word referat polip nasi ums

Upload: adha-noer

Post on 10-Oct-2015

37 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

polip nasi

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Polip nasi merupakan massa udematous yang lunak berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkaan mukosa hidung atau sinus dengan tangkai dasar luas atau sempit. Kebanyakan polip berasal dari celah osteomeatal yang menyebabkan obstruksi hidung. Polip sering tumbuh pada sinus ethmoidalis dan maxillaris. Polip antrokoanal adalah jenis polip yang berasal dari mukosa dinding posterior di daerah antrum maksila, yang kemudian keluar dari ostium sinus dan meluas hingga ke belakang di daerah koana posterior. Polip ini juga dikenal sebagai Killians polyps karena ia pertama kali ditemukan oleh Killian pada tahun 1753. Polip antrochoanal (ACP) terdiri dari 2 komponen yaitu komponen kistik dan padat.Polip antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari mukosa antrum sinus maksila yang inflamasi dan udematous dapat meluas ke koana. Terbanyak berasal dari mukosa dinding antrum bagian posterior. Etiopatogenesis dengan gejala utama hidung tersumbat unilateral dan rinore. Nasoendoskopi dan tomografi computer merupakan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis polip antrokoanal. Penatalaksanaan polip antrokoanal adalah polipektomi. Banyak teknik polipektomi polip antrokoanal yang telah terkenal akan tetapi dengan efek samping dan rekusrensi yang tinggi.

Prevalensi yang pasti dari polip nasi belum ada datanya, oleh karena studi epidemiologi yang dilakukan dan hasilnya bergantung pada populasi studi serta metodenya.(1,2)Penyebab dan mekanisme yang mendasari polip masih tidak dipahami dengan baik, namun peradangan kronis merupakan faktor utama seperti peningkatan sel inflamasi seperti eosinofil. Polip sering dikaitkan dengan rinosinusitis kronis dan alergi. Namun peran alergi pada polip masih kontroversial. Sebuah studi 3000 pasien atopik menunjukkan prevalensi 0,5%, sedangkan studi di 300 pasien alergi menunjukkan prevalensi sebesar 4,5%.Polip antrochoanal hanya mewakili sekitar 3-6% dari polip nasal. Etiologi yang tepat tidak diketahui, tetapi diduga infeksi mungkin merupakan penyebab umum. Namun Cook et almenemukan kejadianyang lebih tinggi 10,4%. Sinusitis kronik ditemukan pada sekitar 25% dari pasien. Tidak seperti polip lainnya, polip antrochoanal lebih sering terjadi pada pasien non atopic (4,7 %) daripada pasien rinitis atopik (1,5 %). Polip ini sering pada anak-anak dan remaja tetapi dapat bermanisfestasi pada usia lebih tua dan lebih banyak mengenai laki-laki dibandingkan perempuan. Pada anak-anak insidensi polip ini mencapai 33%. Dalam sejumlah studi perspektif pada tahun 2002, diketahui bahwa usia rata-rata terjadinya polip antrokoanal ini adalah 27 dan 50 tahun.

Gejala ACP yang sering dikeluhkan adalah sumbatan hidung dan secret yang keluar dari hidung, kadang diawali dengan episode epistaksis, rhinorrea purulenta, strangulasi polip, amputasi spontan, dispneu dan disfagia, gangguan berbicara, obstructive sleep apnoea, serta kakeksia. Nasalendoskopi dancomputed tomography(CT)scanyang diperlukan untukmembuat diagnosis dan perencanaanperawatan. Sebagaimana polip jenis lain, penatalaksanaan polip antrokoanal ini masih belum memuaskan. Hal ini dikarenakan tingkat rekurensinya yang cukup tinggi. Hingga saat ini cara yang sering digunakan untuk mencegah rekurensi polip ini adalah dengan mengangkat mukosa sumber polip hingga mendekati dasarnya agar terbentuk jaringan parut yang menghambat pertumbuhan sel. Penatalaksanaan polip antrocoanal umumnya adalah dengan operatif. Berbagai teknik pembedahan yang sudah dikembangkan untuk tujuan ini antara lain metode Caldwell-Luc, polipektomi endoskopis dengan meatotomi media, polipektomi endoskopis dengan antrostomi melalui meatus inferior, dan penggunaan microshaver dengan atau tanpa pemberian transkanin. Functional endoscopic sinus surgery (FESS) merupakan prosedur yang umum digunakan serta aman dan efektif.Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian THT. Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada hidung yang makin lama semakin berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit kepala. Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.

B. TUJUAN

1. Dapat mengetahui dan memahami definisi, anatofisiologi, patofisiologi serta gejala klinis dari Polip Nasi.

2. Dapat mengetahui dan memahami cara menegakkan diagnosis Polip Nasi.3. Dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan Polip Nasi.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Polip nasi adalah suatu pseudotumor bersifat edematosa yang merupakan penonjolan keluar dari mukosa hidung atau sinus paranasalis, massa lunak, bertangkai, bulat, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung.(2)Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di dinding lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke belakang di daerah koana posterior (polip antrokoanal).(6)B. ANATOMI

Hidung (nasus) terdiri dari piramid hidung (nasus eksternus) dan rongga hidung (cavitas nasi)

a. Hidung Luar (Nasus Eksternus)

Hidung luar tampak seperti piramid dan melekat pada tulang wajah. Bagian atas sempit dan berhubungan dengan dahi disebut radiks nasi. Dari sini ke bawah terbentang dorsum nasi dan berakhir sebagai ujung yang disebut apeks nasi.

Di bagian depan terdapat lubang disebut nares. Nares di sebelah medial dibatasi oleh sekat yang disebut collumella sedang di sebelah lateral dibatasi oleh alae nasi. Tepi bebas alae nasi disebut margo nasi.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Di sebelah superior diperkuat oleh tulang-tulang : os. nasalis, prosesus frontalis os. maksila dan prosesus nasalis os frontal.

Di bagian bawah terdapat kerangka tulang rawan yang disebut cartilagines nasi yang terdiri dari :

1) sepasang cartilago nasi lateralis superior

2) sepasang cartilago alaris mayor

3) sepasang cartilago alaris minores

4) cartilago septi nasi.

b. Rongga Hidung (Kavitas Nasi)

Struktur ini dimulai dari nares (lubang hidung) di sebelah anterior sampai koana di sebelah posterior. Rongga hidung terbagi dua, kanan dan kiri oleh septum nasi. Rongga hidung mempunyai atap, lantai, dinding lateral dan dinding media.

Atap :

Dibentuk oleh cartilagines nasi dan tulang-tulang : os nasale, os frontale lamina cribosa, os eithmoidale dan corpus os sphenoidale.

Dasar :

Dibentuk oleh processus palatinus os maxillae dan lamina horizontalis os palatum

Dinding medial atau septum nasi :

Dari anterior ke posterior terdiri atas cartilage septi nasi, lamina perpendicularis os eithmoidale dan vomerDinding lateral :

Dibentuk oleh os nasale, os maxilla, os lacrimale, os eithmoidale, concha nasalis inferior dan os spheinoid. Dinding lateral ini tidak rata, ditandai tonjolan-tonjolan conchae nasalis dan meatus nasi yang terletak di bawah tiap conchae . Conchae nasales tersebut adalah :

conchae nasalis suprema ( kadang ada kadang tidak)

conchae nasalis superior

conchae nasalis media

conchae nasalis inferior

Dalam cavum nasi terdapat meatus nasi, yaitu :

meatus nasi superior, di sini terdapat ostia cellulae eithmoidales posterior

meatus nasi medius, terdapat lubang-lubang muara dari sinus maxilaris, sinus frontalis, cellulae ethmoidais anterior.

meatus nasi inferor, terdapat muara ductus nasolacrimalis.

c. Vaskularisasi Hidung

1. A. sphenopalatina cabang A. maxillaris interna2. A. eithmoidalis anterior cabang A. opthalmica mendarahi sepertiga depan dinding lateral dan sepertiga depan septum nasi

3. A. eithmoidalis posterior, mendarahi bagian superior

4. cabang-cabang A. facialis5. A. Palatina descendens cabang A maxillaries interna.

Pada bagian anterior septum nasi terdapat anastomosis antara R. septi nasi A. labialis superior cabang A. facialis dengan rami septales posterior A. Sphenopalatina cabang A. maxillaris interna, juga kadang-kadang diikuti R. septalis anterior A.eithmoidalis anterior dan cabang dari A. palatina major. Anastomosis ini terletak superfisial. Daerah tempat anastomosis ini disebut daerah Kiesselbach.

Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke V.opthalmica yang berhubungan dengan sinus kavernosus..Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

d. Inervasi Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensorik dari n.ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasociliaris, yang berasal dari n.opthalmicus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensorik dari n.maxillaris melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina, selain mendapat persarafan sensorik, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensorik dari n.maxillaris, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion tersebut terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior concha media.

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.(3)C. FISIOLOGI

Rongga hidung dilapisi oleh yang secara secara histologik dan funsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaanya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkea aliran udara, mukosanya lebih kental dan kadang terjadi metaplasia menjadi epitel skuamosa. Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Palut lendir di rongga hidung akan didorong ke arah nasofaring oleh silia dengan gerakan teratur. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan terutama ditemukan di dekat ostium.

Sekresi mukosa nasal merupakan campuran dari komponen-komponen : sekresi kelenjar mukosa dan sel goblet, transudasi dan eksudasi dari kapiler di dalam mukosa dan debris dari leukosit dan sel epitel

Fungsi hidung adalah untuk :

i. Sebagai jalan nafas

ii. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang masuk ke alveolus dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

iii. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakakukan oleh rambut, silia, palut lendir (mucous blanket), dan lysozyme.

iv. Indra penghidu

v. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

vi. Proses berbicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

vii. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskular dan pernafasan. (2,4,5)D. ETIOLOGI

Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan patogenesisnya. Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal : umur, alergi, infeksi dan inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi. (2) Penyebab lainnya diduga karena adanya intoleransi aspirin, perubahan polisakarida dan ketidakseimbangan vasomotor.(7)E. PATOGENESIS

Epitel mukosa hidung secara terus menerus terekspos lingkungan luar melalui udara yang diinspirasi yang berpotensial menyebabkan kerusakan epitel dan infeksi.

Polip nasi terjadi karena adanya peradangan kronis pada membran mukosa hidung dan sinus yang disebabkan oleh kerusakan epitel akibat paparan iritan, virus atau bakteri.

Banyak faktor yang berperan dalam pembentukan polip nasi. Kerusakan epitel terlibat dalam patogenesis polip. Sel epitel dapat mengalami aktivasi dalam respon terhadap alergen, polutan maupun agen infeksius. Sel akan mengeluarkan berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan pemulihannya, antara lain neuropeptide-degrading enzym, endothelin, nitric oxide, asam arakidonat, sitokin inflamasi yang mempengaruhi sel inflamasi. Faktor-faktor tersebut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, adhesi leukosit, sekresi mukus, stimulasi fibroblas dan kolagen.(5)

Beberapa faktor inflamasi telah dapat diisolasi dan dibuktikan dihasilkan pada polip nasi. Faktor-faktor tersebut meliputi endothelial vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1, nitric oxide synthese, granulocyte-macrophage colonystimulating factor (GM-CSF), eosinophil survival enhancing activity (ESEA), cys-leukotrienes (Cys-LT) dan sitokin lainnya. (8)

Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif yang kemungkinan berperan juga dalam terjadinya polip. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan selular yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Tubuh menghasilkan endogenous oxidants sebagai respon dari bocornya elektron dari rantai transport elektron, sel fagosit dan sistem endogenous enzyme (MAO, P450, dsb)

Epitel polip nasi terdapat hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang kemungkinan besar berperan dalam menimbulkan obstruksi nasal dan rinorrhea. Sintesis mukus dan hiperplasia sel globet diduga terjadi karena peranan epidermal growth factors (EGF). (8)

Adanya proses peradangan kronis menyebabkan hiperplasia membran mukosa rongga hidung, adanya cairan serous di celah-celah jaringan, tertimbun dan menimbulkan edema, kemudian karena pengaruh gaya gravitasi. Akumulasi cairan edema ini menyebabkan prolaps mukosa. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya tangkai polip,(9,13) kemudian terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat.

Struktur stroma polip nasi dapat mempunyai vasodilatasi pembuluh darah sedikit atau banyak, variasi kepadatan tipe sel yang berbeda, seperti eosinofil, neutrofil, sel mast, plasma sel dan lain-lain.

Eksudasi plasma mikrovaskular berperan dalam perkembangan kronik edem pada polip nasi.

Gambaran histopatologi dari polip nasi bervariasi dari jaringan yang edem dengan sedikit kelenjar sampai peningkatan kelenjar. Eosinofil dapat muncul, menandakan komponen alergi. Hal ini menunjukkan adanya proses dinamis yang nyata pada polip nasal yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti aliran udara, faktor lain yang dapat mempengarui epitel polip dan proses regenerasinya, perbedaan epitel dan ketebalannya, ukuran polip, infeksi dan alergi.

Beberapa buku menyebutkan alergi sebagai penyebab utama polip nasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya penimbunan eosinofil dalam jumlah besar dari jaringan polip atau dalam sekret hidung. Polip hidung yang disebabkan oleh alergi seringkali dialami penderita asma dan rinitis alergi (9).

Infeksi virus dan bakteri juga dikatakan sebagai salah satu penyebab dari polip nasi. Pada polip nasi yang disebabkan oleh infeksi ditemukan infiltrasi sel-sel neutrofil, sedangkan sel eosinofil tidak ditemukan.

Menurut Ogawa dari hasil penelitiannya pada penderita polip hidung disertai deviasi septum, polip lebih sering didapatkan pada rongga hidung dengan septum yang cekung. Deviasi septum hidung akan menyebabkan aliran udara pada bagian rongga hidung dengan septum yang cekung, akan lebih cepat dari bagian cembung di rongga hidung sisi lain. Percepatan ini terjadi pada rongga hidung bagian atas dan menimbulkan tekanan negatif. Tekanan negatif ini merupakan rangsangan bagi mukosa hidung sehingga meradang dan terjadi edema. (2)Pada intoleransi aspirin, terjadinya polip nasi disebabkan karena inhibisi cyclooxygenase enzyme. Inhibisi tersebut menyebabkan pelepasan mediator radang, yaitu cysteinyl leucotrienes.(10)F. MANIFESTASI KLINIK

Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama, dimana dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh(6), sengau, sakit kepala. Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak, bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior bila ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-abuan mengkilat yang terlihat mengggantung di nasofaring (1).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi. Gambar dari suatu polip nasi yang tampak dengan endoskopi.

H. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari polip nasi adalah :

a. Angiofibroma Nasofaring Juvenil

Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial.

Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus Pterigoideus ke belakang.

Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena merupakan kontra indikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki(9).

b. Keganasan pada hidung

Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada laki-laki. Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia, proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan dapat disertai likuorhea. Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari massa tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel squamous berkeratin(9).I. TATALAKSANA

Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif. Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan konservatif.1. Terapi Konservatif (8)a. Kortikosteroid sistemik

Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi.

b. Kortikosteroid spray

Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutk polip yang masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhanc. Leukotrin inhibitor.

Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.

2. Terapi operatifTerapi operasi dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip yang sangat besar, sehingga tidak dapat diobati dengan terpi konservatif. Tindakan operasi yang dapat dilakukan meliputi : (11,12,13)

a. Polipektomi intranasal

b. Antrostomi intranasal

c. Ethmoidektomi intranasal

d. Ethmoidektomi ekstranasal

e. Caldwell-Luc (CWL)

f. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

J. KOMPLIKASI OPERASI

Komplikasi yang terbanyak meliputi :

1. SSP Kerusakan LCS , meningitis, perdarahan intrakranial, abses otak, hernisasi otak

2. Mata - Kebutaan, trauma nervus opticus, orbital hematoma, trauma otot-otot mata bisa menyebabkan diplopia, trauma yang mengenai duktus lakrimalis dapat menyebabkan epiphora

3. Pembuluh darah trauma pada pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan.

4. Kematian

BAB III

KESIMPULAN1. Polip nasi adalah suatu pseudotumor yang merupakan penonjolan dari mukosa hidung atau sinus paranasalis yang terdorong karena adanya gaya berat.

2. Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Diduga karena adanya reaksi alergi, infeksi, deviasi septum hidung, intoleransi aspirin, perubahan polisakarida, dan ketidakseimbangan vasomotor.

3. Diagnosis polip nasi berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

4. Pengelolaan penderita polip nasi dengan cara operatif (polipektomi) atau dengan non operatif (kortikosteroid).

5. Diagnosis dan penanganan yang tepat sangat diperlukan agar penderita tidak jatuh ke dalam penyulit yang lebih berat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Van Der Baan. Epidemilogy and natural history dalam Nasal Polyposis. Copenhagen: Munksgaard,1997. 13-15.

2. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip hidung. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2000: 97-99.

3. Staf Pengajar Bagian Anatomi. Materi Kuliah Anatomi: organum sensuum. FK Undip, 2000.

4. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, !997: 173-94

5. Calderon, Devalia, Davies. Biology of Nasal Epithelium dalam Nasal Polyposis. Copenhagen:Munksgaard,1997. 31-41

6. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis. Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21

7. Drake Lee AB. Nasal polyps. In : Scott Brown`s Otolaryngology, Rrhinology. 5th ed. Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR edts). Butterworths. London. 1987 : 142-53.

8. Archer. Nasal Polyps, Non surgical Treatment. http:// emedicine.com

9. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, !997: 173-94

10. szczeklik. Intolerence to aspirin and other non-steroidal anti-inflammatory drugs in airway disease dalam Nasal Polyposis. Copenhagen: Munksgaard, 1997. 105-106

11. Montgomery William. Surgery of the Ethmoid and Sphenoid sinuses in Surgery of the Upper Respiratory System vol 1. Philadelphia : Lea & febiger,1971 : 41-52

12. Tardy ME Jr, Kasterbauer ER. Operation on the ethmoid sinuses. In : Head and neck Surgery vol 1. face, nose and facial skull part two. Stuttgard- New York : George Thiem Verlag, 1995 : 465-9

13. Tardy ME Jr, Kasterbauer ER. Operation on the Maxillary antrum. In : Head and neck Surgery vol 1. face, nose and facial skull part two. Stuttgard- New York : George Thiem Verlag, 1995 : 465-9