draft iii pklp tnlw_mdk
Post on 03-Jul-2015
593 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) yang terletak
di Pulau Sumba mempunyai wilayah berhutan seluas 47.014 hektar merupakan
20,4% dari seluruh kawasan hutan di Sumba Timur yang luas totalnya sekitar
230.502 hektar. Taman Nasional Laiwangi Wanggameti sendiri secara geografis
memiliki topografi yang berbukit dengan 15 gunung yang merupakan bagian
ekosistem dataran tinggi Pulau Sumba. Salah satu gunung di kawasan Taman
Nasional Laiwangi Wangggameti yang bernama Gunung Wanggameti dengan
ketinggian 1225 mdpl merupakan gunung yang tertinggi di Pulau Sumba.
Beberapa gunung yang lain yaitu G. Nggiku (1.150 mdpl), G.Tabau (1.100 mdpl),
G.Wairunu (1.072 mdpl) dan masih ada beberapa gunung lain dan perbukitan
yang membentang di dalam kawasan taman nasional.
Keberadaan kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti yang kaya
akan potensi kenaekaragaman hayati serta fungsinya sebagai menara air, kawasan
wisata alam dan budaya masyarakat, membuat lokasi ini penting untuk dipelajari
lebih dalam. Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) merupakan mata kuliah yang
dikembangkan oleh Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(DKSHE) untuk mencapai visi, misi dan tujuan DKSHE dalam menghasilkan
sarjana profesional. Mata kuliah ini merupakan sarana untuk
mengimplementasikan, menambah pengetahuan dan menambah pengalaman
lapang bagi mahasiswa DKSHE. PKLP yang dilaksanakan di Taman Nasional
Laiwangi Wanggameti dilakukan untuk mengkaji aspek-aspek pengelolaan taman
nasional secara umum selain kegiatan untuk inventarisasi keanekaragaman hayati
(flora dan fauna), potensi ekowisata, serta jasa lingkungan, sosial, dan budaya
masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Hasil
akhir dari kegiatan ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak pengelola sebagai
data tambahan guna pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan.
1.2 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) yaitu
untuk memenuhi kompetensi dalam rangka meningkatkan kemampuan praktik
1
lapang di bidang konservasi. Namun selain itu juga PKLP yang dilaksanakan di
Taman nasional Laiwangi wanggameti ini memiliki tujuan antara lain yaitu :
1. Mendapatkan data potensi kawasan Taman Nasional Laiwangi-
wanggameti yang meliputi potensi flora dan fauna.
2. Mengidentifikasi potensi ekowisata serta kondisi fisik lingkungan Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti.
3. Mempelajari pengelolaan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
1.3 Manfaat
Kegiatan praktik kerja lapang yang dilakukan oleh mahasiswa
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata mempunyai manfaat
baik untuk manajemen pengelola kawasan maupun bagi mahasiswa sendiri.
Adapun manfaat bagi pengelolaan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah
data dan informasi yang didapatkan dari hasil kegiatan ini akan menjadi data awal
dalam mendukung perlindungan terhadap nilai-nilai Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti dan pengelolaan lestarinya.
Sedangkan manfaat bagi mahasiswa Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata adalah :
1. Memberikan pengalaman survei dan pengetahuan mengenai metodologi
survei pada mahasiswa.
2. Meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam mengeksplorasi dan
menganalisis potensi dari keanekaragaman hayati dan ekosistem di Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti.
2
BAB II
KEADAAN UMUM LOKASI
2.1 Letak dan Luas
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) terletak di Pulau
Sumba yaitu di barat daya Propinsi NTT, tepatnya sekitar 96 km di sebelah
selatan P. Flores, 295 km di sebelah barat daya P. Timor dan 1.125 km di sebelah
barat laut Darwin Australia; dan secara geografis terletak diantara 120˚03’-
120˚19΄ BT dan 9˚57΄- 10˚11΄ LS. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan No.576/Kpts-II/1998 tanggal 3 Agustus 1998, luas kawasan
TNLW adalah 47.014,00 ha. Secara administratif kawasan ini terletak di 4
(empat) wilayah kecamatan, yakni: Kecamatan Tabundung, Pinu Pahar, Karera,
dan Matawai Lapau. Kawasan TNLW berbatasan langsung dengan wilayah
pemukiman dan budidaya dari 16 (enam belas) desa pada empat wilayah
kecamatan tersebut. Dari ke-16 desa yang berada di sekitar kawasan TNLW, di
dalamnya termasuk dua desa di dalam kawasan, yakni adalah Desa Ramuk,
Kecamatan Pinu Pahar dan Desa Katikuwai Kecamatan Matawai Lapau. Kedua
wilayah desa tersebut berstatus enclave pada kawasan Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti.
Gambar 1 Letak dan batas kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti
3
2.2 Kondisi Fisik
2.2.1 Topografi
Pada umumnya keadaan topografi di TNLW berbukit, sampai dengan
keadaan bergunung dengan memiliki lereng-lereng agak curam sampai sangat
curam. Topografi yang agak datar sampai bergelombang terdapat di bagian
tenggara dan selatan dari Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, sedangkan
yang lainnya memiliki topografi berbukit sampai bergunung dengan memiliki
lereng-lereng agak curam sampai dengan lereng yang curam. Sedangkan untuk
kelompok hutan, Taman Nasional Laiwangi Wanggameti termasuk dalam kelas
lereng 3 yaitu agak curam (15%-25%), kelas lereng 4 yaitu curam (25%-45%) dan
kelas lereng 5 yaitu sangat curam (≥ 45%).
2.2.2 Geologi dan Tanah
Sumba adalah pulau karang terangkat yang datarannya rendah seluas
11.057 km2. Bagian utaranya berupa dataran tinggi yang relatif rata, diselingi oleh
jurang sempit yang curam. Dataran pesisir dipenuhi oleh cekungan-cekungan
dangkal berupa rawa-rawa yang hanya berair sementara (Coates dan Bishop
2000). Profil Pulau Sumba yang merupakan pulau karang ini mengakibatkan
wilayah ini relatif kurang subur dibandingkan pulau-pulau lain seperti Sumatra,
Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya. Hal ini dikarenakan proses pelapukan
bebatuan karang yang belum sampai menjadi tanah mengakibatkan kesuburan
rendah yang hanya bisa ditumbuhi oleh rerumputan. Proses tersebut yang
membuat sebagian besar kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti
didominasi oleh padang rumput yang rawan kebakaran saat musim kemarau.
Untuk kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti formasi geologi
terdiri dari endapan permukaan aluvium, batuan sedimen (Formasi Kananggar,
Formasi Paumbapa dan Formasi Tanahroong), batuan gunung api (Formasi Masu
dan Formasi Jawila) serta batuan terobosan granit (Balai TNLW 2010).
2.2.3 Iklim
Menurut peta curah hujan Pulau Sumba Skala 1 : 2.000.000
(Verhandelingen No.42 Map.II Tahun 1951), tipe iklim di Pulau Sumba bervariasi
dari C sampai dengan F. Untuk kawasan TNLW keadaan curah hujan berkisar
antara 100-1500 mm. Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidth-Ferguson kawasan
4
hutan Wanggameti termasuk daerah beriklim basah dengan kelembaban sekitar
71%.
Berdasarkan data curah hujan pada wilayah kecamatan sekitar kawasan
TNLW yang bersumber pada data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur
Tahun 2008, diketahui bulan basah (intensitas hari hujan >15 hari) berkisar 2-5
bulan, sedangkan bulan kering berkisar 2-7 bulan. Berikut adalah data hari hujan
dan curah hujan tiap kecamatan di sekitar kawasan TNLW :
Tabel 1 Data curah hujan dan hari hujan kawasan TNLW
No. BulanTabundung Pinu pahar Matawai lapau Karera
Hari Hujan
Curah Hujan
Hari Hujan
Curah Hujan
Hari Hujan
Curah Hujan
Hari Hujan
Curah Hujan
1 Januari 16 416 6 1810 15 350 9 1872 Februari 20 596 11 2110 - - 14 5053 Maret 23 520 15 2751 31 1070 5 754 April 7 77 9 1510 - - 1 355 Mei 5 51 1 120 - - - -6 Juni - - 6 323 - - - -7 Juli - - - - - - - -8 Agustus - - - - - - 3 209 September - - 2 75 - - - -10 Oktober 1 29 2 105 3 170 - -11 November 17 515 18 5085 19 441 17 45212 Desember 22 377 8 1690 20 449 8 181
Rata - Rata 14 323 8 1558 88 2480 6 156 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur Tahun 2008
2.2.4 Hidrologi
Di Pulau Sumba terdapat 7 (tujuh) Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
enam diantaranya berada di dalam kawasan TNLW, yaitu : DAS Nggongi, DAS
Lailunggi, DAS Linggit, DAS Kambaniru, DAS Tondu dan DAS Wahang.
Setidaknya terdapat 12 sungai yang berhulu di dalam kawasan Taman Nasional
Laiwangi wanggameti, kedua belas sungai ini tidak pernah kering sepanjang
tahun. Hanya debitnya yang berkurang pada musim kemarau.
Tabel 2 Sungai-sungai yang berhulu di dalam kawasan TNLW
No Nama Sungai Panjang (km) Desa Yang Dilalui1 Praimundi 11 Tarimbang2 Tapil 6 Tapil3 Laputi 17 Praing Kareha4 Laiponju 8 Wahang5 Prambahajala 7 Tawui6 Hambai/Kahalatu 10 Lailunggi
5
7 Hambai/Kahalatu 5 Wangga Bewa8 Apu Uru/Warinding 16 Ramuk9 Tamuji 15 Billa10 Wara 13 Karita11 Kanapa Wai 22 Waikanabu12 Lumbung 32 Maidang
Sumber : Laporan Hasil Pembuatan Batas Definitif oleh BPKH Tahun 2006
2.3 Kondisi Biologi
2.3.1 Ekosistem
Tipe ekosistem kawasan TNLW cukup beragam yakni: ekosistem hutan
hujan, ekosistem savana dan ekosistem hutan musim, yang mewakili tipe-tipe
ekosistem utama Pulau Sumba, kecuali ekosistem mangrove. Tipe-tipe ekosistem
kawasan TNLW tersebut dicirikan oleh perbedaan kondisi vegetasi penyusunnya.
2.3.2 Flora
Hasil penelitian Darma dan Peneng (2007) mencatat berbagai jenis pohon
antara lain jambu hutan (Eugenia jamboloides), pulai (Alstonia scholaris), taduk
(Sterculia foetida), beringin (Ficus benjamina), kenari (Canarium asperum),
pandan (Pandanus sp.). Johar (Glochidion rubrum), Kayarak (Magnolia sp.),
Watangga (Elaeocarpus shaericus), Takumaka aweata (Nauclea spp.), Wangga
(Ficus spp.), Aik Papa (Harmsiopanax aculeatus), Aik Tibu (Lindera polyantha),
Labung (jambu-jambuan) (Syzygium spp.), Laru (Garcinia celebica). Kalauki
(Calophyllum sulattri), Bakuhan (Podocarpus imbricarus), Podocarpus
neriifolius), Wata Kamambi (Rauvolfia sp.) yang merupakan salah satu jenis
tumbuhan langka, Kanduru ara baik kayu putih (Palaquium foetida) atau merah
(Palaquium ferox), Lebung (Syzygium anticepticum), Suria (Dysoxylum sp.), Tada
Malara (Euodia latifolia), Bischofia javanica, Engelhardia spicata, Weinmannia
blumei, Polyosma integrifolia, Pandan (Pandanus tectorius), Aik uwu (Trema
orientalis), Maka Wada (Ehretia javanica) Enau (Arenga pinnata). Tumbuhan
yang klimberpemanjat antara lain rotan (Calamus ciliaris), Oru bata
(Daemonorop sp), Raphidopora sp., Pandanus linearis, Ficus spp., Piper spp.,
Rubus muluccanum, Rubus resifolius, Dinochloa sp. dan Passiflora sp. (Darma
dan Peneng 2007).
2.3.3 Fauna
6
Menurut Ditjen PHKA (2007), potensi fauna yang terdapat di Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti terdiri dari 77 jenis burung. Llima diantara enam
burung endemik hidup dan berkembangbiak di kawasan ini, salah satunya yaitu
burung Walik Rawa Manu. Tercatat 43 jenis kupu-kupu termasuk 3 jenis kupu-
kupu endemik Nusa Tenggara.
Berdasarkan data IBA yang dikeluarkan oleh Burung Indonesia (2004),
ada beberapa jenis burung yang dapat ditemukan di Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti, jenis-jenis tersebut antara lain: Julang Sumba (Aceros everetti),
Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea), Kepodang Sungu Sumba (Coracina
dohertyi), Sikatan Sumba (Ficedula harterti), Raja Udang Timor (Halcyon
australasia), Madu Sumba (Nectarinia buettikoferi), Pungguk Wengi (Ninox
rudolfi), Walik Rawa Manu (Pthilinopus roherty), Sikatan Rimba Ayun
(Rhinomyias oscillans), Punai Sumba (Treron tyesmannii), Anis Macan (Zoothera
dohertyi), dan Kacamata Wallacea (Zosterops wallacei). Taman Nasional ini juga
merupakan habitat dari mamalia seperti Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis),
Babi Hutan (Sus sp.), Biawak (Varanus salvator), dan Ular Sanca Timor (Phyton
timorensis) (Ditjen PHKA 2007).
2.4 Kondisi Budaya
Masyarakat sekitar kawasan TNLW merupakan masyarakat Sumba
Timur yang dahulu menganut kepercayaan Marapu. Sekarang, kepercayaan
Marapu tidak lagi dijalankan sebagai kepercayaan melainkan hanya sebagai adat
istiadat. Terdapat beberapa upacara adat yang masih dijalankan, antara lain :
a. Upacara 4 Bulan Kehamilan
Dilaksanakan Hamayang (sembahyang) di pohon kesambi di depan rumah
Umbu. Upacara ini dilakukan untuk mendoakan janin yang ada di rahim agar
diberi kekuatan.
b. Upacara Pemberian Nama
Dilaksanakan pada hari ke-4, 8, 16 sejak kelahiran bayi. Upacara ini
dilakukan dengan membersihkan bale-bale dan memberikan nama kepada bayi
yang baru lahir. Selain itu, dilakukan juga pemotongan seekor babi dan 20 ekor
ayam.
c. Upacara Perkawinan
7
Upacara perkawinan merupakan suatu rangkaian tahapan menuju
perkawinan. Tahapan tersebut antara lain:
1. Lihat Padang
Tahapan ini disebut juga tahap perkenalan. Tahapan ini dilakukan
calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita untuk meminta izin
kepada keluarga pihak wanita untuk melakukan pendekatan kepada
calon mempelai wanita. Dalam tahapan ini calon mempelai pria
membawa 2 ekor kuda (jantan dan betina).
1. Mei Pakarai (lamaran)
Tahapan ini merupakan tahapan dimana calon mempelai pria
sudah meminta izin untuk menikahi calon mempelai wanita. Dalam
tahapan ini, calon mempelai pria membawakan sejumlah 5 ekor kuda
dan 10-15 ekor.
2. Upacara Perkawinan
Dalam upacara adat perkawinan, calon mempelai pria
memberikan sejumlah hewan ternak kepada calon mempelai wanita
sebagai mas kawin. Jumlah hewan yang ditetapkan sesuai dengan
kesepakatan/ musyawarah keluarga.
d. Upacara Kematian
Upacara ini dilakukan sejak seseorang tersebut meninggal sampai waktu
menguburkan tiba. Sejak hari kematian hingga upacara kematiannya (setahun
setelah kematian), setiap harinya dilakukan upacara pukul gong. Ritual tersebut
dilakukan setiap hari untuk memberitahukan bahwa ada kematian di keluarga
yang melakukan ritual pukul gong. Ritual pukul gong dilakukan selama 3-6 bulan.
Upacara tarik batu dilakukan sebagai upacara penguburan kalangan raja
Sumba. Persiapan yang dilakukan antara lain pemilihan batu untuk kubur batu,
persiapan hewan ternak untuk diberikan kepada sanak saudara, serta persiapan
lainnya. Hewan ternak yang diberikan antara lain kuda, kerbau, dan babi. Hewan
ternak tersebut diberikan kepada keluarga perempuan dari pihak raja maupun
Mama. Penguburan raja dilakukan di halaman depan rumah. Terdapat beberapa
simbol di atas makam raja, diantaranya buaya, penyu, ayam dan bebek merupakan
simbol raja. Simbol lainnya disesuaikan dengan karakter raja yang dimakamkan.
8
Selain upacara-upacara adat tersebut adapula upacara adat lain yang ada
di masyarakat Sumba Timur khususnya desa Wahang, yaitu karaki. Karaki
merupakan suatu rangkaian upacara adat sebagai ucapan rasa syukur kepada
pencipta atas hasil panen yang didapat pada musim sebelumnya. Disamping
upacara-upacara adat yang menjadi budaya khas Sumba, bangunan seperti rumah
adat dan kubur batu merupakan daya tarik tersendiri yang dimiliki masyarakat
Sumba. Selain itu, hasil kerajinan seperi kain tenun serta beragam aksesoris juga
menjadi daya tarik tambahan bagi kebudayaan Sumba khususnya Sumba Timur.
Hasil kerajinan masyarakat juga dapat menjadi salah satu upaya pemberdayaan
masyarakat dan akan menghasilkan penghasilan tambahan bagi masyarakat.
2.5 Aksesibilitas
Perjalanan menuju kawasan TNLW dari kota Waingapu dapat ditempuh
menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua melalui dua pintu masuk. Pintu
masuk menuju kawasan TNLW adalah melalui Tabundung (SPTN I) dan Matawai
Lapau (SPTN II). Perjalanan menuju Tabundung dilakukan selama ± 4 jam
dengan kondisi jalan yang beraspal namun keadaannya kurang baik.
Perjalanan menuju Matawai Lapau ditempuih selama ± 3 jam dengan
kondisi jalan cukup baik. Namun, perjalanan menuju kawasan melalui jalur ini
memerlukan kehati-hatian yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan kodisi jalan
yang hanya memiliki lebar 5-7 meter dan terletak di tepi jurang. Selain itu, banyak
terdapat lubang di sepanjang jalan yang digenangi air jika musim hujan. Kondisi
jalan juga berlumpur dan licin untuk dilalui.
9
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Kegiatan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) yang diselenggarakan
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dilaksanakan selama 1
bulan yaitu mulai tanggal 21 Februari 2011 sampai dengan 21 Maret 2011.
Lokasi praktik kerja lapang ini dilaksanakan di Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan pengamatan dilaksanakan di dua
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) yaitu di SPTN I Tabundung, jalur
Praingkareha, Billa dan Wudi pandak mulai tanggal 9 sampai dengan 12 Maret
2011 serta SPTN II Matawai Lapau, jalur Hutan Wanggameti, Wundut dan
Katikuai/Hutan Ampupu mulai tanggal 2 sampai dengan 6 Maret 2010.
3.1.1 Kondisi Jalur Pengamatan
3.1.1.1 Jalur Billa
Jalur Billa merupakan habitat riparian yang memiliki kondisi jalur yang
berbatasan dengan sungai. Topografi kawasan ini tidak terlalu berat karena
kisaran ketinggian yang tidak jauh.Ketinggian lokasi penelitian adalah 300-400 m
dpl.
Hutan Billa merupakan perwakilan hutan dataran rendah dengan jenis
tumbuhan yang banyak ditemukan sepanjang jalur pengamatan yaitu Kanjilu
(Ficus fistulosa Reinw. ex Bl.), Manjangi (Kleinhovia hospita Linn.), Karunding
(Pterocymbium javanicum R.Br.), dan Ewai (Pisonia sp.). Hutan Billa awalnya
merupakan areal pemukiman penduduk, namun setelah dibentuk taman nasional
areal pemukiman tersebut direlokasi. Namun sekarang masih terdapat rumah
penduduk yang masih tinggal di dalam hutan Billa. Oleh karena itu di hutan Billa
masih banyak diemukan satwa domestik peliharaan penduduk yang tinggal di
sekitar hutan Billa, satwa domestik tersebut di antaranya yaitu kerbau, sapi, babi,
kuda dan anjing. Di hutan Billa terdapat pula padang rumput yang cukup luas,
lokasi ini dijadikan areal grazing untuk satwa domestik seperti kuda dan kerbau.
Hutan Billa mempunyai sejarah yang penting bagi keberadaan mamalia,
berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pengelola diketahui bahwa hutan Billa
pernah menjadi habitat bagi rusa timor, namun saat ini sudah tidak ditemukan lagi
10
adanya rusa timor di wilayah ini. Padang Billa juga banyak ditemukan spesies
burung kirik-kirik Australia. (Gambar 2)
Gambar 2 Tipe habitat jalur Billa.
3.1.1.2 Jalur Praingkareha
Jalur Praingkareha merupakan tipe hutan primer yang memiliki jalan
raya yang membelah hutan ke arah desa Ppraingkareha. Pada kawasan hutan
primer ini yang masih terdapat banyak pohon yang berdiameter besar. Kondisi
topografi secara keseluruhan adalah bukit. Ditengah hutan ditemukan sungai yang
berada di pinggir jalan raya, aliran sungai ini mengalir menuju air terjun laputi.
vegetasi yang ditemukan didominasi oleh pohon – pohon dengan formasi rapat,
jenis-jenis pohon yang ada antara lain Kalumbang (Bombax sp.), Manjangi
(Kleinhovia hospita Linn.), Halai, Wangga(Ficus sp.), dan Kanjilu (Ficus fistulosa
Reinw. ex Bl.).
Semak belukar yang terdapat dijalur ini memiliki ketinggian mencapai 1
meter pada lokasi di pinggir hutan yang dilakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL) yang dilakukan 2010. Kondisi seperti ini berkorelasi dengan satwa yang
dapat ditemukan (Gambar 3).
Gambar 3 Tipe habitat jalur Praingkareha.
3.1.1.3 Jalur Wundut
Jalur pengamatan berdasarkan fisiognomi hutan kawasan Wundut
merupakan hutan liana yang hijau sepanjang musim dan terdiri atas komunitas
11
hutan primer dan hutan sekunder. Ketinggian pada lokasi pengamatan yaitu 1008
mdpl. Hasil analisis vegetasi ditemukan bahwa tingkat pertumbuhan yaitu
pancang cukup mendominasi. Strata bawah dipadati oleh tumbuhan semak yang
yang dapat tumbuh hingga 1-1,5 meter dengan topografi berbukit.jenis vegetasi
dominan yang ditemukan adalah Manjangi (Kleinhovia hospita Linn.), Kanjilu
(Ficus fistulosa Reinw. ex Bl.), Halai, Karunding (Pterocymbium javanicum
R.Br.), dan Wangga (Ficus sp.).
Pada umumnya tinggi pohon rata-rata 15 meter. Pada pohon kedondong
hutan merupakan tempat makan burung Bondol Pancawana. semak yang terdapat
di Wundut merupakan tempat makan burung Madu Sumba. Pada hutan wundut
banyak didapatkan lumut menempel pada pohon .jalur pengamatan mengikuti
jalan setapak yang lebarnya 1-2 meter yang menjadi akses menuju desa
transmigran. Lokasi ini dekat dengan tempat camping ground.(Gambar 4)
Gambar 4 Tipe habitat jalur Wundut.
3.1.1.4 Jalur Katikuai (hutan Aampupu)
Hutan Ampupu yang menjadi lokasi pengamatan merupakan hutan
tanaman Ampupu (Eucalyptus urophylla). Hutan tanaman ini memiliki tajuk
pohon yang rimbun dan rapat. Topografi di hutan tanaman ampupu adalah relatif
datar dan menanjak, dengan kondisi tanah dipenuhi rumput-rumput liar. Jalan raya
yang membelah hutan ampupu menjadi jalur pengambilan titik pengamatan. Pada
pohon ampupu yang sedang berbunga banyak didapatkan kawanan burung perkici
orange yang sedang mencari makan. Jalur Katikuai ini juga merupakan area
untuk gembala warga seperti kerbau, sapi, dan kuda. Strata bawah dipadati oleh
tumbuhan semak yang dapat tumbuh hingga 0- 1 meter dengan topografi berbukit.
Jalur Katikuai ini juga merupakan area untuk gembala warga seperti kerbau, sapi
dan kuda. (Gambar 5)
12
Gambar 5 Tipe habitat jalur Katikuai.
3.1.1.5 Jalur Wanggameti
Kondisi jalur ini merupakan hutan hujan campuran yang terdiri dari
komunitas hutan sekunder. Kondisi topografi secara keseluruhan adalah bukit-
bukit dan terdapat pula aliran air berupa sungai kecil di dalam hutan. Berdasarkan
hasil analisis vegetasi di ketahui diameter pohon berukuran kecil dan pada tingkat
pertumbuhannya banyak ditemukan tingkat pancang. Jenis yang terdapat adalah
Manjangi (Kleinhovia hospita Linn.), Halai, Karunding (Pterocymbium javanicum
R.Br.), dan Wangga (Ficus sp.). Di jalur ini juga ditemukan sungai kecil yang
dapat menjadi sumber minum mamalia dan menjadi konsentrasi berkumpulnya
primata monyet ekor panjang. Tinggi rata-rata pohon 15 meter . Kondisi jalur
Wanggameti berupa jalan raya yang menghubungkan dengan Desa Wanggameti.
(Gambar 6)
Gambar 6 Tipe habitat jalur Wanggameti.
13
3.2 Metode Pengambilan Data
3.2.1 Inventarisasi Keanekaragaman Hayati
3.2.1.1 Metode Inventarisasi Mamalia
Inventarisasi mamalia yang dilakukan dalam kegiatan praktik kerja
lapang profesi ini menggunakan beberapa metode antara alain yaitu metode
transek jalur (Strip transect), Perangkap, dan Pengamatan Cepat (Rapid
assesment). Alat yang digunakan dalam pengamatan mamalia antara lain yaitu
binokuler, kamera, tally sheet, plastik, perangkap (trap) mamalia, GPS, buku
panduan mamalia , gunting, pinset, dan senter. Sedangkan bahan yang digunakan
antara lain yaitu alkohol dan gypsum.
Metode transek jalur (Strip transect) mempunyai panjang dan lebar jalur
yang digunakan disesuaikan dengan kondisi topografi dan kerapatan tegakan
pada lokasi pengamatan (Gambar 7). Data yang dikumpulkan berdasarkan pada
perjumpaan langsung dengan satwa mamalia yang berada pada lebar jalur
pengamatan. Jumlah jalur yang digunakan dalam pengamatan berjumlah empat
jalur yang terdiri dari jalur pengamatan Billa, Praingkareha, Wanggameti dan
Katikuai yang terdapat dalam SPTN I dan II. Pengamatan pada satu jalur terdiri
dari dua kali pengulangan, yaitu pada periode pagi hari (pukul 05.30-08.00 WIB),
sore hari (pukul 16.00-18.00 WIB) dan malam hari (pukul 21.00-23.00).
Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan yaitu
kurang lebih 25 meter/menit.
Keterangan : To = titik awal jalur pengamatan, Ta = titik akhir jalur pengamatan, P = posisi pengamat, r = jarak
antara pengamat dengan tempat terdeteksinya satwa liar, S = posisi satwa liar.
Gambar 7 Inventarisasi Mamalia dengan metode jalur.
Metode perangkap ini digunakan untuk menginventarisasi mamalia kecil
di lantai hutan, seperti tikus dan jenis-jenis rodentia lain. Selain untuk
14
S1
To P1
S2
Arah lintasan
pengamat
T
1
menginventarisasi, satwa yang telah tertangkap dapat digunakan untuk melakukan
studi mengenai morfologi satwa. Perangkap dipasang secara Purposive pada
habitat tertentu yang diduga merupakan habitat utama bagi berbagai mamalia
kecil, misalnya cerukan gua, lubang di pohon, bekas lubang di tanah, bekas
sampah dan sejenisnya. Untuk menarik satwa untuk masuk ke dalam perangkap
digunakan umpan yang berupa kelapa yang telah dibakar agar aroma kelapa dapat
tercium oleh rodentia tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peluang penangkapan
semakin besar. Perangkap ini membuat satwa satwa yang tertangkap tidak akan
mati.
Gambar 8 Pemasangan perangkap Mamalia
Metode ketiga ini yaitu pengamatan cepat (Rapid assement) digunakan
untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang terdapat di lokasi pengamatan.
Pengamatan tidak harus dilakukan pada suatu jalur khusus atau lokasi khusus.
Pengamat cukup mencatat jenis-jenis mamalia yang ditemukan, misalnya pada
saat melakukan survei lokasi, berjalan diluar waktu pengamatan, dan sebagianya.
Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang berada di
lokasi pengamatan, tetapi tidak dapat digunakan untuk menghitung pendugaan
populasi.
3.2.1.2 Metode Inventarisasi Burung
Metode inventarisasi burung yang digunakan pada pengamatan ini yaitu
metode titik hitung atau IPA (Indices Ponctuel d’Abondance) dan metode Daftar
Jenis MacKinnon atau yang dikenal juga dengan metode Daftar 20 Jenis
MacKinnon (Twenty Spesies List). Metode titik hitung atau IPA (Indices Ponctuel
d’Abondance) digunakan untuk mendapatkan nilai kelimpahan relatif dari jenis-
jenis burung di habitat-habitat yang diamati. Pengamatan dilakukan pada lima
lokasi pengamatan yaitu Wundut, Katikuai, Wanggameti, Billa, dan Praingkareha.
Pada kelima lokasi pengamatan tersebut dibuat 10 titik dengan radius pengamatan
15
25 meter dan jarak minimal antar titik 100 meter (Gambar 9). Setiap jenis burung
yang dijumpai pada setiap titik di dalam jalur pengamatan dicatat. Pengamatan
pada setiap titik dilakukan selama 10 menit.
Gambaran tentang kekayaan jenis burung digunakan metode Daftar Jenis
MacKinnon atau yang dikenal juga dengan metode Daftar 20 Jenis MacKinnon
(Twenty Spesies List). Menurut Mackinnon (1990) setiap daftar berisikan 20 jenis
burung. Jenis yang sama dapat dicatat lagi pada daftar yang baru. Robertson dan
Liley (2000) mengemukakan bahwa daftar yang berisi kurang dari 20 jenis dapat
digunakan, tergantung pada kekayaan burung di suatu habitat. Mengingat relatif
singkatnya waktu pengamatan dan cakupan areal pengamatan yang tidak terlau
lama, maka di dalam pengamatan ini digunakan daftar yang berisi 10 jenis.
Pengamatan burung ini dilakukan oleh empat orang, dimana dua orang
bertugas untuk mengamati burung dengan bantuan binokuler Nikon Action 10x50
dan buku panduan lapang (Fieldguide Burung-burung di Kawasan Wallacea
Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara), satu orang bertugas untuk mencatat
setiap jenis burung yang ditemukan, dan sisanya bertugas untuk mengambil
gambar burung dengan kamera digital. Tugas-tugas dalam kegiatan pengamatan
burung ini dilakukan secara bergantian untuk tiap orangnya.
Gambar 9 Penempatan titik-titik hitung di sepanjang jalur pengamatan
3.2.1.3 Metode Inventarisasi Kupu-kupu
Metode yang dilakukan untuk pengamatan kupu-kupu adalah metode
time search. Time search merupakan salah satu metode inventarisasi dengan
menggunakan batasan waktu (menit) tertentu yang ditetapkan dengan konsisten,
yang ditujukan sebagai alternatif pengganti plot yang pada umumnya
menggunakan batasan jarak (luasan tertentu). Pengamatan dilakukan rata-rata
16
1 km
200 m
mulai dari pukul 08.00 s.d. 14.00 WITA. Waktu tersebut disesuaikan dengan
waktu aktif kupu-kupu antara pukul 08.00-16.00 WITA.
Pengamatan kupu-kupu dilakukan di empat lokasi, yaitu Praingkareha
dan Billa di SPTN I serta Hutan Wanggameti dan Katikuai/Hutan Ampupu di
SPTN II. Kegiatan pengamatan ini dilakukan dengan sumberdaya tiga orang
dimana dua orang bertugas untuk menangkap kupu dengan menggunakan jarring
kupu dan satu orang sisanya bertugas untuk menyuntikkan kupu tersebut dengan
alkohol 70% pada bagian toraks dan kemudian memasukkan kupu dalam papilot
serta mencatat waktu, plot dan lokasi penangkapan di papilot tersebut.
Metode yang digunakan adalah metode time search. Pada metode ini
pengamat berjalan bebas sepanjang jalur pengamatan. Saat penangkapan kupu
pertama, maka sudah mulai dihitung plot pertama. Kupu yang tertangkap pada 15
menit pertama setelah penangkapan kupu pertama, semuanya masuk dalam
hitungan plot satu. Setelah itu dimulai lagi pencarian kupu-kupu. Apabila ada
penangkapan kupu setelah 15 menit pertama, maka sudah termasuk dalam plot
kedua sampai dengan 15 menit berikutnya dan begitu seterusnya.
Gambar 10 Simulasi pelaksanaan metode time search
Kegiatan identifikasi jenis dilakukan diluar waktu pengamatan.
Identifikasi kupu dilakukan dengan cara merentangkan sayap kupu dengan
17
Plot 15 menit pertama
Plot 15 menit kedua
Plot 15 menit ketiga Plot 15
menit seterusnya
Keterangan
Arah perjalanan (jalur utama) pada habitat yang sama
Inventarisasi pada plot (selama 15 menit)
bantuan pinset karena sayap kupu tidak boleh dipegang langsung oleh tangan. Hal
ini dikarenakan sisik dari sayap kupu mudah pudar apabila terlalu sering tersentuh
tangan. Setelah direntangkan, kemudian dilanjutkan dengan pengidentifikasian
dengan melihat pola dari corak kupu serta jumlah titik yang ada. Proses identikasi
dilakukan dengan menggunakan bantuan beberapa buku panduan, diantaranya
Identification guide for butterflies of West Java Christian (2001), Practical Guide
to The Butterflies of Bogor Botanic Garden Peggie dan Mohammad (2006), The
Butterflies of Sulawesi: annoted for a critical island fauna dan Catalogue of
Swallowtail Butterflies (Lepidoptera: Papilionidae) at Borneensis. Dalam
pengidentifikasian data yang dicari adalah nama spesies dan famili.
3.2.1.4 Metode Inventarisasi Flora
Inventarisasi tumbuhan dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis dan
struktur hutan. Kegiatan inventarisasi keanekaragaman tumbuhan dilakukan di
tiga lokasi yang termasuk ke dalam jenis hutan musim semi luruh dan hutan hujan
tropis. Lokasi-lokasi tersebut antara lain Wudi pandak, Billa, dan Wanggameti.
Wudi pandak dan Billa termasuk ke dalam tipe hutan hujan tropis dengan
ketinggian 341-417 m dpl, sedangkan Wanggameti termasuk ke dalam tipe hutan
musim semi luruh dengan ketinggian 1008 m dpl.
Dari keseluruhan jumlah jenis yang didapat, jenis-jenis tersebut
digolongkan berdasarkan pertumbuhannya, yaitu semai, pancang, tiang, dan
pohon Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara dan Indrawan (2008). Jenis data
yang diambil adalah nama jenis dan jumlah untuk tingkat semai dan pancang dan
nama jenis dan diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Pengambilan data
diameter pohon dilakukan dengan bantuan alat pita ukur berukuran 1,5 m. Untuk
setiap jenis tumbuhan yang belum diketahui jenisnya, diambil contoh
spesimennya untuk kemudian diidentifikasi lebih lanjut. Inventarisasi tumbuhan
dilakukan dengan metode transek berpetak. Jumlah petak pengamatan yang
diambil adalah sebanyak 15 petak di Wudipandak, 15 petak di Billa, dan 25 petak
di Wanggameti. Dalam petak tersebut masih dibagi lagi dengan ukuran 2x2 meter
untuk tingkat semai, 5x5 meter untuk pancang, dan 10 x 10 meter untuk tingkat
tiang serta 20x20 meter untuk tingkat pohon. Adapun kriteria pertumbuhan pohon
yaitu :
18
a. Semai adalah anakan pohon mulai kecambah sampai setinggi <1.5
meter.
b. Pancang adalah anakan pohon yang tingginya > 1.5 meter dengan
diameter <10 cm.
c. Tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 cm sampai <20 cm.
d. Pohon adalah pohon dewasa berdiameter > 20 cm.
Gambar 11 Bentuk petak ukur pada metode jalur berpetak.
3.2.2 Inventarisasi Potensi Ekowisata
Data yang dikumpulkan meliputi obyek-obyek yang menarik di kawasan
TNLW dan sekitarnya. Obyek tersebut terbagi menjadi obyek berupa flora, fauna,
serta tapak yang menarik di terdapat di lokasi inventarisasi. Selain obyek menarik,
data yang diambil adalah kondisi sekitar jalur inventarisasi serta aksesibilitas
menuju obyek-obyek menarik tersebut. Selain itu, data yang diambil juga meliputi
kebudayaan masyarakat pulau Sumba pada umumnya dan masyarakat Sumba
Timur yang banyak tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti serta pengelolaan ekowisata yang ada di Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti.
Data tersebut dikumpulkan dengan melakukan observasi lapang maupun
wawancara. Observasi lapang dilakukan untuk memperoleh data mengenai obyek-
obyek yang menarik di kawasan Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti dan
sekitarnya. Obyek tersebut meliputi flora, fauna, serta tapak menarik yang
berpotensi untuk pengembangan ekowisata. Observasi lapang dilakukan dengan
cara menyusuri jalur pengamatan dan mencatat obyek menarik yang terdapat di
kiri-kanan jalur inventarisasi. Selain itu, obyek-obyek menarik di sepanjang jalur
tersebut kemudian didokumentasikan dan ditandai pada GPS. Pada jalur-jalur
pengamatan juga dilakukan tracking dan ditandai pada GPS. Wawancara
dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kebudayaan masyarakat yang
19
ada di sekitar kawasan serta pengelolaan ekowisata di kawasan Taman Nasional
Laiwangi Wanggameti. Wawancara dilakukan dengan langsung mendatangi
narasumber dan menanyakan hal-hal terkait data yang diambil. Narasumber yang
terlibat dalam wawancara ini antara lain 9 orang pengelola Balai Taman Nasional
Laiwangi Wanggameti, 2 orang pemuka adat, serta 1 orang ketua organisasi
masyarakat sekitar kawasan.
Selain itu, data potensi kawasan menurut penelitian sebelumnya, serta
data lain yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata kawasan Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti juga dikumpulkan. Data tersebut dikumpulkan
melalui studi literatur. Studi literatur dilakukan dengan mencari data pada pihak
pengelola, laporan-laporan maupun penelitian terdahulu, serta sumber lain untuk
menunjang data primer yang diperoleh.
3.2.3 Pengamatan Kondisi Fisik Kawasan
Kondisi fisik kawasan yang diamati dalam kegiatan praktek kerja lapang
profesi meliputi pengamatan suhu dan kelembaban udara, debit dan kualitas air
serta kondisi tanah di kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Pengamatan suhu dan kelembaban udara menggunakan termometer dry wet, kain
kassa atau kapas, benang, dan tiang penyangga (tinggi 1.5 m), aquadest/air
mineral, pengukur waktu serta tabel kelembaban udara. Lokasi pengukuran suhu
dan kelembaban udara dilakukan di dua lokasi pengamatan terutama di SPTN I
Praingkareha dan SPTN II di Wanggameti.
Pengukuruan debit air sungai dilakukan di 3 sungai antara lain yaitu
sungai Katikuai, sungai Laputi dan sungai Laironja. Debit air sungai adalah tinggi
permukaan air sungai yang terukur oleh alat ukur pemukaan air sungai.
Pengukurannya dilakukan tiap hari, atau dengan pengertian yang lain debit atau
aliran sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya
debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt). Perlu diingat bahwa
distribusi kecepatan aliran di dalam alur tidak sama arah horisontal maupun arah
vertikal. Dengan kata lain kecepatan aliran pada tepi alur tidak sama dengan
tengah alur, dan kecepatan aliran dekat permukaan air tidak sama dengan
kecepatan pada dasar alur.
20
Untuk mengukur luas penampang aliran sungai yaitu dengan mengukur
luas sungai per seksi, dimana panjang perseksi disesuaikan dengan kondisi sungai
yang diukur. Pada kondisi sungai yang mempunyai aliran yang cukup deras maka
panjang perseksinya yaitu 2 meter. (Gambar 12)
Sedangkan untuk mengukur kecepatan aliran sungai dengan
menggunakan metode apung yaitu dengan menggunakan bola pimpong yang
dialirkan mengikuti arus sungai untuk diukur waktunya hingga mencapai jarak
tertentu.
Gambar 12 Pengukuran Luas Penampang Sungai Per-Seksi
Parameter bau dan warna diamati langsung dilapang yang diukur secara
organoleptik, sedangkan pH menggunakan pH meter serta yang terakhir untuk
parameter suhu diukur dengan alat termometer.
Tabel 3 Parameter Kualitas Air
No Parameter Satuan Metode Analisis Alat1 pH - Analisis kuantitatif pH meter2 Bau - Organoleptik -3 Warna - Organoleptik -
4 Debit Air m3/dt Rapid AssistmentMeteran, tambang, bola, pingpong, stopwatch.
Kondisi fisik kawasan yang diamati yaitu jenis tanah, sifat fisik dan sifat
kimia tanah. Sampel tanah diambil di setiap lokasi pengamatan untuk dianalisis.
Jenis tanah dianalisis dengan menggunakan buku identifikasi tanah. Sedangkan
sifat fisik tanah yang diamati yaitu tekstur tanah. Sifat kimia tanah yang diamati
yaitu pH dan KTK tanah yang berguna untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah
yang berada di kawasan taman nasional.
3.2.4 Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti
21
Pengambilan data tentang manajemen pengelolaan dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara tidak terstruktur dan studi literatur. Maka data
yang diambil adalah hasil wawancara yang dilakukan hampir disetiap waktu
selama satu bulan dan menyadur literatur manajemen pengelolaan sebagai data
dasar atau data tambahan yang diperlukan.
3.3 Analisis Data
3.3.1 Inventarisasi Keanekaragaman Hayati
3.3.1.1 Kekayaan Jenis Burung Menggunakan Daftar Jenis MacKinnon
Daftar jenis ini disajikan dalam bentuk grafik, sumbu X adalah jumlah
daftar dan sumbu Y adalah jumlah jenis burung. Peningkatan jumlah burung
sejalan dengan peningkatan jumlah daftar, dan pada suatu titik kurva tersebut akan
mendatar (Robertson dan Liley 2000). Pendugaan kekayaan jenis ditentukan
secara visual, yaitu ketika kurva mulai mendatar.
3.3.1.2 Kelimpahan Satwa (Pi)
Kelimpahan Satwa didapat dari perhitungan jumlah dari setiap jenis
satwa yang ada dengan menggunakan rumus menurut (Van Balen 1984).
Penentuan nilai kelimpahan ini untuk mengetahui atau menetapkan jenis-jenis
satwa yang melimpah atau tidak.
Pi =Jumlah satwa spesies ke-i
Jumlah total satwa
Keterangan : Pi = indeks kelimpahan satwa
3.3.1.3 Indeks keanekaragaman jenis (H’)
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Maguran 2004) digunakan
untuk menghitung keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan:
H’ = - ∑ pi ln pi
Keterangan:
H’ = indeks keanekaragaman jenis
Pi = proporsi nilai penting
Ln = logaritma natural
Tabel 4 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener untuk mamalia,
burung, kupu-kupu, dan flora (Krebs 1978)
22
Nilai IndeksShanon-Wiener
Kategori
>3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi
1-3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang
< 1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah
3.3.1.4 Indeks kemerataan jenis (E’)
Ludwig dan Reynold (1998) menyatakan bahwa proporsi kelimpahan
jenis satwa dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan yaitu :
Kelimpahan E’ =
Keterangan :
J’ = Indeks kemerataan
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S = jumlah jenis
Penentuan indeks kemerataan ini berfungsi untuk mengetahui kemerataan
setiap jenis mamalia dalam areal pengamatan yang ditentukan, sehingga dapat
diketahui keberadaan dominansi jenis satwa.
3.3.1.5 Indeks Kesamaan Jenis (IS)
Indeks ini digunakan untuk melihat kesamaan komunitas jenis
satwa antar lokasi penelitian. Indeks yang digunakan adalah indeks
kesamaan jenis Jaccard (1901) (van Balen 1984; Krebs 1985).
IS =C
a + b + c
Keterangan: a = Jumlah jenis yang hanya terdapat di lokasi 1
b = Jumlah jenis yang hanya terdapat di lokasi 2
c = Jumlah jenis yang terdapat di lokasi 1 dan 2
Untuk melihat tingkat kesamaannya, digunakan dendogram dari
komunitas satwa antar lokasi. Penggunaan dendrogram ini akan mempermudah
dalam melihat hubungan antar lokasi.
3.3.1.6 Dominansi
23
Jenis satwa yang dominan di dalam kawasan penelitian, ditentukan
dengan menggunakan rumus menurut van Helvoort (1981), yaitu:
Di =Ni
X 100%N
Keterangan:
Di = indeks dominansi suatu jenis satwa
Ni = jumlah individu suatu jenis
N = jumlah individu dari seluruh jenis
Kriteria:Di = 0 - 2% jenis tidak dominan
Di = 2% - 5% jenis subdominan
Di = > 5% jenis dominan
Penentuan nilai dominansi ini berfungi untuk mengetahui atau
menetapkan jenis-jenis satwa yang dominan atau bukan. Hal ini berkaitan dengan
jenis satwa yang paling banyak ditemukan di lokasi penelitian.
3.3.1.7 Analisis Data Flora
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan strruktur
dari suatu lokasi. Untuk itu digunakan beberapa rumus berikut untuk mengetahui
informasi tersebut:
Kerapatan
Kerapatan Relatif
Frekuensi
Frekuensi relatif =
Dominansi =
24
Dominansi relatif =
INP = KR+FR (untuk tingkat semai dan pancang)
INP = KR+FR+DR (untuk tingkat tiang dan pohon)
3.3.1.8 Indeks Kesamaan Komunitas (IS)
Kesamaan tipe komunitas antar fragmen hutan ditentukan dengan
menggunakan indeks Sorensen (Meuller-Dombois & Ellenberg 1974 dalam
Poleng & Witono 2004) sebagai berikut :
Keterangan:
W = jumlah nilai penting terkecil suatu jenis di kedua komunitas
yang diperbandingkan
a = jumlah nilai penting semua jenis di salah satu komunitas
b = jumlah nilai penting semua jenis di komunitas lain yang
diperbandingkan.
3.3.2 Analisis Data Potensi Ekowisata
Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif. Analisis
tersebut akan menghasilkan kaitan antara potensi wisata yang ada di kawasan
TNLW dengan menajemen pengelolaan yang ada di TNLW serta pengembangan
ekowisata yang diharapkan di masa mendatang. Selain itu, data kebudayaan
masyarakat serta pengembangan ekowisata yang telah dilakukan oleh pengelola
juga dianalis secara deskriptif.
3.3.3 Analisis Data Kondisi Fisik Kawasan
Debit air sungai diukur dengan menggunakan Velocity method. Prinsip
metode ini yaitu dengan mengukur luas penampang sungai dan mengukur
kecepatan arus sungai. Pada prinsipnya adalah pengukuran luas penampang basah
dan kecepatan aliran. Penampang basah (A) diperoleh dengan pengukuran lebar
permukaan air dan pengukuran kedalaman dengan tongkat pengukur atau kabel
pengukur. Sedangkan untuk mengukur kecepatan aliran sungai dengan
menggunakan metode apung.
25
Formula untuk menghitung Debit air dengan Velocity Method yaitu
Q = V . A
3.3.4 Analisis Data Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional
Laiwangi Wanggameti
Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif dan studi
literatur. Hasil dari wawancara mengenai pengelolaan dan studi literatur yang
telah dilakukan kemudian dianalisis untuk kemudian dijabarkan secara deskriptif
dan diajukan beberapa rekomendasi mengenai permasalahan pengelolaan yang
ada dan rekomendasi arah pengembangan pengelolaan Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti.
26
Ket :Q = Debit air (m3/s)V= Kecepatan aliran sungai (m/s)A = Luas Penampang
BAB IV
HASIL
4.1 Keanekaragaman Hayati
4.1.1 Mamalia
Sebanyak 9 jenis mamalia berhasil terinventarisasi yang terbagi ke dalam
6 famili pada seluruh areal penelitian yang terbagi menjadi empat jalur
pengamatan dan beberapa areal diluar jalur pengamatan. Daftar jenis dan
penyebaran mamalia yang ditemukan di lokasi penelitian tersaji pada tabel 5.
Tabel 5 Jenis dan Penyebaran mamalia di lokasi pengamatan
No Family Nama Lokal Nama IlmiahJalur
Ditemukan Luar Jalur
Ket.1 2 3 4
1 Pteropodidae Codot Cynopterus sp √ √ ST Codot Kecil-Kelabu Penthetor lucasii √ ST2 Muridae Tikus Belukar Rattus sp √ ST3 Suidae Babi hutan Sus scrofa √ J
4 Viverridae Musang luwak Paradoxurus
hermaphroditus - - √ √ - ST, F
Musang Galing Paguma larvata - - - - - W, J Musang Akar Artogalidia trivigata - - - - - W5 Cervidae Rusa Timor Cervus timorensis - - - - - W, J6 Cercopithecidae Monyet ekor panjang Macaca fascicularis √ √ √ √ √ ST
Keterangan : ST = Strip Transect, W = Wawancara, J = Jejak (jejak kaki, cakaran, rambut, duri, dan sebagainya, F = Feses, LT = Life trap,
RA = Rapid Assesment, LS = Life Speciment, 1 = jalur Billa, 2 = jalur Praingkareha, 3 = jalur Katikuai dan 4 = jalur wW anggameti.
Berdasarkan hasil pengamatan lapang, keanekaragaman jenis mamalia
relatif rendah yaitu kurang dari 1 (Tabel 6). Sementara bila dilihat dari
kelimpahan jenis, maka jenis yang paling melimpah adalah monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis), sementara jalur yang memiliki kelimpahan mamalia
terbanyak yaitu di jalur Wwanggameti. (Tabel 7).
Tabel 6 Indeks Keanekaragaman dan kemerataan jenis mamalia
NoJalur
pengamatan Nama Lokal Nama ilmiah H’ E’
1
Jalur 1
Codot Cynopterus sp 4
0,89 0,782 Babi hutan Sus scrofa 13 Monyet ekor
panjangMacaca fascicularis 4
4
Jalur 2
Codot Kecil-Kelabu
Penthetor lucasii 6
0,76 0,895 Monyet ekor
panjang Macaca fascicularis 5
6 Jalur 3 Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 2 0,74 0,76
27
7 Monyet ekor panjang
Macaca fascicularis 6
8
Jalur 4
Codot Cynopterus sp 2
0,97 0,639 Tikus Belukar Rattus sp 110 Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 211 Monyet ekor
panjang Macaca fascicularis
8
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman jenis, E’ = Indeks kesamaan jenis.
Berikut disajikan kondisi kelimpahan setiap jenis mamalia pada lokasi
pengamatan (Tabel 7).
Tabel 7 Kelimpahan relatif setiap jenis pada tiap jalur pengamatan
No Jalur pengamatan Nama Lokal Nama ilmiah KR (%)
1Jalur 1
Codot Cynopterus sp 4 44,42 Babi hutan Sus scrofa 1 11,23 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 4 44,4
jumlah 9 1004
Jalur 2Codot Kecil-Kelabu Penthetor lucasii 6 54,55
5 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 5 46,45Jumlah 11 100
6Jalur 3
Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 2 0,257 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 6 0,75
Jumlah 8 1008
Jalur 4
Codot Cynopterus sp 2 15,389 Tikus Belukar Rattus sp 1 7,6910 Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 2 15,3811 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis 8 61,53
Jumlah 13 100Keterangan : KR = Kelimpahan relatif mamalia tiap jalur
Dari 9 jenis mamalia yang ditemukan maka hanya satu jenis yang masuk
dalam kategori dilindungi oleh Pemerintah Indonesia yaitu Rusa Timor (Tabel 8),
sementara 3 jenis masuk kategori appendix II CITES yaitu Musang akar
(Artogalidia trivigatra), Rusa timor (Cervus Timorensis) dan Monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis). Sedangkan 4 jenis mamalia masuk dalam kategori
daftar merah CITES yang berstatus Vurnerable yaitu babi hutan (Sus scrofa),
musang luwak (Paradoxurus hermaporditus), rusa timor (Cervus timorensis) dan
musang akar (Artogalidia trivigatra). (tabel 8).
28
Tabel 8 Jenis – jenis mamalia di TNLW yang termasuk dalam kategori daftar
merah IUCN, serta appendiks CITES dan perlindungan RI berdasarkan PP
Nomor 7 Tahun 1999
No Family Nama Lokal Nama Ilmiah IUCN CITES PP No.7 1 Pteropodidae Codot Cynopterus sp Lc - - Codot Kecil-Kelabu Penthetor lucasii - - -2 Muridae Tikus Belukar Rattus sp - - -3 Suidae Babi hutan Sus scrofa Vu - -4 Viverridae Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus Vu - - Musang Galing Paguma larvata Lc - - Musang Akar Artogalidia trivigata Vu II -5 Cervidae Rusa Timor Cervus timorensis Vu II P
6 Cercopithecidae Monyet ekor panjang
Macaca fascicularis Lc II -
Keterangan :
CITES : Appendiks CITES, IUCN : daftar merah IUCN, PP no 7 : Dilindungi PP No.7 tahun 1999
tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, VU : Vulnerable, , LC : Least concern, I :
Appendix I, II : Appendix II, 1 :
4.1.2 Burung
Total jenis burung yang dijumpai selama penelitian adalah 57 jenis,
terdiri atas 28 suku yang dihasilkan dari 18 daftar jenis MacKinnon. Berikut
adalah kurva penemuan jenis burung yang diperoleh dengan menggunakan
metode daftar jenis MacKinnon dari jalur pengamatan (Gambar 13).
Gambar 13 Kurva penemuan jenis burung dengan Metode Daftar Jenis MacKinnon.
29
Suku yang memiliki jenis paling banyak yaitu Psittacidae sebanyak 6
jenis. Sisanya terdiri dari satu hingga tiga jenis setiap suku (Gambar 14).
Gambar 14 Grafik kekayaan jumlah suku burung.
Jumlah jenis burung yang paling banyak ditemukan yaitu pada jalur
pengamatan Praingkareha dengan jumlah 18 jenis, sedangkan jenis yang paling
sedikit dijumpai pada jalur pengamatan Katikuai dengan jumlah 8 jenis. (Tabel 9)
Tabel 9 Penemuan jenis burung per lokasi pengamatan
Jalur Suku Jenis Individu
Wundut 11 15 66
Katikuai 8 8 93
Wanggameti 9 10 63
Billa 14 16 88
Praingkareha 12 18 101Setiap jenis burung yang teramati menunjukkan jumlah yang bervariasi.
Jumlah individu yang ditemukan adalah 411 individu. Pada setiap lokasi
penelitian didapat nilai kelimpahan jenis burung yang berbeda. Kelimpahan relatif
jenis burung pada seluruh lokasi penelitian berkisar antara 0.01-0.65. Nilai
terendah 0,01 ditemukan di jalur praingkareha, sedangkan nilai tertinggi 0,65
(Tabel 10).
Tabel 10 Kisaran nilai kelimpahan jenis burung
No Lokasi Nilai Kelimpahan
1 Wundut 0,02 - 0,26
2 Katikuai 0,01 - 0,65
3 Wanggameti 0,02 - 0,25
30
4 Billa 0,01 - 0,30
5 Praingkareha 0,01 - 0,16
Dari 44 jenis burung yang di jumpai terdapat lima jenis burung yang
termasuk kategori dominan, enam jenis termasuk kategori sub-dominan dan 33
jenis termasuk kategori tidak dominan. Nilai dominasi yang didapat berkisar
antara 0,24-21,17%. jenis burung yang paling mendominasi adalah Collocalia
esculenta yaitu sebesar 21,17% (Tabel 11).
Tabel 11 Nilai dominansi jenis burung
NoKategori dominansi
Nilai dominansi Jenis burung
1 Dominan 21,17 Collocalia esculenta17,27 Trichoglossus capistratus fortis10,226,60
Trichoglossus haematodusPhilemon buceroides
6,33 Zosterops citrinellus2 Sub dominan 3,89 Rhyticeros everetti
3,89 Lonchura quinticolor3,65 Corvus macrorhynchos2,43 Tanygnathus megalorynchos2,43 Terpsiphone paradisi2,19 Dicrurus densus
3 tidak dominan 1,94 Ducula aenea1,70 Rhipidura rufifrons squamata1,46 Oriolus chinensis1,22 Merops ornatus1,22 Anthus gustavi0,97 Eclectus roratus0,97 Nectarinia buettikoferi0,73 Gallus gallus0,73 Macropygia ruficeps0,73 Geoffrovus geoffroyi0,73 Cacomantis variolosus0,49 Haliastur indus0,49 Gallus varius0,49 Ducula concinna0,49 Trichoglossus euteles0,49 Cacatua sulphurea citrinocristata0,49 Centropus bengalensis0,49 Coracina dohertyi0,49 Rhipdura fusco rufa
31
0,49 Pachycephala pectoralis0,24 Milvus migrans0,24 Cacomantis sepulcralis0,24 Anthus novaeseelandiae0,24 Brachypteryx leucophrys0,24 Orthotomus sepium0,24 Ficedula harterti0,24 Rhipidura javanica0,24 Aplonis minor0,24 Nectarinia jugularis0,24 Nectarinia solaris0,24 Dicaeum trochileum0,24 Lonchura punctulata0,24 Megapodius reintwardtii
Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis burung (H’) di TNLW sebesar 2,83.
Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis burung (H’) tertinggi adalah di jalur
Praingkareha yaitu sebesar 2,50. Sedangkan Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis
burung (H’) terendah adalah di jalur Katikuai yaitu sebesar 1,13. Nilai Indeks
Kemerataan Jenis burung (E’) di TNLW yaitu sebesar 0,75. Nilai Indeks
Kemerataan Jenis burung (E’) yang tertinggi yaitu di jalur Praingkareha sebesar
0,86 (Tabel 12).
Tabel 12 Nilai indeks keanekaragaman jenis burung dan indeks kemerataan pada
tiap lokasi pengamatan.
No LokasiKetinggian(mdpl
) H' E1 Praingkareha 300-400 2.50 0.862 Billa 300-400 2.10 0.763 Katikuai 900-1000 1.13 0.544 Wundut 1001-1100 2.15 0.795 Wanggameti 1001-1100 1.9 0.82Jenis burung yang tercatat pada setiap tipe habitat memiliki kesamaan
jenis dengan burung yang ditemukan di habitat lain. Indeks kesamaan jenis
burung dan dendrogram menunjukkan seberapa besar kesamaan antar komunitas
burung di lokasi penelitian. Lokasi yang memiliki indeks kesamaan paling tinggi
adalah jalur pengamatan Katikuai dan Wanggameti sebesar 16% (Tabel 13).
32
Tabel 13 Indeks kesamaan jenis burung pada setiap lokasi pengamatan
Wundut Katikuai Wanggameti Billa PraingkarehaWundut 1 0,08 0,10 0,14 0,11Katikuai 1 0,17 0,07 0,16Wanggameti 1 0,13 0,13Billa 1 0,13praingkareha 1
Untuk memudahkan dalam ilustrasi tingkat kesamaan jenis burung antar
lokasi, maka disajikan dalam bentuk dendogram di bawah ini: (Gambar 15).
Gambar 15 Dendrogam kesamaan jenis burung antar lokasi.Pada lokasi penelitian ditemukan 5 jenis merupakan endemik kawasan
Sumba dan 19 jenis merupakan subendemik kawasan Sumba (Tabel I4). Jenis
yang merupakan endemik Sumba adalah burung-madu Sumba (Nectarinia
buettikoferi), julang Sumba (Rhyticeros everetti), kakatua kecil jambul jingga
(Cacatua sulphurea citrinocristata), myzomela kepala merah (Myzomela
dammermani), dan sikatan Sumba (Ficedula harterti).
Burung-burung yang termasuk subendemik kawasan Sumba diantaranya
adalah Betet-kelapa paruh-besar (Tanygnathus megalorynchossumbanensis),
Bondol peking (Lonchura punctulata sumbae), danCikukua Tanduk (Philemon
buceroides neglactus) (Tabel 14).
33
Tabel 14 Jenis-jenis burung endemik dan subendemik Sumba di TNLW
Nama jenis Endemisitas Nama jenis EndemisitasBetet-kelapa paruh-besar Es Kancilan emas EsBondol peking Es Kepudang kuduk-hitam EsBubut alang-alang Es Myzomela kepala merah EBurung-madu sumba E Nuri bayan EsCikukua tanduk Es Nuri pipi-merah EsDecu belang Es Pergam hijau EsElang bondol Es Perkici pelangi EsElang paria Es Seriwang asia EsGagak kampung Es Sikatan sumba EJulang sumba E Srigunting wallacea EsKacamata limau Es Uncal kouran EsKakatua kecil jambul jingga E Wiwik uncuing Es
Keterangan : E (Endemik), Es (Sub Endemik)
Terdapat 12 jenis burung yang dilindungi menurut UU No. 5 Tahun 1990
, 15 jenis dilindungi menurut PP No. 7 Tahun 1999, 11 jenis termasuk ke dalam
daftar CITES (Appendix I & Appendix II) dan 3 jenis termasuk dalam kategori
kriteria kelangkaan IUCN (Tabel 15)
Tabel 15 Jenis-jenis burung yang ditemui di TNLW dan masuk kategori daftar
merah IUCN, appendiks CITES dan dilindungi oleh perundangan Indonesia
No Nama jenisKategori
IUCN App Indonesia1 Betet-kelapa paruh-besar II2 Burung-madu matari B3 Burung-madu sriganti AB4 Burung-madu sumba B5 Cikukua tanduk AB6 Cikukua timor AB7 Elang bondol II AB8 Elang paria II AB9 Gagak kampung AB10 Gelatik jawa VU II11 Julang sumba VU II AB12 Kakatua kecil jambul jingga CR I AB13 Kipasan belang AB14 Myzomela kepala merah AB15 Nuri bayan II AB
34
16 Nuri pipi-merah II17 Perkici orange II18 Perkici pelangi II19 Perkici timor II20 Perling kecil AB21 Burung gosong kaki merah B
Keterangan : CITES: Appendix I dan II, IUCN : rentan (Vulnerable; VU), kritis (Critically Endangered; CR), A (UU No. 5 Tahun 1990), B
(PP No. 7 Tahun 1999).
4.1.3 Kupu-Kupu
Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil inventarisasi kupu-kupu di
Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti ditemukan sekitar 40 jenis kupu-kupu
dengan rincian 21 jenis ditemukan di SPTN I dan 25 jenis di SPTN II.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan keanekaragaman jumlah jenis tiap-tiap
jalur yaitu 17 jenis di Praingkareha, 7 jenis di Billa, 16 jenis di Hutan
Wanggameti dan 14 jenis di Desa Katikuai/Hutan Ampupu (Tabel 16).
Jumlah jenis yang didapatkan ini terbagi menjadi 7 jenis termasuk ke
dalam famili Pieridae (27 individu), 24 jenis dalam famili Nymphalidae (38
individu), 6 jenis dalam famili Papilionidae (15 individu) dan 3 jenis tak
teridentifikasi (3 individu). Selama pengamatan ditemukan satu spesies kupu-
kupu endemik, yaitu Papilio neumoegenii dan merupakan jenis papilio yang
jumlahnya paling dominan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Tabel 16 Jenis kupu-kupu yang terdapat di Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti
No. Nama SpesiesJalur Pengamatan
JumlahHutan Wanggameti
Katikuai Praingkareha Billa
Famili Pieridae1 Eurema hecabe 4 3 5 2 142 Eurema sari sari 3 2 53 Appias paulina 1 14 Appias albino 1 15 Catopsilia pyranthe 1 1 26 Catopsilia Pomona 2 27 Catopsilia Scylla 1 1 2
Famili Nymphalidae1 Neptis clinioides 2 22 Parantica agleoides 2 2
35
3 Ypthima baldus horsfieldi
1 1 2
4 Parantica sp. 1 15 Parantica sp.* 2 26 Cirrochroa erymanthis 2 27 Junonia iphita 1 18 Neptis miah 1 19 Euploea sp. 2 2 410 Athyma perius 1 111 Junonia hedonia 1 112 Mycalesis fuscum 1 1 2
1314
Famili NymphalidaeCethosia penthesileaParantica limniace
11 1 1
13
15 Orsotriaena medus 1 116 Danaus sp. 1 117 Ideopsis sp. 3 318 Ideopsis sp.* 1 119 Cethosia hypsea 1 120 Euploea sp.* 1 121 Euploea sp.** 1 122 Euploea Eunice 2 223 Danaus chrysippus 1 124 Junonia atlites 1 1
Famili Papilionidae1 Papilio memnon 1 12 Papilio neumoegenii 2 2 3 73 Papilio helenus 2 1 34 Papilio polytes 2 25 Papilio Acheron 1 16 Pachliopta
aristolochiae1 1
Tak teridentifikasi1 X 1 12 Y 1 13 Z 1 1
Total individu 27 19 29 8 83Total jenis 16 14 17 7
Berdasarkan hasil pengamatan dan rekapitulasi data, ditemukan bahwa
jumlah jenis kupu-kupu di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti banyak
tergolong dalam family Nymphalidae. Jumlah jenis yang ditemukan untuk famili
Nymphalidae adalah 24 jenis kupu-kupu (Gambar 16).
36
Gambar 16 Perbandingan jumlah jenis tiap famili.
Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan nilai indeks
keanekaragaman jenis kupu-kupu pada empat jalur pengamatan. Nilai indeks
keanekaragaman yang paling tinggi didapatkan di jalur Praingkareha dengan nilai
2.67 dan nilai paling rendah terdapat di jalur Billa yaitu 1.91 (Tabel 17).
Tabel 17 Nilai indeks keanekaragaman kupu-kupu
No. JalurNilai Indeks
Keanekaragaman1. Praingkareha 2.672. Billa 1.913. Hutan Wanggameti 2.664. Katikuai/Hutan Ampupu 2.55
Nilai indeks keanekaragaman yang didapatkan di tiap jalur
mengindikasikan bahwa tingkat keanekaragaman kupu pada jalur-jalur tersebut
tergolong sedang. Namun, untuk indeks keanekaragaman dalam satu kawasan
Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti didapatkan nilai sebesar 3,34. Sedangkan
untuk hasil perhitungan indeks kemerataan (Evenness) didapatkan hasil yang
hampir sama di lokasi Praingkareha, Billa, Wanggameti dan Katikuai/Hutan
Ampupu (Gambar 17). Menurut hasil nilai indeks yang didapatkan ini berarti
bahwa setiap jenis memiliki jumlah individu yang tidak berbeda jauh dengan
jumlah yang hampir merata tiap jenisnya.
37
Gambar 17. Nilai Indeks Kemerataan
Berdasarkan data keanekaragaman jenis kupu yang didapatkan, terdapat
dua jenis kupu-kupu yang termasuk ke dalam status keterancaman IUCN Red List
of Butterfly. Kupu-kupu tersebut diantaranya adalah Papilio Acheron yang
termasuk dalam kategori Least concern (LC) dan Papilio neumoegenii yang
termasuk dalam kategori Vulnerable (V). Jenis Papilio neumoegenii ini
merupakan salah satu jenis kupu-kupu endemik Sumba yang populasi masih dapat
digolongkan banyak di alam.
4.1.4 Flora
Berdasarkan hasil analisis vegetasi secara keseluruhan dari tiga lokasi
pengamatan, ditemukan sebanyak 120 jenis tumbuhan, 40 famili dengan 32 jenis
yang belum teridentifikasi. Jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah
laru (Garcinia dulcis Kurz.) (47,76%), pada tingkat pancang juga didominasi oleh
laru (Garcinia dulcis Kurz.) (12,91%), pada tingkat tiang didominasi oleh wata
kamambi (Psychotria sp.) (24,14%), dan pada tingkat pohon didominasi oleh
manjangi (Kleinhovia hospita Linn.) (38,44%). Sedangkan pada taraf famili,
didominasi oleh famili Euphorbiaceae dengan jumlah jenis ditemukan sebanyak
12 jenis, kemudian Rubiaceae sebanyak 7 jenis dan Meliaceae sebanyak 6 jenis.
Berikut adalah sebaran jumlah jenis pada tiap famili yang ditemukan selama
pengamatan (Gambar 18).
38
Gambar 18 Sebaran jumlah jenis tumbuhan berdasarkan famili.Untuk hasil analisis vegetasi pada tiap lokasi pengamatan, jenis-jenis
dengan INP tertinggi pada tiap tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Jenis-jenis tumbuhan dengan INP terbesar pada tiap tingkat
pertumbuhan di tiap lokasi pengamatan
Tingkat pertumb
uhanNama Lokal Nama Ilmiah
INP (%) Tiap Lokasi Pengamatan
Wudi pandak
BillaWanggam
etiSemai Wata kamambi Psychotria sp. 52,91 - -
Langaha Planchonia valida Blume - 27,75 -Laru Garcinia dulcis Kurz. - - 77,18
Pancang Kiru Dysoxylum arborescens Miq. 23,17 - -Karakaka Aphanamixis polystachya
(Wall.) R.N. Parker/grandiflora Blume
- 19,23 -
Laru Garcinia dulcis Kurz. - - 22,35Tiang Karunding Pterocymbium javanicum
R.Br.30,50 - -
Wata kamambi Psychotria sp. - 77,91 -Murungiha Ternstroemia elongata
(Korth.) Koord.- - 29,71
Pohon Halai - 52,13 - -Manjangi Kleinhovia hospita Linn. - 92,86 -Murungiha Ternstroemia elongata
(Korth.) Koord.- - 26,68
Sebaran jumlah jenis dan famili dari tiap tingkat pertumbuhan pohon
secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 19 dan jumlah jenis dan famili dari
tiap tingkat pertumbuhan pohon pada tiap lokasi pengamatan dapat dilihat pada
Gambar 20.
39
Gambar 19 Sebaran jumlah jenis dan famili dari tiap tingkat pertumbuhan pohon secara keseluruhan
Gambar 20 Sebaran jumlah jenis dan famili dari tiap tingkat pertumbuhan pohon pada tiap lokasi pengamatan.
Jumlah jenis dan famili terbanyak ditemukan pada tingkat pancang
sebanyak 82 jenis tumbuhan dari 35 famili, sedangkan jumlah jenis dan famili
yang paling sedikit ditemukan pada tingkat tiang sebanyak 53 jenis tumbuhan dari
27 famili.
Jumlah jenis dan famili terbanyak dari tiap tingkat pertumbuhan terdapat
di lokasi Wanggameti. Untuk tingkat pancang terutama pada lokasi Wanggameti
terdiri dari jumlah jenis da famili yang jauh lebih tinggi dibanding lokasi lain dan
tingkat pertumbuhan pohon lainnya. Sedangkan tingkat tiang terutama pada lokasi
Billa terdiri dari jumlah jenis dan famili yang jauh lebih sedikit dibanding lokasi
lain dan tingkat pertumbuhan pohon lainnya.
40
Berikut ini adalah tabel sebaran jumlah pohon berdasarkan distribusi
kelas diameter (Tabel 19) dan grafik perbandingannya pada tiap lokasi
pengamatan (Gambar 21).
Tabel 19 Sebaran jumlah pohon berdasarkan distribusi kelas diameter
No.Kelas
diameter (cm)
Wudi pandak Billa Wanggametikerapatan (ind/ha)
% kerapatan (ind/ha)
% kerapatan (ind/ha)
%
1 10-19 353,33 76,81 133,33 37,24 264,00 54,892 20-29 45,00 9,78 55,00 15,36 129,00 26,823 30-39 38,33 8,33 63,33 17,69 50,00 10,404 40-49 10,00 2,17 23,00 6,42 20,00 4,165 50-59 3,33 0,72 31,67 8,85 8,00 1,666 60-69 3,33 0,72 16,67 4,66 3,00 0,627 70-79 1,67 0,36 6,67 1,86 2,00 0,428 80-89 0,00 0,00 13,33 3,72 1,00 0,219 90-99 0,00 0,00 6,67 1,86 4,00 0,8310 >100 5,00 1,09 8,33 2,33 0,00 0,00
Total 460 100 358 100 481 100
Gambar 21 Sebaran jumlah pohon berdasarkan kelas diameter pada tiga lokasi pengamatan
Pada Gambar 21 terlihat bahwa pada lokasi Wudi pandak dan
Wanggameti susunan grafik sebaran jumlah pohon berdasarkan kelas diameter,
memiliki bentuk seperti huruf “J” terbalik atau jumlah terbanyak ditemui pada
kelas diameter rendah (10-19 cm) dan jumlahnya terus menurun sebanding
dengan pertambahan kelas diameter. Sedangkan pada lokasi Billa sebaran jumlah
pohon berdasarkan kelas diameter memiliki bentuk yang tidak seperti huruf “J”
terbalik.
41
Berdasarkan hasil analisis vegetasi dan perhitungan keanekaragaman
jenis menurut indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’), diketahui secara
keseluruhan indeks keanekaragaman jenis tumbuhan di Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti relatif tinggi yaitu bernilai diatas 2,89 (Gambar 22). Dan Sementara
itu berdasarkan perhitungan indeks kemerataan jenis (E), diketahui secara
keseluruhannilai indeks kemerataan jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan
lebih dari 0,5 sampai mendekati 1, seperti yang dapat terlihat pada Gambar 23.
Gambar 22 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada tiap tipe pertumbuhan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Gambar 23 Indeks kemerataan jenis tumbuhan pada tiap tipe pertumbuhan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Pada Gambar 22 terlihat bahwa tingkat keanekaragaman pada tingkat
semai tergolong sedang (2,89), tingkat keanekaragaman pada tingkat pancang
tergolong tinggi (3,96), tingkat keanekaragaman pada tingkat tiang tergolong
tinggi (3,74), dan tingkat keanekaragaman pada tingkat pohon tergolong tinggi
(3,72). Pada Gambar 23 terlihat bahwa nilai kemerataan tertinggi terdapat pada
tingkat tiang (0,94) sedangkan nilai kemerataan terendah terdapat pada tingkat
semai (0,71).
42
Selain secara keseluruhan, indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan
jenis juga dapat dipisahkan berdasarkan lokasi pengamatan. Berikut adalah indeks
keanekaragaman dan kemerataan jenis pada tiap lokasi pengamatan (Tabel 20).
Tabel 20 Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis pada tiap lokasi
pengamatan
Tingkat pertumbuhanH' E
Wudi pandak
Billa Wanggameti
Keseluran Wudi pandak
Billa Wanggameti
Keseluruhan
Semai 2,35 2,9 2 0,83 0,88 0,58Pancang 3,1 3,14 3,4 0,93 0,93 0,86Tiang 3,01 2,29 3,2 0,9 0,92 0,95Pohon 2,79 2,37 3,3 0,88 0,71 0,91
Ket: H’= indeks keanekaragaman jenis, E= Indeks kemerataan jenis
Pada Tabel 21 terlihat bahwa keanekaragaman jenis tertinggi terdapat di
lokasi Wanggameti pada tingkat pancang sebesar 3,4 (keanekaragaman tinggi),
sedangkan keanekaragaman jenis terendah juga terdapat pada lokasi Wanggameti
namun pada tingkat semai sebesar 2 (keanekaragaman sedang). Untuk nilai
kemerataan tertinggi terdapat pada tigkat tiang di Wanggameti (0,95) dan nilai
kemerataan terendah juga terdapat di Wanggameti pada tingkat semai (0,58).
Sehingga secara umum, nilai kemerataan di Wanggameti cenderung lebih rendah
dibandingkan dua lokasi lainnya.
Berdasarkan analisis data terhadap jenis-jenis yang ditemukan pada tiga
lokasi pengamatan dan keterkaitan dari tiga lokasi tersebut terhadap jenis-jenis
yang sama, dapat diketahui indeks kesamaan komunitas (IS) dari tiap lokasi pada
tiap tingkat pertumbuhan. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa secara
keseluruhan tidak ada indeks diatas 50%. Nilai tertinggi hanya sebesar 47,64%
pada tingkat semai antara lokasi Billa dan Wudi pandak. Sedangkan nilai terendah
sebesar 2,92% pada tingkat pohon antara lokasi Billa dan Wanggameti.
4.2 Kondisi fisik kawasan
Berdasarkan hasil pengamatan kondisi fisik kawasan Taman Nasional
Laiwangi wanggameti diketahui bahwa hasil pengukuran terhadap suhu udara di
lokasi sampel didapatkan data suhu udara berkisar 22o-28o C (tabel 22). Sementara
itu pengamatan debit dan kualitas air sungai dapat diketahui bahwa debit air
sungai yang terbesar adalah sungai Katikuai yang berada di SPTN II TNLW.
43
Tabel 21 Hasil pengamatan suhu (0C) dan kelembaban udara (%) di TNLW
Tabel 22 Hasil Pengukuran Debit Air di Sungai Laironja, Sungai Katikuai dan
Sungai Laputi Taman Nasional Laiwangi Wanggameti
Sungai (m3/s) (m3/jam) (m3/hari) (m3/tahun)
Laironja 1,03 3697,56 88741,44 31946918,4Katikuai 6,54 23555,19 565324,79 203516924,5Laputi 6,15 22132,63 531183,17 191225940,5
Selain debit air, dilakukan pula pengukuran kualitas air di ketiga sungai
di atas. Kualitas air yang diukur antara lain yaitu pH, kejernihan, bau, rasa air.
Hasil dari pengukuran kualitas air tersebut yaitu :
Tabel 23 Kualitas Air Sungai Katikuai, Sungai Laironja dan Sungai Laputi
NoNama Sungai
Kondisi cuaca
Debit (m3
detik -1) pHKejernihan air
Bau airWarna air
Rasa air
1Sungai Laironja
Cerah 1,027 6 JernihTidak berbau
Bening tawar
2Sungai Katikuai
Cerah 6,54311 6 JernihTidak berbau
Bening tawar
3Sungai Laputi
Cerah 6,1479 7 JernihTidak berbau
Bening tawar
Sementara itu pengamatan biofisik yang dilakukan di kawasan Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti antara lain yaitu sifat fisik dan kimia tanah. Dari
pengamatan ini diketahui bahwa jenis tanah TNLW yaitu Grumosol (tabel 24)
Tabel 24 Pengamatan sifat fisik dan kimia tanah
No Sifat Tanah Hasil Pengamatan1 Jenis tanah Grumosol2 Struktur tanah Granuler 4 Tekstur tanah Lempung pasiran5 Sifat kimia tanah
a. Ph 6,8b. KTK Tinggi
44
Lokasi Di Bawah Tegakan Tanpa NaunganKelembaban udara
rata-rata
Wanggameti 84,17 80,33 82, 20
Praingkareha 90,45 89,33 89, 89
4.3 Potensi Ekowisata
Keindahan alam TNLW didominasi oleh perbukitan dengan padang
rumputnya yang luas serta adanya hutan yang tergolong masih lebat di bagian
lainnya. Panorama padang rumput dipadukan dengan banyaknya ternak yang
mencari pakan juga menjadi hal yang menarik. Selain itu, perpaduan substrat
antara tanah dan batu karang yang belum mengalami pelapukan membuat suatu
keunikan yang ada di TNLW. Selain itu, hutan pegunungan bawah yang rindang
dan sejuk menjadi sisi lain kawasan TNLW. Keindahan alam tersebut dapat juga
dinikmati sebelum memasuki kawasan.
a) b)
Gambar 24 Topografi yang bergelombang menjadi daya tarik wisata yang
menarik di TNLW
Berdasarkan hasil observasi, paling tidak dapat diidentifikasi 6 obyek
dalam kawasan yang bisa menjadi daya tarik wisata yaitu air terjun Laputi, danau
Laputi, goa, situs makam nenek moyang, puncak Wanggameti, dan Watu
Munggu-Leimbona.
4.3.1 Air Terjun Laputi
Air terjun Laputi terletak di dalam kawasan Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti. Namun, untuk mencapai lokasi ini, pengunjung harus melalui desa
Praingkareha yang berbatasan dengan kawasan. Laputi berasal dari bahasa Sumba
yang berarti air yang terputar. Air terjun ini memiliki beberapa tingkat dengan
ketinggian lebih dari 100 m. Air terjun ini juga dapat terlihat dari luar kawasan
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (gambar 24).
45
a) b)Gambar 25 a) Air terjun Laputi, b) Salah satu tingkat dari air terjun Laputi.
Air terjun ini, menurut cerita, berasal dari dua mata air yang kemudian
melewati danau Laputi. Sejarah terbentuknya mata air yang menjadi asal dari
danau dan air terjun Laputi merupakan cerita turun-temurun masyarakat Desa
Praingkareha.
Dahulu kala, dua orang yang berasal dari suku Tabundung dan suku
Tidas berburu babi di wilayah yang sekarang menjadi kawasan taman nasional.
Namun, perburuan itu tidak berhasil. Mereka tidak mendapatkan buruan berupa
babi yang mereka inginkan. Mereka kelelahan dan akhirnya beristirahat di batu
karang.
Pada saat itulah, hinggap burung dara di sekitar mereka. Burung dara
tersebut kemudian dilempar dengan batu, dibakar lalu dimakan. Setelahnya
mereka merasa kehausan. Karena tidak ada air, mereka kemudian melakukan
Hamayang (sembahyang) seraya menancapkan tongkat yang mereka bawa ke arah
batu karang. Kemudian muncul dua buah mata air dari batu karang tersebut. Mata
air yang keluar menghadap arah utara dan selatan.
Mata air melambangkan mata burung dara. Air yang mengalir menuju
Danau Laputi melambangkan leher burung dara. Danau Laputi melambangkan
badan burung dara. Air terjun Laputi melambangkan ekor burung dara dan
kotoran burung dara yang jatuh ke bawah..
4.3.2 Danau Llaputi
Danau Laputi terletak tidak jauh dari air terjun Laputi. Danau ini
memiliki warna yang indah, yaitu biru kehijauan. Danau ini memiliki sejarah yang
tidak terlepas dari sejarah air terjun Laputi. Danau ini memiliki keunikan lain,
46
yaitu terdapat Apu, sejenis belut yang dikeramatkan masyarakat sekitar kawasan
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, terutama masyarakat kecamatan
Tabundung (Gambar 26). Menurut bahasa setempat, apu berarti nenek.
Keberadaannya di danau Laputi, menurut cerita dilepaskan secara sengaja oleh
nenek moyang untuk menjaga agar mata air tetap terjaga. Apu dapat muncul
apabila dipanggil dengan memberikan makanan berupa biskuit atau nasi kedalam
air seraya memanggil “apuuuuuu.....”.
Apu tidak boleh disebut secara sembarangan apalagi dimakan. Apabila
ada yang memanggil apu secara sengaja maka akan terjadi bencana atau musibah
bagi orang yang memanggil tersebut. Begitu pula apabila ada yang memakan apu.
Ada cerita yang menyebutkan masyarakat diperbolehkan memakan apu, apabila
apu tersebut telah turun dari air terjun Laputi. Namun, masyarakat sekitar
terutama masyarakat desa Praingkareha tidak akan memakan apu, karena menurut
cerita apu yang dimakan akan berubah rasa seperti rasa darah manusia.
a) b)
Gambar 26 a) Danau Laputi, b) Apu (belut raksasa di danau Laputi)
4.3.3 Goa
Goa ini berada tidak jauh dari lokasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL) yang berjarak sekitar ± 500 m. Akses untuk menuju goa tersebut cukup
sulit karena belum terdapat jalur khusus yang dibuat. Artinya, jalur yang dilalui
masih hutan dan tidak ada sama sekali jalur setapak. Selain itu, lokasinya yang
dibalik bukit, cukup menguras stamina untuk mencapainya. Goa ini memiliki
keunikan yang tidak dapat ditemukan ditempat lain. Keunikan tersebut
diantaranya goa ini lebih cenderung seperti ceruk namun alami. Ceruk yang
47
sangat besar memiliki diameter ceruk ± 300 m dan substratnya yang lembab dan
berpasir laut menjadi nilai tambah goa tersebut.
Gambar 27 Luas ceruk
Keunikan lainnya adalah terdapat beberapa stalagmit yang menurut orang
sekitar dulunya sangat mirip dengan bunda maria dan hingga saat ini stalagmit
tersebut masih ada namun dengan terjadinya proses alami yang mengakibatkan
keroposnya Stalagmit tersebut pendapat masyarakat tersebut sudah mulai hilang
(Gambar 28).
a) b)
Gambar 28 a) deretan stalagmit yang menyerupai bunda maria, b) Mulut Goa
Goa ini menurut penduduk sekitar konon dahulunya digunakan untuk
tempat tinggal nenek moyangnya. Dengan bentukan ceruk yang dapat melindungi
manusia dari hujan dari panasnya matahari maka dapat dimungkinkan ceruk ini
digunakan oleh orang dulu sebagai tempat tinggal.
48
4.3.4 Situs Makam Nenek Moyang (RHL)
Situs makam nenek moyang terletak di dalam kawasan Taman Nasional
Laiwangi Wanggameti. Situs ini terlihat hanya berupa tumpukan batu yang
terdapat di areal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Namun, tempat ini
merupakan salah satu peninggalan kebudayaan masyarakat sekitar kawasan
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Gambar 29 Makam nenek moyang di areal RHL.
Balai TNLW memasukkan lokasi ini menjadi zona religi. Peruntukan
zona ini adalah untuk melindungi nilai-nilai hasil karya budaya, sejarah, dan
keagamaan masyarakat Sumba. Zona ini, dahulu merupakan bekas pemukiman
suku Tidas. Suku Ttidas kini mendiami desa Praingkareha dan desa Wudi pandak.
Keduanya merupakan desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNLW.
4.3.5 Puncak Wanggameti
Puncak Wanggameti merupakan titik teringgi yang ada di wilayah Taman
Nasional Laiwangi-Wanggameti, yaitu 1225 mdpl. Terdapat tiga jalur yang dapat
digunakan untuk mencapai puncak Wanggameti. Jalur pertama yaitu melewati
Tamma, jalur kedua melalui kampung Pahulu Bandil, serta jalur ketiga melalui
kampung Laironja. Tempat-tempat yang harus dilalui sebelum sampai di puncak
Wanggameti tersaji pada Gambar 30.
49
Gambar 30 Bagan Jalur-jalur menuju puncak Wanggameti.
Danau Paberiwai yang merupakan salah satu jalan menuju puncak
Wanggameti memiliki sejarah yang menarik. Dahulu kala, ada dua orang nenek
yang akan berburu. Salah satu diantara mereka kehausan dan tidak membawa air
minum. Nenek tersebut minum tanpa seizin nenek yang membawa air. Kemudian
terjadi pertengkaran diantara keduanya yang menghasilkan kesepakatan.
Keduanya bersepakat untuk menumpahkan sebagian air dan kemudian menjadi
danau. Danau tersebut diberi nama Paberiwai.
Selain itu juga terdapat cerita mengenai tata cara mendaki puncak
Wanggameti. Di lokasi yang bernama 7 tangga Wanggameti, pendaki tidak
diperbolehkan untuk beristirahat karena terdapat pantangan untuk tidak berteriak.
Apabila pantangan tersebut dilanggar, maka akan terjadi malapetaka disepanjang
perjalanan menuju puncak Wangameti. Untuk menghindari kelelahan, umumnya
50
Puncak Wanggameti
7 Tangga Wanggameti
Jalur 1 : Tamma
Wangga
Parai Bukul
Kambatawangga
Panggalenggiku
Anamanu Leimbolang
Landajangga Danau Paberiwai
Watudeli
Jalur 3 : LaironjaJalur 2 : Pahulu Bandil
para pendaki beristrahat di Kambatawangga. Di tempat ini terdapat pohon
beringin besar yang kemudian dijadikan sebagai tempat istirahat.
4.3.6 Watu Munggu-Laimbona
Watu Munggu merupakan pal batas yang dibuat oleh pemerintah
Belanda. Watu munggu ditetapkan oleh pemerintah Belanda sekitar tahun 1937
sebagai batas antara kawasan hutan dan lahan pertanian masyrarakat. Watu
Munggu merupakan tumpukan batu yang terletak di atas bukit. Watu Munggu
terletak pada ketinggian 1092 mdpl. Dari tempat ini sampai di bukit Laimbona
yang memiliki ketinggian 1079 mdpl, pengunjung dapat melihat perpaduan antara
pemandangan perbukitan khas Sumba dan desa-desa Enclave di kawasan Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti.
4.4 Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti
4.4.1 Mandat Pengelolaan
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti memiliki luas wilayah 47.014,00
ha dan ditunjuk berdasarkan SK Menhutbun No. 576/Kpts-II/1998 yang
merupakan alih fungsi dari register tanah kehutanan 50 dengan fungsi awal Hutan
Lindung Laiwangi dan Hutan Lindung Wanggameti. Mandat tersebut berdasarkan
oleh pertimbangan kawasan tersebut memiliki keanekaragaman burung yang
cukup tinggi terutama burung endemik yang salah satunya ialah burung Kakatua
Jambul Jingga yang merupakan simbol dari logo Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti.
4.4.2 Organisasi
4.4.2.1 Struktur Organisasi
Struktur organisasi Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti sesuai
dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts/II/2002 yang menjadi dasar
struktur ialah :
51
Gambar 31 Bagan Organisasi Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (tahun
2011)
4.4.2.2 Sumberdaya Manusia
Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti memiliki sumberdaya
manusia atau pegawai TN sebanyak 38 orang yang diantaranya 1 kepala balai, 1
kepala bagian tata usaha, 2 kepala seksi, 7 PEH, 19 Polhut, 3 penyuluh kehutanan,
3 staff bidang keuangan, 1 penata usaha kepegawaian, dan 1 penyaji evaluasi
laporan. Sumberdaya manusia lain yang membantu taman nasional ialah dari
kemitraan dengan masyarakat. Seperti halnya Model Desa Konsevasi (MDK)
yang dibentuk oleh taman nasional.
4.4.2.3 Mitra Kerja
Kerangka koordinasi atau kemitaraan pengelolaan dengan instansi
lingkup departemen lebih diarahkan pada bagian-bagian dimana secara tupoksi
52
Kepala Balai Taman Nasional Laiwangi WanggametiIr. Hart Lamer Susetyo
Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Aswan Sambari, S.Hut, M.Si
Kasi Konservasi Wilayah IIJudy Aries Mulik, STP
Kasi Konservasi Wilayah I Oman Rohman, BA
Kelompok Jabatan Fungsional
tidak dapat dilakukan oleh unit pengelola taman nasional. Kemitaraan tersebut
antara lain :
a. BPKH dalam bidang penataan hutan bekerjasama dan berkoordinasi
didalam proses pengukuhan kawasan taman nasional.
b. Balai DAS bekerjasama dalam bidang rehabilitasi kawasan.
c. Dinas kehutanan dan dinas lain di Kabupaten dalam bidang pengamanan
dan perlindungan hutan, pembinaan masyarakat, pelestarian alam,
pengembangan wisata alam serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
serta perencanaan kehutanan di daerah.
d. Lembaga non pemerintah bergerak didalam pengukuhan kawasan,
pengkajian sumberdaya hayati, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
untuk meningkatkan taraf ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap
pelestarian alam.
4.4.2.4 Program kerja taman nasional dalam 2011-2014
Taman Nasional Laiwangi Wanggemeti (TNLW) memiliki program kerja
yang terhitung tahun 2010-2014. Program kerja tersebut terangkum dalam
beberapa hal sebagai berikut :
1. Terwujudnya kemantapan kawasan TNLW
2. Terkumpulnya data potensi SDA kawasan TNLW yang dikelola dalam
satu sistem database yang memberikan basis pengambilan kebijakan
pengelolaan.
3. Terjaganya keanekaragaman hayati TNLW
4. Terwujudnya pemanfaatan SDA TNLW secara optimal dan berkelanjutan
5. Meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan
pendidikan di dalam kawasan yang mendukung pengelolaan TNLW
6. Terwujudnya peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM pengelolaan
TNLW
7. Terwujudnya sistem penanggulangan bencana/ gangguan di TNLW
8. Terwujudnya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat dan para
pihak terkait dalam pengelolaan TNLW
9. Terwujudnya peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan.
53
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati secara keseluruhan bervariasi tergantung taksa
yang diamati. Tabel 25 menunjukkan variasi jumlah jenis yang ditemukan dan
nilai indeks ekologi yang meliputi kekayaan jenis, Indeks keanekaragaman jenis
(H) dan indeks kemerataan (E).
Tabel 25 Rekapitulasi data Indeks Keanekaragaman Fauna di Taman Nasional
Laiwangi Wanggameti
LokasiKeanekaragaman
Jenis (H)Kemerataan (E)
B M K B M KBilla 2,10 0,89 1,91 0,76 0,78 0,98Praingkareha 2,50 0,76 2,67 0,86 0,89 0,94Wanggameti 1,93 0,97 2,66 0,81 0,63 0,95Ampupu 1,15 0,74 2,55 0,52 0,76 0,96Wundut 2,15 0,79
Keterangan : B = burung; M = Mamalia; K = Kupu-kupu
Dilihat dari indeks keanekaragaman satwa terlihat bahwa burung
mempunyai indeks keanekaragaman yang tertinggi di kelima lokasi pengamatan
dibandingkan dengan mamalia dan kupu-kupu. Hal tersebut kemungkinan
dikarenakan burung mempunyai kemampuan untuk terbang menuju pulau-pulau
di sekitarnya, sedangkan mamalia dan kupu-kupu mempunyai keterbatasan
wilayah jelajah yang dibatasi lautan oleh karena itu keanekaragaman burung
tertinggi dibanding taksa yang lainnya (Coates dan Bishop 2000).
Dari tabel 24 terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaan mamalia di
keempat jalur kurang dari 1. Berdasarkan indeks Shannon Wiener nilai ini
menyatakan bahwa keanekaragaman mamalia rendah, penyebaran jumlah individu
tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah. Rendahnya nilai
keanekaragaman mamalia yang ada di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti
dipengaruhi oleh faktor geografis wilayah yang berada di zoogeografi Wallace.
Berdasarkan Coates dan Bishop (2000) pulau Sumba merupakan dataran yang
terbentuk karena terangkatnya daratan dari dasar laut, kondisi ini menyebabkan
kondisi tanah yang kurang subur karena masih banyaknya wilayah yang
merupakan bebatuan karang. Sumba merupakan pulau terbesar ketiga yang di
54
Propinsi Nusa Tenggara Timur, wilayahnya yang berupa kepulauan menyebabkan
perpindahan satwa antar pulau terhambat karena laut yang membatasi antar pulau
tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada keanekaragaman jenis mamalia yang
ditemukan di Pulau Sumba karena sebagian besar mamalia merupakan satwa
terestrial.
Nilai keanekaragaman yang didapatkan sebesar 2,83 dengan jumlah 50
plot dapat dikatakan lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil kegiatan UP
DATING DATA POTENSI 2010 TNLW dengan keanekaragaman 3.18 dengan
jumlah 99 plot (BTNLW 2010). Rendahnya nilai indeks keanekaragaman yang
diperoleh dalam penelitian ini disebabkan oleh ukuran sampel yang kecil dan
waktu penelitian. Perbedaan sampel yang diambil mempengaruhi indeks
keanekaragaman, bila ukuran sampel yang diambil besar maka nilai
keanekaragaman cenderung semakin tinggi (Rahayuningsih, 2009).
Indeks keanekaragaman tertinggi pada jalur pengamatan Praingakereha
dengan nilai 2.50. Tingginya nilai keanekaragaman pada jalur Praingkareha
dikarenakan tersedianya kebutuhan hidup bagi burung dan jalur tersebut memiliki
areal hutan yang paling luas. Sesuai pendapat Bibby (2000) bahwa hutan alam
merupakan sumber keanekaragaman jenis burung yang memiliki biodiversitas
yang tinggi, Sedangkan nilai keanekaragaman terendah ditemukan pada jalur
Katikuai dengan nilai 1.15. Rendahnya nilai keanekaragaman pada jalur Katikuai
diduga karena memiliki areal yang sempit, sehingga tidak mampu menampung
keanekaragaman jenis burung yang tinggi dan ketersedian kebutuhan hidup
burung juga terbatas karena jalur Katikuai merupakan hutan tanaman Ampupu
(Eucalyptus urophylla) Lokasi pengamatan Billa dan Praingkareha yang terletak
pada dataran rendah memiliki keanekaragam yang tinggi dibandingkan Katikuai,
Wundut dan Wanggameti yang terletak di dataran tinggi Sumba. Menurut Blake et
al. (2000) dalam Darmawan (2006) mengatakan keanekaragaman jenis burung
akan semakin berubah dengan perubahan ketinggian, dimana semakin
rendah ,keanekaragaman jenis burung semakin tinggi.
Nilai kemerataan (E) jenis burung yang diperoleh dalam penelitian ini
bernilai 0.75. Nilai Indeks Kemerataan jenis burung (E’) yang tertinggi yaitu jalur
pengamatan Praingkareha sebesar 0,86. Angka ini relatif tinggi karena mendekati
55
1. Menurut Mac Arthur (1972) Jika indeks kemerataan (E) mendekati 1, maka
menunjukkan bahwa komposisi jenis burung yang ada disetiap lokasi memiliki
penyebaran yang merata, sebaliknya semakin mendekati 0, maka penyebaran
semakin tidak merata dan terdapat jenis yang sangat dominan. Indeks kemerataan
terendah dengan nilai 0.52 terdapat pada habitat hutan tanaman Ampupu
(Eucalyptus urophylla). Menurut Odum (1971) nilai indeks kemerataan yang
rendah menunjukkan terjadinya pengelompokan individu-individu suatu jenis
tertentu. Hal ini terjadi dihutan tanaman Katikuai, diantaranya Perkici orange
(Trichoglossus capistratus fortis) yang ditemukan mengelompok di hutan
tanaman Ampupu (Eucalyptus urophylla).
Indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu dengan kriteria sedang pada
seluruh tipe habitat yang terdapat di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti
mengisyaratkan potensi keanekaragaman yang cukup baik. Hal ini diduga karena
masih alaminya kondisi dari kedua lokasi tersebut dimana lokasi tersebut
memiliki semua komponen habitat yang paling disukai kupu-kupu yaitu adanya
sumber air berupa sungai-sungai, tumbuhan inang yang menjadi sumber pakan
untuk ulat seperti jeruk hutan, sirih hutan, kayu manis serta tumbuhan berbunga
sebagai penghasil nektar untuk pakan kupu-kupu diantaranya tumbuhan pagoda.
Terdapat pula banyak vegetasi bertajuk tebal atau rimbun lainnya sebagai tempat
berlindung kupu-kupu baik dari predator maupun faktor alam seperti hujan dan
angin kencang.
Selain itu, pada lokasi ini kondisi fisik atau faktor lingkungannya masih
sangat baik dimana udaranya masih segar, bersih dan bebas polusi serta suhu dan
kelembabannya pun masih stabil (Tabel 26). Keanekaragaman yang cukup baik
ini juga dipengaruhi karena belum banyaknya gangguan dari luar seperti
penebangan liar, pembangunan, penangkapan liar dan gangguan lainnya, sehingga
kondisi habitat serta populasinya masih terjaga.
Tabel 26 Hasil pengukuran kondisi fisik lingkungan
No Faktor Lingkungan SPTN I SPTN II1. Suhu 22-28oC 21-25 oC2. Kelembaban 80,33-84,17 89,333. Ketinggian 341-417 mdpl 1000-1100 mdpl
56
5.1.1 Mamalia
Jumlah jenis mamalia yang berhasil didapatkan di Taman Nasional
Laiwangi Wanggameti tersebut termasuk sedikit bila dibandingkan dengan jumlah
jenis mamalia yang ditemukan di taman nasional di pulau Jawa, Sumatera maupun
Kalimantan, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni faktor geografis
kawasan, gangguan habitat maupun kemampuan dari pengamat. Faktor geografis
kawasan yang mempengaruhi penemuan jenis mamalia yaitu letak gografis
kawasan yang berada di daerah zoogeografi Wallace. Pulau sumba yang terletak
di kawasan zoogeografi Wallace merupakan daratan pulau karang yang baru
terbentuk dibandingkan kepulauan lain yang ada di Nusa Tenggara Timur.
Wilayahnya yang berupa kepulauan dengan laut yang membatasi antar pulau
menjadi faktor utama yang mempengaruhi persebaran mamalia. Oleh karena itu
endimisitas satwa tergolong tinggi di kawasan Wallace.
Faktor gangguan habitat berpengaruh pula terhadap penemuan jenis
mamalia yang ditemukan selama kegiatan praktek kerja lapang profesi ini
dilakukan. Adanya gangguan habitat menyebabkan mamalia berpindah menuju
lokasi dengan habitat yang lebih baik yaitu berada di pedalam hutan. Berdasarkan
hasil wawancara terhadap pengelola kawasan dan penduduk di sekitar kawasan,
pada tahun 1990-an di sekitar lokasi yang dijadikan lokasi pengamatan mamalia
yaitu desa billa merupakan habitat bagi rusa timor (Cervus timorensis). Namun
sekarang, akibat dari gangguan habitat berupa perladangan berpindah, perburuan,
invasi ternak warga sekitar kawasan menjadikan rusa timor tidak ada lagi di
sekitar kawasan hutan billa tersebut dan berpindah menuju lokasi hutan yang
relatif tidak terganggu oleh kegiatan manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Alikodra (2010) yang menyatakan bahwa ancaman terhadap satwa dikarenakan
jumlah manusia yang semakin bertambah dalam pemanfaatan lahan. Oleh karena
itu saat ini rusa timor (Cervus timorensis) hanya dapat ditemukan di padang Pahar
yang terletak di desa Pinupahar yang masuk ke dalam seksi pengelolaan I Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti.
Selain kedua faktor di atas, faktor yang mempengaruhi perjumpaan jenis
mamalia tersebut yaitu keterbatasan kemampuan pengamat. Mamalia kecil seperti
ordo rodentia merupakan salah satu mamalia yang sulit diamati dan dijumpai,
57
selain itu pula jenis-jenis kelelawar juga sulit diamati secara langsung.
Keterbatasan pengamat dan terbatasnya waktu pengamatan menjadi salah satu
faktor pembatas pula penemuan mamalia selama kegiatan Praktik Kerja Lapang
Profesi (PKLP) dilaksanakan.
Berdasarkan hasil pengamatan mamalia yang dilakukan di 4 jalur
pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa lokasi yang paling banyak ditemukan
jenis mamalia yaitu di jalur 4 yaitu di blok hutan Wanggameti yang berada di
SPTN II TNLW. Sebanyak 4 jenis mamalia di temukan di lokasi ini yaitu Codot
(Cynopterus sp), Tikus Belukar (Rattus sp), Musang Luwak (Pradoxurus
hermaproditus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Lokasi ini paling
banyak ditemukan jenis mamalia dikarenakan faktor ketersediaan pakan yang ada
di hutan Wanggameti.
Berdasarkan hasil hasil analisis habitat diketahui bahwa terdapat
beberapa jenis tumbuhan yang diduga menjadi sumber pakan bagi mamalia antara
lain yaitu mangga hutan yang dalam bahasa Sumba Timur Pau omang (Mangifera
laurina Blume), jeruk hutan, kayu manis (Cinnamomum burmanni Blume), dan
beberapa jenis tumbuhan buah lain yang belum teridentifikasi. Alikodra (1997)
menyatakan bahwa kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan
komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Habitat yang mempunyai
kualitas yang tinggi nilainya diharapkan pula akan menghasilkan kehidupan
satwaliar yang berkualitas tinggi. Sebaliknya, habitat yang rendah kualitasnya
akan menghasilkan kondisi populasi satwaliar yang rapuh (daya reproduksi
rendah dan mudah terserang penyakit). Selain itu keberadaan sumber air di sekitar
hutan Wanggameti menjadi salah satu faktor juga ditemukan mamalia di lokasi
ini. Mamalia termasuk ke dalam water dependent yang berarti membutuhkan air
untuk hidup. Di hutan Wanggameti yang menjadi konsentrasi penemuan mamalia
yaitu di sekitar sungai yang berada di hutan Wanggameti. Mamalia yang sering
ditemui di sekitar aliran air ini yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Dari data yang telah disajikan, kondisi habitat mamalia di Wanggameti masih
cukup baik. Seluruh kebutuhan mamalia baik makan, minum, udara bersih, tempat
berlindung, berkembangbiak maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya
secara umum tersedia dengan baik.
58
Gambar 32 Monyet Ekor Panjang (Macacafascicularis)
Sedangkan mamalia yang paling sering ditemui selama pengamatan yaitu
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ditemui di semua jalur pengamatan.
Macaca fascicularis merupakan mamalia yang toleran terhadap berbagai macam
kondisi habitat. Monyet ekor panjang dapat dengan mudah beradaptasi dengan
kondisi habitat yang baru. Mamalia dapat tinggal di berbagai kondisi habitat, oleh
karena itu monyet ekor panjang ini dapat ditemukan di semua lokasi pengamatan.
Sementara itu berdasarkan hasil pengamatan mamalia yang dilakukan di
empat jalur pengamatan didapatkan hasil bahwa nilai indeks keanekaragaan
mamalia di keempat jalur kurang dari 1. Berdasarkan indeks Shannon Wiener
nilai ini menyatakan bahwa keanekaragaman mamalia rendah, penyebaran jumlah
individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah.
Bila ditinjau dari statusnya, dari hasil pengamatan yang telah dilakukan,
terdapat 7 jenis mamalia yang masuk dalam daftar merah IUCN maupun oleh
Appendiks CITES dan PP no 7 . Dari 7 jenis tersebut yang masuk dalam daftar
merah IUCN hanya 3 jenis masuk dalam daftar appendiks CITES. Namun hanya
ada 1 jenis yang dilindungi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.
Jenis mamalia yang termasuk daftar CITES adalah Musang
akar(Artogalidia trivigata), Rusa timor (Cervus timorensis) dan Monyet Ekor
Panjang (Macaca fascicularis). Ketiganya termasuk dalam Appendix II CITES,
yaitu tidak dalam kondisi terancam dari kepunahan, tetapi dapat menjadi terancam
59
jika perdagangan terhadap jenis tersebut dikenai suatu peraturan yang ketat dalam
rangka menghindari pemanfaatan yang tidak sepadan dengan daya kemampuan
hidupnya.
Sedangkan berdasarkan Redlist IUCN sebanyak 4 jenis mamalia yang
masuk dalam kategori vurnerable (rentan), hal ini ditetapkan pada jenis yang
mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat. dengan
status yang berbeda. Jenis mamalia di TNLW dengan status VU (Vurnerable)
yaitu babi hutan (Sus scrofa), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus),
musang akar (Atogalidia trivigata) dan rusa timor (Cervus timorensis).
Spesies-spesies seperti yang masuk daftar appediks CITES maupun
daftar merah IUCN dan daftar perlindungan UU 7 1999 merupakan spesies-
spesies dalam keadaan yang terus diperhatikan untuk dipantau terus keadaannya
di alam. Banyak faktor yang menyebabka tingginya ancaman kepunahan, terutama
karena penyempitan dan kerusakan habitat, pemburuan tidak terkendali, dan
pencemaran lingkungan. Berbagai negara, termasuk Indonesia, giat melakukan
upaya-upaya mencegah terjadinya kepunahan spesies. Program konservasi di
Indonesia, misalnya, bukan hanya melestarikan spesies yang terancam kepunahan,
tetapi juga sekaligus melestarikan habitatnya (Alikodra 1997).
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah taman nasional dengan
sebagian besar vegetasinya adalah padang savana. Dengan kondisi seperti ini,
Taman Nasional Manupeu Laiwangi Wanggameti sangat rawan dengan kebakaran
terutama pada saat musim kemarau. Alikodra (2002) menyatakan bahwa api
merupakan bagian penting dari habitat savana yaitu savana mengalami klimaks
karena api. Jenis pohon dan rumput di daerah savana mempunyai sifat tahan api
dan kekeringan sehingga dengan terjadinya kebakaran akan menyebabkan rumput
dan pohon mengalami regenerasi dan menyediakan pakan segar bagi para
herbivora yang ada di habitat tersebut. Selain itu, kebakaran juga dapat
mengurangi material yang kurang berguna bagi satwaliar dan mencegah
penyebaran penyakit. Namun, terkadang adanya kebakaran dapat membahayakan
kehidupan satwaliar, terutama dapat menyebabkan kematian satwa secara
langsung maupun secara tak langsung yaitu dengan terbakarnya sumber makanan
yang berupa rerumputan.
60
Kasus kebakaran hutan berdasarkan informasi dari pihak petugas
pemadam kebakaran Taman Nasional Laiwangi Wanggameti tergolong sering,
hampir tiap tahun kebarakan hutan selalu terjadi terutama di musim kemarau yang
menyebabkan rerumputan kering. Api sekecil apapun dapat memicu terjadinya
kebakaran hutan. Kasus kebakaran hutan pernah juga terjadi di padang Pahar yang
merupakan habitat bagi rusa timor (Cervus timorensis) yang keberadaannya sudah
jarang ditemui di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Adanya kebakaran
hutan ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar reruputan sumber pakan rusa,
bahkan akibat kebakaran hutan ini juga mengakibatkan rusa mati karena terbakar.
Selain ancaman dari kebakaran hutan, ancaman terhadap kelestarian
mamalia di TNLW yaitu ancaman dari keberadaan ternak warga yang masuk ke
dalam kawasan taman nasional. Keberadaan ternak warga yang masuk ke dalam
kawasan taman nasional menginvasi rerumputan yang menjadi sumber pakan
satwa taman nasional seperti rusa timor. Keberadaan satwa-satwa ternak ini juga
mengganggu permudaan tanaman yang ditanam dalam program rehabilitasi hutan
yang dilakukan BTNLW. Kasus ancaman dari adanya ternak warga yang masuk
ke kawasan taman nasional terjadi di desa Billa, kawasan hutan di desa Billa
terdapat padang rumput yang menjadi habitat rusa timor pada tahun 1990-an.
Sebelum adanya ternak warga yang masuk ke dalam kawasan taman nasional,
rusa timor dapat dengan mudah ditemui di kawasan hutan Billa. Kondisi saat ini
berbeda jauh dengan apa yang diceritakan oleh pihak pengelola yang dulunya rusa
sangat mudah dijumpai, saat ini kawasan hutan billa sudah tidak dapat dijumpai
adanya rusa timor. Hal ini diakibatkan banyaknya ternak masyarakat seperti
kerbau, kuda, sapi yang banyak digembalakan di dalam kawasan. Oleh karena itu
perlu diadakan kebijakan khusus yang mengatur keberadaan ternak warga yang
masuk ke dalam kawasan taman nasional agar tidak mengganggu kelestarian
habitat satwa.
61
Gambar 33 Satwa ternak warga yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional
Salah satu kegiatan yang perlu dilakukan guna mengatasi permasalahan
ancaman kelestarian mamalia yaitu adanya pembinaan habitat mamalia. Mamalia
yang ditemukan umumnya berada pada kondisi habitat yang dapat dikatakan
cukup memenuhi kebutuhan satwa. Habitat tersebut dianggap dapat menyediakan
berbagai komponen penghidupan bagi satwa. Keadaan ini sesuai dengan
pernyataan Alikodra (2002) bahwa untuk mendukung kehidupan satwaliar
diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan
hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung,
berkembangbiak maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya. Komponen-
komponen pendukung kehidupan satwaliar tersebut menjadi faktor pembatas
dalam kehidupan satwaliar terutama mamalia.
Dalam pembinaan habitat, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan
fluktuasinya dan dipantau untuk menetapkan program-program pengelolaan yang
tepat (Alikodra 1983). Habitat mamalia yang ditemukan dahulunya berupa hutan
yang luas. Namun setelah terjadi gangguan dan alam mengalami perubahan
kondisi, habitat mamalia didominasi oleh savana. Perubahan yang terjadi pada
habitat tersebut berdampak pada perubahan komponen-komponen pendukung
kehidupan satwaliar khususnya mamalia sehingga dapat mengubah daya dukung
lingkungannya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu sebelum
dilakukan kegiatan pembinaan habitat perlu dilakukan pula penelitian mengenai
asal mula lokasi yang akan dilakukan pembinaan habitat tersebut. Misalnya saja
harus diketahui karakteristik kawasan yang akan dilakukan pembinaan habitat
tersebut serta sejarah asal mula kawasan apakah dulunya merupakan hutan
ataukah padang savana atau jenis ekosistem lainnya. Sehingga dari kegiatan ini
62
diharapkan dapat terus menjaga kelestarian mamalia yang ada di Taman Nasional
Laiwangi-Wanggameti.
Selain itu, salah satu yang mengancam kelestarian mamalia di alam yaitu
dengan adanya pemanfaatan mamalia untuk mencukupi kebutuhan manusia.
Kebutuhan yang dimaksud tidak hanya kebutuhan untuk makan saja, melainkan
untuk mencukupi kebutuhan lainnya juga seperti kebutuhan akan obat-obatan
tradisional maupun untuk kepentingan adat pun dapat mengancam keberadaan
mamalia di alam. Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat di desa
Praingkareha, masyarakat memanfaatkan mamalia hanya pada jenis-jenis tertentu
saja, yaitu musang luwak (Paradoxurus hermaproditus) dan musang galing
(Paguma larvata). Kedua jenis musang ini ditangkap oleh warga untuk dijadikan
sumber makanan tambahan, obat dan ada pula yang dijual kepada orang yang
membutuhkan.
Gambar 34 Musang galing (Paguma larvata)
Menurut masyarakat desa Praingkareha, musang yang mempunyai
khasiat obat yaitu musang galing (Paguma larvata) yang mempunyai ciri-ciri fisik
berupa ekor yang belang dan badan bertotol-totol hitam. Musang galing
dimanfaatkan masyarakat untuk obat asma, obat sakit step atau kejang-kejang.
Bagian yang dimanfaatkan yaitu bagian ekor musang yang belang tersebut, cara
penggunaannya yaitu dengan cara membakar ekor musang tersebut dan asap dari
pembakarannya dihirup oleh orang yang mempunyai masalah kesehatan dengan
kesehatan tersebut. Selain dimanfaatkan sebagai obat, ekor musang galling juga
dipercaya dapat dijadikan jimat untuk mengikat wanita, dengan cara mengantongi
63
rambut musang galing di celana dipercaya wanita akan menjadi dekat kepada
orang yang mempunyai jimat tersebut.
5.1.2 Burung
Hasil penelitian di lima lokasi pengamatan menunjukkan dijumpainya 57
jenis dari 28 suku. Terdapat lima jenis yang merupakan endemik Sumba yaitu
Burung-madu Sumba (Nectarinia buettikoferi), Julang Sumba (Rhyticeros
everetti), Kakatua kecil jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocristata),
Myzomela kepala merah (Myzomela dammermani), dan Sikatan Sumba (Ficedula
harterti).
Jenis burung yang dijumpai menggunakan metode daftar jenis
MacKinnon yaitu sebanyak 57 jenis burung dari 28 suku. Kurva penemuan jenis
burung menunjukkan bahwa grafik terus naik dengan curam. Grafik yang terus
naik dengan curam menunjukkan bahwa kawasan TNLW merupakan habitat yang
kaya akan jenis burung. Selain itu, grafik yang semakin naik curam
mengindikasikan bahwa pada kawasan TNLW kemungkinan masih terdapat jenis-
jenis baru yang belum tercatat dalam pengamatan.
Pengamatan dengan menggunakan metode daftar jenis Mackinnon
menghasilkan 57 jenis dan metode IPA menghasilkan 44 jenis. Perbedaan ini
disebabkan karena dalam menggunakan metode daftar jenis MacKinnon pengamat
tidak hanya mencatat jenis-jenis yang dijumpai didalam jalur pengamatan, tetapi
juga mencatat jenis burung yang ditemui di luar jalur. Waktu pencatatan yang
meliputi pagi, siang, sore, dan malam hari. Untuk metode IPA pengamatan
terbatas pada jalur-jalur pengamatan sepanjang satu kilometer pada hutan primer,
hutan sekunder, riparian, dan padang. Selain itu dalam metode ini pencatatan juga
hanya dilakukan waktu pagi hari .
Lokasi dengan penemuan jenis burung paling banyak adalah pada jalur
Praingkareha dengan 18 jenis (101 individu). Lokasi dengan penemuan paling
sedikit pada jalur Katikuai dengan 8 jenis (93 individu). Jalur Praingkareha yang
merupakan habitat hutan primer dan padang adalah tempat penemuan jenis burung
terbanyak.. Tingginya jumlah jenis yang disebabkan tersedianya sumberdaya alam
yang bisa memenuhi kehidupan burung. Heddy dan Kurniati (1996)
menambahkan bahwa semakin banyak jumlah jenis burung yang membentuk
64
suatu komunitas, semakin tinggi keanekaragamannya. Hutan primer merupakan
tipe habitat yang memiliki kekayaan jenis yang tinggi, hal ini ini disebabkan
karena struktur dan komposisi vegetasi pada hutan primer lebih komplek.
Jenis burung yang dijumpai pada jalur Wundut yang merupakan tipe
habitat hutan sekunder yaitu sebanyak 15 jenis dari 11 suku. Penelitian ini
tergolong sedikit bila dibandingkan dengan penelitian Takandjandji & Sutrisno
(1996) yang mendapatkan 52 jenis dari 30 suku dihutan Wundut. Terjadinya
penurunan jenis pada hutan Wundut disebabkan tingginya aktivitas penangkapan
burung dan juga habitatnya semakin terganggu oleh perladangan dan penebangan
hutan, di samping itu hutan Wundut terletak berdekatan dengan jalan raya yang
menghubungkan Sumba Timur dan Sumba Barat. Kondisi ini menimbulkan
kebisingan bagi burung dan memudahkan para pemburu untuk menjangkau
kawasan wundut. Menurut Gaol (1998) penurunan jumlah jenis burung
dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan yang berkaitan erat dengan
ketersedianan sumberdaya. Selain itu, Jarvis (1993) menyatakan bahwa kondisi
spasial habitat yaitu berupa fragmentasi habitat dan tersedia tidaknya koridor
penghubung merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan keanekaragaman
jenis.
Bila dibandingkan dengan 4 lokasi habitat lainnya, tipe habitat hutan
tanaman Katikuai merupakan lokasi pengamatan yang paling sedikit dijumpai
jenis burungnya yaitu 8 jenis. Hal ini disebabkan komposisi penyedia kehidupan
bagi burung di habitat ini terbatas pada jenis Ampupu (Eucalyptus urophylla)
sehingga jenis-jenis yang terdapat di habitat ini terbatas. Jenis burung yang
banyak ditemukan berkelompok pada hutan tanaman jenis Ampupu (Eucalyptus
urophylla) adalah Perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis) yang mencari
makan pada Ampupu (Eucalyptus urophylla) yang sedang berbunga.
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, jenis burung yang paling
dominan yaitu Walet sapi (Collocalia esculenta) yaitu sebesar 21,17%. Collocalia
esculenta ditemukan paling dominan karena jenis burung ini mudah terlihat dan
dalam jumlah yang cukup banyak. Jenis burung Walet sapi ini terbang di semua
tipe hutan dan lahan pertanian dan merupakan jenis burung yang terdapat di
semua tipe habitat (MacKinnon et al. 1998).
65
Secara umum dapat diketahui bahwa terdapat 5 jenis burung yang
dominan dari keseluruhan jalur pengamatan. Jenis burung tersebut yaitu Perkici
pelangi (Trichoglossus haematodus), Walet sapi (Collocalia esculenta), Kacamata
limau (Zosterops citrinellus), Perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis),
dan Cikuakua Tanduk (Philemon buceroides neglactus). Jenis burung yang
mendominasi lokasi jalur pengamatan merupakan jenis burung pemakan serangga
dan buah. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya pakan pada
habitat yang ditempati burung. Jenis burung yang dijumpai dalam jumlah yang
banyak serta dapat mendominasi suatu habitat merupakan jenis burung yang dapat
beradaptasi dan dapat memanfaatkan sumberdaya habitat, seperti sumberdaya
pakan untuk mendukung kehidupannya (Dewi 2006).
Kelimpahan jenis burung yang tertinggi yaitu di jalur Katikuai 0,6451
yaitu jenis burung Perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis). Tingginya
kelimpahan burung Perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis) di jalur
Katikuai dikarenakan kemampuan habitatnya dalam menyediakan kebutuhan
hidup, seperti pemenuhan terhadap kebutuhan ruang dan pakan. Pada jalur
Katikuai yang merupakan lahan penanaman pohon Ampupu merupakan salah satu
pohon pakan dan tempat bermain bagi burung Perkici orange. Tingginya
kelimpahan burung pada suatu habitat juga menandakan keadaan habitat tersebut
sesuai dengan kebutuhan jenis burung akan makanan, tempat berlindung, dan
sumber air. Semakin tinggi kelimpahan burung menandakan jumlah burung yang
terdapat di habitat tersebut banyak. Sehingga dapat dikatakan burung tersebut
mampu menyesuaikan dengan keadaan habitat tersebut (Susanto 1995). Akan
tetapi jika kondisi kurang baik untuk mendukung habitatnya maka kelimpahan
burung akan berkurang (Hernowo 1989).
Nilai indeks kesamaan burung-burung di Wundut dan Wanggameti
adalah 10%, Wundut dan Katikuai adalah 7%, Wundut dan Billa adalah 14%,
Wundut dan Praingkareha adalah 11%, Katikuai dan Wanggameti adalah 10%,
Katikuai dan Billa adalah 7%, Katikuai dan Praingkareha adalah 16%,
Wanggameti dan Billa adalah 13%, Wanggameti dan Prainkareha adalah 13%,
Billa dan Praingkareha adalah 13%. Hasil tersebut menunjukan bahwa jenis-jenis
66
burung yang ditemukan di lima lokasi pengamatan berbeda. Hal ini dapat dilihat
dari nilai indeks kesamaan yang hasilnya kurang dari 50%.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 7 hari maka hanya
ditemukan 5 spesies endemik sumba yaitu Burung-madu Sumba (Nectarinia
buettikoferi) yang ditemukan di jalur Wundut dan Praingkareha, Julang Sumba
(Rhyticeros everetti) yang ditemukan di jalur Billa dan Praingkareha, Kakatua
kecil jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocristata) yang hanya ditemukan di
jalur Billa, Myzomela kepala merah (Myzomela dammermani) yang ditemukan di
jalur Praingkareha, dan Sikatan sumba (Ficedula harterti) yang ditemukan di jalur
Wanggameti.
Salah satu burung endemik yang ditemukan yaitu Kakatua kecil jambul-
jingga, burung ini merupakan sub jenis burung endemik Sumba yang menjadikan
hutan Sumba sebagai tempat hidupnya. Kakatua Sumba merupakan satu dari
empat sub jenis kakatua-kecil jambul-kuning yang dikategorikan sebagai jenis
terancam punah secara global dengan status kritis (BirdLife International 2004).
Menurut O’Brien dkk (1997), Kakatua Sumba menyukai hutan primer yang belum
terganggu. Namun bukan berarti kakatua tidak mampu bertahan dan beradaptasi di
dalam kawasan yang terbuka. Populasi Kakatua Sumba saat ini telah mengalami
penurunan. Hal ini diakibatkan oleh perubahan fungsi hutan, penebangan pohon
besar yang menjadi sarang burung kakatua ini, dan penangkapan burung untuk
dijual. Burung ini dikategorikan sebagai burung terancam punah dengan status
kritis (CR) (Kategori terancam IUCN) dan dimasukkan kedalam jenis yang
dilindungi berdasarkan UU No 5 tahun 1990 dan PP No 7 tahun 1999, serta dalam
kriteria CITES dimasukkan kedalam kategori Appendix I yang jenis dan
jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah serta
pedagangan komersial untuk jenis yang termasuk kedalam Apendiks I ini sama
sekali tidak diperbolehkan. Status jenis burung ini berhubungan dengan berbagai
aspek yang bertujuan untuk kelestarian jenis burung, yang diantaranya berkaitan
dengan penyebaran di alam (keendemikan jenis), perlindungan dan status
kelangkaan.
Keberadaan jenis-jenis burung endemik seringkali terancam baik oleh
kegiatan manusia maupun perubahan lingkungan. Di TNLW penyebabnya yaitu
67
karena adanya perubahan fungsi hutan menjadi ladang, penebangan liar,
pembakaran hutan, dan adanya penangkapan burung untuk dijual. Penebangan
pohon-pohon besar yang menjadi tempat bersarang kakatua-kecil jambul-jingga
dan julang sumba sangat berdampak buruk bagi populasi kedua burung endemik
tersebut.
5.1.3 Kupu-Kupu
Kupu-kupu mempunyai daerah penyebaran yang luas dari dataran rendah
hingga hutan pegunungan tinggi dari 0-2.000 mdpl (Sihombing 1999).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di empat lokasi jalur pengamatan
tersebut, semua lokasi teridentifikasi digunakan oleh kupu-kupu sebagai
habitatnya. Kupu-kupu yang didapatkan berdasarkan hasil inventarisasi yaitu
sebanyak 40 jenis kupu-kupu. Data tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil
inventarisasi kupu-kupu di Taman Nasional Manupeu Tandaru (TNMT) yaitu
sebanyak 41 jenis kupu-kupu (HIMAKOVA 2010). Biarpun jumlah jenis yang
didapatkan tidak terlalu berbeda, namun jenis-jenis yang didapatkan banyak
memiliki perbedaan. Hal ini dikarenakan kondisi fisik lingkungan yang cukup
berbeda. Jumlah jenis yang didapatkan pada inventarisasi ini bukan merupakan
jumlah jenis yang pasti, karena masih besar kemungkinan untuk adanya
penambahan jumlah jenis baru. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kendala
yang didapatkan di lapangan, yaitu akibat kurangnya sumberdaya manusia untuk
tugas menangkap kupu-kupu, terbatasnya keterampilan dalam penangkapan, dan
kondisi cuaca yang tidak stabil serta seringnya terjadi hujan mengakibatkan kupu-
kupu tidak keluar.
Setiap habitat pada jalur-jalur pengamatan memiliki karakteristik
vegetasi dan kondisi fisik yang berbeda, seperti halnya pada jalur Billa. Jalur ini
merupakan jalur hutan riparian. Habitat riparian umumnya mempunyai potensi
yang cukup besar untuk menemukan kupu-kupu karena pada habitat riparian,
intensitas mataharinya cukup dan adanya ketersediaan air. Namun pada jalur ini
tidak ditemukan banyak jumlah jenis kupu-kupu yaitu hanya 7 jenis kupu-kupu
dengan total 8 individu. Hal ini dikarenakan pada jalur ini, hutan di sekitar sungai
mempunyai tajuk yang cukup rapat sehingga sinar matahari hanya sedikit yang
dapat masuk menembus lantai hutan. Selain itu di sepanjang sungai dan di dalam
68
hutan tidak ditemukan banyak tumbuhan berbunga yang menjadi sumber pakan
kupu-kupu. Tetapi pada jalur ini tetap ditemukan pakan larva kupu seperti jenis
jeruk-jerukan (Citrus sp.) yang menjadi pakan ulat jenis kupu-kupu Troides
haliphron yang terlihat berada pada jalur ini serta sirih hutan (Piper betle
Linn.)yang menjadi pakan ulat jenis kupu-kupu Pachliopta aristolochiae yang
tertangkap saat pengamatan.
Jalur kedua adalah jalur pengamatan Praingkareha. Jalur pengamatan ini
bercirikan pohon-pohon yang tinggi dan berbatasan dengan kawasan tempat RHL
(Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Pada jalur pengamatan ini ditemukan paling
banyak jumlah jenis kupu-kupu yaitu 17 jenis kupu-kupu dengan jumlah 29
individu. Hal ini dikarenakan pada jalur ini intensitas sinar matahari yang sangat
cukup, selain itu Praingkareha didominasi oleh hutan primer dimana terdapat
banyak vegetasi pakan seperti jeruk-jerukan (Citrus sp.) yang menjadi vegetasi
pakan beberapa jenis larva kupu-kupu yang ditemukan seperti Papilio
neumoegenii, Papilio polytes dan Papilio acheron serta vegetasi berupa
pepohonan rindang yang menjadi tempat berlindung. Selain itu, pada jalur ini
ditemukan pula banyak tumbuhan berbunga yang terdapat di sepanjang tepian
hutan dekat lahan terbuka yang menjadi sumber pakan kupu-kupu. Pada jalur
Praingkareha juga ditemukan banyak sumber air berupa sungai-sungai besar dan
kecil di dalam hutan serta terdapat pula sumber air yaitu air terjun Laputi.
Jalur berikutnya adalah jalur Hutan Wanggameti dan Katikuai/Hutan
Ampupu. Potensi kupu-kupu pada kedua jalur ini teridentifikasi cukup tinggi
dengan penemuan jumlah jenis sebanyak 16 jenis 27 individu pada jalur Hutan
Wanggameti dan 14 jenis 19 individu pada jalur Katikuai/Hutan Ampupu. Potensi
kupu yang cukup baik dikarenakan komponen habitat secara umum sama dengan
jalur Praingkareha. Seperti yang dinyatakan Clark et al. (1966) bahwa, komponen
habitat yang penting bagi kehidupan kupu-kupu adalah tersedianya vegetasi bagi
sumber pakan dan tempat berlindung. Apabila tidak ada vegetasi sebagai sumber
makanan, maka dapat menyebabkan kematian. Demikian pula halnya dengan
vegetasi yang digunakan sebagai tempat untung berlindung dari serangan-
serangan predator dan sebagai tempat berkembangbiak. Selain itu komponen lain
yang penting adalah cahaya yang cukup, udara yang bersih atau tidak terpolusi
69
dan air sebagai materi yang dibutuhkan untuk kelembaban lingkungan dimana
kupu-kupu tersebut hidup (Mattimu et al.(1977) dalam Aidid (2001)).
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti mempunyai keanekaragaman
kupu-kupu yang cukup tinggi. Beberapa jenis kupu-kupu yang ada di taman
nasional ini termasuk ke dalam kupu-kupu yang mendapat perhatian Nasional
maupun Internasional. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan dan ditemukannya
jenis kupu-kupu endemik seperti Papilio neumoegenii dan Papilio acheron.
Papilio neumoegenii ini merupakan jenis kupu-kupu endemik Sumba yang
temasuk dalam dengan kategori Vulnerable (V) menurut Daftar Merah IUCN
(Gambar 35 (a)). Papilio neumoegenii mempunyai ciri ukuran tubuh dan sayap
berukuran sedang. Pada sayap bawah didominasi dengan warna hijau muda
menyala sedangkann bagian sayap atasnya didominasi warna hitam. Warna hijau
pada sayap bagian atas hanya ada pada pada bagian atas sayap atas dan hanya
berupa bercak-bercak hijau dengan corak tidak beraturan serta terdapat di pinggir
sayap mulai dari sayap atas sampai sayap bawah. Jenis kupu endemik ini paling
banyak ditemui di jalur pengamatan Praingkareha (SPTN I). Jenis kupu lainnya
adalah Papilio acheron termasuk ke dalam kategori Least Concern (LC) (Gambar
35 (b)). Namun, untuk kategori LC mengartikan bahwa jenis kupu ini masih aman
populasinya di alam sehingga tidak perlu dikhawatirkan dan belum memerlukan
perhatian khusus dalam pengelolaannya. Jenis kupu-kupu ini juga ditemukan pada
jalur pengamatan Praingkareha.
a b
Gambar 35 (a) Papilio neumoegenii Gambar 35 (b) Papilio Acheron
70
Selain itu, terdapat satu jenis kupu-kupu yang merupakan jenis kupu-
kupu yang dilindungi yaitu Troides Haliphron. Kupu-kupu terlihat ada di tiap
jalur pengamatan baik di SPTN I maupun SPTN II tetapi tidak dapat tertangkap
dikarenakan jarak yang terlalu jauh untuk penangkapan akibat kupu-kupu yang
terbang terlalu tinggi sehingga sulit untuk dijangkau. Triodes Haliphron
merupakan jenis kupu-kupu yang termasuk ke dalam famili Papilionidae dan
merupakan salah satu kupu-kupu yang jenisnya dilindungi PP No. 7 tahun 1999
dan termasuk jenis kupu yang kuota perdagangannya diatur dalam CITES dan
termasuk Appendix II (Gambar 36).
(Sumber: http://www.nagypal.net/images/zzhaliph.htm)
Gambar 36 Troides haliphron.
Disamping ketiga jenis kupu-kupu tersebut, terdapat pula beberapa jenis
kupu-kupu lain yang menarik dilihat dari segi bentuk, ukuran dan warna serta
berpotensi tinggi untuk wisata maupun penangkaran. Beberapa jenis kupu-kupu
tersebut diantaranya adalah Papilio polytes, Papilio helenus, Pachliopta
aristolochiae, Papilio memnon, jenis-jenis Ideopsis serta yang termasuk jenis
Euploea.
Berdasarkan pengamatan selama di lapang, terdapat beberapa masalah
dalam pengelolaan kupu-kupu ini. Pertama, kurangnya informasi mengenai jenis
kupu-kupu apa saja yang terdapat di TNLW berdasarkan hasil inventarisasi kupu-
kupu. Berikutnya, dikarenakan kurangnya informasi data jenis kupu-kupu maka
sulit pula untuk dilakukan pengelolaan lebih dalam baik untuk jangka pendek
maupun jangka panjang. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi habitat kupu-
kupu yang ada disini. Misalnya saja, menurut hasil inventarisasi flora yang
71
dilakukan di TNLW diketahui bahwa jumlah tanaman jenis jeruk-jerukan mulai
jarang dan tidak terlihat anakan-anakannya. Kecilnya jumlah jenis jeruk-jerukan
ini berpengaruh terhadap eksistensi kupu-kupu khususnya yang termasuk dalam
jenis-jenis Papilio karena jenis kupu-kupu ini membutuhkan tanaman jenis jeruk-
jerukan sebagai tumbuhan inang dan sumber pakan bagi larva kupu-kupu tersebut.
5.1.4 Flora
Jika dilihat dari sebaran jumlah jenis pada tiap tingkat pertumbuhan
secara keseluruhan (Gambar 19), terlihat bahwa jumlah jenis terbanyak terdapat
pada tingkat pancang (82 jenis). Jenis-jenis yang banyak pada tingkat pancang
merupakan komponen permudaan yang sangat penting karena menurut Sidiyasa et
al. (2006), kunci sukses tidaknya proses permudaan tersebut berlangsung dapat
dilihat pada fase pancang sedangkan banyak jenis pohon sangat sukses dalam
memproduksi semai namun secara lambat-laun semai tersebut akan mati karena
kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Seperti yang terlihat pada jumlah jenis
semai yang hanya didapat sebanyak 58 jenis, hal tersebut kemungkinan
disebabkan oleh jenis-jenis yang intoleran terhadap naungan sedangkan jumlah
jenis dari tingkat pohon yang ada cukup besar. Menurut Soerianegara dan
Indrawan (2008), jika keadaan hutan terlalu rapat dan gelap, maka ada
kemungkinan cahaya atau bayangan di dalam hutan banyak mengandung cahaya
infra merah yaitu kandungan cahaya yang diteruskan setelah tersaring melalui
daun-daun hijau pada tingkat pohon yang tidak baik bagi perkecambahan jenis-
jenis pohon tertentu. Untuk itu jenis-jenis pada tingkat semai perlu diperhatikan
terutama jenis dengan nilai INP dan kerapatan yang rendah seperti alak, kapehu
(Bridelia monoica Merrill), lindi kalau (Mallotus philippinensis (Lam.)
Muell.Arg.), johar (Cassia siamea Lam.), pahura (Breynia microphylla Muell.
Arg.), karakubu (Litsea resinosa Blume), tambura (Litsea timoriana Span.),
hanjokar taki (Leea aequata Linn.), lamo (Melia azedarach Blanco), kayamik
(Pavetta montana Reinw.ex Bl.), kahingga kaba (Allophylus cobbe Blume), witi
malau (Elattostachys verrucosa Radlk.), mandan (Melochia umbellata Stapf), dll.
Menurut Whittaker (1974) dalam Muhdi (2009), asumsi dasar dalam analisis
struktur tegakan adalah untuk memperkirakan kecenderungan komposisi hutan
72
dimana suatu jenis pancang dan semai yang kerapatannya rendah (atau dapat
diabaikan) pada akhirnya akan hilang dari tegakan.
Jumlah jenis pada tingkat tiang secara keseluruhan pada tiga lokasi yang
hanya 53 jenis kemungkinan disebabkan oleh faktor manusia seperti kegiatan
pencurian kayu untuk membangun rumah walaupun intensitasnya tidak terlalu
besar. Jumlah tingkat tiang yang sedikit tersebut secara nyata terlihat pada lokasi
Billa. Seperti yang terlihat pada Gambar 21, sebaran jumlah pohon berdasarkan
kelas diameter pada lokasi Billa memiliki bentuk yang sedikit tidak seperti huruf
“J” terbalik sehingga menunjukkan komunitas hutan pada lokasi tersebut
mengalami sedikit gangguan. Menurut Kusumoantono (1996) dalam Poleng dan
Witono (2004), distribusi kelas diameter batang yang membentuk kurva huruf “J”
terbalik mencerminkan komunitas hutan yang relatif tidak terganggu.Untuk itu
dapat dikatakan lokasi Wudi pandak dan Wanggameti merupakan komunitas
hutan yang relatif tidak terganggu, sedangkan pada lokasi Billa, kemungkinan
terdapat sedikit gangguan.
Berdasarkan hasil pengamatan pada tiga lokasi pengamatan, rentang
indeks keanekaragaman yang didapat berkisar antara 2,0-3,4 yang berarti
keanekaragaman tergolong sedang sampai tinggi (Krebs 1978 dalam Tobing
2009). Sedangkan untuk rentang keanekaragaman secara keseluruhan, berkisar
antara 2,89-3,96 yang berarti keanekaragaman tergolong sedang sampai tinggi
dengan keanekaragaman terendah pada tingkat semai dan keanekaragaman
tertinggi pada tingkat pancang. Jika dibandingkan dengan Taman Nasional
Manupeu Tanadaru (TNMT) yang merupakan taman nasional yang juga berada di
Pulau Sumba, keanekaragaman jenis tumbuhan di Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti (TNLW) cenderung lebih tinggi, karena berdasarkan hasil ekspedisi
HIMAKOVA (2009) di TNMT, rentang indeks keanekaragaman jenis tumbuhan
di sana berkisar antara 0,41-1,79 yang berarti tingkat keanekaragaman jenisnya
tergolong rendah sampai sedang walaupun jumlah jenis yang didapat pada TNMT
lebih besar dari TNLW yaitu 155 jenis pada TNMT dan 120 jenis pada TNLW.
Hal tersebut kemungkinan dikarenakan INP dari tiap jenis pada TNMT yang
tergolong tinggi. Menurut Muhdi (2009), semakin tinggi INP menyebabkan
73
keanekaragaman semakin kecil karena berkurangnya jenis tertentu dan
menyebabkan jenis lain yang mendominasi (INP tinggi).
Kondisi keanekaragaman flora ini tentunya berkaitan dengan agen
pemencar biji, seperti burung. Tingkat keanekaragaman flora pada rentang sedang
hingga tinggi kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat keanekaragaman burung
yang tergolong sedang berdasarkan hasil inventarisasi burung yang telah
dilakukan di TNLW dan berpotensi untuk jumlah jenis yang lebih banyak lagi
pada lokasi-lokasi pengamatan. Menurut Jati (1998), Keanekaragaman jenis
vegetasi terkait dengan keanekaragaman jenis burung sebagai pemencar biji dan
ketergantungan burung terhadap pohon sebgai sumber pakan, tempat bersarang,
dan tempat berlindung. Dengan kondisi tingkat keanekaragaman yang tinggi,
menurut Whitemore (1990) dalam Sidiyasa (2006), tingkat keanekaragaman
hayati menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi
tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan
suatu komunitas. Kemudian dikatakan pula oleh Sidiyasa (2006), kestabilan yang
tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi pula. Hal ini disebabkan
oleh terjadinya interaksi yang tinggi sehingga akan mempunyai kemampuan yang
lebih tinggi dalam menghadapi gangguan-gangguan yang terjadi. Sehingga dapat
dikatakan kondisi hutan tempat dilakukannya pengamatan cenderung cukup stabil
dan mempunyai kemampuan yang cukup dalam menghadapi gangguan-gangguan
yang terjadi.
Untuk nilai kemerataan, kemerataan jenis tertinggi terdapat pada tigkat
tiang di Wanggameti (0,95) dan nilai kemerataan terendah juga terdapat di
Wanggameti pada tingkat semai (0,58). Sedangkan secara keseluruhan
kemerataan tertinggi ada pada tingkat tiang sebesar 0,94 sedangkan kemerataan
terendah ada pada tingkat semai sebesar 0,71. Menurut Sidiyasa (2006), Indeks
kemerataan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa distribusi (penyebaran)
individu-individu jenisnya lebih merata begitu pula sebaliknya. Menurut
penelitian Sularso (1996) dan Elias (1995) dalam Muhdi (2009), pada tingkat
semai pola penyebaran anakan di hutan alam memiliki pola penyebaran
berkelompok yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya individu-
individu masing-masing jenis tumbuh dan bersaing untuk hidup dalam areal yang
74
rapat, seringkali terjadi varian-varian yang disebabkan oleh adanya jenis-jenis
pohon lebih berkuasa (dominan) dengan lainnya. Hal tersebut juga kemungkinan
terkait dengan jenis-jenis toleran dan intoleran dan kebutuhannya akan cahaya,
sehingga untuk jenis intoleran tentunya akan lebih terkonsentrasi pada daerah
terbuka, yang menyebabkan penyebaran pada tingkat semai tidak merata.
Berdasarkan perhitungan nilai indeks kesamaan dari tiga lokasi
pengamatan. Indeks kesamaan ketiga lokasi tersebut memiliki nilai dibawah 50 %.
Sedangkan menurut Kusumoantono (1996) dalam Poleng dan Witono (2004), jika
IS>50% menunjukkan tipe komunitas hutan yang relatif sama. Dan menurut
Djufri (2002), tingkat kemiripan vegetasi tergolong rendah jika IS<50% yang
kemungkinan disebabkan adanya variasi kondisi lingkungan fisik, kimia, maupun
interaksi antar-jenis di sepanjang areal kajian, yang memungkinkan frekuensi dan
densitas setiap jenis juga bervariasi. Sehingga dapat dikatan bahwa diantara tiga
lokasi pengamatan tersebut memiliki kesamaan tipe vegetasi yang rendah. Hal
tersebut kemungkinan berkaitan dengan nilai keanekaragaman dari tiap lokasi
yang tergolong sedang-tinggi, dimana menurut Djufri (1996) dalam Djufri (2002),
indeks keragaman yang tinggi akan menghasilkan indeks kemiripan yang rendah.
Dari 120 jenis yang telah ditemukan, diketahui sebanyak empat jenis
yang masuk ke dalam daftar IUCN, jenis-jenis tersebut antara lain karakaka
(Aphanamixis polystachya (Wall.) R.N. Parker/grandiflora Blume), tada katambi
(Prunus arborea (Blume) Kalkm), mbukuhau (Podocarpus neriifolius D.Don)
yang tergolong dalam kategori Least Concern (LC), dan maniara (Aglaia edulis
A.Gray) yang tergolong dalam kategori Near Threatened (NT). Selain itu,
mbukuhau (Podocarpus neriifolius D.Don) termasuk ke dalam daftar CITES yang
masuk ke dalam kategori Appendiks III.
5.2 Potensi Jasa Lingkungan
Kawasan Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti merupakan salah satu
perwakilan ekosistem dataran tinggi di pulau Sumba. Gunung Wanggameti yang
mempunyai ketinggian 1225 mdpl merupakan gunung yang tertinggi di pulau
Sumba. Letaknya yang berada di bagian selatan pulau Sumba dan topografi yang
curam serta sulitnya jangkauan menuju wilayah ini menjadikan daerah kawasan
Wanggameti cenderung terlindungi dari kerusakan dibandingkan wilayah-wilayah
75
Sumba lainnya. Kondisi hutan yang cenderung masih bagus diduga
mempengaruhi suhu, kelembaban udara serta kualitas udara serta kualitas air yang
bersumber dari dalam kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Hasil pengukuran menunjukkan suhu dan kelembaban udara di kedua
SPTN ini menunjukkan bahwa suhu di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti
tidak terlalu panas yaitu hanya berkisar 22-28oC. Suhu yang diukur ini merupakan
suhu optimum pada saat musim penghujan. Suhu udara yang ada di Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti tidak terlalu panas atau masih tergolong sejuk
walaupun berada di daerah yang tergolong kering. Hal ini lebih cenderung
dipengaruhi oleh musim saat dilakukan pengukuran. Musim penghujan di Nusa
Tenggara Timur terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Maret dengan intensitas
hujan yang tergolong sering.
Sementara itu, kondisi kelembaban udara dikedua lokasi pengukuran juga
tidak terlalu berbeda. Kelembaban udara di SPTN II yang diukur di Wairunu
menunjukkan kelembaban udara tanpa naungan mencapai 78% sedangkan di
bawah tegakan sebesar 84%. Hasil pengukuran ini berarti kelembaban udara di
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti termasuk tingggi. Perbedaan kelembaban
ini disebabkan faktor vegetasi yang bertajuk rapat sehingga menghasilkan uap air
dari proses fotosintesis yang menambah jumlah uap air di udara. Tajuk yang rapat
memegang peranan yang penting dalam mengatur kelembaban udara. Pepohonan
yang melakukan proses fotosintesis akan menghasilkan produk berupa H2O atau
uap air. Semakin rapat tajuk pohon maka akan semakin banyak pula yang
menghasilkan uap air dan akan menyebabkan uap air yang ada di udara akan
semakin tinggi.
Salah satu manfaat keberadaan kawasan hutan selain menjaga kestabilan
suhu dan kelembaban, hutan juga berfungsi menjaga ketersediaan air di sekitar
kawasan Taman Nasional/ Taman Nasional Laiwangi Wanggameti mempunyai
peranan yang sangat penting dalam menjaga ketersediaan air yang ada di pulau
sumba. Keberadaan taman nasional laiwangi yang mempunyai 7 DAS besar yang
merupakan sumber air yang mengalirkan air di 12 sungai besar yang terus
mengalir sepanjang tahun dan menjadi sumber air utama bagi Kabupaten Sumba
76
Timur hingga Sumba Barat. Tentunya keberadaan air ini tidak lepas dengan
adanya fungsi hutan sebagai pengatur siklus hidrologi.
Adanya aliran air sungai yang bersumber di dalam kawasan Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti mempunyai peran yang sangat strategis bagi
pengelolaan kawasan. Oleh karena itu monitoring terhadap kuantitas dan kualitas
air yang mengalir dari dalam kawasan ini perlu terus dilakukan sebagai upaya
penjagaan terhadap jasa lingkungan yang memmpunyai nilai strategis yang tinggi
ini dimaksud dengan nilai strategis disini yang dapat bernilai ekonomi, sosial
kemasyarakatan dapat juga menjadi penguat keberadaan dan mempertinggi nilai
manfaat bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan dengan adanya taman
nasional.
Sungai yang bersumber dari dalam kawasan sangatlah banyak, namun
dari sekian banyak sungai hanya ada 12 sungai yang terus mengalir sepanjang
tahun dimana debit air berubah mengikuti perubahan musim hujan dan musim
kemarau. Kegiatan pengukuran debit air sungai ini hanya dilakukan di tiga sungai
yaitu sungai Laironja, sungai Katikuai dan sungai Laputi. Hal ini dikarenakan
sulitnya untuk menjangkau sungai-sungai yang lain.
Sungai Katikuai merupakan sungai yang mempunyai sumber mata air
dari gunung Wanggameti yang merupakan gunung tertinggi di pulau Sumba.
Sungai Katikuai terletak di enclave TNLW tepatnya di desa Katikuai SPTN II.
Sungai Katikuai ini mempunyai aliran air yang masuk ke dalam DAS Kambaniru,
sungai Katikuai ini mengalir hingga ke wilayah pantai yang berada di bagian
timur Sumba Timur yang menyatu dengan aliran sungai lainnya membentuk
sungai Kambaniru. Debit sungai Katikuai 6,5431 m3/s termasuk besar, atau dalam
sehari mampu mengalirkan air sebanyak 565324,79 m3. Besarnya debit sungai ini
dikarenakan pasokan air dari sungai Wanggameti yang besar. Hal ini dipengaruhi
dengan kondisi hutan yang masih terjaga di kawasan gunung Wanggameti.
Gunung Wanggameti merupakan gunung yang dianggap keramat bagi masyarakat
sekitar desa di sekitar kawasan, gunung ini menjadi tempat ritual bagi
kepercayaan marapu. Oleh karena itu hutan yang ada di sekitar gunung
Wanggameti tidak terusik oleh gangguan penebangan liar sehingga kemampuan
hutan untuk menjaga debit air di SPTN II khususnya yang mengalir ke sungai
77
Katikuai masih berfungsi dengan baik. Dasarnya yang berbatu membuat aliran
sungai Katikuai ini menjadi deras, dengan dasar berbatu ini juga menjadikan
sungai Katikuai mempunyai air yang jernih karena air tidak mengikis dasar tanah
sungai.
Berbeda dengan sungai Katikuai, sungai Laputi yang ada di SPTN I
kondisinya masih sangat bagus, mempunyai debit air yang besar yaitu 6,1479
m3/s. Meskipun sungai Laputi ini lebarnya tidak selebar sungai Katikuai, namun
sungai ini mempunyai debit air yang hampir sama dengan sungai Katikuai. Lebar
sungai Laputi hanya 4-6 meter saja, namun aliran air sungai Laputi deras dan
dalam. Hal inilah yang membuat debit sungai Laputi menjadi besar. Keberadaan
mata air ini tentu tidak lepas dengan kondisi hutan yang masih terjaga dengan
baik. Sungai Laputi merupakan sungai yang mempunyai mata air di sekitar hutan
Praingkareha, hutan yang ditetapkan oleh masyarakat sekitar sebagai hutan
keramat. Oleh karena itu kondisi hutannya masih terjaga dengan tutupan tajuk
yang rapat menutupi atap hutan.
Keberadaan hutan yang dianggap sakral ini memang memberikan
manfaat yang besar dalam penjagaan kelestarian hutan yang ada di Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti. Kearifan lokal adat merapu yang memiliki
keterkaitan terhadap ekosistem hutan memegang peranan penting, adanya
larangan menebang hutan di hutan adat, larangan berburu ikut serta dalam
menjaga keseimbangan ekosistem hutan di Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti.
Kondisi sungai Laironja mungkin berbeda dengan sungai Katikuai dan
sungai Laputi. Debit air sungai Laironja tergolong kecil, yaitu hanya 1,0271 m3/s
atau 88741,4 m3/hari. Meskipun debit air Laironja ini paling kecil dibandingkan
dengan kedua sungai sebelumnya, namun keberadaan sungai Laironja ini
memegang peranan penting bagi masyarakat di sekitar desa Wanggameti yang
memanfaatkan sungai Laironja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Keberadaan sungai Laironja yang tidak pernah kering di musim kemarau memiliki
nilai strategis bagi pengelolaan taman nasional karena mengingat masyarakat
sekitar kawasan sangat tergantung dengan keberadaan sungai Laironja ini,
meskipun sungai Laironja sulit untuk dijangkau namun pemanfaatan terhadap
78
sungai Laironja ini cukup tinggi. Bahkan pemanfaatan sungai Laironja pernah
terjadi konflik dengan masyarakat desa Wanggameti. Konflik ini terjadi karena
adanya pembangunan bak penampungan air yang berada di dalam kawasan tanpa
seizin pengelola taman nasional. Pembangunan bak penampungan air dibangun
masyarakat bekerja sama dengan PNPM mandiri, tentu saja bak pembangunan air
ini tidak bermasalah untuk dibangun di dalam kawasan, namun yang bermasalah
yaitu tidak adanya izin sebelumnya yang menjadikan proyek ini menjadi
bermasalah. Dari beberapa kondisi tersebut hal ini mengindikasikan bahwa
sumberdaya air di dalam kawasan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pengelolaan.
Tanah hutan merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekosistem-
ekosistem alami yang berkembang di kawasan hutan dengan fungsi dasar sebagai
penyedia aneka kebutuhan hidup komponen-komponen biotisnya. Fungsi-fungsi
dasar tanah hutan tersebut adalah a) penyedia ruang berjalarnya dan
berkembangnya akar tumbuhan, b) penyedia oksigen, air dan unsur hara dan c)
sebagai media yang memungkinkan tumbuh-tumbuhan berinteraksi dengan jasad
tanah.
Jenis tanah di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah tanah
grumosol. Tanah grumosol atau margalith adalah tanah yang terbentuk dari
material halus berlempung. Tanah grumosol merupakan jenis tanah yang tersebar
hampir di semua wilayah Nusa Tenggara baik Nusa Tenggara Timur sampai Nusa
Tenggara Barat (Purwowidodo 1998). Ditinjau dari kesuburannya, tanah
grumosol mempunyai kesuburan yang cukup tinggi. Kesuburan tanah ditentukan
oleh sifat kimia, fisika dan biologis tanah (Setiadi et al, 1992). Berdasarkan hasil
analisis sifat fisik tanah yang berupa struktur tanahnya, tanah di TNLW
berstruktur granuler dengan KTK tinggi. Hal ini lah yang membuat tanah di
kawasan TNLW menjadi subur. Kesuburan tanah merupakan kekuatan di dalam
budidaya hutan tanaman, kesuburan tanah inilah yang menentukan biji tanaman
mudah atau tidak untuk bertunas membentuk individu-individu pohon yang baru
di dalam hutan. Persebaran tanah grumosol di dalam kawasan hanya terbatas di
lokasi-lokasi tertentu saja, sebagian besar kawasan ditutupi oleh bebatuan karang
yang belum lapuk sehingga hanya dapat ditumbuhi rerumputan saja.
79
5.3 Ekowisata
Berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti (TNLW), dapat dilakukan suatu pengembangan potensi wisata.
Pengembangan potensi wisata yang ada dikawasan TNLW didasarkan pada
potensi fisik dan biologi. Pengembangan potensi wisata yang ada di kawasan
TNLW lebih ditekankan pada dua aspek utama, yaitu pengembangan Obyek dan
Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) dan pemberdayaan masyarakat di sekitar
kawasan TNLW. Selain itu, pengembangan potensi wisata tersebut harus
disesuaikan dengan daya dukung wisata yang dimiliki kawasan TNLW. Ketiga
hal tersebut harus berjalan beriringan sehingga ekowisata yang kemudian berjalan
di kawasan TNLW merupakan ekowisata yang berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan.
Selain obyek wisata berupa pemandangan alam serta obyek fisik lain
yang telah diidentifikasi sebelumnya, maka dapat pula dikembangkan obyek
wisata lain berupa obyek biologi. Obyek biologi dapat dikembangkan melalui
kegiatan pengamatan hidupan liar di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Berdasarkan hasil pengamatan keanekaragaman hayati di kawasan taman
nasional, terdapat tiga jalur pengamatan yang berpotensi sebagai obyek biologi,
yaitu jalur Billa, jalur Praingkareha, dan jalur Ampupu.
Jalur pertama yaitu jalur pengamatan Billa yang terletak di desa Billa
hingga memasuki kawasan TNLW. Desa Billa merupakan desa yang berbatasan
langsung dengan kawasan TNLW. Jalur pengamatan ini berupa padang rumput
dengan substrat tanah berlumpur dan hutan dengan vegetasi yang cukup rapat.
Di jalur ini ditemui 2 jenis mamalia, 16 jenis burung, 7 jenis kupu-kupu,
27 jenis semai, 29 jenis pancang, 12 jenis tiang, dan 29 jenis pohon. Jenis
mamalia yang ditemui di lokasi ini adalah codot (Cynopterus sp.) dan babi hutan
(Sus scrafa). Jenis-jenis burung yang dapat ditemui di lokasi ini adalah kakatua
kecil jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocristata), julang Sumba
(Rhyticeros everetti), Trichoglossus haematudus, Trichoglossus euteles,
Collacalia esculenta, Merops ornatus, Coracina dohertyi, Dicrurus densus,
Brachypteryx leucophrys, Orthotomus sepium, Terpsiphone paradisi, Rhipdura
fuscorufa, Rhipdura rufifrons squamata, Pachycephala pectoralis, Aplonis minor,
80
dan Philemon inornatus. Kakatua kecil jambul jingga dan julang Sumba
merupakan jenis burung endemik P. Sumba. Disamping itu, ditemukan pula jenis
kupu-kupu seperti Danaus chrysippus dan Pachliopta aristolochiae. Danaus
chrysippus merupakan jenis kupu-kupu yang memiliki warna menarik, sedangkan
Pachliopta aristolochiae merupakan satu-satunya genus Pachliopta dari suku
Papilionidae. Jenis tumbuhan menarik yang dapat dijumpai di lokasi ini antara
lain mara dan sarang semut. Mara (Acalypha caturus Blume) merupakan jenis
pohon yang dimanfaatkan oleh kakatua kecil jambul jingga untuk bersarang,
sedangkan sarang semut dikenal sebagai salah satu jenis tumbuhan obat.
Tumbuhan ini merupakan tumbuhan epifit yang hidup menempel pada tumbuhan
lainnya. Sarang semut merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang memiliki
berbagai khasiat. Khasiat sarang semut diantaranya, untuk mengobati asam urat,
lever, jantung, kanker payudara, serta khasiat lainnya (Hikmat 2010).
Jalur pengamatan Praingkareha terletak di kawasan TNLW yang
berbatasan dengan desa Praingkareha. Di sepanjang jalur ini ditemui 1 jenis
mamalia, 18 jenis burung, serta 17 jenis kupu-kupu. Di lokasi ini tidak dilakukan
analisis vegetasi sehingga tidak diketahui jenis vegetasi yang terdapat di jalur ini.
Jenis mamalia yang ditemui adalah codot kecil kelabu (Penthetor lucasii). Jenis
burung yang ditemukan di lokasi ini adalah Gallus gallus, Gallus varius,
Macropygia ruficeps, Ducula aenea, Ducula concinna, Trichoglossus
haematudus, Tanygnathus megalorynchos, Cacomantis sepulcralis, Cacomantis
variolosus, Centropus bengalensis, Collacalia esculenta, Rhyticeros everetti,
Dicrurus densus, Oriolus chinensis, Corvus macrorhynchos, Philemon inornatus,
Nectarinia buettikoferi, dan Megalaima armillaris. Di lokasi ini ditemukan 15
ekor julang Sumba (Rhyticeros everetti) yang sedang bertengger di sebatang
pohon. Jenis kupu-kupu yang dijumpai pada lokasi ini Eurema hecabe, Appias
albina, Catopsilia pomona, Catopsilia scylla, Euploea sp., Mycalesis fuscum,
Parantica limniace, Ideopsis sp., Ideopsis sp.*, Cethosia hypsea, Euploea sp.*,
Euploea sp.**, Euploea eunice, Papilio sp., Papilio polytes, Papilio acheron, dan
jenis Z yang tidak teridentifikasi. Jenis kupu-kupu yang ditemui beberapa
daintaranya termasuk kedalam suku Papilionidae. Jenis-jenis tersebut memiliki
ukuran yang cukup besar dan warna yang menarik.
81
Jalur pengamatan Ampupu terletak di sepanjang jalan menuju hutan
Ampupu yang terletak di kawasan TNLW. Hutan ampupu merupakan hutan
tanaman yang ditanam untuk kepentingan reboisasi. Hutan ini hanya memiliki
vegetasi berupa ampupu (Eucalyptus urophylla). Di jalur ini ditemui 9 jenis
burung dan 14 jenis kupu-kupu. Jenis burung menarik yang dijumpai di lokasi ini
antara lain perkici orange (Trichoglossus capistratus fortis). Perkici orange
merupakan burung yang sering dijumpai di lokasi ini. Burung ini ditemui
sejumlah 16 ekor sedang hinggap dan terbang. Selain burung, jenis kupu-kupu
yang ditemukan antara lain Eurema hecabe, Eurema sari sari, Catopsilia
pyranthe, Ypthima baldus horsfieldi, Junonia iphita, Neptis miah, Euploea sp.,
Athyma perius, Junonia hedonia, Mycalesis fuscum, Orsotriaena medus, Danaus
sp., Papilio sp., Papilio helenus.
Pengembangan ODTWA yang ada di kawasan TNLW dilakukan setelah
tahapan inventarisasi potensi wisata yang ada di kawasan TNLW selesai
dilaksanakan. Pengembangan ODTWA tersebut dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain mengembangkan program-program alternatif wisata yang
kemudian dapat dirangkaikan menjadi suatu paket wisata di kawasan TNLW;
mengembangkan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekowisata di TNLW;
serta merancang bentuk, media interpretasi, dan media promosi wisata di kawasan
TNLW. Pengembangan sarana dan prasarana pendukung wisata di kawasan
TNLW tersaji pada Tabel 27.
Tabel 27 Pengembangan sarana dan prasarana pendukung wisata di kawasan
TNLW
No. Lokasi Pengembangan Sarpras1 Air terjun Laputi a. perbaikan track menuju air terjun
b. perbaikan shelter dan kamar mandi di sekitar air terjunc. penambahan papan interpretasi dan papan penunjuk arahd. pembuatan sarana tambahan untuk menuju lokasi untuk melihat air terjun lebih dekat seperti jembatan gantunge. pemandu yang dapat mengiterpretasikan sejarah Laputi
2 Danau Laputi a. perbaikan track menuju danaub. pembuatan papan interpretasi dan papan penunjuk arah yang ditempatkan di sekitar danau
82
3 Goa a. pembuatan track menuju goa yang aman untuk dilaluib. pembuatan pagar pengaman di sepanjang jalan menuju goa karena jalan yang harus dilalui merupaan tebing berbatuc. pembuatan papan interpretasi dan papan penunjuk arahd. pemandu dan tim pendamping untuk penelusuran goa
4 Situs makam nenek moyang (RHL)
a. pembuatan pagar pembatas untuk menandai situs makam nenek moyang di areal RHLb. pembuatan papan interpretasi yang berisi informasi mengenai situs makam ini
5 Puncak Wanggameti
a. pemantauan secara berkala track yang digunakan untuk menuju puncak Wanggametib. pemandu dan tim pendamping untuk mendaki puncak Wanggameti
6 Watu munggu- Laimbona
a. pembuatan pagar pembatas untuk menandai watu munggub. pembuatan papan interpretasi yang berisi informasi mengenai tempat ini
7 Jalur pengamatan Billa
a. perbaikan pondok kerja yang terdapat di padang Billab. pemandu untuk pengamatan satwac. pembuatan papan interpretasi di sekitar obyek yang menarik, misalnya : pohon tempat bersarang kakatuad. penyediaan prasarana pendukung pengamatan seperti binokuler, jaring, dan fieldguide
8 Jalur pengamatan Praingkareha
a. pemandu untuk pengamatan satwab. pembuatan papan interpretasi di sekitar obyek yang menarikc. penyediaan prasarana pendukung pengamatan seperti binokuler, jaring, dan fieldguide
10 Jalur pengamatan Ampupu
a. pembuatan shelter untuk pengamatan satwa dan melihat panorama alam sekitar Ampupub. pembuatan papan interpretasi di sekitar obyek yang menarikc. penyediaan prasarana pendukung pengamatan seperti binokuler, jaring, dan fieldguide
Menurut Dirjen PHPA (1988) dalam Sopiyudin (2003), bentuk
interpretasi dibagi menjadi dua bagian, yaitu interpretasi langsung dan interpretasi
tidak langsung. Interpretasi langsung merupakan bentuk interpretasi yang secara
langsung membawa pengunjung pada obyek interpretasi yang ditawarkan,
sedangkan interpretasi tidak langsung merupakan bentuk interpretsi dengan
menggunakan media interpretasi. Bentuk interpretasi yang dapat digunakan pada
obyek-obyek wisata yang ada di kawasan TNLW sebagian besar adalah
83
interpretasi langsung. Pengunjung dibawa langsung menjumpai obyek-obyek
wisata yang ada di kawasan TNLW. Hal ini dikarenakan sebagian besar obyek
wisata yang terdapat di kawasan TNLW merupakan obyek yang memiliki
aksesibilitas cukup mudah dan memiliki tingkat keamanan pengunjung cukup
tinggi. Selain itu, obyek-obyek wisata yang terdapat di kawasan TNLW sebagian
besar berupa obyek fisik yang membutuhkan interpretasi langsung untuk melihat
keindahannya.
Bentuk interpretasi langsung yang dikembangkan dapat menggunakan
bantuan pemandu wisata atau tidak. Pemandu wisata dibutuhkan untuk
menyampaikan informasi kepada pengunjung mengenai obyek yang dikunjungi.
Namun, hal ini disesuaikan dengan obyek yang dikunjungi maupun sasaran
pengunjung. Obyek-obyek yang membutuhkan pemandu wisata untuk
menginterpretasikannya adalah obyek-obyek yang memiliki cerita atau sejarah
yang berhubungan dengan masyarakat setempat, misalnya obyek Laputi (air
terjun, danau, hutan Laputi), puncak Wanggameti, situs makam nenek moyang
(RHL), serta jalur pengamatan satwa.
Media interpretasi dibutuhkan juga untuk memberikan informasi yang
lebih rinci kepada pengunjung mengenai obyek wisata yang ada di TNLW. Selain
itu, media interpretasi juga berperan untuk menjelaskan obyek yang tidak
mungkin dijangkau pengunjung karena aksesnya yang sulit. Media interpretasi
yang dapat digunakan untuk pengembangan wisata di TNLW antara lain papan
informasi yang berisi peta sebaran obyek, papan interpretasi yang berisi informasi
mengenai obyek, film dokumenter mengenai obyek wisata yang ada di kawasan
TNLW, dan sebagainya.
Pengembangan ODTWA tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat
sekitar kawasan. Menurut Balai Taman nasional Laiwangi Wanggameti (2010),
kondisi ekonomi desa-desa di sekitar kawasan relatif pada level sedang-kurang
mampu. Budidaya pertanian dan berternak telah mengalami perubahan dan
perbaikan terutama dari ragam komoditi yang dibudidayakan. Produktifitas
masyarakat desa sekitar dalam melakukan budidaya masih tergolong rendah. Hal
ini dikarenakan masih rendahnya sinergitas proyek-proyek pemerintah/swasta di
sekitar kawasan.
84
Potensi budidaya pertanian skala kecil (kutu lak dan jambu mete) masih
belum intensif, terutama pada pemanfaatan luas lahan tanaman, belum adanya
benih yang berkualitas, serta belum adanya akses petani terhadap pemanfaatan
modal dari bank. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNLW dilakukan
sebagai upaya untuk mendukung kegiatan ekowisata di TNLW dan untuk
mengatasi keadaan ekonomi masyarakat yang masih tergolong rendah. Selain itu,
pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan juga bertujuan untuk melstarikan
budaya yang ada serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui kegiatan
ekowisata yang berjalan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang terdapat di
sekitar kawasan TNLW dapat dilakukan melalui produk kerajinan serta atraksi
budaya masyarakat.
Potensi kebudayaan masyarakat sekitar taman nasional dirasa belum
mendapatkan perhatian lebih, baik dari taman nasional maupun dari pemerintah
daerah Sumba Timur. Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata baru menginisiasi adanya kegiatan pelestarian budaya dengan
mengadakan event budaya setiap tahunnya. Namun, event budaya yang diusulkan
dinas pariwisata setempat hanya mengakomodasi kegiatan adat berupa upacara
adat karaki. Hasil budaya lainnya berupa kain tenun masih kurang mendapat
perhatian. Menurut hasil wawancara, beberapa tahun terakhir, para penenun sudah
mulai jarang memproduksi kain tenun. Selain itu, motif yang dihasilkan tidak
sebagus beberapa tahun yang lalu. Motif tenun yang dihasilkan penenun Sumba
Timur lebih bervariasi dibandingkan dengan motif tenun Sumba Barat. Namun,
hal yang harus dijadikan perhatian adalah penenun di Sumba Barat sekarang telah
banyak melakukan inovasi dari motif tenun Sumba Timur. Pelestarian motif tenun
Sumba Timur sangat diperlukan agar di masa mendatang motif kain tenun dapat
terus ada. Adanya pengembangan ekowisata yang dilaksanakan TNLW
diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang ada untuk mensejahterakan
masyarakat sekitar.
Pengembangan potensi wisata yang akan dilakukan juga harus
memperhatikan daya dukung kawasan. Daya dukung tapak terdiri dari dua
komponen, yaitu daya dukung fisik dan daya dukung sosial (Rahman, 2006).
Daya dukung fisik terdiri dari komponen-komponen biofisik seperti luas lahan
85
yang digunakan, jenis tanah, hidrologi, kemiringan serta kepekaan vegetasi dan
satwa. Komponen daya dukung sosial dilihat dari pola-pola kunjungan serta
tingkat penggunaan aktivitas. Daya dukung kawasan untuk kepentingan wisata di
TNLW perlu dihitung untuk menyesuaikan nilai kerentanan obyek yang ada
dengan jumlah kunjungan pada obyek tersebut sehingga kelestarian obyek dapat
terus dipertahankan.
5.4 Kelembagaan dan Pengelolaan Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti
5.4.1 Kelembagaan Taman Nasional Laiwangi Wanggemeti
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) merupakan salah satu
taman nasional yang baru, mengingat penetapan kawasan pun terhitung baru pada
tahun 2006. Namun apabila disesuaikan dengan mandat sebuah taman nasional,
maka TNLW diberikan mandat yang serupa dengan taman nasional lain yang
telah lebih dahulu berdiri. Selanjutnya pada tahun 2006 tersebut taman nasional
melakukan penataan batas kawasan sebagai langkah awal pembangunan taman
nasional, walaupun hingga saat ini penataan tata batas masih belum temu gelang.
Disamping itu terdapat perbedaan pemahaman masyarakat umum dengan taman
nasional mengenai tata batas tersebut. Pada tahun 1985 BPKH Denpasar
melakukan penataan tata batas yang pada saat itu masih berstatus kawasan
lindung, dan tata batas tersebut yang diakui oleh masyarakat. Maka taman
nasional mengambil kebijakan untuk melakukan rekonstruksi penataan batas
kawasan pada tahun 2010 hingga 2011 dan sosialisasinya termasuk dengan zonasi
hingga tahun 2014. Permasalahan tersebut berlarut-larut hingga saat ini, maka
perlu rasanya dibuat strategi pengelolaan yang efektif, karena tidak dipungkiri
bahwa dalam pengelolaan TNLW tersebut, balai taman nasional masih terdapat
kekurangan.
Permasalahan yang paling mendasar disamping masalah-masalah lain
yang dihadapi balai ialah kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang
dimiliki balai masihlah lemah dan tidak representatif. Secara kuantitas, dengan
luasan taman nasional yang mencapai 47.014 ha ternyata jumlah pegawai hanya
38 orang. Apabila merujuk pada standar kepegawaian taman nasional, untuk
86
mendapatkan kekuatan dalam pengelolaan taman nasional setidaknya taman
nasional memiliki 55 orang pegawai taman nasional yang diantaranya 1 orang
kepala balai, 1 orang kepala bagian tata usaha, 2 orang kepala seksi, dan 51 orang
tanaga non struktural.
Terkait dengan kualitas SDM, balai pun sadar akan kelemahan tersebut
maka dari itu balai sering mengirimkan perwakilannya dalam pelatihan-pelatihan.
Namun yang perlu disadari adalah bagaimana menyikapi persyaratan menjadi
pegawai taman nasional yang perlu memiliki kompetensi konservasi itu sendiri,
artinya peningkatan kualitas SDM dalam hal ini adalah peningkatan dalam hal
kompetensi dasar mengenai ilmu konservasi. Hal tersebut berdasarkan fakta
bahwa yang menjadi pegawai taman nasional memiliki latar belakang keilmuan
yang beragam sedangkan dalam mengelola taman nasional sangat berkaitan
dengan konservasi. Perlu dipahami lebih lanjut bahwa hal tersebut bukan menjadi
suatu batasan terkait penerimaan pegawai taman nasional kedepannya, namun
perlu disadari bahwa dengan beragamnya latar belakang keilmuan tersebut dapat
saja menjadi faktor menguntungkan dalam pengelolaan taman nasional.
Telah disebutkan bahwa perlu adanya strategi pengelolaan dalam
mengelola taman nasional baru seperti TNLW ini. Namun sebelum menjabarkan
strategi pengelolaan, terlebih dahulu perlu adanya identifikasi masalah-masalah
yang ada terkait pengelolaan TNLW. Bahasan terkait permasalahan-permasalahan
yang ada pada taman nasional telah dibicarakan pada tingkat Kabupaten Sumba
Timur yang diikuti oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta instansi-
instansi pemerintah yang terkait. Dalam bahasan tersebut telah sepakat bahwa
akan adanya pengelolaan kolaboratif yang membentuk suatu Badan Taman
Nasional yang menjembatani antara taman nasional itu sendiri dengan pihak-pihak
terkait. Selanjutnya arah kebijakan pun dibuat melalui kesepakatan bersama
tersebut dan diharapkan dapat memenuhi beberapa aspek sebagai berikut :
a. Keanekaragaman hayati dari TNLW dapat tetap dipertahankan
b. Sumberdaya alam yang ada dapat digunakan secara berkelanjutan pada
zona-zona pemanfaatan tradisional.
c. Masyarakat dapat mendukung penerapan peraturan yang ada mengenai
taman nasional.
87
d. Menurunnya penyerobotan lahan/kawasan hutan taman nasional oleh
masyarakat.
Beberapa aspek tersebut merangkum dari banyak masalah yang dihadapi
taman nasional seperti, penyerobotan lahan taman nasional yang menurut
masyarakat dimiliki sejak nenek moyang, seperti adanya enclave, perburuan liar
terhadap burung endemik dan dilindungi seperti Kakatua kecil jambul jingga,
pembakaran lahan untuk perladangan, masuknya hewan-hewan ternak kedalam
kawasan untuk mencari pakan ternak, ketergantungan masyarakat terhadap hutan
terutama kayu, serta permasalahan tambang yang sengketa karena permasalahan
pal batas.
Melihat dari permasalahan yang telah dipaparkan dapat ditarik satu
kesimpulan bahwa permasalahan yang dihadapi taman nasional pada dasarnya
ialah dengan masyarakat. Hal tersebut telah disadari oleh pihak balai, dan pihak
balai pun menindaklanjuti hal tersebut dengan menginisiasi berbagai kegiatan
masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah pengadaan benih ikan dan
pembentukan kelompok desa di Praingkareha. Pembentukan kegiatan-kegiatan
tersebut cukup efektif dilakukan untuk menekan tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap hutan.
Beberapa permasalahan tersebut secara prinsip telah disebutkan
sebelumnya terdapat 4 hal arah kebijakan. Selanjutnya secara teknis strategi
pengelolaan perlu dikembangkan menjadi sebuah langkah atau strategi taktis yang
realistis untuk dilakukan. Langkah-langkah tersebut dapat dipaparkan sebagai
berikut :
1. Penetapan batas kawasan beserta zonasinya yang diakui oleh berbagai
pihak terkait seperti masyarakat, LSM terkait, dan instansi pemerintah. Hal
ini menjadi langkah dasar taman nasional sebab dengan batas dan zona
yang melibatkan berbagai pihak taman nasional dapat menegakan aturan
taman nasional sesuai dengan hukum yang berlaku dan hal tersebut akan
sangat efektif.
2. Menetapkan kebijakan dalam suatu kegiatan atau struktur pengelolaan
yang kolaboratif antara masyarakat dan taman nasional itu sendiri. Aspek
ini berarti segala kegiatan taman nasional selain memprioritaskan
88
kelestarian hutan namun juga tetap mementingkan aspek sosial masyarakat
sekitarnya, karena justru masyarakatlah yang menjadi ujung tombak
penjagaan kawasan taman nasional mengingat secara kuantitas taman
nasional tidak memiliki personil yang cukup. Di desa sekitar taman
nasional ataupun enclave telah membentuk KPMH yang memang
diinisiasi oleh masyarakat itu sendiri. Maka taman nasional hendaknya
mengakui keberadaan KMPH tersebut dengan melibatkannya dalam
kegiatan-kegiatan taman nasional.
3. Melakukan pengembangan SDM untuk menunjang keberhasilan
pengelolaan SDA TNLW. Telah disebutkan hal-hal yang perlu dilakukan
untuk merekonstruksi kelemahan yang ada diluar, maka perlu juga
semacam upgrading yang bertujuan meng-upgrade SDM dari pihak dalam
(taman nasional). Kegiatan ini perlu dilakukan untuk mendukung
kesuksesan suatu pengelolaan agar dapat diimbangi dengan target yang
telah ditetapkan.
Penetapan batas partisipatif yang artinya diakui dan dilakukan oleh
berbagai pihak perlu secepatnya dilakukan, karena hal tesebut yang menjadi dasar
kekuatan hukum taman nasional dalam praktiknya. Taman nasional masih belum
mencapai targetnya yaitu tamu gelang batas kawasan, dan hal itu perlu menjadi
prioritas utama sebab permasalahan yang dihadapi taman nasional bermula dari
batas kawasan yang tidak jelas.
Berbagai pengembangan yang dilakukan pada dasarnya memang
berpusat pada masyarakat, namun pengembangan ke arah lain pun diharapkan
menjadi nilai tambah taman nasional. TNLW memiliki potensi dari resapan air
yang cukup tinggi, sumber air bagi daerah Sumba Timur, daerah hijau dan lain-
lain. Hal tersebut dapat dimanfaatkan apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi.
Taman nasional dapat bekerjasama dengan berbagai perusahaan atau instansi
pemerintah terkait menyangkut dengan penggunanaan air dan udara (carbon
stock). Namun yang paling realistis untuk dikembangkan adalah sumberdaya air
yang melimpah. Taman nasional dapat mengembangkan kerjasama dengan PLTA
setempat untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan kelestarian hutan. Selain
itu taman nasional pun dapat merangsang adanya perusahaan yang
89
mengembangakan pembangkit listrik tenaga angin dan surya. Terdapat di SPTN II
potensi pembangkit listrik tenaga angin tersebut. Posisi SPTN II yang terdapat di
puncak bukit-bukit, memberikan tenaga angin yang cukup besar, dengan kincir
yang dapat dirancang sedemikian rupa, pembangkit listrik tenaga angin dapat
diwujudkan.
5.4.2 Arah Pengembangan Pengelolaan Taman Nasional Laiwangi
Wanggemeti
Taman nasional Laiwangi Wanggemeti (TNLW) telah dipaparkan
sebelumnya merupakan taman nasional yang tergolong baru dan masih dalam
taraf pembangunan dasar-dasar pengelolaan taman nasional. Maka perlu adanya
dasar arah pengembangan taman nasional dengan mempertimbangkan berbagai
potensi yang ada di taman nasional tersebut. TNLW memiliki berbagai potensi
yang dapat dikembangkan. Potensi tersebut secara garis besar ialah potensi
keanekaragaman baik flora maupun faunanya dan potensi bentang alam yang
dapat diproyeksikan menjadi ekowisata.
Pengembangan taman nasional lebih jauh mempertimbangkan aspek yang
lebih spesifik. Pertimbangan pertama ialah dari aspek satwanya. Burung
merupakan salah satu jenis satwa yang memiliki keanekaragaman yang sangat
tinggi, terlebih berdasarkan informasi dari burung indonesia terdapat 9 jenis
burung endemik yang terdapat di TNLW. Pengamatan yang dilakukan tim PKLP
IPB 2011 selama 10 hari di kawasan taman nasional menghasilkan data
keanekaragaman jenis burung sebanyak 58 jenis. Dengan waktu yang terbatas
jenis yang didapat cukup banyak artinya peluang perjumpaan dengan burung
masih sangatlah tinggi. Selain itu kurva penemuan jenis MacKinnon menunjukan
bahwa peluang penemuan jenis-jenis baru masih sangatlah tinggi. Maka pengelola
dalam hal ini taman nasional perlu melakukan inventarisasi secara menyeluruh,
yang artinya inventarisasi dilakukan tidak hanya dipinggir kawasan namun masuk
ke dalam kawasan. Sehingga dengan begitu hasil data yang akan didapat akan
mewakili taman nasional secara keseluruhan.
Taman nasional sangat menyadari bahwa data yang diperoleh perlu
dilakukan evaluasi monitoring hingga pengambilan data ulang dalam rangka
pembaharuan data. Hal tersebut telah dilakukan pada tahun 2010 oleh taman
90
nasional. Namun seperti halnya yang telah dipaparkan dalam kaitannya dengan
burung, bahwa pengambilan data ulang perlu dilakukan secara menyeluruh
kawasan dan hal ini tidak terbatas pada kajian burung. Tim PKLP IPB 2011
menyimpulkan dari hasil kajian pada burung, kupu-kupu, mamalia maupun flora,
bahwa dengan data yang telah didapat oleh tim masih sangat dimungkinkan untuk
terus bertambah keanekaragamannya. Hal ini didasarkan pada hasil pengolahan
data dari seluruh kajian baik dari kurva penemuan jenis MacKinnon untuk burung
ataupun kurva spesies area untuk flora.
Inventarisasi menjadi sangat penting untuk pengelolaan TNLW saat ini
karena hal tersebut merupakan salah satu dasar pengelolaan taman nasional
kedepan disamping masalah tata batas. Secara khusus inventarisasi flora yang
dilakukan tim menunjukan bahwa pada tingkat semai dan tiang cukup rendah.
Hipotesis tim PKLP IPB 2011 untuk flora menunjukan bahwa rendahnya tingkat
semai dimungkinkan oleh ternak yang masuk ke dalam kawasan yang memakan
tumbuhan tingkat bawah tersebut, selanjutnya untuk tingkat tiang dimungkinkan
akibat pencurian oleh masyarakat yang digunakan untuk bahan bangunan. Hal ini
bisa menjadi ancaman yang serius apabila taman nasional tidak tanggap untuk
mengambil kebijakan. Permasalahan ternak yang masuk kawasan pada dasarnya
dilakukan asumsi sementara bahwa masyarakat tidak mempunyai lahan ternak dan
pakan ternak. Hal tersebut telah berlangsung lama bahkan sebelum TNLW berdiri.
Maka berdasarkan pada hipotesis tersebut dihasilkan beberapa rekomendasi
terkait pengelolaan untuk aspek flora.
Peraturan Menteri Kehutanan P.56/2006 memungkinkan penetapan
sampai 7 zona berdasarkan fungsi konservasi dan pemanfaatan. Untuk
mempermudah pengelolaan, proses penetapan dan pengaturan tata batas,
sebaiknya penataan ruang taman nasional disederhanakan dengan membagi ruang
taman nasional menjadi hanya dua zona yakni zona pemanfaatan (zona khusus)
dan zona bukan pemanfaatan (zona inti). Zona khusus seharusnya merupakan
hasil kesepakatan antar pihak yang dikelola secara kolaboratif sebagai satu
kesatuan dengan taman nasional. Tujuannya untuk menyatukan pembangunan
masyarakat dengan konservasi (Mulyana et al. 2010). Zona khusus dapat
dibentuk oleh taman nasional dengan pertimbangan hewan ternak yang masuk ke
91
dalam kawasan telah mengakar pada masyarakat sekitar bahkan telah
membudaya bahwa hewan ternak dalam jumlah besar tidak digembalakan.
Selanjutnya dengan pencurian kayu khususnya untuk tingkat tiang, hal yang perlu
dilakukan selain sosialisasi mengenai penyadartahuan terhadap pentingnya
kelestarian namun perlu juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa
sekitar kawasan. Peningkatan kesejahteraan dapat dilakukan dengan menlibatkan
masyarakat dalam berbagai kegiatan taman nasional seperti partoli kawasan
ataupun didalam kelompok kerja atau kelompok tani yang sudah ada seperti
KMPH atau pun Model Desa Konservasi (MDK) yang telah didirikan taman
nasional.
Secara keseluruhan langkah pengelolaan yang perlu disegerakan ialah
rehabilitasi habitat. Hal tersebut melihat kondisi taman nasional dalam hal ini
lokasi yang dijadikan tim PKLP praktek Billa, Praingkareha, Wundut dan
sekitarnya sedikit banyaknya mengalami gangguan. Terutama di Billa yang
sebelumnya terdapat Rusa dan hingga kini hilang, hanya di Padang Pahar yang
masih banyak populasi Rusanya. Baik di daerah Billa ataupun skala seluruh
kawasan taman nasional yang mengalami gangguan habitat yang berakibat pada
menurunnya tingkat keanekaragaman satwa liar ataupun menurunnya populasi
satwa liar, maka Rehabilitasi habitat kebijakan yang efektif. Sejalan dengan
pernyataan Alikodra (2002) bahwa untuk mendukung kehidupan satwaliar
diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan
hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung,
berkembangbiak maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya. Komponen-
komponen pendukung kehidupan satwaliar tersebut menjadi faktor pembatas
dalam kehidupan satwaliar terutama mamalia.
Dalam pembinaan habitat, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan
fluktuasinya dan dipantau untuk menetapkan program-program pengelolaan yang
tepat (Alikodra 1983). Habitat mamalia yang ditemukan dahulunya berupa hutan
yang luas. Namun setelah terjadi gangguan dan alam mengalami perubahan
kondisi, habitat mamalia didominasi oleh savana. Perubahan yang terjadi pada
habitat tersebut berdampak pada perubahan komponen-komponen pendukung
kehidupan satwaliar sehingga dapat mengubah daya dukung lingkungannya baik
92
dari segi kualitas maupun kuantitas secara keseluruhan, karena keseimbangan
alampun ikut terganggu. Oleh karena itu sebelum dilakukan kegiatan pembinaan
habitat perlu dilakukan pula penelitian mengenai asal mula lokasi yang akan
dilakukan pembinaan habitat tersebut. Misalnya saja harus diketahui karakteristik
kawasan yang akan dilakukan pembinaan habitat tersebut serta sejarah asal mula
kawasan apakah dulunya merupakan hutan ataukah padang savana atau jenis
ekosistem lainnya. Sehingga dari kegiatan ini diharapkan dapat terus menjaga
kelestarian satwa liar yang ada di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Pertimbangan selanjutnya dalam arah pengembangan pengelolaan
TNLW ialah kaitannya dengan jasa lingkungan terutama ekowisata. Potensi
ekowisata baik yang terdapat di SPTN I maupun SPTN II. Potensi tersebut
meliputi Air Terjun Laputi, Danau Laputi, dan lainnya untuk di SPTN I dan
bentang alam seperti perbukitan yang membentang sepanjang jalur menuju SPTN
II yang sangat menarik serta unik. Potensi-potensi tersebut sangat berpeluang
untuk dijadikan salah satu pengembangan TNLW menjadi ekowisata. Namun
potensi tersebut kurang didukung oleh sarana pendukung lainnya seperti akses
menuju lokasi yang mengalami kerusakan jalan serta transportasi umum yang
sangat terbatas dan sulit, kemudian sarana prasarana yang terdapat dilokasi masih
sangat minim. SPTN I telah mengarahkan potensi tersebut dengan membangun
sarana prasarana pendukung ekowisata seperti papan interpretasi, shelter, serta
toilet umum. Namun tidak halnya dengan SPTN II, arah pengembangan ekowisata
tidak menjadi prioritas utama disana. Secara keseluruhan pengelolaan TNLW
untuk ekowisata memang lebih diprioritaskan untuk SPTN I, namun dengan
pertimbangan potensi-potensi yang ada baiknya pengelolaan terhadap ekowisata
haruslah berimbang. Sebab masing-masing SPTN memiliki potensi yang berbeda
dan unik. Maka dengan perbedaan tersebut jelas bahwa kaitannya dengan aspek
pasar pengunjung akan memiliki pasarnya masing-masing.
Berbagai pertimbangan arah pengembangan pengelolaan TNLW secara
prinsip harus berdasarkan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati serta
ekosistem yang ada di TNLW. Melihat berbagai pertimbangan yang telah
dipaparkan terkait dengan keanekaragaman hayati baik untuk satwa liar ataupun
flora serta pengembangan ekowisata, maka langkah pengelolaan untuk saat ini
93
baiknya diarahkan pada pembinaan habitat hingga rehabilitasi habitat yang telah
dilakukan di Billa untuk SPTN I dan Hutan Ampupu di SPTN II. Pembinaan
habitat akan berkorelasi langsung dengan pembinaan satwa liar seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya terkait dengan keseimbangan ekosistem. Dengan begitu
pengelolaan TNLW akan berjalan secara bertahap dan alami, serta faktor
pendukung ekowisata aspek biologi akan berjalan dengan baik pula. Sehingga
setelah pembinaan habitat telah berjalan dengan baik maka pengembangan
ekowisata pun dapat meminimalisir dampak yang terjadi dari kegiatan tersebut.
5.4.3 Rekomendasi
Kegiatan Praktek Kerja Lapang dan Profesi (PKLP) IPB 2011 di TNLW
salah satunya menghasilkan data awal mengenai keanekaragaman jenis yang
terdapat di taman nasional ini. Pengelolaan taman nasional pada dasarnya perlu
mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek keanekaragaman dan
aspek ekowisata. Beberapa rekomendasi terkait pertimbangan tersebut dapat
dijabarkan dalam beberapa hal seperti berikut :
a. Peningkatan Kualitas SDM
Pengelolaan lebih lanjut taman nasional haruslah bertolak dari kesiapan
SDM taman nasional itu sendiri. Peningkatan SDM baik kualitas maupun
kuantitas dapat dilakukan dengan cara yang bernama capacity building. Kdengan
berbagi kegiatan ini dapat baik berupa sosialisasi dan atau pelatihan. Sosialisasi
terkait dengan kelestarian hutan yang berisikan mengenai pembelajaran segala
aspek mengenai kehutanan konservasi dalam kaitannya perlindungan, pemanfaat
yang berkelanjutan, dan pengawetan plasma nutfah. Hal tersebut menjadi dasar
karena kompetensi dasar bagi pegawai taman nasional. Selanjutnya yang menjadi
dasar bagi kompetensi pegawai taman nasional (dalam hal ini POLHUT dan PEH)
ialah metode inventarisasi baik flora maupun fauna. Sebab keterwakilan data dari
inventarisasi menjadi suatu dasar untuk pengelolaan yang berkelanjutan.
b. Pengelolaan Habitat
Melanjutkan pelaksanaan kegiatan penelitian-penelitian di Taman
Nasional, baik yang dilakukan oleh peneliti lokal maupun peneliti asing. Hal
tersebut berarti taman nasional dapat melihat fluktuasi atau kecenderungan hasil-
hasil penelitian yang telah dilakukan dalam kaitannya dampak dari perubahan
94
habitat yang terjadi. Tim PKLP IPB 2011 melihat bahwa terdapat dampak yang
cukup jelas dari perubahan habitat yang terjadi. Seperti menurunnya populasi
burung kakatua jambul jingga ataupun permasalahan rendahnya tingkat semai dan
tiang di beberapa lokasi di TNLW. Maka Berdasarkan temuan tersebut pembinaan
habitat dan rehabilitasi habitat menjadi sangat penting sebelum dampaksuntuk
menekan dampak negatif terhadap keanekaragaman flora fauna lebih jelas. Bila
kegiatan Setelah pembinaan habitat dapat dilakukan dengan kesiapan yang baik
maka pembinaan dan rehabilitasi jenis atau pemanfaatan kawasan kearah
ekowisata dapat dilakukan pula dengan baik.
c. Inventarisasi Keanekaragaman Secara Menyeluruh
Pengelolaan yang berkelanjutan memerlukan banyak data dasar yang lebih
lanjut digunakan sebagai pedoman arah pengelolaan. TNLW telah melakukan
inventarisasi keanekaragaman namun sejauh ini masih terbatas pada lokasi-lokasi
yang mudah terjangkau atau masih di pinggir kawasan. Hal tersebut dapat
dipahami bahwa mengingat keterbatasan jumlah SDM yang dimiliki taman
nasional memang masih sangat terbatas dengansementara harus menjangkau
luasan kawasan yang begitu luasbesar. Namun ke depan hal tersebut tetap harus
dilakukan walau dengan jangka waktu yang lama, inventarisasi hingga ke arah
bagian dalam kawasan menjadi catatan mendasar bagi pengelolaan yang
berkelanjutan.
d. Pembuatan rancangan Zona Khusus
Mempertimbangkan berbagai permasalahan yang dihadapi taman nasional
khususnya dengan masyarakat terkait dengan isu pencurian kayu dan serta
masalah masuknya ternak masuk ke dalam kawasan yang telah mengakar bahkan
menjadi sebuah adat, . Mmaka perlu dipertimbangkan pembuatan rancangan zona
khusus pun pada dasarnya dapat dilakukan. Menurut Mulyana et al. (2010) zona
khusus diharapkan menjadi sarana mengatasi konflik antara masyarakat dengan
TN. Zona khusus menawarkan ruang negosiasi terbatas yang hasilnya diharapkan
berupa penetapan zona khusus dan kesepakatan mengenai pengelolaannya.
e. Arah pengembangan pengelolaan
Arah pengembangan pengelolaan telah dipaparkan sebelumnya yang dapat
disimpulkan bahwa pengembangan untuk jangka waktu setidaknya 5 tahun
95
kedepan ialah pada kelestarian hutan beserta keanekaragaman flora faunanya.
Terkait dengan pengembangan Ekowisata tetap dapat dilakukan beriringan namun
tidak menjadi satu prioritas utama pada jenjang saat ini. Hal tersebut mengingat
berbagai pertimbangan terkait kesiapan ekowisata itu sendiri.
f. Kemitraan dengan Maskapai penerbangan
HAsil wawancara yang menyebutkan Bbanyaknya burung yang dikirim
ke luar pulau NTT dengan pesawat domestik, maka diperlukan upaya untuk
membentuk sebuah persetujuan dengan perusahaan maskapai penerbangan
domestik untuk melarang transportasi burung khususnya burung yang dilindungi
dalam pesawat tersebut. Selanjutnya hal yang perlu dilakukan ialah memberikan
pelatihan kepada staf maskapai penerbangan tersebut untuk mengenali dapat
mengenali spesies burung yang dilindungi.
g. Penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan jumlah populasi burung.
Penelitian lebih lanjut terhadap faktor peningkatan populasi burung dapat
menjadi salah satu strategi pengelolaan kedepan dalam rangka kelestarian satwa di
TNlW. Seperti halnya penambahan lubang sarang dengan menggunakan kotak
sarang bagi kakatua dan rangkong. Jika lubang sarang terbatas untuk spesies
tersebut, maka dapat dirancang kotak sarang buatan yang dapat meningkatkan
hasil reproduksi dan juga berpengaruh positif pada jumlah populasi. Penelitian-
penelitian sejenis yang taman nasional perlukan dalam mempertahankan dan
meningkatkan kelestarian satwa.
h. Kampanye penyadartahuan masyarakat Ssumba terhadap avifauna
endemik.
Kampanye tersebut dapat membangkitkan kebanggaan masyarakat
terhadap avifauna endemik Sumba. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan
berupa program “Mengadopsi Sarang” yang telah dilakukan di Negara Thailand .
Cara tersebut dilakukan dengan jalan, penduduk lokal dibayar oleh donor atau
pengadopsi sarang yang bertujuan untuk melindungi lubang sarang dari pemburu.
Metode ini bersifat berkelanjutan karena penduduk lokal mengawasi dan
melaporkan keberhasilan bersarang secara berkala tiap tahunnya dan pendekatan
ini mempunyai menfaat tambahan yakni memberikan peluang penelitian lanjutan
tentang ekologi bersarang dan mencari makan bagi burung-burung Sumba.
96
i. Pemantauan debit air sungai
Kawasan TNLW yang merupakan sumber air bagi pulau sumba
mempunyai 12 DAS dengan air yang tidak kering sepanjang tahun perlu terus
dilakukan pemantauan. Keterbatasan waktu kegiatan PKLP menyebabkan hanya
dapat melakukan pengukuran debit air sungai di musim penghujan saja, maka
perlu dilakukan pengukuran debit air di musim kemarau. Pemantauan debit air
sungai ini dapat dijadikan indikator bagi kondisi hutan yang ada di kawasan
TNLW. Selain itu juga dengan adanya pemantauan debit air sungai ini juga dapat
dijadikan dasar bagi arahan pembuatan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya
air yang dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar kawasan.
97
BAB VI
KESIMPULAN
Kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional
Laiwangi-Wanggameti menghasilkan data potensi kawasan meliputi potensi flora
dan fauna, data potensi keanekaragaman mamalia dan kupu-kupu merupakan data
baru bagi pengelola Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti. Berdasarkan hasil
inventarisasi di dua lokasi pengamatan yang terletak di SPTN I dan SPTN II
TNLW diketahui keanekaragaman satwa yang tertinggi yaitu burung dengan 57
jenis dari 28 famili yang berhasil ditemukan. Keanekaragaman mamalia yang
ditemukan sebanyak 9 jenis dari 6 famili. Sedangkan keanekaragaman kupu-kupu
ditemukan 40 jenis. Sementara itu keanekaragaman tumbuhan berdasarkan hasil
analisis vegetasi ditemukan 120 jenis tumbuhan dari 40 famili.
Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti merupakan Taman Nasional yang
baru dibentuk pada tahun 2006 saat ini masih dalam taraf pembangunan dasar-
dasar pengelolaan taman nasional yang arah pengembangannya
mempertimbangkan potensi yang ada di kawasan TNLW. Kawasan TNLW
dengan bentang alam berupa perbukitan dan keanekaragaman flora dan faunanya
serta kebudayaan masyarakat lokal mempunyai potensi yang tinggi dikembangkan
untuk kegiatan ekowisata. Selain itu juga kawasan TNLW yang menjadi sumber
air bagi kawasan pulau sumba mempunyai nilai strategis tinggi bagi pengelolaan
kawasan.
98
DAFTAR PUSTAKA
[BTNLW]. Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. 2010. Laporan Updating 2010. Waingapu : BTNLW.
[HIMAKOVA]. Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 2009. Studi Konservasi Lingkungan Taman Nasional Manupeu Tanadaru : Warna-Warni Khasanah Budaya dan hidupan Liar Langit Sumba. Bogor : HIMAKOVA.
Achmad A. 2002. Potensi dan Sebaran Kupu-kupu di Kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung.
Aidid L. 1991. Studi penangkaran kupu-kupu di Bantimurung Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Amir M, Noerdjito WA. 1990. Kupu yang Terancam Punah dan Pelestariannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI.
Bibby C, Jones M, Arsen SM. 2000. Teknik Ekspedisi Lapang : Survey burung. Bogor: SKMG Mardi Yuana.
Birdlife International. 2004. Menyelamatkan Burung-burung Asia yang Terancam Punah. Waikabubak: Birdlife.
Clark LR, Geigera PW, Hugles RD, Morris. 1966. The Ecology of Insect Population in Theory and Practice. Cambera: The English Language Book Society and Campman and Hall.
Coates BJ, Bishop KD. 2000. Panduan burung-burung di kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Bogor: BirdLife International-Indonesia Program & Dove Publication.
Darma IDP, Peneng IN. 2007. Inventarisasi Tumbuhan Paku di Kawasan Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti Sumba Timur,Waingapu, NTT. Biodiversitas 8 (3) : 242-248.
Dewi RS. 2006. Keanekaragaman jenis Burung Pada Berbagai Tipe Habitat di Taman Nasional Gunung Ciremai [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Djufri. 2002. Analisis vegetasi spermatophyta di Taman Hutan Raya (TAHURA) Seulawah Aceh Besar. Biodiversitas Vol 4 (1) : 30-34.
Gaol SEL. 1998. Studi variasi tingkat keanekaragaman jenis burung pada berbagai tipe penggunaan lahan di Provinsi Lampung. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Heddy S, Kurniati M. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi dan Penerapannya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Hernowo JB. 1989. Suatu Tinjauan Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung dan Peranannya di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Media Konservasi Vol (2): 19-32.
99
Hikmat A. 2010. Pengenalan Tumbuhan Obat Penting. Bogor: Laboratorium Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.
Jati A. 1998. Kelimpahan dan distribusi jenis-jenis burung berdasarkan fragmentasi dan stratifikasi habitat hutan Cagar Alam Langgaliru, Sumba. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jepson P, Rais S, Ora BA, Raharjaningtrah W. 1996. Telaah Jaringan kawasan Konservasi Untuk Pelestarian Nilai-nilai Hutan di Pulau Sumba NTT. Bogor: Birdlife International,
Krebs. 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance Third Edition. New Yyork : Harper and Row Publisher
Ludwiq JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology A Primer on Methods and Camputing. New York: John Wiley & Sons.
Mac Arthur RH. 1972. Geographical Ecology : Patterns in Distribution of Species. New York: Harper & Row Publisher.
MacKinnon J, Phillips K, Van Balen B. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI-Birdlife International Indonesia Programme.
Magurran AE. 1998. Ecological Diversity and Its Measurement. London: CromHelm Limited.
Muhdi. 2009. Struktur dan komposisi jenis permudaan hutan alam tropika akibat pemanenan kayu dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia. Jurnal Bionatura Vol 11 (1) : 68-79.
Mulyana A, Moeliono M, Minnigh P, Indriatmoko Y, Limberg G, Utomo NA, Iwan R, Sapruddin dan Hamzah. 2010. Kebijakan Pengelolaan Zona Khusus . Brief 1:1-6.
Novak I. 1999. A Fieldguide In Colour to Butterflies and Moths. Czech Republic: Aventium Publishing House, Prague.
O’Brien TG, Kinnaird MF, Jepson P, Dwiyahreni AA. 1997. Evaluation of Habitat Quality for Sumba Island Wreathed Hornbill an Citron-crested Cockatoo on Sumba, East Nusa Tenggara.
Odum E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Penerjemah: T. Samingan dan B. Srigandono. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Peggie dan Amir M. 2009. Practial Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden. Bogor: LIPI.
PHPA/Wildlife Conservation Society-Indonesia Programme Memorandum Teknis No. 2. Bogor.Wiens JA. 1989. The Ecology of Bird Communities, Volume 2: Processes and Variations. Cambridge: Cambridge University Press.
Poleng A, Witono JR. 2004. Analisis vegetasi beberapa fragmen hutan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Biota Vol IX (1): 25-36.
100
Purwowidodo, 1998. Pengenalan Struktur Tanah Pegunugan. Pustaka Sedia : Jakarta
Rahman AL. 2006. Daya dukung tapak Danau Kelimutu untuk kegiatan ekowisata di zona pemanfaatan Taman Nasional Kelimutu. [tugas akhir]. Bogor: Program Diploma III Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Renjito LM. 2001. Effect of Natural Anthropogenic Landscape Matrices on the Abundance of SubAndean Bird Species. Ecological Application 11: 14-31.
Sidiyasa K, Zakaria, Iwan R. 2006. Hutan desa Setulang dan Sengayan Malinau, Kalimantan Timur: potensi dan identifikasi langkah-langkah perlindungan dalam rangka pengelolaannya secara lestari. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).
Sihombing DTH. 1999. Satwa Harapan I: Pengantar Ilmu dan Tehnologi Budidaya. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.
Smart P. 1975. The Illustrated Encyclopedia of The Butterfly World. London: Salamander Books Ltd
Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara I. 1996. Ekologisme Dalam Konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari Dalam Ekologi dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor,
Sopiyudin E. 2003. Perencanaan interpretasi lingkungan di Wana Wisata Gunung Bunder KPH Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Susanto Z. 1995. Keanekaragaman dan Pola Penggunaan Habitat Burung di Loh Liang, Pulau Komodo Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Takandjandji M dan Sutrisno E. 1996. Inventarisasi burung bayan (Eclectus roratus cornelia) dan jenis burung lainnya di Pulau Sumba. Kupang: litbang kehutanan no.8. Bbalai penelitian kehutanan.
Tobing ISL. 2009. Kondisi perairan pantai sekitar Merak, Banten berdasarkan indeks keanekaragaman jenis benthos. Vis Vitalis Vol 02 (02): 31-40.
101
top related