bab ii kajian pustaka · 2016. 8. 12. · bab ii kajian pustaka 2.1 sekolah menurut reimer dalam...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sekolah
Menurut Reimer dalam (Saiful Sagala, 2009: 70) mengemukakan bahwa
sekolah adalah lembaga yang menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok
umur tertentu dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin guru untuk mempelajari
kurikulum-kurikulum yang bertingkat. Nanang Fattah dalam (Saiful Sagala, 2009:
70) mengemukakan sekolah merupakan wadah tempat proses pendidikan
dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Dalam kegiatannya,
sekolah bukan hanya tempat berkumpulnya guru dan murid, melainkan berada
dalam suatu tatanan sistem yang rumit dan saling berkaitan. Sementara itu Saiful
Sagala (2009: 71) mengemukakan sekolah merupakan suatu organisasi yang
membutuhkan pengelolaan oleh orang-orang profesional. Sekolah memiliki
kegiatan inti organisasi yaitu mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) yang
diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan
kebutuhan masyarakat, lulusan sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi
yang signifikan kepada pembangunan bangsa. Pendapat tersebut di dukung oleh
Abdul Aziz Wahab (2008: 112) sekolah merupakan organisasi pendidikan yang
melaksanakan kegiatan yang dikelola secara efektif-efisien dalam upaya mencapai
tujuan yang hendak dicapainya, sekolah juga memiliki hubungan-hubungan
fungsional dengan pusat kekuasaan yaitu pemerintah pusat.
Berdasarkan pemaparan para ahli tersebut dapat dikemukakan kembali
bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola secara efektif dan
efisien oleh tenaga profesional dengan kegiatan intinya adalah mengelola SDM
agar mampu memberikan kotribusi signifikan bagi masyarakat.
Sebagai suatu lembaga pendidikan, sekolah tentunya memiliki fungsi.
Fungsi sekolah menurut Saiful Salaga (2009: 75) adalah meneruskan,
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan masyarakat melalui
pembentukan kepribadian peserta didik dengan memberikan ilmu pengetahuan
dan penanaman nilai-nilai yang mendukungnya.
10
Cheng dalam (Umaedi, dkk. 2007: 36-40) lebih memperinci mejelaskan
fungsi sekolah antara lain:
1. Fungsi Teknis/ Ekonomi
Fungsi teknis/ ekonomi merujuk pada sejauh mana sekolah di dalam
pembangunan ekonomi bagi individu, institusi dan masyarakat. Pada
tingkat individu, sekolah membantu siswa memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan untuk bekal hidup. Sebagai instusi, sekolah merupakan
organisasi layanan yang menyediakan produk jasa layanan yang bermutu
bagi klien (pengguna jasa pendidikan), tempat bekerja bagi karyawan dan
pengelola. Pada tingkat masyarakat baik lokal maupun nasional, sekolah
turut mewarnai sistem dan gerak ekonomi dengan menyediakan tenaga
yang diperlukan dan sesuai perkembangan ekonomi masyarakat.
2. Fungsi Manusiawi/ Sosial
Fungsi manusiawi/ sosial berkaitan dengan sumbangan sekolah
terhadap perkembangan manusia sebagai pribadi dan dalam hubungan
sosial dengan orang lain. Bagi individu, sekolah membantu pengembangan
diri secara psikologis, fisik, sikap dan ketrampilan sosial, dengan
mengembangkan potensi setiap anak dengan optimal. Bagi tingkat
institusi, sekolah merupakan unit masyarakat kecil yang mempunyai
sistem sosial yang diharapkan ideal yaitu sesuai dengan nilai dan norma
tatanan yang dianggap baik sehingga menjadi model hubungan antar
pribadi yang harmonis di antara warga sekolah maupun warga sekolah
dengan masyarakat.
3. Fungsi Politik
Fungsi politik mengacu pada kontribusi sekolah kepada
pengembangan politik pada setiap tingkat atau tataran masyarakat. Pada
tataran individual, sekolah membantu siswa mengembangkan sikap
kewarganegaraan yang baik, serta pengembangan pengetahuan dan
keterampilan merealisasikan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Pada tataran institusi, sekolah menjadi tempat pelaksanaan model
pemerintahan yang sejalan dengan tatanan kenegaraan dan pemerintah
11
Indonesia, utamanya di dalam organisasi sekolah seperti komite sekolah
dan dewan guru sebagai contoh penerapan lembaga yang demokratis. Pada
tataran masyarakat, sekolah turut memberikan kontribusi terhadap
kesadaran berdemokrasi, menjaga kestabilan pemerintah yang sah dan
menyumbangkan tenaga (termasuk lulusan) yang memiliki etika politik
terpuji.
4. Fungsi Budaya
Fungsi budaya/ kultural merujuk pada kontribusi sekolah dalam
bentuk pembekalan sikap, kesadaran, sosialisasi, dan praktik hidup
berbudaya baik bagi individu, institusi maupun masyarakat. Pada tataran
individu, sekolah membantu siswa mengembangkan sikap perilaku yang
berbudaya, memelihara dan mempertahankan tradisi yang positif dan
mengembangkannya, baik dalam bentuk tradisi perilaku maupun berbagai
ragam kesenian. Dalam tataran institusi sekolah menjadi pusat alih budaya
secara sistematis kepada generasi penerus, pegenalan budaya baru yang
lebih dinamis serta pemolesan budaya lama dengan meninggalkan unsur-
unsur yang tidak relevan lagi dengan perkembangan masyarakat. Pada
tataran masyarakat, sekolah sering dipandang sebagai model yang
merefleksikan harapan masyarakat, penghasil manusia yang berbudaya,
serta calon budayawan sehingga secara keseluruhan sekolah-sekolah
mewarnai ragam budaya bangsa.
5. Fungsi Pendidikan
Faktor pendidikan merujuk pada sumbangan sekolah untuk lembaga
persekolahan dalam memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan
sistem pendidikan dan apresiasi serta komitmen akan pentingnya
pendidikan baik bagi individu, lembaga, masyarakat, bangsa dan antar
bangsa. Bagi individu, sekolah membantu siswa belajar bagaimana belajar,
kesadaran akan pentingnya belajar sepanjang hayat. Bagi institusi, sekolah
merupakan tempat bersama-sama belajar secara sistematis bukan hanya
bagi siswa tetapi juga guru, tenaga kependidikan lainnya, tempat
eksperimentasi dan pembaruan model belajar. Bagi masyarakat, sekolah
12
merupakan institusi yang penting bagi masyarakat modern yang harus ada
dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan berbagai ragam pendidikan.
6. Fungsi spiritual
Fungsi spiritual merujuk pada kontribusi sekolah bagi kehidupan
pribadi, kepentingan institusi, dan kehidupan masyarakat. Bagi pribadi,
sekolah membantu pengembangan spiritual anak untuk memahami nilai
luhur dan norma-norma hidup yang bersumber dari agama yang dianut
serta pengertian dan pemahaman mengenai perbedaan dalam hal agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan sikap yang
positif untuk dihayati dan diamalkan sehingga pribadi akan dapat menjalin
kehidupan secara lebih bermakna dan utuh. Bagi institusi, sekolah
merupakan tempat masyarakat kecil beragama yang plural dan harmonis.
Pada tataran masyarakat, sekolah berperan memenuhi hasrat spiritual yang
mungkin masih kurang ditangani oleh lembaga keagamaan maupun orang
tua.
Dalam bukunya Sudarwan Danim (2006: 1 – 4) menyebutkan sekolah
memiliki 3 (tiga) pilar fungsi sekolah yaitu:
1. Fungsi Penyadaran
Fungsi penyadaran disebut juga fungsi konservatif bermakna bahwa
sekolah memiliki tangungjawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya
masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Sekolah
berfungsi untuk membangun kesadaran untuk tetap berada pada tataran
sopan santun, beradap, dan bermoral dimana hal tersebut menjadi tugas
semua orang.
Orang tua, guru dan dosen harus mampu harus mampu membebaskan
anak-anak dari aneka belenggu, bukan malah menindasnya dengan cara
menetapkan norma tunggal. Mereka perlu membangun kesadaran bagi
lahirnya proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara
bersama-sama untuk memecahkan masalah eksistensial mereka.
13
2. Fungsi Reproduksi
Fungsi ini disebut juga fungsi progresif merujuk pada eksistensi
sekolah sebagai pembaharu atau pengubah kondisi masyarakat kekinian ke
sosok yang lebih maju. Fungsi ini juga berperan sebagai wahana
pengembangan, reproduksi, dan desimilasi ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3. Fungsi Mediasi
Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki fungsi mediasi yang
menjembatani fungsi konservatif dan fungsi progresif. Hal yang termasuk
kerangka fungsi mediasi adalah kehadiran institusi pendidikan sebagai
wahana sosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana proses
pemanusiaan dan kemusiaan umum, serta pembinaan idealisme sebagai
manusia terpelajar.
Berdasarkan beberapa pemaparan fungsi sekolah oleh para ahli, dapat
dikemukakakan bahwa sekolah berfungsi sebagai wahana untuk mengembangkan
individu dalam berbagai aspek sehingga sadar dan mampu mengaplikasikan
berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki dalam kehidupan
masyarakat.
Fungsi sekolah ini perlu dipahami oleh warga sekolah dalam rangka usaha
untuk mencapai tujuan sekolah yang tidak terlepas dari tujuan nasional pendidikan
karena sekolah dalam sistem pendidikan nasional merupakan satuan pendidikan
jalur formal yang peran utamanya adalah merealisasikan tujuan nasional
pendidikan yaitu “...untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”1
1 Indonesia, Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 pasal 3, Sistem Pendidikan Nasional.
14
2.1.1 Sekolah Dasar
Pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20
tahun 2003 pasal 34 dijelaskan bahwa setiap warga negara berusia 6 tahun dapat
mengukuti program wajib belajar dan pemerintah menjamin terselanggaranya
wajib belajar tersebut melalui pendidikan dasar yang tanpa memungut biaya.
Sementara pada UUSPN nomor 20 tahun 2003 pasal 17 dijelaskan bahwa
pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan dasar tersebut berbentuk Sekolah Dasar (SD)
atau bentuk lain yang sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang
sederajat.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menjelaskan “Sekolah Dasar
selanjutnya SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang
menyelenggaran pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar.” Sementara
menurut Suharjo dalam (Agung Pramono, 2013: 1) sekolah dasar merupakan
lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan enam tahun
bagi anak-anak usia 6 – 12 tahun. Sejalan dengan hal tersebut, Fuad Ihsan (2008:
26) menjelaskan bahwa sekolah dasar merupakan bentuk satu kesatuan
pendidikan yang dilaksanakan dalam masa program belajar 6 tahun.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa
sekolah dasar adalah suatu lembaga formal pada jenjang pendidikan dasar yang
menjadi landasan untuk melanjutkann ke jenjang pendidikan menengah dengan
menyelesaikan program belajar 6 tahun.
Sebagai suatu lembaga pendidikan sekolah memiliki tujuan yang
diselaraskan dengan tujuan pendidikan nasional. Menurut Suharjo (2006: 8)
tujuan pendidikan sekolah dasar sebagai berikut:
1. Menuntun pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, bakat
dan minat siswa.
2. Memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap dasar yang
bermanfaat bagi siswa.
3. Membentuk warga negara yang baik.
15
4. Melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan di SMP.
5. Memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap dasar bekerja di
masyarakat.
6. Terampil untuk hidup di masayarakat dan dapat mengembangkan diri
sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.
Menurut Eka Ihsanudin dalam (Wa, Rosidah, 2012: 19) pendidikan
sekolah dasar memiliki tujuan yaitu:
1. Memberikan bekal kemampuan membaca, menulis dan berhitung.
2. Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat
bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya.
3. Mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan di SMP.
Berdasarkan pemaparan oleh para ahli dapat dikemukakan kembali bahwa
sekolah dasar memiliki tujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan
dan sikap dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat
perkembangannya dan dapat digunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
menengah pertama.
2.2 Manajemen Sekolah
Istilah manajemen memiliki beragam definisi sesuai dengan para ahli yang
mengemukakan. Dari para ahli yang berpendapat mengenai manajemen antara
lain,
1. Menurut The Liang Gie, manajemen adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Menurut Sondang Palan Siagian, manajemen adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya.
3. Menurut Pariata Westra, manajemen adalah segenap rangkaian perbuatan penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mecapai tujuan tertentu.2
2 Arikunto dan Lia ,2003, Manajemen Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, h.2-3.
16
Berdasarkan pendapat tiga ahli tersebut dapat dikemukakan bahwa
manajemen adalah suatu kegiatan yang berupa proses kerjasama yang dilakukan
dua orang atau lebih dalam usaha untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Menurut Tim Dosen Adminisrasi Pendidikan UPI (2010: 85) ilmu
manajemen apabila dipelajari secara komprehensif dan diterapkan dengan
konsisten akan memberikan arah yang jelas, langkah yang teratur sehingga
keberhasilan dan kegagalan dapat dengan mudah dievaluasi dengan benar, akurat
dan lengkap yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi tindakan selanjutnya.
Hal tersebut juga berlaku dalam dunia pendidikan. Menurut Gaffar dalam (E,
Mulyasa, 2009: 19) manajemen pendidikan adalah suatu proses kerjasama yang
berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan dalam rangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Sejalan dengan Gaffar, Muljani A. Nurhadi dalam
(Suharsimi, Arikunto dan Lia, 2012: 3) menjelaskan bahawa manajemen
pendidikan adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berupa proses
pengelolaan usaha kerjasama sekelompok manusia yang tergabung dalam
organisasi pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
sebelumnya, agar efektif dan efisien.
Berdasarkan pernyataan para ahli tersebut terdapat beberapa kesamaan
dalam memberikan definisi mengenai manajemen pendidikan yaitu terdapat suatu
proses yang di dalamnya terdapat kerjasama dalam mengelola hal-hal yang
berkaitan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan
bersama.
“Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan, karena tanpa manajemen maka tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif dan efisien.”3 Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang dalam pengelolaannya
seharusnya menjalankan ilmu manajemen untuk mencapai tujuan sekolah secara
efektif dan efisien. Berdasarkan pendapat para ahli mengenai manajemen dan
sekolah maka dapat dikemukakan bahwa manajemen sekolah adalah suatu
3 E, Mulyasa, op. cit., hal.20.
17
kegiatan yang berupa proses kerjasama dalam bidang pendidikan yang dilakukan
dua orang atau lebih dalam usaha untuk mencapai tujuan pendidikan dan tujuan
sekolah yang sudah ditetapkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Syaiful
Sagala (2009: 55) yang menyatakan manajemen sekolah adalah proses dan
instansi yang memimpin dan membimbing penyelenggaraan pekerjaan sekolah
sebagai suatu organisasi dalam mewujudkan tujuan pendidikan dan tujuan sekolah
yang telah ditetapkan.
Dalam UUSPN nomor 20 tahun 2003 pasal 51 ayat (1) dijelaskan bahwa
“Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah.” Berdasarkan UUSPN tesebut maka pendidikan
pada tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan
seharusnya menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah.
2.3 Manajemen Berbasis Sekolah
2.3.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Salah satu model desentralisasi pendidikan yang diterapkan pada
pengelolaan sekolah adalah manajemen berbasis sekolah. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan pasal 49 ayat (1) “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang
ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan
akuntabilitas.” Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka sekolah sebagai
satuan pendidikan jalur formal dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah
menengah seharusnya menerapkan manajemen berbasis sekolah. Pada penjelasan
atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 51, ayat (1) menyebut bahwa “yang dimaksud dengan
manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen
pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah
dan guru dibantu oleh komite sekolah/ madrasah dalam mengelola kegiatan
pendidikan.”
18
Secara lesikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna
lesikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang
berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran .4
Menurut Sudarwan Danim (2006: 34) MBS dapat didefinisikan suatu proses kerja
komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas,
partisipasi, dan sustainabilitas (ketahanan) untuk mencapai tujuan pendidikan dan
pembelajaran secara bermutu. Sementara menurut Syamsudin dalam (Engkoswara
dan Aan Komariah, 2010: 293) menjelaskan bahwa MBS merupakan salah satu
alternatif pengelolaan sekolah dalam kerangka desentralisasi dalam bidang
pendidikan yang memungkinkan adanya otonomi yang luas di tingkat sekolah,
partisipasi masyarakat yang tinggi agar sekolah lebih leluasa dalam mengelola
sumber daya dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas, kebutuhan, dan
potensi daerah setempat. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Republik
Indonesia menyebut MBS dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS). Secara Umum MPMBS diartikan sebagai model manajemen
yang memberi otonomi lebih besar pada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan peritisipatif yang melibatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional.5
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikemukakan kembali
bahwa MBS merupakan suatu model desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan
oleh kepala sekolah, guru dan dibantu komite sekolah pada satuan pendidikan
dasar dan menengah yang menerapkan kaidah otonomi, akuntabiilitas, serta
partisipasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran yang bermutu.
4 Nurkolis, op. cit., h.1. 5 Nurkolis, loc. cit., h.9.
19
2.3.2 Karakter Manajemen Berbasis Sekolah
Sebagai salah satu model pengelolaan pendidikan, MBS memiliki karakter
yang sudah seharusnya dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya.
Menurut Bailey (1991) dalam (Sudarwan Danim, 2006: 29), terdapat 9
karakterisitik ideal manajemen berbasis sekolah dan karakteristik ideal sekolah
sekolah untuk abad ke-21 (School for the twenty-firt characteristics), seperiti
berikut ini.
1. Adanya keragaman dalam Pola Penggajian Guru
Istilah populernya adalah pendekatan prestasi dalam hal penggajian
dan pemberian aneka bentuk kesejahteraan material lainnya. Caranya
dapat dilakukan dengan penetapan kebijakan melalui pengiriman langsung
gaji guru ke rekening sekolah, kemudian kepala sekolah mengalokasikan
gaji guru per bulan tersebut sesuai dengan prestasinya.
2. Otonomi Manajemen Sekolah
Sekolah menjadi sentral utama manajemen pada tingkat strategi dan
oprasional dalam kerangka penyelenggaraan program pendidikan dan
pembelajaran. Sementara, kebijakan internal lain menjadi penyertanya.
3. Pemberdayaan Guru secara Optimal
Dikarenakan sekolah harus berkompetisi membangun mutu dan
membentuk citra di masyarakat, guru-guru harus diberdayakan dan
memberdayakan diri secara optimal bagi terselenggaranya proses
pembelajaran yang bermakna.
4. Pengelolaan Sekolah secara Partisipatif
Kepala sekolah harus mampu bekerja dengan dan melalui komunitas
sekolah agara masing-masing dapat menjalankan tugas pokok dan fungsi
secara baik dan terjadi transparansi pengelolaan sekolah.
5. Sistem yang Didesentralisasikan
Dibidang penganggaran misalnya, pelaksanaan MBS mendorong
sekolah-sekolah siap berkompetisi untuk mendapatkan dana dari
masyarakat atau dari pemerintah secara kompetitif dan mengelola dana itu
dengan baik.
20
6. Sekolah dengan pilihan atau Otonomi Sekolah dalam Menentukan
Aneka Pilihan
Program akademik dan non akademik dapat dikreasi oleh sekolah
sesuai dengan kapasitasnya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
lokal, nasional, atau global.
7. Hubungan Kemitraan antara Dunia Bisnis dan Dunia Pendidikan
Hubungan kemitraan itu dapat dilakukan secara langsung atau melalui
Komite Sekolah. Hubungan kemitraan ini bukan hanya untuk keperluan
pendanaan, malainkan juga untuk kegiatan praktik kerja dan program
pembinaan dan pengembangan lainnya.
8. Akses terbuka bagi Sekolah untuk Tumbuh Relatif Mandiri
Perlunya kewenangan yang diberikan kepada sekolah, memberi ruang
gerak baginya untuk membuat keputusan inovatif dan mengkreasi
program demi peningkatan mutu sekolah.
9. “Pemasaran” Sekolah secara Kompetitif
Tugas pokok dan fungsi sekolah adalah menawarkan produk unggulan
atau jasa. Jika sekolah sudah mampu membangun citra mutu dan
keunggulan, lembanga tersebut akan mampu beradu tawar dengan
masyarakat, misalnya berkaitan dengan jumlah dana yang akan ditanggung
oleh penerima jasa layanan.
“Karakteristik MBS dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah mampu mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan.”6 Sejalan dengan itu, Saud dalam (E. Mulyasa, 2005: 36-38) berdasarkan
pelaksanaan di negara maju mengemukaan bahwa karakteristik dasar MBS adalah
pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang
tua, kepemimpinan yang demokratis dan profesional, serta adanya team work
yang kompak dan transparan.
6 E. Mulyasa, 2005, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Rosda, Jakarta h.37-38
21
1. Pemberian Otonomi kepada Sekolah
MBS memberikan otonomi yang luas kepada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan
tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi
sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan
tenaga kependidikan guru agar lebih berkonsentrasi pada tugas utama
mengajar. Sekolah sebagai lembaga pendidikan diberikan kekuasaan dan
kewenangan yang luas untuk mengembangkan program-program
kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan perseta
didik serta tuntutan masyarakat. Sekolah juga diberikan kewenangan dan
kekuasaan untuk menggali dan mengelola sumber daya yang tersedia di
masyarakat dan di lingkungan sekitar, menggali dan mengelola sumber
dana sesuai dengan prioritas kebutuhan.
2. Paritisipasi Masyarakat dan Orang Tua
Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh
partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Orang tua
peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui
bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan
merumuskan serta mengembangkan program-program yang dapat
meningkatkan kualitas sekolah. Masyarakat dan orang tua menjalin
kerjasama untuk membantu sekolah sebagai nara sumber berbagai
kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
3. Kepemimpinan yang Demokratis dan Profesional
Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh
adanya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional. Kepala
sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana inti program sekolah
merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dan integritas
profesional. Kepala sekolah adalah manajer pendidikan profesional yang
direkrut komite sekolah untuk mengelola segala kegiatan sekolah
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan. Guru-guru yang direkrut oleh
sekolah adalah pendidik yang profesional dalam bidangnya masing-
22
masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja profesional
yang disepakati beersama untuk memberikan kemudahan dan mendukung
keberhasilan pembelajran peserta didik. Dalam pengambilan keputusan,
kepala sekolah mengimplementasikan proses “Bottom-up” secara
demokratis, sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap
keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya.
4. Team Work yang Kompak dan Transparan
Dalam MBS keberhasilan program-program sekolah didukung oleh
kinerja team work yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang
terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan pendidikan dan komite
sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat bekerja sama secara harmonis
sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan “sekolah yang
dapat dibanggakan” oleh semua pihak. Mereka tidak saling menunjukkan
kuasa atau paling berjasa, tetapi masing-masing memberi kontribusi
terhadap upaya peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara kaffah.
Dalam pelaksanaan program misalnya, pihak-pihak terkait bekerja sama
secara profesional untuk mencapai tujuan-tujuan atau target yang
disepakati bersama. Dengan demikian keberhasilan MBS merupakan hasil
sinergi dari kolaborasi tim yang kompak dan transparan.
Berdasarkan pemaparan para ahli, maka dapat dikemukakan bahwa
karakteristik MBS meruapakan ciri-ciri khas yang dimiliki MBS sebagai betuk
pengelolaan pendidikan dasar sampai menengah yang perlu dipahami oleh para
pelaku MBS untuk mengoptimalkan kinerjanya dalam menerapkan MBS.
2.3.3 Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Tujuan utama Manajemen Berbasis Sekolah adalah meningkatkan
efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh
melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan
penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang
tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya
23
hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh
kembangkan suasana yang kondusif.7
Menurut Depdiknas dalam (Anon, 2001: 4) tujuan Manajemen Berbasis
Sekolah dengan Model MPMBS adalah pertama, meningkatkan mutu pendidikan
melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan
sumber daya yang tersedia. Kedua, meningkatkan kepedulian warga sekolah dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan
bersama. Ketiga, meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada sekolahnya.
Keempat, meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu
pendidikan yang akan dicapai. Sementara Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
(2001) mengidentifikasi tujuan melaksanakan MBS antara lain:
1. Meningkatakan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif
sekolah dalam mengeloladan memberdayakan sumberdaya yang
tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan secara
kooperatif.
3. Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua, masyarakat,
dan pemerintah tentang mutu pendidikan di sekolah.
4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antara sekolah untuk pencapaian
mutu pendidikan yang diharapkan. (Engkoswara dan Aan Komariah,
2010: 295)
Berdasarkan pemaparan para ahli, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan
MBS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan mengoptimalkan peran
serta warga sekolah dan masyarakat dalam bidang pendidikan.
7 E. Mulyasa, op. cit.,h. 13
24
2.3.4 Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
Nurkolis (2003: 52-55) menyatakan teori yang digunakan MBS untuk
mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip yaitu:
1. Prinsip Ekuifinalitas (Principle of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi
bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda untuk mencapai satu tujuan.
MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga
sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleksnya
pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara sekolah
yang satu dengan sekolah yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik
siswa dan situas komunitasnya, sekolah tidak dapat dijalankan dengan
struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, bahkan negara.
Sekolah harus mampu memecahkan masalah berbagai permasalahan
yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi
dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang
sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolahs satu dengan
sekolah yang lain.
2. Prinsip Desentralisasi (Principle of Decetralization)
Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas. Prinsip
desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan
aktivitas pengajaran tidak dapat dielakkan dari kesulitan dan
permasalahan. Pendidikan memiliki masalah yang kompleks sehingga
memerlukan desentralisasi dalam pelakasanaannya.
Prinsip ekuifinalitas yang dikemukakan sebelumnya mendorong
adanya desentralisasi kekuasaan dengan mempersilahkan sekolah memiliki
ruang yang lebih luas untuk bergerak, berkembang dan bekerja menurut
strategi-strategi unik mereka untuk menjalani dan mengelola sekolahnya
secara efektif.
Oleh karena itu, sekolah harus diberikan kekuasaan dan tanggung
jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin
ketika masalah itu muncul.
25
3. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principle of Self-Managing
System)
MBS tidak mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan-tujuan
berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai
cara yang berbeda-beda untuk mencapainya. MBS juga menyadari
pentingnya untuk mempersilahkan sekolah menjadi sistem pengelolaan
secara mandiri dibawah kebijakannya sendiri. Sekolah memiliki otonomi
tertentu untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen,
distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan
masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masing-
masing. Karena sekolah dikelola secara mandiri maka mereka lebih
memiliki inisiatif dan tanggung jawab.
Prinsip ini terikat dengan prinsip sebelumnya yaitu prinsip
ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi
permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah
dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang
dari birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan
di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem
pengelolaan mandiri.
4. Prinsip Inisiatif Manusia (Principle of Human Initiative)
Sejalan dengan perkembangan pergerakan hubungan antar manusia
dan pergerakan ilmu perilaku pada manajemen modern, orang mulai
menaruh perhatian serius pada pengaruh penting faktor manusia pada
efektivitas organisasi manusia. perspektif sumber daya manusia
menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam
organisasi sehingga poin utama dalam manajemen adalah
mengembangkan sumber daya manusia di dalam sekolah untuk
berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini maka MBS bertujuan untuk
membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat
bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu,
26
peningkatan kualitas pendidikan dapat diukur dari perkembangan aspek
sumber daya manusianya.
Prinsip ini mengakui bahwa manusia bukanya sumber daya yang
dimanis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali,
ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Sekolah dan lembaga
pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istilah staffing
yang nantinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis.
Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan Human resource
development yang memiliki konotasi yang dinamis dan menganggap serta
memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang sangat penting dan
memiliki potensi untuk selalu dikembangkan.
Engkoswara dan Aan Komariah (2010: 295) menjelaskan bahwa
pelaksanaan MBS harus disarkan pada prinsip-prinsip MBS antara lain:
1. Partisipasi,
partisipasi dari para stakeholder penting untuk meningkatkan rasa
memiliki yang nantinya akan meningkatkan tanggung jawab sehingga
dedikasi/ kontribusi mereka akan meningkat juga. Partisipasi yang
dimaksud adalah proses dimana stakeholder terlibat aktif baik dalam
pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan di sekolah.
2. Transparansi,
manajemen sekolah yang dilaksanakan secara transparan, mudah
diakses anggota, memberikan laporan secara kontinu kepada
stakeholder untuk dapat mengetahui proses dari hasil pengambilan
keputusan dan kebijakan sekolah, hal tersebut akan menumbuhkan
kepercayaan dan keyakinan stakeholder terhadap kewibawaan dan
citra sekolah yang good goverment dan clean goverment.
3. Akuntabilitas,
Sekolah harus mempertanggungjawabkan aktifitas penyelenggaraan
pendidikan di sekolah yang dimandatkan stakeholder dengan
melakukan manajemen sebaik mungkin.
27
4. Profesionalisme,
mencapai kemandirian dengan tingkat prakarsa dan kreatifitas yang
tinggi memerlukan profesionalisme dari semua komponen personil,
baik jajaran manajemen, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya,
maupun komite sekolah.
5. Memiliki wawasan ke depan,
wawasan kedepan ini berupa visi, misi, dan strategi ke arah pencapaian
mutu pendidikan.
6. Sharing Audithory dalam implementasi manajemen sehingga tidak ada
one man show tetapi berpijak pada kekuatan kerja tim yang solid.
Berdasarkan pemaparan para ahli, maka dapat dikemukakan bahwa
prinsip-prinsip MBS merupakan dasar dalam melaksanakan MBS oleh para
pelaku MBS seperti partisipasi, kemandirian, dan akuntabilitas.
2.3.5 Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang oleh Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) Republik diseebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS) mulai diterapkan dalam pengelolaan pendidikan di
Indonesia sejak tahun 2001 setelah berlakunya UU nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah.
“Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoprasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu mengaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasarana yang memadahi untuk mendukung proses belajar-mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua murid) yang tinggi.”8 Menurut Nurkolis (2003: 132-134) pada dasarnya, tidak ada satu strategi
khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua
tempat dan kondisi. Oleh karena itu strategi Implementasi MBS di suatu negara
dengan negara lain bisa berlainan, antara satu daerah dengan daerah lain bisa
berbeda, bahkan antar sekolah dalam satu daerahpun bisa berlainan strateginya.
8 E. Mulyasa, op. cit., h. 58
28
Namun, secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan behasil
melalui strategi- strategi berikut ini.
Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu
dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan
pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke
segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil.
Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif, dalam hal pembiayaan,
proses pengambian keputusan terhadap kurikulum. Sekolah harus lebih banyak
mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah
adalah bagian dari masyarakat luas.
Ketiga, kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan
dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam MBS berperan
sebagai designer, motivator, fasilitator. Bagaimanapun kepala sekolah adalah
pimpinan yang memiliki kekuatan untuk itu. Oleh karena itu, pengangkatan
kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan
dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan.
Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam
kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala
sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari
bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orang
tuanya, masyarakat dan para guru. Kepala sekolah jangan selalu menengok ke atas
sehingga hanya menyenangkan pimpinannya namun mengorbankan masyarakat
pendidikan yang utama.
Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya
secara bersungguhsungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya
masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Siapa
kebagian peran apa dan melakukan apa, sampai batas-batas nyata perlu dijelaskan
secara nyata.
Keenam, adanya guidlines dari departemen pendidikan terkait sehingga
mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif.
Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan
29
membelenggu sekolah. Artinya, tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang diperlukan adalah rambu-rambu
yang membimbing.
Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang
minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawabannya setiap tahunnya.
Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua
stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dijalankan secara transparan, demokratis,
dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak
terkait.
Kedelapan, Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja
sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa.
Perlu dikemukakan lagi bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja
belajar siswa namun berpotensi untuk itu. Oleh karena itu, usaha MBS harus lebih
terfokus pada pencapaian prestasi belajar siswa.
Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialsasi dari konsep MBS,
identifikasi peran masing-masing pembangunan kelembagaan capacity building
mengadakan pelatihan pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada
proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan dilapangan dan dilakukan
perbaikan-perbaikan.
Sementara menurut Umaedi (2007: 3-25) setidaknya ada 6 (enam) langkah
pokok yang harus dilakukan dalam implementasi manajemen berbasis sekolah
yaitu:
1. Evaluasi Diri
Evaluasi diri merupakan langkah awal bagi sekolah yang ingin atau
akan melaksanaan MBS. Kegiatan ini biasanya dimulai dengan curahan
pendapat (brainstorming) yang diikuti oleh kepala sekolah, guru dan
seluruh staf serta diikutkan juga komite sekolah. Tujuan dilakukan
evaluasi diri ini adalah
a. Mengetahui segala aspek sekolah berkaitan dengan kemajuan yang
telah dicapai maupun masalah-masalah yang dihadapi.
30
b. Refleksi diri untuk membangkitkann kedadaran/ keprihatinan akan
penting dan perlunya pendidikan yang bermutu sehingga timbul
komitmen bersama untuk meningkatkan mutu.
c. Merumuskan titik tolak (point of departure) bagi sekolah dalam
mengembangkan diri terutama dalam hal mutu. Titik awal ini
penting karena sekolah yang sudah berjalan untuk meningktkan
mutu mereka tidak berangkat dari nol, melainkan dari kondisi yang
dimiliki.
2. Perumusan Visi, Misi, dan Tujuan
Rumusan visi sekolah bukan hanya mimpi yang diidamkan, tetapi
nantinya akan mengkomunikasi tujuan akhir, nilai yang dianut, sikap
pendirian yang dianut oleh suatu sekolah. Rumusan visi ini hendaknya
singkat, langsung dan menggambarkan tujuan akhir sekolah. Visi yang
sudah dibuat akan dijabarkan menjadi komponen-komponen pokok yang
harus direalisasikan untuk mencapi visi. Komponen-komponen pokok
yang menjadi tugas pokok untuk merealisasikan visi tersebut dinamakan
misi. Selanjutnya sekolah perlu merumuskan tujuan sekolah yang
merupakan suatu rangkaian penting dalam langkah strategi manajemen
mutu pendidikan sesudah visi dan misi. Tujuan tersebut dibagi menjadi
tiga yaitu tujuan jangka pendek yang dapat dicapai dalam waktu satu
tahun, tujuan jangka menengah yang dapat dicapai dalam waktu 3 – 5
tahun kedepan dan tujuan jangka panjang yang dapat dicapai dalam jangka
waktu 25 – 30 tahun.
Bagi sekolah yang baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan
sekolah merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk menjelaskan
ke mana arah pendidikan yang ingin dituju oleh para pendiri/
penyelenggara pendidikan. Apabila sekolah tersebut merupakan sekolah
swasta hal ini cukup jelas, bahkan mungkin sudah tercantum dalam akte
pendirian oleh yayasan. Namun apabila sekolah negeri kepala sekolah dan
guru yang mewakili pemerintah pusat atau pemerintah kabupaten/ kota
sebagai penyelenggara pendidikan bersama dengan komite sekolah
31
maupun tokoh masyarakat dan orang tua siswa merumuskan ke mana
sekolah ini akan dibawa sejauh tidak bertentangan dengan UU nomor 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Bagi sekolah yang sudah berjalan, perumusan visi, misi dan tujuan
merupakan langkah lanjutan setelah evaluasi diri terutama bagi sekolah
yang belum memiliki rumusan yang jelas. Sekolah yang sudah memiliki
visi, misi dan tujuan dan telah melakukan evaluasi diri selanjutnya
memutuskan untuk perlu atau tidaknya melakukan revisi terhadap visi,
misi dan tujuan.
3. Perencanaan
Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan menetapkan terlebih
dulu tentang kegiatan yang harus dilakukan, prosedurnya serta metode
pelaksanaannya untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Sekolah
seharusnya membuat rencana kerja jangka menengah untuk
menggambarkan tujuan yang akan dicapai dalam waktu 3 – 5 tahun.
Perencanaan sekolahn jangka mengenah ini selanjutya akan dibuat lebih
terperinci, lengkap dengan perhitungan anggarannya untuk satu tahun
disebut Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) yang menjadi
dasar pengelolaan sekolah.
4. Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan pada dasarnya menjawab bagaimana semua fungsi
manajemen sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan sekolah yang
telah ditetapkan melalui kerjasama dengan orang lain dan dengan sumber
daya yang ada agar dapat berjalan secara efektif dan efisien. Perencanaan
yang efektif dan efisien dapat terlaksana dengan bantuan pedoman
pengelolaan sekolah yang dibuat pihak sekolah dengan
mempertimbangkan visi, misi dan tujuan sekolah. Pedoman tersebut dalam
lampiran Permendiknas nomor 19 tahun 2007 mengenai Standar
Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
adalah sebagai berikut:
a. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP),
32
b. Kalender akademik,
c. Struktur organisasi sekolah,
d. Pembagian tugas di antara guru,
e. Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan,
f. Peratutan akademik,
g. Tata tertib sekolah,
h. Kode etik sekolah,
i. Biaya operasional sekolah.
Pedoman pengelolaan sekolah ini berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaan
operasional sekolah.
5. Evaluasi
Evaluasi pada tahap ini adalah evaluasi secara menyeluruh
menyengkut pengelolaan semua bidang dalam satuan pendidikan, yaitu
bidang teknis edukatif (pelaksanaan kurikulum/ proses pembelajaran
dengan segala aspeknya), bidang ketenagaan, bidang keuangan, bidang
sarana prasarana, dan administrasi ketatalaksanaan sekolah.
Temuan-temuan dan rumusan hasil dari evaluasi sekolah secara
menyeluruh, digunakan untuk hal-hal berikut.
a. Pemberian penghargaan kepada berbagai pihak yang dianggap
berhasil, baik sebagai individu atau kelompok sehingga memberi
motivasi kepada semua pihak untuk terlibat di dalam proses
pendidikan.
b. Sebagai masukan bagi tindakan koreksi dan perbaikan atau
penyempurnaan bagi program kerja tahun berikutnya, serta
penyempurnaan kebijakan pengelolaan satuan pendidikan yang
bersangkutan.
c. Menilai sendiri status sekolah yang dikelola apakah mengalami
kemajuan atau kemunduran.
d. Sebagai bahan pertanggungjawaban kepada semua stakeholder,
terutama orang tua siswa dan komite sekolah.
33
Evaluasi sebagai salah satu fungsi manajemen merupakan
tanggung jawab kepala sekolah. Dalam pelaksanaannya, kepala
sekolah dapat menujuk guru untuk membuat tim kecil untuk
mengumpulkan berbagai bahan yang diperlukan dan menyusunnya
untuk dibahas dalam forum yang menyertakan komite sekolah.
6. Pelaporan
Kegiatan pelaporan merupakan kelanjutan dari kegiatan evaluasi dalam
bentuk mengkomunikasikan hasil evaluasi secara resmi kepada berbagi
pihak sebagai pertanggungjawaban mengenai kegiatan yang telah
dikerjakan oleh sekolah beserta hasil-hasilnya. Pelaporan yang
disampaikan tidak semua hasil evaluasi, karena ada hasil evaluasi yang
bersifat internal dan ada pula yang bersifat eksternal, bahkan masing-
masing-masing stakeholder mungkin memerlukan laporan yang berbeda
fokusnya.
Berbagai strategi maupun langkah-langkah telah dipaparkan oleh para ahli
tersebut merupakan bentuk usaha dalam penerapan MBS yang ideal untuk
mecapai tujuan dari MBS.
2.4 Komite Sekolah
2.4.1 Konsep Komite Sekolah
Undang-Undang (UU) No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan bahwa:
“Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.”9 “Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi, profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.”10
9 Indonesia, Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat 1(satu), Sistem Pendidikan Nasional. 10 Indonesia, Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 pasal 54 ayat 1(satu), Sistem Pendidikan Nasional.
34
Berdasarkan UU tersebut, pemerintah Republik Indonesia memberikan
ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk terjun dalam pengelolaan
pendidikan dasar sampai menengah menggunakan model MBS sebagai mitra
kerja bagi sekolah dalam mewujudkan tujuan sekolah maupun tujuan pendidikan
nasional. Peran masyarakat ini kemudian diwadahi dalam bentuk lembaga mendiri
yang tidak berhubungan secara hierarkis dengan pemerintah yang kemudian biasa
disebut dengan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/ kota dan Komite Sekolah
pada tingkat lebih kecil yaitu satuan pendidikan sesuai dengan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional (Kepmendiknas) Republik Indonesia nomor 044/ U/ 2002
tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Dalam UUSPN nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat (3) dijelaskan bahwa
“Komite sekolah adalah lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan. Hal tersebut dijelaskan kembali pada Lampiran II
Kepmendiknas nomor nomor 044/ U/ 2002, komite sekolah didefinisikan sebagai
“...badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu, pemerataan, efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan
pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun
jalur pendidikan luar sekolah.” Sedangkan menurut Engkoswara dan Aan
Komariah (2010: 297), komite sekolah adalah lembaga/ badan khusus yang
dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder
pendidikan di tingkat sekolah sebagai representasi dari berbagi unsur yang
bertanggungjawab terhadap peningkatan mutu di sekolah. Komite sekolah ini
terdiri dari berbagai unsur yaitu, wakil orang tua siswa, tokoh masyarakat, tokoh
pendidikan, dunia usaha, organisasi profesi, wakil alumni dan wakil peserta didik.
Berdasarkan pemaparan mengenai komite sekolah, maka dapat
dikemukakan kembali bahwa komite sekolah adalah lembaga mandiri yang
dibentuk berdasarkan musyawarah oleh para pemangku kepentingan pendidikan
yang dibentuk untuk meningkatkan mutu pendidikan dari berbagai jalur, jenjang
dan jenis pendidikan.
35
Menurut Lampiran II Kepmendiknas nomor nomor 044/ U/ 2002, komite
sekolah sebagai sebuah organisasi memiliki ketentuan sebagai berikut.
1. Keanggotaan Komite Sekolah terdiri atas:
a. Unsur masyarakat dapat berasal dari, orang tua/wali peserta didik,
tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dunia usaha/industri,
organisasi profesi tenaga kependidikan, wakil alumni, wakil
peserta didik.
b. Unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan,
Badan Pertimbangan Desa dapat dilibatkann sebagai anggota
komite sekolah (maksimal 3 orang).
Anggota komite sekolah sekurang-kurangnya berjumlah 9
(sembilan) orang dan jumlahnya gasal.
2. Kepengurusan Komite Sekolah
a. Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas Ketua, Sekretaris, dan
Bendahara.
b. Pengurus dipilih dari dan oleh anggota.
c. Ketua bukan berasal dari kepala sekolah.
3. Anggaran Dasar (AD) dan Angaran Rumah Tangga (ART)
a. Komite sekolah wajib memiliki AD dan ART.
b. Anggaran Dasar sebagaimana yang dimaksud, sekurang-kurangnya
memuat: Nama dan tempat kedudukan; Dasar, tujuan dan
kegiatan; Keanggotaan dan kepengurusan; Hak dan Kewajiban
Anggota dan pengurus; Mekanisme kerja dan rapat-rapat;
Perubahan AD dan ART, serta pembubaran organisasi.
Komite sekolah sebagai sebuah organisasi maka yang pertama kali harus
dilakukan adalah pembentukan kepengurusan komite sekolah. Pembentukan
kepengurusan komite sekolah ini juga sudah diatur dalam Kepmendiknas nomor
nomor 044/ U/ 2002 yang harus memegang prinsip pembentukan yang transparan,
akuntabel, demokratis, dan prinsip bahawa komite sekolah merupakan mitra
satuan pendidikan. Dalam Kepmendiknas tersebut juga dijabarkan mengenai
mekanisme pembentukan komite sebagai berikut.
36
1. Pembentukan Panitia Persiapan
a. Masyarakat dan/atau sekolah membentuk panitia persiapan.
Panitia persiapan berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang
yang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala
sekolah, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM
peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha
dan industri), dan orangtua peserta didik.
b. Panitia persiapan bertugas mempersiapkan pembentukan Komite
Sekolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengadakan forum sosialisasi kepada masyarakat (termasuk
pengurus/ anggota BP3, Majelis Sekolah, dan Komite Sekolah
yang sudah ada) tentang Komite Sekolah menurut Keputusan
ini.
2) Menyusun kriteria dan mengindentifikasi calon anggota
berdasarkan usulan dari masyarakat.
3) Menyeleksi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat.
4) Mengumumkan nama-nama calon anggota kepada masyarakat.
5) Menyusun nama-nama anggota terpilih.
6) Memfasilitasi pemilihan pengurus dan anggota komite sekolah.
7) Menyampaikan nama pengurus dan anggota kepada kepala
sekolah.
2. Penetapan Pembentukan Komite Sekolah
Komite Sekolah ditetapkan untuk pertama kali dengan Surat
Keputusan kepala sekolah, dan selanjutnya diatur dalam AD dan ART.
Sementara E. Mulyasa (2012: 132) juga menjelaskan proses pembentukan
komite sekolah sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan, kepala sekolah dibantu oleh staf sekolah
pengurus komite sekolah yang telah ada membentuk panitia persiapan
pembentukan komite sekolah. Tugas pokok dari panitia persiapan
pembentukan komite sekolah adalah:
37
a. Mengadakan survey mengenai potensi wilayah sekolah setempat.
b. Melakukan analisis posisi sekolah.
c. Mengedakan sosialisasi dan penyebarluasan informasi tentang
perlunya komite sekolah kepada para stagehorlder pendidikan di
lingkungan sekolah setempat.
d. Menyusun paduan tata cara pemilihan anggota komite sekolah dan
menyebarluaskan kepada semua pihak yang terkait.
e. Mengirimkan surat permintaan kesediaan calon sebagai unsur
anggota komite sekolah.
f. Memuat daftar calon anggota komite sekolah yang bersedia untuk
dipilih dan menyebarkannya kepada para pemilih (para stakeholder
sekolah).
2. Proses Pemilihan Anggota dan Pengurus Komite Sekolah
Pemilihan anggota dan pengurus komite sekolah dilakukan secara
demokratis melalui musyawarah. Jika dipandang perlu pemilihan anggota
dan pengurus dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
3. Penetapan Anggota dan Pengurus Kominte Sekolah
Calon anggota komite sekolah yang disepakati dalam musyawarah atau
mendapat dukungan suara terbanyak melalui pemungutan suara secara
langsung menjadi anggota komite sekolah sesuai dengan jumlah anggota
yang disepakati dari masing-masing unsur. Pengesahan anggota komite
sekolah dilakukan oleh musyawarah lengkap anggota.
2.4.2 Tujuan Komite Sekolah
Sebagai sebuah lembaga maka komite sekolah tentunya memiliki tujuan.
Tujuan pembentukan komite sekolah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan adalah meningkatkan mutu
pendidikan melalui perannya meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan. Pada Lampiran II Kepmendiknas nomor nomor 044/ U/
2002 dijelaskan bahwa komite sekolah dibentuk dengan tujuan :
38
a. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam
melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan
pendidikan.
b. Meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan
demokratis dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu di
satuan pendidikan
Sementara menurut Aan Komarian dan Engkoswara (2010: 298) format
kelembagaan komite sekolah diarahkan untuk dapat mencapai tujuan yaitu:
1. Mewadahi dan meningkatkan peranserta para stakeholders pendidikan
di tingkat sekolah dalam merumuskan dan menetapkan berbagai
kebijakan pengelolaan sekolah, pengembangan program sekolah,
monitoring pelaksanaan kegiatan pendidikan sekolah, dan pertanggung
jawaban mutu pedidikan sekolah secara demokratis dan transparan.
2. Mewadahi dan meningkatkan peranserta para stakeholders pendidikan
di tingkat sekolah dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan
yang dihadapi sekolah, dan membantu pemerintah memonitoring
pengelolaan pendidikan di sekolah.
3. Memfasilitasi upaya peningkatan kinerja dan profesionalisme kepala
sekolah, guru, dan staf yang terlibat dalam proses pendidikan anak
sekolah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang hendak dicapai oleh
sekolah.
4. Menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan sekolah dalam upaya
meningkatkan proses belajar mengajar, pengadaan dan pemeliharaan
fasilitas sekolah yang baik, dan peningkatan kualitas staf yang sesuai
dengan kebutuhan sekolah.
5. Mengembangkan dan menetapkan program kurikulum efektif yang
sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat, kebutuhan dan tuntutan
global, serta berbagai inovasi yang mendukung peningkatan kualitas
pendidikan di sekolah.
39
6. Memfasilitasi dan mengontrol penerapan sistem manajemen sekolah
yang transparan dan demokratis dalam pendayagunaan berbagai
sumber daya yang tersedia sesuai dengan prioritas kebutuhan
pelakasanaan program sekolah dalam mencapai tujuan sekolah yang
ditetapkan.
Berdasarkan pemaparan tujuan komite tersebut dapat dikemukakan bahwa
tujuan dari komite sekolah adalah sebagai berikut. Pertama, mewadahi dan
menyalurkan aspirasi masyarakat terkait dengan peningkatan mutu pendidikan.
Kedua, meningkatkan partisipasi dan tanggungjawab masyarakat terkait dengan
pelaksanaan dan pengawasan berbagai program pendidikan pada satuan
pendidikan sehingga penyelenggaran pendidikan dapat lebih transparan,
akuntabel, dan demokratis.
2.4.3 Peran dan Fungsi Komite Sekolah
Dalam usaha mencapai tujuan, komite sekolah harus memahami peran dan
fungsi mereka. Peran komite sekolah diatur dalam Kepmendiknas nomor
044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yaitu sebagai
berikut:
1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
2. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial,
pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di
satuan pendidikan.
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan
pendidikan.
4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan
pendidikan.
Setelah memahami perannya, maka komite sekolah dapat menjalankan
fungsinya sebagai mitra kerja bagi sekolah. Fungsi komite sekolah sekolah sesuai
40
dengan Kepmendiknas nomor 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah yaitu sebagai berikut:
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2. Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/ organisasi/
dunia usaha/ dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan
pendidikan mengenai:
a. Kebijakan dan program pendidikan.
b. Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
c. Kriteria kinerja satuan pendidikan.
d. Kriteria tenaga kependidikan.
e. Kriteria fasilitas pendidikan.
f. Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
5. Mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan
guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
6. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan.
7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program,
penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
41
Secara rinci Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Ditjen Dikdasmen Depdiknas dalam (Engkoswara dan Aan Komariah, 2010: 293-
303) mengemukakan peran komite sekolah sebagai berikut.
Tabel 2.1 Indikator Kinerja Komite
Peran Komite Sekolah Fungsi Manajemen Pendidikan Indikator Kinerja Badan Pertim-bangan (Advisory Agency)
Perencanaan sekolah Identifikasi sumber daya pendidikan dalam masyarakat. Memberikan masukan untuk penyusunan RAPBS. Menyelenggarakan rapat RAPBS (sekolah, orang tua siswa, masyarakat). Memberikan pertimbangan perubahan RAPBS Ikut mengesahkan RAPBS bersama kepala sekolah.
Pelaksanaan Program a. Kurikulum b. PBM c. Penilaian
Memberikan masukan terhadap proses pengelolaan pendidikan di sekolah. Memberikan masukan terhadap proses pembelajaran kepada para guru.
Pengelolaan Sumber daya Pendidikan a. SDM b. S/P c. Anggaran
Identifikasi potensi sumber daya pendidikan dalam masyarakat. Memberikan pertimbangan tentang tenaga kependidikan yang dapat diperbantukan di sekolah. Memberikan pertimbangan tentang sarana dan prasarana yang dapat diperbantukan di sekolah. Memberikan pertimbangan tentang anggaran yang dapat dimanfaatkan di sekolah.
Badan Pendukung (Supportinng Agency)
Pengelolaan Sumber Daya Memantau kondisi ketenagaan pendidikan di sekolah. Mobilisasi guru sukarelawan untuk menanggulangi kekurangan guru di sekolah. Mobilisasi tenaga kependidikan non guru untuk mengisi kekurangan di sekolah.
Pengelolaan Sarana dan Prasarana
Memantau kondisi sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Mobilisasi bantuan sarana dan parasarana sekolah. Mengkoordinasi dukungan sarana dan parasarana sekolah. Mengevaluasi pelaksanaan dukungan sarana dan prasarana
42
sekolah. Pengelolaan Anggaran Memantau kondisi anggaran
pendidikan di sekolah. Memobilisasi dukungan terhadap anggaran pendidikan di sekolah. Mengkoordinasikan dukungan terhadap anggaran pendidikan di sekolah. Mengevaluasi pelaksanaan dukungan anggaran di sekolah.
Badan Pengontrol (Controlling Agency)
Mengontrol perencanaan pendidikan di sekolah
Mengontrol proses pengambilan keputusan di sekolah.
Mengontrol kualitas kebijakan di sekolah. Mengontrol proses perencanaan pendidikan di sekolah Pengawasan terhadap kualitas perencanaan sekolah Pengawasan terhadap kualitas program sekolah.
Memantau pelaksanaan program sekolah
Memantau organisasi sekolah Memantau penjadwalan program sekolah Memantaua alokasi anggaran untuk pelaksanaan program sekolah. Memantau sumber daya pelaksana program sekolah. Memantau partisipasi stake-holder pendidikan dalam pelaksanaan program sekolah.
Memantau out put pendidikan Memantau hasil ujian akhir. Memanatau angka partisipasi sekolah Memantau angka mengulang sekolah Memantau angka bertahan di sekolah.
Badan Penghubung (Mediator Agency)
Perencanaan Menjadi penghubung antara Komite Sekolah dengan masyarakat, Komite Sekolah dengan sekolah, dan Komite Sekolah dengan Dewan Pendidikan. Mengidentifikasi aspirasi masyarakat untuk perencanaan pendidikan. Membuat usulan kebijakan dan program pendidikan kepada sekolah
Pelaksanaan program Mensosialisasikan kebijakan dan program sekolah kepada masyarakat
43
Memfasilitasi berbagai masukan kebijakan program terhadap sekolah Menampung pengaduan dan keluhan terhadap kebijakan dan program sekolah Mengkomunikasikan pengaduan dan keluhan masyarakat terhadap sekolah
Pengelolaan Sumber Daya pendidikan
Mengindentifikasi kondisi sumber daya di sekolah Mengidentifikasi sumber-sumber daya masyarakat Memobilisasi bantuan masyarakat untuk pendidikan di sekolah Mengkoordinasikan bantuan masyarakat
2.5 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan peran komite sekolah
yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya antara lain:
1. Siti Lestari (2013) dalam penelitiannya berjudul “Peran Komite
Sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah dasar Gugus
P Diponegoro Kecamatan Dempet” yang menyimpulkan bahwa peran
komite sekolah di Sekolah Dasar (SD) gugus P Diponegoro kecamatan
Dempet baik sebagai badan pertimbangan, badan pendukung, badan
pengontrol maupun badan mediator sudah dilaksanakan. Namun
diantara empat peran komite sekolah tersebut, peran sebagai mediator
merupakan peran yang paling kurang optimal terlihat dari pasifnya
komite sekolah dalam segala kegiatan dikarenakan ketidakpahaman
akan peran mereka yang seharusnya sebagai mediator.
2. Bodi Kurniawan (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Peran
Komite Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Madrasah
Pembangunan UIN Jakarta” yang menyimpulkan bahwa komite
sekolah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta sudah melaksanakan
peran mereka sebagai pertimbangan, pendukung, pengontrol, dan
penghubung, walaupun secara keseluruhan belum maksimal. Akan
tetapi telah banyak kontribusi yang telah diberikan komite sekolah
44
dalam hal membantu sekolah baik secara finansial maupun secara
sumbang ide ataupun tenaga.
2.6 Kerangka Berfikir
Tujuan pendidikan akan tercapai melalui pengelolaan pendidikan yang
memberi kesempatan kepada sekolah untuk mengelola pendidikan yang sesaui
dengan situasi dan kondinsi di masing-masing daerah. Salah satu pengelolaan
sekolah yang saat ini diterapkan di pendidikan dasar dan menengah adalah
manajemen berbasis sekolah. Manajemen berbasis sekolah akan dapat terlaksana
dengan baik apabila semua komponennya bekerja dengan baik, salah satunya
adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam satuan pendidikan
dapat disalurkan melalui badan mandiri yang disebut komite sekolah. Komite
sekolah sebagai mitra kerja sekolah memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu,
pemerataan, efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka komite sekolah perlu memahami peran agar dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu diketahui bagaimana peran
komite sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah.
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
Manajemeen Berbasis Sekolah
Peran Komite
Pemberi Pertimbangan
Pendukung
Mediator
Pengontrol