bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/47576/3/bab 2.pdf · buah tanaman rosella berbentuk bulat...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa L)
2.1.1. Taksonomi
Gambar 2.1 Hibiscus Sabdariffa L
(Huasamah, 2011)
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Dilleniidae
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Hibiscus
Spesies : Hibiscus sabdariffa L.
(Plantamor, 2018)
7
2.1.2. Morfologi
Rosela merupakan tumbuhan semak umur satu tahun, tinggi tumbuhan
mencapai 2,4 m.
a. Batang
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai batang bulat,
tegak, berkayu dan berwarna merah. Tumbuh dari biji dengan
ketinggian bisa mencapai 3-5 meter (Widyanto dan Nelistya, 2009).
b. Akar
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai akar tunggal
(Widyanto dan Nelistya, 2009).
c. Daun
Daun rosella berwarna hijau, berbentuk bulat telur dan berseling
antara 3-5 helai dengan panjang 7,5-12,5 cm. Adapun tangkai daun
dari tumbuhan ini berukuran pendek yaitu 0,3- 12 cm. Pangkal daun
meruncing sedikit berambut, tepi daun beringgit (Widyanto dan
Nelistya, 2009).
d. Bunga
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai bunga
berwarna cerah. Kelopak bunga atau kaliksnya berwarna merah gelap
dan lebih tebal jika dibandingkan dengan bunga raya/sepatu.
Bunganya merupakan bunga tunggal sehingga pada setiap tangkai
hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8-11 helai kelopak
yang berbulu, panjangnya 1 cm, yang pangkalnya saling berlekatan
dan berwarna merah. Kelopak bunga ini sering dianggap sebagai
8
bunga oleh masyarakat. Bagian inilah yang sering dimanfaatkan
sebagai bahan makanan dan minuman. Tangkai bunga berukuran 5-20
mm, kelopak bunga berbentuk lonceng. Mahkota bunga berbentuk
bulat telur terbalik berwarna kuning atau kuning kemerahan. Benang
sari terletak pada suatu kolom pendukung benang sari dimana panjang
kolom pendukung benang sari sampai 20 mm. Kepala sari berwarna
merah, panjang tangkai sari 1 mm. Adapun jumlah kepala putik yaitu
5 buah dan berwarna merah (Widyanto dan Nelistya, 2009).
e. Buah
Buah tanaman rosella berbentuk bulat telur memiliki ukuran 13-22
mm x 11-20 mm dimana tiap buah berisi 30-40 biji. Ukuran biji 3-5
mm x 2-4 mm, warna coklat kemerahan (BPOM RI, 2010).
2.1.3. Kandungan Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L)
Dalam 100 gram bunga rosella mengandung Air 86,58 gram, Energi
49 kcal, Protein 0,96 gram, Karbohidrat 11,31 gram, Total Lipid 0,64
gram (USDA Nutrient database, 2018).
Tabel 2.1. Kandungan Bunga Rosella
Nutrient Unit Value per 100 mg
Minerals
Calcium, Ca mg 215
Iron, Fe mg 1,48
Magnesium, Mg mg 51,1
Phosphorus, P mg 37,1
Potassium, K mg 208,1
Sodium, Na mg 6,1
9
Vitamins
Vitamin C, total ascorbic acid mg 12
Thiamin mg 0,011
Riboflavin mg 0,028
Niacin mg 0,31
Vitamin A, RAE µg 14
Vitamin A IU 287
(USDA Nutrient Database, 2018).
Tabel 2.2. Kandungan Bahan Kimia pada Tanaman Rosella
Kandungan
Antioksidan
Daun Kelopak Buah Biji Batang Akar
Flavonoid + + - - + +
Fenol + + - + - +
Saponin + + - - + +
Alkaloid + + - - + +
Tannin + + - - + +
Sterol - - - + - -
Asam Sitrat - - + - - -
(Abdallah, 2016 ; Komala et al, 2013 ; Mahadevan et al, 2009 ; Mungole &
Chaturvedi, 2011).
2.1.4. Mekanisme Antibakteri Kelopak Bunga Rosella
a. Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dengan cara bekerja pada komponen penyusun
peptidoglikan sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara
sempurna sehingga sel menjadi mati dan menginhibisi enzim
topoisomerase (Campbell, 2010).
b. Flavonoid
Flavonoid dapat membentuk senyawa kompleks dengan
protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membran
10
sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler dan
kematian sel (Godstime dkk, 2014).
c. Tannin
Tannin dapat membentuk kompleks polisakarida yang dapat
merusak dinding sel bakteri dimana mengakibatkan metabolisme
bakteri terganggu dan menyebabkan kematian bakteri (Nurhalimah,
2015).
d. Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif yang dapat meningkatkan
permeabilitas membran sel dengan cara berdifusi pada membran
luar dan dinding sel. Peningkatan permeabilitas membran
menyebabkan sel lisis atau pecah (Poelongan dan Praptiwi, 2010).
2.1.5. Hasil Penelitian Menggunakan Ekstrak Kelopak Bunga Rosella
Menurut penelitian Abdallah tahun 2016, ekstrak kelopak bunga
rosella dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram
negatif. Pemberian ekstrak kelopak bunga rosella pada bakteri gram
positif (Staphylococcus epidermidis dan Bacillus cereus) menunjukkan
kadar hambat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Penicilin dan
Gentamicin. Adapun pemberian ekstrak bunga rosella pada bakteri gram
negatif (Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella
pneumonia dan Proteus vulgaris) menunjukkan kadar hambat yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Penicilin akan tetapi lebih rendah jika
dibandingkan dengan Gentamicin. Akan tetapi pemberian ekstrak
kelopak bunga rosella pada bakteri Salmonella enterica menunjukkan
11
kadar hambat lebih tinggi jika dibandingkan dengan Penicilin dan
Gentamicin. Kadar hambat ekstrak kelopak bunga rosella pada
Pseudomonas aeruginosa 15,5 mm, Escherichia coli 14,5 mm,
Klebsiella pneumonia 17,5 mm, Salmonella enterica 17,5 mm, Proteus
vulgaris 14,5 mm, Staphylococcus epidermidis 17,5 mm dan Bacillus
cereus 13,5 mm. Sedangkan kadar hambat Penicilin pada Pseudomonas
aeruginosa 6,0 mm, Escherichia coli 6,0 mm, Klebsiella pneumonia 7,0
mm, Salmonella enterica 9,0 mm, Proteus vulgaris 6,5 mm,
Staphylococcus epidermidis 6,0 mm dan Bacillus cereus 7,0 mm. Kadar
hambat Gentamicin pada Pseudomonas aeruginosa 20,0 mm,
Escherichia coli 18,0 mm, Klebsiella pneumonia 21,0 mm, Salmonella
enterica 12,0 mm, Proteus vulgaris 20,0 mm, Staphylococcus
epidermidis 6,5 mm dan Bacillus cereus 10,0 mm.
Tabel 2.3. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kelopak Bunga Rosella
terhadap Bakteri Gram-Negatif dengan Metode Disc Diffusion Perlakuan Rata-rata Zona Hambat (mm)*
Pseudomonas
aeruginosa
Escherichia
coli
Klebsiella
pneumonia
Salmonella
enterica
Proteus
vulgaris
Ekstrak
Kelopak
Bunga
Rosella
15,5 ± 0,5 14,5 ± 0,5 17,5 ± 0,5 17,5 ± 1,5 14,5 ± 0,5
Penisilin
6,0 ± 0,0 6,0 ± 0,0 7,0 ± 0,0 9,0 ± 0,0 6,5 ± 0,0
Gentamisin 20,0 ± 0,0 18,0 ± 0,0 21,0 ± 0,0 12,0 ± 0,0 20,0 ± 0,0
(Abdallah, 2016)
12
2.2. Salmonella typhi
2.2.1 Taksonomi
Gambar 2.2 Salmonella typhi
(CDC, 2017)
Super kingdom : Bacteria
Kingdom : Bacteria
Phylum : proteobacteria
Class : Gammaprotobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : Enterica
Subspecies : Enterica
Serovar : Typhi
(Jaroni, 2014).
2.2.2 Morfologi
Salmonella typhi merupakan golongan dari bakteri gram negatif
yang berbentuk batang, motil dan tidak membentuk spora. S. typhi
13
memiliki alat gerak berupa flagel peritik. Bakteri ini berukuran 0,7-1,5
atau 2-5 mikro meter. S. typhi berifat intraseluler fakultatif dan anaerob
fakultatif (Karsinah dkk, 2009).
2.2.3 Struktur Antigen S. typhi
Seperti halnya semua Enterobacteriaceae, S. typhi memiliki tiga
antigen utama yaitu somatik, permukaan (surface) dan flagel (Todar,
2009).
2.2.3.1. Antigen Somatik (O)
Antigen somatik (O) merupakan antigen yang tahan terhadap
pemanasan 100o C, alkohol dan asam. Sebagian besar antigen ini
digunakan untuk identifikasi serologi. Faktor O dengan jumlah angka
yang sama berkaitan erat meskipun tidak selalu sebagai antigen identik
(Todar, 2007). Antibodi yang lebih utama dibentuk oleh antigen
somatik (O) yaitu IgM (Karsinah dkk, 2009).
2.2.3.2. Antigen permukaan (Vi)
Antigen Vi merupakan polimer dari poliskarida yang bersifat asam.
Antigen ini terdapat pada bagian luar dari badan kuman atau bakteri.
Antigen Vi dapat dirusak dengan pemanasan 60o C selama satu jam,
pada penambahan fenol dan asam. Bakteri atau kuman yang memiliki
antigen Vi lebih virulen terhadap binatang manupun manusia. Antigen
Vi juga dapat menentukan kepekaan kuman terhadap bakteriofage.
Dalam laboratorium, antigen Vi sangat berguna untuk diagnosis cepat
bakteri S. typhi yaitu dengan teg agglutination slide dengan Vi
antiserum (Karsinah dkk, 2009).
14
Antigen Vi adalah permukaan polisakarida kapsul yang diproduksi
oleh S. typhi, S. dublin dan S. paratyphi C. Meskipun antigen Vi tidak
diperlukan untuk kolonisasi di saluran pencernaan, kapsul antigen Vi
menambah virulen dengan cara meningkatkan resistensi bakteri untuk
fagositosis dan mengganggu imun dengan cara menurunkan ekspresi
Pathogen-Associated Molecular Pattern (PAMP) dan paparan terhadap
permukaan bakteri. Antigen Vi jenis lokus via B berlokasi di SPI-7
island dan dibawah control RcsB-RcsC dan OmpR-EnvZ yang
merupakan satu komponen sitem regulator. Aktifitas lokus via B
berperan pada produksi antigen Vi dan secara bersamaan menekan
flagelar master regulator fhDC yang dilakukan oleh protein regulator
TviA. Ekspresi antigen Vi dapat tidak terdeteksi saat pemeriksaan
laboratorium dan antigen Vi bisa ditemukan tidak aktif pada beberapa
pasien yang terisolasi (Gunn dkk, 2014).
2.2.3.3. Antigen Flagel (H)
Pada Salmonella antigen ini ditemukan dalam dua fase yaitu fase
spesifik (fase 1) dan tidak spesifik (fase 2). Antigen H rusak pada
pemanasan diatas 60o C, alkohol dan asam. Antibodi yang dibentuk
yaitu IgG (Karsinah dkk, 2009).
Penggolongan bakteri Salmonella kedalam serogrup dan
serotipnya didasarkan pada persamaan faktor-faktor antigen O dan
antigen H. Apabila terdapat persamaan faktor-faktor yang dominan
pada antigen O digolongkan dalam serogrup yang sama (serogrup A, B
dan C). apabila terdapat persamaan faktor-faktor antigen H (fase 1 dan
15
2) serta faktor-faktor lain pada antigen O maka digolongkan dalam
serotip (dulu disebut spesies) yang sama. Salmonella typhi dan
Salmonella cholerasuis maisng-maisng terdiri dari satu serotip
sedangkan Salmonella enteritidis terdiri dari 1400 serotip (Karsinah
dkk, 2009).
2.2.4 Daya Tahan S. typhi
Bakteri S. typhi mati pada suhu 56o C dan dapat pula pada keadaan
yang kering. Bakteri ini dapat bertahan selama empat minggu dalam air. S.
typhi hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu dan juga
dapat bertahan terhadap zat warna hijau bilirubin, senyawa Natrium
tetrationat dan Natrium deoksikolat (Karsinah dkk, 2009). Senyawa-
senyawa ini menghambat pertumbuhan bakteri koliform sehingga
senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan dalam media untuk isolasi
bakteri S. typhi (Brooks et al, 2013).
2.2.5 Patogenesis S. typhi
S. typhi bersifat infeksius terutama pada manusia. Adapun infeksi
oleh bakteri tersebut menunjukkan sumber infeksi dari manusia. Namun,
sebagian besar Salmonella bersifat patogen terutama bagi hewan yang
menjadi reservoar untuk infeksi manusia, antara lain : unggas,babi, hewan
pengerat, hewan ternak, hewan peliharaan (dari kura-kura hingga burung
beo) dan lain sebagainya (Brooks et al, 2013).
Bakteri ini hampir selalu masuk melalui jalur oral (per oral) yang
biasanya melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri
tersebut. Dosis infeksi rata-rata untuk menghasilkan infeksi klinis atau
16
subklinis adalah 105-108 Salmonella (tetapi mungkin hanya 103 untuk
Salmonella typhi). Adapun faktor-faktor yang dapat berperan untuk
melawan infeksi Salmonella antara lain asam lambung, flora mikroba usus
normal, dan imunitas lokal pada usus (Brooks et al. 2013).
Salmonella menyebabkan tiga tipe penyakit utama pada manusia
dimana yang paling sering muncul adalah tipe campuran. Gejala yang
muncul yaitu demam enterik (demam tifoid). Ketika bakteri Salmonella
mencapai usus kecil, bakteri tersebut kemudian masuk ke kelenjar getah
bening dan sampai ke aliran darah. Mereka dibawa oleh aliran darah ke
beberapa organ, termasuk usus. Jumlah bakteri tersebut meningkat di
dalam jaringan getah bening intestinal dan dikeluarkan dalam tinja.
Setelah masa inkubasi selama 10-14 hari maka muncul manifestasi
klinis (demam, rasa tidak enak badan, sakit kepala, konstipasi, bradikardi,
dan myalgia). Demam meningkat ke masa stabil dan terjadi pembesaran
limpa dan ginjal. Rose spots biasanya ada di atas kulit perut atau dada
(kelihatan jelas dalam beberapa kasus). Jumlah sel darah putih (leukosit)
normal atau rendah. Pada masa preantibiotik, komplikasi utama dari
demam enterik adalah hemorrhage dan perforasi. Pada masa ini angka
kematian rata-rata yaitu 10-15 %. Akan tetapi, pengobatan dengan
antibiotik telah menurunkan angka kematian rata-rata hingga kurang dari
1%. Lesi yang paling utama adalah hyperplasia dan nekrosis jaringan getah
bening (misalnya potongan Payer’s), hepatits, nekrosis dari ginjal, dan
peradangan limpa, periosteum, paru-paru, dan organ lain (Brooks et al,
17
2013). Adapun beberapa fator yang mempengaruhi patogenitas S. typhi
yaitu :
a. Daya invasi
Bakteri di usus halus penetrasi ke dalam epitel, melalui lapisan
epitel masuk ke lapisan sub epitel hingga lamina propia. Mekanisme
biokimi saat bakteri melakukan penetrasi tidak diketahui dengan jelas
tetapi prosesnya menyerupai fagositosis. Saat bakteri mendekati
epitel, brush border mengalami degenerasi kemudian masuk kedalam
sel. Mereka dikelilingi oleh membran sitoplasma yang inverted seperti
vakuol fagositik. Terkadang penetrasi ke epitel terjadi pada
interseluler junction. Setelah penetrasi maka organisme difagosit oleh
makrofag, berkembang biak lalu dibawa oleh makrofag menuju
bagian tubuh yang lain (Karsinah dkk, 2009).
b. Atigen Permukaan
Adanya antigen Vi mungkin menyebabkan Salmonella untuk
hidup interseluler (Karsinah dkk, 2009).
c. Endotoksin
Peran pasti endotoksin yang mungkin ada dalam proses infeksi
Salmonella belum diketahui dengan jelas. Pada binatang percobaan
endotoksin Salmonella menyebabkan efek yang bervariasi dimana
terjadi demam dan syok. Sedangkan uji coba pada manusia yang
toleran terhadap endotoksin yang telah diinfeksi dengan S.typhi, maka
timbul demam dengan gejala klinik dari demam tifoid. Demam ini
disebabkan oleh endotoksin yang merangsang pelepasan zat pirogen
18
dari sel-sel makrofag dan sel leukosit PMN. Tidak hanya itu,
endotoksin dapat mengaktivasi kemanapun kemotaktik dari system
komplemen yang menyebabkan lokalisasi sel leukosit pada lesi di
usus halus (Karsinah dkk, 2009).
d. Enterotoksin
Beberapa spesies Salmonella menghasilkan enterotoksin yang
dihasilkan oleh kuman Enterotoxigenic E.coli baik yang termolabil
maupun yang termostabil. S. typhirium, S. enteriditis menghasilkan
enterotoksin yang termolabil, toksin diduga berasal dari dinding sel
atau mebran luar. Aktivitas toksin dapat diukur dengan cara Rabbit
ileal loop dan Sucking mouse assary (Karsinah dkk, 2009).
2.2.6 Pemeriksaan Laboratorium
Bahan untuk pemeriksaan laboratorium dapat berupa darah, urin,
feses dan sumsum tulang (Brooks et al. 2013). Adapun hingga saat ini baku
emas diagnosis tifoid adalah dengan pemeriksaan biakan empedu
walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal
perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah
akhir minggu pertama infeksi (sensivitas lebih rendah). Di negara
berkembang ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas
menyebabkan sensivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsusm
tulang lebih sensitive namun sulit dikarenakan terlalu invasif (Prayitno
dkk, 2012). Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu :
19
a. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan ini tidak spesifik untuk diagnosis demam tifoid.
Jumlah hitung leukosit yang rendah sering berhubungan dengan
demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa
lebar. Trombositopeni dapat merupakan marker penyakit berat dan
disertai dengan koagulasi intravaskuler diseminata. Pemeriksaan
fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang bermakna
jarang ditemukan.
b. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan widal yaitu mengukur kadar antibodi terhadap
antigen O dan H S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun.
Pemeriksaan Widal memiliki sensivitas dan spesifisitas yang rendah
(sensisivitas 40%, spesivisitas 91,4% dan nilai prediksi positif 80%).
Pemeriksaan ini dugunakan sebagai satu-satunya pemeriksaan
penunjang di daerah endemis tetapi dapat mengakibatkan
overdiagnosis.
c. Pemeriksaan Serologi terhadap Spesimen Darah
Terdapat pemeriksaan diagnostik baru yang saat ini tersedia
seperti Thyphoiot atau Tubex yang dilakukan untuk mendeteksi
antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam
dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap
antigen S. typhi berdasarkan enzyme-lingked immunosorbent assay
(ELISA) berkembang. Pemeriksaan ini memiliki sensivitas dan
spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan
20
darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM O9 lipolisakari S.
typhi (Tubex) dan IgM terhadap S. typhi (Typhoidot) memiliki
sensivitas dan spesivisitas 70%-80%.
Pemeriksaan serologi dapat dibaca secara visual selama 10 menit
dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna
dan nilai kurang dari sama dengan 6 dianggap positif kuat. Namun
interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-
hati pada kasus tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan
sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.
d. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi
hanya membutuhkan waktu kurang dari delapan jam. Pemeriksaan
ini memiliki sensitivitas 93,58% dan spesivisitas 87,9%.
Pemeriksaan nested Polymerase Chain Reaction (PCR)
menggunakan polimer H1-d dapat digunakan untuk
mengamplifikasikan gen yang menjanjikan. Pemeriksaan nested
PCR terhadap gen flagek (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari
spesimen urin 21/22 (95,5%), diikuti dari specimen darah 20/22
(90%), dan tinja 15/22 (68,1%).
e. Pemeriksaan Serologoi dari Spesimen Urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik
antigen 9 grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali
pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin
secara serial menunujukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA
21
menggunakan antibody monoklonal terhadap antigen 9 somatik
(O9), antigen di flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi)
pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada akhir
minggu pertama, yaitu terhadap ketiga atigen Vi terdeteksi 9 kasus
(100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4 kasus (44%).
Spesivisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi
pada urin menjanjikan untuk menunjang diagnosis demam tifoid
(terutama dalam minggu pertama sejak timbulnya demam).
f. Pemeriksaan antibody IgA dari specimen saliva
Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari
lipopolisakarida S. typhi dari spesimen saliva memberikan hasil
positif pada 33/37 (87,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA
ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0%
pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima perjalanan
penyakit tifoid (Prayitno dkk, 2012).
2.2.7 Pengobatan
Sampai saat ini, pengobatan demam tifoid masih menganut trilogy
penatalaksanaan, yaitu:
a. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar
bertujuan untuk mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan
sangat perlu untuk dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan
22
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan
tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
b. Diet dan Terapi Penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid. Hal itu dikarenakan makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita sehingga proses
penyembuhan akan semakin lama. Di masa lampau penderita demam
tifoid diberi bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar
dan akhirnya diberikan nasi dimana perubahan diet tersebut disesuaikan
dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring untuk
pasien ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran
cerna atau perforasi usus. Akan tetapi, beberapa peneliti menunjukkan
bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk
rendah selulosa aman utnuk diberikan pada pasien demam tifoid.
Pemberian vitamin dan mineral yang cukup juga dapat dilakukan untuk
mendukung keadaan umum pasien.
c. Pemberian Antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati
demam tifoid adalah kloramfenikol, kotrimoksazol, tiamfenikol,
ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin gerenerasi ketiga, dan golongan
fluorokuinolon (Widodo, 2014). Menurut WHO tahun 2011 DOC
(Drug of Choice) untuk pengobatan infeksi S. typhi yaitu Siprofloksasin
dan Kloramfenikol sebagai alternatif (WHO, 2011). Tetapi, S. typhi
23
sudah banyak mengalami resistensi. Adapun Kloramfenikol,
Amoksisilin, dan Danampisilin mengalami resistensi terhadap bakteri
S. typhi (Hartoyo, 2006; Silvan, 2012). Penggunaan antibiotik
Kloramfenikol, Amoksisilin dan Seftrikson untuk pengobatan infeksi S.
typhi telah terjadi resistensi di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
(Suswati, 2011).
Tabel 2.4. Terapi Antimikroba untuk S. typhi
Optimal Therapy
Susceptibility Antibiotic Daily dose
(mg/kg)
Days
Fully sensitive Ciprofloxacin 15 5-7
MDR (Multi Drug Resistant) As above or
Cefixime
15
15 – 20
7 - 14
7 - 14
Quinolone resistance Azythromycin
Rocephin
8 – 10
75
7
10 - 14
Alternative Effective Drugs
Susceptibility
Fully sensitive Chloramphenicol
Amoxycilin
Cotrimoxazole
50 -75
75 – 100
8 - 40
14 – 21
14
14
MDR (Multi Drug Resistant) Azythromycin
Cefixime
8 – 10
15 - 20
7
7 - 14
Quinolone resistance Cefixime 20 7 - 14
(WHO, 2011)
DOC (Drug of Choice) untuk infeksi S. typhi yaitu Siprofloksasin.
Adapun alternatif pengobatan untuk infeksi S. typhi yaitu
Kloramfenikol. Apabila terjadi MDR (Multi Drug Resistant) maka bisa
menggunakan Sefiksim. Untuk pasien yang resisten terhadap golongan
Kuinolon maka pengobatan yang diberikan yaitu Azitromisin (WHO,
2011). Kloramfenikol merupakan antibiotik yang bekerja dengan cara
mengambat sintesis protein bakteri. Obat ini berikatan pada ribosom
subunit 50s dan juga menghambat enzim peptidil-transferase sehingga
tidak terbentuk ikatan peptide pada proses sintesis protein (Gunawan,
24
2017). Siprofloksasin merupakan antibakteri golongan fluorokuinolon.
Obat ini bekerja dengan cara menghambat DNA gyrase dan
topoisomerase IV yang dibutuhkan bakteri untuk replikasi DNA
(Katzung, 2014). Obat ini cepat diabsorbsi di saluran pencernaan dan
kadar serum puncaknya yaitu sekitar 1-3 jam setelah pemberian oral.
Adapun waktu paruh siprofloksasin yaitu 3-5 jam. Adapun efek
samping penggunaan siprofloksasin yaitu mual, muntah, halusinasi,
kejang, delirium dan lain-lain (Gunawan, 2017).
Kloramfenikol dapat diabsorbsi dengan cepat di saluran pencernaan
kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh. Kloramfenikol yang
diberikan secara oral diekskresi melalui ginjal (Katzung, 2014). Efek
samping penggunaan kloramfenikol yaitu mual, muntah, diare, anemia
aplastik (pada pemberian parenteral) serta sindrom grey pada neonates
(Gunawan, 2017).
2.3. Antimikroba
Antimikroba adalah obat yang dapat membasmi mikroba yang dapat
merugikan manusia. Antibiotik adalah zat yang dihalsilkan oleh suatu mikroba,
terutama fungi, yang dapat menghambat atau membunuh mikroba jenis lain.
Antibiotik harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Obat
tersebut harus bersifat sangat toksik terhadap mikroba tetapi tidak toksik
terhadap hospes (Gunawan, 2017).
25
2.3.1. Aktivitas Antimikroba
Antimikroba dibedakan berdasarkan sifat toksisitas selektif yaitu
bakteriostatik (antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba)
dan bakterisid (antimikroba yang bersifat membunuh mikroba).
Kadar hambat Minimal (KHM) adalah Kadar minimal yang diperlukan
untuk menghambat pertumbuhan mikroba. KBM (Kadar Bunuh Minimal)
merupakan kadar minimal yang diperlukan untuk membunuh mikroba.
Aktivitas antimikroba tertentu dapat meningkat dari bakteristatik menjadi
bakterisid bila kadar antimikroba ditingkatkan melebihi KHM.
2.3.2. Mekanisme Kerja
a. Menghambat metabolisme sel mikroba
Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya.
Adapun asam folat tersebut disintesa sendiri dari asam amino benzoate
(PABA). Apabila antimikroba menang bersaing dengan PABA dalam
pembentukan asam folat, maka analog asam folat nonfungsional
terbentuk sehingga kelagsungan hidup mikroba akan terganggu.
b. Menghambat sintesa dinding sel mikroba
Dinding sel bakteri terdiri dari peptidoglikan yaitu suatu koplek
polimer mukopeptida (glikopeptida). Sikloserin menghambat reaksi
yang paling dini dalam proses pembenukan dinding sel kemudian
diikuti oleh basitasin, vakomisin, penisilin dan sefalosporin, yang
menghambat reaksi akhir (transpeptidasi). Tekanan osmotik dalam sel
kuman lebih tinggi dari tekanan luar selsehingga kerusakan dinding sel
26
kuman akan menyebabkan kuman lisis. Hal ini menjadi dasar terjadinya
efek bakterisidal pada kuman yang peka.
c. Mengganggu keutuhan membran sel mikroba
Membran sel pada mikroba memiliki fungsi-fungsi penting yaitu
: berperan sebagai barrier permeabilitas selektif, membawa fungsi
transpor aktif dan mengontrol komposisi internal sel (Brooks et al.,
2001). Antimikroba yang mengubah tegangan permukaan (surface-
active agent), dapat merusak permeabilitas selektif pada membran sel
mikroba. Kerusakan membrane sel menyebabkan keluarnya berbagai
komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat,
nukleotida, dll (Farmakologi FK UI, 2007).
d. Menghambat sintesa protein sel mikroba
Sintesa protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA
dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas 2 sub unit, yaitu 3OS dan
5OS yang berdasarkan konstanta sedimentasi. Kedua komponen ini
akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 7OS untuk
berfungsi pada sintesa protein (Farmakologi FK UI, 2007).
Antimikroba berikatan dengan komponen ribosom 3OS dan 5OS
sehingga kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA dan translokasi
kompleks tRNA-peptida terhambat, akibatnya akan terbentuk protein
yang abnormal dan nonfungsional. Antimikroba yang termasuk
golongan ini yaitu kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin
dan aminoglikosida (Brooks et al., 2001).
27
e. Menghambat sintesa asam nukleat sel mikroba
Antimikroba golongan ini bekerja dengan cara menghambat
sintesis mRNA pada proses transkripsi atau menghambat proses
replikasi DNA pada proses pembelahan sel. Antimikroba golongan ini
adalah rifampisin dan kuinolon (Dzen dkk, 2003).
2.3.3. Resistensi
Resistensi bakteri terhadap obat antimikroba disebabkan oleh
beberapa mekanisme antara lain : obat tidak dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam sel mikroba, inaktivasi obat dan mikroba mengubah
tempat ikatan (binding-site) (Farmakologi FK UI, 2007).
2.3.4. Daya Hambat Antimikroba
Daya hambat antimikroba merupakan kemampuan suatu antibiotik
dalam menghambat pertumbuhan kuman. Adanya daya hambat ditunjukkan
dengan terbentuknya zona hambat. Zona hambat merupakan daerah bening
(clear zone) yang terbentuk dari respon kuman akibat pemberian suatu
antibiotik tertentu (Karen, 2013). Adapun beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi terbentuknya zona hambat pada bakteri antara lain :
kepekaan pertumbuhan, reaksi antara bahan aktif dengan medium dan suhu
inkubasi, pH lingkungan, komponen media, kerapatan koloni, waktu
inkubasi dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Faktor lain yang
mempengaruhi besar kecilnya luas zona bening adalah jumlah kandungan
zat aktif yang terdapat dalam larutan tersebut (Dali 2011). Berdasarkan
standart, diameter zona hambat dapat menunjukkan tingkat sensitivitas
suatu antibiotik terhadap bakteri termasuk dalam sensitif, intermediet atau
28
resisten. Dengan kata lain, zona hambat dapat membedakan suatu bakteri
sensitif atau resiten terhadap pemberian antibitotik (Keith, 2017).
Sensitivitas bakteri pada dasarnya merupakan kemampuan alamiah
bakteri dalam bertahan hidup (Ryan & Ray, 2004). Perbedaan sensitivitas
terhadap pemberian antibiotik masing-masing daerah mempunyai pola
kepekaan yang berbeda dan bervariasi pada waktu dan tempat yang berbeda.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sensitivitas dapat disebabkan
overuse dan missuse antibiotik oleh para dokter, penggunaan bebas
antibiotik oleh masyarakat, pengobatan yang lama dengan dosis yang
rendah (Dzen, 2004).
Adapun beberapa uji yang dapat dilakukan untuk megetahui daya
hambat antimikroba secara in vitro yaitu :
a. Metode Dilusi Tabung
Metode dilusi tabung digunakan untuk menentukan KHM (Kadar
Hambat Minimal) dan KBM (Kadar Bunuh Minimal) dari obat
antimikroba (Dzen dkk, 2003). Metode ini menggunakan antimikroba
dengan kadar berbeda yang menurun secara bertahap, baik dengan media
cair maupun padat (Brooks et al., 2001).
Metode dilusi dengan menggunakan media cair menggunakan satu
seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba
yang diuji. Masing-masing tabung kemudian diisi dengan obat yang telah
diencerkan secara serial. Selanjutnya, seri tabung diikubasi pada suhu 37º
C selama 18-24 jam lalu diamati terjadinya kekeruhan pada tabung.
Konsentrasi terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil
29
biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba)
adalah KHM dari obat. Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih
diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan dan diamati ada
tidaknya koloni mikroba yang tumbuh pada keesokan harinya.
Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan
tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat
terhadap bakteri uji (Dzen dkk, 2003).
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar
(Brooks et al, 2001). Prinsip dari metode difusi agar/cakram adalah obat
dijenuhkan ke dalam kertas saring (cakram kertas) yang kemudian
ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah dicampur dengan
mikroba uji, kemudian diinkubasi pada suhu 37℃ selama 18-24 jam.
Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar cakram kertas
yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen dkk,
2003).
Untuk mengevaluasi hasil uji difusi cakram dapat dilakukan dua
cara, yaitu :
Cara Kirby Bauer, yaitu dengan cara membandingkan diameter dari
area jernih (zona hambat) disekitar cakram dengan tabel standar yang
dibuat oleh NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory
Standard) untuk mengetahui kriteria sensitif, sensitif intermediet, dan
resisten. Metode ini tidak dapat dilakukan untuk antibakteri yang
belum tercantum standar zona hambatnya dalam tabel NCCLS.
30
Berikut merupakan tabel strandart interpretasi antibiotik pada bakteri
S. typhi :
Tabel 2.5. Standart Interpretasi Diameter Zona Hambat S. typhi
No.
Grup Antibiotik
Antibiotik
Isi
disk
(µg)
Standar Interpretasi
hasil diameter zona
hambat (mm)
S I R
1. Β-Laktam Ampisilin 10 ≥17 14-16 ≤13
2. Sefalosporin Sefalotin 30 ≥18 15-17 ≤14
3. Aminoglikosida Gentamisin 10 ≥15 13-14 ≤12
Streptomisin 10 ≥15 12-14 ≤11
4. Fluoroquinolon Siprofloksasin 5 ≥31 21-30 ≤20
Enrofloksasin 5 ≥23 17-22 ≤16
Asam
Nalidiksat
30 ≥19 14-18 ≤13
5. Makrolida Eritromisin 15 ≥23 14-22 ≤13
6. Fenikol Kloramfenikol 30 ≥18 13-17 ≤12
7. Potentiated
sulfonamid
Trimetropin
sulfametoksaz
ol
1,25/
23,75
≥16 11-15 ≤10
8. Tetrasiklin Tetrasiklin 30 ≥19 15-18 ≤14
S = Sensitif, I = Intermediet, R = Resisten
Sumber : NCCLS, 2004
Adapun dikatakan Sensitif (S) menunjukkan bahwa antibiotik
tersebut memiliki daya hambat yang lebih besar dari kriteria yang
seharusnya, intermediet (I) berada pada rentang minimum terendah
hingga mencapai sensitif, dan resisten (R) menunjukkan daya hambat
yang terbentuk berada jauh dibawah kriteria yang telah ditentukan
(Dzen dkk, 2003).
Cara Joan-Stokes, yaitu dengan cara membandingkan radius zona
hambatan yang terjadi antara bakteri kontrol yang sudah diketahui
kepekaanya terhadap obat tersebut dengan isolat bakteri yang diuji
(Dzen dkk, 2003).
Metode difusi agar dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan
kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium
31
dan kemampuan difusi, ukuran molekular, dan stabilitas obat).
Meskipun demikian, standardisasi faktor tersebut memungkinkan
melakukan uji kepekaan yang baik (Brooks et al., 2001).