C (2008)

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau

hahkan koma.

b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,

perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,

kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

3. Cedera kepala berat, Diane C (2008)

a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah

terjadinya penurunan kesehatan.

b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,

fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.

d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.

H. KOMPLIKASI

Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma

intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala

adalah;

1. Edema pulmonal

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari

gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru

terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan

perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah

sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila

keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi

respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk

keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang

membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.

Page 13: CIDERA KEPALA

Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah

dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada

proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan

karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut

2. Peningkatan TIK

Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan

herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir

dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi

serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta

kematian.

3. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat

harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan

spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,

juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya

mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya

tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam

merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan

secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama

pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.

4. Kebocoran cairan serebrospinalis

Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur

tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,

sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau

dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan

klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.

5. Infeksi

I. PENATALAKSANAAN

1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai

dengan berat ringannya trauma.

Page 14: CIDERA KEPALA

2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.

3. Pemberian analgetik.

4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%

atau gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi

anaerob diberikan metronidazole.

6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari

terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

7. Pembedahan.

(Smelzer, 2001)

J. PENGKAJIAN FOKUS

1. Riwayat kesehatan

Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat

kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.

2. Pemeriksaan fisik

a. Sistem respirasi:

Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,

ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan

karena aspirasi).

b. Kardiovaskuler: Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK

c. Kemampuan komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau

afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.

d. Psikososial: Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien

dari keluarga.

e. Aktivitas/istirahat

S:Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan

O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam

berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.

f. Sirkulasi

Page 15: CIDERA KEPALA

O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan

frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.

g. Integritas Ego

S : Perubahan tingkah laku/kepribadian

O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan

depresi

h. Eliminasi

O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.

i. Makanan/cairan

S : Mual, muntah, perubahan selera makan

O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).

j. Neurosensori

S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,

perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.

O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi,

kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap

cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta

pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap

sentuhan / gerakan.

k. Nyeri/Keyamanan

S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.

O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang

hebat, gelisah

l. Keamanan

S : Trauma/injuri kecelakaan

O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang

kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh.

m. Penyuluhan/Pembelajaran

Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang

(Doenges, 1999)

3. Pemeriksaan Penunjang

Page 16: CIDERA KEPALA

a. Scan CT (tanpa/denga kontras)

Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,

pergeseran jaringan otak.

b. MRI

Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.

c. Angiografi serebral

Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan otak akibat

edema, perdarahan, trauma

d. EEG

Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.

e. Sinar X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur

dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.

f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)

Menentukan fungsi korteks dan batang otak.

g. PET (Positron Emission Tomography)

Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.

h. Fungsi lumbal, CSS

Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.

i. GDA (Gas Darah Artery)

Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat

meningkatkan TIK.

j. Kimia /elektrolit darah

Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan

TIK/perubahan mental.

k. Pemeriksaan toksikologi

Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan

kesadaran.

l. Kadar antikonvulsan darah

Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif untuk

mengatasi kejang.

Page 17: CIDERA KEPALA

(Doenges, 1999)

FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL

1. Diagnosa Keperawatan:

a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan ruangan

untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral ( Nanda 2013 )

b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,

kerusakan medula oblongata neuromaskuler ( Nanda 2013).

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine

dan elektrolit meningkat (Carpenito, 2005).

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang

digunakan untuk mengunyah dan menelan (Doenges, 1999).

e. Nyeri akut ( Nanda 2013 )

f. Hambatan mobilitas fisik berhubungandengankerusakan persepsi / kognitif, terapi

pembatasan / kewaspadaan keamanan, missal tirah baring, immobilisasi ( Nanda 2013 )

g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan

tekanan intra kranial (Doenges, 1999).

h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan

keseadaran (Carpenito, 1999).

i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

(Carpenito, 2005).

2. Intervensi dan Rasional:

a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan

tekanan intracranial

Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi

jaringan serebral kembali normal.

Kiteria Hasil:

1) Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala

2) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial

Page 18: CIDERA KEPALA

3) Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13

4) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji tingkat kesadaran.

2. Pantau status neurologis secara

teratur, catat adanya nyeri kepala,

pusing.

3. Tinggikan posisi kepala 15- 30

derajat

4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi,

input dan output, lalu catat

hasilnya.

5. Kolaborasi pemberian

6. Anjurkan orang terdekat

untuk berbicara dengan klien.

1. Mengetahui kestabilan klien.

2. Mengkaji adanya kecendeungan

pada tingkat kesadaran dan resiko

TIK meningkat.

3. Untuk menurunkan tekanan vena

jugularis.

4. Peningkatan tekanan darah

sistemik yang diikuti dengan

penurunan tekanan darah diastolik

serta napas yang tidak teratur

merupakan tanda peningkatan

TIK.

5. Mengurangi keadaan hipoksia

6. Ungkapan keluarga yang

menyenangkan klien tampak

mempunyai efek relaksasi pada

beberapa klien koma yang akan

menurunkan TIK.

b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,

kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.

Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas

efektif dengan Kriteria hasil:

Page 19: CIDERA KEPALA

1) Klien tidak mengatakan sesak nafas

2) Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot

3) dinding dada.

4) Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat

5) bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,

6) kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi,

irama nafas, adanya sianosis. Kaji suara

nafas tambahan (rongki, mengi, krekels).

2. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler

30o Berikan posisi semi prone lateral/

miring, jika tak ada kejang selama 4 jam

pertama rubah posisi miring atau terlentang

tiap 2 jam.

3. Anjurkan pasien untuk minum hangat

(minimal 2000 ml/hari).

4. Kolaborasi terapi oksigen sesuai indikasi.

5. Lakukan section dengan hati-hati (takanan,

irama, lama) selama 10-15 detik,

1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau

menyebabkan akumulasi/atelektasi atau

pneumonia (komplikasi yang sering

terjadi).

2. Meningkatkan ventilasi semua bagian

paru, mobilisasi serkret mengurangi

resiko komplikasi, posisi tengkulup

mengurangi kapasitas vital paru,

dicurigai dapat menimbulkan

peningkatan resiko terjadinya gagal

nafas.

3. Membantu mengencerkan sekret,

meningkatkan mobilisasi sekret/

sebagai ekspektoran.

4. Memaksimalkan bernafas dan

menurunkan kerja nafas. Mencegah

hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan.

Biasanya dengan menggunakan

ventilator mekanis.

5. Penghisapan yang rutin, beresiko

terjadi hipoksia, bradikardi (karena

respons vagal), trauma jaringan oleh

catat, sifat, warna dan bau sekret

Page 20: CIDERA KEPALA

6. Kolaborasi dengan pemeriksaan AGD,

tekanan oksimetri.

karenanya kebutuhan penghisapan

didasarkan pada adanya

ketidakmampuan untuk mengeluarkan

sekret.

6. Menyatakan keadaan ventilasi atau

oksigen, mengidentifikasi masalah

pernafasan, contoh: hiperventilasi

(PaO2 rendah/ PaCO2 mengingkat)

atau adanya komplikasi paru.

Menentukan kecukupan oksigen,

keseimbangan asam-basa dan

kebutuhan akan terapi.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine

dan elektrolit meningkat.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan

keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan

Kriteria Hasil:

1) Menunjukan membran mukosa lembab

2) Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji tanda klinis dehidrasi atau

kelebihan cairan.

2. Catat masukan dan haluaran,

hitung keseimbangan cairan,

ukur berat jenis urine.

3. Berikan air tambahan sesuai

1. Deteksi dini dan intervensi

dapatmencegah

kekurangan/kelebihan fluktuasi

keseimbangan cairan.

2. Kehilangan urinarius dapat

menunjukan terjadinya dehidrasi

dan berat jenis urine adalah

indikator hidrasi dan fungsi renal.

3. Dengan formula kalori lebih tinggi,

Page 21: CIDERA KEPALA

indikasi

4. Kolaborasi pemeriksaan lab.

kalium/fosfor serum, Ht dan

albumin serum

tambahan air diperlukan untuk

mencegah dehidrasi.

4. Hipokalimia/fofatemia dapat

terjadi karena perpindahan

intraselluler selama pemberian

makan awal dan menurunkan

fungsi jantung bila tidak diatasi.

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang

digunakan untuk mengunyah dan menelan

Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3

x 24 jam dengan Kiteria Hasil:

1) Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam rentang normal.

2) Peningkatan berat badan sesuai tujuan.

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kemampuan pasien untuk

mengunyah dan menelan, batuk

dan mengatasi sekresi.

2. Auskultasi bising usus, catat

adanya penurunan/hilangnya

atau suara hiperaktif.

3. Jaga keamanan saat memberikan

makan pada pasien, seperti

meninggikan kepala selama

makan atatu selama pemberian

makan lewat NGT.

4. Berikan makan dalam porsi kecil

dan sering dengan teratur.

5. Kolaborasi dengan ahli gizi.

1. Faktor ini menentukan terhadap

jenis makanan sehingga pasien

harus terlindung dari aspirasi.

2. Bising usus membantu dalam

menentukan respon untuk makan

atau berkembangnya komplikasi

seperti paralitik ileus.

3. Menurunkan regurgitasi dan

terjadinya aspirasi.

4. Meningkatkan proses pencernaan

dan toleransi pasien terhadap

nutrisi yang diberikan dan dapat

meningkatkan kerjasama pasien

saat makan

5. Metode yang efektif untuk

memberikan kebutuhan kalori..

Page 22: CIDERA KEPALA

e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi.

Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam rasa nyeri dapat

berkurang/ hilang dengan Kriteria Hasil:

1) Sekala nyeri berkurang 3-1

2) Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien rileks

INTERVENSI RASIONAL1. Teliti keluhan nyeri, catat

intensitasnya, lokasinya dan

lamanya.

2. Catat kemungkinan

patofisiologi yang

khas,misalnya adanya infeksi,

trauma servikal.

3. Berikan tindakan

kenyamanan, misal pedoman

imajinasi, visualisasi, latihan

nafas dalam, berikan aktivitas

hiburan, kompres

4. Kolaborasi dengan pemberian

obat anti nyeri, sesuai indikasi

misal, dentren (dantrium)

analgesik; antiansietas missal

1. Mengidentifikasi karakteristik nyeri

merupakan faktor yang penting untuk

menentukan terapi yang cocok serta

mengevaluasi keefektifan dari terapi.

2. Pemahaman terhadap penyakit yang

mendasarinya membantu dalam

memilih intervensi yang sesuai.

Menfokuskan kembali perhatian,

meningkatkan rasa kontrol dan dapat

meningkatkan koping.

3. Tindakan alternatif mengontrol nyeri

4. Dibutuhkan untuk menghilangkan

spasme/nyeri otot atau untuk

menghilangkan ansietas dan

meningkatkan istirahat.

Page 23: CIDERA KEPALA

diazepam (valium).

f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan kognitif,

penurunan kekuatan dan kelemahan.

Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan

Kriteri Hasil :

1) Tidak adanya kontraktur, footdrop.

2) Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.

3) Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya

INTERVENSI RASIONAL

1. Periksa kembali kemampuan

dan keadaan secara fungsional

pada kerusakan yang terjadi.

2. Berikan bantu untuk latihan

rentang gerak

3. Bantu pasien dalam program

latihan dan penggunaan alat

mobilisasi.

4. Tingkatkan aktivitas dan

partisipasi dalam merawat diri

sendiri sesuai kemampuan

1. Mengidentifikasi kerusakan

secara fungsional dan

mempengaruhi pilihan intervensi

yang akan dilakukan.

2. Mempertahankan mobilitas dan

fungsi sendi/ posisi normal

ekstrimitas dan menurunkan

terjadinya vena statis.

3. Proses penyembuhan yang lambat

seringakli menyertai trauma

kepala dan pemulihan fisik

merupakan bagian yang sangat

penting.

4. Keterlibatan pasien dalam

program latihan sangat penting

untuk meningkatkan kerja sama

atau keberhasilan program.

g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan

tekanan intra kranial.

Page 24: CIDERA KEPALA

Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x

24 jam Kriteria Hasil :

1) Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.

2) Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kesadaran sensori dengan

sentuhan, panas/ dingin, benda

tajam/tumpul dan kesadaran

terhadap gerakan.

2. Evaluasi secara teratur perubahan

orientasi, kemampuan berbicara,

alam perasaan, sensori dan

proses pikir.

3. Bicara dengan suara yang lembut

dan pelan. Gunakan kalimat

pendek dan sederhana.

Pertahankan kontak mata.

4. Berikan lingkungan terstruktur

rapi, nyaman dan buat jadwal

untuk klien jika mungkin dan

tinjau kembali.

1. Semua sistem sensori dapat

terpengaruh dengan adanya

perubahan yang melibatkan

peningkatan atau penurunan

sensitivitas atau kehilangan

sensasi untuk menerima dan

berespon sesuai dengan stimuli.

2. Fungsi cerebral bagian atas

biasanya terpengaruh lebih

dahulu oleh adanya gangguan

sirkulasi,oksigenasi. Perubahan

persepsi sensori motorik dan

kognitif mungkin akan

berkembang dan menetap dengan

perbaikan respon secara bertahap

3. Pasien mungkin mengalami

keterbatasan perhatian atau

pemahaman selama fase akut dan

penyembuhan. Dengan tindakan

ini akan membantu pasien untuk

memunculkan komunikasi.

4. Pasien mungkin mengalami

keterbatasan perhatian atau

pemahaman selama fase akut dan

penyembuhan. Dengan tindakan

ini akan membantu pasien untuk

Page 25: CIDERA KEPALA

5. Kolaborasi pada ahli fisioterapi,

terapi okupasi, terapi wicara dan

terapi kognitif.

memunculkan komunikasi.

5. Pendekatan antar disiplin ilmu

dapat menciptakan rencana

panatalaksanaan terintegrasi yang

berfokus pada masalah klien

h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan

keseadaran. Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi Kriteria hasil:

1. Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan klien dapat

menunjukan komunikasi dengan baik.

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji derajat disfungsi

2. Mintalah klien untuk mengikuti

perintah

3. Anjurkan keluarga untuk

berkomunikasi dengan klien

1. Membantu menentukan daerah

atau derajat kerusakan serebral

yang terjadi dan kesulitan pasien

dalam proses komunikasi.

2. Melakukan penelitian terhadap

adanya kerusakan sensori

3. Untuk merangsang komunikasi

pasien, mengurangi isolasi sosial

dan meningkatkan penciptaan

komunikasi yang efektif..

i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam

Kiteria Hasil:

a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu

b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5OC)

INTERVENSI RASIONAL

1. Berikan perawatan aseptic dan

antiseptik, pertahankan teknik cuci

1. Cara pertama untuk menghindari

nosokomial infeksi, menurunkan

Page 26: CIDERA KEPALA

tangan

2. Observasi daerah kulit yang

mengalami kerusakan, kaji keadaan

luka, catat adanya kemerahan,

bengkak, pus daerah yang terpasang

alatinvasi dan TTV

3. Anjurkan klien untuk memenuhi

nutrisi dan hidrasi yang adekuat.

4. Batasi pengunjung yang dapat

menularkan infeksi

5. Pantau hasil pemeriksaan lab, catat

adanya leukositosis

6. Kolaborasi pemberian atibiotik

sesuai indikasi.

jumlah kuman patogen .

2. Deteksi dini perkembangan infeksi

memungkinkan untuk melakukan

tindakan dengan segera dan

pencegahan terhadap komplikasi

selanjutnya, monitoring adanya

infeksi.

3. Meningkatkan imun tubuh terhadap

infeksi

4. Menurunkan pemajanan terhadap

pembawa kuman infeksi.

5. Leukosit meningkat pada keadaan

infeksi

6. Menekan pertumbuhan kuman

pathogen.