wacana semiotika dalam perspektif al-qur'an

Upload: hierry87

Post on 19-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Wacana Semiotika Dalam Perspektif Al-QuranOleh : Heriyanto, S.Sy.

A. PendahuluanAl-Quran, yang diyakini sebagai wahyu suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, faktanya telah mengalami sejarah yang sangat panjang. Harus diakui, bahwa Al-Quran yang ada di hadapan kita sekarang merupakan sekumpulan simbol yang dahulu digunakan oleh para sahabat untuk merepresentasikan kalam (wahyu) Ilahi. Jauh sebelum itupun, ketika Nabi pertama kali mendapatkan wahyu dari Allah Swt, pada dasarnya wahyu tersebut sudah menjelma ke dalam bentuk simbol dan tanda, ini karena wahyu turun ke bumi menggunakan media bahasa. Bahasa itu sendiri sebenarnya tak lain adalah sekumpulan simbol dan tanda untuk mewakili gagasan dan ide-ide (makna) yang ada dalam pikiran manusia.Jadi, proses turunnya wahyu bisa dikatakan sudah mengalami dua proses transisi-simbolik. Yakni dari wahyu Ilahi ke bahasa lisan dan dari bahasa lisan menuju ke bahasa tulisan. Di sini penulis katakan proses transisi-simbolik karena dalam teknisnya dua proses tersebut bertolak pada penggunaan lambang (bahasa) sebagai alat representasi makna. Sejalan dengan prestasi yang didapat oleh para ilmuwan modern-yang mana ditandai dengan bermunculannya berbagai disiplin ilmu baru-kegiatan penafsiran Al-Quran pun pada zaman modern ini banyak yang sudah menggunakan perangkat keilmuan-keilmuan modern yang telah dikembangkan oleh para ahli sehingga benar-benar dapat diaplikasikan pada kajian ke-al-Quran-an. Sebut saja Netton dan Muhammad Arkoun adalah dua figur yang sering disebut-sebut sebagai pelopor penggunaan kajian semiotik dalam studi keagamaan. Berangkat dari fenomena ini,

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsira. Fase Pertama (Masa Nabi dan Sahabat)Semenjak diturunkannya, faktanya Al-Quran tidak dapat begitu saja diterima dan dipahami oleh manusia secara instan. Bahasa langit yang dikonvert menjadi bahasa manusia (arab) adalah salah satu penyebabnya. Hal ini kemudian memunculkan gejolak-gejolak penafsiran Al-Quran untuk pertama kalinya yang ditandai dengan banyaknya pertanyaan para sahabat kepada Nabi tentang maksud dari beberapa ayat tertentu. Dan di sinilah letak eksistensi Nabi sebagai sang mubayyin (penjelas) atas risalah yang dibawanya dari Allah.Sebagai penerima wahyu sekaligus utusan Allah swt kepada umat manusia, otoritas pemahaman Nabi terhadap wahyu (al-Quran) adalah mutlak dan tidak dapat disangsikan. Di dalam setiap hal dan kesempatan, termasuk apabila Nabi mengalami kesulitan dalam menangkap pesan al-Qur`an, beliau senantiasa dapat langsung berkomunikasi dan menanyakannya kepada Allah swt. Dalam hal ini, Nabi merupakan nara sumber utama bagi para sahabatnya saat itu di dalam upaya mereka memahami makna-makna al-Quran. Dalam konteks ini pula, Nabi mendapatkan otoritas langsung dari Allah swt dalam hal menjaga dan mejelaskan makna al-Quran (al-hifdz wal bayan) kepada umat manusia. Hal ini sebagaimana di siratkan dalam firman Allah swt Surat Al-Hijr : 9. 1. Pemahaman Nabi dan Sahabat terhadap Al-QuranDalam periode pertama ini, orang yang berhadapan langsung dengan Al-Quran hanya ada dua, yakni Nabi dan para Sahabat. Dalam hal memahami kandungan Al-Quran, tentunya mereka memiliki perbedaan yang signifikan. Secara alamiah, sudah barang tentu Nabi sebagai the messager of God akan dengan mudah memahami Al-Quran baik secara global maupun perincian-perinciannya. Hal ini karena Allah sudah menjamin itu yang mana merupakan manifestasi dari pemberian tugas dari Allah terhadap Nabi atas Al-Quran dalam hal al-hifdlu (penjagaan) dan al-bayan (penjelasan).[footnoteRef:2] [2: Lihat Surat Al-Qiyamah: 17-19]

Lain halnya dengan para Sahabat, walaupun mereka adalah orang arab dimana Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab akan tetapi untuk memahami Al-Quran secara terperinci, sebagaimana pemahaman Nabi, merupakan hal yang sangat sulit, hal ini karena apa yang ada di dalam Al-Quran adalah bersifat global, banyak ayat-ayat mutasyabih (yang belum jelas), dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu tidak mungkin dipahami oleh para Sahabat secara instan. Mereka tetap membutuhkan pembahasan yang mendalam dan mengembalikan segala permasalahan kepada Nabi.Ibnu Khaldun pernah mencatat, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Husain al-Dzahabi[footnoteRef:3], ia mengatakan bahwa: Al-Quran diturunkan dengan bahasa orang arab dan dengan gaya bahasa mereka, oleh karena itu mereka (seluruh orang arab) dapat memahami dan mengerti makna-makna yang terkandung di dalamnya dalam segi kata per-katanya atau dari segi susunan gramatikalnya. Al-Dzahabi sendiri tidak sepakat dengan statement ini, karena menurutnya tidak semua orang arab memiliki skill kebahasaan yang tinggi hingga dapat memahami bahasanya sendiri secara detil. Mereka tetap membutuhkan penelitian yang mendalam dalam hal pengungkapan makna-maknanya.[footnoteRef:4] [3: Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirun, 1976 (Kairo: Maktabah Wahbah), Juz I, h. 28] [4: Ibid. h. 29]

Imam Suyuthi[footnoteRef:5] dalam hal ini juga pernah menyatakan bahwa perlunya melakukan kegiatan penafsiran adalah karena adanya sisi authorsip (kepengarangan) yang tidak bisa dijangkau begitu saja (taken of granted) dengan mudah oleh audien. Ini karena terbentur dengan subyektivitas pengarang dalam menentukan maknanya. Oleh karena itu perlu diadakan kegiatan penafsiran agar dapat menyingkap makna-makna yang tersembunyi dalam teks. [5: Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi Al-Quran, t.t. (Saudi Arabia: Markaz Al-Dirasat Al-Quraniyah), h. 2266]

Kedua statement di atas kiranya cukup untuk menjelaskan latarbelakang munculnya gejolak penafsiran dari para Sahabat yang mana dalam realitanya tafsir para Sahabat tersebut selalu mendasarkan penafsirannya dengan apa yang dikatakan Nabi. Yang kemudian hal ini merupakan benih-benih awal munculnya tafsir dengan metode bi al-matsur (metode riwayat).

2. Apakah Nabi Menafsirkan Al-Quran seluruhnya?Ada perdebataan para Ulama dalam menjawab masalah ini, mereka ada yang mengatakan bahwa Nabi telah menjelaskan seluruh makna-makna Al-Quran kepada para Sahabat dengan segala perinciannya, sebagaimana Nabi menjelaskan kepada para Sahabat lafadl-lafadlnya. Pendapat ini digaungkan oleh Ibnu Taimiyah.[footnoteRef:6] Sekelompok lain ada juga yang mengatakan bahwa Nabi hanya menjelaskan sedikit dari makna-makna yang terkandung dalam Al-Quran, pendapat ini diusung oleh Al-Suyuthi.[footnoteRef:7] Ibnu Taimiyah dalam menanggapi masalah ini cenderung bersikap rasionalis, ayat-ayat yang diambil kemudian didekatinya dengan pendekatan yang sangat rasionalis. Sebaliknya, Al-Suyuthi justru melihat pada realitanya, yakni faktanya Nabi memang tidak menjelaskan seluruh makna-makna Al-Quran secara terperinci. [6: Muhammad Umar al-Hajiy, Mausuatu al-Tafsir Qabla Ahdi al-Tadwin, 2007 (Damaskus: Dar al-Maktabi), h. 49] [7: Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Suyuthi, Op.Cit., h. 228, lihat juga Muhammad Umar al-Hajiy, Ibid.]

Berbicara tentang penafsiran-penafsiran yang telah dilakukan oleh Nabi terhadap Al-Quran maka kita akan tertuju pada konsep sunnah Nabi (dalam hal ini khusus berkenaan dengan sunnah Qauliyah). Pada perjalanannya, sunnah-sunnah (hadits) ini kemudian dipakai oleh para Sahabat dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Secara lebih rinci, sunnah Nabi tersebut dapat diklasifikasikan menurut fungsinya sebagai berikut:[footnoteRef:8] [8: Muhammad Umar al-Hajiy, , Op.Cit., h. 56-58 ]

1. Menjelaskan ke-globalan Al-Quran, kemusykilan-kemusykilan, dan mengkhususkan ayat-ayat am (umum).2. Menjelaskan makna lafadl atau yang berhubungan dengannya.3. Menjelaskan hukum-hukum tambahan yang di dalam Al-Quran belum ada.4. Menjelaskan ayat-ayat yang sudah di-nasakh (hapus).5. Memeberikan penguatan terhadap hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran.

3. Sumber-Sumber Penafsiran Fase PertamaJika disandarkan kepada Nabi, maka sumber penafsiran yang beliau lakukan tentunya tidak ada sumber lain kecuali dari Allah Swt. Terkadang beliau langsung menerima dari Allah, terkadang mengambil dari Al-Quran, dan terkadang dengan menggunakan ijtihad. Ketiganya bersumber dari Allah, sebagaimana di dalam Al-Quran dinyatakan: Artinya : (3) Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. (4) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Adapun para Sahabat dalam menafsirkan Al-Quran tidak lepas dari empat sumber, yakni: 1) Al-Quran, 2) Nabi, 3) Ijtihad, 4) Ahlu Al-Kitab (Yahudi-Nasrani). Sebagai catatan, dalam penafsiran para Sahabat ini memang sudah mulai mengenal ijtihad. Hal ini terjadi apabila mereka tidak menemukan penjelasan sama sekali dalam Al-Quran dan tidak mendapatkan keterangan yang jelas dari Nabi tentang ayat-ayat yang mereka persoalkan.[footnoteRef:9] [9: Muhammad Husain al-Dzahabi, Ilmu al-Tafsir, t.t. (Kairo: Dar al-Maarif), h. 19-24]

4. Mufassir-Mufassir yang terkenalDari kalangan Sahabat tidak banyak yang terkenal sebagai mufassir, hanya segelintir saja yang paling menonjol. Diantaranya: Khulafa al-Arbaah (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubaiy bin Kaab, Zayd bin Tsabit, Abu Musa Al-Asyari, dan Abdullah bin Zubair.[footnoteRef:10] [10: Ibid., h. 25]

Selain itu ada juga yang lain seperti: Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah ibn Amr bin Ash, dan Aisyah. Akan tetapi orang-orang tersebut hanya meriwayatkan tafsir dalam skala kecil. Dari para Sahabat yang telah disebutkan di atas, hanya empat orang yang paling terkenal dan paling banyak meriwayatkan dalam bidang tafsir, yakni: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud, Ali bin Abi Thalib, dan Ubaiy bin Kaab. [footnoteRef:11] [11: Ibid.]

5. Keistimewaan Tafsir Periode PertamaTafsir dalam periode pertama ini memiliki ciri khas dan keistimewaan tersendiri, diantaranya:1) Tidak menafsirkan seluruh Al-Quran, hanya sebagian-sebagian saja, hal ini karena ada kecenderung takut salah dan berhati-hati sehingga dalam menafsirkan Al-Quran mereka selalu bertanya kepada Nabi.2) Sedikitnya perbedaan pendapat3) Tidak berlebih-lebihan dalam menelaah cerita-cerita yang ada dalam Al-Quran, hanya mengambil garis besarnya saja.4) Tidak bertele-tele dalam menjelaskan tentang kebahasaan yang menjadi problem tafsir.5) Masih langkanya ijtihad berkenaan dengan ayat-ayat hukum.6) Belum terkodifikasikan.7) Masih bercampur dengan hadits. [footnoteRef:12] [12: Ibid., h. 27-28]

b. Fase Kedua (Masa Tabiin)Fase ini dimulai sejak berakhirnya masa Sahabat. Tradisi penafsiran pada masa tabiin, selain mengambil 4 (empat) sumber sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat, juga menambahkan satu sumber lagi yakni riwayat para sahabat. Yang dimaksud riwayat para sahabat di sini adalah riwayat mereka tentang penjelasan-penjelasan Nabi termasuk juga tentang ijtihad-ijtihad mereka sendiri.[footnoteRef:13] [13: Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirun, Loc.Cit., Juz I, h. 76]

Sejarah mencatat bahwa dalam masa Tabiin Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sedikit demi sedikit orang arab mulai bercampur dengan orang non-arab yang sudah masuk Islam. Dalam masa inilah perhatian orang-orang Islam terhadap keilmuan-keilmuan Islam mulai serius.[footnoteRef:14] [14: Khalid bin Abdurrahman al-Ak, Ushulu al-Tafsir Wa Qawaiduhu, 1986 (Damaskus: Dar Al-Nafais), Cet. II, h. 34]

Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabiin mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:[footnoteRef:15] [15: Muhammad Husain al-Dzahabi, Ilmu al-Tafsir, Loc.Cit., h. 31]

1) Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan Atho bin Abi Robah. 2) Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Kaab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Kaab Al-Qurodli.3) Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Masud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Diamah As-Sadusy.

Adapun ciri khas tafsir periode Tabiin adalah sebagai berikut:[footnoteRef:16] [16: Ibid., h. 33-34]

1) Banyaknya cerita-cerita Israiliyat[footnoteRef:17] dan Nasraniyat[footnoteRef:18]. [17: Israiliyyat adalah cerita-cerita yang ada dalam al-quran yang bersumber dari bani Israil] [18: Nasraniyyat adalah cerita yang bersumber dari orang-orang Nasrani]

2) Mulai berlakunya madzhab tafsir sesuai dengan tempat para Tabiin tersebut menetap atau tradisi penafsiran tidak lepas dari kegiatan talaqqi[footnoteRef:19] dan riwayat. Maksud madzhab di sini adalah kecenderungan riwayat yang digunakan para Tabiin, seperti Tabiin yang menetap di Makkah maka dalam penafsirannya mereka cenderung memakai riwayat dari Ibnu Abbas, di Madinah cenderung memakai riwayat Ubaiy bin Kaab, dan di Iraq cenderung menggunakan riwayat dari Ibnu Masud. [19: Talaqqi dari segi bahasa bermaksud pertemuan secara berhadapan atau bersemuka. Dilihat dari segi istilah bermaksud pertemuan antara guru dan murid secara langsung. Guru memberi contoh bacaan dan murid mengikut bacaan guru.]

3) Mulai masuknya paham-paham teologi dalam penafsiran.4) Banyaknya perbedaan pendapat di kalangan mufassir.

c. Fase Ketiga (Masa Kodifikasi)Masa pengkodifikasian (pembukuan) tafsir baru dimulai pada akhir kekuasaan Bani Umayah hingga memasuki awal kekuasaan dinasti Abbasiyah. Masa pengkodifikasian tafsir dibagi menjadi beberapa periode:[footnoteRef:20] [20: Ibid., h. 35-39]

1) Periode PertamaPada periode pertama, tafsir masih menjadi bagian yang mengintegral dengan pembahasan kitab hadits. Sistematika tafsir menginduk kepada sistematika hadits dalam hal pembagian bab-nya. Pada periode ini tafsir belum menjadi disiplin pembahasan tersendiri.Diantara ulama yang memiliki kontribusi besar pada masa ini adalah Yazid bin Harun asSalami (wafat 117 H), Syubah bin Hajjaj (wafat 160 H), Wakibin Jarrah (wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), Rouh bin Ubadah alBashri (wafat 205 H), Abdul Rozak bin Hamman (wafat 211 H), dan Adam bin Abi Iyas (wafat 220 H).2) Periode KeduaPada periode ini tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, terpisah dari hadist. Kitab tafsir mulai disusun secara sistematis mengikuti sistematika mushaf al-Quran.Diantara ulama-ulama yangn muncul pada masa ini adalah Ibnu Majah (wafat 272 H), Ibnu Jarir atThobari (wafat 310 H), Abu Bakar bin Mudzir anNaisaburi (wafat 318 H), Ibnu Abi Hatim (wafat 327 H), Abu Syaih bin Hibban (wafat 369 H), al-Hakim (wafat 405 H), dan Abu Bakar al-Mardawi (wafat 410 H).3) Periode KetigaPada periode ini, penulisan tafsir mulai berkembang pesat seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Pada periode ini penulisan tafsir mengambil 2 (dua) macam corak, yaitu tafsir aqli dan tafsir maudlui.Tafsir aqli adalah tafsir al-Quran yang ditulis berdasarkan pendekatan disiplin keilmuan tertentu. Contohnya adalah tafsir al-Bahr al-Muhith yang ditulis oleh Abi Hayyan dengan fokus kajian ilmu nahwu (gramatika Arab), tafsir Mafatih al-Ghaib oleh Fakhr ar-Rozi yang ditulis melalui pendekatan ilmu hikmah dan falsafah, dll.Sedangkan tafsir Maudlui adalah tafsir yang ditulis secara tematik. Contohnya adalah at-Tibyan fi Aqsamil Quran karya Ibnul Qayyim yang khusus mengkaji sumpah-sumpah di dalam al-Quran, Majaz al-Quran karya Abu Ubaidah yang mengkaji soal majaz di dalam al-Quran, Mufrodat al-Quran karya ar-Raghib al-Ashfahani yang mengkaji kosakata-kosakata al-Quran, dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa kitab tafsir karya ulama salaf yang masih banyak digunakan hingga sekarang:1) Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhr al-Razi.2) Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Tawil karya al-Baidlawi.3) Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Tawil karya an-Nasafi.4) Lubab at-Tawil fi Maani at-Tanzil karya al-Khazin.5) al-Bahr al-Muhith karya Abi Hayyan.6) Ghoroib al-Quran wa Roghoib al-Furqan karay an-Naisaburi.7) Tafsir al-Jalalain karya al-Mahalli dan as-Suyuthi.8) as-Siroj al-Munir karya as-Syarbini.9) Rouh al-Maani fi tafsir al-Quran al-Azim wa as-sabul Matsani karya al-Alusi.4) Periode KeempatKemudian tafsir berlanjut dari tahapan ini ke tahapan yang lebih luas dan lebih longgar. Berlangsung dari zaman Abbasiyah sampai kepada masa kita saat ini, setelah tafsir sebelumnya hanya berkisar pada riwayat yang didapat dari ulama terdahulu. Kemudian tafsir menembus tahapan itu dan melangkah dengan penulisan tafsir yang mana bercampur di dalamnya antara pemahaman akal dalam penafsiran dengan naql (periwayatan) dengan adanya catatan-catatan.Pada awalnya hanya berupa mengutip beberapa pendapat dan menarjihkan sebagian atas sebagian yang lainnya kemudian bertambah dan berkembang menjadi pengetahuan yang berbeda-beda dan ilmu yang bermacam-macam, pendapat-pendapat yang fanatis dan akidah-akidah yang sangat kontras sampai di temui buku-buku tafsir yang didalamnya terkandung beberapa ilmu yang hingg hampir tidak bersambung kepada tafsir kecuali di situ ilmu-ilmu bahasa, nahwu shorof, fanatik madzhab, perbedaan fiqih dan muncul para kelompok-kelompok Islam menyebarkan madzhab-madzhabnya dan menyerukannya dan diterjemahkannya buku-buku filsafat dan kemudian ilmu-ilmu tersebut menjalahkan tentang pembahasan hadits itu sendiri.Ibnu Katsir termasuk ulama yang hidup di masa ini oleh karena itu, Ibnu Katsir dan gurunya berusaha mengembalikan tafsir kepada kedudukannya semula yang tidak dipengaruhi fanatisme madzhab dan golongan serta tidak mengungkapkan gramatikal yang berlebih hanya sebatas keperluan dan ini beliau lakukan dengan membawa penafsiran kepada zaman Rasulullah sampai pada tabiin karena memang penafsiran pada masa itu relatif terjaga dari percampuran hal-hal yang merusak dari luar.5) Periode KelimaPada fase ini, tafsir berkembang berdasarkan corak-corak pendidikan para mufassir. Tinjauan disini lebih berkisar pada coraknya bukan pada tinjauan sejarah, meskipun sedikit banyak mengungkap sejarah. Di dalamnya kita akan mendapati setiap mufasir yang mempunyai kecakapan dalam cabang ilmu tertentu maka akan menulis tafsirannya sesuai dengan bidang yang di kuasainya. Seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Quran, Abu Jafar AnNukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jashas dengan Ahkamul Qurannya.

d. Tafsir Era ModernAbad ke 14 H merupakan titik awal dalam sejarah kebangkitan umat Islam secara umum. Bentuk penafsiran yang terkesan akademis dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan umat saat itu. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang pertama kali menyerukan perlunya pemahamaan baru dalam kehidupan beragama. Abduh umpamanya mengkritik karya-karya tafsir terdahulu dengan mengatakan:Hadza la yanbaghi an yusamma tafsiran, wainnama dharbun minattamrin fi al-funun ka al-nahwi wa al-mani wa ghayrihim.[footnoteRef:21] [21: Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, 1947 (Kairo: Dar al-Manar), Juz I, h. 24 ]

Terobosan Abduh dalam tafsir Alquran seperti tercermin dalam karya yang dikumpulkan dan dilengkapi oleh muridnya Rasyid Ridha boleh dibilang sebagai sesuatu yang baru dan orisinil. Kebaruannya dapat dilihat pada penekanannya yang baru dalam melihat Alquran, yakni sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spritual. Hemat penulis, pandangan Abduh yang menekankan perlunya rekonstruksi pemahaman Alquran, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan renaissance yang menitikberatkan pada pemahaman ulang terhadap kitab suci. Di sinilah terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat dan Timur.Seruan Abduh tersebut mendapat sambutan hangat dari para reformis islam. Secara umum terdapat beberapa kecenderungan (trend) dan metodologi dalam tafsir modern. Kecenderungan dimaksud, yang dalam bahasa Arab disebut Ittijah, adalah kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus mencerminkan latar belakang intelektual penafsirnya. Tafsir Thabari sering diklasifikasikan dalam kategori bi al-Matsur, padahal tidak sedikit kita temukan penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyaf, karya Zamakhsyari, sering disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti kata I. Godziher.[footnoteRef:22] Padahal Zamakhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan karyanya itu dapat disebut sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap Alquran setelah Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap dari kecenderungan penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas adalah cara yang digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan kata lain wadah yang berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dua istilah ini sering dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir. [22: Lebih jelas lihat: Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern, diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk, 2003 (Yogyakarta: elSAQ Press), h. 71]

I.Goldziher dalam karyanya Richtungen der Islamischen Koran auslegung, mengasumsikan ada lima kecenderungan dalam penafsiran Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan hadits Nabi dan para Sahabatnya; (2) penafsiran dogmatis; (3) penafsiran mistik; (4) Penafsiran sektarian; (5) penafsiran modernis. Goldziher dalam karyanya itu belum sempat membahas tren yang berkembang pasca Abduh. J. Jomier dalam beberapa karyanya juga belum dapat membuat potret utuh tentang penafsiran modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim Koran Interpretation.[footnoteRef:23] Sebuah studi yang paling sukses dalam mengungkap kecenderungan tafsir modern dapat dilihat pada karya Iffat. M. Syarkawi, Ittijahat al-Tafsir fil Ashril Hadits. Menurutnya tafsir modern yang disebutnya sebagai tafsir praktis, memiliki tiga kecenderungan utama; (1) sosial kemasyarakatan (ittijah ijtimaiy); (2) tafsir saintifik (ittijah ilmi); (3) interpretasi filologik dan sastra (ittijh adabiy).[footnoteRef:24] [23: Lihat jelas lihat: J.M.S. Baljon, Tafsir Quran Muslim Modern, 1991 (Jakarta: Pustaka Firdaus)] [24: Iffat. M. Syarkawi, Ittijahat al-Tafsir fil Ashril Hadits, 1972 (t. Kota: Maktabah Al-Syarif)]

C. PenutupSebagai penutup, maka kiranya perlu untuk disimpulkan bahwa perkembangan ilmu tafsir mempunyai beberapa tahapan, yakni masa Nabi dan Sahabat, masa Tabiin, masa kodifikasi, dan tafsir pada era modern. Kedua fase pertama (masa Nabi & Sahabat masa Tabiin) masih cenderung menggunakan metode riwayat dalam menafsirkan Al-Quran. Metode-metode dan beberapa corak penafsiran baru muncul belakangan setelah periode penafsiran memasuki masa pengkodifikasian. Demikian makalah yang bisa penulis sampaikan, tentunya masih banyak sekali kekurangan yang ada. Oleh karena itu, kritik bagi semua pihak selalu terbuka, agar ke depan penulis dapat menyajikan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsir Wa al-Mufassirun, 1976 (Kairo: Maktabah Wahbah)---------------, Muhammad Husain, Ilmu al-Tafsir, t.t. (Kairo: Dar al-Maarif)Al-Hajiy, Muhammad Umar, Mausuatu al-Tafsir Qabla Ahdi al-Tadwin, 2007 (Damaskus: Dar al-Maktabi)Al-Suyuthi, Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Itqan fi Ulumi Al-Quran, t.t. (Saudi Arabia: Markaz Al-Dirasat Al-Quraniyah)Al-Ak, Khalid bin Abdurrahman, Ushulu al-Tafsir Wa Qawaiduhu, 1986 (Damaskus: Dar Al-Nafais)Baljon, J.M.S., Tafsir Quran Muslim Modern, 1991 (Jakarta: Pustaka Firdaus)Goldziher, Ignaz, Madzhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern, diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk, 2003 (Yogyakarta: elSAQ Press)Ridla, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, 1947 (Kairo: Dar al-Manar)Syarkawi, Iffat. M., Ittijahat al-Tafsir fil Ashril Hadits, 1972 (t. Kota: Maktabah Al-Syarif)

1