word penyakit kusta

35
i TUGAS KHUSUS “PENYAKIT KUSTA” A. Apotek Kimia Farma 143, anggota: 1. Lina Hidayanti Gulo (Universitas Pancasila) 2. Roslan Simbolon (Universitas Pancasila) 3. Abdul Azis (ISTN) B. Apotek Kimia Farma 110, anggota: 1. Hikmat (ISTN) 2. Meisalina (ISTN) 3. Ade Oktavianingsih (ISTN) C. Apotek Kimia Farma 147, anggota: 1. Marisa Juliani (Universitas Pancasila) 2. Putri Aprillia Warmy (Universitas Pancasila) PROGRAM KERJA PROFESI APOTEKER JAKARTA JUNI 2016

Upload: lina-hg

Post on 08-Jul-2016

37 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Word Penyakit Kusta

i

TUGAS KHUSUS

“PENYAKIT KUSTA”

A. Apotek Kimia Farma 143, anggota:

1. Lina Hidayanti Gulo (Universitas Pancasila)

2. Roslan Simbolon (Universitas Pancasila)

3. Abdul Azis (ISTN)

B. Apotek Kimia Farma 110, anggota:

1. Hikmat (ISTN)

2. Meisalina (ISTN)

3. Ade Oktavianingsih (ISTN)

C. Apotek Kimia Farma 147, anggota:

1. Marisa Juliani (Universitas Pancasila)

2. Putri Aprillia Warmy (Universitas Pancasila)

PROGRAM KERJA PROFESI APOTEKER

JAKARTA

JUNI 2016

Page 2: Word Penyakit Kusta

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya kepada penulis sehingga TUGAS KHUSUS ini dapat terselesaikan. Shalawat

dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-

sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Tugas khusus “Penyakit Kusta” disusun untuk membahas mengenai kusta, jenis-jenis

kusta, terapi untuk masing-masing jenis kusta dan menganalisis resep pada terapi kusta. Penulis

berharap agar pembahasan “Penyakit Kusta” ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa PKPA

khusunya dan bagi praktisi medis pada umumnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk

perkembangan yang lebih baik.

Jakarta, Juni 2016

Penulis

Page 3: Word Penyakit Kusta

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Cover..................................................................................................................... i

Kata Pengantar.................................................................................................... ii

Daftar isi............................................................................................................... iii

Bab I Pendahuluan.............................................................................................. 1

A. Latar Belakang.............................................................................................. 1

B. Tujuan........................................................................................................... 2

C. Manfaat......................................................................................................... 2

Bab II Uraian Tentang Penyakit........................................................................ 3

A. Definisi.......................................................................................................... 3

B. Klasifikasi..................................................................................................... 3

C. Etiologi.......................................................................................................... 5

D. Faktor Resiko................................................................................................ 5

E. Patofisiologi.................................................................................................. 8

F. Patogenesis.................................................................................................... 9

G. Manifestasi Klinik......................................................................................... 10

H. Komplikasi.................................................................................................... 10

I. Epidemologi.................................................................................................. 11

J. Diagnosis....................................................................................................... 11

K. Tanda dan Gejala Kusta................................................................................ 12

L. Penanganan (Farmakologi & Non Farmakologi).......................................... 14

Bab III Tinjauan Kasus...................................................................................... 21

A. Skrining Resep.............................................................................................. 22

B. Spesialite Obat.............................................................................................. 23

C. Alur Pelayanan Resep................................................................................... 27

Bab IV Pembahasan............................................................................................ 28

Bab V Kesimpulan dan Saran............................................................................ 31

Daftar Pustaka..................................................................................................... 32

Page 4: Word Penyakit Kusta

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk

memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut

mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD

(Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki) dan rekomendasi perubahan atau alternatif

terapi.

Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya

masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki

peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang dalam melakukan PTO adalah

patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik,

laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan keterampilan berkomunikasi,

kemampuan membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO

merupakan proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data

pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan

sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan

sampai tujuan terapi tercapai.

Pada kasus ini dilakukan Pemantauan Terapi obat (PTO) terhadap pasien yang

menerima obat dengan resiko tinggi seperti obat yang bersifat hepatotoksik pada

pengobatan penyakit kusta merupakan prioritas pasien yang perlu dilakukan PTO. Pada

kasus ini dilakukan kegiatan PTO terhadap pasien An. I yang menderita penyakit kusta.

Kegiatan PTO terhadap pasien An. I diharapkan dapat mencegah munculnya masalah

terkait obat atau DRP (Drug Related Problem) dan tercapainya kerasionalan

pengobatan yang optimal.

Page 5: Word Penyakit Kusta

2

B. Tujuan

Memastikan terapi pengobatan yang aman, efektif dan rasional bagi pasien melalui

kegiatan: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD

(Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki) dan rekomendasi perubahan atau alternatif

terapi.

C. Manfaat

Sebagai salah satu sarana untuk menjalankan penerapan fungsi Apoteker dalam

pelayanan kefarmasian di Apotek.

Page 6: Word Penyakit Kusta

3

BAB II

URAIAN TENTANG PENYAKIT

A. Definisi

Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta

(Mycobacterium leprae) yang bersifat intraselular obligat. Saraf tepi/perifer sebagai

afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, kemudian dapat ke

organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusa. Atas dasar definisi tersebut, maka

untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf

tepi dan kelainan yang tampak pada kulit.

B. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan

penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan

klasifikasi sebagai berikut :

1. Klasifikasi Madrid

Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan

atas dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan

rekomendasi Internasional Leprosy Association di Madrid tahun 1953. Klasifikasi

Madrid tersebut memutuskan bahwa penyakit kusta dibagi atas:

a. tipe indeterminate

b. tipe tuberkuloid

c. tipe lepromatosa

d. tipe borderline (dimorphous).

2. Klasifikasi Ridley & Jopling

Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik kusta yang

sangat lebar rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang penderita

sampai pada kekebalan yang tinggi. Maka klasifikasi ini didasarkan gejala klinik,

bakteriologik, histopatologik, dan imunologik. Menurut klasifikasi ini terdapat 5

(lima) tipe klinik penyakit kusta yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan

yaitu tipe polat tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid

borderline Lepromatous (BL) dan tipe polar lepromatous (LL).

Page 7: Word Penyakit Kusta

4

Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil

dan keadaan imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar

lepromatosa merupakan keadaan imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline

lepromatosa, mide lepromatosa dan bordeline tuberkuloid merupakan keadaan

imunitas yang lebih.

3. Klasifikasi WHO

Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh

WHO dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada standarisasi

dengan lebih disederhanakan, oleh karena itu WHO menyepakati untuk membagi

menjadi 2 (dua) tipe yaitu:

a. Tipe Pause - Basiler (PB)

Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid atau tipe TT

dan BT pada klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-)

b. Tipe Multi – Basiler (MB)

Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa atau borderline pada klasifikasi

Madrid atau tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling

Bila salah satu dari tanda utama MB ditemukan, maka pasien diklasifikan sebagai

kusta MB, begitupun sebaliknya. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam

penentuan klasifikasi penyakit kusta adalah sebagai berikut:

Page 8: Word Penyakit Kusta

5

C. Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh M.leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen

tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus, batang

ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan

ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman

berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan

pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna

merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-

pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang

bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).

D. Faktor Resiko

1. Sosial Ekonomi

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita kusta di dunia menyerang kelompok

dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan

penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta merupakan penyebab kemiskinan dan

karena miskin maka manusia menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri,

mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan

penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan

yang tidak sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan

kesehatan juga menurun kemampuannya.

Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus

kusta atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari

jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta

Page 9: Word Penyakit Kusta

6

kepemilikan. Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami

kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit kusta

menjadi ancaman bagi mereka. Penyebab terbesar menurunnya kasus kusta adalah

meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial

ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada, pencahayaan,

ventilasi, kepadatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan gizi dapat terpenuhi.

Faktor sosial ekonomi ini merupakan salah satu karakteristik tentang faktor

orang, perlu mendapat perhatian tersendiri. Status sosial ekonomi sangat erat

hubungannya dengan pekerjaan dan jenis pekerjaan serta besarnya pendapatan

keluarga juga hubungan dengan lokasi tempat tinggal, kebiasaan hidup keluarga,

termasuk kebiasaan makan, jenis rekreasi keluarga, dan lain sebagainya. Status

sosial ekonomi erat pula hubungannya dengan faktor psikologi individu dan

keluarga dalam masyarakat. Status ekonomi sangat sulit dibatasi, hubungan dengan

kesehatan juga kurang nyata, yang jelas bahwa kemiskinan erat hubungannya

dengan penyakit hanya sulit dianalisa managemen sebab, dan yang mana akibat.

Status ekonomi menentukan kwalitas makanan, hunian, kepadatan gizi, taraf

pendidikan, tersediannya fasilitas air bersih, sanitasi kesehatan lainnya, besar kecil

keluarga, dan tehnologi.

2. Umur

Kebanyakan peneliti melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur

berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, karena pada saat

timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit

sering terkait umur pada saat ditemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Kusta

diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3 minggu sampai

lebih dari 70 tahun), namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.

Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang, dinyatakan bahwa dari 1153

responden diperoleh hasil bahwa kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif

19-55 tahun (76,1%), menyatakan bahwa terjadi kecacatan sekunder pada usia

dibawah 30 tahun. Hal ini disebabkan oleh bahaya yang terpapar pada saat

beraktifitas.

3. Jenis kelamin

Penyakit kusta dapat mengenai dari semua jenis kelamin, baik laki-laki mupun

perempuan. Sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa Negara di Afrika

menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang kusta dari pada wanita.

Page 10: Word Penyakit Kusta

7

Rendahnya kejadian kusta pada wanita disebabkan karena beberapa faktor antara

lain faktor lingkungan dan faktor biologis.

Tingkat kecacatan pada laki-laki lebih besar daripada wanita. Hal ini berkaitan

dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, dan merokok. Penelitian yang

dilakukan di Nepal 67% wanita mengalami kecacatan sekunder.

4. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki semangat spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan akhlak mulia keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang

terdiri dari pendidikan dasar (SD/SMP/Sederajat), pendidikan menengah

(SMA/Sederajat) serta pendidikan tinggi (Diploma/sarjana/magister/spesialis) (UU

No 20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional). Status pendidikan

berkaitan denga tindakan pencarian pengobatan penderita kusta. Rendahnya tingkat

pendidikan dapat mengakibatkan lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis

penyakit, hal ini dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin

parah.

Telah diperoleh hasil bahwa kelompok tidak terpelajar (64%) lebih banyak

mengalami kecacatan sekunder. Hal ini disebabkan pada kelompok terpelajar lebih

mengerti dan mengikuti instruksi tenaga kesehatan.

5. Pekerjaan

Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang berkembang

termasuk Indonesia, sebagaian besar penduduk Indonesia mencari penghasilan

dengan bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya

cacat pada kusta. Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire, membagi

responden dalam dua kategori, yaitu mereka yang bekerja secara “manual worker”

dan “non manual worker”. Diperoleh hasil, 64% pada “manual worker”

mengalami kecacatan sekunder, hal ini disebabkan karena Nepal adalah Negara

pertanian, banyak yang bekerja sebagai petani. Selain itu karena pasien-pasien kusta

lebih suka menyendiri sehingga kegiatan sehari-hari juga dilakukan sendiri.

Page 11: Word Penyakit Kusta

8

E. Patofisiologi

Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti

bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita

kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan

genetik Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok

penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe

kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga

merupakan faktor penyebab.

Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara

orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dalam penelitian terhadap insiden, tingkat

infeksi untuk kontak lepra lepramatosa beragam dari 6.2 per 1000 per tahun di Cebu,

Philipina hingga 55.8 per 1000 per tahun di India Selatan.

Dua pintu keluar dari Mycrobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan

adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa

menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat

dibuktikan bahwa organism tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun

telah ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa

ditemukan bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan

bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian

terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar

dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk

sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah

ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada

kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley

melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri

di secret hidung penderita. Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari

pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda

tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya

bakteri. Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha

mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa

minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum

Page 12: Word Penyakit Kusta

9

dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran

perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah

non endemik. Secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah

3-5 tahun.

F. Patogenesis

Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala

dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20

tahun. Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya.

Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak

orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta.

Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di

perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit

dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk

dari protein 21 KD, yang mampu berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann

yaitu laminin α-2 G receptor sejenis α-dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut

merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis

fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae, tetapi tidak dapat

menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu

berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di sel

schwann.

Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta

dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua)

aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit

dan membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated

Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi

antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak

mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim

dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil.

Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh

basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta

seperti tipe Tuberkuloid-Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe

Borgerline-Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous-

Lepromatous (LL).

Page 13: Word Penyakit Kusta

10

G. Manifestasi Klinik

Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing pada jari kaki,

pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan adanya makula dengan

hilangnya rasa tusukan. Keadaan tersebut merupakan penderita yang sudah lanjut dan

sudah dipastikan lepra tanpa pelaksanaan diagnostik yang cukup.

Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit, anesthesi pada

tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa berupa bercak kulit yaitu macula anaesthetica,

penebalan kulit (papula atau plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf tepi biasanya

timbul penebalan saraf yang disertai peradangan (neuritis).

Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan Multi basiler

(MB) dan menurut WHO untuk menentukan kusta perlu adanya 4 (empat) kriteria yaitu:

1. Ditemukannya lesi kulit yang khas.

2. Adanya gangguan sensasi kulit.

3. Penebalan saraf tepi.

4. BTA positif dari sediaan sayatan kulit.

H. Komplikasi

Kusta dengan komplikasi ialah reaksi kusta yang dapat menyebabkan kerusakan saraf

dan gejala sisa akibat kerusakan saraf tersebut; kehilangan sensibilitas dan kehilangan

kekuatan otot, dengan akibat ulserasi dan deformitas. Terdapat 2 tipe reaksi kusta

dengan komplikasi yang dapat dikenali, yaitu:

1. Reaksi Reversal (RR) Simptom RR dapat berupa lesi lama yang lebih udem dan

eritematosa, dapat muncul lesi baru, pembesaran saraf tepi disertai nyeri dengan

peningkatan gangguan fungsi, dan kadang-kadang disertai pembengkakan akral.

2. Reaksi Eritema Nodosum Leprosum (ENL) mempunyai bentuk karakteristik,

berupa nodul-nodul eritematosa yang terasa sakit, dan timbul mendadak. Pasien

umumnya merasa sakit. Sarafpun dapat nyeri. Kadang-kadang terjadi arthritis,

limfadenitis, orkitis, iridosiklitis dan glaukoma yang dapat diikuti dengan

kebutaan. Keterlibatan berbagai organ tersebut dapat terjadi terpisah atau secara

bersamaan pada kusta dengan komplikasi.

Page 14: Word Penyakit Kusta

11

I. Epidemiologi

Cara penularan kuman kusta sampai saat ini masih bersifat misterius, yang diketahui

hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh penderita, yakni selaput lendir hidung.

Penularan penyakit kusta tergantung dari 2 (hal):

1. Jumlah dan keganasan Mycobacterium Leprae

2. Daya tahan tubuh penderita

Di samping itu faktor yang berperan dalam hal penularan adalah:

1. Usia

Anak-anak lebih peka di banding dengan orang dewasa perbandingan 3:2

2. Jenis kelamin

Laki-laki lebih banyak di jangkiti oleh penyakit kusta dibanding wanita (karena

kontak lebih banyak pada laki-laki)

3. Ras

Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti oleh penyakit kusta

dibanding dengan Eropa

4. Keadaan sosial ekonomi

Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara-negara yang tingkat sosial

ekonominya rendah

5. Lingkungan

Fisik, biologis, sosial yang kurang sehat. Masa tunasnya (inkubasi) penyakit kusta

sangat lama. Umumnya berkisar antara 2 sampai 5 tahun, tetapi bisa mencapai

puluhan tahun.

J. Diagnosis

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu diacri tanda-tanda utama tau tanda

kardinal (cardinal signs), yaitu :

1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan

(eritema) yang mati rasa (anestesi).

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi. (neuritis

perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf bisa berupa :

a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paraselis)

otot

Page 15: Word Penyakit Kusta

12

c. Gangguan fungsi otonom : Kulit kering dan retak-retak

3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat suatu dari tanda-

tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis

dengan pemerikasaan klinis. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu

dirujuk kepada wasor atau ahli kusta. Jika masih ragu orang tersebut dianggap

sebagai penderita yang dicurigai (suspek)

K. Tanda dan Gejala Kusta

Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP& PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign

penyakit kusta, yaitu:

1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau

kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi

saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).

Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:

a. Gangguan fungsi sensori : mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.

3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari

tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis

dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat

dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua

perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap

sebagai penderita yang dicurigai.

Tanda-tanda tersangka kusta (suspek):

1. Tanda-tanda pada kulit

a. Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh

b. Bercak yang tidak gatal dan Kulit mengkilap

c. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut

d. Lepuh tidak nyeri.

Page 16: Word Penyakit Kusta

13

2. Tanda-tanda pada saraf

a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka

b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka

c. Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.

3. Derajat Cacat Kusta

Menurut Djuanda, A, 2007 membagi cacat kusta menjadi 2 tingkat kecacatan, yaitu:

a. Cacat pada tangan dan kaki

1) Tingkat 0: tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau

deformitas yang terlihat.

2) Tingkat 1: ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang

terlihat.

3) Tingkat 2: terdapat kerusakan atau deformitas.

b. Cacat pada mata

1) Tingkat 0: tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan

penglihatan.

2) Tingkat 1: ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang

berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari

pada jarak 6 meter).

3) Tingkat 2: gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter).

4. Jenis-jenis cacat kusta

Jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:

a. Cacat primer

Adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,

terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap mycobacterium leprae. Yang

termasuk kedalam cacat primer adalah :

1. Cacat pada fungsi saraf

a) Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi

b) Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist drop, fot drop, clow tes,

lagoptalmus

c) Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan

elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.

2. Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit

berkerut dan berlipat-lipat

Page 17: Word Penyakit Kusta

14

3. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada

tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.

b. Cacat sekunder

1. Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf

sensorik, motorik, dan otonom

2. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan

berjalan dan mudah terjadinya luka

3. Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan

terjadinya kreatitis

4. Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya

elastisitas akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi skunder.

K. Penanganan (Farmakologi & Non Farmakologi)

a. Farmakologi

Kemoterapi kusta dimulai tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal (monoterpi

DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10

tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terajadinya

resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun

1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO

merekomendasikan pengobatan kusta dengan multi drug therapy (MDT) untuk tipe PB

maupun MB.

Page 18: Word Penyakit Kusta

15

1. Regimen Pengobatan MDT

Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah

satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan

obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik.

Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT :

1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT

2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibahwah ini

a) Relaps

b) Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)

c) Pindahan (pindah masuk)

d) Ganti klasifikasi/tipe

Regimen pengobatan MDT di indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan

oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :

1) Pasien Pausibasiler (PB)

Dewasa

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

- 2 kapsul rifampisisn @300 mg (600mg)

- 1 tablet dapson /DDS 100 mg

Pengobatan harian : Hari ke 2-28

- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 5 blister yang diminum selama 6-9

bulan.

2) Pasien multibasiler (MB)

Dewasa

Pengobatan bulanan : hari pertama (Obat diminum di depan petugas )

- 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)

- 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)

- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

- 1 tablet lampren 50 mg

- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-

18 bulan.

Page 19: Word Penyakit Kusta

16

3) Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)

Pengobatan bulanan : Hari pertama (oabat diminum di depan petugas)\

- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

- 1 tablet dapson /DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

- 1 tablet dapson/DDS 50 mg

4) Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)

Pengobatan bulanan : Hari pertama (Obat diminum di depan petugas)

- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

- 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)

- 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

- 1 tablet lampren 50 mg selang sehari

- 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-

18 bulan.

Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.

Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :

- Rifampisin : 10-15 mg/kgBB

- Dapson : 1-2 mg/kgBB

- Lampren : 1 mg/kgBB

Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunkan tabel

sebagai berikut :

Page 20: Word Penyakit Kusta

17

Page 21: Word Penyakit Kusta

18

2. Uraian Obat

MDT tersedia dalam bentuk bliser. Ada empat macam blister untuk PB dan MB

dewasa serta PB dan MB anak

a) DDS (dapson)

- Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone

- Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg

- Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta

- Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 50 mg/hari (umur 10-15 tahun)

b) Lampren (B663) juga disebut klofazimin

- Sediaan berbentuk kapsul lunak 50 mg dan 100 mg, warna coklat

- Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi

- Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari

gangguan gatrointestinal

c) Rifampisin

- Sediaan berbentuk kaspusl 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 60 mg.

- Bersifat bakterisidal; 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemeberian

- Cara pemeberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan,

agar penyerapan lebih baik.

3. Analisis Interaksi Obat

1) Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya

2) Tuberkulosis: bila seseorang mederita tuberkulosis (TB) dan kusta, maka

pengobatan antiberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis

rifampisin sesuai dsis untuk tuberkulosis.

a) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PB

Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg, karena

rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai

dengan jangka waktu pengobatan PB

b) Untuk pasien TB yang mederita kusta tipe MB

Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lapmren karena rifampisin

sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan

jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai maka

pengoabatan kusta kembali sesuai blister MDT

3) Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat di ganti dengan

lampren

Page 22: Word Penyakit Kusta

19

4) Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengoabatan hanya dengan dua

macam obat saja, yaitu rifampisisn dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu

pengobatan MB

4. Efek Samping dan Penanganannya

b. Terapi Non Farmakologi Penyakit Lepra

1. Jaga selalu kebersihan anggota badan

Kebersihan sangatlah penting bagi perkembangan penyakit lepra yang Anda

derita. Terlebih untuk kebersihan anggota badan seperti jari tangan dan kaki,

karena biasanya bakteri lepra akan mengerogoti bagian organ tersebut. nah untuk

mencegah bakteri tersebut berkembangbiak dalam jumlah besar, Anda harus

selalu menjaga kebersihan anggota badan. seperti usahakan untuk mandi 2 kali

sehari, mencuci tangan sebelum makan dan lain sebagainya.

2. Tingkatkan daya tahan tubuh

Daya tahan tubuh penderita penyakit lepra biasanya menurun sangat drastis,

dengan keadaan daya tahan yang menurun ini tentunya akan membuat

bakteri lepra lebih mudah berkembangbiak di dalam anggota tubuh Anda. oleh

sebab itu usahakan untuk selalu meningkatkan daya tahan tubuh, Anda bisa

meningkatkan daya tahan dengan berolahraga secara rutin, konsumsi multivitamin

dan lain sebagainya.

Page 23: Word Penyakit Kusta

20

3. Periksakan diri ke dokter secara rutin

Walaupun penyakit lepra yang sedang Anda derita masih tergolong baru atau

stadium awal, akan tetapi sangat diperlukan juga pemeriksaan secara berkala ke

dokter spesialis lepra ataupun ahlinya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui

perkembangan penyakit lepra Anda, jikalau penyakit tersebut mengalami

perkembangan yang sangat buruk, maka Anda dapat melakukan tindakan medis

dengan segera mungkin, mengingat penyakit lepra sangat berbahaya jika tidak

dilakukan tindakan medis oleh para dokter dan ahlinya.

Page 24: Word Penyakit Kusta

21

BAB III

TINJAUAN KASUS

Page 25: Word Penyakit Kusta

22

A. Skrining Resep

A. Persyaratan Administratif

No. Komponen Keterangan

1. Nama Dokter dr. Eviana Sri Sundari Lengkap

2. Tanggal 30-05-2016 Lengkap

3. Tanda R/ Ada Lengkap

4. Nama Bahan Cetirizine No. V Lengkap

Hidrocortison No. 1

MDT MB anak No. 1

5. Cara pemakaian

(Signa)

S. 2 dd ½. Pc Lengkap

S.U.E

S.U.C

6. Paraf Dokter Tidak ada Tidak

Lengkap

7. Nama Pasien An. Inosensius Subaris

Tidak

Lengkap

Umur Tidak ada

BB/TB Tidak ada

Alamat Tidak ada

B. Persyaratan Farmasetik

1. Bentuk sediaan Sesuai

2. Dosis Sesuai

3. Stabilitas Suhu sejuk dan tempat kering

4. Inkompatibilitas Tidak ada

5. Cara pemberian Oral dan topikal

6. Lama pemberian Tidak ada

C. Persyaratan Klinis

1. Alergi Tidak ada

2. Efek samping Air seni berwarna merah, masalah gastro intestinal,

anemia

3. Interaksi Antihipertensi, fenotiazin, alkohol, depresan SSP,

antikolinergik, antidepresan trisiklik, penghambat MAO

4. Kesesuaian (dosis,

durasi, jumlah obat)

Sesuai

Page 26: Word Penyakit Kusta

23

B. Spesialite Obat

Nama Obat Cetirizine

Komposisi Setirizin HCl 10mg

Indikasi Rinitis menahun, rinitis alergi seasonal, konjungtivitis, pruritus,

urtikaria idiopati kronis.

Kontra Indikasi Pasien koma, serangan akut asma, bayi prematur

Efek Samping

Gangguan saluran cerna, efek antimuskarinik, kelemahan otot,

tinnitus, reaksi alergi, kelainan darah, pengaruh kardiovaskuler atau

SSP, sakit kuning, fotosensitivitas, injeksi intramuskular

kemungkinan menyebabkan rasa sakit; lihat juga keterangan di atas

Interaksi Obat Antihipertensi, fenotiazin, alkohol, depresan SSP, antikolinergik,

antidepresan trisiklik, penghambat MAO

Dosis

Oral: 25 mg, malam hari, bila perlu dinaikkan sampai 50 mg, atau

10-20 mg 2-3 kali/hari. Anak di bawah 2 tahun tidak dianjurkan; 2-

5 tahun, 5-15 mg/hari, 5-10 tahun 10-25 mg/hari

Nama Obat Hidocortison

Komposisi Hidrokortison 2,5%

Indikasi

Menekan reaksi radang pada kulit yang bukan disebabkan infeksi

seperti eksim dan alergi kulit seperti : dermatitis atopi, dermatitis

kontak, dermatitis alergik, pruritus anogenital dan neurodermatitis

Kontra Indikasi

Hydrocortisone sebaiknya tidak diberikan pada penderita:

Penyakit kulit karena virus atau tuberkulosis, akut rosasae,

skabies, dermatitis perioral, tinea, pemakaian lama atau daerah

yang luas pada kehamilan.

Penderita yang hipersensitif.

Herpes simplex, vaccinia dan varicella, infeksi jamur.

Efek Samping Rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit, infeksi sekunder

Peringatan

Hati-hati penggunaan Hydrocortisone pada jangka waktu yang

lama, area kulit yang luas, wanita hamil, bayi dan anak berusia

di bawah 4 tahun.

Hindari kontak dengan mata, membrane mukosa, dan kulit yang

sensitive / rusak

Dosis

Tanyakan kepada dokter anda mengenai dosis dan aturan pakai

Hydrocortisone.

Dosis yang umum diberikan : oleskan 2 – 3 kali sehari pada kulit

yang sakit.

Page 27: Word Penyakit Kusta

24

Nama Obat Dapson

Komposisi Diaminodiphenylsofone/DDS 100 mg

Indikasi Lepra, dermatitis herpetiformis

Efek Samping

(tergantung dosis, jarang terjadi pada dosis lazim), hemolisis,

metamoglobinemia, neuropati, dermatitis alergika (kadang-kadang

nekrolisis epidermal toksik dan sindrom Stevens-Johnson),

anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, insomnia, anemia, hepatitis,

agranulositosis; sindrom dapson (ruam dengan demam dan

eusinofilia) segera hentikan obat (dapat berlanjut menjadi dermatitis

eksfoliatif, hepatitis, hipoalbuminemia, psikosis dan kematian).

Peringatan

- Terhadap Kehamilan : Penggunaan obat pada trimester ke 3

menyebabkan neonatal haemolysis dan methaeoglobinemia;

asam folat 5 mg sehari harus diberikan pada ibu hamil. Faktor

risiko : C

- Terhadap Ibu Menyusui : Anemia hemolitik; walaupun jumlah

obat dalam air susu signiifikan; risiko pada bayi sangat kecil

kecuali jika bayi mengalami defisiensi G6DP (BNF 50). Dapson

terdistribusi dalam air susu ibu jadi tidak direkomendasikan

untuk ibu menyusui

Dosis

- Dewasa: 100 mg/hari

Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari

- Anak 10 – 14 tahun: 50 mg/hari

- Anak 5 – 9 tahun: 25 mg/hari

Catatan: pemberian Dapson untuk terapi lepra/kusta dikombinasikan

bersama obat lain seperti rifampisin dan klofazimin/lampren dan

disesuaikan dengan jenis kusta tipe PB (Pauci Bacillery) atau MB

(Multi Bacillary)

Page 28: Word Penyakit Kusta

25

Nama Obat Lampren

Komposisi Klofazimin 100 mg

Indikasi Lepra/kusta

Kontra Indikasi - Wanita hamil terutama trimester I

- Penderita gangguan hati dan ginjal

Efek Samping

Perubahan warna kulit menjadi kemerah-merahan sampai coklat

gelap yang bersifat sementara, enteropati eosinofilik dan

penyumbatan usus besar, perubahan warna pada konjungtiva

(selaput ikat mata), pigmentasi makula, penglihatan suram, infarksi

splenik, limfadenopati, reaksi kulit.

Peringatan

- Hindari pengobatan jika mungkin pada pasien dengan nyeri

perut, diare, kerusakan hati atau ginjal.

- Pengobatan dengan dosis harian lebih dari 100 mg.

- Tidak boleh digunakan lebih dari 3 bulan.

- Muntah-muntah atau diare yang bersifat menetap - pasien harus

dirawat di rumah sakit.

- Depresi akibat perubahan warna kulit.

- Hamil, menyusui.

Dosis

- Dewasa: 300 mg/bulan

- Anak 10 – 14 tahun: 150 mg/bulan

- Anak 5 – 9 tahun: 100 mg/bulan

Catatan: pemberian Lampren untuk terapi lepra/kusta khusus untuk

tipe multibasiler (MB) dikombinasikan bersama obat lain yaitu

rifampisin dan dapson.

Page 29: Word Penyakit Kusta

26

Nama Obat Rifampicin

Komposisi Tiap kaplet salut selaput mengandung rifampisin 450 mg

Indikasi

untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosisdalam kombinasi dengan obat

antituberkulosis lain dan dalam kombinasi dengan obat antilepra

untuk pengobatan lepra dengan mengubah keadaan infeksi menjadi

keadaan noninfeksi

Efek Samping

gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare;

pada terapi intermiten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan

respirasi (napas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik,

anemia, gagal ginjal akut, purpura trombo-sitopenia; gangguan

fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam; gangguan sistem saraf

pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah

otot, psikosis. Efek samping lain seperti udem, kelemahan otot,

miopati, lekopenia, eosinofilia, gangguan menstruasi; warna

kemerahan pada urin, saliva dan cairan tubuh lainnya;

tromboplebitis pada pemberian per infus jangka panjang.

Interaksi Obat

peggunaan dengan antasida, opiat, antikolinergik dan ketokonazol,

berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, obat antiretroviral (non-

nucleoside reverse transcriptase inhibitors dan protease inhibitors).

Interaksi laboratorium: positif palsu dengan metode KIMS (Kinetic

Interaction of Microparticles in Solution)

Peringatan

kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan uji

fungsi hati dan hitung sel darah pada pengobatan jangka panjang;

gangguan fungsi ginjal (jika dosis lebih dari 600

mg/hari) lihat Lampiran 3; kehamilan dan menyusui lihat Lampiran

4 dan lampiran 5. Penting: pasien yang menggunakan kontrasepsi

oral dianjurkan untuk menggunakan metode tambahan; dapat

mengubah warna lensa kontak, menyebabkan warna kemerahan

pada seluruh sekresi tubuh, penderita diabetes melitus, flu syndrome,

sesak napas, syok anafilaksis

Dosis

Tuberkulosis : DEWASA dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah

450 mg, BB >50kg adalah 600mg (pasien dengan gangguan fungsi

hati tidak lebih dari 8mg/kgBB). ANAK: 10-20 mg/kgBB sebagai

dosis harian (dosis total tidak lebih dari 600 mg).

Lepra multibasiler: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson

100mg satu kali sehari+klofazimin(Lamprene) 300mg satu kali

sebulan+50mg satu kali sehari dengan durasi pengobatan selama 2

tahun.

Lepra pausibasiller: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson

100mg (1-2 mg/kgBB) satu kali sehari dengan durasi pengobatan 6

bulan.

Page 30: Word Penyakit Kusta

27

C. Alur Pelayanan Resep

1. Setelah resep diterima dari pasien, apoteker wajib menanyakan 3 pertanyaan utama

kepada pasien :

Apa yang dokter sampaikan tentang obat yang anda terima?

Apa yang dokter sampaikan tentang bagaimana cara pakai obat anda?

Apa yang disampaikan dokter tentang harapan dari pengobatan ini?

Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan komunikasi dengan dokter yang

mengakibatkan kebingungan pada pasien atas informasi yang diberikan.

2. Setelah mendapatkan jawaban, resep diskrining dan dianalisa, apabila ditemukan

kesalahan penulisan resep sebaiknya langsung dikonfirmasikan kepada dokter

3. Cek persediaan obat di apotek

4. Hitung harga obat yang harus dibayarkan oleh pasien

5. Pemberian informasi awal hasil skrining resep dan harga resep, untuk meminta

persetujuan pasien agar resep dapat disiapkan

6. Obat disiapkan :

Obat sediaan jadi

Untuk obat jadi seluruhnya diproses yang dilakukan hanya pindah kemas.

7. Penulisan etiket, lengkap dengan nama pasien, tanggal pemberian, dan aturan pakai

yang harus ditulis secara jelas, terbaca dan mudah dipahami agar tidak terjadi

kesalahan dalam pemakaian yang menyebabkan hasil pengobatan tidak optimal.

8. Penulisan salinan resep agar pasien dapat menebus kembali sisa obat.

9. Pengecekan ulang untuk memastikan obat yang akan diberikan sudah tepat. Sesuaikan

antara resep dengan obat yang telah disiapkan.

10. Penyerahan obat kepada pasien:

Berikan informasi obat kepada pasien mengenai jumlah obat, cara pemakaian, cara

penyimpanan.

Berikan informasi mengenai efek samping yang mungkin muncul serta

mengingatkan pasien mengontrol penyakitnya kembali setelah obat yang

dikonsumsi akan habis.

Dapat disertai pemberian salinan resep, kuitansi

Page 31: Word Penyakit Kusta

28

BAB IV

PEMBAHASAN

Kegiatan Apoteker dalam melaksanakan PTO (Pemantauan Terapi Obat) di Apotek

merupakan salah satu penerapan peran Apoteker sebagai profesional dalam pelayanan

kefarmasian. Keberadaan Apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya

masalah terkait obat (DRP/Drug Related Problem). Pada umumnya pasien yang mendapatkan

terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan

penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya

masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi

untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

Pada kasus ini dilakukan PTO pada pasien An. I yang menderita penyakit kusta. Pasien

diberikan 3 resep yaitu cetirizin, hidrokortison cream, MDT MB anak.

Pemberian obat cetirizin dengan regimen 2 x ½ tablet sehari selama 2-3 hari diindikasi

untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien. Penggunaan cetirizin harus dikonsumsi

setelah makan karena pemberian sebelum makan dapat mengalami gangguan gastrointestinal.

Obat hidrokortison cream pada kasus ini digunakan untuk menekan reaksi radang pada

kulit berupa bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh, bercak yang tidak

gatal dan Kulit mengkilap, adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut,

lepuh tidak nyeri yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penggunaan

hidrokortison tidak boleh digunakan dalam jangka waktu yang lama karena dapat

menyebabkan efek samping seperti rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit, infeksi

sekunder.

Pemberian obat cetirizin dan hidrokortison cream tersebut merupakan pengobatan

supportif pada penyakit kusta yaitu dengan tujuan untuk meringkankan gejala yang dialami

pasien

Pengobatan untuk penyakit kusta pasien mendapatkan MDT (Multi Drug Therapy) MB

(Multibasilar), akan tetapi pada resep tidak dicantumkan umur pasien sehingga pengobatan

diberikan berdasarkan penatalaksanaan untuk penyakit kusta (Depkes RI, 2012) yaitu:

Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)

Pengobatan bulanan : Hari pertama (Obat diminum di depan petugas)

- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

- 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)

- 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Page 32: Word Penyakit Kusta

29

Pengobatan harian : hari ke 2-28

- 1 tablet lampren 50 mg selang sehari

- 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.

Bagi anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.

Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :

- Rifampisin : 10-15 mg/kgBB

- Dapson : 1-2 mg/kgBB

- Lampren : 1 mg/kgBB

Page 33: Word Penyakit Kusta

30

Selain melakukan pengobatan secara farmakologi, apoteker juga perlu memberikan

informasi pengobatan secara non farmakologi ke pasien. Adapun pengobatan non

farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu: jaga selalu kesehatan badan,

tingkatkan daya tahan tubuh serta periksa ke dokter secara rutin.

Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker

harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga

kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari

dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target terapi

yang optimal. Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu

dilakukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru. Kegagalan terapi

mungkin bisa terjadi jika pasien tidak patuh dalam mengikuti regimen pengobatan.

Ketidakpatuhan pasien dapat terjadi akibat kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut

pasien harus mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat.

Page 34: Word Penyakit Kusta

31

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pemantauan Terapi obat (PTO) terhadap pasien yang menerima obat dengan resiko tinggi

seperti obat yang bersifat hepatotoksik pada pengobatan penyakit kusta merupakan

prioritas pasien yang perlu dilakukan PTO. Pada kasus ini dilakukan kegiatan PTO terhadap

pasien An. I yang menderita penyakit kusta. Kegiatan PTO terhadap pasien An. I

diharapkan dapat mencegah munculnya masalah terkait obat atau DRP (Drug Related

Problem) dan tercapainya kerasionalan pengobatan yang optimal.

Proses terapi pada pasien An. I sudah sesuai dengan penatalkasanaan penyakit kusta

Depkes RI 2012 tetapi belum mencapai kerasionalan pengobatan akibat dari pemilihan

pasien dengan spesifik obat dan dosis yang kurang tepat karena tidak tercantumnya umur

pasien di resep obat.

B. Saran

Diperlukan skrining resep yang lebih akurat dan tepat agar pasien dapat menerima regimen

pengobatan yang sesuai dengan kondisi pasien.

Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian

tujuan terapi. Tindak lanjut pasien juga harus dilakukan berupa Komunikasi, Informasi dan

Edukasi (KIE) yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengikuti regimen

pengobatannya.

Page 35: Word Penyakit Kusta

32

DAFTAR PUSTAKA

1. DEPKES RI. Pedoman Pemantaun Terapi Obat. Jakarta: Direktorat Binfar Komunitas dan

Klinik Ditjen Binfar dan Alkes Depkes RI. 2009.

2. DEPKES RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:

Kementrian Kesehatan RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

2012.

3. http://pionas.pom.go.id diakses pada tanggal 10 Juni 2016 pkl. 2018 WIB.

4. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Farmakologi dan

Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2012.

5. Martindale The Complete Drug Reference 36th. 2009. London : The Pharmaceutical Press.

6. IAI. Informasi Spesialite Obat (ISO). Volume 49. Jakarta: IAI. 2014.