bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian pustaka 2.1.1 konsep...

18
18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep Strategi Pemberdayaan Strategi pemberdayaan adalah suatu rencana pemberdayaan dengan memperhatikan banyak faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) dengan waktu yang telah ditentukan (Martina, 2016:2) Morris dan Binstock (1966) menjelaskan tiga strategi perencanaan dan aksi pengembangan masyarakat, yaitu: modifikasi pola sikap dan perilaku dengan pendidikan atau lainnya, mengubah kondisi sosial dengan mengubah kebijakan- kebijakan organisasi formal, reformasi peraturan dan sistem fungsional suatu masyarakat. Terdapat tiga strategi pemberdayaan yang umum dilaksanakan (Wrihatnolo, dan Riant, 2007:119-120), yakni: Pertama, pemberdayaan yang hanya berkutat di “daun” dan “ranting” atau pemberdayaan konformis. Yaitu pemberdayaan hanya dilihat sebagai upaya peningkatan daya adaptasi terhadap struktur sosial-kemasyarakatan yang ada. Bentuk strateginya adalah mengubah sikap mental masyarakat yang tidak berdaya dan pemberian bantuan. Program-program berjenis karitatif dan sinterklas termasuk dalam kategori ini. Kedua, pemberdayaan yang berkutat di “batang” atau pemberdayaan reformis. Konsep ini tidak mempermasalahkan tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada, yang terpenting adalah kebijakan operasional.

Upload: others

Post on 04-Jun-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Konsep Strategi Pemberdayaan

Strategi pemberdayaan adalah suatu rencana pemberdayaan dengan

memperhatikan banyak faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor

eksternal (peluang dan ancaman) dengan waktu yang telah ditentukan (Martina,

2016:2)

Morris dan Binstock (1966) menjelaskan tiga strategi perencanaan dan aksi

pengembangan masyarakat, yaitu: modifikasi pola sikap dan perilaku dengan

pendidikan atau lainnya, mengubah kondisi sosial dengan mengubah kebijakan-

kebijakan organisasi formal, reformasi peraturan dan sistem fungsional suatu

masyarakat.

Terdapat tiga strategi pemberdayaan yang umum dilaksanakan (Wrihatnolo,

dan Riant, 2007:119-120), yakni:

Pertama, pemberdayaan yang hanya berkutat di “daun” dan “ranting” atau

pemberdayaan konformis. Yaitu pemberdayaan hanya dilihat sebagai upaya

peningkatan daya adaptasi terhadap struktur sosial-kemasyarakatan yang ada.

Bentuk strateginya adalah mengubah sikap mental masyarakat yang tidak berdaya

dan pemberian bantuan. Program-program berjenis karitatif dan sinterklas

termasuk dalam kategori ini.

Kedua, pemberdayaan yang berkutat di “batang” atau pemberdayaan

reformis. Konsep ini tidak mempermasalahkan tatanan sosial, ekonomi, politik,

dan budaya yang ada, yang terpenting adalah kebijakan operasional.

19

Pemberdayaan difokuskan pada upaya peningkatan kinerja operasional dengan

membenahi pola kebijakan, peningkatan kualitas SDM, penguatan kelembagaan,

dsb.

Ketiga, pemberdayaan yang berkutat di “akar” atau pemberdayaan

struktural. Strategi ini melihat bahwa ketidakberdayaan masyarakat adalah karena

struktur sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang kurang memberikan peluang

bagi kaum yang lemah, dengan demikian pemberdayaan ini menempuh strategi

melalui transformasi struktural secara mendasar.

Pendekatan yang dipergunakan dalam strategi pemberdayaan menurut

Soetomo (2011:72-85), yaitu:

1. Sentralisasi menjadi desentralisasi

2. Top down menjadi bottom up

3. Uniformity menjadi variasi lokal

4. System komando menjadi proses belajar

5. Ketergantungan menjadi keberlanjutan

6. Social exclusion menjadi social inclution

7. Improvement menjadi transformation

2.1.2 Konsep Pemberdayaan Perempuan

1. Definisi Pemberdayaan Perempuan

Undang-Undang Dasar 1945 yang dijabarkan dalam peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah pada asasnya mengandung prinsip

persamaan hak dan kewajiban bagi laki-laki maupun perempuan tanpa ada

perbedaan dalam segala bidang. Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menyatakan

bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.

20

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas

pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu tertuang dalam Undang-

Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pergeseran Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, dinyatakan bahwa tujuan

untuk mencapai kedudukan setara (equal status) perempuan sebagai peserta,

pengambil keputusan, dan penikmat di dalam kehidupan politik, ekonomi,

sosial, dan budaya. Dan dinyatakan untuk memberdayakan (empower)

perempuan dan laki-laki perlu kerjasama sebagai mitra sejajar dan memberi

inspirasi kepada generasi baru kaum perempuan dan laki-laki untuk bekerja

sama demi kesetaraan, pembangunan berkelanjutan dan perdamaian

(Priyono, 198-229 dalam Roesmidi H., dan Riza Risyanti. 2006).

Menurut Peraturan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2015,

pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan mempercepat

tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran laki-laki dan perempuan,

dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi/advokasi pendidikan dan latihan

bagi kaum perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor.

Pemberdayaan perempuan sebagai mitrasejajar laki-laki adalah

kondisi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan

kewajiban yang terwujud dalam kesempatan kedudukan peranaan yang

dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan mengisi di semua bidang

kehidupan. Perwujudan kemitrasejajaran yang harmonis merupakan

tanggungjawab bersama. Untuk mencapai kesetaraan laki-laki dan

perempuan diperlukan transformasi nilai yang berkenaan dengan perubahan

21

hubungan gender dan keseimbangan kekuasaaan antara laki-laki dan

perempuan. (Triwijati, 1996 : 356 dalam Onny S. Priyono, 1996 : 201-202).

Menurut Moser, pemberdayaan perempuan dapat di lakukan melalui

pemenuhan kebutuhan praktis, yaitu dengan pendidikan, kesehatan,

ekonomi baik perempuan maupun laki-laki dan melalui pemenuhan

kebutuhan strategis, yaitu dengan melibatkan perempuan dalam kegiatan

pembangunan. Pemenuhan kebutuhan praktis dapat dilakukan dengan cara

peningkatan sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan, dan ekonomi).

Sedangkan pemenuhan kebutuhan strategis dapat dilakukan dengan cara

memperkuat kelembagaan ekonomi berbasis perempuan melalui

peningkatan kapasitas kader-kader perempuan (Sumarti, 2010:212).

Terdapat dua ciri dari pemberdayaan perempuan. Pertama, sebagai

refleksi kepentingan emansipatoris yang mendorong masyarakat

berpartisipasi secara kolektif dalam pembangunan. Kedua, sebagai proses

pelibatan diri individu atau masyarakat dalam proses pencerahan,

penyadaran dan pengorganisasian kolektif sehingga mereka dapat

berpartisipasi (Zakiyah, 2010:44).

Pendekatan pemberdayaan (empowerment) menginginkan

perempuan mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan

nonmateri yang penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam

maupun diantara masyarakat (Moser dalam Daulay, 2006:10). Di Indonesia

keberadaan perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki – laki membuat

pendekatan pemberdayaan dianggap suatu strategi yang melihat perempuan

22

bukan sebagai beban pembangunan melaikan potensi yang harus

dimanfaatkan untuk menunjang proses pembangunan.

Menurut Moser (1993) dalam Daulay (2006:10) bahwa strategi

pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih unggul dari

laki – laki kendati menyadari pentingnya peningkatan kekuasaan, namun

pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan bukan sebagai dominasi

yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong dalam kapasitas

perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal.

Adapun pemberdayaan terhadap perempuan adalah salah satu cara

strategis untuk meningkatkan potensi perempuan dan meningkatkan peran

perempuan baik di domain publik maupun domestik. Hal tersebut dapat

dilakukan diantaranya dengan cara:

1. Membongkar mitos kaum perempuan sebagai pelengkap dalam

rumah tangga. Pada zaman dahulu, muncul anggapan yang kuat dalam

masyarakat bahwa kaum perempuan adalah konco wingking (teman di

belakang) bagi suami serta anggapan “swarga nunut neraka katut” (ke surga

ikut, ke neraka terbawa). Kata nunut dan katut dalam bahasa Jawa

berkonotasi pasif dan tidak memiliki inisiatif, sehingga nasibnya sangat

tergantung kepada suami.

2. Memberi beragam ketrampilan bagi kaum perempuan. Sehigga

kaum perempuan juga dapat produktif dan tidak menggantungkan nasibnya

terhadap kaum laki-laki. Berbagai ketrampilan bisa diajarkan, diantaranya:

ketrampilan menjahit, menyulam serta berwirausaha dengan membuat kain

batik dan berbagai jenis makanan.

23

3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap kaum

perempuan untuk bisa mengikuti atau menempuh pendidikan seluas

mungkin. Hal ini diperlukan mengingat masih menguatnya paradigma

masyarakat bahwa setinggi-tinggi pendidikan perempuan toh nantinya akan

kembali ke dapur. Inilah yang mengakibatkan masih rendahnya (sebagian

besar) pendidikan bagi perempuan (Ismah Salman, 2005:181).

Kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan dan

perlindungan anak nasional tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut:

meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang

pembangunan, dengan strategi:

1) Peningkatan pemahaman dan komitmen tentang pentingnya

pengintegrasian perspektif gender dalam berbagai tahapan, proses, dan

bidang pembangunan, di tingkat nasional maupun di daerah.

2) Penerapan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif

Gender (PPRG) di berbagai bidang pembangunan, di tingkat nasional dan

daerah.

3) Pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil PUG,

termasuk PPRG

4) Peningkatan pemahaman masyarakat dan dunia usaha tentang

kesetaraan gender.

Perempuan dapat dikatakan berdaya apabila dapat menentukan

kehidupannya sendiri sesuai dengan keinginannya. Ini berarti, bebas dan

merdeka memilih jalan hidup. Perempuan memahami dirinya sendiri,

kekurangan dan kelebihannya, serta memahami struktur dirinya yang

24

merupakan hasil kontruksi sosial budaya. Kemudian ia mampu

menggunakan pertimbangan-pertimbangan sehingga mampu mengambil

keputusan secara bebas dan bertanggung jawab. (Murniati, 2004:215.

2. Tujuan Pemberdayaan Perempuan

Tujuan pemberdayaan perempuan adalah untuk menantang

ideologi patriarkhi yaitu dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan,

merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan

diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial (termasuk keluarga, kasta,

kelas, agama, proses dan pranata pendidikan) pendekatan pemberdayaan

memberi kemungkinan bagi perempuan miskin untuk memperoleh akses

kepada dan penguasaan terhadap sumber-sumber material maupun

informasi maka proses pemberdayaan harus mempersoalkan semua struktur

dan sumber kekuasaan (Daulay, 2006:10).

Pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan

mempercepat tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran antara laki-

laki dan perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor.

Keberhasilan pemberdayaan perempuan menjadi cita-cita semua orang.

Namun untuk mengetahui keberhasilan sebagai sebuah proses, dapat dilihat

dari indikator pencapaian keberhasilannya.

Adapun indikator pemberdayaan perempuan adalah sebagai

berikut:

1. Adanya sarana yang memadai guna mendukung perempuan

untuk menempuh pendidikan semaksimal mungkin.

25

2. Adanya peningkatan partisipasi dan semangat kaum perempuan

untuk berusaha memperoleh dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran

bagi diri mereka (Suharto, 2003:35).

Pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan

mempercepat tercapainya kualitas hidup perempuan, dapat dilakukan

melalui kegiatan sosialisasi pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan bagi

kaum perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang/sektor kehidupan.

Untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan

relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan

sehingga mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan

kehidupan lokal, nasional, dan global, khususnya peran perempuan sebagai

bagian dari pelaku pembangunan, maka perlu dilakukan pemberdayaan dan

peningkatan potensi perempuan secara terencana, terarah, dan

berkesinambungan (Salman, 2005:184).

2.1.3 Konsep Industri

1. Definisi Industri

Industri merupakan suatu kegiatan ekonomi yang mengolah barang

mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi untuk

dijadikan barang yang lebih tinggi kegunaannya (Sukirno, 1995:54).

Industri merupakan salah satu upaya yang dilakukan guna meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan peningkatan sumber daya masyarakat

dalam mengelola sumber daya alam yang ada di sekitarnya.

Berikut ini beberapa macam definisi industri menurut Badan Pusat

Statistik:

26

a) Industri Pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan

kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau

dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi, dan atau

barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya,

dan sifatnya lebih dekatkepada pemakai akhir. Termasuk dalam

kegiatan ini adalah jasa industri/makloon dan pekerjaan

perakitan (assembling).

b) Jasa industri adalah kegiatan industri yang melayani keperluan pihak

lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak lain sedangkan

pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapat

imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah makloon),

misalnya perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan

menggiling padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu.

c) Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang

melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau

jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai

catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya

serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha

tersebut.

2. Penggolongan pengolahan industri dibagi menjadi empat, yaitu:

a. Industri Besar (banyaknya tenaga kerja 100 orang atau lebih)

b. Industri Sedang (banyaknya tenaga kerja 20-99 orang)

c. Industri Kecil (banyaknya tenaga kerja 5-19 orang)

d. Industri Rumah Tangga (banyaknya tenaga kerja 1-4 orang)

27

3. Macam-macam jenis industri dibagi menjadi 24, yaitu:

a. Makanan

b. Minuman

c. Pengolahan tembakau

d. Tekstil

e. Pakaian jadi

f. Kulit, barang dari kulit dan alas kaki

g. Kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang

anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya

h. Kertas dan barang dari kertas

i. Pencetakan dan reproduksi media rekaman

j. Produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi

k. Bahan kimia dan barang dari bahan kimia

l. Farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional

m. Karet, barang dari karet dan plastik

n. Barang galian bukan logam

o. Logam dasar

p. Barang logam, bukan mesin dan peralatannya

q. Komputer, barang elektronik dan dan optik

r. Peralatan listrik

s. Mesin dan perlengkapan ytdl

t. Kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer

u. Alat angkutan lainnya

v. Furnitur

28

w. Pengolahan lainnya

x. Jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan

4. Jenis Tenaga Kerja menurut Badan Pusat Statistik

a. Jumlah tenaga kerja adalah banyaknya pekerja/karyawan rata-rata

perhari kerja baik pekerja yang dibayar maupun pekerja yang tidak

dibayar.

b. Pekerja Produksi adalah pekerja yang langsung bekerja dalam proses

produksi atau berhubungan dengan itu, termasuk pekerja yang langsung

mengawasi proses produksi, mengoperasikan mesin, mencatat bahan

baku yang digunakan dan barang yang dihasilkan.

c. Pekerja lainnya adalah pekerja yang tidak berhubungan langsung

dengan proses produksi, pekerja ini biasanya sebagai pekerja

pendukung perusahaan, seperti manager (bukan produksi), kepala

personalia, skretaris, tukang ketik, penjaga malam, sopir perusahaan,

dll.

5. Industri Rumah Tangga sebagai usaha pemberdayaan Perempuan

Industri rumah tangga atau home industry merupakan suatu peluang

usaha yang mulai bermunculan dalam era sekarang karena semakin

sempitnya lapangan kerja yang tersedia. Industri semacam ini dapat dikelola

di dalam rumah sehingga dapat dipantau setiap saat. Usaha kecil semacam

ini dikelola oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Modal

yang dibutuhkan usaha ini sedikit dan alat-alat yang digunakan bersifat

manual.

29

Setiap individu mampu membentuk kelompok industri yang

memiliki tujuan yang sama yaitu sama-sama mau belajar berusaha guna

menciptakan sebuah produk yang mampu meningkatkan taraf kehidupan

dalam segi ekonomi dan meningkatkan potensi yang ada di setiap individu

(peningkatan SDM). Suatu kelompok industri biasanya memiliki visi dan

misi yang sama sehingga adanya kekompakan yang terdapat pada kelompok

tersebut.

Perempuan biasanya lebih banyak menciptakan lapangan pekerjaan

dalam sektor industri rumah tangga. Selain memiliki peran mengurus

keluarga, tetapi mereka juga mampu bekerja di sektor publik yakni dengan

menciptakan peluang usaha yang dapat membantu sesama perempuan.

Sering kita jumpai industri rumah tangga yang di anggotai oleh perempuan,

yakni industri rumah tangga dalam bidang makanan, minuman, kerajinan

dan lain-lain.

Pemberdayaan perempuan bisa melalui mengajak bergabung

dalam usaha yang ditekuninya. Secara tidak sadar mereka ikut berpartisipasi

dalam pembangunan. Pembangunan tidak hanya meningkatkan

kesejahteraan masyarakat saja tetapi juga perlu meningkatkan SDM

sehingga mereka mampu hidup mandiri.

30

2.1.4 Penelitian Terdahulu

No. Judul Penelitian Temuan Relefansi

1. Pemberdayaan Perempuan

Melalui Program Usaha Sosial

Ekonomis Produktif Keluarga

Miskin (USEP-KM) Oleh Dinas

Sosial DIY Di Hargorejo Kokap

Kulonprogo. Dari Skripsi Evi

Alfianti, 10250057, Program

Studi Kesejahteraan Sosial,

Fakultas Dakwah dan

Komunikasi, Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta. Tahun 2014.

Pemberdayaan

perempuan

memiliki proses

yang sistematis

mulai dari

perencanaan,

peninjauan,

pembekalan,

pemberian

bantuan hingga

evaluasi dari

pihak Dinas Ssial

DIY.

Penelitian yang

akan dilakukan

berbeda karena

pada

pemberdayaan

perempuan yang

saya teliti tidak

menerima

bantuan hingga

tidak adanya

evaluasi dari

pemerintah.

2. Pemberdayaan Perempuan

Melalui Program Keterampilan

Menjahit Koperasi Wanita Wira

Usaha Bina Sejahtera Di Bulak

Timur-Depok. Dari Skripsi

Minarti, 106054002047,

Program Studi Pengembangan

Masyarakat Islam, Fakultas

Ilmu Dakwah Dan Ilmu

Komunikasi, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Tahun 2014.

Perempuan diberi

pelatihan

keterampilan agar

dapat

mengembangkan

potensi yang

dimiliki dan dapat

membua usaha

secara mandiri.

Penelitian yang

akan dilakukan

membahas hasil

yang didapat

setelah mengikuti

pelatihan

sehingga

menjadikan

perempuan

mandiri dalam

usaha batik tulis.

3. Pemberdayaan Perempuan

Melalui Kelompok Batik Tulis

Lanthing Pada Ibu Rumah

Tangga Di Gunting Gilangharjo

Pandak. Dari Skripsi Rizka

Wulandhani, 08102241018,

Program Studi Pendidikan Luar

Sekolah, Fakultas Ilmu

Pendidikan, Universitas Negeri

Yogyakarta. Tahun 2015.

Terdapat proses

sosialisasi

sebelum diadakan

kegiatan

membatik dan

setelah diadakan

kegiatan tersebut

terdapat

perubahan

aktivitas dari ibu

rumah tangga

yang tergabung

dalam kelompok

batik tersebut.

Penelitian yang

akan dilakukan

memiliki

perbedaan dengan

penelitian

sebelumnya yaitu

tidak adanya

kontrol dari

pemerintah

sehingga

masyarakat

sendiri yang

memiliki

motivasi untuk

mendirikan usaha

membatik.

Masyarakat

sendiri yang

31

mengajak ibu

rumah tangga

yang lain agar

bergabung dalam

usahanya.

2.2 Landasan Teori Sistem Komando menjadi Proses Belajar

Menurut Soetomo (2011:72-85), dalam proses pemberdayaan

masyarakat pendekatan yang dipergunakan yaitu:

1. Sentralisasi menjadi desentralisasi

Desentralisasi dalam hal ini diarahkan pada bentuk

kewenangan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap

pengambilan keputusan dan sumber daya. Desentralisasi ini berarti

mencakup lapisan masyarakat miskin akar rumput, bukan semata

berhenti pada elit lokal setempat.

2. Top down menjadi bottom up

Pendekatan pemberdayaan cenderung mengutamakan alur

dari bawah ke atas. Proses dan mekanismenya dapat melalui dua

kemungkinan; pertama, identifikasi masalah dan kebutuhan

masyarakat direspon sendiri oleh masyarakat bersangkutan dalam

bentuk program pembangunan yang direncanakan dan sekaligus

dilaksanakan oleh masyarakat. Kedua, identifikasi masalah dan

kebutuhan masyarakat diakomodir oleh pemerintah untuk

dimasukkan kedalam program pembangunan pemerintah.

3. Uniformity menjadi variasi lokal

Pendekatan pemberdayaan sangat memberikan toleransi

kepada variasi lokal/kearifan lokal, dengan demikian program-

32

program yang dirumuskan dan dilaksanakan sangat berorientasi

pada permasalahan dan kondisi serta potensi setempat.

4. Sistem komando menjadi proses belajar

Pendekatan pemberdayaan memosisikan masyarakat lebih

berkedudukan sebagai subyek atau aktor, dalam hal ini, proses

belajar yang dilakukan untuk meningkatkan inisiatif merupakan

rangkaian pemantapan kapasitas. Peningkatan kapasitas ini

bermakna pengakuan akan kemampuan masyarakat untuk

melakukan langkah-langkah menuju kemajuan.

5. Ketergantungan menjadi keberlanjutan

Pemberian kewenangan kepada masyarakat dalam

pengelolaan pembangunan akan lebih mendorong tumbuh

kembangnya inisiatif dan kreatifitas yang memacu keberlanjutan.

6. Social exclusion menjadi social inclution

Seluruh lapisan masyarakat terutama lapisan bawah,

mendapatkan peluang yang sama dalam berpartisipasi pada semua

proses kehidupan, dalam mengakses semua pelayanan, serta dalam

mengakses sumber daya dan informasi.

7. Improvement menjadi transformation. Improvement berarti

memfokuskan perbaikan hanya dalam cara kerja dan proses produksi

tanpa melakukan perubahan pada tataran struktur, sedangkan

pendekatan pemberdayaan lebih menekankan pada transformation,

dimana fokus perubahan adalah pada level sistem dan struktur

sosialnya.

33

Pengertian komando dalam KBBI diartikan sebagai aba-aba atau

perintah sedangkan proses belajar adalah runtunan perubahan (peristiwa)

dalam perkembangan dalam mempelajari sesuatu.Pelaksanaan

pembangunan masyarakat yang menggunakan pendekatan pemberdayaan,

bukan lagi menggunakan sistem instruktif dan komando, melainkan

mengedepanan pengambilan keputusan oleh masyarakat sendiri.

Kewenangan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan

pembangunan perlu diimbangi dengan kapasitas atau kemampuan untuk

melakukannya. Oleh sebab itu dalam proses pemberdayaan juga

terkandung unsur pengembangan kapasitas masyarakat. Hal itu

disebabkan karena dalam pendekatan pemberdayaan, masyarakat lebih

berkedudukan sebagai subyek atau sebagai aktor, berbeda dengan

sebelumnya yang lebih ditempatkan sebagai obyek. Pemberian

kewenangan dan pengembangan kapasitas mengandung makna pengakuan

akan kemampuan masyarakat untuk melakukannya. Berarti juga

mengandung perubahan sikap dan pandangan tentang masyarakat yang

semula under estimate menjadi adanya pengakuan akan kapasitasnya

(Soetomo,2013:79-80).

Pemberdayaan perempuan yang dilakukan di Desa Yosowilangun

Lor merupakan pembangunan yang menggunakan pendekatan

pemberdayaan sistem komando menjadi proses belajar, dimana

pemberdayaan tersebut bisa dilaksanakan karena adanya komando dari

pihak masyarakat yang ingin memberikan pembelajaran melalui proses

pemberdayaan. Pendekatan ini juga memberikan posisi kepada masyarakat

34

sebagai aktor dalam proses pemberdayaan, sehingga masyarakat bukan

sebagai obyek melainkan sudah diberikan peran sebagai aktor. Pemberian

kewenangan dan pengembangan kapasitas mengandung makna pengakuan

akan kemampuan masyarakat untuk melakukannya.

Pengembangan kapasitas masyarakat berlangsung melalui proses

belajar sosial secara kumulatif. Dari pengalaman bekerja sambil belajar

diperoleh gagasan kreatif, pola aktivitas bersama yang merupakan institusi

sosial dan pengetahuan lokal. Dalam pemberdayaan ini diperoleh adanya

peningkatan kreatifitas yang didapatkan oleh masyarakat.

Proses pemberdayaan sistem komando menjadi proses belajar bukan

berarti masyarakat mengabaikan gagasan dari luar, gagasan kreatif dari

luar merupakan sesuatu yang harus diterima dan dilaksanakan, maka

dalam perspektif pemberdayaan, masyarakatlah yang menyaring dan

menentukan apakah gagasan kreatif tersebut diterima atau tidak. Apabila

gagasan kreatif tersebut diterima, maka prosesnya melalui pemahaman

masyarakat, bahwa ide tersebut bermanfaat bagi mereka. Gagasan dari luar

diterima masyarakat melalui proses transformasi sehingga kemudian

sudah disadari dan dipahami sebagai kebutuhan masyarakat. Transformasi

gagasan, ide, stimuli dari luar ditempatkan sebagai bagian integral dari

proses belajar untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (Soetomo,

2013:81).

Pemberdayaan yang menggunakan sistem komando menjadi proses

belajar dapat membuat masyarakat tahu akan potensi yang dimilikinya dan

35

apa yang dibutuhkan guna meningkatkan kualitas SDM di lingkungannya.

Dalam proses tersebut masyarakat masih menerima stimuli dari luar

termasuk gagasan kreatif dari luar. Apabila terdapat stimuli dari luar, maka

merekalah yang menentukan apakah stimuli yang didapatkan bisa diterima

atau tidak. Stimuli atau gagasan kreatif dari luar dapat diterima oleh

mereka jika gagasan tersebut memberikan manfaat untuk kelompok

mereka. Dalam sistem komando menjadi proses belajar memiliki

pemahaman bahwa mereka masih dalam proses belajar dalam

meningkatkan kapasitas masyarakat.