kodifikasi al qur'an

21
SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR'AN BAB I PENDAHULUAN Ad-Dair’aquli di dalam kitab Fawaidnya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Bisyar, (ia berkata): telah menceritakan kepada kami Sufyan Ibn ‘Uyainah, dari Az-Zuhri, dari ‘Ubaid, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Qubidha annabiyyu saw walam yakun Al-Qur’an jumi’afisyai” (Nabi saw telah diambil (Allah), sedangkan Al-Qur’an belum dikumpulkan pada sesuatu). Imam Al-Khathabi mengatakan, “Adanya Al-Qur’an yang belum dihimpun oleh Nabi saw di dalam mushaf dikarenakan adanya ayat yang dinantikan, yaitu (ayat-ayat) yang me-nasikh sebagai hukum- hukumnya atau tilawahnya. Tetapi ketika telah selesai (sempurna) turunnya dengan wafatnya Nabi saw maka Allah memberikan ilham kepada Khulafaurrasyidin untuk melakukan itu, sebagai bukti terhadap janji Allah untuk memelihara kitab-Nya pada umat ini. Maka sebagai permulaannya adalah ada ditangan Abu Bakar ash- Shiddiq atas usulan Umar bin Khattab. Adapun riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang berkata: Rasulullah saw bersabda, “Laa taktubuu ‘annii syai’an ghairal Qur’an...,” ini tidak bertentangan dengan hal di atas, karena perintah untuk menulis memiliki penulisan secara khusus dengan cara yang khusus pula. Al-Qur’an telah ditulis

Upload: thoriq-zafi

Post on 25-Jan-2016

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dari zaman nabi sampai abubakar

TRANSCRIPT

Page 1: Kodifikasi Al Qur'An

SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR'AN

BAB I

PENDAHULUAN

Ad-Dair’aquli di dalam kitab Fawaidnya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ibrahim

bin Bisyar, (ia berkata): telah menceritakan kepada kami Sufyan Ibn ‘Uyainah, dari Az-Zuhri,

dari ‘Ubaid, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Qubidha annabiyyu saw walam yakun Al-Qur’an

jumi’afisyai” (Nabi saw telah diambil (Allah), sedangkan Al-Qur’an belum dikumpulkan pada

sesuatu).

Imam Al-Khathabi mengatakan, “Adanya Al-Qur’an yang belum dihimpun oleh Nabi saw di

dalam mushaf dikarenakan adanya ayat yang dinantikan, yaitu (ayat-ayat) yang me-nasikh

sebagai hukum-hukumnya atau tilawahnya. Tetapi ketika telah selesai (sempurna) turunnya

dengan wafatnya Nabi saw maka Allah memberikan ilham kepada Khulafaurrasyidin untuk

melakukan itu, sebagai bukti terhadap janji Allah untuk memelihara kitab-Nya pada umat ini.

Maka sebagai permulaannya adalah ada ditangan Abu Bakar ash-Shiddiq atas usulan Umar bin

Khattab.

Adapun riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang

berkata: Rasulullah saw bersabda, “Laa taktubuu ‘annii syai’an ghairal Qur’an...,” ini tidak

bertentangan dengan hal di atas, karena perintah untuk menulis memiliki penulisan secara khusus

dengan cara yang khusus pula. Al-Qur’an telah ditulis semuanya pada masa Rasulullah saw,

tetapi belum dihimpin dalam satu mushaf dan belum terangkai surat-suratnya secara berurutan.

Imam Al-Hakim di dalam kitabnya, Al-Mustadrak, mengatakan, “Al-Qur’an telah dihimpun

(ditulis) dalam tiga tahapan sebagai berikut: Penulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah,

penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, dan penulisan Al-Qur’an pada masa Utsman bin

Affan yang akan dibahas pada pembahasan berikut.1[1]

1[1] Imam Suyuthi. Studi Al-Qur’an Komprehensif. (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) hlm 243-244

Page 2: Kodifikasi Al Qur'An

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Rasulullah

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah atau berupa

sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan

memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal di Mekkah

sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.

Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah merupakan 19/30

dari Al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan gaya bahasanya singkat padat (ijaz),

karena sasaran yang pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini adalah orang-orang Arab

asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang sudah tentu mereka paham benar akan

bahasa Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa ajakan/seruan untuk

bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara murni dan juga pembinaan mental

dan akhlak.

Adapun wahyu ilahi yang diturunkan sesudah hijrah disebut surat/ayat Madaniyah dan

merupakan 11/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasaya

panjang lebar dan lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli, melainkan

juga non Arab dari berbagai bangsa yang telah mulai banyak masuk Islam dan sudah tentu

mereka kurang/belum menguasai bahasa Arab. Mengenai isi surat-surat/ayat-ayat Madaniyah

pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu

masyarakat/umat Islam dan negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.2[2]

Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar tanggal 17 Ramadhan

pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Wahyu

yang pertama-tama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq, pada waktu Nabi sedang

berada di gua Hira, sedang wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah: 3, pada waktu Nabi

sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’ pada tanggal 9 Djulhijjah tahun kesepuluh

2[2] Masjfuk Zuhdi. Pengantar Ulumul Qur’an. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980) hlm 13-14

Page 3: Kodifikasi Al Qur'An

Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara wahyu pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi

berselang kurang lebih 23 tahun.3[3]

Pada masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih dahulu Nabi Muhammad

memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan diajarkan kepada para sahabatnya

pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada perubahan dan penggantian sedikitpun. Selanjutnya

Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerima ayat-ayat itu untuk

menghafalkannya dan meneruskannya pula kepada para pengikutnya.

Selain itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang disebut Khuttab al-

Wahy yang telah dibentuk oleh Rasulullah. Mereka ini terdiri dari para sahabat yang telah dapat

menulis dan membaca, baik dari golongan Muhajirin ataupun Anshar, baik ketika masih berada

di Mekkah maupun di Madinah. Para penulis wahyu tersebut tersebut ialah Abu Bakar Ash-

Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Amer bin

Al-‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Al-Mughirah bin Syu’bah, Zubair

bin Al-‘Awwam, Khalid bin Walid, Al-‘Ala Al-Hadhramiy, Muhammad bin Salamah, Ubay bin

Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin Qais ibn Syammas. Para penulis wahyu ini menurut

orientalis Blacherc dalam kutipannya Masyfuk Zuhdi berjumlah 40 oarang, demikian pula

Maulana Muhammad Ali menurut kutipan Rif’at Syauqi dan Muhammad Ali Hasan

menyebutkan sejumlah itu.4[4]

Alat-alat yang mereka gunakan kalau tidak dikatakan primitif masih sangat sederhana. Para

sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelapah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’

(kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung

unta). Salah seorang “jurnalis” wahyu yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah, yaitu Zaid

bin Tsabit menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-Bukhari sebagai berikut: “Dahulu kami

di sisi Rasulullah menyusun Al-Qur’an dari riqa’. Aku mengumpulkannya dari riqa’, aktaf

(tulang unta) dan hafalan-hafalan orang”.

Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya,

misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun

selain Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudriy yang

berbunyi:

3[3] Ibid.

4[4] A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur’an. (Jakarta: Diadit Media, 2007) hlm 47-48

Page 4: Kodifikasi Al Qur'An

( مسلم ( رواه فليمحه القران غير عني كتب ومن القران غير عني التكتبوا

Janganlah kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis dari (sumberku) selain

Al-Qur’an supaya menghapusnya.

Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr. Adnan Muhammad

Zarzur dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai-nilai akurasi

AL-Qur’an. (Ulumul Qur’an, Madkhul ila Tafsir Al-Qur’an wa Bayan I’jazihi, hal 86). Setiap

kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil “jurnalis” wahyu. Hal ini bisa disimak pada

hadis riwayat Imam Ahmad yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, dari

Abdullahbin Abbas, dari Utsman bin Affan.5[5]

Kepada para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan mereka

tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini disebabkan susunan

ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan sekaligus komplit.

Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh

surat-surat lainnya, sehingga apabila turun, Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila

suatu surah telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan nama

untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat sebelumnya atau

sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan lafazh basmalah pada awal masing-masing surat itu.

Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan

bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat.6[6]

Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:

الرقاع من القران نؤلف الله رسول عند كنا

Kami di sisi Rasulullah saw mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit.

Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya, sesuai dengan

petunjuk Rasululllah saw dan perintah (wahyu) dari Allah swt. Oleh sebab itu, para ulama

bersepakat bahwa pengumpulan AL-Qur’an adalah bersifat “tauqifi”. Yaitu bahwa urutannya

sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini, adalah berdasarkan perintah dari wahyu Allah

swt.

Telah diceritakan bahwa Jibril as turun membawa satu atau beberapa ayat kepada Nabi saw. Ia

berkata kepada beliau: “Hai Muhammad! Allah swt memerintahkan kepadamu supaya kamu

5[5] Kamaluddin Marzuki. Ulum Al-Qur’an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) hlm 67-68

6[6] A. Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 49

Page 5: Kodifikasi Al Qur'An

meletakkan ayat ini pada permulaan ini dari sudut ini.” Demikian pula Rasulullah saw berkata

kepada para sahabat: “Letakkan ayat itu pada tempat ini.”7[7]

Untuk memperhebat dan memperlancar penulisan Al-Qur’an Rasulullah menggerakkan kaum

muslimin untuk memberantas buta huruf. Berbagai cara dan usaha telah dilakukan Rasulullah

dalam hal ini, antara lain sebagai berikut:

1.      Memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah pandai

menulis dan membaca.

Rasulullah saw bersabda:

الشهداء بدم العلماء مداد القيامة يوم يوزن

Pada hari kiamat tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada.

Berdasarkan hadis ini berarti orang-orang yang pandai tulis baca ditempatkan sederajat dengan

para pahlawan yang mati syahid di medan pertempuran.

2.      Rasulullah menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta huruf.

3.      Setiap kali ayat-ayat turun, Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat dan menyuruh

mereka menghafalkannya.8[8]

Mengenai penulisan Al-qur’an di masa Rasulullah, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1.      Tadwin Al-Qur’an, telah terjadi pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah

dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum

tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu

kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.

Al-Suyuti mengatakan:

مجموع غير لكن وسلم عليه الله صلي الله رسول عهد في كله كتب القران كان وقد

السور مرتب وال واحد موضع في

Al-Qur’an betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa Rasulullah saw, hanya saja belum

terhimpun dalam satu bahan yang seragam dan surat-suratnya pun belum tersusun urut (seperti yang dapat dilihat

sekarang ini).

2.      Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Al-Qur’an di masa Rasulullah itu menurut yang

diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode

7[7] M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. (Jakarta: Pustaka Amani, 2001) hlm 80

8[8] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 50-51

Page 6: Kodifikasi Al Qur'An

Madaniy, sedang dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga

lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.9[9]

Jadi setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an, kata Ibnu Katsir ketika menjelaskan pengertian ayat

16-20 surah Al-Qiyamah, ada tiga tahap penting yang dilalui Rasulullah, yaitu:

Pertama, tahap penghimpunan Al-Qur’an dibentuk Rasulullah yakni penghafalan.

Kedua, tahap pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru

saja ia sampaikan di hadapan Raulullah.

Ketiga, tahap penjelasan atau tahap bayan. Pada tahap yang terakhir ini Rasulullah diberitahukan

pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.10[10]

Suhuf Al-Qur’an yang disimpan di rumah Nabi dan diperkuat dengan nasakh-nasakh Qur’an

yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-masing serta ditunjang oleh hafalan

para sahabat yang hafidz Al-Qur’an yang tidak sedikit jumlahnya, maka semuanya itu dapat

menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan murni, sesuai dengan janji Allah swt

dalam surat Al-Hijr: 9, yang artinya: “Sesungguhnya Aku telah menurunkan peringatan (Al-

Qur’an) dan sesungguhnya Aku telah memeliharanya/mengamankannya”.11[11]

B.     Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Khalifah Abu Bakar Al-Siddiq

Al-Qur’an telah selesai diturunkan semuanya pada tanggal 19 Dzulhijjah tahun ke-10 H, yaitu

dengan turunnya ayat yang terakhir di Arafah ketika Rasulullah mengerjakan Haji Wada’, kira-

kira 81 malam sebelum wafatnya.

Setelah Rasul wafat, timbullah kekacauan di Jazirah Arab, karena beberapa orang dari pemimpin

qibalah mengadakan pemberontakan. Mereka berusaha mempengaruhi rakyat supaya turut pula

dalam pemberontakan itu. Tujuannya pemberontakan ini bermacam-macam, antara lain:

1.      Karena ingin membebaskan diri mereka dari tuntutan-tuntutan agama Islam.

9[9] Ibid. hlm 53-54

10[10] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 62-63

11[11] Masjfuk Zuhdi. Loc.cit. hlm 16

Page 7: Kodifikasi Al Qur'An

2.      Di antara mereka ada yang ingin mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Mereka ini adalah

Musailamah Al-Kadzdzab dari suku Bani Hanifah di Yamamah, Sajah dari suku Bani Taghlab

dan Tamim, Thulaihah ibn Khuwailid dari suku Bani As’ad, dan Al-Aswad Al-Anasi di Yamah.

3.      Orang-orang yang hanya ke luar dari agama Islam tapi tidak mengadakan tindakan-tindakan lain

yang bersifat memusuhi Islam dan kaum Muslimin.12[12]

Untuk memadamkan pemberontakan ini, maka khalifah Abu Bakar yang baru saja terpilih

sesudah wafat Rasulullah, membentuk 11 pasukan tentara yang masing-masing dipimpin oleh

seorang amir (panglima), antara lain Khalid ibn Walid. Tapi walaupun demikian tidaklah sedikit

korban yang jatuh. 360 orang dari golongan Anshar dan 300 orang dari golongan Muhajirin,

termasuk di dalamnya 70 para qurra. Pertempuran di Yamamah ini mencemaskan pemimpin

Islam di Madinah, terutama Umar ibn Khattab. Ia khawatir kalau-kalau pertempuran semacam

itu terjadi lagi ditempat lain yang mengakibatkan pula gugurnya para qurra. Hal ini akan

mengakibatkan habisnya secara berangsur-angsur orang yang hafal Qur’an. Kalau ini benar-

benar terjadi demikian, niscaya Al-Qur’an tidak akan lagi terpelihara dengan semestinya. Ini

disebabkan karena yang menjadi faktor pertama di masa itu dalam memelihara Al-Qur’an ialah

hafalan mereka. Umar lalu mengusulkan kepada Abu Bakar supaya mengeluarkan perintah untuk

mengumpulkan Al-Qur’an itu. Pada mulanya terjadi perbedaan pendapat, Umar di satu pihak dan

Abu Bakar dan Zaid di pihak lain. Akhirnya setelah diadakan musyawarah dan menugaskan

kepada Zaid untuk melaksanakan pengumpulan Al-Qur’an itu. Tugas ini dilaksanakan oleh Zaid

dengan sangat teliti.13[13]

Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu yang

utama dan hafal Al-Qur’an. Ia dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:

1.      Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi.

2.      Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.

Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali kalau disaksikan dengan dua

orang saksi yang adil bahwa ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas

perintah/petunjuknya.

12[12] Chairudji Abd. Chalik. Loc.cit. hlm 54-56

13[13] Ibid.

Page 8: Kodifikasi Al Qur'An

Tugas menghimpun Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang lebih 1

tahun, yakni antara sesudah terjadi perang Yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar.14[14]

Al-Qur’an itu bukan saja dari tulisan-tulisan yang telah ada pada lembaran-lembaran yang telah

disebutkan di atas, bahkan juga didengarkan pula dari mulut orang-orang yang hafal Al-Qur’an,

kemudian dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang baru, dengan susunan ayat-ayatnya

tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah. Lembaran-lembaran ini kemudian diikat menjadi

satu, lalu diberi nama Mushhaf, dan disimpan sendiri oleh khalifah Abu Bakar, kemudian oleh

khalifah Umar.

Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-

Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam,

baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan

Rasulullah. Adanya mushhasf ini telah dapat menentramkan hati kaum muslimin, bahwa Al-

Qur’an itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya penambahan, pengurangan atau

pemalsuan atau kehilangan sebagian ayat-ayatnya. Mushhaf ini disimpan oleh khalifah Abu

Bakar sendiri.15[15]

Lembaran-lembaran AlQur’an yang dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada zaman Abu Bakar

mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:

1.      Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.

2.      Yang ditulis pada mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakh bacaannya.

3.      Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an.

4.      Mushhaf itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.16[16]

Tidak syak, ketiga tokohyang disebut di atas berperan penting dalam pengumpulan Al-Qur’an.

Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentu punya

arti tersendiri. Dan Zaid sudah barang tentu mendapat kehormatan besar, karena ia dipercaya

menghimpun Kitab Suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan dan ketelitian juga

kerja keras. Tak bisa disangkal dalam hal ini khalifah Abu Bakar sebagai decision maker

menduduki posisi tersendiri. Tak berlebihan bial Ali bin Abi Thalib memujinya dengan

14[14] Masjfuk Zuhdi. Op.cit. hlm 16-17

15[15] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 56-58

16[16] M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 86

Page 9: Kodifikasi Al Qur'An

mengatakan: ”Orang yang paling besar pahalanya di dalam masalah mushhaf adalah Abu Bakar.

Dialah orang yang pertama yang (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah”.17[17]

C.    Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Khalifah Usman bin Affan

Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak sebagaimana mestinya, sebab

yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar. Pada masa Usman ini

Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota maupun

pelosok. Di setiap kampung terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada

penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah

memakai qira’ah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa Al-

Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka,

sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan

terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah

tersebut.18[18]

Perbedaan tersebut ialah:

1.      Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan

atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah sendiri memang tidak

memerintahkan supaya surat-surat Al-Qur’an itu disusun menurut tertib umat tertentu, karena

masing-masing surat itu pada hakikatnya adalah berdiri sendiri, seingga seolah-olah Al-Qur’an

itu terdiri dari 114 kitab. Rasulullah hanya menetapkan tertib urut ayat dalam masing-masing

surat itu.

2.      Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini adalah karena Rasulullah sendiri

memang memberikan kelonggaran kepada qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab untuk membaca

dan melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an itu menurut dealek mereka masing-masing. Kelonggaran

ini diberikan oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka untuk membaca dan menghafalkan Al-

Qur’an itu, tetapi kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa pertikaian tentang qiraat itu, kalau

dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan perpecahan yang lebih luas dikalangan

kaum kuslimin, terutama karena masing-masing qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah

17[17] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 69-70

18[18] M. Qodirun Nur. Op.cit. hlm 89

Page 10: Kodifikasi Al Qur'An

yang paling baik dan ejaan merekalah yang paling betul. Lebih berbahaya lagi apabila mereka

menuliskan ayat-ayat itu dengan ejaan yang sesuai dengan dealek mereka masing-masing.19[19]

Orang yang mula-mula mensinyalir dan menumpahkan perhatian kepada keadaan ini ialah

seorang sahabat bernama Hudzaifah Al-Yamani. Ia ikut dalam pertempuran, ketika kaum

muslimin menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Di dalam perjalanan ia pernah mendengar

perbedaan qiraat kaum muslimin, bahkan ia pernah menyaksikan dua orang muslim sedang

bertengkar mengenai bacaan tersebut, di mana yang seorang berkata kepada yang lain: قراءتي

قراءتك من Bacaanku lebih baik dari pada bacaanmu”. Hudzaifah merasa khawatir” أحسن

melihat kenyataan ini, sebab itu ketika ia kembali ke Madinah, ia menghadap khalifah Usman

dan melaporkan apa-apa yang telah dilihat dan didengarnya. Mengenai perbedaan qiraat itu

Hudzaifah berkata (Al-Suyuti, I, 1979:61):

النصاري و اليهود إختالف يختلفوا أن قبل مة اآل أدرك

Tertibkanlah umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Usul Hudzaifah ini diterima khalifah Usman.20[20] Itulah sebabnya, Usman kemudian berpikir

dan merencanakan untuk membendung sebelum kegilaan itu meluas. Beliau akan mengusir

penyakit sebelum kesulitan mencari obat. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat yang

alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan fitnah dan

persengketaan itu.

Usman ra telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini. Beliau memilih empat orang tokoh

handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash

dan Abdurrahman bin Hisyam. Mereka dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid, ia

dari golongan Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung pada tahun 24 H.21[21]

Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yaitu menuliskan atau menyalin kembali ayat-

ayat Al-Qur’an itu dari lembaran-lembaran yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga

menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin

sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.

Kepada panitia ini khalifah Usman memberikan patokan-patokan sebagai berikut:

19[19] Chairudji Abd. Chalik. Loc.cit. hlm 60-62

20[20] Ibid.

21[21] M. Qodirun Nur. Op.cit. hlm 90

Page 11: Kodifikasi Al Qur'An

1.      Supaya panita itu berpedoman kepada bacaan orang-orang yang hafal Al-Qur’an, di samping

tulisan-tulisan yang ada pada mushhaf Abu Bakar.

2.      Jika terjadi pertikaian, antara panitia itu sendiri tentang bacaan Al-Qur’an, maka panitia

hendaklah menuliskannya menurut dealek suku Quraisy, karena Al-Qur’an itu diturunkan

menurut dealek mereka.

Setelah panitia itu selesai mengerjakan tugasnya, maka naskah yang dipinjam dari Hafsah

dikembalikan kepadanya. Kemudian Usman memerintahkan untuk mengumpulkan dan

membakar semua lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an, selain dari

lembaran-lembaran yang ada pada mushhaf, dan naskah-naskah yang baru ditulis oleh panitia.

Panitia tersebut menulis sebanyak 5 buah mushhaf. 4 buah di antaranya dikirimkan ke daerah-

daerah, yaitu Mekkah, Syiria, Basrah, Kufah, dan yang satu lagi tetap di Madinah untuk khalifah

Usman. Inilah yang dinamakan mushhaf Usman atau mushhaf Al-Imam.22[22]

Kini tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushhaf lainnya. Ia khawatir, kalau-kalau mushhaf

yang bukan salinan “Panitia Empat” itu tetap beredar. Padahal pada mushhaf-mushaf yang

peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan Al-Qur’an. Karena merupakan

catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan

tafsiran dan bukan Kalam Allah.

Usman memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang memenuhi

persyaratan berikut:

1.      Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.

2.      Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di

hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.

3.      Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushhaf Abu Bakar

yang susunan surahnya berbeda dengan mushhaf Usman.

4.      Sistem penulisan yang digunakan mushhaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai

dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun.

5.      Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis dimushhaf sebagian

sahabat, di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushhaf, atau penjelasan Nasikh-

Mansukh.23[23]

22[22] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 62-63

23[23] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 76

Page 12: Kodifikasi Al Qur'An

Adapun manfaat dari usaha penulisan kembali Al-Qur’an di masa khalifah Usman ini, di

antaranya:

1.      Kaum muslimin telah dapat disatukan dalam mushhaf-mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.

2.      Mereka juga dapat disatukan pada qiraat yang sama yang tidak menyalahi ejaan tulisan pada

mushhaf itu, walaupun setelah wafatnya khalifah Usman sampai sekarang ini masih tetap ada

bermacam-macam qiraat, namun qiraat-qiraat itu adalah yang telah diakui kebenarannya dan

diriwayatkan dengan mutawatir dari Rasulullah, dan tidak pula berlawanan dengan ejaan tulisan

pada mushhaf Usman itu. Adapun qiraat-qiraat yang tidak sesuai dengan ejaan tulisan itu telah

dapat dilenyapkan.

3.      Kaum muslimin dapat pula disatukan mengenai susunan surat pada mushhaf-mushhaf mereka.

Dengan demikian dapatlah dihindarkan bahaya yang lebih besar, sebab kalau susunan mushhaf

itu tidak seragam di mana-mana tentulah akan timbul keragu-raguan pada generasi yang akan

datang kemudian tentang kebenaran Al-Qur’an itu.

4.      Dengan adanya 5 buah nushhaf yang resmi itu, maka kaum muslimin telah mempunyai standar

yang akan menjadi pedoman mereka dalam membaca, menghafal dan memperbanyak mushhaf-

mushhaf Al-Qur’an itu, sehingga penyiaran dan pemeliharaan Al-Quran itu lebih baik dan lebih

terjamin keasliannya.24[24]

D.    Persamaan dan Perbedaan Proses Kodifikasi

Pengumpulan Al-Qur’an oleh Abu Bakar berbeda dengan yang dilakukan oleh Usman. Dari

uraian di atas kita dapat membedakan yang dilakukan oleh kedua khalifah itu.

Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah memindahkan ayat-ayat Al-Qur’an dari

pelapah kurma, kulit, dan daun ke dalam satu mushhaf. Sementara sebab pengumpulannya

adalah karena gugurnya para huffadzh. Sedang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman

adalah sekedar memperbanyak salinan mushhaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar

untuk dikirimkan ke berbagai wilayah Islam. Adapun sebab pengumpulan Al-Qur’an adalah

terjadinya perbedaan qiraah dalam membaca Al-Qur’an. Wallahu A’lam Bishshawab.25[25]

24[24] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 64-65

25[25] M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 91-92

Page 13: Kodifikasi Al Qur'An

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas yaitu:

1.      Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah

dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum

tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu

kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.

2.      Pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam

satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun

ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah.

3.      Pengumpulan AL-Qur’an pada masa Usman bin Affan adalah menyeragamkan bacaan Al-

Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian membukukannya dengan

menyalinkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga

menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin

sebagai sumber bacaan dan hafalan lalu diperbanyak dan dikirimkan ke daerah-daerah.