bab i - · pdf filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya...

33
KERANGKA ACUAN KERJA PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN TERPADU (INTEGRATED RURAL AREA DEVELOPMENT PROGRAM) BAB I PENDAHULUAN 1. Konteks Pembangunan Daerah Tertinggal Pada hakekatnya pembangunan daerah tertinggal merupakan bagian pengembangan wilayah, yang berkenaan dengan pengarahan proses transformasi sosialekonomi dan lingkungan fisik di dalam ‘ruang’ wilayah dan kawasan, sebagai ’wadah’ dan ’sumberdaya’, yang dapat menjamin kelangsungan hidup individu manusia dan peningkatan kualitas kehidupan sosialekonomi masyarakat yang bertempat tinggal di suatu kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan. Masalah (issues) yang krusial dalam pengembangan wilayah adalah: (i) terkonsentrasi kegiatan ekonomi di pulau Jawa dan di beberapa wilayah tertentu di luar Jawa, (ii) ketidakmerataan akses masyarakat terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, terutama lahan, (iii) tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan, (iv) masih besarnya kesenjangan perkembangan antar wilayah dan antara kotadesa, dan (v) ketidakserasian perkembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan. Problematiknya (problem) adalah proses ‘transformasi sosialekonomi dan lingkungan fisik’ di dalam ruang kurang mampu menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat antar antar wilayah maupun antara perdesaan dan perkotaan. Dari perspektif geografi ekonomi, proses pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari: (i) adanya agregat kegiatan ekonomi lokal yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi nasional atau pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah yang menjalar ke tempat lain, dan (ii) adanya pola ruang kegiatan ekonomi yang menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional. Besarkecilnya pengaruh pola ruang kegiatan ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah 1

Upload: truongphuc

Post on 28-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

KERANGKA ACUAN KERJA

PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN TERPADU

(INTEGRATED RURAL AREA DEVELOPMENT PROGRAM)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Konteks Pembangunan Daerah Tertinggal

Pada hakekatnya pembangunan daerah tertinggal merupakan bagian

pengembangan wilayah, yang berkenaan dengan pengarahan proses

transformasi sosial­ekonomi dan lingkungan fisik di dalam ‘ruang’ wilayah dan

kawasan, sebagai ’wadah’ dan ’sumberdaya’, yang dapat menjamin

kelangsungan hidup individu manusia dan peningkatan kualitas kehidupan

sosial­ekonomi masyarakat yang bertempat tinggal di suatu kawasan

permukiman perkotaan dan perdesaan.

Masalah (issues) yang krusial dalam pengembangan wilayah adalah: (i)

terkonsentrasi kegiatan ekonomi di pulau Jawa dan di beberapa wilayah

tertentu di luar Jawa, (ii) ketidakmerataan akses masyarakat terhadap

pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, terutama lahan, (iii) tingginya

tingkat kemiskinan di perdesaan, (iv) masih besarnya kesenjangan

perkembangan antar wilayah dan antara kota­desa, dan (v) ketidakserasian

perkembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan.

Problematiknya (problem) adalah proses ‘transformasi sosial­ekonomi

dan lingkungan fisik’ di dalam ruang kurang mampu menciptakan pemerataan

pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat antar antar wilayah maupun

antara perdesaan dan perkotaan.

Dari perspektif geografi ekonomi, proses pertumbuhan ekonomi dapat

dilihat dari: (i) adanya agregat kegiatan ekonomi lokal yang menghasilkan

pertumbuhan ekonomi nasional atau pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah

yang menjalar ke tempat lain, dan (ii) adanya pola ruang kegiatan ekonomi

yang menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional. Besar­kecilnya pengaruh

pola ruang kegiatan ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah

1

Page 2: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

tergantung dari bekerjanya mekanisme pasar, yakni kegiatan produksi,

distribusi, dan pemasaran. Namun, bekerjanya mekanisme pasar ini

cenderung menciptakan perbedaan tingkat kesejahteraan rakyat antar wilayah

atau kesenjangan perkembangan antar wilayah, sehingga perlu campur

tangan negara.

Bagaimanapun di banyak negara, fenomena kesenjangan

perkembangan antar wilayah hampir selalu ada, namun setiap negara harus

mampu melakukan tindakan intervensi untuk mengurangi tingkat kesenjangan

perkembangan antar wilayah sampai dengan titik batas toleransi yang

disepakati secara politik.

Daerah yang tertinggal adalah daerah yang memiliki kondisi kualitas

sumberdaya manusia yang rendah, potensi sumberdaya alam yang rendah

atau belum dimanfaatkan secara optimal, aliran investasi yang terbatas,

ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, dan kapasitas lembaga

sosial­ekonomi yang kurang memadai. Akibatnya, kegiatan produksi kurang

berkembang, sehingga kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat yang

rendah.

1.2 Konteks Pembangunan Perdesaan di Daerah Tertinggal

Pembangunan perdesaan identik dengan pembangunan pertanian dan

pembangunan kawasan perdesaan. Unsur kawasan perdesaan terdiri dari:

manusia dan machluk hidup lainnya, kehidupan dan kegiatan manusia, benda

dan lingkungan, serta aliran & jaringan kegiatan manusia/benda (yang

berbentuk alami dan buatan).

Kawasan perdesaan memiliki fungsi kawasan permukiman sebagai lahan

usaha pertanian, perumahan, dan pusat pelayanan sosial dan ekonomi, serta

pemerintahan. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan

utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan

fungsi kawasan permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,

pelayanan sosial, dan pelayanan ekonomi. Kawasan perdesaan merupakan

penyumbang produksi bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan

2

Page 3: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

bio­energi untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan kegiatan industri, serta

penyediaan sumber energi terbarukan.

Berbagai kebijakan pembangunan perdesaan telah dijalankan oleh

pemerintah, namun masyarakat perdesaan masih tetap dihadapkan pada

‘masalah’ struktural (issues), yakni: (i) kualitas kehidupan masyarakat yang

rendah, (ii) kegiatan ekonomi yang stagnan, (iii) pengangguran dan

kemiskinan yang tinggi, (iv) ketersediaan pelayanan sarana dan prasarana

yang terbatas dan dengan standar pelayanan minimum yang rendah, serta (v)

kualitas lingkungan kawasan permukiman yang buruk.

Sumber permasalahan (problem/cause) yang dihadapi masyarakat

perdesaan adalah: (i) adanya regulasi yang menghambat perkembangan

perekonomian perdesaan, (ii) adanya mekanisme penyediaan pelayanan

publik dan pelaksanaan kegiatan pembangunan di perdesaan yang

‘fragmented’, (iii) adanya keterbatasan akses masyarakat terhadap kapital,

tanah, input produksi, dan jaringan pemasaran produk pertanian, disertai

dengan ketidakpastian jaminan harga produk pertanian secara benar (right

price).

Pada saat ini diketahui bahwa hampir 83 % kabupaten di Indonesia

yang perkembangan perekonomiannya sangat tergantung dari sektor

pertanian, sehingga pada dasarnya negara Indonesia merupakan negara

pertanian/agraris. Namun demikian, masalahnya adalah kabupaten yang

sektor pertaniannya stagnan atau belum berkembang pada umumnya

merupakan daerah tertinggal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) terdapat relasi yang kuat antara

ketertinggalan suatu daerah dengan perkembangan kegiatan pertanian yang

tradisional atau subsisten, dan (ii) terdapat relasi yang kuat antara

ketertinggalan kawasan perdesaan dengan pola hubungan ekonomi desa­kota

yang kurang sinergik.

Pada tahun 2004 terdapat 199 kabupaten yang masuk katagori daerah

tertinggal, dan pada 2009 ini terdapat 50 kabupaten yang dinyatakan lepas

dari katagori tersebut. Dengan mempertimbangkan adanya 34 kabupaten

pecahan yang tertinggal, sehingga pada saat ini masih ada 183 kabupaten

yang masuk dalam katagori daerah tertinggal.

3

Page 4: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

Sebagian besar daerah tertinggal terdapat di pulau Kalimantan,

Sulawesi, kepulauan NTB dan NTT, kepulauan Maluku, dan pulau Papua, yang

pada umumnya memiliki kondisi perkembangan kegiatan pertanian yang

stagnan atau memiliki tahap perkembangan kegiatan pertanian yang

tradisional atau subsisten.

Atas dasar uraian diatas, diperlukan adanya kebijakan pembangunan

perdesaan di daerah tertinggal untuk meningkatkan kegiatan ekonomi lokal,

mengentaskan kemiskinan masyarakat perdesaan, dan sekaligus

mempercepat pembangunan daerah tertinggal.

Sehubungan dengan hal tersebut, perumusan kebijakan pembangunan

perdesaan perlu melihat tahapan perkembangan dan pola kegiatan pertanian,

kondisi potensi sumberdaya alam dan geografis wilayah, hubungan ekonomi

perdesaan dan perkotaan, dan struktur kawasan permukiman perkotaan dan

perdesaan di dalam suatu wilayah.

Pada dasarnya pelaksanaan pembangunan perdesaan memerlukan

konsep yang konprehensif, paradigma, strategi & kebijakan, dan rencana

tindakan, yang melihat berbagai sudut pandang, multi disiplin, dan dimensi

waktu; serta dengan membuat solusi yang diselesaikan dari ‘luar kotak’ dan

mekanisme pelaksanaan kegiatan yang tepat dan terintegrasi.

4

Page 5: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

BAB II

IDE PEMBANGUNAN PERDESAAN

DI DAERAH TERTINGGAL

2.1 Ide Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal

Pada hakekatnya problematik ketertinggalan daerah dapat dipecahkan

melalui pengarahan proses ‘transformasi sosial­ekonomi dan lingkungan

fisik’ di dalam ‘ruang‘ wilayah dan kawasan’ (transformasi ruang), yang

mampu menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi antar wilayah,

keserasian lingkungan hidup & pemanfaatan sumberdaya alam, keseimbangan

perkembangan antar wilayah, dan keserasian perkembangan kawasan

permukiman perkotaan dan perdesaan, dengan dukungan pengaturan dalam

penataan ruang dan pertanahan, penyediaan prasarana dan sarana, dan

pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah.

Daerah yang tertinggal pada umumnya memiliki kondisi kualitas

sumberdaya manusia yang relatif rendah, potensi sumberdaya alam yang

terbatas atau belum dimanfaatkan secara optimal, aliran investasi yang

rendah, ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, dan kapasitas

lembaga sosial­ekonomi yang kurang memadai. Faktor inilah yang

menyebabkan suatu daerah tidak mampu menciptakan ‘keunggulan

komparatif’, dan akibatnya kegiatan produksi kurang berkembang, sehingga

kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat rendah.

Bagaimanapun di banyak negara, fenomena kesenjangan

perkembangan antar wilayah hampir selalu ada, namun setiap negara harus

mampu melakukan tindakan intervensi untuk mengurangi tingkat kesenjangan

perkembangan antar wilayah sampai dengan titik batas toleransi yang

disepakati secara politik.

5

Page 6: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

Pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah identik dengan

pemerataan kesejahteraan rakyat antar wilayah memerlukan peningkatan

pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, yang didasari oleh adanya proses

’akumulasi kapital’ di masyarakat yang dihasilkan dari siklus investasi,

produksi, pendapatan, konsumsi, tabungan, re­investasi yang membumbung

(cyclonic), sehingga terjadi peningkatan daya beli masyarakat (purchasing

power). Peningkatan pertumbuhan ekonomi membutuhkan pengembangan

kegiatan produksi yang menghasilkan produk yang cepat dapat

diperdagangkan (tradeable product) dan menciptakan nilai tambah yang tinggi

(value added).

Pada dasarnya elemen penting keberhasilan pemerataan kesejahteraan

rakyat antar wilayah atau keseimbangan perkembangan antar wilayah adalah:

(i) kebijakan pertumbuhan ekonomi (urbanisasi), (ii) pengembangan kawasan,

(iii) integrasi ekonomi antar wilayah, (iv) pengelolaan tata ruang dan

pertanahan, serta (v) pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah.

2.2 Ide Penerapan Paradigma Pembangunan Perdesaan

Pembangunan perdesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat

fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan, dan

pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah (Stiglitz, 2OO3).

Proses transformasi sosial­ekonomi dan lingkungan fisik perdesaan atau

proses pembangunan perdesaan terjadi di dalam ‘ruang’ kawasan perdesaan

yang diarahkan untuk menciptakan masyarakat desa yang maju dan produktif

(sejahtera).

Kemajuan masyarakat perdesaan tergantung dari: (i) adanya

ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat, disertai dengan

kemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya

baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya industrialisasi

perdesaan melalui pemanfaatan teknologi, sehingga kegiatan usahanya lebih

efisien dan produktif, dengan itu hasil keuntungan, pendapatan, dan daya beli

masyarakat meningkat.

Kondisi tersebut merupakan kondisi ‘ideal’ dari pola kegiatan ekonomi

6

Page 7: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

yang menciptakan proses ‘akumulasi kapital’ di masyarakat perdesaan, dan

hal tersebut berlangsung pada suatu tempat/lokasi perdesaan yang memiliki

fasilitas pelayanan sosial­ekonomi, prasarana & sarana, potensi lahan &

sumberdaya alam, dan daya dukung lingkungan yang memadai, serta berada

di dalam konfigurasi sistem kawasan permukiman dan jaringan infrastruktur

yang mendukung.

Pembangunan perdesaan sangat penting bagi pembangunan daerah

tertinggal, karena terbentuknya dan berkembangnya kehidupan masyarakat

maupun kegiatan ekonomi pada suatu kawasan diawali oleh: (i) adanya

kegiatan usaha primer (produksi bahan pertanian atau pemanfaatan

sumberdaya alam) di desa, dan (ii) adanya kegiatan usaha dagang produk

keluar dari desa akibat surplus produk. Hal inilah yang menyebabkan

munculnya pusat pelayanan jasa­distribusi (kota) yang membentuk hubungan

ekonomi desa­kota (rural­urban linkages).

Konfigurasi hubungan ekonomi antara desa­kota pada umumnya

menjadi basis ‘pertumbuhan ekonomi lokal‘ di suatu daerah. Semakin

besar intensitas hubungan ekonomi desa­kota yang saling menguntungkan

akan semakin maju tahap perkembangan suatu kawasan (urbanized), baik

perdesaan maupun perkotaan, yang berdampak pada pemerataan

kesejahteraan masyarakat.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa karakter kegiatan

ekonomi di perkotaan tidak selalu memberikan keuntungan yang memadai

bagi perkembangan ekonomi di perdesaan (asymetric benefit), karena pola

kegiatan ekonomi perkotaan memperlakukan kawasan perdesaan sebagai

daerah belakang (hinterland). Akibat perlakuan tersebut, timbul permasalahan

‘struktural’ kesenjangan kehidupan sosial­ekonomi dan lingkungan fisik

antara kawasan perkotaan dan perdesaan (urban­rural disparity). Disamping

itu, kawasan perdesaan itu sendiri menghadapi permasalahan ‘internal‘’

dalam kegiatan pertanian yang menjadi faktor penghambat perkembangan

perekonomian perdesaan.

Pada dasarnya terdapat kondisi sosial­ekonomi dan problematik yang

bersifat khusus pada berbagai tipologi kawasan perdesaan, seperti kawasan

perdesaan pedalaman, pesisir, dan pulau kecil, sehingga diperlukan kebijakan

dan program yang spesifik. Namun demikian, pada intinya kebijakan dan

7

Page 8: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

program pembangunan perdesaan memiliki tujuan untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat melakukan kegiatan produksi pertanian yang

menguntungkan, sehingga pendapatan masyarakat perdesaan lebih terjamin

dan lebih besar, dan terjadi peningkatan daya beli masyarakat perdesaan.

Pada dasarnya perlakuan terhadap pembangunan perdesaan tidak

cukup dengan melihat perkembangan perdesaan secara alamiah dan

diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi diperlukan adanya kebijakan

spesifik dalam pengelolaan mekanisme pasar yang lebih memihak pada

perekonomian perdesaan (rural economy), pengaturan nilai tukar atau harga

produk pertanian secara lebih benar (right price), serta perbaikan sistem dan

transaksi perdagangan yang lebih adil (fair trade).

Dengan adanya kebijakan spesifik tersebut diharapkan terjadi

pengaliran dan akumulasi investasi yang lebih signifikan di perdesaan,

penguatan keterkaitan ekonomi kota dan desa, pengembangan kegiatan

produksi pertanian secara modern, penciptaan tenaga kerja yang kreatif,

peningkatan pendapatan masyarakat, dan pengembangan kualitas lingkungan

kawasan perdesaan.

Untuk itu diperlukan penerapan paradigma pembangunan perdesaan

yang bertumpu pada model ‘pengkotaan perdesaan’ (rural urbanization)

yang melihat pentingnya pembangunan perdesaan yang terpadu, meliputi:

pengembangan kualitas sumberdaya manusia, pemberdayaan ekonomi rakyat,

dan pengembangan kawasan permukiman, yang mampu menciptakan

masyarakat perdesaan yang maju dan produktif.

Sasaran model tersebut adalah: merubah kegiatan usaha pertanian

yang tradisional menjadi modern, pendapatan yang tidak terjamin menjadi

terjamin, dan merubah kawasan permukiman perdesaan yang berkarakter

kota.

2.3 Ide Penerapan Model Bedah Desa

Selama ini pemerintah telah melaksanakan berbagai kebijakan dan

program yang terkait dengan pembangunan perdesaan dan pengembangan

sektor pertanian, namun masyarakat perdesaan masih tetap menghadapi

‘masalah’ struktural yang belum terpecahkan yakni, kemiskinan dan

ketertinggalan.

8

Page 9: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

Dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan kebijakan dan program

pembangunan perdesaan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal

menawarkan suatu model ‘alat bantu manajemen’, yang disebut dengan

model “Bedah Desa” (rural intervention).

Model bedah desa ini mempersyaratkan pengenalan dan analisis yang

mendalam terhadap ‘anatomi desa’, yang meliputi: (i) struktur demografi

masyarakat, (ii) karakteristik sosial­budaya, (iii) karakteristik lingkungan

fisik/geografis, (iv) pola kegiatan usaha pertanian, (v) pola keterkaitan

ekonomi desa­kota, (vi) struktur kelembagaan desa (pemerintahan, sosial,

dan ekonomi), dan (vii) karakteristik kawasan permukiman.

Penerapan model ‘Bedah Desa’ ini dimaksudkan untuk: (i) mengenali

problematik yang sebenarnya dan solusi yang tepat dalam pembangunan

perdesaan, dan (ii) mengarahkan pengelolaan keterpaduan penyediaan ‘input

dan proses’ kegiatan pelaksanaan pembangunan di perdesaan, melalui

‘program pembangunan kawasan perdesaan terpadu (P2KPT).

9

Page 10: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

BAB III

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

TERTINGGAL

3.1 Sasaran Pembangunan Daerah Tertinggal

Kabinet Indonesia Bersatu II menfokuskan sasaran program pada :

peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan

keadilan. Secara keruangan (spatial), ketiga sasaran tersebut merefleksikan

kebijakan pemerataan kesejahteraan rakyat antar wilayah atau pengurangan

kesenjangan perkembangan antar wilayah, melalui kebijakan pembangunan

daerah tertinggal. Pembangunan daerah tertinggal merupakan kebijakan

pemihakan (affirmative policy) terhadap daerah­daerah yang tingkat

kemajuannya dibawah rata­rata nasional.

Sasaran hasil (outcomes) pembangunan daerah tertinggal (2014)

adalah:

(i) meningkatnya pertumbuhan ekonomi lokal dan kesejahteraan rakyat di

daerah tertinggal,

(ii) meningkatnya ketersediaan pelayanan transportasi dan telekomunikasi

serta sarana dan prasarana lainnya di daerah terpencil, terluar, dan

terdepan,

(iii) terlaksananya penanganan rehabilitasi daerah pasca konflik dan bencana

di daerah tertinggal,

(iv) meningkatnya pelaksanaan pengembangan potensi daerah, dengan

memanfaatkan otonomi daerah.

Dengan sasaran dampak (impact) berkurangnya jumlah daerah

tertinggal, dengan indikator terentaskannya daerah tertinggal di sedikitnya 50

kabupaten dari 183 kabupaten tertinggal paling lambat 2014.

10

Page 11: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

3.2 Strategi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal

Untuk mencapai sasaran pembangunan daerah tertinggal tersebut

diatas, Visi (achieveable dream) pembangunan daerah tertinggal adalah:

terwujutnya daerah tertinggal menjadi daerah yang wilayah dan

masyarakatnya maju dalam rangka ketahanan dan keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Dengan Misi (normative action to cope with the achieveable dream)

yang akan dijalankan adalah: (i) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,

pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat, penyediaan

infrastruktur, dan pengembangan kawasan secara terpadu, (ii) meningkatkan

kegiatan investasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, dan (iii)

menguatkan kapasitas lembaga daerah (pemerintah, usaha swasta, dan

masyarakat).

Untuk mewujutkan visi dan menjalankan misi tersebut diatas,

prinsip­prinsip dalam pembangunan daerah tertinggal adalah: pemerataan,

keadilan, pemihakan, pemberdayaan, dan percepatan, kemitraan, dan

pembangunan berkelanjutan.

Dalam rangka pelaksanaan visi dan misi pembangunan daerah

tertinggal, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal telah

menetapkan 4 (empat) pilar strategi percepatan pembangunan daerah

tertinggal, yaitu:

Pilar pertama, peningkatan kemampuan masyarakat dan

kemandirian daerah tertinggal, yang dilakukan melalui pelaksanaan

kebijakan: (1) pengembangan ekonomi lokal, (2) pemberdayaan masyarakat,

(3) penyediaan infrastruktur kawasan, dan (4) penguatan kapasitas lembaga

atau organisasi pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat;

Pilar kedua, optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya

wilayah di daerah tertinggal, yang dilakukan melalui pelaksanaan

kebijakan: (1) inventarisasi potensi sumberdaya wilayah, (2) peningkatan

promosi investasi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, (3)

penguatan forum kerjasama antar daerah dalam pemanfaatan potensi

sumberdaya wilayah, dan (4) pengembangan kawasan produksi di perdesaan;

11

Page 12: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

Pilar ketiga, penguatan integrasi ekonomi antara daerah

tertinggal dan daerah maju, yang dilakukan melalui pelaksanaan

kebijakan: (1) pengembangan jaringan ekonomi antar wilayah, (2)

pengembangan prasarana antar wilayah, dan (3) pengembangan pusat­pusat

pertumbuhan ekonomi daerah.

Pilar keempat, penanganan daerah khusus, yang dilakukan melalui

pelaksanaan kebijakan: (1) penyediaan akses pelayanan transportasi dan

telekomunikasi, serta sarana & prasarana lainnya ke daerah terpencil, terluar,

dan terdepan/perbatasan, (2) penanganan rehabilitasi daerah pasca konflik

dan bencana, dan (3) pengembangan kawasan potensial (kota penyangga,

kawasan ekonomi khusus, kawasan industri terpadu, dan kawasan

perbatasan), dan (4) pembangunan kawasan perdesaan terpadu.

3.3 Prioritas Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal

Dengan mempertimbangan kriteria ‘daya ungkit’ terhadap: (i)

peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal, (ii) pengurangan kemiskinan dan

pengangguran, (iii) pengembangan kawasan yang memiliki permasalahan

khusus, dan (iv) penguatan integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan

maju, pilihan kebijakan prioritas pembangunan daerah tertinggal pada periode

2009­2014 adalah:

1. Peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah

(regional resources), dengan rencana aksi: (1) inventarisasi potensi

sumberdaya wilayah; (2) promosi investasi dalam pemanfaatan potensi

sumberdaya wilayah; (3) penguatan kapasitas daerah dalam pengelolaan

pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah; dan (4) penguatan kerjasama

antar daerah dalam pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah (regional

management).

2. Peningkatan penyediaan infrastruktur daerah (regional

infrastructure), dengan rencana aksi: (1) penyediaan pelayanan sarana

sosial dasar dan utilitas (pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik,

telekomunikasi); (2) penyediaan prasarana dasar kawasan (jalan, embung,

irigasi, pasar, dermaga, airstrip, berikut sarana transportasi); dan (3) fasilitasi

12

Page 13: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

pengembangan jaringan infrastruktur antar kawasan/wilayah.

3. Peningkatan perekonomian dan investasi daerah (invesment),

dengan rencana aksi: (1) pembinaan pengembangan ekonomi lokal, (2)

penyusunan rencana investasi daerah, (3) peningkatan kerjasama investasi,

(4) pengembangan jaringan sarana distribusi dan perdagangan antar wilayah;

dan (5) pengembangan kawasan produksi.

4. Penguatan lembaga daerah (local institution), dengan rencana

aksi: (1) penguatan kapasitas lembaga pemerintah daerah, (2) penguatan

kapasitas lembaga dunia usaha dan organisasi masyarakat setempat, dan (3)

peningkatan pemberdayaan masyarakat.

5. Penanganan pengembangan daerah khusus (special area),

dengan rencana aksi: (1) pemantapan penyediaan bantuan pembangunan

daerah tertinggal dan khusus (terpencil, terluar, terdepan, daerah pasca

konflik dan bencana, (2) pengembangan dan pemanfaatan lahan, (3)

pengembangan kawasan potensial (kota penyangga, kawasan ekonomi

khusus, kawasan industri terpadu, dan perbatasan), dan (4) pembangunan

kawasan perdesaan terpadu.

3.4 Instrumen Pelaksanaan Kebijakan Khusus

Untuk mengefektifkan pelaksanaan kebijakan pembangunan daerah

tertinggal melalui dukungan kementerian dan lembaga, pemerintah daerah,

dunia usaha, dan masyarakat, dalam hal ini Kementerian Pembangunan

Daerah Tertinggal mengembangkan instrumen pelaksanaan kebijakan khusus,

yang meliputi:

1. Penyediaan bantuan program pembangunan daerah tertinggal

dan khusus; dengan katagori kegiatan sebagai berikut: penyediaan

bantuan ’block grant’ untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal,

pemberdayaan masyarakat, penyediaan infrastruktur kawasan, fasilitasi

peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta penguatan

kapasitas organisasi pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat

(dengan sasaran lokasi pada daerah terpencil, terluar, dan terdepan,

serta daerah pasca bencana/konflik);

13

Page 14: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

2. Penyediaan bantuan program pembangunan infrastruktur

perdesaan; dengan katagori kegiatan sebagai berikut: (1) penyediaan

bantuan penyediaan sarana sosial dasar dan utilitas (pendidikan,

kesehatan, air bersih & sanitasi, energi listrik, telekomunikasi) dan (2)

penyediaan bantuan infrastruktur kawasan perdesaan (jalan desa/poros

desa, embung, irigasi, pasar, terminal, airstrip, dermaga sungai/laut,

berikut penyediaan alat angkutan darat/sungai/laut/udara);

3. Penyediaan bantuan pengembangan kawasan produksi; dengan

katagori kegiatan sebagai berikut: (1) penyediaan bantuan

pengembangan kawasan produksi dalam kegiatan usaha: pertanian,

perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan rakyat,

pariwisata, dan (2) pengembangan industri pengolahan dan pendukung,

yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan

masyarakat.

4. Penyediaan bantuan penguatan forum kerjasama antar daerah;

dengan katagori kegiatan sebagai berikut: (1) penyediaan bantuan

pengelolaan forum kerjasama antar daerah dalam pemanfaatan potensi

sumberdaya wilayah, (2) fasilitasi promosi pemanfaatan potensi

sumberdaya wilayah, dan (3) fasilitasi penyiapan paket investasi dalam

pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah dan pembangunan

infrastruktur antar daerah.

5. Penyediaan bantuan pemberdayaan masyarakat; dengan katagori

kegiatan sebagai berikut: (1) fasilitasi penguatan kapasitas organisasi

dunia usaha dan organisasi masyarakat, dan (2) penyediaan bantuan

pemberdayaan masyarakat di perdesaan;

6. Penyediaan bantuan program pembangunan kawasan perdesaan

terpadu; dengan katagori kegiatan sebagai berikut: (1) penyediaan

bantuan manajemen untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan

peran dunia usaha dan perbankan; (2) penyediaan bantuan tenaga

pendamping masyarakat, (3) penyediaan bantuan langsung masyarakat

(BLM) untuk melaksanakan penyediaan prasarana dan sarana desa

secara swakelola; dan (4) penyediaan dana penjaminan kredit usaha

rakyat (KUR) untuk meningkatkan akses kredit bagi kelompok usaha

masyarakat; dengan sasaran pada ’kecamatan’ potensial di daerah

tertinggal dengan lokus kawasan desa.

14

Page 15: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

BAB IV

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERDESAAN

4.1 Problematik Pembangunan Perdesaan

Berbagai kebijakan pembangunan perdesaan telah dijalankan oleh

pemerintah, namun demikian pada kenyataannya masyarakat yang tinggal di

kawasan perdesaan tetap menghadapi masalah yang bersifat struktural,

yakni: (i) kualitas kehidupan masyarakat yang rendah, (ii) kegiatan ekonomi

yang stagnan, (iii) pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, (iv)

ketersediaan pelayanan sarana dan prasarana perdesaan yang terbatas dan

dengan standar pelayanan yang rendah, dan (v) kualitas lingkungan kawasan

permukiman yang buruk.

Problematiknya adalah: (i) adanya regulasi yang menghambat

perkembangan perekonomian perdesaan dan inovasi pengembangan

komoditas unggulan lokal, (ii) adanya pola penyediaan pelayanan publik dan

pelaksanaan kegiatan pembangunan di perdesaan yang bersifat ‘fragmented’,

(iii) adanya keterbatasan akses masyarakat terhadap kapital, input produksi,

dan jaringan pemasaran produk pertanian, disertai dengan ketidakpastian

jaminan harga produk pertanian secara benar (right price).

4.2 Paradigma Baru Pembangunan Perdesaan

Pada dasarnya proses transformasi sosial­ekonomi, dan lingkungan fisik

perdesaan terjadi di dalam ‘ruang’ kawasan perdesaan yang diarahkan untuk

menciptakan masyarakat desa yang maju dan produktif (sejahtera).

Persyaratan pokok keberhasilan pembangunan perdesaan adalah: (i)

masyarakat perdesaan harus mendapat akses pemenuhan hak dasar rakyat

yang memadai, (ii) sistem perekonomian perdesaan harus mendorong

kedaulatan ekonomi rakyat perdesaan, dan (iii) penyediaan pelayanan publik

bagi masyarakat perdesaan harus dipenuhi secara layak dan dengan standar

yang memadai.

Untuk itu diperlukan adanya adopsi paradigma baru, dalam

15

Page 16: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

pembangunan perdesaan, melalui penerapan model pengkotaan perdesaan

atau rural­urbanization, yang memperlakukan: (i) pengembangan kawasan

perdesaan dan perkotaan sebagai kesatuan sistem ekonomi dan permukiman,

(ii) modernisasi perekonomian perdesaan, melalui mekanisasi dan

industrialisasi pertanian, dan (iii) penerapan standar pelayanan minimum

(SPM) yang tidak dibedakan antara perdesaan dan perkotaan.

Penerapan model ‘pengkotaan perdesaan’ (rural urbanization) melihat

pentingnya pelaksanaan pembangunan perdesaan yang terpadu, meliputi:

pengembangan kualitas sumberdaya manusia, pemberdayaan ekonomi rakyat,

dan pengembangan kawasan permukiman, yang mampu menciptakan

masyarakat perdesaan yang maju dan produktif (urbanized). Model ini

memiliki sasaran, yaitu: merubah usaha pertanian yang tradisional menjadi

modern, pendapatan yang tidak terjamin menjadi terjamin, dan kawasan

perdesaan yang berkarakter kota.

4.3 Konsep Pengembangan Perekonomian Perdesaan

Kegiatan ekonomi perdesaan merupakan bagian dari kegiatan ekonomi

16

Page 17: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

nasional yang melibatkan keterkaitan kegiatan ekonomi antara perkotaan dan

perdesaan (urban­rural economic linkages). Pengembangan ekonomi

perdesaan merupakan bagian dari ekonomi lokal, yang merupakan

pendekatan pengembangan kegiatan ekonomi yang bertumpu pada

pemanfaatan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, teknologi, dan

kelembagaan lokal.

Proses transformasi masyarakat perdesaan atau pembangunan

perdesaan memiliki sasaran yaitu: terciptanya masyarakat desa yang maju

dan produktif (sejahtera). Sesuai dengan paradigma ‘rural­urbanization’

tersebut di atas, maka ‘konsep’ pengembangan perekonomian perdesaan

untuk mencapai sasaran tersebut adalah:

1. Pengembangan perekonomian perdesaan berbasis ekonomi rakyat,

melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam, pengembangan

kegiatan ‘on­farm’ dan ‘off­farm’, dan industrialisasi pertanian yang

ramah lingkungan;

2. Penggunaan teknologi produksi/pertanian yang tepat guna untuk

menjamin kualitas produk, efisiensi produksi, dan daya saing usaha;

3. Pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif yang dimiliki dan

dikelola oleh masyarakat setempat dengan dukungan dunia usaha dan

lembaga keuangan (Bank dan LKM);

4. Pengembangan kegiatan investasi pada produksi komoditas yang

memiliki siklus hidup yang panjang (long life product cycle), berbasis

sumber daya yang terbarukan, harga komoditi yang tinggi, dan

permintaan pasar yang besar/terjamin (domestik dan ekspor);

5. Pembuatan paket investasi pada kegiatan produksi skala luas/besar

untuk mempermudah pengerahan dana dan kelayakan usaha, namun

tetap dimiliki dan dikelola oleh masyarakat;

6. Adopsi industri klaster untuk mendukung mata rantai proses produksi,

pengolahan, dan pemasaran, diversifikasi produk, nilai tambah produk,

dan penciptaan pekerja kreatif (kawasan produksi/agro­industri).

4.4 Strategi Pembangunan Perdesaan

Atas dasar pemahaman terhadap paradigma pembangunan perdesaan

dan konsep pengembangan ekonomi perdesaan tersebut di atas, pada

17

Page 18: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

dasarnya sasaran pembangunan perdesaan adalah untuk menciptakan

masyarakat desa yang maju dan produktif (sejahtera).

Untuk mencapai sasaran tersebut, dipilih 3 (tiga) pilar strategi

pembangunan perdesaan sebagai landasan proses transformasi masyarakat

perdesaan, yaitu:

Pilar pertama, pengembangan kualitas sumberdaya manusia,

yang dilaksanakan melalui kebijakan peningkatan akses keluarga untuk

memperoleh pelayanan sosial dasar, khususnya pelayanan pendidikan dan

kesehatan, dengan sasaran untuk meningkatkan produktifitas tenaga dan

kualitas hidup keluarga.

Pilar kedua, pemberdayaan ekonomi rakyat, yang dilaksanakan

melalui kebijakan penyediaan akses kelompok usaha masyarakat terhadap

investasi/kapital, pemilikan aset tanah, masukan sumberdaya produksi,

teknologi produksi/pertanian, dan lembaga ekonomi, dengan sasaran untuk

menciptakan peluang usaha, kesempatan kerja, dan pendapatan masyarakat

secara terjamin.

Pilar ketiga, pengembangan kawasan permukiman, yang

dilaksanakan melalui kebijakan penataan ruang kawasan, pengembangan

lahan, penyediaan pelayanan perumahan berikut prasarana dan sarana

lingkungan, dengan sasaran untuk mengembangkan kualitas kehidupan

masyarakat dan lingkungan permukiman perdesaan yang teratur dan

fungsional (urbanized).

4.5 Penerapan Model Bedah Desa

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan tersebut

diatas, diperlukan suatu alat bantu (toolkit) manajemen dalam pelaksanaan

18

Page 19: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

pembangunan perdesaan, yang mampu menciptakan masyarakat perdesaan

yang maju dan produktif dan kualitas kawasan perdesaan yang fungsional dan

teratur.

Secara konseptual yang disebut alat bantu (toolkit) adalah satu

perangkat konsep, ide, cara berpikir, dan cetusan intelektual untuk

memahami, serta menggali dan melakukan tindakan atas problematik dengan

lebih mudah dan akurat. Analogi suatu alat bantu adalah seperti palu, gergaji,

mesin bor, dan obeng, dan juga sebagai perangkat pendekatan, teknik, dan

manual cara kerja.

Alat bantu manajemen dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan

yang dimaksud adalah model “Bedah Desa” (rural intervention), yang

digunakan untuk mengenali problematik sebenarnya dan solusi yang tepat dan

konprehensif dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan. Hal tersebut

diawali dengan cara mengenali dan menganalisis secara mendasar terhadap

‘anatomi desa’, yang meliputi: (i) struktur demografi masyarakat, (ii)

karakteristik sosial­budaya, (iii) karakteristik lingkungan fisik/geografis, (iv)

pola kegiatan usaha pertanian (on­off farm), (v) pola keterkaitan ekonomi

desa­kota, (vi) struktur kelembagaan desa (pemerintahan, sosial, dan

ekonomi), dan (vii) karakteristik kawasan permukiman.

Tujuan penerapan model ‘bedah desa’ adalah menyediakan kerangka

pendekatan pengelolaan keterpaduan penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan

dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan yang diarahkan untuk: (1)

meningkatkan kualitas kehidupan dan pendapatan masyarakat perdesaan

(masyarakat maju), (2) mengembangkan kegiatan produksi perdesaan

(masyarakat produktif), (3) memperkuat kapasitas lembaga perdesaan

(masyarakat terorganisir), dan (4) mengembangkan fungsi & kualitas kawasan

permukiman perdesaan (desa yang berkarakter kota).

Sebagai penjelasan lebih lanjut, bahwa penyediaan ‘input’ kegiatan

pelaksanaan pembangunan perdesaan yang dimaksud diatas meliputi:

Pertama, input regulasi/insentif, yang terdiri dari: (1) pemberdayaan

19

Page 20: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

masyarakat desa, (2) pemanfaatan potensi lahan/SDA, (3) penyediaan akses

kapital/kredit usaha, (4) pengaturan jaminan harga produk yang benar, (5)

pengaturan akses penampungan dan pemasaran produk, (6) pengembangan

kelembagaan ekonomi desa, (7) penetapan standar pelayanan minimum, dan

(8) pemanfaatan ruang dan pengelolaan pertanahan.

Kedua, input pelayanan umum, yang terdiri dari: (1) penyediaan

pelayanan pendidikan, (2) penyediaan pelayanan kesehatan, (3) pembinaan

usaha ekonomi produktif, (4) pembinaan kelompok usaha masyarakat, (5)

pembinaan kemitraan usaha, (5) penyediaan akses modal/kredit usaha, (6)

penyediaan sarana produksi, pengolahan, & pemasaran, (7) penyiapan lahan

siap bangun, dan (8) penyediaan prasarana & sarana desa (jalan desa/poros

desa, energi listrik, telekomunikasi, air bersih, sanitasi, embung, irigasi, pasar,

terminal, dermaga, dan angkutan perdesaan).

Ketiga, input kegiatan investasi, yang terdiri dari: (1) pengerahan

dana investasi, (2) penyiapan paket investasi, (3) pembuatan studi kelayakan

investasi, (4) penyediaan penjaminan kredit usaha, (5) penyediaan tenaga

pendamping (BDS), (6) penyediaan kredit usaha dan input produksi, (7)

pelaksanaan proses produksi/usaha, dan (8) pengelolaan pengembalian kredit

usaha.

Sementara itu, ‘proses’ kegiatan pelaksanaan pembangunan perdesaan

yang dimaksud adalah: (1) penetapan kebijakan dan pembuatan skema

program di tingkat pusat dan daerah, (2) penyusunan rencana penyediaan

input kegiatan terpadu, (3) penyusunan rencana tata ruang dan penggunaan

tanah, (4) penyiapan organisasi pelaksana di daerah, (5) penyiapan kelompok

masyarakat, (6) penyiapan rencana pelaksanaan kegiatan, (7) pengelolaan

pelaksanaan kegiatan, dan (8) monitoring dan evaluasi kegiatan.

20

Page 21: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

BAB V

PROGRAM PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

TERPADU

5.1 Dasar Pemikiran Program

Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa penerapan model bedah desa

bertujuan untuk menciptakan kerangka pendekatan pengelolaan keterpaduan

penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan dalam pelaksanaan pembangunan

perdesaan. Argumentasinya adalah mekanisme perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan perdesaan terjadi secara ‘fragmented’, padahal masyarakat

perdesaan membutuhkan ‘input’ kegiatan yang terpadu dan ‘proses’

pelaksanaan kegiatan yang sinergis pada lokus kawasan perdesaan.

Model ‘rural­urbanization’ menegaskan pentingnya ‘tindakan’

pelaksanaan pembangunan perdesaan yang terpadu, meliputi: pengembangan

kualitas sumberdaya manusia, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan

pengembangan kawasan permukiman, yang dilaksanakan untuk menciptakan

masyarakat desa yang maju dan produktif, suatu proses ‘pengkotaan

kehidupan masyarakat perdesaan’, melalui pelaksanaan program

pembangunan kawasan perdesaan terpadu.

5.2 Tujuan dan Lingkup Kegiatan Program

Program pembangunan kawasan perdesaan terpadu bertujuan untuk:

(1) meningkatkan kualitas kehidupan dan pendapatan masyarakat perdesaan,

(2) pengembangan kegiatan produksi perdesaan, (3) memperkuat kapasitas

lembaga perdesaan, dan (4) mengembangkan fungsi & kualitas kawasan

permukiman perdesaan.

Untuk melaksanaan tujuan tersebut, dikembangkan skema ‘bantuan

program’ pembangunan kawasan perdesaan terpadu terdiri dari katagori

kegiatan:

21

Page 22: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

1. penguatan kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan

pengelolaan program pembangunan perdesaan terpadu;

2. penyediaan bantuan manajemen untuk mengerahkan peran dunia

usaha dan perbankan dalam rangka mendukung kelompok usaha

masyarakat untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi produktif;

3. penyediaan bantuan tenaga pendamping masyarakat untuk

melaksanakan kegiatan: penyiapan kelompok usaha masyarakat,

pengembangan dan pemanfaatan lahan usaha, pengembangan usaha

dan pembuatan paket investasi, penyediaan akses kredit usaha dan

pengerahan input produksi, pengelolaan usaha ekonomi desa, dan

pengelolaan pemanfaatan bantuan langsung masyarakat;

4. penyediaan bantuan langsung masyarakat (BLM) untuk melaksanakan

penyediaan prasarana dan sarana desa secara swakelola;

5. penyediaan dana penjaminan kredit usaha rakyat (KUR) untuk

meningkatkan akses kredit bagi kelompok usaha masyarakat.

Sesuai dengan tujuan dan katagori kegiatan bantuan program tersebut

diatas, lingkup kegiatan pelaksanaan program pembangunan kawasan

perdesaan terpadu meliputi:

1. penyediaan sistem pengelolaan pelaksanaan program terpadu, yang

terdiri dari: (i) pengembangan kualitas sumberdaya manusia, (ii)

pemberdayaan ekonomi rakyat, dan (iii) pengembangan kawasan

permukiman perdesaan.

2. komponen kegiatan pelaksanaan (9 item), yang terdiri dari: (1)

penyediaan bantuan manajemen (pengelolaan input), (2) penyediaan

tenaga bantuan manajemen dan tenaga pendamping masyarakat, (3)

sosialisasi dan penyiapan organisasi masyarakat setempat, (4)

pengembangan pola usaha dan komoditas unggulan, (5) penyiapan

paket investasi dan kredit usaha, (6) pengelolaan usaha ekonomi desa,

(7) penyiapan dan pengembangan lahan siap bangun, (8) penyediaan

prasarana & sarana desa, dan (9) penataan kawasan permukiman

perdesaan.

3. sasaran kegiatan pelaksanaan, yang meliputi: pertama, sasaran

22

Page 23: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

katagori desa, yang meliputi: desa pertanian pangan, desa

perkebunan, desa hutan tanaman industri, desa peternakan, desa

nelayan/pesisir, desa wisata, dan desa pusat pelayanan permukiman;

dan kedua, sasaran lokasi kegiatan pelaksanaan: pada ‘kecamatan’

potensial dengan lokus pada ‘desa’ di kawasan pedalaman, pesisir,

pulau kecil, dan perbatasan.

4. proses kegiatan pelaksanaan, terdiri dari tahap: (i) sosialisasi di tingkat

pusat dan daerah, (ii) penyiapan kesepakatan ‘input’ kegiatan dari

pelaku berkepentingan, (iii) penyusunan rencana tata ruang &

penggunaan tanah, (iv) penyusunan rencana kegiatan terpadu (9

item), (v) penyiapan kelompok masyarakat, (vi) penyiapan

pelaksanaan, (vii) pengelolaan pelaksanaan, dan (viii) monitoring dan

evaluasi.

Dengan melihat lingkup kegiatan pelaksanaan program pembangunan

kawasan perdesaan terpadu tersebut, diperkirakan 1 (satu) unit desa (dengan

500 Kepala Keluarga/KK atau jumlah penduduk 2.000 jiwa) membutuhkan

input kegiatan awal (initial input) dengan nilai investasi sekitar Rp. 30 milyar

per desa.

Struktur pembiayaan investasi per unit desa tersebut mengandalkan

‘sumber’ pembiayaan yang diperoleh dari: (i) anggaran pemerintah sebesar

Rp. 15 milyar yang disalurkan dalam bentuk paket bantuan proyek dan paket

bantuan langsung masyarakat (BLM), dan (ii) dana perbankan dalam

bentuk kredit usaha rakyat atau kredit umum perbankan sebesar Rp. 15

milyar yang disalurkan ke Badan Usaha Koperasi (BUK). Pemerintah

menyediakan jaminan kredit usaha rakyat bagi kelompok usaha masyarakat.

Untuk pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif lebih lanjut

oleh masyarakat, pada lahan 1.000 ha (milik 500 Kepala Keluarga), diperlukan

kucuran kredit usaha rakyat berkisar antara Rp. 35 ­ Rp. 50 milyar, dengan

asumsi plafon penyediaan kredit perluasan/peremajaan tanaman perkebunan

adalah sebesar Rp. 35 ­50 juta per ha.

23

Page 24: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

5.3 Skema Integrasi Input dan Proses Kegiatan Program

Skema integrasi penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan pelaksanaan

program pembangunan kawasan perdesaan terpadu pada ‘setiap desa’ selama

minimal (3) tiga tahun adalah sebagai berikut:

Pertama, komponen input kegiatan pelaksanaan program terdiri dari:

(1) penyediaan bantuan manajemen (pengelolaan input kegiatan), (2)

penyediaan tenaga bantuan manajemen dan tenaga pendamping masyarakat,

(3) sosialisasi dan penyiapan organisasi masyarakat setempat, (4) penyiapan

dan pengembangan lahan siap bangun, (5) pengembangan pola usaha dan

komoditas unggulan, (6) penyiapan paket investasi dan kredit usaha, (7)

pengelolaan usaha ekonomi desa, (8) penyediaan prasarana & sarana desa,

dan (9) penataan kawasan permukiman perdesaan.

Kedua, instansi penyedia input kegiatan terdiri dari: (1) Kementerian

Pembangunan Daerah Tertinggal (sebesar Rp. 3 milyar), (2)

Kementerian/Lembaga terkait (sebesar Rp. 10 milyar), (3) Pemerintah

Daerah (sebesar Rp. 1 milyar), (4) usaha swasta (sebesar Rp.1 milyar), dan

(5) perbankan (kredit sebesar Rp. 15 milyar).

Ketiga, pada setiap kecamatan akan disediakan Sub­PIU dan tenaga

konsultan atau fasilitator (tenaga pendamping masyarakat) untuk membantu

pengelolaan penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan, bersama dengan pihak

pelaku berkepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan program

pembangunan kawasan perdesaan terpadu.

5.4 Mekanisme Pelaksanaan Program

Pemerintah Pusat bertugas untuk mengatur proses koordinasi

pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan pembiayaan skema program, dan

pengerahan penyediaan input kegiatan dari kementerian/lembaga, serta

bertugas menetapkan alokasi bantuan program, menerbitkan pedoman umum

dan petunjuk teknis pelaksanaan program, dan menyediakan bantuan

24

Page 25: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

manajemen pelaksanaan program pembangunan perdesaan terpadu di tingkat

propinsi dan kabupaten.

Pemerintah Provinsi bertugas untuk mengatur proses koordinasi

pelaksanaan program, sinkronisasi penyediaan input kegiatan, menilai usulan

program dari kabupaten, pengesahan penyaluran bantuan program, serta

bertugas mengawasi efektifitas ‘komponen input kegiatan pelaksanaan

program’ dan ‘proses kegiatan pelaksanaan program’, serta ketepatan sasaran

lokasi kegiatan program di tingkat kabupaten (pada kecamatan potensial

dengan lokus desa).

Komponen input kegiatan pelaksanaan program (9 item) terdiri dari: (1)

penyediaan bantuan manajemen (pengelolaan input kegiatan), (2) penyediaan

tenaga bantuan manajemen dan tenaga pendamping masyarakat, (3)

sosialisasi dan penyiapan organisasi masyarakat setempat, (4) penyiapan dan

pengembangan lahan siap bangun, (5) pengembangan pola usaha dan

komoditas unggulan, (6) penyiapan paket investasi dan kredit usaha, (7)

pengelolaan usaha ekonomi desa, (8) penyediaan prasarana & sarana desa,

dan (9) penataan kawasan permukiman perdesaan.

Proses kegiatan pelaksanaan program, terdiri dari tahap: (i) sosialisasi

di tingkat pusat dan daerah, (ii) penyiapan kesepakatan ‘input’ dari pelaku

berkepentingan, (iii) penyusunan rencana tata ruang & penggunaan tanah,

(iv) penyusunan rencana kegiatan terpadu (9 item tersebut diatas), (v)

penyiapan kelompok masyarakat, (vi) penyiapan pelaksanaan, (vii)

pengelolaan pelaksanaan, dan (viii) monitoring dan evaluasi.

Sasaran lokasi kegiatan program adalah ‘kecamatan potensial’ dengan

lokus desa, yang terpilih sesuai kriteria lokasi desa dan masyarakat setempat

memiliki minat untuk melaksanakan program.

Pemerintah Kabupaten bertugas untuk: (i) melaksanakan program

pembangunan kawasan perdesaan terpadu, sesuai pedoman umum dan

petunjuk teknis pelaksanaan, dengan membentuk unit pelaksana proyek

(Proyek Implementation Unit/PIU) di tingkat kabupaten dan Sub­PIU di tingkat

kecamatan; dan (ii) melaksanakan pengelolaan tenaga pendamping

masyarakat (TPM) yang bertugas membantu masyarakat dalam: (1)

pengelolaan pemanfaatan bantuan langsung masyarakat (BLM) bagi kelompok

masyarakat untuk melaksanakan penyediaan prasarana dan sarana perdesaan

25

Page 26: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

secara swakelola, dan (2) pengelolaan pemanfaatan kredit usaha atau kredit

umum bagi kelompok usaha masyarakat dalam pengembangan kegiatan

usaha ekonomi produktif.

Secara khusus, Pemerintah Kabupaten bertugas untuk (i) melakukan

kerjasama dengan perbankan untuk memberikan fasilitas kredit usaha rakyat

atau kredit umum, dan sekaligus membentuk Lembaga Keuangan Mikro

(melalui linkages program), dan (ii) menyediakan tenaga pendamping

masyarakat (TPM) untuk melaksanakan sosialisasi masyarakat,

pengembangan dan pemanfaatan lahan usaha pertanian, pengembangan

usaha dan paket investasi, penyediaan kredit usaha dan input produksi,

pengelolaan usaha ekonomi desa, dan menfasilitasi pembuatan perjanjian

kemitraan dengan usaha swasta, baik sebagai penyedia dana, pengelola usaha

kemitraan, dan pembeli produk. .

Kelompok usaha masyarakat setempat, dengan bantuan tenaga

pendamping, mengusulkan rencana pengembangan kegiatan usaha ekonomi

produktif, penentuan komoditas unggulan, penyiapan lahan usaha, pola usaha

pertanian, dan paket investasi.

5.5 Struktur Organisasi Pelaksanaan Program

Struktur organisasi terdiri dari Tim Manajemen tingkat pusat, propinsi,

dan kabupaten, yang dilengkapi dengan unit pengelola proyek (Project

Management Unit/PMU) pada tingkat pusat dan provinsi, dan unit pelaksana

proyek (Project Implementation Unit/PIU) pada tingkat kabupaten dan

kecamatan.

Pada tingkat kabupaten, PIU bertugas mengelola kegiatan perencanaan

dan pelaksanaan semua input kegiatan dari kementerian lembaga, pemerintah

daerah, usaha swasta, perbankan, dan masyarakat. Disamping itu PIU

26

Page 27: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

bertugas menfasilitasi Bank dan Lembaga Keuangan Mikro untuk menyediakan

akses kredit bagi kelompok usaha masyarakat melalui Badan Usaha Koperasi

atau Badan Usaha Desa. Pada tingkat kecamatan, dibentuk Sub­PIU yang

bertugas melaksanakan kegiatan yang dilakukan bersama dengan kelompok

masyarakat, dan dibantu oleh tenaga pendamping masyarakat (TPM).

Tenaga pendamping masyarakat (TPM) bertugas untuk membantu

kelompok masyarakat dalam perencanaan, pemrograman, dan pelaksanaan

kegiatan, dan memadukan input kegiatan dalam bidang pengembangan

sumberdaya manusia, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pengembangan

kawasan permukiman perdesaan.

5.6 Kebutuhan Dana Pelaksanaan Program

Untuk tahap pertama ini, kebutuhan dana pelaksanaan program

pembangunan kawasan perdesaan terpadu selama (3) tiga tahun untuk

menangani 300 desa di 75 kabupaten adalah sebesar Rp. 2,3 triliun yang

alokasi secara rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

KEBUTUHAN DANA PELAKS

27

Page 28: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

ANAAN PROGRAM (SELAMA 3 TAHUN)

BANTUAN LANGSUNG

Komponen Bantuan Program dengan sasaran lokasi 300 desa di 75 kabupaten

Alokasi (Juta Rp.)

Penyediaan bantuan manajemen untukpenguatan kapasitas pemerintah daerah dalam

35.000

28

Page 29: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

pembangunan kawasan perdesaan terpadu

Penyediaan bantuan manajemen untukpeningkatan perandunia usaha dan perbankan dalam mendukung pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif di perdesaan

25.000

penyediaan bantuan tenaga pendamping untukkelompok usah

90.000

29

Page 30: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

a masyarakat dalam rangka pelaksanaan kegiatan :

(i)

Sosialisasi dan penyiapan kelompok masyarakat

(ii)

Pengembangan dan pemanfaatan lahan usaha

(iii)

Pengembangan usaha dan penyiapan paket investasi

(iv)

penyediaan akses kredit usaha dan input produksi

(v)

pengelolaan usaha ekonomi desa

penyediaan dana bantuan langsung masyarakat untukmembangun sarana sosial dasar, utilitas,

900.000

30

Page 31: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

prasarana­sarana, dan penyiapan lahan siap bangun (3 Milyar / Desa)

Penyediaan dana penjaminan kreditusaha rakyat (KUR) untukmeningkatkan akses kreditbagi kelompok usaha masyarakat (nilai tanggung kredit10% melalui Askrindo / Jasindo)

750.000

TOTAL BANTUAN LANGSUN

1.800.000

31

Page 32: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

G DANA OPERASIONAL KEGIATAN

90.000

IMPLEMENTING SUPPORT

362.993

PELATIHAN, STUDI, PEMANTAUAN DAN EVALUASI

55.549

GRAND TOTAL

2.308.542

5.7 Penutup

Kebijakan pembangunan perdesaan merupakan suatu kebijakan

strategis untuk menciptakan masyarakat desa yang maju dan produktif

(sejahtera).

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan

tersebut, diperlukan penerapan model alat bantu (toolkit) manajemen, disebut

dengan model ‘Bedah Desa’, yang digunakan untuk mengelola integrasi

32

Page 33: BAB I -   · PDF filekemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosial­ekonomi, dan (ii) adanya

penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan pelaksanaan pembangunan kawasan

perdesaan terpadu, yang diharapkan dapat merubah kondisi kehidupan

sosial­ekonomi masyarakat dan kualitas lingkungan kawasan perdesaan yang

fungsional dan teratur.

Skema program pembangunan kawasan perdesaan terpadu

(Integrated Rural Area Development Program) merupakan instrumen

pelaksanaaan kebijakan khusus dalam rangka mempercepat pembangunan

daerah tertinggal, yang diharapkan mampu menjadi ‘lokomotif’ untuk

memperkuat fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan

kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan perkembangan antar wilayah di

Indonesia.

33