asma 2 fix
DESCRIPTION
asmaTRANSCRIPT
MAKALAH KELOMPOK
FARMAKOTERAPI TERAPAN“ASMA”
Disusun oleh:
KELOMPOK IV
1. Shinta Devi Arumsari (2015000115)
2. Siti Nur Fatimah (2015000116)
3. Situ Nurhabibah (2015000117)
4. Siti Raisyah Rani (2015000118)
5. Thea Agrippina (2015000119)
6. Tiara Purnamasari (2015000120)
7. Tina Melati (2015000121)
8. Tri Ratna Aji (2015000122)
9. Suci Rahmayanti (2015000177)
10. Suraya Chairunisa (2015000178)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah suatu penyakit inflamasi kronis di saluran pernapasan, dimana pada
saluran tersebut terdapat banyak sel dan komponennya. Pada individu yang rentan,
inflamasi dapat menyebabkan gejala berulang seperti mengi, sesak napas, sempit dada, dan
batuk. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi jalan udara yang sering reversible baik
secara spontan maupun setelah pemberian penanganan. Inflamasi juga menyebabkan hiper-
responsifitas bronkus terhadap berbagai stimulus.
Serangan asma mendadak disebabkan faktor yang tidak diketahui maupun yang
diketahui seperti paparan terhadap alergen, virus, atau polutan dalam maupun luar rumah,
dan masing-masing faktor ini menginduksi respon inflamasi. Alergen yang terhirup
menyebabkan reaksi alergi fase awal ditandai dengan aktivasi sel yang menghasilkan
antibody IgE yang spesifik alergen. Terdapat aktivasi yang cepat dari sel mast dan
makrofag pada jalan udara, yang membebaskan mediator pro-inflamasi seperti histamine
dan eikosanoid yang menginduksi kontraksi otot polos jalan udara, sekresi mukus,
vasodilatasi, dan eksudasi plasma pada jalan udara. Kebocoran plasma protein menginduksi
penebalan dan pembengkakan dinding jalan udara serta penyempitan lumennya disertai
dengan sulitnya pengeluaran mukus.
Asma dibagi menjadi 2, yaitu asma kronik dan asma akut. Asma kronik ditandai
dengan dispnea yang disertai dengan mengi/bengek, tapi gambaran klinis asma beragam.
Pasien asma kronik dapat mengeluhkan sepit dada, batuk (terutama pada malam hari), atau
bunyi saat bernapas (pemeriksaan auskultasi). Hal ini sering terjadi saat latihan fisik tetapi
dapat terjadi secara spontan atau berhubungan dengan alergen. Keparahan ditentukan oleh
fungsi paru-paru dan gejala sebelum terapi disamping jumlah obat yang diperlukan untuk
mengontrol gejala. Pasien dapat menunjukkan gejala berselang ringan yang tidak
memerlukan pengobatan atau hanya penggunaan sewaktu-waktu agonis beta inhalasi kerja
cepat. Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi asma akut dimana terjadi
inflamasi, edema jalan udara, akumulasi mukus berlebihan, bronkospasmus parah yang
menyebabkan penyempitan jalan udara yang serius yang tidak responsif terhadap
2
bronkodilator biasa. Pasien asma akut mengalami kecemasan dan mengeluhkan dispnea
parah, nafas pendek, dan sempit dada. Pasien hanya dapat mengatakan beberapa kata dalam
satu kali nafas. Gejala tersebut tidak responsive terhadap penanganan yang biasa.
Penyakit asma ditandai dengan adanya inflamasi jalan napas, hiper-responsivitas, dan
bronkospasme reversible. Oleh Karena itu, terapi standar untuk asma terdiri dari obat-
obatan antiinflamasi untuk menekan inflamasi jalan napas dan bronkodilator yang berkerja
untuk meringankan bronkospasme. Sebagian besar obat-obatan asma diberikan melalui
inhalasi. Terapi inhalasi merupakan pemberian obat yang diberikan secara inhalasi
(dihirup) ke dalam saluran pernapasan. Terapi inhalasi yang dikenal ada tiga yaitu:
nebulizer, dry powder inhaler (DPI), dan metered dose inhaler (MDI).
3
BAB II
URAIAN KASUS
1. KASUSDA, wanita Afrika Amerika datang ke klinik untuk kontrol setelah sebelumnya
masuk unit gawat darurat karena serangan asma akut.
A. Data Pasien
1. Nama : Ny. DA
2. Jenis kelamn : Perempuan
3. Tanggal lahir : -
4. Umur : -
5. BB/TB : 82 kg/165 cm
6. Tanggal MRS : -
7. Tanggal KRS : -
8. Riwayat penyakit:
Asma (di diagnosa pada usia 5 tahun, tapi sembuh sejak usia 12 tahun),
rhinitis alergi selama 20 tahun, dan hipertensi selama 3 tahun
9. Riwayat keluarga:
Kedua orangtua menderita hipertensi, ayah dan saudara perempuan
menderita asma dan rhinitis alergi.
10. Riwayat sosial:
Ibu tunggal 3 anak, tidak punya hewan peliharaan. Bekerja sebagai kasir di
toko, tapi juga punya usaha laundry milik sendiri. Tidak merokok dan
minum alkohol.
11. Riwayat alergi:
Alergi terhadap kucing dan polen, alergi berupa ruam terhadap obat
sulfametoksazol/trimetoprim
12. Riwayat pengobatan :
a. prednison 20 mg/hari selama 1 minggu ketika serangan asma akut
4
b. albuterol HFA 90 mcg 1-2 puff/4-6 jam bila perlu
c. loratadine 10 mg/hari
d. propranolol extended release 120 mg/hari
13. Diagnosa awal: asma, rhinitis alergi dan hipertensi
14. Diagnosa akhir: -
2. ANALISA SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, Plan)
Subjektif Objektif Assesment Plan Sesak nafas
berkurang setelah menggunakan obat
Batuk (+) Bersin (+)
kadang-kadang Rasa aneh di
dada (+) Serangan sesak
di malam hari (-) Sesak nafas saat
berlari (+) Sesak saat
istirahat (+) Sesak saat
berada dekat kucing dan berkebun (+)
Beberapa kali sakit dada dalam seminggu
TD 142/90 mmHg Pulse 65 bpm RR 20 Suhu 37°C BB 82 kg TB 165 cm Spirometri
(pretreatment) : FEV1 82% FVC 98% FEV1/FVC
0,84
Hipertensi stage 1faktor genetik, obesitas kelas 1 (BMI tdk ideal)
Rinitis alergifaktor genetik, alergen bulu hewan & serbuk bunga
Pasien mengidap asma golongan intermitten hingga persisten ringan
Diberikan obat antihipertensi yang sesuai dan Terapi non farmakologi
Terapi farmakologi (antihistamin & kortikosteroid intranasal) dan non farmakologi (pengendalian paparan alergen)
Terapi intermitten dengan agonis β2 kerja cepat dan pengendalian faktor pencetus
3. HASIL PEMERIKSAAN PASIEN
Parameter Nilai normal Data pemeriksaanSuhu (°C) 36-37 37
5
Pulse (bpm) 60-100 65Respiration rate < 40 20Tekanan darah (mmHg)
120/80 142/90
Spirometri: Pretreatment (albuterol)
Postreatment (albuerol)
FEV1(%predicted)FVC(% predicted)FEV1/FVC
80 -12080 -120
0,70-0,85
8298
0,84
961090,88
4. ANALISIS TERAPI OBAT1. Kesesuaian indikasi, dosis dan interaksi obat
Nama obat
Indikasi Efek samping Dosis Interaksi obat
Kontra-indikasi
Keterangan
Prednison 20 mg/hari selama 1 minggu ketika serangan asma akut
Asma akut, kondisi alergi
Pemberian jangka panjang : gangguan keseimbangan elektrolit hiperglikemia dan glukosuria, tukak peptik, sindrom Cushing, retensi Na dan cairan, alkalosis hipokalemi, hipertensi, gagal jantung kongestif, gangguan muskulus skeletal, gangguan kulit, neurologi, mata, dan metabolik, serta reaksi anafilaksis
Asma akut: 40-60 mg/hari PO dosis tunggal maupun terbagi, selama 3-10 hari
loratadin Ulkus peptikum, TBC, osteoporosis, gangguan saraf, gangguan ginjal, gangguan jantung, infeksi jamur sistemik, herpes simplex okuler
Indikasisesuai
Dosis pasien < dosis lazim
Interaksi dengan loratadin
Albuterol HFA 90 mcg 1-2 puff/4-6 jam bila
Bronkos-pasme akut dan parah, asma
Tremor, mual, sakit kepala, demam, dan lelah
MDI: 180 mcg (2 puffs) inhalasi PO
propranolol - Indikasisesuai
Dosis pasiensesuai
6
perlu bronkial kronis
tiap 4-6 jam dosis lazimInteraksi dengan
loratadinLoratadine 10 mg/hari
Rinitis alergi
Sakit kepala, vertigo, tinitus, lelah, penat, gelisah, mual dan nyeri abdomen
10 mg/hari PO atau 5 mg 2x sehari PO. Tidak lebih dari 10 mg/hari
Prednison Bayi premature dan bayi baru lahir, asma akut, kehamilan, dan menyusui
indikasisesuai
dosis pasiensesuai dosis laziminteraksi dengan prednison
Propranolol extended release 120 mg/hari
Hipertensi Bronkospasme, bradikardia, hipotensi, lelah dan gangguan elektrolit
Awal: 80 mg/hari POMaintance: 120-160 mg/hari PO.Tidak lebih dari 640 mg/hari
albuterol Asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi, sindom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik, feokromositoma
indikasisesuai
dosis pasiensesuai dosis lazim
interaksi dengan albuterol
7
2. Analisis Drug-Related Problem (DRP) berdasarkan Pharmaceutical Care Practice (CIPOLLE)
Drug therapy problem
Keterangan Action Monitor
Membutuhkan terapi tambahan
- - -
Pengobatan tanpa indikasi
- - -
Pengobatan tidak tepat
- - -
Dosis terlalu tinggi - - -Adverse drug reaction
Propranolol menimbulkan ADR bronkospasme (kontraindikasi pasien asma)
Prednison jangka panjang hiperglikemia, gangguan elektrolit
Menginformasikan pada dokter untuk mengganti obat propranolol dengan gol.antihipertensi lain
Hati-hati penggunaan prednison frekuensi terlalu sering, mengedukasi pasien agar tidak konsumsi melebihi aturan pakai.
Monitoring tekanan darah
Monitor kadar glukosa darah, dan pemeriksaan elektrolit
Dosis terlalu rendah
Prednison < dosis lazim
Menginformasikan dan menyarankan pada dokter untuk menaikkan regimen dosis ketika terjadi serangan asma
Monitoring perubahan kondisi klinik yang dialami pasien berupa keluhan dan spirometri
Interaksi obat Albuterol >< propranolol (antagonis
Menyarankan dokter untuk mengganti
Monitoring tekanan darah dan spirometri
8
farmakodinamik, efek saling meniadakan)
Loratadin >< prednison (interaksi farmakokinetik, prednison mempercepat metabolisme loratadin di hati sehingga efek loratadin menurun)
propranolol dengan β bloker selekif atau antihipertensi gol.lain seperti diuretik tiazidt atau kalsium channel bloker
Menginformasikan pasien agar prednison dan loratadin tidak di minum bersamaan, penggunaan loratadin apabila timbul kemunculan gejala alergi lagi saat telah tuntas minum prednison
pasien Monitoring
perubahan keluhan pasien terhadap alergi
Kepatuhan - - -
9
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kondisi Pasien
Pasien atas nama Ibu DA memiliki riwayat asma pada usia 5 tahun dan dinyatakan
sembuh pada usia 12 tahun, tetapi mendapat serangan asma akut lagi yang tidak
sembuh-sembuh sehingga menjadi kronis. Berdasarkan hasil FEC/FVC yang masih di
atas 80% menunjukkan fungsi paru-paru pasien masih normal, sehingga dapat diduga
tidak ada kelainan dalam bentuk obstruksi ataupun retriksi pada paru. Pasien memiliki
riwayat alergi terhadap kucing dan pollen yang dapat memicu terjadinya asma. Setelah
prednisonnya habis, sesak napasnya mulai berkurang, tetapi Ibu DA mengeluarkan
batuk sejak 6 bulan yang lalu. Terkadang bersin dan sering mengalami nyeri di dada
sampai ibu DA merasa tidak sanggup berlari karena sesak yang dialaminya. Dari gejala-
gejala yang dialami oleh pasien, derajat keparahan asma yang dialami pasien adalah
intermitten ringan karena Ibu DA tidak pernah merasakan sesak di malam hari, fungsi
paru masih terbilang normal, dan asmanya tidak sampai mengganggu aktivitas sehari-
hari, hanya membuat tidak sanggup berlari.
Pasien memiliki riwayat hipertensi selama 3 tahun. Faktor resiko diperkuat dari
riwayat keluarga, yaitu hipertensi dari kedua orangtua, asma dan rhinitis alergi dari
ayah dan saudara perempuan, memperkuat kemungkinan terjadinya penyakit yang
diderita oleh Ibu DA. Dari hasil pemeriksaan tekanan darah pasien 142/90 mmHg yang
berdasarkan klasifikasi dari JNC 7 masuk kedalam hipertensi tingkat 1.
B. Terapi Pengobatan
Tujuan terapi penanganan asma kronik yaitu mempertahankan tingkat aktivitas normal
(termasuk latihan fisik), mempertahankan fungsi paru-paru (mendekati) normal,
mencegah gejala kronis dan yang mengganggu (contoh : batuk, atau kesulitan bernafas
pada malam hari, pada pagi hari atau setelah latihan berat), mencegah memburuknya
asma secara berulang dan meminimalisasi kebutuhan untuk masuk ICU atau rawat inap,
10
menyediakan farmakoterapi optimum dengan tidak ada atau sedikit efek samping dan
memenuhi keinginan pelayanan terhadap pasien dan keluarga.
Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu termasuk predisposisi genetic yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma yaitu genetic asma, alergi,
hiperaktivibronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma
menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan
kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi
dan besarnya keluarga.
Penderita asma harus menghindari faktor pencetus akan terjadinya asma dengan
cara: menghindari allergen-allergen yang dapat memicu terjadinya penyakit, hindari
faktor-faktor lingkungan yang dapat memicu seperti serbuk bunga, debu, bulu binatang,
dan lain-lain. Gunakan alat penyaring udara atau penyejuk ruangan agar lebih bersih
dan aman, saat membersihkan ruangan, gunakan masker, begitupun saat bekerja di
laundry. Pada saat timbul serangan, pasien sebaiknya langsung beristirahat dan
menggunakan obat asma. Jika saat itu serangan semakin berat, segera hubungi dokter.
Gunakan obat secara teratur karena asma bersifat kronis dan pemakaian obat tidak
teratur akan berpengaruh pada tingkat kesembuhan. Aktivitas fisik harus dilakukan
seperti olahraga, jalan kaki, dan berenang, sekurang-kurangnya 30 menit sehari, dan
jangan berolahraga pada udara dingin, serta kenakan masker saat berolahraga untuk
menghangatkan udara yang akan dihirup. Pola makan harus sehat dan teratur.
Pasien DA memiliki klasifikasi keparahan asma intermitten ringan sehingga tidak
dibutuhkan pengobatan harian. Eksaserbasi akan terjadi dalam waktu lama dengan
fungsi paru normal dan tidak ada gejala. Direkomendasikan kortikosteroid sistemik.
Jika penyakit asma kambuh, penanganan cepat yang perlu dilakukan adalah dengan
memberikan bronkodilator kerja pendek yaitu ingalasi β2 agonis kerja pendek 2—4
hirupan. Pada kasus ini pasien dapat menggunakan albuterol HFA 90 mcg 1-2 puff/4-6
jam jika diperlukan. Dari riwayat kesehatan pasien alergi terhadap kucing dan pollen
11
sehingga harus menghindari faktor-faktor pencetus tersebut, karena faktor pencetus
tersebut dapat juga memicu terjadinya asma. Jika pasien tidak dapat menghindari faktor
pencetus tersebut dapat diberikan loratadine 10mg oral/ hari untuk mengobati alergi.
Dari riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan tekanan darah, pasien diketahui
menderita hipertensi tingkat 1 sehingga umumnya obat yang diberikan diuretik thiazida
dan dapat dipertimbangkan obat golongan inhibitor ACE, ARB, β-bloker, CCB/
kombinasi. Dari riwayat pengobatan, pasien diberikan propranolol extended release 120
mg/hari, obat tersebut merupakan golongan β-bloker yang dapat menyebabkan
eksaserbasi dari bronkhospasmus pada penderita asma sehingga kontradiksi dengan
pasien asma. Oleh karena itu penggunaan obat β-bloker harus dihindari, dan diganti
dengan obat anti hipertensi golongan lainnya. Selain itu pasien dianjurkan untuk
melakukan terapi non farmakologi dengan cara memodifikasi gaya hidup termasuk
menurunkan berat badan karena dengan berat badan 82 kg dan tinggi badan 165 cm,
jika dihitung Body Mass Index (BMI) didapatkan BMI sebesar 30,11 kg/m2 yang
termasuk dalam golongan obesitas kelas I, melakukan diet makanan, mengurangi
asupan Natrium hingga lebih kecil sama dengan 2,4 g/hari (6 g/hari NaCl), melakukan
aktivitas fisik seperti aerobik, serta mengurangi konsumsi alkohol dan rokok.
Evaluasi dan monitoring perlu dilakukan, seperti evaluasi teknik inhalasi yang
dilakukan oleh pasien, menilai kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat,
mengevaluasi terjadinya perubahan lingkungan yang dapat memperburuk penyakit
asma serta adanya konkomittan penyakit saluran napas seperti sinusitis, bronchitis dan
sebagainya. Pemeriksaa faal paru juga penting dilakukan untuk memonitor keadaan
asma dan menilai respon pengobatan.
D. Derajat Keparahan dan Gejala Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi
tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis
dapat dilihat pada tabel berikut:
12
Derajat Keparahan Asma
Gejala-gejala Faal Paru Pengobatan Sehari-hari
Asma Intermiten Ringan
Serangan asma kurang dari 1x seminggu
Serangan asma malam ≤ 2x sebulan
Tidak ada gejala di antara serangan (fungsi paru normal)
VEF1 ≥ 80% nilai prediksi FVC ≥ 80% nilai terbaik Variabiliti FVC < 20%
Tidak dibutuhkan pengobatan harianEksaserbasi akan terjadi dalam waktu lama
dengan fungsi paru normal dan tidak ada gejala. Direkomendasikan kortikosteroid sistemik
Asma persisten ringan Serangan asma lebih dari 1x seminggu, tetapi tidak muncul setiap hari
Serangan asma malam lebih dari 2 kali sebulan
Serangan asma mengganggu aktivitas
VEF1 ≥ 80% nilai prediksi
FVC ≥ 80% nilai terbaik Variabiliti FVC 20-30%
Pengobatan Utama: Dosis rendah inhalasi kortikosteroid
Alternatif Pengobatan Kromolin, leukotrion, nedocromil, atau
sustained release teofilin dengan konsentrasi 5-15 mcg/mL
Asma persisten sedang
Gejala timbul setiap hari Serangan asma malam terjadi
lebih dari 1 kali dalam seminggu Serangan asma yang lebih berat
terjadi sekurang-kurangnya 2 kali seminggu dan berlangsung selama berhari – hari
Serangan membutuhkan pengobatan setiap hari
Serangan asma menggagu aktivitas sehari-hari
VEF1 60-80% nilai prediksi
FVC 60-80% nilai terbaik Variabiliti FVC > 30%
Pengobatan Utama: Dosis rendah-menengah inhalasi
kortikosteroid dan inhalasi β2 agonis kerja panjang
Alternatif Pengobatan Meningkatkan inhalasi kortikosteroid
dengan range dosis sedang, atau Dosis rendah sampai tinggi inhalasi
kortikosteroid dan salah satu modifikasi leukotrien atau teofilin
Asma persisten berat Gejala asma berlangsung terus menerus dan timbul setiap hari
Serangan berat sering terjadi Serangan asma malam sering
terjadi Aktivitas fisik terbatas
VEF1 ≤ 60% nilai prediksi
FVC ≤ 60% nilai terbaik Variabiliti FVC > 30%
Pengobatan Utama: Dosis tinggi inhalasi kortikosteroid,dan Inhalasi β2 agonis kerja panjang jika perlu Kortikosteroid tablet atau sirup
(2mg/kg/hari, tidak boleh melebihi 60 mg/hari)
13
Pertanyaan :
1. Bagaimana anda mengklasifikasikan tingkat keparahan asma pasien ini?
Asma dapat diklasifikasikan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara.
Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan
penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan. Pada pasien ini dapat dilihat dari gejala klinis yaitu tidak pernah merasakan
sesak di malam hari, fungsi paru masih terbilang normal dari hasil pemeriksaan
VEF1sebelum pengobatan yang masih di atas 80% menunjukkan fungsi paru-paru
pasien masih normal, dan asmanya tidak sampai mengganggu aktivitas sehari-hari,
hanya membuat tidak sanggup berlari.
2. Mengapa inhalasi kortikosteroid sesuai untuk semua tingkat keparahan pada asma
persisten?
Kortikosteroid inhalasi merupakan terapi kontrol jangka panjang paling efektif untuk
asma persisten,tanpa memperhitungkan tingkat keparahan dan merupakan satu-satunya
terapi yang menunjukkan penurunan resiko kematian yang disebabkan asma meski
dalam dosis yang relative kecil. Selain itu toksisitas sistemik pada dosis inhalasi rendah
hingga sedang hampir tidak ada. Efek samping local termasuk kandidiasis orofaringeal
yang tergantung dosis dan dysphonia bisa dikurangi dengan penggunaan alat spacer.
3. Apa penyakit dan pengobatan yang dapat memperparah kondisi asma?
Penyakit yang dapat memperparah asma adalah alergi terhadap bulu hewan, serbuk
sari/bunga, tungau, sebu, serangga, infeksi pernapasan (seperti flu), iritasi saluran
pernapasan, Gastroedophageal reflux disease (GERD) kondisi dimana asam perut naik
ke tenggorokan.
Obat-obat yang dapat memperparah asma adalah β-bloker karena mekanisme kerja obat
adalah memblok seluruh reseptor β yang terdapat pada otot polos. Penghambatan pada
reseptor β khususnya β2 pada bronkus dapat menghasilkan bronkokontriksi.
Aspirin dan obat nonsteroidal anti inflammatory lainnya karena mekanisme kerja obat
adalah menghambat COX, metabolisme jalur lipooksigenase menjadi meningkat dan
produksi leukotrien meningkat. Leukotrien dapat menyebabkan bronkokonstriksi.
14
4. Apa efek samping inhalasi kortilosteroid yang perlu disampaikan pada pasien?
dosis inhalasi yang lebih tinggi selama periode yang panjang dapat memicu
supresi adrenal, sehingga pada pasien yang menggunakan dosis tinggi harus
dimonitor secara ketat penggunaan kortikosteroidnya terutama pada kondisi yang
menyebabkan stress (misal operasi).
kepadatan tulang menurun pada pengguanaan inhalasi dosis tinggi jangka lama,
yang menyebabkan pasien mengalami osteoporosis
pengobatan dengan kortikosteroid inhalasi dapat dihentikan setelah eksaserbasi
ringan selama pasien mengetahui bahwa jika serangan asma memburuk atau feak
flow turun, terapi perlu diberikan kembali.
penggunaan inhalasi kortikosteroid dosis besar jangka panjang dapat
meningkatkan resiko glaukoma dan katarak, suara serak dan kandidiasis di mulut
atau tenggorokan.
5. Jelaskan teknik menggunakan metered dose inhaler (MDI) yang tepat!
Teknik menggunakan inhaler MDI, yaitu:
Membuka tutup inhaler
Memegang inhaler tegak lurus dan mengocok tabung inhaler
Bernafas dengan pelan
Meletakan mouthpiece diantara gigi tanpa menutupnya dan tanpa menutup bibir
hingga mouthpiece tertutup rapat
Mulai inhalasi pelan melalui mulut dan tekan canister
Melanjutkan inhalasi dan menahan napas hingga 10 detik
Ketika menahan napas, keluarkan inhaler dari mulut
Ekshalasi dengan pelan dari mulut
Menutup kembali inhaler
Berkumur-kumur setelah menggunakan inhaler
15
Keterangan gambar:
1. Pegang MDI sambil di kocok kearah atas bawah
2. MDI dipegang sehinga corong berada di bagian bawah, buka mulut anda dan
masukan MDI 4-5 cm (2-3 lebar jari) di depan mulut anda. Hembuskan napas
keluar.
3. Tekan MDI, sehingga melepaskan semprotan obat ke dalam mulut anda, saat anda
bernapas perlahan. Lanjutkan bernapas perlahan dan sedalam mungkin.
4. Tahan napas 10 detik atau anda sudah merasa nyaman. Hembuskan napas anda
secara perlahan.
6. Empat minggu kemudian pasien datang lagi untuk control. Batuk sudah hilang, tapi ia
masih menggunakan albuterol 3-4 kali sehari. Bagaimana anda mengevaluasi
pengobatan pasien ini?
Asma pada pasien diketahui akan kambuh jika terpajan oleh alergen (bulu kucing dan
pollen), gejala asma seperti batuk pada pasien juga sudah hilang, sehingga pasien
tersebut tidak perlu menggunakan albuterol secara terus menerus, karena dikhawatirkan
penggunaan secara terus-menerus akan memicu timbulnya efek samping obat pada
16
pasien. Pemberian albuterol sebaiknya hanya digunakan ketika pasien tersebut terserang
asma.
17