2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · kolagen merupakan protein dari golongan protein...
TRANSCRIPT
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Patin
Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis
tinggi, dengan rasa daging yang enak. Ikan patin memiliki banyak kelebihan
daripada ikan air tawar lainnya, diantaranya ikan patin termasuk salah satu
ikan yang rakus terhadap makanan, dalam enam bulan ikan patin sudah bisa
mencapai panjang 35-40 cm, tempat pemeliharan ikan patin tidak memerlukan
air yang mengalir, bahkan di perairan yang kandungan oksigennya rendah
ikan patin masih dapat hidup dan berkembang. Ikan patin banyak ditemukan
di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan
umum (Khairuman dan Suhendra 2002).
Klasifikasi ikan patin (Pangasius sp) menurut Saanin (1984) adalah
sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Pangasidea
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius sp
Ikan patin memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak
dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai
120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak
di ujung kepala agak sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang
kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri 1997).
Ikan patin cukup potensial dibubidayakan di berbagai media pemeliharaan
yang berbeda seperti kolam, keramba, dan jala apung. Budidaya ikan ini
meliputi dua kegiatan yakni pembenihan dan pembesaran. Kegiatan
pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran
tertentu. Pembesaran merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan yang siap
dikonsumsi, meskipun ukuran ikan yang dikonsumsi biasanya berbeda sesuai
dengan kebutuhan pasar (Susanto dan Amri 1997).
Pemanenan ikan patin dilakukan apabila ikan patin telah berumur minimal
6 bulan dengan berat berkisar 1-2,5 kg, dimana pada umur ini biasanya sudah
mencapai ukuran siap dikonsumsi. Selama pemanenan berlangsung diusahakan
agar ikan tidak rusak atau mengalami luka memar apalagi mati. Apabila panen
dilakukan dengan tidak hati-hati maka mutu ikan menjadi menurun dan harga jual
menjadi rendah. Oleh karena itu pada saat ikan diangkut ke pasar harus tetap
dalam keadaan hidup atau dalam kondisi segar (Susanto dan Amri 1997).
2.2. Tulang Ikan
Tulang ikan yang memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh
ikan merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar
kalsium dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium
dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang
(Subasinghe 1996).
Beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras
seperti tulang, sirip dan sisik (Lovell 1989). Kandungan mineral ikan bergantung
pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis
(Navarro 1991 dalam Martinez et al. 1998). Kandungan mineral juga bergantung
pada faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah
nutrisi, suhu dan salinitas air (Martinez et al. 1998). Unsur utama dari tulang ikan
adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah
kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat
(Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,1-1%
dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989).
Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya.
Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan
penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler
terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam
pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam
penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral-
mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor,
sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium
dan flour (Winarno 2002). Tulang mengandung kurang lebih 36% kalsium, 17%
fosfor dan 0,9% magnesium (Maynard dan Loosli 1956).
2.3. Tepung Tulang Ikan
Tepung tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang baik. Tepung
tulang dapat diperoleh melalui tiga proses (Anggorodi 1985) yaitu :
1. Pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk
menghasilkan tepung tulang.
2. Pemasakan dengan uap di bawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan
kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam
bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung.
3. Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang.
Protein tepung tulang yang diperoleh dengan pengukusan mutunya lebih
rendah karena kandungan gelatinnya tinggi (Anggorodi 1985). Tepung tulang
yang diperoleh dengan cara pemasakan dengan tekanan dan pengeringan
(steam bone meal) rata-rata mengandung 30,14% kalsium dan 14,53% fosfor.
Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pengukusan akan kehilangan
protein. Selain itu kandungan fosfor serta kalsiumnya rendah. Komposisi
tepung tulang ini terdiri dari 26% protein, 5% lemak, 22,96% kalsium dan
10,25% fosfor (Morisson 1958).
Protein pada tulang ikan sebagian besar terdiri dari kolagen. Kolagen
adalah protein yang banyak terdapat pada jaringan tubuh, dapat ditemukan pada
kulit, jaringan pengikat dan tulang serta merupakan protein struktural tubuh.
Kolagen merupakan protein dari golongan protein fibril/skleroprotein yang
struktur molekulnya berbentuk serabut. Protein ini tidak larut dalam pelarut-
pelarut encer, baik larutan garam, asam, basa ataupun alkohol (Winarno 1985).
Secara nutrisi kolagen bukanlah protein yang baik. Komposisi asam amino
kolagen tidak ideal (terlalu banyak Pro, Gly, Ala), selain itu kolagen pada kondisi
alami sulit dicerna oleh tripsin dan kemotripsin. Kolagen menjadi lebih mudah
dicerna dalam bentuk yang sudah terdenaturasi (Alais dan Linden 1991).
2.4. Kalsium
Mineral merupakan bagian dari unsur pembentukan tubuh yang memegang
peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan
organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Disamping itu mineral berperan
dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas
enzim. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral
makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg
sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari
(Almatsier 2002).
Sumber kalsium baik pada manusia maupun hewan adalah makanan yang
telah mengalami pencernaan di dalam saluran makanan. Suatu keadaan yang
bersifat asam adalah sangat diperlukan agar kalsium dapat dengan baik diserap
oleh usus. Absorpsi kalsium terjadi di bagian atas dari usus halus, karena di
tempat inilah keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian lainnya dari usus
(Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang
terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam
keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil
lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca++), dan (3) Kalsium
kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan
Djojosoebagio 2006).
Tubuh manusia mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral lain.
Diperkirakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1,0-1,4 kg terdiri dari
kalsium (Winarno 2002). Dari jumlah ini 99% berada dalam jaringan keras yaitu
tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}.
Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma pada
konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau setara dengan 9-10,4 mg/100 ml
(Almatsier 2002).
2.4.1. Peranan kalsium pada manusia
(a) Pembentukan tulang dan gigi
Kalsium di dalam tulang memiliki dua fungsi yaitu : 1) sebagai bagian
integral dari struktur tulang ; 2) sebagai tempat menyimpan asupan kalsium darah.
Pada tahap pertumbuhan janin manusia dibentuk, matriks sebagai cikal bakal
tulang tumbuh. Matriks yang merupakan sepertiga bagian dari tulang terdiri atas
serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin.
Segera setelah bayi manusia lahir, matriks mulai menguat melalui proses
kalsifikasi, yaitu terbentuknya kristal mineral. Kristal ini terdiri atas kalsium
fosfat atau kombinasi fosfat dan kalsium hidroksida yang dinamakan
hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}. Kalsium dan fosfor merupakan mineral
utama dalam ikatan ini, sehingga keduanya harus berada dalam jumlah yang
cukup di dalam cairan yang mengelilingi matriks tulang. Batang tulang yang
merupakan bagian matriks, mengandung kalsium fosfat, magnesium, seng,
natrium karbonat dan flour disamping hidroksiapatit (Almatsier 2002).
Selama pertumbuhan, proses kalsifikasi berlangsung terus dengan cepat.
Pada ujung tulang panjang ada bagian yang berpori yang dinamakan trabekula,
yang menyediakan kalsium siap pakai guna mempertahankan konsentrasi kalsium
normal dalam darah. Selama kehidupan, tulang senantiasa mengalami perubahan,
baik dalam bentuk maupun kepadatan, sesuai dengan usia dan perubahan berat
badan (Almatsier 2002).
Kalsifikasi gigi susu (gigi tidak tetap yang kemudian diganti) terjadi pada
minggu kedua puluh tahap janin dan selesai sebelum gigi keluar. Gigi permanen
mulai mengalami kalsifikasi saat anak berumur delapan tahun hingga sepuluh
tahun. Gigi lengkap pada usia dewasa hanya mengandung 1% jumlah kalsium
tubuh (Almatsier 2002).
(b) Mengatur pembekuan darah
Bila terjadi luka, ion kalsium di dalam darah merangsang pembekuan
fosfolipidatromboplastin dari platelet darah yang terluka. Tromboplastin ini
mengkatalisis perubahan protrombin, bagian darah normal, menjadi trombin.
Trombin kemudian membantu fibrinogen, bagian lain dari darah, menjadi fibrin
yang merupakan gumpalan darah (Almatsier 2002).
(c) Katalisator reaksi biologis
Kalsium berfungsi sebagai katalisator berbagai reaksi biologis, seperti
absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, lipase pankreas, ekskresi
insulin oleh pankreas, pembentukan dan pemecahan asetilkolin, yaitu bahan yang
diperlukan dalam pemindahan (transmisi) suatu rangsangan dari suatu serabut
saraf ke serabut saraf lain. Kalsium yang diperlukan untuk mengkatalisis reaksi-
reaksi ini diambil dari persediaan kalsium dalam tubuh (Almatsier 2002).
(d) Kontraksi otot
Pada waktu otot berkontraksi, kalsium berperan dalam interaksi protein di
dalam otot, yaitu aktin dan miosin. Bila kalsium darah kurang dari normal, otot
tidak bisa mengendur sesudah kontraksi. Tubuh akan kaku dan dapat
menimbulkan kejang (Almatsier 2002)
Beberapa fungsi kalsium lain adalah meningkatkan fungsi transpor
membran sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai stabilisator membran, dan
transmisi ion melalui membran organel sel (Almatsier 2002).
2.4.2. Sumber kalsium
Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan
yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium
yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil olahan kacang-kacangan
seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga,
tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat menghambat
penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002).
Tepung ikan yang dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya,
memiliki kandungan kalsium yang sangat tinggi. Meskipun tepung ikan ini bisa
dijadikan sumber kalsium dan protein bagi negara yang tidak mampu
menyediakan susu, kemungkinan penyebarannya pada bahan pangan di Amerika
masih kecil dikarenakan masih terdapat masalah sehubungan dengan flavour dan
kualitas selama penyimpanan (Guthrie 1975).
Bahan pangan dengan kandungan air relatif rendah, kacang almond dan
biji-bijian memiliki kandungan kalsium yang baik dalam porsi 100 g. Kelemahan
dari produk ini adalah orang jarang mengkonsumsi bahan pangan ini dikarenakan
kontribusi kalori yang tinggi, yang terdapat dalam program diet (Guthrie 1975).
Sumber kalsium yang biasa digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok (Kaup et al. 1991) yaitu :
1. Tepung tulang, mono-kalsium dan di-kalsium fosfat yang ketersediaannya
paling tinggi diantara sumber kalsium lainnya.
2. Ground limestone (batuan kapur yang biasanya mengandung magnesium
dan bersifat agak asam), deflourined fosfat (garam kalsium fosfat yang
masih mengandung flour yang bersifat racun bila kadarnya berlebihan)
dan kalsium karbonat. Kelompok ini merupakan sumber kalsium yang
ketersediaannya sedang.
3. Hay, yaitu kalsium yang berikatan dengan mineral lain yang sukar larut.
Sumber ini memiliki ketersediaan kalsium yang rendah.
Kebanyakan kalsium dalam bahan nabati tidak dapat digunakan dengan
baik karena berikatan dengan oksalat membentuk garam dan bersifat tidak larut
dengan air (Linder 1992).
Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan
fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Bentuk ini terdapat
pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar
60-70% (Lutwak 1982).
2.4.3. Kebutuhan kalsium
Keperluan kalsium dalam tubuh manusia berbeda menurut usia dan jenis
kelamin. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh orang Indonesia per hari
yang ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi (2004) disajikan pada Tabel 1.
Kalsium pada tubuh terdapat paling banyak di tulang dengan jumlah lebih
dari 99%. Kebutuhan tubuh akan kalsium dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi
makanan yang mengandung kalsium (Karyadi dan Muhilal 1996). Kebutuhan ini
akan berbeda bagi setiap orang. Di Amerika kebutuhan kalsium bagi orang
dewasa adalah 800 mg per kapita per hari (Hardinsyah dan Martianto 1992).
Untuk orang yang hidup di daerah tropis dapat mempertahankan status
kalsiumnya dengan hanya mengkonsumsi 200-400 mg per kapita per hari.
Hal ini disebabkan oleh adanya sinar matahari yang dapat membantu
pembentukan vitamin D yang selanjutnya membantu peningkatan metabolisme
kalsium (Muchtadi et al. 1993).
Tabel 1 Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia
Kelompok umur Kebutuhan Ca (mg)/hari Kebutuhan P (mg)/hari Bayi (bulan) 0-6 7-11 Anak (tahun) 1-3 4-6 7-9 Pria (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65 + Wanita (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65+ Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua
200 400
500 500 600
1000 1000 1000 800 800 800 800
1000 1000 1000 800 800 800 800 1000 +150 +150 +150 1000 +150 +150
400 400 400
1000 1000 1000 600 600 600 600
1000 1000 1000 1000 600 600 600 1000 +0 +0
1000 +0 +0 +0
Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi (2004).
Status kalsium ditentukan oleh kombinasi faktor usia, jenis kelamin, dan
faktor hormonal. Interaksi kompleks dari faktor tersebut menentukan jumlah
kalsium tersedia yang dapat diserap, kapasitas intestin untuk menyerap, dan
jumlah kalsium yang hilang dalam urin, kelenjar keringat maupun feses. Faktor
utama yang menentukan status kalsium adalah faktor nutrisi seperti laktosa dan
oksalat. Faktor ini menentukan ketersediaan, fungsi tiroid dan paratiroid yang
bekerja melalui vitamin D, hormon lain dan metabolisme fosfor (Miller 1989
dalam Miller 1996 dalam Fennema 1996).
Kekurangan kalsium akan menyebabkan kadar kalsium darah menurun.
Kondisi dimana kadar kalsium berada dibawah kisaran normal (9-10 mg/100 ml)
disebut hipokalsemia. Hipokalsemia dapat menyebabkan tetani atau kejang.
Kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap rangsangan meningkat, sehingga
terjadi kejang otot misalnya pada kaki (Almatsier 2002).
Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kondisi
kebalikan dari hipokalsemia adalah hiperkalsemia. Hiperkalsemia ini dapat
menyebabkan hiperkalsiuria yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin
melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau
gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air
besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan
biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk
lain (Almatsier 2002).
2.4.4. Asupan kalsium
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa penyerapan kalsium
meningkat saat asupan kalsium diturunkan dari dosis tinggi atau cukup menjadi
rendah, sehingga terjadi kenaikan penyerapan kalsium. Almatsier (2002)
menambahkan bahwa penyerapan akan meningkat bila kalsium dikonsumsi
menurun. Semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh semakin efisien
absorpsi kalsium. Peningkatan kebutuhan terjadi pada masa pertumbuhan,
kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium dan tingkat aktivitas fisik yang
meningkatkan densitas tulang.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah kalsium terserap tergantung pada
interaksi dengan komponen bahan pangan lainnya, dan pada faktor psikologis
seperti hormon regulator kalsium dan tingkatan umur. Kemampuan absorpsi
lebih tinggi pada masa pertumbuhan, dan menurun pada proses penuaan.
Kemampuan absorpsi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan pada semua
golongan usia (Allen dan Wood 1994).
Asupan kalsium tidak cukup dan penyerapan kalsium oleh tubuh yang
rendah hanyalah dua dari beberapa faktor resiko bagi osteoporosis dan penyakit
lainnya (Blaney et al. 1996). Aktivitas fisik berpengaruh terhadap asupan kalsium.
Laktosa meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Sebaliknya bila
terdapat defisiensi laktase, laktosa mencegah absorpsi kalsium, akan tetapi di luar
kehamilan, diragukan apakah laktosa masih dapat meningkatkan waktu transit
makanan melalui saluran percernaan, dengan demikian memberi waktu lebih
banyak untuk absorpsi kalsium (Almatsier 2002).
Sumber kalsium menjadi berpengaruh terhadap bioavailabilitas karena
menentukan dengan apa kalsium harus berikatan. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Purac Biochem tahun 1995 mengenai bioavailabilitas 11 produk
makanan berbeda, membuktikan bahwa kalsium laktat adalah salah satu sumber
kalsium dengan bioavailabilitas terbaik diantara semua produk yang dicobakan
(Van Mosevelde 1997).
2.4.5. Penyerapan kalsium
Saat tubuh sangat membutuhkan kalsium dan berada pada kondisi
optimal, 30-50% kalsium yang dapat dikonsumsi dapat diabsorpsi tubuh,
sedangkan pada kondisi normal, penyerapan sebesar 20-30% dianggap baik,
dan kadang-kadang penyerapannya hanya mencapai 10%. Pada masa
pertumbuhan anak, penyerapan dapat mencapai 75% dari makanan kalsium.
Sebelum penyerapan natrium, vitamin D dan satu atau dua protein pengikat
kalsium harus tersedia (Guthrie 1975).
Penyerapan kalsium dapat terjadi dalam dua jalur transportasi di
sepanjang usus. Pertama cara aktif, mudah jenuh dan dengan proses transeluler
yang terjadi terutama pada duodenum dan proksimal yeyenum. Kedua cara
pasif, tidak mudah jenuh, jalur paraseluler yang terjadi di sepanjang usus
halus (Allen dan Wood 1994).
Cara pertama diatur oleh vitamin D dan melibatkan protein pengikat
kalsium (calbinding) yang tergantung pada vitamin D (CaBP). Kalsium dipompa
keluar enterosit menuju darah oleh adenosin trifosfat (ATP) (Allen dan Wood
1994). Untuk penyerapan kalsium dengan cara ini, diperlukan tiga tahap yang
berkesinambungan, dan kesemuanya diatur oleh vitamin D. Untuk itu harus ada :
1) asupan dari pinggir bulu-bulu halus; 2) gerakan intraseluler; 3) keluaran pada
membran basolateral. Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk
membawa kalsium melewati sitoplasma enterosit ke basal membran. Kalsium
yang dipompakan dari enterosit ke cairan ekstraseluler membutuhkan ATP dan
vitamin D yang mengatur Ca2+, Mg2+, ATPase, enzim penghidrolisis ATP dan
melepaskan energi untuk memompa Ca2+ keluar sel, seiring dengan itu
magnesiumnya bergerak masuk (Groff dan Gropper 2001). Penyerapan kalsium
secara aktif dipengaruhi oleh kondisi psikologis individu, yaitu status kalsium dan
vitamin D, usia, kehamilan dan laktasi (Allen dan Wood 1994).
Cara kedua tidak bergantung pada pengaturan oleh vitamin D. Jumlah
kalsium yang terserap dengan cara ini tergantung sekali pada jumlah dan nilai
kalsium makanan, yaitu di atas 3 mmol atau setara dengan 120 mg/100 ml
kemungkinan akan terserap dengan cara ini (Allen dan Wood 1994).
Usus besar juga merupakan lokasi yang memungkinkan terjadinya
penyerapan kalsium dikarenakan bakteri kolon melepaskan ikatan kalsium dari
beberapa serat terfermentasi (fermentable fibers) seperti pektin. Jumlah kalsium
yang diserap lewat kolon sekitar 4% setiap hari (Groff dan Gropper 2001).
Dalam makanan yang mengandung sedikit kalsium, persentase penyerapan
kalsium akan meningkat menjadi 60 kali selama masa pertumbuhan, namun pada
orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup,
penyerapannya akan menurun sebesar 10%. Secara normal penyerapan kalsium
berkisar 30% (Allen dan Wood 1994).
2.4.5.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium
Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari
penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal
organisme serta proses-proses fisiknya (Fox et al. 1981 dalam Fox 1988). Agar
nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi tersebut harus dapat
diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal sebanyak 30-50%
kalsium yang dikonsumsi diabsorpsi tubuh. Hal ini dikarenakan penyerapan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
(1) Zat organik
Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan
membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam
oksalat dan asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak
dapat larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 2002), sehingga mengendap di dalam
rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006). Asam
fitat terdapat dalam bekatul gandum, sedangkan asam oksalat banyak ditemukan
dalam bit yang masih hijau, bayam, rhubab dan coklat, akan tetapi berdasarkan
penelitian in vivo adanya asam oksalat pada bayam tidak jelas menurunkan
keseimbangan kalsium dalam tubuh (Winarno 2002).
(2) Vitamin D
Absorpsi kalsium di dalam usus maupun reabsorbsinya di dalam tubuli
ginjal dipengaruhi oleh vitamin D, sedangkan absorpsi kalsium mempengaruhi
pula absorpsi fosfor (Sediaoetama 2006). Vitamin D dalam bentuk aktif
1,25(OH)D3 meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang
produksi protein pengikat kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi
dalam keadaan asam. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu
absorpsi dengan cara menurunkan pH di bagian atas duodenum. Asam amino
tertentu meningkatkan keasaman saluran cerna dengan demikian membantu
proses absorpsi (Almatsier 2002).
(3) Serat makanan
Serat makanan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel
tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida
intraseluler seperti gum dan musilage (Trowell 1976 dalam Spiller 2001).
Selanjutnya menurut Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan
fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium.
Serat makanan membatasi bioavailabilitas mineral dengan cara mengikat,
mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan atau memperpendek
waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Selanjutnya hasil
penelitian yang dilakukan oleh Urbano dan Goni (2002) mendukung pernyataan
bahwa jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika
dibandingkan dengan jenisnya.
Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dibagi menjadi 2 yaitu serat
larut air dan serat tidak larut air. Serat larut air dapat mengikat air dan
menciptakan larutan viskous dalam saluran pencernaan sehingga
menyebabkan perlambatan pengosongan perut dari makanan, menghalangi
percampuran makanan dengan enzim, mengurangi fungsi enzim, mengurangi
tingkat difusi nutrisi sehingga melalui mekanisme ini kalsium sulit terserap
mukosa usus (Groff dan Gropper 2001).
Serat tidak larut air menurut Slavin (1985) dalam Blaney et al. (1996)
menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit
bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan
kalsium. Selanjutnya serat tidak larut air secara otomatis akan mengurangi
kesempatan kerja enzim (Groff dan Gropper 2001).
(4) Protein
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa protein bersama-sama dengan
lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan yang memiliki pengaruh pada
bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan kalsium.
Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan
adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al. 1989 dalam Blaney et
al. 1996). Protein makanan juga dapat berpengaruh negatif terhadap
ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau
kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan
kompleks mineral protein-fitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga
penyerapan mineral menurun (Erdman et al. 1980 dalam Greger 1999).
Bagaimanapun juga, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium
ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi
melalui difusi atau dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin
berperan sebagai protein transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma
enterosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper
2001) dan kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorpsi dan
transportasi zat-zat gizi (Almatsier 2002).
(5) Nilai pH dan kelarutan
Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan larut.
Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak
mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002).
Anggorodi (1985) mengatakan bahwa pH usus juga berpengaruh
terhadap proses absorpsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada pH di
atas 6,5 dan baik diserap pada pH di bawah 6,0 dimana nilai pH tersebut dapat
dikontrol dengan cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium.
Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium.
Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan
asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian
berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral.
Peningkatan penyerapan mineral terjadi pada suasana asam dan akan menurun
sejalan dengan penurunan nilai pH dan sebaliknya (Yoshie et al. 1997; Torre et al.
1995).
2.5. Fosfor
Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur
ini dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir
semua makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam
proses kontraksi otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas
sekretosis. Disamping itu fosfor memegang peranan penting dalam
pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi
(Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran
darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh
usus beragam bergantung kepada makanan yang digunakan. Bentuk fosfor yang
diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat
organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami
hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Dalam proses absorpsi fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali.
Menurut Sediaoetama (2006), untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan
perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie
(1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan
Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga
hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu
rakhitis (Sediaoetama 2006).
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa baik jumlah fosfor bahan
pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang
dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal. Hal tersebut serupa dengan
pernyataan dari Almatsier (2002), bahwa bukti nyata terhadap anggapan adanya
pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada umumnya rasio
kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.
2.6. Biskuit
Biskuit adalah kue manis berukuran kecil yang terbuat dari tepung terigu.
Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit adalah produk pangan kering
yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu,
lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan
lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Charley (1982) biskuit yang bermutu
baik adalah biskuit yang memiliki kulit berwarna coklat keemasan dengan tanpa
adanya noda-noda coklat, bentuknya simetris serta bagian atasnya rata dan halus.
Persyaratan mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992
(SNI 01-2973-1992) seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992
Kriteria uji (Parameter) Syarat mutu Kadar air (% b/b) Kadar protein (% b/b) Kadar abu (% b/b) Bahan tambahan makanan - Pewarna dan pemanis buatan Kadar cemaran logam
- tembaga (mg/kg) - timbal (mg/kg) - seng (mg/kg) - merkuri (mg/kg)
Cemaran mikroba - TPC (koloni/g) - Coliform (APM/g) - E coli (APM/g)
- Kapang (koloni/g)
Maksimum 5,0 Minimum 9,0 Maksimum 1,5
Tidak boleh ada
Maksimum 10,0
Maksimum 1,0 Maksimum 40,0 Maksimum 0,05
Maksimum 1,0x106
Maksimum 20,0 <3
Maksimum 1,0x102
2.6.1. Klasifikasi biskuit
Belum ada klasifikasi yang jelas untuk biskuit, bahkan terkadang dijumpai
saling tumpang tindih antar bentuk yang satu dengan lainnya. Hingga saat ini
biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat yaitu : (1) tekstur dan
kekerasan, (2) perubahan bentuk akibat pemanggangan, (3) ekstensibilitas adonan
dan (4) pembentukan produk (Manley 1983).
Berdasarkan ekstensibilitas adonannya, biskuit dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu adonan lunak, adonan keras dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak,
gluten tidak mengembang karena adanya efek dari shortening dan efek pelunakan
dari gula. Contoh biskuit dari adonan lunak adalah biskuit buah, biskuit krim dan
biskuit jahe. Untuk adonan keras dijumpai pengembangan gluten sampai batas
tertentu untuk penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten akan mengembang
penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan kondisi tersebut. Contoh
biskuit yang dibuat dari adonan fermentasi adalah biskuit cracker (Booth 1990).
Menurut Faridi dan Faubion (1990), crackers umumnya hanya mengandung
sedikit gula dan lemak. Pada biskuit fermentasi ini dapat digolongkan menjadi dua
yaitu asin (saltine) dan snack.
Klasifikasi lain adalah berdasarkan pembentukan biskuit. Menurut Faridi
dan Faubion (1990) ; Booth (1990), biskuit dapat dibuat dan dibentuk dengan tiga
cara yaitu rotary molded, wire-cut dan pembentukan lembaran (sheeting).
Perbedaan ketiga cara ini adalah kandungan gula dalam adonan sehingga akan
mempengaruhi karakteristik sewaktu proses pembentukan.
Menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI 01-2973-1992),
biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, cracker, cookies dan wafer.
Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Cracker
adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki
tekstur yang berlapis-lapis. Jenis yang ketiga adalah cookies merupakan jenis
biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Wafer adalah biskuit dari adonan dengan
sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga.
Klasifikasi beberapa jenis biskuit menurut Manley (1983) dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983)
Adonan lunak Klasifikasi Cracker Adonan keras HF HS
Kadar air adonan (%) Kadar air biskuit (%) Suhu adonan (oC) Komponen penting Waktu pemanggangan (menit)
30 1-2
30-38 Tepung
3
22 1-2
40-42 Tepung
5,5
9 2-3 20
Lemak
15-25
15 2-3 21
Lemak dan gula 7
Ket : HF = kandungan lemak tinggi; HS = kandungan gula tinggi 2.6.2. Bahan-bahan pembuat biskuit
Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan
pengikat (binding materials) dan bahan pelembut (tederizing materials) (Matz dan
Matz 1978). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu, telur. Bahan pelembut
terdiri dari gula, shortening, baking powder, telur.
(a) Tepung terigu
Untuk mendapatkan biskuit yang baik, maka tepung terigu tipe lunak
yang mempunyai kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak
terlalu banyak adalah yang paling sesuai (Vail et al. 1978). Tepung terigu
dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pembentuk tekstur, mengikat
bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata sebagai pembentuk
citarasa (Matz dan Matz 1978).
Komposisi gandum bervariasi tergantung jenisnya. Hal ini juga
berpengaruh pada kekuatan glutennya. Kekuatan tepung lebih tergantung
pada mutu daripada jumlah gluten. Tepung yang kuat adalah tepung yang
menghasilkan tepung yang sukar meregang dan mempunyai sifat dapat
menahan gas yang baik. Umumnya jenis tepung ini cocok untuk
pembuatan roti, sedangkan tepung yang lemah cocok untuk pembuatan kue dan
biskuit (Gaman dan Sherrington 1990).
Menurut Astawan (1999) berdasarkan kandungan gluten (protein) tepung
terigu yang beredar dipasaran dapat dibedakan menjadi 3 macam sebagai berikut :
1. Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%.
Tepung ini digunakan untuk pembuatan roti dan mi berkualitas tinggi.
Contohnya adalah terigu ”Cakra Kembar”.
2. Medium hard flour. Tepung jenis ini mengandung protein 9,5-11%. Tepung ini
banyak digunakan untuk pembuatan roti, mi dan macam-macam kue serta
biskuit. Contohnya, terigu ”Segitiga Biru”.
3. Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7-8,5%. Penggunaannya
cocok sebagai pembuatan kue dan biskuit. Contohnya, terigu ”Kunci Biru”.
(b) Telur
Penggunaan telur dalam pembuatan biskuit terutama berfungsi sebagai
pengemulsi yang dapat membantu mempertahankan kestabilan adonan. Selain
itu telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavour, warna dan
kelembutan (Matz dan Matz 1978).
Menurut Whiteley (1971), adanya albumin telur membantu pembentukan
struktur adonan selama pemanggangan biskuit, karena membantu memerangkap
udara saat adonan dikocok sehingga udara dapat menyebar merata diseluruh
adonan. Selain itu telur dapat meningkatkan kerenyahan (crispy) biskuit.
(c) Gula
Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis biskuit, pelunakan gluten,
berperan membentuk flavor dan warna coklat pada biskuit lewat reaksi
pencoklatan nonenzimatis selama proses pemanggangan, memperbaiki tekstur
dan mempengaruhi pengembangan biskuit (Matz dan Matz 1978).
(d) Lemak
Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening sehingga
memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan
serta memberi flavor (Matz 1993). Lemak berfungsi untuk memperbaiki kualitas
penerimaan (melezatkan dan menambah nilai gizi), melembutkan, membantu
pengembangan, membantu penyebaran dan memberikan flavor. Lemak dapat
melembutkan, membuat renyah dengan cara melapisi molekul pati dan gluten
dalam tepung serta memutuskan ikatannya, lemak juga dapat membatasi daya
serap air (Kaplan 1971)
Margarin merupakan pengganti mentega dengan rupa, bau dan konsistensi,
rasa, dan nilai gizi yang hampir sama. Margarin juga mengandung emulsi air
dalam minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak.
Margarin terbuat dari minyak atau lemak nabati, dan bahan tambahan seperti susu
bubuk skim atau lemak hewani, air, garam, esens, pewarna dan zat antitengik.
Umumnya margarin memiliki kandungan lemak yang sedikit tetapi kandungan
airnya sangat banyak (Anonim 2000).
Karena minyak nabati umumnya dalam bentuk cair, maka harus
dihidrogenasi lebih dulu menjadi lemak padat, yang berarti margarin harus
bersifat plastis, padat pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah dan segera
dapat mencair dalam mulut (Winarno 2002).
(e) Susu
Penggunaan susu dalam pembuatan produk biskuit berfungsi untuk
membentuk flavour, mengikat air, sebagai bahan pengisi, membentuk tekstur
yang baik dan porous, meningkatkan nilai gizi terutama kadar protein biskuit.
Selain itu susu juga dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan
warna coklat pada permukaan biskuit dan memperkuat gluten karena kandungan
kalsiumnya (Anonim 1981).
Muchtadi dan Sugiyono (1989) menyatakan bahwa susu adalah suatu
emulsi lemak dalam air yang mengandung garam-garam mineral, gula dan protein.
Salah satu keuntungan penambahan susu didalam mixed food berfungsi sebagai
penguat protein dan lemak, juga mengandung karbohidrat, vitamin (terutama
vitamin A dan niasin) serta mineral (kalsium dan fosfor). Penggunaan susu untuk
pembuatan biskuit berperan sebagai bahan pengisi untuk mengikat kandungan gizi
yang dihasilkan (Buckle et al. 1987).
(f) Bahan pengembang
Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan
produk biskuit adalah baking powder dan amonium bikarbonat. Fungsi baking
powder dalam adonan adalah untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas
CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan
mengembang sempurna, menjaga penyusutan dan untuk menyeragamkan remah.
Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium
bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartarat, folat dan sulfat
(Anonim 1981). Winarno (2002) menyatakan bahwa bahan pengembang adalah
senyawa kimia yang apabila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan.
(g) Air
Air digunakan sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan,
selain itu air juga membentuk dan mempengaruhi tekstur produk (Sunaryo 1985).
Matz dan Matz (1978) menyatakan bahwa air dalam pembuatan produk biskuit
berfungsi sebagai bahan pembantu dalam pembuatan gluten, sehingga membentuk
sifat kenyal dari gluten disamping juga untuk melarutkan gluten, garam serta
bahan-bahan lain agar bisa bercampur. Apabila jumlah air yang ditambahkan
terlalu banyak maka adonan akan menjadi keras, sedangkan jika air yang
ditambahkan sedikit, warna produk akan menjadi kecoklatan, bau agak gosong
dan tekstur mudah hancur.
Air memungkinkan terbentuknya gluten gandum yang mengandung
protein dalam bentuk glutenin dan gliadin, jika ditambahkan air maka akan
membentuk gluten, air juga berperan mengontrol kepadatan adonan. Selain itu, air
juga mengontrol suhu adonan, pemanasan atau pendinginan adonan. Air dalam
adonan melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan secara
seragam. Air membasahi serta mengembangkan pati sehingga dapat dicerna dan
memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Almond 1989).
(h) Flavor
Flavor didefinisikan sebagai komponen yang memiliki karakteristik yang
dapat menimbulkan efek sensoris. Flavor dirasakan terutama oleh indera perasa
dan indera penciuman dan secara umum oleh berbagai reseptor yang ada di dalam
mulut. Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah
diisolasi dari sumber-sumber alami. Keuntungan menggunakan flavor sintetik
adalah lebih ekonomis, konsentrasi rendah, penyimpanan yang mudah, lebih stabil
dan lebih tahan lama (Phillips 1981 diacu dalam Mahani 1999).