bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Enuresis
1. Pengertian
Enuresis adalah gangguan umum dan bermasalah yang
didefinisikan sebagai keluarnya urine yang disengaja atau involunter
ditempat tidur (biasanya dimalam hari) atau pada pakaian disiang hari dan
terjadi pada anak-anak yang usianya secara normal telah memiliki kendali
terhadap kandung kemih secara volunter (Wong, 2008).
Enuresis didefinisikan sebagai berkemih berulang terjadi di
pakaian pada siang hari atau ke tempat tidur pada malam hari pada anak-
anak yang menurut perkembangan lebih tua dari 5 tahun. Kejadian itu
harus terjadi setidaknya dua kali seminggu selama 3 bulan atau
ketidakmampuan yang bermakna atau penurunan. Kategori enuresis
dibagi menjadi primer tanpa komplikasi (monosymptomatic) nocturnal
enuresis (periode tidak lebih dari 6 bulan kering di malam hari, tidak ada
gejala siang hari). Sekunder atau rumit nocturnal enuresis (malam waktu
basah setelah jangka waktu 6 bulan menjadi kering dan / atau adanya
gejala siang hari), dan inkontinensia sepanjang waktu (Wolraich, 2008).
Enuresis adalah inkontinensia urine pada usia dimana seharusnya seorang
anak sudah mampu berkemih secara normal, merupakan salah satu
masalah perkembangan yang sering dijumpai (Daulay, 2008).
13
Mengompol merupakan persoalan yang sering didiskusikan dan
menimbulkan perbedaan pendapat mengenai kejadian dan perawatannya.
Mengompol adalah akibat dari pengeluaran air kemih normal tetapi pada
saat dan tempat yang tidak diinginkan. Enuresis umumnya terjadi pada
anak-anak namun kadang-kadang juga pada remaja dan orang dewasa
(Kurniawati, 2008).
Pada umumnya definisi enuresis ialah suatu kelainan fungsional
dalam mengendalikan pengosongan kandung kemih. Dari kelainan
fungsional tersebut di atas, muncul masalah yang diakui merupakan salah
satu faktor kesulitan untuk memberikan definisi enuresis. Masalah tersebut
ialah batasan umur anak yang dianggap telah dapat mengendalikan
engosongan kandung kemihnya. Pengertian lain menyebutkan bahwa
enuresis adalah pengeluaran urin yang tidak di sadari oleh anak berumur 5
tahun atau lebih baik siang maupun malam hari (Suwardi, 2000).
2. Penyebab
Enuresis sekunder biasanya terjadi ketika anak tiba-tiba
mengalami stres kejiwaan, seperti pelecehan seksual, kematian dalam
keluarga, kepindahan, mendapat adik baru, perceraian orang tua atau
masalah psikis lainnya. Selain itu, kondisi fisik yang terganggu seperti
adanya infeksi salura kencing, kencing manis, susah buang air besar, dan
alergi juga dapat menyebabkan enuresis sekunder. Anak yang sulit
menahan kencing sewaktu tidur malam (enuresis nokturnal), berhubungan
erat dengan faktor gangguan psikologis. Namun ahli lain menyatakan
14
bahwa faktor lain seperti keturunan atau adanya kelainan pada kandung
kencing bisa juga menjadi penyebab (kurniawati, 2008). Enuresis pada
seorang anak disebabkan tidak hanya oleh satu faktor saja. Misalnya,
enuresis yang dianggap sebagai akibat hambatan perkembangan
fungsional kandung kemih dapat diprovokasi oleh kelainan lokal atau
masalah psikologik. Namun sering pula etiologi enuresis tidak diketahui
(Suwardi, 2000).
Beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi enuresis pada
anak adalah sebagai berikut :
a. Faktor Genetik
Penelitian akhir-akhir ini mengidentifikasikan bahwa pada
penderita enuresis terdapat gen yang dominan pada kromosom 13.
Adanya penemuan baru dan identifikasi dari produksi gen tersebut
cukup dapat memberikan pemahaman baru tentang enuresis (Daulay,
2008).
Hallgren dalam Suwardi (2000) menemukan sekitar 70%
keluarga dengan anak enuresis , salah satu atau lebih anggota keluarga
lainnya juga menderita enuresis , dan sekitar 40% sekurang-kurangnya
satu diantara orang tuanya mempunyai riwayat enuresis . Penelitian
pada anak kembar menunjukkan bahwa anak kembar monozigot 68%
akan mengalami enuresis dan kembar dizigot sebesar 36%.
15
b. Faktor Sosial dan Psikologis
Frued dalam Kurniawati (2008) menyatakan bahwa anak yang
sulit menahan kencing sewaktu tidur malam berhubungan erat dengan
gangguan psikologis anak. Enuresis sekunder bisa terjadi akibat faktor
psikologis, biasanya terjadi ketika anak tiba-tiba mengalami stres
kejiwaan seperti pelecehan seksual, kematian dalam keluarga,
kepindahan, mendapat adik baru, perceraian orang tua atau masalah
psikis lainnya. Langkah awal yang harus diambil dalam mengatasi
enuresis sekunder adalah mengenali perubahan-perubahan mendadak
yang terjadi dalam kehidupan anak. Bila anak mengalami stres
kejiwaan, penanganan secara psikologis lebih dibutuhkan. Penanganan
anak yang mengalami enuresis memang tidak mudah. Tapi setidaknya
kasih sayang, kesabaran serta pengertian orang tua untuk tidak
memarahi atau menghukum ketika anak mengompol akan membantu
membangun kepercayaan dirinya. Pengaruh buruk secara psikologis
dan sosial yang menetap akibat ngompol akan mempengaruhi kualitas
hidup anak sebagai seorang manusia dewasa kelak.
c. Faktor tidur
Pola tidur nyenyak pada anak berperan penting untuk
terjadinya enuresis , pola tidur yang nyenyak, umumnya ditemukan
pada anak enuresis primer dan kebanyakan laki-laki, penelitian
menunjukkan bahwa anak dengan enuresis cenderung tidur lebih
16
nyenyak secara bermakna dibandingka dengan saudaranya yang tidak
enuresis.
Anak dengan enuresis tidak bangun dalam menanggapi sensasi
kandung kemih penuh. Orangtua telah lama mengklaim bahwa anak-
anak mereka dengan mengompol senang tidur, temuan yang sering
dikaitkan dengan bias seleksi karena anak enuresis wilth mereka adalah
satu-satunya anak mereka terbangun untuk buang air kecil. Namun,
penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak dengan mengompol
memiliki batas yang lebih tinggi untuk gairah: misalnya, stimulus yang
terbangun 40% dari kontrol terbangun hanya 9% dari pasien enuresis
dalam satu sampel dari 33 anak laki-laki. Tidur studi anak-anak dengan
mengompol tidak seragam yang berbeda dari orang-orang dari kontrol,
dan tidak ada waktu spesifik dari malam atau tahap tidur ketika enuresis
lebih mungkin terjadi (Wolraich, 2008)
d. Kapasitas kandung kemih
Sebuah missmatch antara produksi urin dan jumlah urin yang
terkandung dalam kandung kemih pada malam hari tampaknya
menyebabkan mengompol juga. Dalam irama cicardian normal, tubuh
memproduksi urin kurang per jam pada malam hari dibandingkan siang
hari, dalam beberapa unrine anak nokturnal out put mungkin gagal
untuk mengurangi dan karenanya menguasai kemampuan kandung
kemih untuk mencegah arus keluar. Anak-anak lain bisa mengeluarkan
jumlah yang cukup hormon antidiuretik diproduksi. Populasi ini dapat
17
dibantu dengan desmopresin (DDAVP), yang mengalami penurunan
produksi urin dan selanjutnya dijelaskan untuk ketidakcocokan
menurun kapasitas kandung kemih fungsional, yang berarti
mengosongkan kandung kemih sebelum diisi, meskipun temuan studi
dicampur (Wolraich, 2008).
e. Prematuritas (keterlambatan perkembangan neurologis)
Mufattahah (2006) menyatakan bahwa toilet training
merupakan cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol buang air
kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Dengan toilet training
diharapkan dapat melatih anak untuk mampu buang air kecil (BAK)
dan buang air besar (BAB) pada tempat yang telah ditentukan. Dasar
keadaan ini adalah kesulitan mekanisme hambatan yang mengatur
pengosongan kandung kemih. Pengendalian kandung kemih merupakan
keterampilan yang dipelajari sendiri, anak akan belajar mengkoordinasi
penggunaan otot-otot levator ani, diafragma dan otot-otot abdomen
yang menghasilkan voluntary mechanism berkemih. Melalui
mekanisme ini anak dapat menggandakan kapasitas kandung kemihnya
4,5 tahun dibandingkan dengan kapasitas kandung kemihnya pada umur
2 tahun. Anak yang gagal menggandakan kapasitas kadung kemihnya
akan menjadi anak enuretik (Suwardi, 2000).
f. Kontipasi
Sering dijumpai anak yang mempunyai masalah pencernaan
juga mengalami enuresis. Enkopresis biasanya menyebabkan
18
konstipasi, yang menyebabkan dilatasi rektum yang menekan kandung
kemih dan menyebabkan pengendalian kandung kemih yang sulit.
Menurut Robson dkk konstipasi lebih sering berhubungan dengan
enuresis nocturnal primer (Daulay, 2008).
3. Cara Mengukur Enuresis
Kurniawati (2008) melakukan penelitian tentang kejadian
enuresis berdasarkan faktor psikologis dan keturunan pada anak usia
prasekolah 4 – 5 tahun di TK Sekar Ratih Krembangan Jaya Selatan
Surabaya melakukan observasi untuk mengukur variabel kejadian enuresis
selama 1 minggu hasil observasi di kategorikan menjadi enuresis jarang
sekali, jarang, sering, sering sekali
B. Toilet training
1. Pengertian
Toilet training merupakan suatu proses yang paling utama bagi
anak yang telah mencapai kesiapan untuk toilet training. Mufattahah
(2006) menyatakan bahwa toilet training merupakan cara untuk melatih
anak agar bisa mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar
(BAB). Dengan toilet training diharapkan dapat melatih anak untuk
mampu buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) pada tempat
yang telah ditentukan.
Supartini (2004) mengemukakan toilet training adalah latihan
untuk berkemih dan defekasi. Sedangkan menurut Wong , dalam
Supartini, 2004 mengemukakan sejalan dengan anak mampu berjalan,
19
kedua sfingter yaitu sfingter ani dan uretra semakin mampu menggontrol
rasa ingin berkemih dan defekasi. Toilet training merupakan suatu usaha
untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air
kecil dan buang air besar (Hidayat, 2005).
Toilet training selain melatih anak dalam mengontrol buang air
besar dan kecil juga dapat bermanfaat dalam pendidikan seks sebab saat
anak melakukan kegiatan tersebut anak akan mempelajari anatomi
tubuhnya sendiri serta fungsinya. Secara umum toilet training dapat
dilaksanakan oleh setiap anak yang sudah memasuki fase kemandirian
pada anak. Suksesnya toilet training tergantung pada kesiapan yang ada
pada diri anak dan keluarga, seperti kebiasaan fisik, dimana kemampuan
anak secara fisik sudah kuat dan mampu. Kesiapan psikologis di mana
anak membutuhkan suasana yang nyaman agar mampu mengontrol dan
konsentrasi dalam merangsang untuk buang air kecil dan besar. Persiapan
intelektual pada anak juga membantu dalam proses buang besar dan kecil,
gunakan kata-kata yang khas bila anak ingin buang besar atau kecil seperti
pup, pis, eek, berak (Hidayat, 2005).
20
2. Faktor- faktor yang mempengaruhi toilet training
Menurut Wong (2001) faktor yang berhubungan dengan toilet
training meliputi :
a. Usia
Pada umumnya anak akan mencapai kesiapan toilet training
pada usia 18-24 bulan tetapi tidak semua anak dapat mencapai usia
toilet training yang sama.
b. Jenis kelamin
Anak perempuan biasanya lebih cepat dalam melakukan
toilet training bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena anak
laki-laki lamban dalam penguasaan kontrol kandung kemih bila
dibandingkan dengan anak perempuan.
c. Psikologis
Anak dalam melakukan toilet training membutuhkan
kenyamanan dan rasa aman untuk dapat mengontrol dan konsentrasi
dalam merangsang buang air kecil dan besar.
d. Fisik
Anak sudah mampu dan kuat untuk melakukan toilet training.
Mampu dalam arti anak dapat berdiri dan jongkok.
3. Metode atau tehnik latihan toilet training
Hidayat (2005) menjelaskan bahwa metode toilet training
merupakan suatu hal yang harus dilakukan orang tua kepada anaknya,
diharapkan dengan metode toilet training anak mempunyai kemampuan
21
sendiri dalam melaksanakan buang air kecil maupun buang air besar tanpa
merasa takut atau cemas.
Metode ini dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu lisan
ataupun dengan alat peraga yaitu:
a. Teknik lisan
Cara untuk melatih anak dengan memberikan instruksi pada
anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah buang air kecil dan besar.
Teknik lisan memiliki nilai yang sangat besar dalam memberikan
rangsangan untuk buang air kecil atau buang air besar dimana dengan
lisan persiapan psikologis pada anak akan semakin matang dan
akhirnya anak mampu dengan baik dalam melaksanakan buang air
kecil atau buang air besar.
b. Teknik modeling/alat peraga
Cara untuk melatih anak dengan cara meniru untuk buang air
besar maupun buang air kecil atau dengan memberikan contoh. Tetapi
cara ini mempunyai dampak yang jelek pada cara ini apabila contoh
yang diberikan salah akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak
mempunyai kebiasaan yang salah.
4. Langkah-langkah dalam melakukan toilet training
Menurut Gardner (2003), langkah-langkah dalam melakukan
toilet training antara lain:
a. Jaga anak untuk tidak berlari ketika ingin buang air besar atau buang air
kecil, untuk mengidentifikasi pola eliminasi anak.
22
b. Perkenalkan anak dengan pot portabel atau toilet, letakkan pot portabel
di dalam kamar mandi dan tunggu anak menggunakannya.
c. Anjurkan anak untuk jongkok di pot portabel atau toilet beberapa lama
setiap hari dengan menggunakan pakaian yang mudah dilepas, hal ini
akan membuat anak merasa nyaman pada waktu jongkok di toilet dan
tidak menjadi stress.
d. Anjurkan anak untuk jongkok di toilet beberapa saat setiap harinya
dengan celana dicopot, tujuannya agar anak merasa nyaman jongkok di
toilet. Saat yang tepat adalah saat anak ingin buang air besar atau kecil.
e. Tentukan waktu setiap hari untuk membuka celana anak, tujuannya
agar anak belajar mengenal dorongan untuk buang air besar atau kecil.
Masalah yang sering terjadi adalah karena orang tua merasa khawatir
apakah anak mampu melakukannya atau tidak. Saat membuka celana
anjurkan untuk buang air besar atau kecil dengan cara tunjukkan
dimana toilet dan anjurkan anak untuk jongkok di toilet, bantu anak bila
mengalami kesulitan dan ajak anak untuk sambil bermain, jika anak
berhasil melakukan toilet training berikan pujian agar anak merasa
bangga atas keberhasilannya, bila anak gagal dalam toilet training
jangan memarahi anak dan tetap dukung anak untuk mencoba
melakukanya lagi.
f. Usahakan anak untuk berlatih membuka rok atau celana bagian luar
kemudian celana bagian dalam.
23
g. Jelaskan langkah-langkah toilet training pada anak sesuai pemahaman
anak, mulai dari melepas pakaian dan celana dalam, kemudian pergi ke
toilet untuk buang besar atau buang air kecil. Bila telah selesai
membersihkan daerah anus dari depan kebelakang gunakan kemabali
celana dan pakaiannya, yang terakhir mencuci tangan dan
mengeringkan tangan dengan handuk.
5. Kesiapan Toilet traininng anak
Menurut (Wong, 2008) kesiapan toilet training pada anak adalah :
a. Kesiapan fisik
1) Kontrol volunter sfingter anal dan uretral, biasanya pada usia 18-24
bulan.
2) Mampu tidak menompol selama 2 jam, jumlah popok yang basah
berkurang; tidak mengompol selama tidur siang
3) Defekasi teratur
4) Ketrampilan motorik kasar yaitu duduk, berjalan dan berjongkok
5) Ketrampilan motorik halus yaitu membuka pakaian
b. Kesiapan mental
1) Mengenali urgensi defekasi atau berkemih
2) Ketrampilan komunikasi verbal atau nonverbal untuk menunjukkan
saat basah atau memiliki urgensi defekasi atau berkemih.
3) Ketrampilan kognitif untuk menirukan perilaku yang tepat dan
mengikuti perintah
24
c. Kesiapan psikologis
1) Mengekspresikan keinginan untuk menyenagkan orang tua
2) Mampu duduk di toilet selama 5- 10 menit tanpa bergoyang atau
terjatuh
3) Keingin tahuan mengenai kebiasaan orang dewasa atau kakak
4) Ketidaksabaran akibat popok yang kotor oleh feses atau basah;
ingin untuk segera diganti
d. Kesiapan parental
1) Mengenali tingkat kesiapan anak
2) Berkeinginan untuk meluangkan waktu untuk toilet training
3) Ketiadaan stres atau perubahan keluarga, seperti perceraian, pindah
rumah, sibling baru atau akan bepergian
C. Faktor Psikologis
1. Pengertian
Stres menurut Selye (1950) dalam (Hidayat, 2008) merupakan
respon tubuh yang tidak bersifat spesifik terhadap setiap tuntutan atau
beban atasnya. Dapat dikatakan stres apabila seseorang mengalami
beban atau tugas yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat mengatasi
tugas yang dibebankan itu, maka tubuh akan berespons dengan tidak
mampu terhadap tugas tersebut, sehingga orang tersebut mengalami
stres (Hidayat, 2008).
Stres diartikan sebagai kondisi kebutuhan tidak terpenuhi
secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidak seimbangan.
25
Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional
negative disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologi, kognitif dan
perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri
terhadap situasi yang menyebabkan stres. Stres adalah suatu kekuatan
yang memaksa seseorang untuk berubah, bertumbuh, berjuang,
beradaptasi atau mendapat keuntungan semua kejadian dalam
kehidupan., bahkan yang bersifat positif juga menyebabkan stres
(Murwani, 2008).
Stres pada anak dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana
terjadi ketidak seimbangan antara tuntutan lingkungan dan sumber
koping individu yang mengganggu ekuiliribrium individu tersebut.
Meskipun semua anak mengalami stres, beberapa anak muda tampak
lebih rentan dibandingkan yang lain (Wong, 2008).
2. Penyebab Stres
Menurut (Murwani, 2008) stres dapat disebabkan oleh karena
beberapa faktor meliputi :
a. Faktor biologis : Kehilangan atau kekurangan air, oksigen, makanan,
cacat, nyeri, dll.
b. Faktor psikologis : Kehilangan orang yang dicintai, perpisahan.
c. Faktor sosial : Perubahan tempay tinggal, masalah ekonomi,
dikucilkan.
d. Faktor mikrobiologis : Kuman penyakit
26
Menurut Noviekayati (2010) penyebab stres pada anak dibagi
menjadi 2 hal yaitu :
a. Faktor normatif
Penyebab stres anak dari faktor normatif terjadi pada saat
anak mengalami fase perkembangan fisiologis. Pada dasarnya faktor
normatif ini merupakan bentuk produktif dari kecemasan yang
nantinya membantu mereka untuk berkembang menjadi mandiri.
b. Faktor lingkungan
Penyebab stres anak dari faktor lingkungan terjadi karena
adanya perubahan-perubahan hidup yang tidak dimengerti dan
membingungkan anak. Kejadian-kejadian yag dapat menjadi
pencetus adalah :
1) Perceraian orang tua. Ketika orang tua bercerai atau bertengkar,
anakanak merasa keamanan mereka terganggu sehingga
membuat mereka merasa sendiri dan ketakutan,
2) Pindah. Anak-anak yang pindah dari tempat yang sudah familier
bagi mereka seringkali membuat mereka merasa tidak aman,
bingung dan cemas. Pindah yang dimaksudkan adalah pindah
rumah, sekolah, maupun lingkungan bermain. Selain itu juga
ada beberapa hal yang bisa menjadi pencetus, yaitu :
a) Kematian orang tua atau orang yang disayangi. Kematian
ini sangat menimbulkan peristiwa traumatik bagi anak
27
terlebih jika merasa penyebab kematian tersebut adalah
mereka.
b) Kegiatan yang berlebihan (baik itu kegiatan sekolah, di luar
sekolah atau rumah dan di dalam rumah).
c) Tekanan-tekanan dari teman sebayanya. Tekanan ini
termasuk pelecehan, penyiksaan baik fisik maupun mental
dan pengucilan.
3. Tanda dan Gejala Stres pada Anak
Wong (2008) menyatakan bahwa tanda gejala stres pada anak
meliputi perilaku, keadaan internal dan fisiologi.
a. Perilaku anak stres tercermin dengan keadaan dominasi ekspresi
wajah yang sedih dengan tidak ada atau berkurangnya rentang
respon afektif, permainan atau pekerjaan soliter, cenderung
menyendiri, tidak tertarik dalam permainan, menarik diri dari
aktivitas menyenangkan dan hubungan yang sebelumnya telah
dilakukan, nilai sekolah lebih rendah, kurang tertarik dalam
mengerjakan pekerjaan rumah (PR), aktivitas motorik hilang,
kelelahan, keadaan sedih atau menangis, tergantung dan tidak
mandiri atau agresif dan diskriptif.
b. Tanda gejala stres pada keadaan internal yakni ungkapan pernyataan
merefleksikan harga diri rendah, rasa tidak berdaya atau perasaan
bersalah dan ide untuk bunuh diri.
28
c. Pada faktor fisiologi anak menjadi sering mengeluh merasa tidak
sehat yang tidak spesifik, perubahan nafsu makan menyebabkan
penurunan atau penambahan berat badan dan perubahan pola tidur,
anak menjadi tidak dapat tidur atau hipersomnia.
D. Konstipasi
1. Pengertian
Konstipasi merupakan gejala bukan penyakit. Gangguan
diet, menurunnya asupan cairan, kurangnya latihan dan obat-obatan
tertentu dapat menyebabkan konstipasi (Perry, 2009).
Konstipasi adalah evakuasi feses yang jarang atau sulit
(Dorland, 2002). Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah
kelainan pada sistem pencernaan di mana seorang manusia (atau
mungkin juga pada hewan) mengalami pengerasan tinja yang
berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat
menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi yang
cukup hebat disebut juga dengan obstipasi. Dan obstipasi yang cukup
parah dapat menyebabkan kanker usus yang berakibat fatal bagi
penderitanya,
Konstipasi didefinisikan bervariasi berdasarkan frekuensi
defekasi, rasa tidak nyaman saat mengeluarkan tinja, perlambatan
transit diusus dan berat tinja. Konstipasi adalah keluhan utama pada 3
% pasien rawat jalan pediatrik dan sampai 25 % dari anak yang dirujuk
29
ke ahli gastroenterologi anak mengalami gangguan defekasi (Rudolph,
2006).
Konstipasi adalah ketidak mampuan melakukan evakuasi
tinja secara sempurna yang tercermin dalam dari 3 aspek yaitu:
berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras
dari sebelumnya dan pada palpasi abdomen teraba massa tinja (skibala)
dengan atau tidak disertai enkopresis (“kecepirit”) (Yusri D.J, 2013).
2. Tanda dan Gejala
Pada anamnesis, didapatkan riwayat berkurangmya frekuensi
defekasi. Dengan terjadinya retensi feses, gejala dan tanda lain
konstipasi berangsur muncul seperti nyeri dan distensi abdomen, yang
sering hilang setelah defekasi. Riwayat feses yang keras dan/ feses yang
sangat besar yang mungkin menyumbat saluran toilet. “Kecepirit”
(enkopresis) di antara feses yang keras sering salah didiagnosis sebagai
diare. Anak yang mengalami konstipasi biasanya mengalami anoreksia
dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan membaik jika
konstipasinya diobati (Yusri D.J, 2013).
Berbagai posisi tubuh, menyilangkan kedua kaki, menarik kaki
kanan dan kiri secara bergantian ke depan dan belakang (seperti
berdansa) merupakan manuver menahan feses dan kadang kala perilaku
tersebut menyerupai kejang. Inkontinensia urin dan infeksi saluran
kemih seringkali berkaitan dengan konstipasi pada anak. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan distensi abdomen dengan bising usus
30
normal, meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi
abdomen kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis (Yusri D.J,
2013).
Tanda-tanda konstipasi biasanya meliputi gerakan usus yang
tidak teratur (biasanya kurang dari 3 setiap hari), kesulitan
mengeluarkan feses mengejan berlebihan, ketidak mampuan
mengeluarkan feses, feses keras (Perry, 2009).
Gejala dan tanda akan berbeda antara seseorang dengan
seseorang yang lain, karena pola makan, hormon,gaya hidup dan bentuk
usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya gejala dan tanda
yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang
beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
a. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena
tumpukan tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau
lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
b. Tinja menjadi lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, jumlahnya
lebih sedikit daripada biasanya (kurang dari 30 gram), dan bahkan
dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah.
c. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang,
kadang-kadang harus mengejan ataupun menekan-nekan perut
terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja (bahkan sampai
mengalami ambeien dan berkeringat dingin).
d. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
31
e. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai
sakit akibat bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
f. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk
daripada biasanya (bahkan terkadang penderita akan kesulitan atau
sama sekali tidak bisa buang angin).
g. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu
transit buang air besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari
sekali atau lebih).
h. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
i. Sakit punggung bila tinja yang tertumpuk cukup banyak.
32
Faktor Genetik
E. Kerangka Teori
Faktor-Faktor Penyebab :
Skema 2.1
Kerangka Teori (Daulay, 2008), (Wong, 2008) dan (Wolraich, 2008)
Kondisi fisik :
Adanya infeksi
Adanya alergi
Enuresis
Prematuritas ( keterlambatan
perkembagan neurologis )
Toilet Training
Faktor Sosial Psikologis
Stres
Konstipasi
Kapasitas Kandung Kemih
Faktor Tidur
33
F. Variabel Penelitian
1. Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian enuresis pada anak
usia 4-5 tahun.
2. Variabel independen pada penelitian ini adalah toilet training, faktor
psikologis dan konstipasi.