case rds
Post on 29-Jul-2015
132 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Sindroma Gawat Nafas
Sindroma gawat nafas adalah kumpulan gejala klinis pada bayi baru lahir berupa
kesulitan bernafas yang ditandai dengan gejala utama takipnea (>60x permenit), sianosis sentral
(lidah biru pada suhu ruangan), retraksi dan merintih. Tanda lain nya adalah nafas cuping hidung
dan apnea periodic.
Keadaan yang bisa mengakibatkan sindroma gawat nafas di antara nya adalah:
1. Kelainan paru
Kelainan pada paru yang sering menyebabkan SGN adalah HMD (Hyalin
Membrane Disease), Transient Takipnea of The Newborn/Wet Lung Syndrome, aspirasi
mekonium, dan pneumonia.
2. Kelainan diluar paru
Diantara nya adalah sumbatan jalan nafas atas, hernia diafragmatika, gagal
jantung kongestif, hipertensi pulmonal menetap, kelainan metabolic (asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia), depresi neonatal, syok, polisitemia/anemia,
hipotermia/hipertermia, perdarahan susunan saraf puasat (trauma persalinan dan
persalinan sungsang).
1.2 Hialin Membran Disease
1.2.1 Definisi
HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas
(SGN) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat
setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe
pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif
dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan.
1.2.2 Insiden
HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur
kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-
30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi
pada bayi matur.
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37
minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang
dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami HMD. Pada ibu
diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi
surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-
hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya
infeksi kongenital kronik.
1.2.4 Patofisiologi
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik
mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena
jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan
dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke
rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat
respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah.
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial
mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan
saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan
tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat
diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding
dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan
bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir
respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami
atelektasis.
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang
kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan
alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia.
Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,
bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan
meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui
paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi
surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli.
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah
dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi,
lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis
metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan
penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus
arteriosus memperburuk hipoksemia.
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya
resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler,
aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga
alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru
merupakan karakteristik HMD.Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara
beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC.Sebagai respon, bayi premature mengalami
grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang.
1.2.5 Manifestasi klinik
Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru
diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x /
menit).Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa
pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal
yang berat (bila berat badan lahir rendah).
Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan pernafasan
cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas
dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat
terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang
progresif dari sianosis dan dyspnea.
Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi
peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya
penyakit.apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya
intervensi segera.
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria.
Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat
dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada
kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut,
bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 – 33
minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi
lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. (4) ,(9)
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar
oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari
kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema
interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular.
Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadibronchopulmonary
displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD berat).
1.2.5 Diagnosis
a. Gejala klinis
Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu
(>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama
kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir.
Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat
asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun
ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam.
Tabel 2.1 Silverman score
Grade Gerakan dada
atas
Dada bawah
(retraksi ICS)
Retraksi
epigastrium
PCH Grunting
0 sinkron - - - -
1 Tertinggal
pada inspirasi
ringan ringan minimal Terdengar pada
stetoskop
2 See-saw jelas jelas jelas Terdengar
tanpa stetoskop
b. Gambaran Rontgen
Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang
karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim
dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi
dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul
dalam 6-12 hari.
Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat :
Stage I : gambaran reticulogranular
Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan jantung
Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.
Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan thymus. Gambaran white
lung.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak
menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah
awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif,
hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.
d. Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat
pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan
adanya kelainan struktural jantung.
e. Test Kocok
f. Test Apung Paru
1.2.6 Diagnosis Banding
a. Pneumonia neonatal
Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan
dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik
dengan HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus
buffy coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.
b. Transient Tachypnea of The Newborn
Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan
ringan.Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS – hipoaerasi). Densitas
retikulogranular bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran
opak menetap minimal 3 – 4 hari.
c. Sindroma aspirasi mekonium
Pada gambaran rongent terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus,
serta area emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS.Paru-paru
biasanya hiperaerasi.
d. Lain-lain
Penyakit jantung sianotik ( anomali total aliran balik vena pulmonal), sirkulasi fetal yang
persisten, sindroma aspirasi, pneumotorax spontan, efusi pleura, eventrasi diafragma, dan
kelainan kongenital seperti malformasi kistik adenomatoid, limfangiektasi pulmonal, hernia
diafragma, atau emfisema lobaris harus dipertimbangkan, dan untuk membedakannya diperlukan
gambaran rontgen.
Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang muncul
sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan.Perdarahan paru, sepsis.
Hal-hal yang dapat menimbulkan edema paru seperti PDA, obstruction of pulmonary
venous drainage, hypoplastic left heart syndrome, dan edema pulmo neurogenik, sekunder
darimperdarahan intracranial.
Hal-hal yang diasosiasikan dengan hipoaerasi paru seperti sedasi ibu, hipoksemia berat,
hipotermia, kerusakan CNS. Keadan ini tidak menimbulkan gambaran opak granular bilateral
pada rontgen thoraks (berbeda dengan RDS).
1.2.7 Pencegahan
a. Mencegah kelahiran prematur
b. Cervical cerclage
c. Antibiotik untuk ibu.
d. Tokolitik
e. Membantu pematangan paru
f. Corticosteroid
1.2.8 Terapi
Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru,
asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya HMD akan
berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia,
hipotensi dan hipotermia.
Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting, jadi tujuan terapi adalah untuk
meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik yang memperberat. Penanganan
sebaiknya dilakukan di NICU.
a.Resusitasi di tempat melahirkan
Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah
perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya hipotermia
dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan oksigen berada
pada batas minimum.
Pemberian obat selama resusitasi :
Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 mls/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten setelah
ventilasi dan kompresi yang adekuat.
Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20 mmol
(larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari konsentrasi 0,5
mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati.
Volume expander 10 ml/kg
Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.
b. Surfaktan Eksogen
Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa jam
kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih
efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan eksogen
sebagai terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai
angka bertahan hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan harus
diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama
kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis atau lebih
memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan pulse
oxymetri.
c.Oksigenasi dan Monitoring analisa gas darah
Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 – 70
mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang normal,
sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila oksigen arteri tak dapat dipertahankan
di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen dengan konsentrasi 70%, merupakan indikasi
menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP).
Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit, gula
darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan kateterisasi arteri
umbilikalis. Transcutaneus oxygen electrodes dan pulse oxymetrydiperlukan untuk memantau
oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat memberi informasi
berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi seperti pneumotoraks,
juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti intubasi endotrakhea, suction,
dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 – 80 mmHg, dan Sa O2 antara 90 – 94 %.
Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan faktor resiko retinopathy of
prematurity (ROP).
c.Fluid and Nutrition
Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus
glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian
tambahkan elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus(PDA). Pemberian
nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI
adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapt menurunkan insidensi NEC.
d.Ventilasi Mekanik
Bayi dengan HMD berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya
apnea persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya antara lain :
1 . Analisa gas darah menunjukan hasil buruk
pH darah arteri <>
pCO2 arteri > 60 mmHg
pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 %
2.Kolaps cardiorespirasi
3.Apnea persisten dan bradikardi
e. Keseimbangan asam basa
f. Tekanan darah dan Cairan
g. Antibiotik
h. Nitrit Oxide
i. ECMO (Extracorporeal Membrane Oxygenation)
BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : By. KD
Umur : 12 jam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Padang
Keluhan utama :
- Sesak nafas sejak usia 3 jam
Riwayat penyakit sekarang :
Neonatus berat badan lahir rendah 2100 gram, panjang badan 44 cm.
Lahir Sektio Caesaria atas indikasi panggul sempit dan KPD (ketuban pecah dini) 6
jam , A/S 7/8 (partus luar).
Ibu baik, ketuban jernih
Sesak nafas sejak usia 3 jam, disertai kebiruan disekitar mulut, berkurang setelah
diberi oksigen.
Demam tidak ada, kejang tidak ada.
Injeksi vitamin K sudah diberikan
Mekonium dan buang air kecil belum keluar
Anak belum diberi minum
Muntah tidak ada
Anak diberi oksigen dan dirujuk ke RSUP DR M Djamil oleh Sp.A dengan keterangan
Respiratory Distress e.c. HMD (Hialin Membran Disease) dd TTN ( Transient Tachypnea
of the Newborn)
Riwayat kehamilan Ibu :
- G1P0A0
- Anak lahir secara SC atas indikasi panggul sempit dan KPD 6 jam.
- Pemeriksaan antenatal tidak teratur ke bidan
- Selama hamil ibu tidak ada riwayat penyakit hipertensi,DM, perdarahan, dan infeksi.
- Ibu tidak menkonsumsi obat-obatan, jamu serta kualitas dan kuantitas makanan cukup
Riwayat Persalinan :
- Merupakan persalinan pertama, dirumah sakit bersalin dipimpin oleh dokter spesialis
kebidanan, lahir SC a.i panggul sempit dan KPD 6 jam.
- Kelahiran tunggal,BBL 2100 gr, PBL 44 cm, kondisi saat lahir hidup dengan A/S 7/8
(Partus luar )
- Ketuban jernih, tidak bau
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : anak tampak kurang aktif
Frekuensi denyut jantung : 170x/menit
Frekuensi nafas : 72X/menit
Suhu : 36,8 C
Panjang Badan : 44 cm
Berat badan : 2100 gr
Sianosis tidak ada, ikterik tidak ada
PEMERIKSAAN SISTEMIK
Kepala : bentuk bulat simetris
Ubun ubun besar : 2 X 2 cm
Ubun ubun kecil : 1 X 1 cm
Lingkar kepala : 31,5 cm
Jejas persalinan : tidak ada
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : nafas cuping hidung (+)
Mulut : sianosis tidak ada
Leher : tidak ditemukan kelainan.
Dada
o Bentuk : Normochest ,Simetris,retraksi epigastrium dan intercosta
o Paru : Bronkovesikular,ronhi (-),Wheezing (-)
o Jantung : Irama teratur, bising tidak ada
Perut
o Permukaan : datar
o Kondisi : Lemas
o Hati : 1/4x1/4
o Limpa : tidak teraba
o Tali pusat : segar
o Umbilikus : Hiperemis tidak ada
Genitalia : Tidak ditemukan kelainan
Ekstremitas : Atas : akral hangat, perfusi baik, sianosis tidak ada
Bawah : akral hangat, perfusi baik, sianosis tidak ada
Kulit : teraba hangat, sianosis tidak ada
Anus : ada
Tulang –tulang : tidak ditemukan kelainan
Reflek Neonatal : Moro : + (menurun) Rooting : +(menurun)
Isap : +(menurun) Pegang : +(menurun)
Ukuran :
o Lingkar kepala : 31,5 cm Lingkar dada : 28 cm
o Lingkar perut : 24 cm Simfisis - kaki : 18 cm
o Panjang lengan : 12 cm Panjang kaki : 16 cm
o Kepala simpisis : 26 cm
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hb 13,3 g/dl
Leukosit : 18.400
Diff. count : 0/0/5/71/20/5
DIAGNOSA KERJA
NBBLR 2100 gram, PB 48 cm
Lahir SC a.i panggul sempit dan KPD 6 jam
Ibu baik, ketuban jernih
A/S 7/8 , partus luar
TM 35-36, SMK
Kelainan congenital tidak ada
Jejas persalinan tidak ada
Penyakit sekarang Respiratory distress e.c. suspek HMD dd / TTN
BBLR 2100 gram
TERAPI
O2 2 liter/menit ( head box )
IVFD D 10% 70 cc/kgBB/hari=6 tetes/menit ( Mikro )
Sementara puasa
Ampisilin sulbactactam 2 x 100mg
Gentamisin 1 x 10 mg
RENCANA
- Pemeriksaan elektrolit
- AGD
- GDR
- Rontgen Thoraks
- Kultur darah
HASIL PEMERIKSAAN
- GDR : 333
Kesan : hiperglikemia reaktif e.c. stress metabolic
S/ ulang GDR 4 jam lagi
- Roentgen toraks : Tampak gambaran bercak reticulogranuler dikedua lapang paru, air
brongkogram (+)
Hasil ekspertise : HMD grade I-II
top related