ppok aseeeg
Post on 30-Dec-2014
103 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Perubahan pola penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi
sosial ekonomi dan sosial budaya. Kecenderungan perubahan ini menjadi salah
satu tantangan dalam pembangunan bidang kesehatan. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,
seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK. Semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja
(Depkes, 2008).
Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa pada tahun 1990
PPOK menempati urutan ke–6 sebagai penyebab utama kematian di dunia,
sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke–3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Di Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 32 juta
US$ dalam setahun untuk menanggulangi penyakit ini, dengan
jumlah pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang
meninggal. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM dan
PL di rumah sakit (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatra
Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama
penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru
(23%) dan lainnya (12%) Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi
Nasional) tahun 2001, sebanyak 54,5% penduduk laki–laki dan 1,2% perempuan
merupakan perokok, 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di
dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian
sebagian besar merupakan perokok pasif. Jumlah perokok yang menderita PPOK
atau kanker paru berkisar antara 20–25%. Hubungan antara perokok dengan
PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang
dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut, maka risiko
1
penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar (SK Menkes, 2008). Dari hal tersebut
di atas penulis ingin mengkaji mengenai konsep dasar dan konsep asuhan
keperawatan pasien dengan PPOK.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Konsep Dasar PPOK?
2. Bagaimanakah Konsep Asuhan Keperawatan Pasien dengan PPOK?
1.3 Tujuan
1 Untuk mengatahui Konsep Dasar PPOK
2 Untuk mengatahui Konsep Asuhan Keperawatan Pasien dengan PPOK
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Penulis
Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan penulis mampu
menjelaskan dan menguraikan Konsep dasar Penyakit Pru Obstruktif
Kronis (PPOK) serta melakukan asuhan keperawatan yang benar
sesuai dengan konsep asuhan keperawatan yang ada..
1.4.2 Bagi Masyarakat Umum
Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan masyarakat mampu
mengenali terutama mampu mencegah terjadinya macam penyakit
paru terutama yang berorientasi pada faktor resiko timbulnya penyakit
ini. Serta komplikasi yang mungkin muncul. Masyaakat juga
diharapkan tahu mengenai langkah-langkah yang penting dalam
memberikan asuhan pada penderita PPOK.
1.4.3 Bagi Pengembangan penulisan yang akan datang
Haisl penulisan makalah ini diharapkan dat dijadikan acuan baik
sebagai bahan refrensi dan literatur serta perbandingan dengan teori-
teori lain yang relevan.
2
BAB 2
KONSEP DASAR PPOK
2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan
yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau
kedua-duanya (Snider, 2003). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah
penyakit tunggal, tetapi merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru
kronis yang mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan.
Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik
yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara
emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol
yang permanen dan abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta
tanpa fibrosis yang jelas. The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan
gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon
inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas
yang berbahaya (Kamangar, 2010).
Sementara menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien Heru
Wiyono (2009), PPOK adalah penyakit paru kronik yang tidak sepenuhnya reversibel,
progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap partikel
dan gas yang berbahaya. Kata “progresif” disini berarti semakin memburuknya
keadaan seiring berjalannya waktu (National Heart Lung and Blood Institute, 2009).
2.2 Epidemiologi
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1.
Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil
penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta
selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia
termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok,
3
3
hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi
sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil
Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa
sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3%
perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan
kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga
lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan
perokok pasif.
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya
pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak
adalah penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita
(84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29 penderita dengan proporsi
63,0%. Menurut hasil penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika (2009) di RS.
Haji Medan pada tahun
2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang paling banyak
adalah proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121
penderita (91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh
Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK
tertinggi pada kelompok usia 60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2%
dan perempuan 14,4%. Proporsi gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan
sesak napas (100%), disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%),
dan terendah mual sebanyak 11 pasien (8%). Menurut Ilhamd (2000) dalam
Parhusip (2008), penderita PPOK menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari
seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H.
Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan
penyakit paru yang ada.
2.3 Gejala-gejala PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala
eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi
4
sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang
khas, seperti sesak nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan
volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas
seperti malaise, kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut
ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala
respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan
purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan cepat.
Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi
serta gangguan status mental pasien (Riyanto, Hisyam, 2006).
Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk,
sputum yang produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko.
Diagnosis memerlukan pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume
forced expiratory maneuver (FEV 1) dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi
antara FEV 1 dan FVC kurang dari 0,7, maka terdapat pembatasan aliran udara yang
tidak reversibel sepenuhnya (Fahri, Sutoyo, Yunus, 2009). Pada orang normal volume
forced expiratory maneuver (FEV 1) adalah 28ml per tahun, sedangkan pada pasien
PPOK adalah 50 - 80 ml. Menurut National Population Health Study (NPHS), 51%
penderita PPOK mengeluhkan bahwa sesak nafas yang mereka alami menyebabkan
keterbatasan aktivitas di rumah, kantor dan lingkungan social (Abidin, Yunus,
Wiyono, 2009).
2.4 Faktor- faktor resiko PPOK
2.4.1 Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis
kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu
detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam
volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara
penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan
kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang
tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan
pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat akibat
peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro,
2008).
5
PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok,
jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok
memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami
penurunan pada FEV1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita
PPOK (Kamangar, 2010).
Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem
pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru
(Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok
menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan
asap rokok juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin
semasa gestasi.
2.4.2 Hiperesponsif saluran pernafasan
Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah variasi
penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan lingkungan.
Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua
kondisi yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses
inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai
hubungan tingkat respon saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru
membuktikan bahwa peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur
yang signifikan bagi penurunan fungsi paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang merokok masih
belum jelas. Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa menjurus kepada remodeling
salur nafas yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita
PPOK (Kamangar, 2010).
2.4.3 Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur
nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan
PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah penyebab penting terjadinya
eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anak-anak dengan
perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
2.4.4 Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas
juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Pekerjaan
6
seperti melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas
berisiko untuk mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan
kadmium pula, FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force
vital capacity; DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi
seiring dengan peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun
beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko
untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan
efek akibat merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
2.4.5 Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan
pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi
udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan
terjadinya PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap
hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya
PPOK pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah
faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
2.4.6 Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk
terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi α1-antitripsin di
Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-antitripsin merupakan
inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil
elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada
umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar,
2010).
2.5 Klasifikasi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya. (PDPI:2003)
1. Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis sering terjadi pada perokok dan penduduk di kota-kota yang
dipenuhi oleh kabut-asap; beberapa penelitian menunjukkan bahwa 20%
7
hingga 25% laki-laki berusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap penyakit
ini. Diagnosis bronkitis kronis ditegakkan berdasarkan data klinis; penyakit ini
didefenisikan sebagai batuk produktif persisten selama paling sedikit 3 bulan
berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut. (Robin Kumar)
Terdapat beberapa bentuk dari bronkitis kronis, yaitu:
a. Bronkitis kronis sederhana
Gejala yang mungkin timbul adalah batuk produktif yang akan meningkatkan
sputum mukoid, namun jalan napas tidak terhambat.
b. Bronkitis mukopurulenta kronis
Namun apabila sputum penderita mengandung pus yang mungkin disebabkan
oleh infeksi sekunder, maka pasien dikatakan mengidap bronkitis
mukopurulenta kronis.
c. Bronkitis asmatik kronis
Beberapa pasien dengan bronkitis kronis mungkin memperlihatkan
hiperresponsivitas jalan napas dan episode asma intermiten. Keadaan ini yang
disebut sebagai bronkitis asmatik kronis, dalam hal ini sulit dibedakan dengan
asma atopik.
d. Bronkitis obstruktif kronis
Mereka dikatakan mengidap bronkitis obstruktif kronis apabila suatu
subpopulasi pasien bronkitis kronis mengalami obstruksi aliran keluar udara
yang kronis berdasarkan uji fungsi paru. (Robin Kumar)
Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mucus, yang
dimulai dari jalur napas besar. Berbagai faktor/bahan iritan ini akan memicu
hipersekresi kelenjar mukosa bronkus dan menyebabkan hipertrofi kelenjar
mukosa, dan menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil
mucin di epitel permukaan bronkus. Selain itu, zat tersebut juga
menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+, makrofag, dan
neutrofil. (Robin Kumar)
2. Emfisema
Emfisema ditandai dengan adanya pembesaran permanen rongga udara yang
terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut.
Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai
8
desktruksi; hal ini lebih tepat disebut “overinflation”. Contohnya adalah
peregangan rongga udara di paru kontralateral setelah pneumonektomi unilateral.
(Robin Kumar)
Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Meskipun beberapa
bentuk morfologik telah diperkenalkan, ada dua bentuk yang paling penting
sehubungan dengan PPOK. Yaitu:
a. Emfisema Sentrilobular (CLE)
Secara spesifik CLE menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus
alveolaris. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan
akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami
integrasi.
b. Emfisema panlobular (PLE)
Bentuk yang penting berikutnya adalah emfisema panlobular (PLE) atau
emifsema panasinar. Merupakan bentuk morfologik yang jarang., alveolus
yang sebelah distal mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata;
mengenai bagian asinus sentral dan perifer.
c. Emfisema Asinar Distal (Paraseptal)
Pada keadaan ini bagian proksimal dari asinus normal, namun bagian
distalnya yang terkena. Emfisema tampak nyata pada daera dekat pleura, di
sepanjang septum jaringan ikat lobules dan tepi lobulus. (Robin Kumar)
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2008, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dibagi atas 4 derajat berdasarkan
tingkat keparahannya. Yakni:
1. Derajat 1 (PPOK ringan)
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran
udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat 2 (PPOK sedang)
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <
VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam
tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas
yang dialaminya.
9
3. Derajat 3 (PPOK berat)
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan6y aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% Ł VEP1 < 50% prediksi). Terjadi
sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan
eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat 4 (PPOK sangat berat)
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1
< 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal
nafas kronik dan gagal jantung kanan. (GOLD, 2008)
2.6 Patogenesis PPOK
Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan, bronkiolus dan
parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan
makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh
antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif
yang disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan
oleh fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel
yang terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran
dalam patogenesis PPOK (Kamangar, 2010).
2.6.1 Bronkitis kronik
Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan
termasuk atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot lurik,
proses inflamasi, dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda bronkitis
kronik. Neutrofilia terjadi di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi neutrofil
berkumpul di submukosa. Di bronkiolus, terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi
lumen oleh mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat
fibrosis. Semua perubahan ini dikombinasikan bersama kehilangan supporting
alveolar attachments menyebabkan pernafasan yang terbatas akibat penyempitan
lumen saluran pernafasan dan deformitas dinding saluran pernafasan (Kamangar,
2010).
2.6.2 Emfisema
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan
disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya:
10
1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan
meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering
terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal
dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah.
Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien
dengan defisiensi α1-antitripsin.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
2.7 Penatalaksanaan PPOK
Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap PPOK, seorang dokter harus
dapat membedakan keadaan pasien. Apakah pasien tersebut mengalami serangan
(eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan pentalaksanaan dari
kedua jenis ini berbeda.
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil antara lain mempertahankan
fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan terakhir mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di Poliklinikklinik sebagai evaluasi
berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksaserbasi.
Penatalaksanaan PPOK stabil meliputi pemberian obat-obatan, edukasi,
nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru/rumah sakit. Dalam
penatalaksanaan PPOK yang stabil termasuk disini melanjutkan pengobatan
pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru baik setelah mengalami
serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan fungsi paru,
analisis gas darah, kardiologi dll. Obat-obatan diberikan dengan tujuan
mengurangi laju beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil yang telah
tercapai dengan mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Obat-
obatan yang digunakan antara lain:
1. Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan
golongan xantin. Masing-masing dalam dosis subobtimal, sesuai dengan
11
berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya
aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinsi dengan salbutamol 1 mg atau
terbutalin 1 mg
2. Kortikosteroid
Gunakan golongan metilprednisolon/prednison, diberikan dalam bentuk
oral, setiap hari atau selang sehari dengan dosis 5 mg perhari, terutama
bagi penderita dengan uji steroid positif.
3. Ekspektoran
Gunakan obat batuk hitam (OBH)
4. Mukolitik
Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid
5. Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu
Manfaatkan obat-obatan yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis
yang terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian
untuk menghindari efek samping obat.
2.8. Komplikasi
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 <55 mmHg, dengan
nilai saturasi oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalamimperubahan
mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan
timbul sianosis.
b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan takipnea.
c. Infeksi respiratori
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan
rangsangan otot polos brakial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara
akan menyebabkan peningkatan kerja nafas dan timbulnya dispnea.
12
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantungkanan akibat penyakit paru ), harus
diobservasi terutama pada klien dispnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat
juga dapat mengalami masalah ini.
e. Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemi,penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respirator.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, sering kali tidak
berespon terhadap terapi yang bisa diberikan. Pengunaan aoyo bantu
pernafasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan
asma. (Somantri, 2009)
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,
gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.
Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60
mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada
gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume
sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien
PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini
imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit
darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50
%, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).
13
WOC BRONKITIS KRONIS
14
MK : BERSIHAN JALAN NAFAS INEFEKTIF
Merokok, Polutan
Iritasi jalan nafas
Hipertorfi kelenjar mucus & peningkatan sel goblet, fungsi silia menurun
Hipersekresi lendir
Inflamasi
Bronkiolus rusak dindingnya melebar
Alveolus rusak
Fungsi makrofag menurun
fibrosis
MK : RESIKO TINGGI INFEKSI PERNAFASAN
Perubahan paru yang irreversibel
Batuk produktif
MK : KERUSAKAN PERTUKARAN GAS
Hipoksia
Penurunan difusi gas
Kadar oksigen dalam darah menurun
Dispnea
MK >Pola nafas inefektif
WOC EMFISEMA
15
Merokok, sensitife terhadap factor2 lingkungan (merokok, polusi udara, agen infeksisus, allergen)
Inflamasi
Pembengkakan bronkus
Produksi lender yang berlebihanhilangan recoil elastic jalan nafas
Kolaps bronkiolus
Kerusakan dinding alveolus
Permukaan alveolus yang kontak dengan apiler berkurang
Kerusakan dinding alveolus
Kerusakan kapiler pulmonal
Aliran darah pulmonal meningkat
Beban ventrikel kanan meningkat
Gagal jantung kanan
Kongesti, edema, distensi vena leher
Peningkatan ruang rugi
MK : KERUSAKAN PERTUKARAN GAS
Hipoksemia
Gangguan eliminasi CO2
Hiperkapnia
Asidosis respiratorik
Batuk produktif
MK : BERSIHAN JALANNAFAS INEFEKTIF
Ronchi
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan
adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi
tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan
riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok
aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan
Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap
sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat
ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003)
Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai
berikut:
1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
5. Barrel chest?
6. Apakah tampak sianosis?
7. Apakah ada batuk?
8. Apakah ada edema perifer?
9. Apakah vena leher tampak membesar?
10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
11. Bagaimana status sensorium pasien?
12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :
1. Chest X-RayDapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened
diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
16
16
vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular
(bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab
dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah
akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi
dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.
3. TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma,
menurun pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema
5. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap
tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan
asthma.
6. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan
emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau
asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat
inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema),
pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
8. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat),
peningkatan eosinofil (asthma).
9. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan
kurang pada emfisema primer.
10. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan
penyakit keganasan atau allergi.
11. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat),
atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang,
tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
17
12. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi
pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,
merencanakan/evaluasi program.
3.2 Pengkajian Spesifik
Keluhan Utama : Keluhan Utama biasanya sesak, dispneu, dan kelelahan
Riwayat Penyakit:
1. Riwayat atau faktor penunjang :
a. Merokok merupakan faktor penyebab utama.
b. Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
c. Riwayat alergi pada keluarga
d. Riwayat Asthma pada anak-anak.
2. Riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi :
a. Alergen.
b. Stress emosional.
c. Aktivitas fisik yang berlebihan.
d. Polusi udara.
e. Infeksi saluran nafas.
3. Pemeriksaan fisik :
a. Manifestasi klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronik :
1) Peningkatan dispnea.
2) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot
abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
3) Penurunan bunyi nafas.
4) Takipnea.
b. Gejala yang menetap pada penyakit dasar
1) Bronkhitis
a) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan,
yang biasanya terjadi pada pagi hari.
b) Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing.
c) Sesak nafas
18
2) Bronkhitis (tahap lanjut)
a) Penampilan sianosis
b) Pembengkakan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh
edema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal).
3) Emphysema
a) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter
thoraks anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi
paru-paru).
b) Fase ekspirasi memanjang.
4) Emphysema (tahap lanjut)
a) Hipoksemia dan hiperkapnia.
b) Penampilan sebagai “pink puffers”
c) Jari-jari tabuh.
4. Pemeriksaan diagnostik
a. Test faal paru
1) Kapasitas inspirasi menurun
2) Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis dan asthma
3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru
Obstruktif Kronik
4) FVC awal normal menurun pada bronchitis dan astma.
5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emphysema).
b. Transfer gas (kapasitas difusi).
Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Transfer gas relatif baik.
Pada emphysema : area permukaan gas menurun.
Transfer gas (kapasitas difusi).menurun
c. Darah :
Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.
Jumlah darah merah meningkat
Eo dan total IgE serum meningkat.
Analisa Gas Darah gagal nafas kronis.
Pulse oksimetri SaO2 oksigenasi menurun.
19
Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada cor pulmunale.
d. Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma. PH normal
asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
e. Sputum :
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.
Kuman patogen >> :
Streptococcus pneumoniae.
Hemophylus influenzae.
Moraxella catarrhalis.
f. Radiologi :
Thorax foto (AP dan lateral).
Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru-paru.
Pada emphysema paru :1) Distensi >
2) Diafragma letak rendah dan mendatar.
3) Ruang udara retrosternal > (foto lateral).
4) Jantung tampak memanjang dan menyempit.
g. Bronkogram : menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi
kuat.
h. EKG.
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat Kor Pulmonal terdapat deviasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada
hantaran II, III dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1
dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
5. Lain-lain perlu dikaji Berat badan, rata-rata intake cairan dan diet harian.
20
Aktivitas dan IstirahatGejala Keletihan, kelelahan, malaise
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas. Perlu tidur dalam posisi duduk cukup tingi. Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
Tanda Kelelahan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan masa otot
SirkulasiGejala Pembengkakan pada ekstremitas bawahTanda Peningkatan tekanan darah. Peningkatan frekuensi jantung
Distensi vena leher, sianosis periferIntegritas egoGejala/tanda Ansietas, ketakutan dan peka rangsangMakanan/cairanGejala Mual/muntah, Nafsu makan menurun, ketidakmampuan makan
karena distress pernafasanPenurunanan BB menetap (empisema) dan peningkatan BB karena edema (Bronkitis)
Tanda Turgor kulit buruk, edema, berkeringat, penurunan BB, penurunan massa otot
HygieneGejala Penurunan Kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitas tubuhTanda Kebersihan buruk, bau badanPernafasanGejala Nafas pendek, khususnya pada saat kerja, cuaca atau episode
serangan asthma, rasa dada tertekan/ketidakmampuan untuk bernafas. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari selama 3 bulan berturut-turut selam 3 tahun sedikitnya 2 tahun. Sputum hijau, putih, kuning dengan jumlah banyak (bronchitis)Episode batuk hilang timbul dan tidak produktif (empisema), Riwayat Pneumonia, riwayat keluarga defisiensi alfa antitripsin
Tanda Respirasi cepat dangkal, biasa melambat, fas ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (empisema)Pengguanaan otot Bantu pernafasan, Dada barell chest, gerakan diafragma minimal. Bunyi nafas, Ronki, wheezing, redupPerkusi hypersonor pada area paru (udara terjebak, dan dapat juga redup/pekak karena adanya cairan).Kesulitan bicara 94 – 5 kalimat 0Sianosis bibir dan dasar kuku, jari tabuh.
Seksualitas Libido menurunInteraksi sosialGejala Hubungan ketergantungan, kurang sisitem pendukungtanda Keterbatasan mobilitas fisik
Kelalaian hubungan antar keluargaTabel 3.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
21
Skala Sesak
Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat 2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1
tingkat 3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak 4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah
beberapa menit 5 Sesak bila mandi atau berpakaian
14. Sumber: British Medical Research Council (MRC)
3.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak
tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore,
tidak lebih dari 20%.
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-
kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis
penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien
(GOLD, 2009).
c. Laboratorium darah rutin
d. Analisa gas darah
e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan
klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu (GOLD, 2009):
Tabel 3.2. Klasifikasi PPOK
22
Klasifikasi Penyakit
Gejala Klinis Spirometri
PPOK Ringan
Dengan atau tanpa batuk Dengan atau tanpa produksi
sputum Sesak napas derajat sesak 1
sampai derajat sesak 2
VEP1 ≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri)
VEP1/KVP < 70%
PPOK Sedang
Dengan atau tanpa batuk Dengan atau tanpa produksi
sputum Sesak napas derajat 3
VEP1/KVP < 70% 50% ≤ VEP1 < 80%
prediksi
PPOK Berat
Sesak napas derajat sesak 4 dan 5
Eksaserbasi lebih sering terjadi
VEP1/KVP < 70% 30% ≤ VEP1 < 50%
prediksi
PPOK Sangat Berat
Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik
Eksaserbasi lebih sering terjadi
Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
VEP1/KVP <70% VEP1 < 30% prediksi,
atau VEP1 < 50% dengan
gagal napas kronik
3.4 Diagnosis Banding
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca
TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal
jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik
dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).
Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik
PPOK Asma BronkialGagal Jantung Kronik
Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usiaRiwayat keluarga Tidak ada Ada Tidak adaPola sesak napas Terus menerus,
bertambah berat dengan aktivitas
Hilang timbulTimbul pada waktu aktivitas
Ronki Kadang-kadang + ++Mengi Kadang-kadang ++ +Vesikular Melemah Normal MeningkatSpirometri Obstruksi ++
Restriksi +Obstruksi ++
Obstruksi +Restriksi ++
23
Reversibilitas < ++ +Pencetus
Partikel toksik Partikel sensitifPenyakit jantung kongestif
3.5 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan produksi
mukus
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi mukus/peningkatan sekresi lendir
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan Intake makanan yang kurang
4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan
posisi.
8. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi,
ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk
bekerja.
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak
mengetahui sumber informasi.
Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk:
1. Gagal/insufisiensi pernapasan
2. Hipoksemia
3. Atelektasis
4. Pneumonia
5. Pneumotoraks
6. Hipertensi paru
24
7. Gagal jantung kanan
25
3.6 Intervensi Keperawatan
NODIAGNOSA
KEPERAWATANTUJUAN RENCANA TINDAKAN RASIONAL
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan produksi mukus.
Klien mampu menunjukkan perbaikan oksigenasi.Kriteria hasil1. Warna kulit perifer
membaik (tidak cianosis)2. RR : 12 – 24 x /menit3. Nafas panjang4. Tidak menggunakan otot
bantu pernafasan.5. Ketidaknyamanan dada
(–)6. Nadi 60 – 100 x/menit.7. Dyspnea (–)
1. Observasi status pernafasan, hasil gas darah arteri, nadi dan nilai oksimetri.
2. Awasi perkembangan membran mukosa / kulit (warna).
3. Observasi tanda vital dan status kesadaran.
4. Evaluasi toleransi aktivitas dan batasi aktivitas klien.
5. Berikan oksigenasi yang telah dilembabkan.
6. Pertahankan posisi fowler dengan tangan abduksi dan disokong dengan bantal atau duduk condong ke depan dengan ditahan meja.
7. Kolaborasi untuk pemberian obat yang telah diresepkan.
1. Memantau perkembangan kegawatan pernafasan.
2. Gangguan Oksigenasi perifer tampak cianosis.
3. Menentukan status pernafasan dan kesadaran.
4. Mengurangi penggunaan energi berlebihan yang membutuhkan banyak Okigen.
5. Memenuhi kebutuhan oksiegen.
6. Meningkatkan kebebasan suplay oksiegn.
7. Obat mukolitik dan ekspektoransia akan mengencerkan produksi mukus yang mengental.
26
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus/peningkatan sekresi lendir
Klien dapat meningkatkan bersihan jalan nafasKriteria hasil1. Bunyi nafas
bersih/Vesikuler2. Batuk (-)3. Mampu
mendemonstrasikan batuk terkontrol.
4. Intake cairan adekuat
1. Kaji kemampuan klien untuk memobilisasi sekresi, jika tidak mampu :a. Ajarkan metode batuk
terkontrolb. Gunakan suction (jika perlu
untuk mengeluarkan sekret)c. Lakukan fisioterapi dada
2. Secara rutin tiap 8 jam lakukan auskultasi dada untuk mengetahui kualitas suara nafas dan kemajuannya.
3. Berikan obat sesuai dengan resep; mukolitik, ekspektorans
4. Anjurkan minum kurang lebih 2 liter per hari bila tidak ada kontra indikasi
5. Anjurkan klien mencegah infeksi / stressora. Cegah ruangan yang ramai pengunjung
atau kontak dengan individu yang menderita influenza
b. Mencegah iritasi : asap rokok
c. Imunisasi : vaksinasi Influensa.
1. Memantau tingkat kepatenan jalan nafas dan meningkatkan kemampuan klien merawat diri / membersihkan/membebaskan jalan nafas.
2. Memantau kemajuan bersihan jalan nafas.
3. Mengencerkan secret agar mudah dikeluarkan.
4. mengencerkan sekert.
5. Menghindarkan bahan iritan yang menyebabkan kerusakan jalan nafas
27
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi Kriteria hasil :1. Berat badan dan tinggi
badan ideal.2. Pasien mematuhi dietnya.
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
4. Identifikasi perubahan pola makan.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian diet Tinggi Kalori dan Tinggi Protein.
1. Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
2. Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).
4. Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.
5. Pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat proses penyembuhan dan mencegah komplikasi.
4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.Kriteria Hasil :1. Pasien dapat
mengidentifikasikan sebab kecemasan.
2. Emosi stabil., pasien tenang.3. Istirahat cukup.
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
3. Gunakan komunikasi terapeutik.
1. Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
1 Dapat meringankan beban pikiran pasien.
2 Agar terbina rasa saling percaya antar
28
4. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.
5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
6. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.
7. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
3 Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
4 Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.
5 Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.
6 Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas pasien.
5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.Kriteria Hasil :1. Pasien mengetahui tentang
proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit paru obstruktif kronik.
2. Kaji latar belakang pendidikan pasien.
1. Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.
2. Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
29
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.
3. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien didalamnya.
3. Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
4. Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.
30
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan
yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau
kedua-duanya (Snider, 2003). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah
penyakit tunggal, tetapi merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru
kronis yang mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan
Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik
yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara
emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol
yang permanen dan abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta
tanpa fibrosis yang jelas. The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan
gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon
inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas
yang berbahaya (Kamangar, 2010).
31
31
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC
Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.
Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai penerbit FKUI
Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC
G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.
Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page : 346-379.
Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging, second edition, Churchil Livingstone, page :122.
Harrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.
Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta8.20003, hal :1347-1353.
http://kapukpkusolo.blogspot.com/2010/10/askep-ppok-penyakit-paru-obstruktif.html
Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Media Aesculapius 1999, Jakarta, hal : 480-482.
Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung.
Lothar, Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page: 157.
Meschan : Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page : 954,990-993.
Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI
32
Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC 15.
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
33
top related