wawan-edit_buku rangkuman undang2 + kode etik ikpi

Upload: gueigun

Post on 05-Jul-2018

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    1/416

     

     ________________

    - Undang-Undang No. 13 Th 1985 tentang Bea Meterai (BM)- Undang-Undang No. 12 Th 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)- Undang-Undang No. 20 Th 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)- Undang-Undang No. 19 Th 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa- Undang-Undang No. 14 Th 2002 tentang Pengadilan Pajak (PP)- Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP)- Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)- Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan

    Atas Barang Mewah (PPN BM)

    SOAL _ SOAL

    diganti dengan

    PasAL - rEVIsi

    Tambahkan

    - Kode Etik IKPI – Keputusan Kongres IX Ikatan

    Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

    EDIT apa ENGAK?

    UU No. 16 Tahun 2009 ttg KUP

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    2/416

    i

    Buku Rangkuman Undang2 

      Rangkuman Undang-

    Undang Perpajakan

    sekaligus TambahanLembaran Negara

      Kode Etik IkatanKonsultan Pajak

    Indonesia (IKPI)

    BPUSKP - 2011

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    3/416

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    4/416

    iii

    RANGKUMAN

    UNDANG-UNDANGPERPAJAKAN 

    Tahun 2011 

    Dirangkum olehBadan Penyelenggara Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak

    Hak Cipta ©2011, Badan Penyelenggara Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak

    Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau

    seluruh isi buku dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi,

    merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa ijin tertulis dari penerbit atau pemegang

    hak cipta.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    5/416

    iv

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    6/416

    v

    KATA PENGANTAR

    Rangkuman Undang-Undang Perpajakan 2000-an yang disajikan dalam satu Naskahmerupakan pegangan bagi calon Konsultan Pajak dalam menempuh Ujian Sertifikasi Konsultan

    Pajak yang diselenggarakan oleh Badan Pennyelenggara Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak.

    Susunan Undang-Undang Perpajakan tersebut yaitu Undang-Undang Perpajakan secara

    kronologis sekaligus dengan revisi yang masih berlaku sampai saat ini, terdiri dari:

    1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai;

    2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi danBangunan;

    3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan;

    4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajakdengan Surat Paksa;

    5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

    6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan UmumDan Tata Cara Perpajakan;

    7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan;

    8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan

    Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;9. Kode Etik IKPI – Keputusan Kongres IX Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

    Semoga penyajian Rangkuman Undang-Undang Perpajakan sekaligus Penjelasan Pasal-

    pasal sesuai Tambahan Lembaran Negara dalam satu naskah ini bermanfaat, khususnya bagi

    peserta Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) yang akan menempuh Ujian bulan Mei dan

    bulan Juli 2011, serta umumnya bagi masyarakat luas.

    Jakarta, 28 Juni 2011

    Badan PenyelenggaraUjian Sertifikasi Konsultan Pajak,

    ttd.

    I Gusti Rai Putra

    Ketua

    EDIT apa ENGAK?

    UU No. 16 Tahun 2009 ttg KUP

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    7/416

    vi

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    8/416

    vii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………………….  iii

    DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………….  v

    1.  Undang-Undang No. 13 Th 1985 tentang Bea Meterai (BM) …………………..….  1

    2.  Undang-Undang No. 12 Th 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)………………………………………………………………………………………………………………..….  15

    3.  Undang-Undang No. 20 Th 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan (BPHTB) ……………………………………………………………………………..  43

    4.  Undang-Undang No. 19 Th 2000 tentang Penagihan Pajak dengan SuratPaksa …………………………………………………………..………………………….…………………  73

    5.  Undang-Undang No. 14 Th 2002 tentang Pengadilan Pajak (PP) ………………..  115

    6.  Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan TataCara Perpajakan (KUP) ……….………………………………………..…………………………….  155

    7.  Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) ………  245

    8.  Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan NilaiBarang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN BM) ………. 

    343

    9.  Kode Etik IKPI - Kongres IX Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ………….… 401

    BIBLIOGRAPHY ………………………………………………………………………………………………….  407

    EDIT apa ENGAK?

    UU No. 16 Tahun 2009 ttg KUP

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    9/416

    viii

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    10/416

     

    1

    *UNDANG-UNDANG

    NOMOR 13 TAHUN 1985 TANGGAL 27 DESEMBER 1985

    TENTANG

    BEA METERAI

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :

    a. bahwa Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan segenap warganya untuk berperan menghimpundana pembiayaan yang memadai, terutama harus bersumber dari kemampuan dalam negeri, hal manamerupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Nasional;

     b. bahwa Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening

    1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia;

    c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diadakan pengaturan kembali tentang Bea Meterai

    yang lebih bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat;

    d. bahwa untuk mencapai maksud tersebut diatas, perlu dikeluarkan undang-undang baru mengenai Bea

    Meterai yang menggantikan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921);

    Mengingat :

    1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

    2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran

     Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);

    Dengan persetujuan

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

    MEMUTUSKAN:Dengan mencabut Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) (Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498)

    sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran

     Negara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 7

    Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38).

    Menetapkan

    UNDANG-UNDANG TENTANG BEA METERAI.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    11/416

     

    2

    BAB I

    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1 

    (1) Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini.

    (2) Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

    a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang

     perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan;

     b. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah

    Republik Indonesia;

    PENJELASANATAS

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR 13 TAHUN 1985

    TENTANG

    BEA METERAI

    UMUM

    Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila danUndang-undang Dasar 1945 memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada semuaWarga Negara untuk berperan serta dalam pembangunan Nasional.

    Salah satu cara dalam mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah denganmemenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen-dokumentertentu yang digunakan.

    Pengaturan pengenaan Bea Meterai selama ini yang terdapat dalam Aturan Bea Meterai1921 (Zegelverordening 1921) (Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telahbeberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (LembaranNegara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang denganUndang-undang Nomor 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38) tidaksesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia sehingga perlu

    disederhanakan.Untuk itu Undang-undang ini tidak lagi mencantumkan Bea Meterai menurut luas kertas danBea Meterai sebanding melainkan hanya Bea Meterai tetap yang besarnya Rp.1.000,- (seriburupiah) dan Rp.500,- (lima ratus rupiah).

    Selanjutnya untuk kesederhanaan dan kemudahan pemenuhan Bea Meterai makapelunasannya cukup dilakukan dengan menggunakan meterai tempel dan kertas meterai,sehingga masyarakat tidak perlu lagi datang ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untukmemperoleh Surat Kuasa Untuk Menyetor (SKUM).

    Yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumen-dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini, yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum.

    Untuk melunasi Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar beserta dendanya (jika ada)

    dilakukan dengan cara pemeteraian-kemudian (nazegeling).

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    12/416

     

    3

    c. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf,

    teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti

    tandatangan;

    d. Pemeteraian-kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos

    atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum dilunasi sebagaimana

    mestinya;

    e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani

     permintaan pemeteraian-kemudian.

    BAB II

    OBYEK, TARIF, DAN YANG TERHUTANG BEA METERAI

    Pasal 2

    (1) Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk:

    a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat

     pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;

     b. akta-akta notaris termasuk salinannya;

    c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya;

    d. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah):

    1) yang menyebutkan penerimaan uang;

    2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;

    3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;

    4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi

    atau diperhitungkan;

    e. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari

    Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah);

    f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari

    Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).

    (2) Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan

    huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah).

    (3) Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang akan digunakan

    sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan:

    a. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;

    PENJELASAN

    PASAL DEMI PASAL

    Pasal 1

    ayat (1)

    Cukup jelas Ayat (2)

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    13/416

     

    4

     b. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan

    untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula;

    (4) Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, yang mempunyaiharga nominal lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta

    rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp.500,- (lima ratus rupiah), dan apabila harga nominalnya

    tidak lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tidak terhutang Bea Meterai.

    Pasal 2

     Ayat (1)

    Huruf a

    Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnyatersebut, dibebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas suratperjanjian atau surat-surat yang dipegangnya.

    Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa,surat hibah, surat pernyataan.

    Huruf bCukup jelas

    Huruf c

    Cukup jelas

    Huruf d, huruf e, dan huruf f

    Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d, huruf e,dan huruf f ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun harga nominal yangdinyatakan dalam mata uang asing.

    Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominaltersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

    yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahuiapakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai.

     Ayat (2)

    Cukup jelas

     Ayat (3)

     Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas surat-surat yang semulatidak kena Bea Meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktiandi muka pengadilan maka lebih dahulu harus dilakukan pemeteraian-kemudian.

    Huruf a

    Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk

    tujuan sesuatu pembuktian misalnya seseorang mengirim surat biasa kepadaorang lain untuk menjualkan sebuah barang.

    Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabilakemudian dipakai sebagai alat pembuktian dimuka Pengadilan, maka terlebihdahulu dilakukan pemeteraian-kemudian.

    Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar harga barang. Daftar ini dibuattidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itutidak dikenakan Bea Meterai.

     Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakansebagai alat pembuktian, maka daftar harga barang ini terlebih dahuludilakukan pemeteraian-kemudian.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    14/416

     

    5

    Pasal 3

    Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga

    nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan, setinggi-tingginya enam kali atas

    dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

    Pasal 4

    Tidak dikenakan Bea Meterai atas:

    a. dokumen yang berupa:

    1) surat penyimpanan barang;

    2) konosemen;

    3) surat angkutan penumpang dan barang;

    4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1),

    angka 2), dan angka 3);

    5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;

    6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

    7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam angka

    1) sampai angka 6).

     b. segala bentuk Ijazah;

    c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya

    dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;

    d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;

    e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas

     Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;

    f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;

    g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi,

    dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;

    h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;

    i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

    Pasal 3

    Cukup jelas

    Huruf b

    Surat-surat yang dimaksud dalam huruf b ayat ini ialah surat-surat yangkarena tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannyakemudian diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai.Misalnya tanda penerimaan uang yang dibuat dengan tujuan untuk keperluan

    intern organisasi tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian tandapenerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di mukaPengadilan, maka tanda penerimaan uang tersebut harus dilakukanpemeteraian-kemudian terlebih dahulu.

     Ayat (4)

    Lihat penjelasan ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    15/416

     

    6

    Pasal 4

    Huruf a

     Angka 1

    Cukup jelas

     Angka 2

    Cukup jelas

     Angka 3

    Cukup jelas

     Angka 4

    Cukup jelas

     Angka 5

    Cukup jelas

     Angka 6

    Cukup jelas

     Angka 7

    Yang dimaksud dengan surat-surat lainnya dalam angka 7 ini ialah surat-surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 6 namunkarena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat-surat yangdimaksud, seperti surat titipan barang, ceel gudang, manifest penumpang,maka surat yang demikian ini tidak dikenakan Bea Meterai, menurut Pasal 4huruf a ini.

    Huruf b

    Termasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ini ialah surat tanda tamat belajar,tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti sesuatu pendidikan, latihan, kursus,

    dan penataran.

    Huruf c

    Cukup jelas

    Huruf d

    Cukup jelas

    Huruf e

    Bank yang dimaksud dalam huruf e ini adalah bank yang ditunjuk oleh Pemerintahuntuk menerima setoran pajak, bea dan cukai.

    Huruf f

    Cukup jelas

    Huruf g

    Cukup jelas

    Huruf h

    Cukup jelas

    Huruf i

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    16/416

     

    7

    Pasal 5

    Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal:

    a. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;

     b. dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat;

    c. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.

    Pasal 6

    Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak

    atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

    Pasal 5

    Huruf a

    Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf a, adalah padasaat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat,bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya.

    Huruf b

    Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf b, adalah padasaat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tandatangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. BeaMeterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.

    Huruf c

    Cukup jelas

    Pasal 5

    Huruf a

    Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf a, adalah pada

    saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat,bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya.

    Huruf b

    Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf b, adalah padasaat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tandatangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. BeaMeterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.

    Huruf c

    Cukup jelas

    Pasal 6

    Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terhutang oleh penerimakuitansi.

    Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawahtangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.

    Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang baik atasasli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak

    yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumentersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    17/416

     

    8

    BAB III

    BENDA METERAI, PENGGUNAAN, DAN CARA PELUNASANNYA

    Pasal 7 

    (1) Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, pengurusan,

     penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

    (2) Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara:

    a. menggunakan benda meterai;

     b. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

    (3) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea

    Meterai.

    (4) Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

    (5) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta

    atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas

    meterai tempel.

    (6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua

    meterai tempel dan sebagian di atas kertas.

    (7) Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.

    (8) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas

    meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.

    (9) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen

    yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

    Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meteraiterhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.

    Pasal 7

     Ayat (1)

    Cukup jelas

     Ayat (2)

    Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menuruttarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

    Disamping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagipelunasan Bea Meterai, misalnya membubuhkan tanda-tera sebagai penggantibenda meterai di atas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang ditentukan untuk itu.

     Ayat (3)

    Cukup jelas

     Ayat (4)

    Cukup jelas

     Ayat (5)

    Yang sejenis dengan tinta misalnya pensil tinta, ballpoint dan sebagainya.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    18/416

     

    9

    Pasal 8

    (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi

    sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meteraiyang tidak atau kurang dibayar.

    (2) pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus melunasi Bea Meterai

    yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian.

    Pasal 9

    Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang

    terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian.

     Ayat (6)

    Cukup jelas

     Ayat (7)

     Ayat ini menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuksekali pemakaian, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuatdalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertasmeterai.

     Andaikata bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akandimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keteranganlain tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan denganbesarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

    Jika sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal inibelum ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalamkertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belummerupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas

    meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertasmeterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.

     Ayat (8)

    Cukup jelas

     Ayat (9)

    Cukup jelas

    Pasal 8

     Ayat (1)

    Cukup jelas

     Ayat (2)

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    19/416

     

    10

    Pasal 10

    Pemeteraian-kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan

    oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang tetapkan oleh Menteri Keuangan.

    BAB IV

    KETENTUAN KHUSUS

    Pasal 11 

    (1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam

    tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:

    a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak ataukurang dibayar;

     b. melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya

     pada dokumen lain yang berkaitan;

    c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak

    atau kurang dibayar;

    d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan

    tarif Bea Meterai-nya.

    (2) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi

    administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Pasal 12

    Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini daluwarsa

    setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.

    Pasal 9

    Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakandi Indonesia.

    Jika dokumen tersebut hendak digunakan di Indonesia harus dibubuhi meterai terlebihdahulu yang besarnya sesuai dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengancara pemeteraian-kemudian tanpa denda.

    Namun apabila dokumen tersebut baru dilunasi Bea Meterai-nya sesudah digunakan, makapemeteraian-kemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200% (dua ratus persen).

    Pasal 10

    Cukup jelas

    Pasal 11

    Cukup jelas

    Pasal 12

    Ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal dokumendibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    20/416

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    21/416

     

    12

    Pasal 16

    Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan berdasarkan

    Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum

    dicabut dan diganti dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.

    BAB VII

    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 17

    Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 18

    Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.

    Pasal 15

     Ayat (1)

    Cukup jelas

     Ayat (2)Cukup jelas

    Pasal 16

    Cukup jelas

    Pasal 17

    Cukup jelas

    Pasal 18

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    22/416

     

    13

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam

    Lembaran negara Republik Indonesia.

    Disahkan di : Jakarta

     pada tanggal : 27 Desember 1985

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    ttd

    SOEHARTO

    Diundangkan di Jakarta

     pada tanggal 27 Desember 1985

    MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

    REPUBLIK INDONESIA

    ttd

    SUDHARMONO, S.H.

    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 69

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    23/416

     

    14

    PENJELASAN

    ATAS

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR 13 TAHUN 1985

    TENTANG

    BEA METERAI

    UMUM

    dst ……. 

    PENJELASAN

    PASAL DEMI PASAL

    dst ……. 

    TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3313 

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    24/416

     

    15

    *UNDANG-UNDANG

    NOMOR 12 TAHUN 1994 TANGGAL 09 NOVEMBER 1994

    TENTANGPERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985  TENTANG PAJAK

    BUMI DAN BANGUNAN

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :

    a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan

    nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk berkembangnya bentuk-bentuk dan praktek

     penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-undang perpajakan yang sekarang

     berlaku;

     b. bahwa dalam usaha untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian sebagai tersebut di atas dapat

    tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan

    sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan seiring dengan itu dapat diciptakan

    kepastian hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktek

     penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang

    memadai terhadap berbagai Undang-undang perpajakan yang telah ada;c. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-

    Undang nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan;

    Mengingat :

    1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

    2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah

    dengan Undang-Undang nomor 9 TAHUN 1994  (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan

    Lembaran Negara Nomor 3566);

    3. Undang-Undang nomor 12 TAHUN 1985  tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312);

    Dengan persetujuan

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan :

    UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 

    TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    25/416

     

    16

    PENJELASAN

    ATAS

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR 12 TAHUN 1994

    TENTANG

    PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985

    TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

    UMUM

    Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan

    perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasionalsebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.

    Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuanperpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan Undang-undang.Undang-Undang nomor 12 TAHUN 1985  tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku sejaktahun 1986 merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas bumidan/atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, penguasaan dan/atau perolehanmanfaat atas bangunan.

    Pada hakekatnya, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana perwujudankegotongroyongan nasional dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, sehingga dalampengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan sertaditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi

    kewajiban pembayaran pajak. Setelah hampir satu dasawarsa berlakunya Undang-Undang nomor 12TAHUN 1985, dengan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatnya jumlahObjek Pajak serta untuk menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat dalam Garis-garis BesarHaluan Negara, dirasakan sudah masanya untuk menyempurnakan Undang-Undang nomor 12TAHUN 1985. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dantujuan penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut:

    a. Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaanpembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;

    b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasidalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.

    Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam penyempurnaan

    Undang-Undang nomor 12 TAHUN 1985 perlu diatur kembali ketentuan-ketentuan mengenai PajakBumi dan Bangunan yang dituangkan dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dengan pokok-pokok antara lainsebagai berikut:

    a. Untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur ketentuan mengenaibesarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk setiap Wajib Pajak;

    b. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding ke badan peradilan pajak.

    PASAL DEMI PASAL

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    26/416

     

    17

    Pasal I

    Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,

    sebagai berikut:

    BAB I

    KETENTUAN UMUM  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 1  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:

    1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;

    2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;

    3. Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara

    wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek PajakPengganti;

    4. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data

    obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;

    5. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk

    memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak;

    Pasal I  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Angka 1

    Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayahIndonesia.

     Angka 2

    Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

    - jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunanseperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yangmerupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

    - jalan TOL;

    - kolam renang;

    - pagar mewah;

    - tempat olah raga;

    - galangan kapal, dermaga;

    - taman mewah;

    - tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;

    - fasilitas lain yang memberikan manfaat.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    27/416

     

    18

    BAB II

    OBYEK PAJAK   ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 2  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    (1) Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.

    (2) Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

     Angka 3

    Yang dimaksud dengan:

    - Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatupendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan

    cara membandingkannya dengan obyek pajak lain yang sejenis yangletaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.

    - Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuannilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biayayang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saatpenilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkankondisi fisik obyek tersebut.

    - Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuannilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksiobyek pajak tersebut.

     Angka 4

    Cukup jelas

     Angka 5

    Cukup jelas

    Pasal 2  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Cukup jelas

     Ayat (2)

    Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalahpengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan

    sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yangterhutang.

    Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagaiberikut:

    1. letak;

    2. peruntukan;

    3. pemanfaatan;

    4. kondisi lingkungan dan lain-lain.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    28/416

     

    19

    1. Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai

     berikut:

    Pasal 3 ( UU NO. 12 TAHUN 1994 )  

    (1) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang:

    a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,

    kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk

    memperoleh keuntungan; b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;

    c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah

     penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu

    hak;

    d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

    e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh

    Menteri Keuangan.

    (2) Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan

     pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

    (3) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

    (4) Penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat

    (3) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

    Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagaiberikut:

    1. bahan yang digunakan;

    2. rekayasa;

    3. letak;4. kondisi lingkungan dan lain-lain.

    Pasal 3 ( UU No. 12 Tahun 1994 )

     Ayat (1)

    Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperolehkeuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untukmelayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untukmencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain darianggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badanyang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan,dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalahhutan wisata milik Negara sesuai Pasal 2 Undang-undang Nomor 5Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

    Contoh:

    - pesantren atau sejenis dengan itu;

    - madrasah;

    - tanah wakaf;

    - rumah sakit umum.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    29/416

     

    20

     Ayat (2)

    Yang dimaksud dengan objek pajak dalam ayat ini adalah objekpajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat danPemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan.

    Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagianbesar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara

    lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmatioleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

    Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayaipenyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi danBangunan. Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangandan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajibanperpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.

     Ayat (3)

    Untuk setiap Wajib Pajak diberikan Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

     Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak,yang diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak hanya salahsatu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajaklainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai JualObjek Pajak Tidak Kena Pajak.

    Contoh:

    1. Seorang Wajib Pajak hanya mempunyai Objek Pajak berupabumi dengan nilai sebagai berikut:

    - Nilai Jual Objek Pajak Bumi…..  Rp 3.000.000,00

    - Nilai Jual Objek Pajak Tidak

    Kena Pajak Rp 8.000.000,00Karena Nilai Jual Objek Pajak berada dibawah Nilai JualObjek Pajak Tidak Kena Pajak, maka Objek Pajak tersebuttidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

    2. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupabumi dan bangunan masing-masing di Desa A dan Desa Bdengan nilai sebagai berikut:

    a. Desa A

    - Nilai Jual Objek PajakBumi = Rp 8.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakBangunan = Rp 5.000.000,00

    Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak:

    - Nilai Jual Objek PajakBumi…………..  Rp 8.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakBangunan Rp 5.000.000,00

    ---------------------- (+)

    - Nilai Jual Objek Pajaksebagai dasar

    pengenaan pajak….  Rp 13.000.000,00

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    30/416

     

    21

    - Nilai Jual Objek PajakTidak Kena Pajak……  Rp 8.000.000,00

    ---------------------- (-)

    - Nilai Jual Objek Pajakuntuk Penghitungan

    Pajak….  Rp 5.000.000,00

    ==============

    b. Desa B

    - Nilai Jual Objek PajakBumi = Rp 5.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakBangunan = Rp 3.000.000,00

    Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak:

    - Nilai Jual Objek PajakBumi…………………… Rp 5.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakBangunan…………….  Rp 3.000.000,00

    --------------------- (+)

    - Nilai Jual Objek Pajaksebagai dasar pengenaanpajak………..  Rp 8.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakTidak Kena Pajak…….  Rp 0,00

    --------------------- (-)- Nilai Jual Objek Pajak

    untuk PenghitunganPajak………………  Rp 8.000.000,00

    ============

    Untuk Objek Pajak di Desa B, tidak diberikan Nilai JualObjek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp 8.000.000,00(delapan juta rupiah), karena Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak telah diberikan untuk Objek Pajak yang beradadi Desa A.

    3. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua objek Pajak berupabumi dan bangunan pada satu Desa C dengan nilai sebagaiberikut:

    a. Objek I

    - Nilai Jual Objek PajakBumi = Rp 4.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakBangunan = Rp 2.000.000,00

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    31/416

     

    22

    Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak:

    - Nilai Jual Objek PajakBumi……………………. Rp 4.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakBangunan……………..  Rp 2.000.000,00

    --------------------- (+)

    - Nilai Jual Objek Pajaksebagai dasarpengenaan pajak……  Rp 6.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakTidak Kena Pajak……  Rp 8.000.000,00

    Karena Nilai Jual Objek Pajak berada dibawah NilaiJual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka ObjekPajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan

    Bangunan.

    b. Objek II.

    - Nilai Jual Objek PajakBumi = Rp 4.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakBangunan = Rp 1.000.000,00

    Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak:

    - Nilai Jual Objek PajakBumi……………………. Rp 4.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakBangunan……………..  Rp 1.000.000,00

    --------------------- (+)

    - Nilai Jual Objek Pajaksebagai dasarpengenaan pajak…….  Rp 5.000.000,00

    - Nilai Jual Objek PajakTidak Kena Pajak…….  Rp 0,00

    ---------------------- (-)

    - Nilai Jual Objek Pajak

    untuk PenghitunganPajak….  Rp 5.000.000,00

    =============

     Ayat (4)

    Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenanguntuk mengubah besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajaksebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkanperkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan hargaumum objek pajak setiap tahunnya.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    32/416

     

    23

    BAB III

    SUBYEK PAJAK  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 4  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    (1) Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi,dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat

    atas bangunan.

    (2) Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi

    wajib pajak menurut Undang-undang ini.

    (3) Dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat

    menetapkan subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak.

    (4) Subyek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan keterangan secara

    tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap obyek pajak dimaksud.

    (5) Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka

    Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat

    (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.

    (6) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat

    keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.

    (7) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud

    dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu

    dianggap disetujui.

    Pasal 4  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.

     Ayat (2)

    Cukup jelas.

     Ayat (3)

    Ketentuan ini memberikan kepada Direktur Jenderal Pajak untukmenentukan subjek pajak sebagai wajib pajak, apabila suatu obyek pajakbelum jelas wajib pajaknya.

    Contoh:

    1. Subjek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakanbumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karenasesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena

    perjanjian maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan ataumenggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagaiwajib pajak.

    2. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan dipengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan ataumenggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.

    3. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letakobjek pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakankepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasadapat ditunjuk sebagai wajib pajak.

    Penunjukan sebagai wajib pajak oleh Direktur Jenderal Pajak bukan

    merupakan bukti pemilikan hak.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    33/416

     

    24

    BAB IV

    TARIF PAJAK   ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 5  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).

    BAB V

    DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PAJAK   ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 6  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    ( 1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak.

    (2) Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh

    Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan

    daerahnya.

    (3) Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua

     puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari nilai jual obyek pajak.

    (4) Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan denganPeraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

     Ayat (4)

    Cukup jelas

     Ayat (5)Cukup jelas

     Ayat (6)

    Cukup jelas

     Ayat (7)

    Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, apabila Direktur Jenderal Pajak tidakmemberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggalditerimanya keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajibpajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusanpencabutan penetapan sebagai wajib pajak.

    Pasal 5  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  Cukup jelas

    Pasal 6  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    34/416

     

    25

    Pasal 7  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak.

     Ayat (2)

    Pada dasarnya penetapan nilai jual obyek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali.Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembanganpembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jual obyek pajak cukup besar,maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.

    Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbanganGubernur serta memperhatikan asas self assessment.

     Ayat (3)

    Yang dimaksud Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) adalah nilai jualyang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatupersentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.

    Contoh:

    1. Nilai Jual suatu obyek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 PersentaseNilai Jual Kena Pajak misalnya 20% maka besarnya nilai jual kenapajak 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp 200.000,00

    2. Nilai jual suatu obyek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 PersentaseNilai Jual Kena Pajak misalnya 50% maka besarnya nilai jual kenapajak 50% x Rp 1.000.000,00 = Rp 500.000,00.

     Ayat (4)

    Cukup jelas

    Pasal 7  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahuludengan batas nilai jual bangunan tidak kena pajak sebesar Rp 2.000.000,00 (dua jutarupiah).

    Contoh:

    Wajib pajak A mempunyai obyek pajak berupa:

    - Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp 300.000/m

    2;

    - Bangunan seluas 400m2 dengan nilai jual Rp. 350.000/m

    2;

    - Taman mewah seluas 200 m2

     dengan nilai jual Rp. 50.000/m2

    ;- Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai

     jual Rp 1.750.000/m2;

    Persentase nilai jual kena pajak misalnya 20%.

    Besarnya pajak yang terhutang adalah sebagai berikut:

    1. Nilai jual tanah: 800 x Rp 300.000,00 = Rp 240.000.000,00

    nilai jual bangunan

    a. Rumah dan garasi400 x Rp 350.000,00 = Rp 140.000.000,00

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    35/416

     

    26

    BAB VI

    TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT

    YANG MENENTUKAN PAJAK TERHUTANG  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 8  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    (1) Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim.

    (2) Saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari.

    (3) Tempat pajak yang terhutang:

    a. untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

     b. untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat

    II;

    yang meliputi letak obyek pajak.

    b. Taman Mewah200 x Rp 50.000,00 = Rp 10.000.000,00

    c. Pagar mewah(120 x 1,5) x Rp 175.000,00 = Rp 31.500.000,00

    -------------------------------= Rp 181.500.000,00

    Batas nilai jual bangunantidak kena pajak = Rp 2.000.000,00

    Nilai jual bangunan = Rp 179.500.000,00

    Nilai jual tanah dan bangunan = Rp 419.500.000,00

    2. Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang:

    a. Atas tanah = 0,5% x 20% x Rp 240.000.000,00

    Rp 240.000,00

    b. Atas bangunan = 0,5% x 20% x Rp 179.500.000,00

    Rp 179.500,00

    Jumlah pajak yang terhutang = Rp 419.500,00

    Pasal 8  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Jangka waktu 1 (satu) tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31Desember.

     Ayat (2)

    Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan obyekpajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yangterhutang.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    36/416

     

    27

    BAB VII

    PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBYEK PAJAK,

    SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG,

    DAN SURAT KETETAPAN PAJAK   ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 9  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    (1) Dalam rangka pendataan, subyek pajak wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan mengisi SuratPemberitahuan Obyek Pajak.

    (2) Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar,

    dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya

    meliputi letak obyek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat

    Pemberitahuan Obyek Pajak oleh subyek pajak.

    (3) Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

    Contoh:

    a. Obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa tanah dan bangunan.

    Pada tanggal 10 Januari 1986 bangunannya terbakar, maka pajakyang terhutang tetap berdasarkan keadaan obyek pajak padatanggal 1 Januari 1986, yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut

    terbakar;b. Obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa sebidang tanah

    tanpa bangunan di atasnya.

    Pada tanggal 10 Agustus 1986 dilakukan pendataan, ternyata di atastanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yangterhutang untuk tahun 1986 tetap dikenakan pajak berdasarkankeadaan pada tanggal 1 Januari 1986.

    Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 1987.

     Ayat (3)

    Tempat pajak yang terhutang untuk Kotamadya Batam, di wilayah propinsidaerah tingkat I yang bersangkutan.

    Pasal 9  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan surat PemberitahuanObyek Pajak untuk diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak,Wajib Pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan obyekpajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya danmengembalikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak.

     Ayat (2)

    Yang dimaksud dengan jelas, benar dan lengkap adalah:

    Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SuratPemberitahuan Obyek Pajak (SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidakmenimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak

    sendiri.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    37/416

     

    28

    Pasal 10  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    (1) Berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur

    Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.

    (2) Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut:

    a. apabila Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (2) dan setelah ditegor secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam

    Surat Tegoran;

     b. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang

    lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yangdisampaikan oleh wajib pajak.

    (3) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a,adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung

    dari pokok pajak.

    (4) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b

    adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang

    terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi

    sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.

    Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yangsebenarnya, seperti luas tanah dan/atau bangunan, tahun dan hargaperolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang adapada Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP).

     Ayat (3)

    Cukup jelas

    Pasal 10  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) diterbitkan atas dasar SuratPemberitahuan Obyek Pajak (SPOP), namun untuk membantu wajib pajak,Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dapat diterbitkan berdasarkan dataobyek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak.

     Ayat (2)

    Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajakuntuk dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terhadap wajib

    pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.

    Menurut ketentuan ayat (2) huruf a, wajib pajak yang tidak menyampaikanSurat Pemberitahuan Obyek Pajak pada waktunya, walaupun sudah ditegorsecara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yangditentukan dalam Surat Tegoran itu, Direktur Jenderal Pajak dapatmenerbitkan Surat Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakansanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3).

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    38/416

     

    29

    Menurut ketentuan ayat (2) huruf b, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan

    atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata

     jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak dalam Surat

    Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung atas dasar Surat

    Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan wajib pajak, Direktur

    Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Terhadapketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat

    (3).

     Ayat (3)

     Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak

    yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (2) huruf a, sanksi tersebut dikenakan sebagai

    tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen)

    dari pokok pajak.

    Surat Ketetapan Pajak ini, berdasarkan data yang ada pada Direktorat

    Jenderal Pajak memuat penetapan obyek pajak dan besarnya pajak yang

    terhutang beserta denda administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak.

    Contoh:

    Wajib Pajak A tidak menyampaikan SPOP.

    Berdasarkan data yang ada, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan SKP

    yang berisi:

    - obyek pajak dengan luas dan nilai jual.

    - luas obyek pajak menurut SPOP.

    - pokok pajak = Rp 1.000.000,00

    - Sanksi administrasi

    25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 250.000,00

    --------------------------

    Jumlah pajak yang terhutang

    dalam SKP = Rp 1.250.000,00

    --------------------------

     Ayat (4)

     Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang

    mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang

    sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b yaitu sebesar 25% (dua

    puluh lima persen) dari selisih pajak terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau

    keterangan lain dengan pajak terhutang dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang

    yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh

    wajib pajak.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    39/416

     

    30

    BAB VIII

    TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 11  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    (1) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan sejak tanggal diterimanya SuratPemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.

    (2) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3)

    dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan

    Pajak oleh wajib pajak.

    (3) Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakandenda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan

    hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

    (4) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak yang belum atau

    kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulansejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak.

    (5) Pajak yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh MenteriKeuangan.

    (6) Tata Cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),

    dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.

    Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT = Rp 1.000.000,00

    Berdasarkan pemeriksaan pajak yang

    seharusnya terhutang dalam SKP = Rp 1.500.000,00

    --------------------------

    Selisih = Rp 500.000,00

    Denda administrasi

    25% x Rp 500.000,00 = Rp 125.000,00

    --------------------------

    Jumlah pajak terhutang dalam SKP = Rp 625.000,00

     Adapun jumlah pajak yang

    terhutang sebesar = Rp 1.000.000,00

    Jumlah tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, apabila belum dilunasi wajib pajak,

    penagihannya dilakukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tersebut.

    Pasal 11  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Contoh:

     Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya

    adalah tanggal 31 Agustus 1986.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    40/416

     

    31

     Ayat (2)

    Contoh:

     Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh

    tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 1986.

     Ayat (3)

    Menurut ketentuan ini pajak yang terhutang pada saat jatuh tempo

    pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2%

    (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar tersebut

    untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan bagian dari

    bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

    Contoh:

    SPPT tahun pajak 1986 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1986 dengan pajak yang

    terhutang sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1

    September 1986. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2%

    (dua persen) yakni: 2% x Rp 100.000,00 = Rp 2.000,00.

    Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 1986 adalah:

    Pokok pajak + denda administrasi =

    Rp 100.000,00 + Rp 2.000,00 = Rp 102.000,00

    Bila wajib pajak tersebut baru membayar hutang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 1986, maka

    terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni: 4% x Rp 100.000,00

    = Rp 4.000,00. Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 1986 adalah:

    Pokok pajak + denda administrasi =

    Rp 100.000,00 + Rp 4.000,00 = Rp 104.000,00.

    ---------------------

     Ayat (4)

    Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti tersebut pada contoh penjelasanayat (3) ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi dalam satu

    bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.

     Ayat (5)

    Cukup jelas

     Ayat (6)

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    41/416

     

    32

    Pasal 12  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan Pajak merupakan dasar penagihan

     pajak.

    Pasal 13 ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih

    dengan Surat Paksa.

    Pasal 14 ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

    dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

    BAB IX

    KEBERATAN DAN BANDING  ( UU NO. 12 TAHUN 1985 )  

    Pasal 15 ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    (1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas:

    a. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;

     b. Surat Ketetapan Pajak.

    (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan secara jelas.

    (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1) oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka

    waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

    (4) Tanda penerimaan Surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjukuntuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat

    Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.

    Pasal 12 

    Cukup jelas

    Pasal 13 ( UU No. 12 Tahun 1985 )

    Dalam hal tagihan pajak yang terhutang dibayar setelah jatuh tempo yang telahditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkanUndang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan

    Surat Paksa.

    Pasal 14  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Pelimpahan wewenang penagihan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat Idan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, bukanlah pelimpahanurusan penagihan, tetapi hanya sebagai pemungut pajak, sedangkan pendataan

    obyek pajak dan penetapan pajak yang terhutang tetap menjadi wewenang MenteriKeuangan.

    Dalam hal jumlah pajak yang terhutang sebagaimana tercantum dalam SuratPemberitahuan Pajak Terhutang tidak sesuai dengan obyek pajak dilapangan, makapemungut pajak tidak dibenarkan mengubah jumlah pajak yang terhutang, tetapiharus melaporkan hal tersebut kepada Menteri Keuangan dalam hal ini DirekturJenderal Pajak.

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    42/416

     

    33

    (5) Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib

    memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.

    (6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

    Pasal 16  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    (1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat

    Keberatan diterima, memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.

    (2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan

    tertulis.

    (3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,

    menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.

    (4) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat(2) huruf a, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak

    tersebut.

    (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak

    memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

    Pasal 15  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dan SuratKetetapan Pajak harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatantersendiri untuk setiap tahun pajak.

     Ayat (2)

    Cukup jelas

     Ayat (3)

    Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi waktu yang cukup kepada wajibpajak untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasan-alasannya.

     Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh

    wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaannya ("force mayeur") makatenggang waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjangoleh Direktur Jenderal Pajak.

     Ayat (4)

    Cukup jelas

     Ayat (5)

    Cukup jelas

     Ayat (6)

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    43/416

     

    34

    Pasal 17 ( UU No. 12 Tahun 1994 )  

    2. dihapus.

    BAB X

    PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Pasal 18  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    (1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan

    Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) untuk

    Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan.

    (2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagian besar diberikan

    kepada Pemerintah Daerah Tingkat II.

    (3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur

    dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 16  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Cukup jelas

     Ayat (2)

    Cukup jelas

     Ayat (3)

    Cukup jelas

     Ayat (4)

    Ketentuan ini mengharuskan wajib pajak membuktikan ketidakbenaranketetapan pajak, dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan terhadapketetapan secara jabatan.

     Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran SuratKetetapan Pajak secara jabatan itu, maka keberatannya ditolak.

     Ayat (5)

    Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wajibpajak, yaitu apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggalditerimanya surat keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikankeputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.

     Angka 2

    Dengan dihapusnya Pasal 17, ketentuan banding Pajak Bumi dan Bangunanmengikuti ketentuan Pasal 27 Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983  tentangKetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah denganUndang-Undang nomor 9 TAHUN 1994  (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566).

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    44/416

     

    35

    BAB XI

    KETENTUAN LAIN-LAIN  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Pasal 19  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    (1) Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang:

    a. karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan/atau karena

    sebab-sebab tertentu lainnya;

     b. dalam hal obyek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.

    (2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh

    Menteri Keuangan.

    Pasal 18  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Cukup jelas

     Ayat (2)

    Karena penerimaan pajak ini diarahkan untuk kepentingan masyarakat diDaerah Tingkat II yang bersangkutan, maka sebagian besar penerimaanpajak ini diberikan kepada Daerah Tingkat II.

     Ayat (3)

    Cukup jelas

    Pasal 19  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Huruf a

    Kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyekpajak dan sebab-sebab tertentu lainnya, berupa lahan pertanianyang sangat terbatas, bangunan yang ditempati sendiri yangdikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib pajak tertentu, lahan yangnilai jualnya meningkat sebagai akibat perubahan lingkungan dandampak positif pembangunan serta yang pemanfaatannya belumsesuai dengan peruntukan lingkungan.

    Huruf b- Yang dimaksud dengan bencana alam adalah gempa bumi,

    banjir, tanah longsor.

    - Yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa adalahseperti:

    - kebakaran;

    - kekeringan;

    - wabah penyakit tanaman;

    - hama tanaman.

     Ayat (2)

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    45/416

     

    36

    Pasal 20  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Atas permintaan wajib pajak Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal

    tertentu.

    Pasal 21  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    (1) Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak, wajib:

    a. menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan obyek pajak

    secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek

     pajak;

     b. memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.

    (2) Kewajiban memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berlaku pula bagi pejabat lain yang ada hubungannya dengan obyek pajak.

    (3) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terikat oleh kewajiban untuk

    memegang rahasia jabatan, kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan sepanjang menyangkut

     pelaksanaan Undang-undang ini.

    (4) Tata cara penyampaian laporan dan permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat

    (2) diatur oleh Menteri Keuangan.

    Pasal 22  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Pejabat yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenakan sanksi menurut

     peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Pasal 20  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangandenda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat(3), dan ayat (4), kepada Direktur Jenderal Pajak.

    Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruh dendaadministrasi dimaksud.

    Pasal 21  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    - Pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyekpajak adalah : Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, NotarisPejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

    - Laporan tertulis tentang mutasi obyek pajak misalnya antara lain jualbeli, hibah, warisan, harus disampaikan kepada Direktorat JenderalPajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak.

     Ayat (2)

    Pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) misalnya antara lain:

    Kepala Kelurahan atau Kepala Desa, Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat

    Dinas Pengawasan Bangunan, Pejabat Agraria, Pejabat Balai HartaPeninggalan.

     Ayat (3)

    Cukup jelas

     Ayat (4)

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    46/416

     

    37

    3. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga Pasal 23 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 23 ( UU No. 12 Tahun 1994 )

    Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam

    Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana

    telah diubah dengan Undang-Undang nomor 9 TAHUN 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,

    Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-undangan lainnya.

    BAB XII

    KETENTUAN PIDANA  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Pasal 24  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Barang siapa karena kealpaannya:

    a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak;

     b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau

    melampirkan keterangan yang tidak benar; sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan

     pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak

    yang terutang.

    Pasal 25  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    (1) Barang siapa dengan sengaja:

    a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat

    Jenderal Pajak;

     b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap

    dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;

    c. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-

    olah benar;

    Pasal 22  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam pasal ini ialahantara lain:

    Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PegawaiNegeri Sipil, Staatsblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris.

     Angka 3

    Pasal 23

    Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnya adalahantara lain Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan PajakNegara dengan surat Paksa.

    Pasal 24  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Kealpaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, dan kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara. Surat PemberitahuanObyek Pajak harus dikembalikan/disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-

    lambatnya dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajaksebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    47/416

     

    38

    d. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;

    e. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan; sehingga

    menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua)tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang.

    (2) Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (1) huruf d dan huruf e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau dendasetinggi-tingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

    (3) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi

    tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani

    sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

    Pasal 26  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10

    (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

    4. Ketentuan Pasal 27 dihapus.

    Pasal 25  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

     Ayat (1)

    Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yangdilakukan dengan sengaja merupakan tindakan pidana kejahatan, karena itudiancam dengan pidana yang lebih berat.

     Ayat (2)

    Yang dimaksud dengan bukan wajib pajak dalam ayat ini yaitu pejabat yangtugas pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya denganobyek pajak ataupun pihak lainnya.

     Ayat (3)

    Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana perpajakan makabagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesai menjalanisebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnyadenda, dikenakan pidana lebih berat ialah 2 (dua) kali lipat dari ancamanpidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

    Pasal 26  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-undang HukumPidana dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kewajiban menyimpandokumen perpajakan yang lamanya 10 (sepuluh) tahun.

     Angka 4

    Pasal 27 ( UU No. 12 Tahun 1994 )

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    48/416

     

    39

    BAB XIII

    KETENTUAN PERALIHAN  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Pasal 28  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Terhadap Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), Pajak Kekayaan (PKk), Pajak Jalan dan Pajak Rumah Tangga (PRT)

    yang terhutang untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan

     perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990.

    Pasal 29  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Iuran Pembangunan Daerah

    (Ipeda) berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, tetap berlaku sampai

    dengan tanggal 31 Desember 1990 sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaanyang baru berdasarkan Undang-undang ini.

    Pasal 30  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Terhadap obyek pajak dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya,

    sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-

    undang ini, tetap dikenakan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian

    Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku.

    Pasal II ( UU No. 12 Tahun 1994 )

    Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, tetap berlaku sepanjang

    tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

    Pasal III ( UU No. 12 Tahun 1994 )

    Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan”. 

    Pasal 28  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Cukup jelas

    Pasal 29  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Cukup jelas

    Pasal 30  ( UU No. 12 Tahun 1985 )  

    Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap obyek pajak yang digunakandalam rangka Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambanganminyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya yang perjanjiannyaditandatangani sejak berlakunya Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986,sedangkan untuk Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlakuketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasiltersebut.

    Pasal II ( UU No. 12 Tahun 1994 )

    Cukup jelas

    Pasal III ( UU No.12 Tahun 1994 )

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    49/416

     

    40

    Pasal IV ( UU No. 12 Tahun 1994 )

    Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam

    Lembaran Negara Republik Indonesia.

    Disahkan di : Jakarta

     pada tanggal : 9 Nopember 1994

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    ttd

    SOEHARTO

    Diundangkan di Jakarta

    Pada tanggal 9 Nopember 1994

    MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

    ttd

    MOERDIONO

    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 62

    Pasal IV ( UU No. 12 Tahun 1994 )

    Cukup jelas

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    50/416

     

    41

    PENJELASAN

    ATAS

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR 12 TAHUN 1994

    TENTANG

    PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985

    TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

    UMUM

    dst ……. 

    PENJELASAN

    PASAL DEMI PASAL

    dst ……. 

    TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3569

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    51/416

     

    42

  • 8/16/2019 WAWAN-EDIT_Buku Rangkuman Undang2 + Kode Etik IKPI

    52/416

     

    43

    *UNDANG-UNDANG

    NOMOR 20 TAHUN 2000 TANGGAL 02 AGUSTUS 2000

    TENTANG

    PERUBAHAN ATAS Undang-Undang nomor 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA

    PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    Menimbang :

    bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan sistemperpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaannegara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri dan untuk menampungpenyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang di bidang perolehan hak atas tanah danbangunan, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

    Mengingat :

    1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun

    1999;2. Undang-Undang nomor 21 TAHUN 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3688);

    3. Undang-Undang nomor 1 TAHUN 1998  tentang Penetapan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang nomor 1 TAHUN 1997  tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang nomor 21 TAHUN 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan MenjadiUndang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 37, TambahanLembaran Negara Nomor 3739);

    Dengan persetujuan

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan :

    UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS Undang-Undang nomor 21 TAHUN 19