anestesia pada kelainan jantung kongenital

33
ANESTESIA PADA KELAINAN JANTUNG KONGENITAL

Upload: alfisyahr-izzati-murdiyono

Post on 04-Jan-2016

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

ANESTESIA PADA KELAINAN JANTUNG KONGENITAL

Page 2: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung kongenital merupakan kelainan bawaan yang sering ditemukan, yaitu

sekitar 30% dari seluruh kelainan kongenital dan merupakan penyebab utama pada kematian

neonatus. Dengan penyakit jantung rematik, penyakit jantung kongenital telah menjadi penyebab

utama sakit jantung pada 10 hingga 15% anak-anak yang menderita anomali kongenital pada

tulang, genitourinary, atau sistem gastrointestinal (Ontoseno, 2005).

Penyakit jantung Kongenital merupakan penyebab kematian tersering dari seluruh

kelainan bawaan. Angka kejadian PJB terjadi sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup. Angka

kematian PJB, 50% terjadi dalam 6 bulan pertama kehidupan, 80% pada usia 1 tahun kehidupan.

Umumnya, neonatus dengan penyakit jantung bawaan yang kompleks pada beberapa jam atau

hari setelah lahir sering tanpa disertai gejala klinis yang jelas. Tapi ada pula pada sebagian

neonatus dengan kelainan serupa sudah memberikan gejala-gejala kritis. Kondisi tersebut

disebabkan karena perubahan sirkulasi fetal ke neonatal berlangsung dalam satu bulan pertama

kehidupan, sehingga selama proses tersebut perlu dilakukan evaluasi yang cermat (Morgan,

2006).

Pemilihan cara anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, status fisik,

posisi pembedahan , ketrampilan dan kebutuhan dokter pembedah, ketrampilan dan pengalaman

dokter anestesiologi, keinginan pasien, bahaya kebakaran dan ledakan, pendidikan. Sebagian

besar operasi (70-75%) dilakukan dengan anestesia umum, lainnya dengan anestesia regional

atau lokal. Operasi sekitar kepala, leher, intra-torakal, intra abdominal paling baik dilakukan

dengan anestesia umum endotrakea. Anestesia umum dilihat dari cara pemberian obat yaitu

secara parenteral, perektal, perinhalasi. Anestesia regional berdasarkan tekhnik pemberian yaitu

infiltrasi lokal, blok lapangan (field block), blok saraf (nerve block), analgesia permukaan

(topikal), dan analgesia regional intra vena (Jaber, 2007).

Page 3: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa sejak lahir,

karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7

minggu, pembentukan jantung sudah lengkap; jadi kelainan pembentukan jantung terjadi

pada awal kehamilan. Penyebab PJB seringkali tidak bisa diterangkan, meskipun

beberapa faktor dianggap berpotensi sebagai penyebab (Rahmawan, 2008).

B. ANATOMI

Jantung terdiri dari 4 ruangan. Atrium kiri dan kanan dibagian atas. Ventrikel kiri

dan kanan terletak dibagian bawah. Ventrikel kiri merupakan rauang yang terbesar.katup

jantung dapat membuka dan menutup sedemikian rupa sehingga darah hanya dapat

mengalir dalam satu arah. 4 katup tersebut yaitu: Katup tricuspid, katup pulmonal,

katupmitral dan katup aorta (Sobbota, 2013).

Darah dari tubuh masuk ke atrium kanan. Darah dalam tubuh mengandung kadar

Oksigen rendah dan harus menambah oksigen sebelum kembali ke dalam tubuh. Darah

dari atrium kanan masuk ke ventrikel kanan melalui katup tricuspid. Darah kemudian

dipompa oleh ventrikel kanan ke paru-paru melewati katup pulmonal kemudian

diteruskan oleh arteri pulmonal ke paru-paru untuk mengambil oksigen.Darah yang sudah

bersih yang kaya oksigen mengalir ke atrium kiri melalui vena pulmonalis. Dari atrium

kirii darah mengalir ke ventrikel kiri melewati katup mitral. Ventrikel kiri kemudian

memompa darah keseluruh tubuh melalui katup aorta dan diteruskan oleh pembuluh aorta

keseluruh tubuh.bersih Dari tubuh kemudian darah yang dari tubuh dengan kadar oksigen

yang rendah karena telah diambil oleh sel-sel tubuh kembali ke atrium kanan dan begitu

seterusnya (Martini, 2011).

Page 4: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

C. FISIOLOGI

Sirkulasi Fetus

Tiga fitur utama dari sirkulasi fetus adalah (Sherwood, 2014) :

1. Sirkulasi maternal (ibu) melalui placenta membawa oksigen dan nutrisi ke fetus dan

mengeluarkan karbon dioksida dari sirkulasi fetus.

2. Foramen ovale adalah sebuh lubang yang terletak di septum (dinding) antara kedua

ruangan atas jantung (atria kanan dan kiri). Foramen mengizinkan darah mengalir

melalui jalur samping (shunt) dari atrium kanan ke atrium kiri.

3. Jalur samping yang lain, ductus arteriosus, mengizinkan darah yang miskin oksigen

mengalir dari arteri pulmonary kedalam aorta dan melalui itu ke tubuh.

Sirkulasi sesudah kelahiran

Placenta sudah dikeluarkan dan paru-paru harus mengambil alih fungsi

oksigenisasi darah. Perubahan-perubahan utama sirkulasi terjadi setelah kelahiran.

Perubahan-perubahan ini termasuk (Sherwood, 2014):

1. Sirkulasi maternal tidak dapat lagi membawa oksigen dan mengeluarkan karbon

dioksida dari sirkulasi bayi.

2. Foramen ovale menutup dan tidak bertindak lagi sebagai jalur samping antara kedua

atria jantung.

3. Ductus arteriosus menutup dan tidak lagi menyediakan komunikasi antara arteri

pulmonary dan aorta.

Page 5: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

Pada neonatus aterm normal, konstriksi awal dari duktus arteriosus terjadi pada

10-15 jam pertama kehidupan, lalu terjadi penutupan duktus arteriosus secara fungsional

setelah 72 jam postnatal. Kemudian disusul proses trombosis, proliferasi intimal dan

fibrosis setelah 3-4 minggu postnatal yang akhirnya terjadi penutupan secara anatomis.

Pada neonatus prematur, mekanisme penutupan duktus arteriosus ini terjadi lebih lambat,

bahkan bisa sampai usia 4-12 bulan. Penutupan duktus venosus, duktus arteriosus dan

foramen ovale diawali penutupan secara fungsional kemudian disusul adanya proses

proliferasi endotel dan jaringan fibrous yang mengakibatkan penutupan secara anatomis

(permanen) (Jaber, 2007).

Tetap terbukanya duktus venosus pada waktu lahir mengakibatkan masking effect

terhadap total anomalous pulmonary venous connection dibawah difragma. Tetap

terbukanya foramen ovale pada waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap

kelainan obstruksi jantung kanan. Tetap terbukanya duktus arteriosus pada waktu lahir

mengakibatkan masking effect terhadap semua PJB dengan ductus dependent sistemic dan

ductus dependent pulmonary circulation. Sekali ini terjadi, maka sirkulasi fetus menjadi

suatu barang dari masa lalu dan seluruh pengaruh dari berbagai kerusakan jantung genital

dirasakan. Kerusakan-kerusakan ini menjadi nyata, menyebabkan tanda-tanda dan gejala-

gejala yang dapat didiagnosis. Perubahan-perubahan lebih jauh terjadi di sistim

kardiovaskular selama waktu bayi dan waktu anak-anak dan juga di hubungan tekanan

antara ventricle kanan dan ventricle kiri. Perubahan-perubahan ini membawa lebih

banyak kasus-kasus PJB ke permukaan (Jaber, 2007).

D. KLASIFIKASI

Klasifikasi kelainan jantung bawaan dibagi berdasarkan manifestasi klinis dan

kelainan anatomis. Secara Manifestasi klinis, dibagi menjadi 2 yaitu sianotik dan

asianotik, sedangkan anatomis dibagi menjadi 2 yaitu stenosis dan defek (Jaber, 2007).

1. Manifestasi klinis

a. Penyakit jantung kongenital sianotik

Sianosis adalah manifestasi klinis tersering dari penyakit jantung

kongenital simptomatik pada neonatus. Sianosis tanpa disertai gejala distres nafas

yang jelas hampir selalu akibat penyakit jantung kongenital, sebab pada kelainan

parenkhim paru yang sudah sangat berat saja yang baru bisa memberikan gejala

Page 6: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

sianosis dengan demikian selalu disertai gejala distres nafas yang berat (Morgan,

2006).

Pada neonatus dengan PJB sianosis, tidak mampu meningkatkan saturasi

oksigen arteri sistemik, justru sangat menurun drastis saat lahir, sehingga

pelepasan dan pengikatan oksigen di jaringan menurun. Kondisi ini bila tidak

segera diatasi mengakibatkan metabolisme anaerobik dengan akibat selanjutnya

berupa asidosis metabolik, hipoglikemi, hipotermia dan kematian (Morgan,

2006).

Sianosis sentral akibat penyakit jantung bawaan (Cardiac cyanosis) yang

disertai penurunan aliran darah ke paru oleh karena ada hambatan pada jantung

kanan, yaitu katup trikuspid atau arteri pulmonalis. Kondisi ini mengakibatkan

kegagalan proses oksigenasi darah di paru sehingga darah dengan kadar oksigen

yang rendah (unoxygenated) akan beredar ke sirkulasi arteri sistemik melalui

foramen ovale atau VSD (pada tetralogy Fallot). Seluruh jaringan tubuh akan

mengalami hipoksia dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis sentral tanpa

gejala gangguan pernafasan. Kesulitan akan timbul, bila sianosis disertai tanda-

tanda distres pernafasan. Terdapatnya anemia berat mengakibatkan jumlah Hb

yang tereduksi tidak cukup menimbulkan gejala sianosis(Morgan, 2006).

Beberapa kondisi klinis yang memberikan dugaan cardiac cynosis pada

neonatus sebagai berikut (Morgan, 2006) :

1. Hipoksemia sistemik menimbulkan gejala sianosis sentral

2. Sianosis sentral akibat PJB tidak timbul segera setelah lahir

3. Sianosis sentral tidak tampak selama saturasi oksigen arteri masih diatas 85

4. Sianosis sentral dengan frekuensi pernafasan yang cepat (hiperventilasi) tanpa

disertai pernafasan cuping hidung dan retraksi ruang iga serta kadar CO2

yang rendah.

5. Sianosis sentral dengan tes hiperoksia positip.

6. Harus dicari apakah aliran darah sistemik berasal dari ventrikel kanan atau

kiri, adanya duktus yang masih terbuka mengakibatkan aliran darah aorta

asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama. Pada kondisi ini

diperlukan pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki.

Page 7: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

b. Penyakit jantung kongenital asianotik

Pada neonatus neonatus normal, saat lahir masih disertai tahanan arteri

pulmonalis yang tinggi. Setelah 4-12 minggu terjadi penurunan tahanan arteri

pulmonalis sampai menuju nilai normal. Pada neonatus dengan PJB non sianotik,

selama tahanan arteri pulmonalis masih tinggi, defek jantung yang ada belum

menimbulkan perubahan aliran darah dari sistemik ke paru. Setelah 4-12 minggu

postnatal, pada saat terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju

nilai normal, defek jantun yang dan akan menimbulkan perubahan aliran darah

yaitu yang seharusnya ke sistemik berubah menuju ke paru. Pada saat inilah baru

terjadi pirau kiri ke kanan disertai gejala klinis berupa mulai terdengarnya bising

sampai gagal jantung dengan gejala utama takipnea(Morgan, 2006).

2. Kelainan Anatomis

a. Stenosis

1) Stenosis katup pulmonal

Terjadi pembebanan pada jantung kanan, yang pada akhirnya berakibat

kegagalan jantung kanan. Tanda gagal jantung kanan adalah: pembengkakan

kelopak mata, tungkai, hati dan penimbunan cairan di rongga perut.

Penanganan medis yang dapat dilakukan: pelebaran katup dengan balon

(Balloon Pulmonal Valvotomy = BPV) (Jaber, 2007).

2) Stenosis katup aorta

Terjadi pembebanan pada jantung kiri, yang pada akhirnya berakibat

kegagalan jantung kiri, yang ditandai oleh: sesak, batuk kadang-kadang

dahak berdarah (akibat pecahnya pembuluh darah halus yang bertekanan

tinggi di paru). Penanganan yang dapat dilakukan: pelebaran katup dengan

balon (Balloon Aortic Valvotomy = BAV) (Jaber, 2007).

3) Atresia katup pulmonal

Katup pulmonal sama sekali buntu sehingga tak ada aliran darah dari

jantung ke paru. untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka

digunakan obat Prostaglandin E1 dan tindakan bedah(Jaber, 2007).

Page 8: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

4) Coarctatio aorta

Pada kasus ini area lengkungan pembuluh darah aorta mengalami

penyempitan. Seperti halnya pada atresia katup pulmonal, pada Coarctatio

Aorta yang berat Prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan

pembukaan duktus arteriosus dan pembedahan(Jaber, 2007).

b. Defek

1) Atrial Septal Defect (ASD)

ASD adalah terdapat lubang di septum atrium. Lubang ASD kini dapat

ditutup dengan tindakan non bedah : Amplatzer Septal Occluder (ASO),

yakni memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui Vena Saphena

magna(Jaber, 2007).

2) Ventricular Septal Defect (VSD)

VSD adalah terdapatnya lubang di septum ventrikel. Pada VSD tertentu

dapat ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan penyumbat

Amplatzer, namun sebagian besar kasus memerlukan pembedahan(Jaber,

2007).

3) Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Pada PDA pembuluh penghubung aorta dan pembuluh darah paru terbuka.

PDA juga dapat ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan

penyumbat Amplatzer, namun bila PDA sangat besar tindakan bedah masih

merupakn pilihan utama. PDA pada bayi baru lahir yang premature dapat

dirangsang penutupannya dengan menggunakan obat Indomethacine(Jaber,

2007).

4) Tetralogi Falot

Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan biru (sianotik) yang

terdiri dari empat kelainan, yaitu:

a) Defek septum ventrikel (lubang diantara ventrikel kiri dan kanan)

b) Stenosis katup pulmoner (penyempitan pada katup pulmonalis)

c) Transposisi aorta

d) Hipertrofi ventrikel kanan (penebalan otot ventrikel kanan). (word.

Tetralogi falot) (Jaber, 2007).

Page 9: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

E. DIAGNOSIS

Anamnesis harus mencakup penilaian beratnya gangguan

kardiopulmonal, seperti adanya sianosis atau gagal jantung kongestif,

toleransi latihan, episode sianotik akut, tingkat aktivitas, pola makan

dan pertumbuhan, gejala-gejala lain yang bersangkutan, dan

abnormalitas anatomis.(9,10) Famili dengan penyakit herediter, saudaranya

dengan penyakit jantung kongenital. Riwayat kehamilan dan perinatal seperti infeksi

virus atau obat yang dikonsumsu ibu terutama saat trimester I(Ahmad, 2010; Hollinger,

2005).

Pemeriksaan fisik harus diperhatikan warna kulit, tingkat aktifitas pola dan

frekuensi nafas. Pada pemeriksaan auskultasi, harus dilakukan pertama kali sebelum bayi

menangis. Frekuensi meningkat dan irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung II

mengeras atau tidak terdengar, terdengar bising jantung (kualitas, intensitas, timing,

lokasi), gallop. Tidak semua bising jantung pada neonatus adalah PJB dan tidak semua

neonatus dengan PJB terdengar bising jantung. Sianosis sentral, penurunan perfusi

perifer, hiperaktivitas prekordial, thrill, pulse dan tekanan darah ke 4 ekstremitas berbeda

Page 10: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

bermakna, takipnea, takikardia, edema bila diduga terdapat Coarctatio(Ahmad, 2010;

Hollinger, 2005).

Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk diagnosa pasti pada kelainan

jantung bawaan(Ahmad, 2010; Hollinger, 2005).

1) Foto polos dada : adanya kelainan letak, ukuran dan bentuk jantung, vaskularisasi

paru, edema paru, parenkim paru, letak gaster dan hepar. Ro Thorax diperiksa untuk

melihat tanda-tanda pembesaran jantung, gagal jantung kongestif, penurunan aliran

darah ke paru, abnormalitas posisi jantung dan dinding thorax.

2) Elektrokardiografi : adanya kelainan frekuensi, irama, aksis gelombang P dan QRS,

voltase di sandapan prekordial. EKG dapat normal walaupun terdapat

kelainan jantung bawaan. Namun, abnormalitas pada EKG dapat

menjadi petunjuk yang penting untuk menentukan kelainan jantung

yang mendasarinya. Echokardiografi akan menunjukkan

abnormalitas anatomis, dan dengan doppler, akan memberikan

informasi tentang pola aliran dan gradien tekanan

3) Kateterisasi jantung dapat menentukan anatomi, aliran shunt

pulmonal dan sistemik, resistensi vaskuler, dan tekanan pada

ruang-ruang intrakardiak. (10)

F. ANESTESI PADA PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

Dua akibat utama pada penyakit jantung bawaan yang bermakna adalah gagal

jantung kongestif dan sianosis. Gagal jantung kongestif harus dikontrol dengan digitalis,

diuretik, dan atau obatobatan yang mengurangi afterload sebelum dilakukan tindakan

bedah elektif apapun. Terapi obat-obatan harus diteruskan pada periode perioperatif.

Kadar kalium serum yang adekuat dan menghindari hipokarbia penting untuk

menghindari keracunan digitalis pada pasien-pasien yang mengkonsumsi digitalis.

Pengendalian penyakit jantung kongestif dapat memperbaiki fungsi paru dan mengurangi

kemungkinan terjadinya hipoksemia perioperatif atau gagal nafas(Ahmad, 2010;

Hollinger, 2005).

Page 11: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

Sianosis merupakan ciri gangguan jantung dengan shunt kanan ke kiri. Aliran

darah paru yang terbatas, dan atau campuran vena pada sirkulasi sistemik. Hipoksemia

berat menyebabkan polisitemia yang diikuti oleh peningkatan volume dan viskositas

darah, neovaskularisasi, hiperventilasi alveolar untuk mempertahankan normokarbia pada

arteri, dan koagulopati. Clubbing atau osteoarthropati ruas distal jari-jari tangan dan kaki

merupakan tanda dari penyakit jantung sianotik yang berkepanjangan(Ahmad, 2010;

Hollinger, 2005).

1. Evaluasi pre operatif

Evaluasi preoperatif harus ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang

menyeluruh dari anatomi dan semua prosedur bedah yang pernah dijalani. Hanya

dengan adanya hipoksemia, hal ini menunjukkan penanganan yang inadekuat dan

terdapatnya abnormalitas jantung. Selain menentukan derajat hipoksemia pada

keadaan istirahat, riwayat episode hipersianotik termasuk faktor pencetus atau

perubahan yang mendadak pada derajat hipoksemia harus diketahui. Walaupun

penurunan toleransi latihan tidak spesifik untuk hipoksemia, ini dapat menjadi

indikator yang baik untuk fungsi kardiovaskuler secara keseluruhan dan merupakan

bagian anamnesis yang dapat mempengaruhi pengelolaan anestesi (Frankville, 1998)

Anak dengan hipoksemia biasanya lebih kecil untuk usianya. Walaupun sangat

sulit untuk membedakan apakah hipoksemia disebabkan gangguan pada jantung atau

paru, usaha ini harus dilakukan karena infeksi paru aktif merupakan indikasi untuk

menunda prosedur bedah elektif. Bila terdapat gejala yang berkaitan dengan

hiperviskositas atau hemostasis abnormal, harus dikonsultasikan dengan ahli

hematologi untuk menentukan perlunya phlebotomi preoperatif. Riwayat kerusakan

neurologis sebelumnya akibat pembedahan, emboli, atau infeksi harus

diperhatikan(Frankville, 1998).

Pemeriksaan laboratorium preoperatif harus dimulai dengan hematokrit dan

indeks ukuran eritrosit. Secara umum, hematokrit berhubungan dengan tingkat

keparahan hipoksemia. Namun, anak-anak atau dewasa dapat menderita defisiensi

besi atau phlebotomi yang berlebihan, sehingga hematokrit tampak berkurang.

Bergantung pada besarnya pembedahan, hemostasis yang adekuat harus dipastikan

dengan uji fungsi platelet dan koagulasi. Pemeriksaan echocardiografi sangat penting

Page 12: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

untuk menentukan anatomi dan pola aliran darah. Echocardiografi transesofageal

harus dipertimbangkan bila dengan pemeriksaan prekordial tidak adekuat (Ahmad,

2010).

Hipoksemia saja bukan merupakan indikasi untuk pemantauan invasif. Besarnya

pembedahan, fungsi ventrikel, teknik anestesi dan tingkat keparahan penyakit yang

mendasari merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum memasang

kateter vena sentral atau arteri. Pemasangan kateter pada arteri pulmonalis secara

teknis sulit dan informasi yang didapat sulit untuk ditafsirkan. Tentu saja, oksimeter

yang baik sangat diperlukan. Bila tersedia, echocardiografi transesofageal dapat

memberikan data yang berguna tentang fungsi ventrikel, volume akhir diastolik dan

besarnya shunt kanan ke kiri. Ruang rugi fisiologis dapat meningkat dan pengukuran

end tidal CO2 dapat lebih rendah dari PCO2 arteri(Ahmad, 2010).

2. Premedikasi dan Pemilihan Obat Anestesi

Premedikasi dapat sangat berguna bila anak mempunyai riwayat hipoksemia yang

diperparah dengan eksitasi atau agitasi. Obat-obatan oral, rektal atau intramuskular

semuanya aman dan efektif. Pemberian melalui oral memiliki keuntungan yaitu

menghindari rasa terkejut atau takut saat memberikan obat premedikasi. Suplemen

oksigen dapat diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen pada garis dasar

(Frankville, 1998).

Pilihan obat-obat anestesi kurang penting dari pada mencapai kondisi

hemodinamik yang sesuai untuk tiap kelainan jantung. Apapun kelainan jantung yang

mendasarinya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang

adekuat. Hal ini paling baik dicapai dengan memahami penyebab yang mendasari

hipoksemia pada tiap pasien. Terdapat dua kategori umum pasien yang mengalami

hipoksemia akibat kelainan jantung, yaitu pasien dengan aliran darah pulmonal yang

terbatas dan shunt darah dari kanan ke kiri, dan pasien dengan aliran darah paru yang

tidak terganggu dan terdapat pencampuran darah vena pulmonal dan vena sistemik.

Pengelolaan anestesi pada masing-masing kondisi ini cukup berbeda, bila aliran darah

pulmonal terbatas, sumber obstruksi aliran harus diidentifikasi dan dilakukan

pemeriksaan aliran darah melewati obstruksi tersebut (Frankville, 1998).

Page 13: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

Strategi umum untuk menghindari hipoksemia saat induksi dan pemeliharaan

anestesi pada pasien dengan aliran darah paru terbatas adalah dengan memastikan

hidrasi yang adekuat, mempertahankan tekanan darah sistemik arteri, meminimalkan

resistensi aliran darah pulmonal, dan menghindari peningkatan kebutuhan oksigen

sistemik yang tiba-tiba (menangis, berontak, dan anestesi yang kurang dalam)

(Morgan, 2006).

Pada keadaan-keadaan dimana aliran darah pulmonal tidak terganggu namun

terdapat pencampuran darah vena sistemik dan pulmonal, saturasi arteri akan

bergantung pada perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik (Qp/Qs ratio).

Secara umum, tidak dapat diharapkan darah arteri tersaturasi maksimal. Peningkatan

perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik (Qp/Qs ratio) dapat meningkatkan

beban kerja jantung atau dapat pula menyebabkan penurunan perfusi sistemik bila

fungsi kardiovaskuler sudah maksimal. Pertimbangan utama anestesi pada kategori

pasien ini adalah mempertahankan fungsi ventrikel dan mencegah terjadinya

perubahan Qp/Qs ratio(Morgan, 2006).

Walaupun efek shunting pada kecepatan induksi harus dipertimbangkan, namun

kemaknaan klinisnya minimal. Pertimbangan harus ditujukan pada pengelolaan

hemodinamik(Morgan, 2006; Ahmad, 2010).

3. Post Operatif

Pertimbangan postoperatif yang penting adalah tumpulnya respon kemoreseptor

terhadap hipoksia. Situasi ini sama dengan pasien yang telah mengalami

endarterektomi karotid bilateral. Hipoksia yang berat dapat terjadi tanpa

menimbulkan respon normal peningkatan ventilasi, terutama bila diberikan obat yang

menekan respirasi seperti narkotik. Saturasi oksigen harus dipertahankan pada kadar

yang sesuai dengan pemberian suplemen oksigen sampai anak sadar penuh.

Mekanisme tumpulnya respon terhadap hipoksia ini belum diketahui, namun

tampaknya respon ventilasi terhadap hipoksemia akan kembali normal setelah

pembedahan untuk mengoreksi hipoksemia. Hipoksemia kronis tidak menyebabkan

perubahan respon ventilasi terhadap karbon dioksida atau konsentrasi ion

hidrogen(Morgan, 2006; Ahmad, 2010).

Anestesi pada Penyakit jantung kongenital:

Page 14: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

1. Stenosis Mitral

a) Evaluasi Klinis

Gejala yang timbul akibat aktivitas yang menimbulkan

gangguan hemodinamik merupakan suatu hal yang penting

dalam menilai derajat beratnya MS. Gejala utama pada MS yaitu

dyspnea yang dikarenakan berkurangnya daya komplains dari

paru. Orthopnea, paroksimal nocturnal dyspnea dan dyspnea

saat istirahat seringkali berhubungan dengan tekanan atrium

kiri, sekunder karena perbedaan gradien tekanan antara atrium

kiri dan ventrikel kiri. Gradien ini dapat berubah secara cepat

sebagai akibat perubahan cardiac output dan waktu pengisian

diastolik (Bready, 2000).

b) Premedikasi

Pemberian obat profilaksis pada pasien dengan MS seperti

penanganan gagal jantung antara lain digitalis untuk

memperlambat laju ventrikel pada atrial fibrillasi, diuretika dan

retriksi natrium. Pemberian antikoagulan 1-3 hari sebelum

operasi. Terdapat beberapa obat-obatan untuk mengobati

hipertensi pulmonal yang berat antara lain inhaled prostasiklin

dan nitrit oxide(Bready, 2000).

c) Monitor

Pembesaran Atrium kiri dan atrial fibrilasi merupakan

gambaran utama pada EKG. Deviasi aksis kanan dan hipertropi

ventrikel kanan timbul akibat hipertensi pulmonal. Gambaran

rontgen dada menunjukkan pembesaran atrium kiri dan

ventrikel kanan. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat

sebagai pemeriksaan non invasif. Doppler echo juga berguna

dalam menilai derajat beratnya MS dan memperkirakan gradien

transvalvular. System skoring dengan menggunakan

ekokardiografi berguna dalam menilai hasil pemakaian

percutaneus ballon valvuloplasty. Cardiac catheterization juga

Page 15: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

dapat menentukan gradien transvalvular, area katup mitral ,

fungsi ventrikel kiri dan tekanan ventrikel kanan(Bready, 2000).

Takikardi memperberat hemodinamik dengan cara

menurunkan waktu diastolik. Curah jantung yang menurun

berkaitan tidak hanya dikarenakan oleh derajat beratnya

stenosis tetapi juga sekunder oleh penyakit vaskuler pulmonal

dan reflex vasokontriksi pada sirkulasi sistemik. Kenaikan yang

mendadak pada volume darah dapat mecetuskan edema, gagal

jantung kanan, atau atrial fibrillasi. (Bready, 2000).

d) Manajemen Anestesi

Epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang

terpilih. Hindari hidrasi yang cepat, dan pertahankan level

anestesi yang pelan. Efedrin dapat meningkatkan denyut

jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload ventrikel

yang dapat mencetuskan gagal jantung(Bready, 2000).

e) Pemulihan

Pasien dengan MS mempunyai resiko terjadinya edema

paru dan gagal jantung kanan. Nyeri, hiperkarbia, asidosis

respiratorik, dan hipoksia arteri merupakan penyebab

meningkatnya denyut jantung atau pulmonary vascular

resistence (PVR). Pemberian antibiotik dan antikoagulan

dilanjutkan(Bready, 2000).

2. Stenosis Aorta

a) Evaluasi klinis

Tanda kardinal dari AS adalah trias dispnoe, angina, dan sinkop. Pasien

bisa tetap asimptomatik untuk waktu yang lama, namun onset gejala

menunjukkan harapan hidup kurang dari 5 tahun. Ekokardiagrafi sangat penting

untuk menilai derajat beratnya AS. Pada pasien yang menunjukkan gejala

diperlukan kateterisasi jantung untuk menilai gradasi AS berdasarkan

pengukuran aortic valve area (AVA). Pasien bisa ditangani secara non operatif

Page 16: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

dengan ballon valvuloplasi aorta perkutaneus. Sedangkan pada pasien senilis

dengan fungsi ventrikel yang buruk mungkin memerlukan pembedahan

penggantian katup aorta untuk dapat memperbaiki gejala klinis(Bready,

2000).

b) Premedikasi

Pasien AS memerlukan antibiotika profilaksis untuk mencegah

endokarditis infektif. Teknik anestesi yang dapat menyebabkan depresi

miokardium atau penurunan tekanan darah harus dihindari, biasanya yang

disebabkan oleh agen volatile. Pemilihan agen penghambat neuromuscular

didasarkan pada denyut jantung pada saat istirahat. Obat-obatan yang

menurunkan afterload dapat menurunkan tekanan diastolik aorta dan

mengganggu aliran darah subendokardial(Bready, 2000).

c) Monitor

Diperlukan pengawasan ketat pada EKG dan tekanan darah, yang

bertujuan mempertahankan irama sinus, denyut jantung, dan volume

intravaskular yang normal. Hipotensi harus dihindari dan preload harus

dipertahankan adekuat. Hipotensi harus segera diatas untuk mencegah

penurunan tekanan perfusi koroner. Kebutuhan oksigenasi meningkat. Fenilefrin

dosis kecil (50-100 ug) dapat menaikkan tekanan darah dan perfusi koroner.

Takikardi sangat penting diperhatikan karena menurunkan waktu perfusi

subendokardial. Bradikardi akan meningkatkan gradient katup, yang

menyebabkan hipertensi sistemik dan iskemik subendokardial. Pada EKG,

iskemia akan menunjukkan depresi segmen-ST dan kelainan gelombang-T.

Takiartimia supraventrikular harus ditangani segera karena dapat menyebabkan

kekacauan hemodinamik. Hilangnya sistolik atrial dapat mengganggu pengisian

ventrikel kiri dan kongesti paru yang berat. Disritmia atrial memerlukan DC

kardioversi(Stoelting, 2005).

d) Manajemen Anestesi

Page 17: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

Pada pasien dengan AS ringan sampai sedang (biasanya asimptomatik)

umumnya anestesi spinal atau epidural lumbal dapat ditoleransi dengan baik.

Perhatian khusus diberikan pada terjadinya hipotensi akibat penurunan preload,

afterload, atau keduanya. Anestesi epidural lebih disukai karena onset hipotensi

lebih lambat dan memungkinkan penanganan yang lebih agresif(Bready,

2000).

Pada pasien dengan AS yang berat, anestesi spinal dan epidural menjadi

kontraindikasi. Pemilihan obat anestesi umum sangat penting. Tekhik anestesi

yang berbahan dasar opioid biasanya menyebabkan depresi jantung minimal,

sehingga lebih sesuai dipakai agen induksi non-opioid seperti etomidat dan

kombinasi ketamin dan benzodiazepine. Jika digunakan agen volatile,

konsentrasinya harus diperhatikan untuk menghindari depresi miokardium,

vasodilatasi, dan hilangnya sistolik atrium yang normal. Esmolol, pilihan

penghambat beta adrenergik, lebih disukai karena waktu paruhnya

pendek(Bready, 2000).

e) Pemulihan

Analgesia harus diberikan serta menghindari disritmia, hiperkarbia, dan

hipotermia merupakan hal yang diperhatikan post operatif.

3. Ventrikel Septal Defect

a) Evaluasi klinis

Defek septum ventrikel yang kecil akan menimbulkan bising pansistolik

yang ringan pada intercostals ke 4 dan ke 5 kiri, foto toraks yang normal dan

gambaran elektrokardiogram right bundle branch. Tekanan intrakardial masih

normal dengan shunting left-to-right yang minimal. Ventrikel septal defek yang

sedang sampai besar menimbulkan murmur pansistolik yang keras dengan

expiratory splitting pada suara jantung kedua dan adanya pembesaran jantung

kiri, akhirnya bisa juga terjadi pembesaran jantung kanan. Saturasi oksigen pada

ventrikel kanan meningkat sebagai akibat adanya left-to-right shunt. Tekanan end

diastolic ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal dan tekanan end diastolic

Page 18: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

ventrikel kiri juga meningkat. Ventrikel septal defek yang sedang biasanya

menyebabkan penurunan tahanan vascular pulmonal, sedangkan VSD yang besar

menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler pulmonal tersebut. Peningkatan

tahanan vaskuler pulmonal yang berlangsung lama menyebabkan shunting yang

biridectional dan akhirnya right-to-left shunt yang disertai dengan sianosis dan

clubbing(Nasution, 2008).

b) Manajemen anestesi

Panduan dalam premedikasi, monitoring, induksi, dan penatalaksanaan

intraoperatif dapat diaplikasikan untuk seluruh tipe defek septum. Problem

khusus pada pasien defek septum ventrikel diantaranya adalah: peningkatan PBF,

CHF, dan penurunan fungsi ventrikuler(Nasution, 2008).

Pada pasien dengan defek septrum ventrikel supracristal, insufisiensi aorta

merupakan problem tambahan. Pada defek septum ventrikel kecil akan

membebani ventrikel kiri, sedangkan defek septum ventrikel besar akan

membebani kedua ventrikel(Nasution, 2008).

Sebagian besar pasien dengan defek septum mengalami pintasan kiri-ke-

kanan yang akan cenderung menurunkan waktu induksi pada penggunaan agen

inhalasi yang relative soluble, seperti misalnya halothane. Karena darah yang

melewati pintasan kemudian mengalami resirkulasi melalui paru, sebagian akan

mengalami saturasi oleh agen anestesi, oleh sebab itu konsentrasi alveolar akan

meningkat dengan lebih cepat, akibatnya induksi anestesi akan terjadi lebih cepat.

Konsentrasi agen insoluble misalnya nitrous oksida relatif lebih tidak terpengaruh

oleh mekanisme ini, sehingga tidak terjadi akselerasi induksi. Agen intravena

dikatakan memiliki efek onset yang lebih lambat, karena terjadinya dilusi

tambahan oleh darah yang mengalami resirkulasi. Anestesiolog dapat

mengkompensai dampak adanya pintasan dengan meningkatkan konsentrasi agen

intra vena; meskipun terdapat risiko overdosis(Nasution, 2008).

Faktor–faktor tersebut, meskipun nyata, namun memiliki aspek

kepentingan klinis yang kecil dalam induksi anestesi dibandingkan dengan faktor

lain, seperti misalnya kecukupan premedikasi dan mempertahankan volume

ventilasi yang adekuat(Nasution, 2008).

Page 19: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

Teknik induksi pada pasien dengan pintasan kiri-ke-kanan bukanlah hal

yang bersifat kritis dan dapat disesuaikan menurut keinginan pasien, tingkat

kooperativitas, atau ada-tidaknya jalur infus intravena pre-induksi. Pasien yang

telah terpasang infus ataupun menginginkan induksi intravena dapat dengan

aman diinduksi dengan menggunakan thiopental 2-4 mg/kg atau preparat induksi

intravena lainnya, diikuti dengan pemberian suksinilkolin atau pancuronium

sebagai agen blokade neuromuscular sebelum dilakukan intubasi. Pada pasien

dengan penyakit yang lebih parah (hipertensi pulmoner dengan gagal jantung

kanan) dapat diberikan fentanyl 5-10 μg/kg atau ketamin 1-2 mg/kg untuk

menggantikan thiopental sebagai agen induksi intravena. Setelah dilakukan

induksi, kemudian ditambahkan agen inhalasi sesuai dengan kebutuhan situasi

klinis(Nasution, 2008).

c) Pemantauan

Pemantauan dasar untuk perbaikan ASD atau VSD adalah sama dengan

sebagian besar prosedur operasi kardiovaskuler: EKG, tekanan darah (invasif dan

non-invasif), oksimetri nadi, kapnografi, tekanan vena sentral/CVP, temperatur,

produksi urin, pemeriksaan laboratoris berupa analisis gas darh dan elektrolit.

CVP merupakan panduan yang baik untuk memberikan terapi cairan. Namun,

hasilnya dapat meragukan paling tidak dalam 2 situasi berikut: Segera setelah

ventrikulotomi, tekanan jantung kanan akan cenderung tinggi sebagai akibat dari

penurunan fungsi jantung kanan, sedangkan fungsi jantung kiri normal(Nasution,

2008).

Setelah penutupan ASD, tekanan atrium kiri untuk sementara waktu akan

lebih tinggi dibandingkan tekanan atrial kanan. Pemasangan kanula pada atrium

kiri bias jadi berguna pada beberapa kasus, namun tidak diperlukan secara

rutin(Nasution, 2008).

Kateter arteri pulmonalis yang dipasang dengan tujuan untuk mengukur tekanan

atau curah jantung digunakan pada beberapa sentra, namun hingga saat ini belum

diterima secara luas karena adanya penyulit berupa insersi pada anak kecil,

perubahan letak yang terjadi saat kanulasi atau perbaikan, kemungkinan menembus

Page 20: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

defek septum, biaya yang harus dikeluarkan, dan sejauh mana perannya dalam

mempengaruhi outcome penderita belumlah diketahui(Nasution, 2008).

BAB IV

KESIMPULAN

1. Dalam pemberian obat anestesi dalam pembedahan pasien dengan

kelainan jantung bawaan, apapun kelainan jantung yang

mendasarinya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan

oksigenasi jaringan yang adekuat. Hal ini paling baik dicapai dengan

memahami penyebab yang mendasari hipoksemia pada tiap pasien.

2. Pemilihan cara anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya penyakit penderita. Beberapa faktor, antara lain umur,

status fisik, posisi pembedahan, ketrampilan dan kebutuhan dokter

pembedah, ketrampilan dan pengalaman dokter anestesiologi,

keinginan pasien, bahaya kebakaran dan ledakan serta yang

lainnya juga mempengaruhi pemilihan teknik anestesi. Sebagian

besar prosedur pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia

umum, sedangkan operasi lainnya dilakukan dengan anestesia

regional atau lokal.

Page 21: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

DAFTAR PUSTAKA

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. Valvular heart disease. 4th ed.

The United States of America. Appleton and lange, 2006:463-78

Bready LL, Mullins RM, Noorily SH, Smith RB. Decision making in anesthesiology an

algorithmic approach. 3rd ed. Mosby. St Louis Missouri. 2000: 122-34

Ontoseno, T., Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada Neonatus

( Diagnosis And Management Of Critical Congenital Heart Disease In The Newborn),

Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK Unair – RSU Dr. Soetomo,

Surabaya, 2005.

Jaber. 2007.Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis Pada

Neonatus.ECG: Jakarta

Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and co-existing disease. 4th ed. Churchill livingstone.

Philadelphia. 2002: 25-43

Page 22: Anestesia Pada Kelainan Jantung Kongenital

Nasution AH. 2008. Anestesi pada Ventrikel Septal Defek. Kedokteran Nusantara,41(2): 133-

138

Ahmad MR. 2010. Anesthesia for Non-Cardiac Surgery in Children with Congenital Heart

Disease. The Indonesian Journal of Medical Science,; 1(8): 467-476.

Hollinger I. 2005. Congenital Heart Disease. Clinical cases in anesthesia. 3rd edition.; 69: 409-

18.

Frankville DD, Lake CL. 1998.Anesthesia for noncardiac surgery in children and adults with

congenital heart disease. Pediatric Cardiac Anesthesia. 3nd edition.; 26: 485-513.

Rahmawan, A., 2008 Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Asianotik Pada

Anak, Bagian/Ilmu Kesehatan Anak, FK UNLAM – RSUD Ulin, Banjarmasin.