asma bronkial.doc

23
ASMA BRONKIAL (4A) I. Definisi Kata “Asma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernafas”. Asma Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap bermacam-macam stimulus, ditandai dengan penyempitan bronkus atau bronkiolus dan berakibat sesak nafas. Penyempitan bronkus disebabkan oleh kontraksi otot polos, pembengkakan dinding bronkus dan sekresi yang berlebihan dari klenjar-kelenjar di mukosa bronkus. Atau lebih sederhana lagi Asma Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh. Akibat dari kepekaan yang berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran pernafasan secara menyeluruh (Dina and Mahdi, 1984; Angela et al., 2002). II. Insidensi Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di Negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara- negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak Tiwi Qira Amalia 090710101009 9

Upload: tiwi-qira

Post on 05-Dec-2014

96 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Asma Bronkial.doc

ASMA BRONKIAL (4A)

I. Definisi

Kata “Asma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernafas”. Asma

Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon trakea

dan bronkus terhadap bermacam-macam stimulus, ditandai dengan penyempitan

bronkus atau bronkiolus dan berakibat sesak nafas. Penyempitan bronkus

disebabkan oleh kontraksi otot polos, pembengkakan dinding bronkus dan sekresi

yang berlebihan dari klenjar-kelenjar di mukosa bronkus. Atau lebih sederhana lagi

Asma Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas

yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar

tubuh. Akibat dari kepekaan yang berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran

pernafasan secara menyeluruh (Dina and Mahdi, 1984; Angela et al., 2002).

II. Insidensi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai

dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran

napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di

Negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti

Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak

masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat

dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit

dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut

disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang

direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA) (Rengganis, 2008).

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian

pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC

(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan

prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi

5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,

Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)

menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara

Tiwi Qira Amalia0907101010099

Page 2: Asma Bronkial.doc

3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan

gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius (Rengganis, 2008).

Rasio jenis kelamin pada anak-anak sekitar 7 tahun menunjukkan bahwa anak

laki-laki satu setengah sampai dua kali lebih sering terkena asma daripada anak

perempuan, tetapi selama masa remajanya keadaan laki-laku lebih baik daripada

anak perempuan dan pada saat mereka mencapai masa dewasa insidennya menjadi

hampir sama (Rees and Price, 1998).

III. Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi

timbulnya serangan asma bronkial (Tanjung, 2003).

a. Faktor predisposisi

• Genetik

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi

biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya

bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika

terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya

juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi

• Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan

Seperti: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi

2. Ingestan, yang masuk melalui mulut

Seperti : makanan dan obat-obatan

3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit

Seperti : perhiasan, logam dan jam tangan

• Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi

asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya

Page 3: Asma Bronkial.doc

serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,

seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan

dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

• Stress

Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain

itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala

asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami

stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah

pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum

bisa diobati.

• Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan

asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang

bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.

Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

• Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan

aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah

menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya

terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

IV. Patofisiologi

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma

dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur

imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I

(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang

dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam

jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama

melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat

dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi

fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian

Page 4: Asma Bronkial.doc

berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini

berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang

dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.

Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi

mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,

sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,

obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.

Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast

terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase

lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24

jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti

eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel

kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008).

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran

napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator

inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan

napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,

sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator

yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan

sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.

Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen

vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik

senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).

Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema

bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi

(Rengganis, 2008).

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas

bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter

objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk

mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban

Page 5: Asma Bronkial.doc

kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik

(Rengganis, 2008).

V. Klasifikasi Asma

Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa

derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala

eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat

sebelumnya (Rengganis, 2008).

Klasifikasi Menurut Etiologi

Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,

terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit

dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.

Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma

Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang

diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma

diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten

berat.

Klasifikasi Menurut Kontrol Asma

Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,

istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun

pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi

penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan

pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama

dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.

Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala

Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.

Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu

penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk

Page 6: Asma Bronkial.doc

mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting

untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor

seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam

hari, pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang

digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi

pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan,

persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).

Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang

digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya

serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat

serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan

pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan

diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan

sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara

asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat

ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien.

Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma

yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.

Page 7: Asma Bronkial.doc

VI. Diagnosa

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang

merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak

umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi

maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa

sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru

digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat

membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor

risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,

pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut

derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu

penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk

dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan

penunjang (Rengganis, 2008).

Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat

hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair

(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai

mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya

hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering

terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi

lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa,

terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau

debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur

kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti

parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang

merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada

beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis

asma dirangkum dalam Tabel 2.

Page 8: Asma Bronkial.doc

Pemeriksaan Klinis

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,

menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan

fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan

bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan

bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada

auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.

Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometer

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk

menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

Page 9: Asma Bronkial.doc

2. Peak Flow Meter/PFM

Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut

digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena

pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma

diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer

lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif

dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur

terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat

diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak

dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3. X-ray dada/thorax

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

4. Pemeriksaan IgE

Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik

pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor

pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.

Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test

(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).

5. Petanda inflamasi

Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak

berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan

spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif

inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel

eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan

napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah

eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat

berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan

gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

Page 10: Asma Bronkial.doc

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB

Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan

berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi

droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas

pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar,

terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam

alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan

berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes

provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan

tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan

dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan

metakolin.

VII. Penanganan

Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal,

bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi

reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka

kematian akibat asma. Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka

pendek dapat menyebabkan kematian, sedangkan jangka panjang dapat

mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun.

Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat

yang tepat, cara untuk menghindari faktor pencetus. Dalam penanganan pasien

asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar,

pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan dalam

rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan, jamur, dan alergen di luar

rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi udara. Obat aspirin

dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor pencetus asma. Olah raga dan

peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma. Psikoterapi

dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma (Meiyanti, 2000).

Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala

dan obstruksi saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua

kelompok besar yaitu reliever (obat pereda) dan controller (obat pengendali).

Page 11: Asma Bronkial.doc

Reliever adalah obat yang cepat menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi

saluran napas. Controller adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma

yang persisten. Obat yang termasuk golongan reliever adalah agonis beta-2,

antikolinergik, teofilin, dan kortikosteroid sistemik. Agonis beta-2 adalah

bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan asma. Agonis Beta-2 mempunyai

efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler, dan mencegah pelepasan

mediator dari sel mast dan basofil. Golongan agonis beta-2 merupakan stabilisator

yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan ini tidak dapat mencegah respon

lambat maupun menurunkan hiperresponsif bronkus. Obat agonis beta-2 seperti

salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol dan isoprenalin, merupakan obat

golongan simpatomimetik. Efek samping obat golongan agonis beta-2 dapat

berupa gangguan kardiovaskuler, peningkatan tekanan darah, tremor, palpitasi,

takikardi dan sakit kepala. Pemakaian agonis beta-2 secara reguler hanya

diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak dapat lepas dari

bronkodilator (Meiyanti, 2000).

Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya

ipratropium bromid dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid mempunyai efek

menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan

menghambat pembentukan cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa

kering di mulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan

dengan kerja obat agonis beta- 2 yang diberikan secara inhalasi. Ipratropium

bromid digunakan sebagai obat tambahan jika pemberian agonis beta-2 belum

memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk

penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem atau pada penderita

yang disertai dengan bronkitis yang kronis (Meiyanti, 2000).

Obat golongan xantin seperti teofilin dan aminofilin adalah obat

bronkodilator yang lemah, tetapi jenis ini banyak digunakan oleh pasien karena

efektif, aman, dan harganya murah. Dosis teofilin peroral 4 mg/kgBB/kali, pada

orang dewasa biasanya diberikan 125-200 mg/kali. Efek samping yang

ditimbulkan pada pemberian teofilin peroral terutama mengenai sistem

gastrointestinal seperti mual, muntah, rasa kembung dan nafsu makan berkurang.

Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis

Page 12: Asma Bronkial.doc

tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi, takikardi dan aritmia, stimulasi

sistem saraf pusat (Meiyanti, 2000).

Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi

seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil , dan

antihistamin aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat

dapat juga digunakan sebagai controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah

bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita

asma. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap

lebih aman daripada kortikosteroid. Perkembangan terbaru natrium kromoglikat

menghasilkan natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai

tambahan pada penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi

belum mendapat hasil yang optimal (Meiyanti, 2000).

Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma.,

biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik

seperti rinitis alergi. Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada sebagian

penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma (Meiyanti,

2000).

Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang paling kuat. Kortikosteroid

menekan respons inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler,

menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah kemotaksis dan aktivitas sel

inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrin.

Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitifitas otot pernafasan yang dipengaruhi

oleh stimulasi beta-2 melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian

steroid dianjurkan dengan dosis seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid

peroral dapat diberikan secara intermiten beberapa hari dalam sebulan atau dosis

tunggal pagi selang sehari (alternate day), atau dosis tunggal pagi hari. Pemberian

kortikosteroid peroral sering menimbulkan efek samping pada saluran cerna

seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh, osteoporosis, peningkatan kadar

gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri, hipokalemi, moonface, retensi

natrium dan cairan, obesitas, cushing syndrom , bullneck dan yang paling

ditakutkan adalah terjadinya supresi kelenjar adrenal (Meiyanti, 2000).

Page 13: Asma Bronkial.doc

Efek samping timbul terutama pada pemberian sistemik dalam jangka lama,

maka lebih baik diberikan obat steroid kerja pendek misalnya prednison,

hidrokortison, atau metilprednisolon. Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral,

kemudian diturunkan secara bertahap 50% setiap 3-5 hari. Hidrokortison

diberikan 4 mg/kgBB secara bolus diikuti 3mg/kgBB/6jam. Metilprednisolon

diberikan 50-100 mg/6 jam secara intravena. Sekarang ini tersedia kortikosteroid

dalam bentuk inhalasi seperti budesonide, fluticasone. Dosis budesonide inhalasi

untuk orang dewasa bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah 400-1600

mikrogram /hari dibagi dalam 2-4 dosis, sedangkan untuk anak dianjurkan 200-

400 mikrogram/hari dibagi dalam 2-4 dosis. Pemberian kortikosteroid secara

inhalasi lebih baik dibandingkan pemberian secara sistemik, karena konsentrasi

obat yang tinggi pada tempat pemberian langsung dibawa melalui pernafasan dan

bekerja langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek samping sistemik

yang lebih kecil. Penelitian dari Agertoft dan Pedersen menunjukkan bahwa

pemakaian budesonide tidak mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan

kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan pertama untuk menggantikan steroid

sistemik pada penderita asma kronik yang berat. Efek samping yang sering

ditimbulkan dapat berupa kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara serak, infeksi

paru, dan kerusakan mukosa. Pernah dilaporkan efek samping dispnoe dan

bronkospasme pada penggunaan kortikosteroid inhalasi. Dalam beberapa

penelitian diketahui bahwa penggunaan kortikosteroid secara inhalasi tidak

menyebabkan terjadinya osteoporosis, gangguan pertumbuhan, dan gangguan

toleransi glukosa (Meiyanti, 2000).

Pemberian kortikosteroid sistemik lebih sering menimbulkan efek samping,

maka sekarang dikembangkan pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan

pemberian obat inhalasi yaitu mula kerja yang cepat karena obat bekerja langsung

pada target organ, diperlukan dosis yang kecil secara lokal, dan efek samping

yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma kortikosteroid inhalasi

merupakan pilihan yang lebih baik (Meiyanti, 2000).

VIII. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :

Page 14: Asma Bronkial.doc

1. Pneumothoraks

2. Atelektasis

3. Hipoksemia

4. Emfisema

5. Gagal nafas

6. Deformitas thoraks (Tanjung, 2003).

IX. Pencegahan

A. Mencegah Sensititasi

Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,

diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya

asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap

rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat

mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun

bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan

hipotesis (Rengganis, 2008).

B. Mencegah Eksaserbasi

Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen

(indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen

outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan

penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap

rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat

memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi

terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk

dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan

outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya

(Rengganis, 2008).

X. Daftar Pustaka

Page 15: Asma Bronkial.doc

Dina, H and Mahdi, H. 1984. Pemakaian Dermatophagoides Pteronyssinus Sebagai pendekatan Tunggal guna Pembuktian Atopi pada Asma Bronkial. Universitas Airlangga Press, Surabaya.

Angela et al. 2002. Mengenai Mencegah dan Mengatas Asma pada Anak Plus Panduan Senam Asma. Puspa Swara, Jakarta.

Rees, J and Price, J. 1998. Petunjuk Penting Asma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Tanjung, D. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. USU Digital Library.

Rengganis, I. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon, 58(11), 444-451.

Meiyanti, M. 2000. Perkembangan pathogenesis dan pengobatan Asma Bronkial. J. Kedokt Trisakti,19(3), 125-132.