vol.vi no.06 ii p3di maret 2014

Upload: infosingkat

Post on 18-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

1. Peninjauan Kembali lebih dari 1 kali: antara keadilan dan kepastian hukum (Shanti Dwi Kartika)2.Peningkatan Kekuatan Militer di Kawasan dan Peran ASEAN REGIONAL FORUM (Simela Victor Muhamad)3. Kebijakan Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (Sri Nurhayati Qodriyatun)4. Pungutan OJK (Yuni Sudarwati)5. Kampanye Pemilu 2014 dan konglomerasi media massa (Aryojati Ardipandanto)

TRANSCRIPT

  • - 1 -

    Vol. VI, No. 06/II/P3DI/Maret/2014H U K U M

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat J enderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SATU KALI, ANTARA KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM

    Shanti Dwi Kartika*)

    Abstrak

    Amar Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 mengenai Peninjauan Kembali (PK) menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD N RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya novum. Putusan ini mengejutkan dunia hukum dan menimbulkan perdebatan sehubungan dengan implikasi putusan MK pada keadilan dan kepastian hukum sebagai tujuan hukum. Putusan ini secara tersirat memberikan amanat kepada DPR RI dan/atau MA untuk membuat pengaturan baru mengenai PK terutama terkait dengan persyaratan pengajuan dan pembatasan pengajuan PK. Materi pengaturan tentang PK dapat dimasukkan pada RUU KUHAP.

    PendahuluanMahkamah Konstitusi (MK) telah

    mengabulkan uji materiil UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI Tahun 1945) dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/ 2013. Putusan ini menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD N RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan yang diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi pada tanggal 22 J uli 2013 dikeluarkan dalam sidang pleno MK pada tanggal 6 Maret 2014.

    Putusan MK itu dinilai memberikan keadilan dan penghargaan hak asasi manusia

    (HAM), mengingat permohonan uji materi KUHAP diajukan oleh Antasari Azhar, yang telah divonis selama 18 tahun penjara akibat didakwa membunuh direktur PT. Rajawali Putra Banjaran, sebagaimana diputuskan di tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri J akarta Selatan No. 1532/ Pid.B/ 2009/PN.J kt.Sel tanggal 11 Februari 2010 dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1429K/ Pid/ 2010 tanggal 21 September 2010; yang kemudian diajukan Peninjauan Kembali (PK) dan telah diputus oleh MA dengan Putusan No. 117PK/Pid/ 2011 tanggal 13 Februari 2012.

    Putusan MK tersebut berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia dan harus ditaati

    *) Peneliti Muda Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat J enderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, email: [email protected].

  • - 2 -

    oleh siapa pun meskipun permohonan uji materi dalam Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013 diajukan oleh terpidana Antasari Azhar, karena berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD N RI 1945 putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusan ini melahirkan pro-kontra di masyarakat, khususnya para ahli hukum karena PK yang boleh diajukan tidak hanya satu kali, ditafsirkan dengan PK boleh diajukan berkali-kali sehingga menimbulkan perdebatan antara pencarian keadilan dan tercapainya kepastian hukum. Fenomena ini terjadi karena Putusan No. MK 34/ PUU-XI/ 2013 dikhawatirkan akan berimplikasi pada terganggunya keseimbangan antara proses keadilan dengan kepastian hukum sebagai tujuan hukum.

    Pertimbangan Hukum Putusan MK Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013

    menguji norma materiil Pasal 268 ayat (3) KUHAP terhadap norma Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD N RI Tahun 1945 sebagai penguji. MK dalam Putusan No. 34/ PUU-XI/ 2013 menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tentang permohonan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali, bertentangan dengan UUD N RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, jika tidak dimaknai kecuali ditemukan bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek dan teknologi).

    Berdasarkan Putusan tersebut berarti ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP menjadi tidak berlaku jika memenuhi persyaratan berupa ditemukan novum yang berkaitan dengan pemanfaaan iptek dan teknologi. Persyaratan ini didasarkan pada Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD N RI Tahun 1945 yang mengandung hak bagi setiap orang untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, hak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. yang digunakan sebagai norma penguji dari Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013. Ketentuan dikaitkan dengan dalil permohonan berupa PK yang diajukan apabila ditemukannya novum berdasarkan pada perkembangan iptek dan teknologi yang pada saat perkara diperiksa belum dimanfaatkan atau belum ditemukan.

    Atas dasar ini, maka Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013 bersifat conditionally constitutional.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat upaya hukum luar biasa PK bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi PK hanya dapat diajukan satu kali, oleh karena itu pengadilan yang seharusnya melindungi HAM tidak membatasi PK hanya sekali. Menurut MK dengan membatasi PK, pengadilan telah menutup proses pencarian keadilan dan kebenaran. Ini disebabkan adanya kemungkinan setelah diajukannya PK dan diputus terdapat novum yang substansial yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan. Selain itu, asas setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet) berkaitan dengan kepastian hukum. Namun, asas ini tidak dapat diterapkan secara kaku (rigid) untuk keadilan dalam perkara pidana dengan hanya membolehkan PK satu kali sedangkan di satu sisi ditemukan adanya novum.

    Kontroversi Putusan tentang PKPutusan No. MK 34/ PUU-XI/ 2013

    menimbulkan perbedaan pendapat dari berbagai kalangan. Menurut Sudjito, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, putusan MK tersebut menunjukkan penghargaan terhadap hak asasi manusia, namun di sisi lain berdampak serius bagi proses peradilan di Indonesia karena berpengaruh bagi kepastian hukum di negeri ini. Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro, Nyoman Serikat Putra J aya, juga menilai putusan MK tersebut memunculkan ketidakpastian hukum karena pemberian kesempatan PK berkali-kali dan tidak terbatas dapat digunakan oleh pihak yang berperkara sebagai permainan. Guru besar ini juga tidak menyangkal pertimbangan hukum MK mengenai pemberian rasa keadilan bagi seorang terpidana, namun perlu juga mempertimbangkan kepastian hukum. Oleh karena itu setiap pihak yang berperkara baik jaksa maupun terpidana hanya mempunyai satu kali kesempatan mengajukan PK.

    Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Ketua MK, Mahfud MD, yang menilai putusan MK terkait peninjauan kembali yang boleh dilakukan lebih dari satu

  • - 3 -

    kali dapat mengacaukan dunia hukum. Ini disebabkan kepastian hukum akan hilang, karena orang yang belum dihukum masih bisa dianggap belum bersalah. Kepastian hukum yang dibangun dalam paradigma hukum progresif memang harus diletakkan di bawah keadilan, namun kepastian hukum tidak selalu tidak adil sebab keadilan bisa ditemukan pada kepastian hukum. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Marzuki Ali, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), bahwa pengajuan PK lebih dari satu kali akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena akan membuat eksekusi atas pidana yang telah dijatuhkan tidak kunjung terwujud, meskipun Putusan MK tersebut melegakan bagi pencari keadilan.

    Pendapat yang berbeda dikemukan oleh Mudzakir, pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, yang menilai putusan MK tersebut akan menciptakan keadilan berdasarkan kepastian hukum, karena PK yang bisa diajukan lebih dari satu kali akan bisa mengoreksi putusan yang sebelumnya memunculkan rasa ketidakadilan.

    Putusan MK tersebut mendapat tanggapan dari Mahkamah Agung (MA). Ketua MA, Hatta Ali, menyatakan MA tetap akan membatasi upaya hukum PK sebanyak dua kali. Hal ini untuk menghindari lahirnya ketidakpastian hukum akibat PK yang diajukan berkali-kali sebagai implikasi dari pembatalan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Pembatasan ini dapat dilakukan melalui peraturan yang ditetapkan oleh MA atau Revisi UU MA.

    Putusan PK, Keadilan, dan Kepastian Hukum

    Berdasarkan pendapat tersebut dapat diartikan bahwa putusan MK sebagaimana disebutkan di atas mengandung dualisme sehingga menimbulkan interpretasi hukum yang berbeda. Putusan MK tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum suatu perkara meskipun memberikan keadilan bagi orang yang berperkara, sehingga diperlukan pengaturan baru mengenai PK dalam suatu peraturan perundang-undangan.

    PK pada prinsipnya merupakan upaya hukum luar biasa (extraordinary remedy) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

    gewisjde), bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, dan bisa diajukan oleh pihak yang berperkara baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata. PK merupakan hak terpidana selama menjalani masa pidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Ada tiga alasan permintaan PK berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu fakta adanya novum, fakta terdapat putusan yang saling bertentangan, atau fakta adanya kekhilafan/ kekeliruan nyata dari majelis hakim.

    Berkaitan dengan hal tersebut, peraturan perundang-undangan telah menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa PK hanya dapat diajukan satu kali. Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 400 Bab XI Peninjauan Kembali Reglemen Acara Perdata (S. 1847-52 jo. 1849-63), Pasal 66 ayat (1) dan Pasal 70 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009 (UU MA), dan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Ini berarti jika ketentuan tersebut dilanggar maka akan terjadi pengabaian terhadap undang-undang atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daag). Selain prinsip tersebut, harus juga diperhatikan prinsip keadilan dan asas persamaan kedudukan di muka hukum (equality before the law) sebagaimana tersurat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD N RI Tahun 1945. Secara faktual sebelum ada putusan MK, MA melalui Surat Edaran MA (SE-MA) No 10 Tahun 2009 telah memberikan kesempatan kepada pihak berperkara untuk melakukan PK lebih dari satu kali untuk perkara yang mempunyai pertentangan putusan persidangan.

    Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013 yang mengeliminasi ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bersifat conditionally constitutional. Hal ini tidak dapat diartikan bahwa PK dapat diajukan beberapa kali secara serta merta untuk ketiga alasan pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP. PK dapat diajukan lebih dari satu kali hanya diperbolehkan apabila ditemukan novum baru berdasarkan pemanfaatan iptek dan teknologi. Dengan demikian, pengajuan PK ini tidak akan mengganggu keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, karena kepastian hukum pada prinsipnya sudah mulai tercipta sejak ada putusan inkracht van gewisjde.

  • - 4 -

    Hukum tidak pernah bermain di wilayah kosong (nullum delictum noela poena sine praevia logi poenale), sehingga peluang pengajuan PK lebih dari satu kali perlu ditindaklanjuti dengan pengaturan dalam undang-undang terkait. Ketentuan mengenai PK ini perlu dimasukkan dalam agenda revisi KUHAP yang sedang dibahas oleh DPR RI antara lain mengenai persyaratan dan pembatasan pengajuan PK. Hal ini perlu dilakukan agar tercipta keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan. J ika tidak diatur dalam RUU KUHAP atau undang-undang terkait maka untuk menghindari kekosongan hukum MA dapat menggunakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 79 UU MA yang memberikan kewenangan kepada MA untuk mengatur hal-hal yang diperlukan demi kelancaran penyelenggaraan peradilan.

    PenutupPutusan MK bersifat final and binding

    sehingga harus ditaati dan dihormati oleh semua pihak. Perdebatan pro-kontra yang muncul akibat adanya Putusan MK No. 34/ PUU-XI/ 2013 merupakan pengayaan pengetahuan hukum dan kajian akademik. Oleh karena itu, kepastian hukum dan keadilan tidak perlu dipertentangkan karena ibarat dua sisi mata uang yang sama. Putusan No. 34/ PUU-XI/ 2013 tidak membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tetapi membatasi berlakunya ketentuan itu karena merupakan putusan MK yang conditionally constitutional sehingga ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak berlaku lagi jika ditemukannya novum baru berdasarkan pada perkembangan iptek dan teknologi yang pada saat perkara diperiksa belum dimanfaatkan atau belum ditemukan oleh pihak yang berperkara dan PK dapat diajukan kembali. Putusan MK No. 34/PUU-XI/ 2013 perlu ditindaklanjuti melalui penyempurnaan pengaturan dalam UU terkait, antara lain RUU KUHAP yang sedang dibahas di DPR RI.

    Rujukan1. Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945.2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

    tentang Hukum Acara Pidana.3. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik

    Indonesia Nomor 34/ PUU-XI/ 2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    4. Pengajuan PK Maksimal 2 kali, http:/ /www.m ed ia in d on esia .com / h ot t op ic/read / 229/ Pen gajuan -PK-Maksim al-2-Kali/ 2014/ 03/ 12, diakses tanggal 16 Maret 2014.

    5. Peninjauan Kembali Bisa Berkali-kali, http:/ / www.mediaindonesia.com/hottopic/ read/ 216/ Peninjauan-Kembali-Bisa-Berkali-kali/ 2014/ 03/ 07, diakses tanggal 16 Maret 2014.

    6. Putuskan PK bisa Berkali-kali, MK munculkan Ketidakpastian Hukum, diakses melalui http://nasional.kompas.com/read/2014/03/07/0832116/ Putuskan.PK.Bisa.Berkali-kali.MK.Munculkan.Ketidakpastian.Hukum, diakses tanggal 16 Maret 2014.

    7. Putusan MK Soal PK Kacaukan Dunia Hukum, http:/ / www.republika.co.id/b e r i t a / n a s io n a l/ h u ku m / 14 / 0 3 / 0 7/n22dan-putusan-mk-soal-pk-kacaukan-dunia-hukum, diakses tanggal 16 Maret 2014.

    8. Tepatkah PK Boleh Berkali-kali, ditayangkan dalam program Indonesia Lawyer Club, TVOne, tanggal 16 Maret 2014.

    9. Ketua DPR Komentari Putusan MK soal PK berkali-kali, http:/ / www.antaranews.com/ berita/ 422688/ ketua-d p r -kom en t asi-p u t u san -m k-soa l-p k-berkali-kali, diakses tanggal 19 Maret 2014.

  • - 5 -

    Vol. VI, No. 06/II/P3DI/Maret/2014HUBUNGAN INTERNASIONAL

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat J enderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    PENINGKATAN KEKUATAN MILITER DI KAWASAN DAN PERAN ASEAN REGIONAL FORUM

    Simela Victor Muhamad*)

    Abstrak

    Pada pertengahan Maret 2014, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) melaporkan hasil kajiannya tentang terjadinya peningkatan kekuatan militer di dunia, termasuk di kawasan Asia. Peningkatan kekuatan militer suatu negara merupakan keniscayaan, terlebih lagi jika ada faktor penggerak ke arah sana. Peningkatan kekuatan militer akan menjadi masalah jika disalahpersepsikan sebagai bentuk ancaman bagi keamanan di kawasan. Untuk menghindari kesalahpahaman, dibutuhkan transparansi dan kepercayaan strategis. ASEAN Regional Forum (ARF), sebagai forum keamanan multilateral di kawasan dapat berperan membangun transparansi dan kepercayaan strategis tersebut melalui pengembangan dialog dan konsultasi secara aktif dan konstruktif.

    PendahuluanDi tengah ketegangan yang masih

    terlihat di sejumlah titik di Asia, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) dalam siaran persnya, 17 Maret 2014, melansir data soal kenaikan impor senjata dunia pada kurun 2009-2013. SIPRI adalah lembaga pemikir berbasis di Stockholm, Swedia, yang mengawasi perdagangan senjata dunia. Menurut data SIPRI, jumlah impor senjata konvensional utama dunia mengalami kenaikan sebesar 14 persen pada 2009-2013 dibandingkan kurun waktu sebelumnya, 2004-2008. Dari 10 besar negara importir senjata dunia, 5 berasal dari benua Asia, yaitu India, Tiongkok, Pakistan, Korea Selatan, dan Singapura.

    Di Asia, India memimpin dalam impor

    senjata, di mana dalam kurun lima tahun mencapai 14 persen dari total impor senjata dunia. Jumlah ini mengalami kenaikan dua kali lipat dari presentase impornya pada 2004-2008 yang hanya sebesar 7 persen. Dengan presentase ini, impornya sekitar tiga kali lipat dari negara tetangganya, Tiongkok dan Pakistan. Pemasok utama senjata ke India pada 2009-2013 adalah Rusia, sekitar 75 persen, lalu diikuti Amerika Serikat (7 persen) dan Israel (6 persen). Sedangkan impor senjata Pakistan sebesar 5 persen, yang sebagian besar berasal dari Tiongkok (54 persen) dan Amerika Serikat (27 persen).

    Negara-negara Asia lain yang menunjukkan presentase impor besar adalah Korea Selatan dan Singapura. Korea Selatan, meskipun presentasenya besar, namun sebenarnya impor senjata mereka relatif

    *) Peneliti Madya Bidang Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat J enderal DPR RI. Email: [email protected].

  • - 6 -

    menurun dalam dua kurun waktu (2004-2008 dan 2009-2013), sedangkan Singapura mengalami sedikit peningkatan yang awalnya 2 persen menjadi hampir 3 persen. Untuk Korea Selatan, meskipun mengalami penurunan impor senjata namun anggaran pertahanannya mulai 2014, dan untuk lima tahun ke depan, meningkat menjadi 214 triliun Won.

    J epang, yang setelah Perang Dunia II kekuatan militernya dibatasi hanya untuk peran bela diri, juga berupaya meningkatkan kemampuannya dengan menaikkan anggaran militernya sebesar 5 persen untuk lima tahun ke depan (2014-2019) senilai 24,7 triliun Yen atau sekitar 240 juta dollar AS, termasuk di dalamnya akan melakukan pembelian jet tempur siluman (Stealth), kapal selam dan kapal canggih lainnya. Tiongkok, yang menaikkan anggaran militernya sebesar 12,2 persen pada 2014, tidak diragukan lagi akan terus memodernisasi dan meningkatkan kinerja angkatan bersenjatanya.

    Ketegangan di Laut China Selatan (LCS) yang belum surut, akibat tumpang tindih klaim teritorial, telah memaksa Vietnam dan Filipina yang terlibat sengketa dengan Tiongkok juga meningkatkan kapabilitas militernya. Vietnam membeli berbagai senjata dari Republik Ceko, Kanada, dan Israel serta kapal selam dari Rusia. Vietnam bahkan dikabarkan tengah memesan peluru kendali dari India. Sementara Filipina menargetkan pembelian dua kapal penyergap baru, dua helipkotper anti-kapal selam, tiga kapal cepat patroli pantai, ditambah delapan kendaraan serbu amfibi hingga 2017. Indonesia, sebagai bagian dari negara-negara di kawasan, juga terus meningkatkan kapabilitas militernya, di antaranya dengan menargetkan di tahun 2014 ini kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force/ MEF) pada rencana strategis I dapat mencapai 40-42 persen, yang di dalamnya juga mencakup penambahan alutsista TNI.

    Data terbaru SIPRI dan perkembangan kapabilitas militer negara-negara di kawasan ini seolah-olah memberi sinyal adanya peningkatan kekuatan militer, atau bahkan ada yang menyebutnya telah terjadi perlombaan senjata di antara negara-negara kawasan. Kajian singkat ini mencoba memahami apa yang menggerakkan terjadinya peningkatan kekuatan militer

    tersebut, dan bagaimana seharusnya ARF, sebagai forum dialog penting di kawasan, berperan.

    Faktor Penggerak Peningkatan kekuatan militer suatu

    negara merupakan keniscayaan, terlebih lagi jika ada faktor penggerak ke arah sana. Artinya, peningkatan kekuatan militer negara-negara di kawasan ini tidak berdiri sendiri, tetapi ada faktor yang menggerakkan ke arah itu. Dalam konteks kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara dapat diidentifikasi bahwa faktor-faktor penggerak tersebut adalah adanya ketegangan regional, kebutuhan proyeksi kekuatan baru, pergeseran aktivitas militer Amerika Serikat (AS) ke Asia, dan semakin meningkatnya kehadiran Tiongkok di LCS.

    Terkait dengan ketegangan regional, hal ini memang masih terus terjadi di kawasan yang disebabkan oleh, antara lain, belum tuntasnya masalah perbatasan yang tumpang-tindih di perairan teritorial, zona tambahan, dan juga Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di antara sejumlah negara di kawasan. Dari 60 batas maritim yang dipermasalahkan, baru 20 persen yang dapat diselesaikan. Masalah perbatasan di perairan teritorial sangat sensitif karena hal ini menyangkut kedaulatan teritorial suatu negara, sementara masalah di ZEE menyangkut kepentingan energi dan sumber daya maritim suatu negara. Tumpang-tindih klaim teritorial di LCS, yang melibatkan Tiongkok dan sejumlah negara ASEAN, tentunya juga menjadi bagian yang dapat memicu ketegangan regional.

    Kekuatan militer suatu negara idealnya juga harus mampu merespons perubahan kebutuhan militer ke depan, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Hal ini bisa terjadi apabila kekuatan militer yang dibangun juga diproyeksikan ke arah pemenuhan kebutuhan dan tantangan itu. Kebutuhan dan kemampuan proyeksi kekuatan militer ini biasanya akan terlihat, misalnya, pada saat dilaksanakannya latihan operasi militer dan ketertiban di laut bersama di antara negara-negara kawasan. Di sini, masing-masing negara biasanya dapat mengukur kelebihan dan kekurangan kekuatan militernya. Apalagi, tantangan militer saat ini dan ke depan tidak saja menyangkut isu-isu tradisional, seperti

  • - 7 -

    sengketa antarnegara tetapi juga isu-isu non-tradisional, seperti kejahatan lintas negara, misalnya.

    Pergeseran aktivitas militer AS ke Asia, tampaknya juga telah memengaruhi negara-negara di kawasan untuk menyesuaikan diri atas kemampuan militernya. Setidak-tidaknya, hal itu dilakukan untuk bisa sedikit mengimbangi kehadian militer AS yang kini diproyeksikan ke wilayah Asia. Negara-negara di kawasan, sebagai tuan rumah, tentunya tidak ingin hanya menjadi penonton dalam melihat kehadiran militer AS di Asia. Mereka juga perlu menampilkan diri dengan percaya diri dalam menghadapi kekuatan militer AS sebagai salah satu kekuatan militer terbesar di dunia. Untuk itu, peningkatan kekuatan militer menjadi pilihan yang harus dilakukan oleh negara-negara Asia sekaligus untuk membangun kemandirian dalam hal pengamanan wilayah kedaulatan negara.

    Tampilnya Tiongkok, sebagai negara besar di kawasan dengan modernisasi militernya, sudah tentu juga turut memengaruhi negara-negara di kawasan untuk meningkatkan kekuatan militernya, terutama negara-negara yang memiliki sengketa teritorial dengan Tiongkok di LCS dan Laut China Timur. Dalam beberapa tahun ini, Tiongkok terus memperlihatkan agresivitasnya di Asia Pasifik, terutama di LCS yang bersinggungan dengan beberapa negara anggota ASEAN dan Laut China Timur yang bersinggungan dengan J epang. Tiongkok, dengan belanja militernya yang terus meningkat (kedua tertinggi setelah AS), terus membangun kekuatan militer yang lebih modern dan sudah tentu diproyeksikan untuk dapat menerobos lebih dalam ke perairan sengketa di LCS dan Laut China Timur.

    Di luar faktor penggerak di atas, modernisasi militer atau peningkatan kekuatan militer yang terjadi di Asia, khususnya Asia Tenggara sesungguhnya juga merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonominya. Hal inilah yang terjadi pada lima negara utama di Asia Tenggara, yang disebut dengan the Big Five, yaitu Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Selain itu, meluasnya cakupan keamanan regional yang harus dijaga, yang didasari oleh kepentingan nasional masing-masing, telah turut pula

    mendorong negara-negara di kawasan untuk melakukan peningkatan kekuatan militernya agar dapat menjangkau cakupan wilayah keamaannya. Indonesia, Malaysia dan Singapura, misalnya, berkepentingan dengan keamanan Selat Malaka, begitu juga dengan negara-negara Asia lain yang menjadikan perairan strategis tersebut sebagai jalur pasokan energi dan perdagangan mereka.

    Peran ARF Peningkatan kekuatan militer tentu

    saja menjadi hal yang sensitif sebab dapat menyebabkan security dilemma bagi negara lain. Adagium security dilemma setidak-tidaknya menegaskan dua hal. Pertama, upaya peningkatan kekuatan militer suatu negara kecenderungannya selalu dimaknai sebagai sarana pengembangan kekuatan ofensif oleh negara lain, dan kedua, sulit dibedakannya antara kekuatan defensif dengan kekuatan defensif. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya salah kalkulasi (miscalculation), salah penilaian (misjudgment) dan saling mencurigai (mistrust). Untuk menghindari hal tersebut maka negara-negara di kawasan perlu membangun rezim transparansi strategis dalam kerangka keamanan bersama (common security) melalui forum dialog. Forum untuk itu sebenarnya sudah ada di kawasan, terutama yang diinisiasi oleh ASEAN, yakni ASEAN Regional Forum (ARF). ARF merupakan forum dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Dalam kaitan tersebut, ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARF.

    ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain, seperti AS, Republik Rakyat Tiongkok, J epang, Rusia dan Uni Eropa. Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas seluruh negara anggota ASEAN, 10 negara Mitra Wicara, serta beberapa negara di kawasan. Berdasarkan peserta ARF tersebut, sesungguhnya ARF dapat memainkan peran penting dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan. ARF

  • - 8 -

    perlu meningkatkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, dan memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujudkan confidence building measures (CBMs), constructive engagement dan preventif diplomacy di kawasan.

    Langkah-langkah CBMs dan preventif diplomacy yang ditempuh oleh ARF, dalam rangka menciptakan dialog keamanan, dilakukan melalui kerja sama militer yang didasarkan atas dasar adanya komunikasi, transparansi, pembatasan (limitation) dan verifikasi. Hal tersebut perlu diimplementasikan dalam program-program, antara lain kerja sama dalam pengawasan senjata yang dipakai di lapangan dan kerja sama dalam perjanjian non-proliferasi; transparansi terhadap kekuatan militer yang dimilikinya atau yang digunakannya dengan mempublikasikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan dan keamanan; kegiatan-kegiatan bersama seperti latihan militer bersama, kursus-kursus pelatihan, saling mengunjungi fasilitas-fasilitas militer dan observasi pelatihan-pelatihan di antara mereka. Peran ini yang harus dilakukan oleh ARF dalam menyikapi isu peningkatan kekuatan militer di kawasan.

    PenutupPeningkatan kekuatan militer negara-

    negara di kawasan sebagai sesuatu yang tidak bisa dielakkan karena sejumlah faktor yang secara rasional politis dapat menggerakkan ke arah itu. Yang menjadi inti permasalahan sebenarnya bukanlah peningkatan kekuatan militernya, tapi apa tujuan dari peningkatan kekuatan militer itu sendiri. Sejauh ini yang terlihat adalah peningkatan kekuatan militer tersebut, terutama di ASEAN, ditujukan untuk strategi penangkalan (deterrence) dan bersifat defensif, bukan ofensif. Melihat kondisi geografis negara-negara ASEAN yang pada umumnya memiliki wilayah laut, maka kepentingan untuk melindungi dan mengawasi wilayah laut menjadi prioritas yang harus dilakukan karena menyangkut kedaulatan negara. Terlebih lagi kawasan ini memiliki jalur perairan strategis yang menjadi urat nadi pelayaran internasional. Oleh karena itu, penguatan strategi penangkalan menjadi penting di sini untuk

    mencegah gangguan keamanan di jalur perairan strategis ini.

    Peningkatan kekuatan militer negara-negara di kawasan akan menjadi masalah, jika disalahpersepsikan dan dicurigai sebagai bentuk ancaman bagi keamanan di kawasan. Untuk menghindari kesalahpahaman dan destabilisasi keamanan, dibutuhkan transparansi dan kepercayaan strategis, dan ARF, sebagai forum keamanan multilateral di kawasan, dapat berperan membangun transparansi dan kepercayaan strategis tersebut melalui pengembangan dialog dan konsultasi yang konstruktif. Kepercayaan strategis perlu terus dibangun di kawasan, tidak saja oleh pemerintah, tetapi juga oleh DPR RI melalui diplomasi parlemen. DPR RI, melalui diplomasi parlemen, perlu juga memainkan peran untuk memajukan budaya damai, toleransi dan dialog di antara negara-negara kawasan, di samping mengingatkan pentingnya hal ini kepada pemerintah melalui pelaksanaan fungsi pengawasan.

    Rujukan1. Andrew T.H. Tan. 2014. The Arms Race

    in Asia: Trend, Causes and Implications. New York: Routledge.

    2. Veeramalla Anjaiah, Chinas SCS claim threatens RI sovereignty, The Jakarta Post, 17 Maret 2014.

    3. Anggaran Militer China Naik 12,2 Persen, Kompas, 6 Maret 2014.

    4. Sinyal Perlombaan Senjata di Asia, Koran Tempo, 19 Maret 2014.

    5. "ASEAN mengemukakan keprihatinan atas zona maritim baru China, http:/ /a p d fo r u m . c o m / i d / a r t i c l e / r m i a p /ar t icles/ on lin e/ featu res/ 20 14/ 0 1/ 30 /asean-china-maritime, diakses tanggal 19 Maret 2014.

    6. India Importir Senjata Utama Dunia, Republika Online, 17 Maret 2014. h t t p : / / www.r ep u b lika .co .id / b er it a /in ternasional/ global/ 14/ 0 3/ 17/ n2kuoa-in d ia -im p or t ir -sen ja t a -u t am a-d u n ia , diakses tanggal 19 Maret 2014.

    7. SIPRI Yearbook 2013, http:/ / www.sipri.org/ yearbook/ 2013, diakses tanggal 20 Maret 2014.

    8. South Asia and Gulf lead rising trend in arms imports, Russian exports grow, says SIPRI, http:/ / www.sipri.org/ media/p ressreleases/ 20 14/ AT_ m arch_ 20 14, diakses tanggal 20 Maret 2014.

  • - 9 -

    Vol. VI, No. 06/II/P3DI/Maret/2014KESEJAHTERAAN SOSIAL

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat J enderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-isu Terkini

    KEBIJAKAN PENANGANANKEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

    Sri Nurhayati Qodriyatun*)Abstrak

    Setiap tahun kebakaran hutan dan lahan terjadi di Indonesia. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menangani kebakaran hutan dan lahan, baik secara preventif maupun represif. Namun demikian, kebakaran masih terus berulang dan menyebabkan masalah materiil maupun sosial. Hal ini karena penanganan kebakaran hutan dan lahan lebih dititikberatkan pada upaya represif daripada upaya preventif. Untuk itu, kebijakan penanganan kebakaran hutan dan lahan perlu dievaluasi kembali dalam upaya mencari solusi terbaik dalam menghindari kebakaran hutan dan lahan, antara lain dengan cara mereformasi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan; mengkaji ulang izin pemanfaatan lahan, terutama pada lahan gambut; menyelesaikan persoalan sengketa lahan; memberdayakan masyarakat; dan menegakkan hukum. Selain itu perlu adanya upaya pemberdayaan masyarakat pengguna lahan agar tidak membakar hutan dan menemukan cara baru yang tidak merusak lingkungan.

    Pendahuluan Beberapa minggu terakhir, hampir

    sebagian besar media memberitakan tentang kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang melanda wilayah Provinsi Riau. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merespon kejadian ini secara serius dengan menegur langsung jajaran pemerintah daerah untuk melakukan penanggulangan kebakaran dalam kurun waktu tiga minggu. Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan area yang terbakar di Riau meliputi sekitar 2.398 hektar kawasan konservasi yang terdiri atas 922,5 hektar Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, 373 hektar Suaka Margasatwa Kerumutan, 80,5 hektar Taman Wisata Alam Sungai Dumai, 95 hektar Taman Nasional Tesso Nilo, 9 hektar Cagar Alam Bukit Bungkuk, dan 867,5 hektar area penggunaan

    non-kawasan hutan terbakar. Sebanyak 75 persen titik kebakaran terjadi

    di lahan gambut. Pada 23 Maret 2014 lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi cuaca di wilayah Riau akan lebih kering dalam tiga hari ke depan yang dipicu oleh siklon tropis Gillian. Keringnya udara di Riau berpotensi menyebabkan titik api yang sebelumnya sudah mengecil di bawah gambut kembali terbakar.

    Kasus di atas hanyalah cuplikan dari permasalahan berkepanjangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang terjadi hampir setiap tahun dalam satu dekade terakhir. Berikut ini data perkembangan titik api (hotspot) dan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2010 s.d. 2013.

    Kebakaran hutan dan lahan paling banyak disebabkan oleh perilaku manusia, baik disengaja

    *) Peneliti Madya bidang Kebijakan Lingkungan pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

  • - 10 -

    pada perekonomian; (5) berkurangnya luasan hutan yang akan berpengaruh pada iklim mikro (cuaca cenderung panas); (6) polusi asap sehingga mengganggu aktivitas masyarakat dan menimbulkan berbagai penyakit pernafasan; dan (7) penurunan jumlah wisatawan.

    Kebakaran hutan dan lahan Riau telah menyebabkan kualitas udara memburuk. Dinas Kesehatan Pekanbaru mencatat udara di Pekanbaru telah berada pada level 130 Psi (pounds per square inch) atau tidak sehat karena mengandung particulate matter (PM-10) berlebih yang sangat berbahaya untuk kesehatan paru-paru. Bahkan 10 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat turut terkena dampak oleh kabut asap Riau. Hal ini menyebabkan Pemerintah Provinsi memberlakukan status siaga darurat bencana asap sampai dengan 31 Maret 2014. Tercatat tiga ribuan warga terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat asap. Untuk mengurangi dampak yang lebih buruk, beberapa walikota/bupati di Sumatera Barat mengeluarkan kebijakan meliburkan anak-anak sekolah (SD, TK, dan PAUD). BNPB memperkirakan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Riau tahun ini mencapai Rp 10 triliun, terhitung sejak Januari hingga Maret 2014. Mengingat dampaknya sangat merugikan baik secara materiil maupun sosial, upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

    Kebijakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

    Sejak terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar pada tahun 1982 dan rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka menangani masalah ini. Beberapa peraturan perundang-undangan yang dilahirkan menekankan sanksi yang berat bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang saat ini sedang proses revisi;

    Grafik Perkembangan Hotspot pada Peruntukan Lahan Tahun 2010-2013

    Sumber: Data Spasial KLHPosisi s.d. 30 Juni 2013APL = perladangan, pertambangan, perikanan, dll

    maupun akibat kelalaian mereka. Hanya sebagian kecil saja yang disebabkan oleh alam (petir atau lava gunung berapi). Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut: 1. konversi lahan, yang disebabkan oleh

    kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian, industri, pembuatan jalan, jembatan, bangunan, dan lain-lain;

    2. pembakaran vegetasi, yang disebabkan oleh kegiatan pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali sehingga terjadi api lompat, misalnya pembukaan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan, atau penyiapan lahan oleh masyarakat;

    3. pemanfaatan sumber daya alam, yang disebabkan oleh aktivitas seperti pembakaran semak-belukar dan aktivitas memasak oleh para penebang liar atau pencari ikan di dalam hutan;

    4. pemanfaatan lahan gambut, yang disebabkan oleh aktivitas pembuatan kanal atau saluran tanpa dilengkapi dengan pintu kontrol yang memadai air sehingga menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar;

    5. sengketa lahan, yang disebabkan oleh upaya masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan atau aktivitas penjarahan lahan yang sering diwarnai dengan pembakaran.

    Dampak kebakaran hutan Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan

    dampak bagi kehidupan manusia, baik positif maupun negatif. Namun, dampak negatif lebih mendominasi yang antara lain mengakibatkan: (1) emisi gas karbon ke atmosfer sehingga meningkatkan pemanasan global; (2) hilangnya habitat bagi satwa liar sehingga terjadi ketidakseimbangan ekosistem; (3) hilangnya pepohonan yang merupakan penghasil oksigen serta penyerap air hujan sehingga terjadi bencana banjir, longsor, dan kekeringan; (4) hilangnya bahan baku industri yang akan berpengaruh

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80 PERKEBUNANAPL

    HUTAN

    2010 2011 2012 2013

    1.326

    5.746

    1.874

    3.219

    19.188

    4.798

    4.907

    23.375

    6.4651.171

    4.233

    7.041

    Pers

    enta

    se d

    iban

    ding

    kan

    luas

    tota

    l hut

    an/la

    han

    Tabel Perkembangan Hotspot dan Kebakaran Tahun 2010-2013

    TAHUN HOTSPOT KEBAKARAN LAHAN/ KEBUN

    2010 8.946 14 2.772 2+/ - 30,75% 0% 19,24% 25%2011 27.20 5 26 6.793 4+/ - 304,10 % 185,71% 245,05% 200 %2012 34.747 6 7.376 7+/ - 127,72% 0% 108,59% 175%2013*** 7.041 26 2.463, 5 2+/ - 20,26% 0% 33,40 % 14,29%

    Jumlah Provinsi Hektar Provinsi

    sumber: NOAA-18 dan data spasial KLH** Laporan dari daerah dan hasil pemantauan*** pemantauan sampai dengan 30 Juni 2013+/- pertambahan/pengurangan hotspot / kebakaran lahan dibandingkan dengan tahun sebelumnya

  • - 11 -

    UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; serta PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang telah direvisi dengan PP No. 60 Tahun 2009.

    Pengendalian kebakaran hutan secara umum dilakukan melalui upaya pencegahan, pemadaman, dan penanganan pascakebakaran yang dilakukan di tingkat nasional hingga tingkat kesatuan pengelolaan hutan. Upaya pencegahan kebakaran dilakukan melalui kampanye penyadaran masyarakat; peningkatan teknologi pencegahan, seperti peringatan dan deteksi dini kebakaran hutan; pembangunan fisik pencegahan kebakaran hutan, seperti embung, green belt, menara pengawas, dan lainnya; serta pemantapan perangkat lunak. Upaya pemadaman kebakaran hutan dilakukan melalui peningkatan teknologi pemadaman, operasi pemadaman (pemadaman dini dan pemadaman lanjut), serta penyelamatan dan evakuasi. Sedangkan upaya penanganan pascakebakaran dilakukan dengan monitoring, evaluasi, dan inventarisasi hutan bekas kebakaran; sosialisasi dan penegakan hukum; dan rehabilitiasi.

    Pelaksanaan kebijakan tersebut didukung oleh lembaga struktural di lingkungan Kementerian Kehutanan setingkat eselon II, yakni Direktorat Kebakaran Hutan dan lembaga nonstruktural di tingkat pusat hingga tingkat kecamatan di seluruh Indonesia dengan mekanisme koordinasi seperti terlihat pada Gambar 1 berikut ini.

    Untuk mendukung upaya-upaya tersebut, pemerintah juga melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan yang rawan kebakaran. Masyarakat inilah yang berhadapan langsung jika terjadi kebakaran hutan dan lahan. Mengingat pentingnya pencegahan

    dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Kementerian Kehutanan mempunyai kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melalui pembentukan organisasi berbasis masyarakat, seperti Masyarakat Peduli Api dan Kelompok Peduli Api melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.

    Reorientasi Penanganan Kebakaran Hutan

    Penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan dan lahan didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif, seperti pemadaman dan penegakan hukum. Jika melihat penyebab kebakaran hutan dan lahan seperti dikemukakan di atas, kebijakan yang diterapkan selama ini baru sebatas mengatasi masalah pembukaan lahan yang dilakukan dengan pembakaran. Sementara itu, penyebab lain seperti konversi lahan, aktivitas pemanfaatan sumber daya alam, pemanfaatan lahan gambut, sengketa lahan belum tersentuh dalam kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

    Terkait konversi lahan terutama lahan gambut, berdasarkan data Sawit Watch, setiap tahun terjadi konversi hutan menjadi perkebunan sawit sebesar 200 - 300 ribu hektar. Konversi juga terjadi di lahan gambut. Keterbatasan lahan mineral dan relatif rendahnya isu land tenure pada kawasan lahan gambut mengakibatkan lahan gambut menjadi pilihan untuk dikembangkan menjadi tanaman lain termasuk kelapa sawit. Konversi hutan rawa gambut (peat swamp forest) menjadi perkebunan sawit setiap tahun mencapai 50 - 100 ribu hektar. Kebijakan

    Gambar 1. Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahanSumber: BKSDA Jatim Wilayah 1

  • - 12 -

    terkait penanganan kebakaran hutan dan lahan di lahan gambut seharusnya mengarah kepada pengkajian ulang izin-izin yang sudah diberikan untuk pembangunan kebun sawit. Strategi ini penting untuk memastikan bahwa pembangunan kebun sawit tidak seharusnya mengakibatkan deforestasi, kerusakan lahan gambut, dan emisi karbon.

    Terkait kebakaran yang disebabkan oleh api dari aktivitas masyarakat selama pemanfaatan sumber daya alam, kebijakan pemerintah melalui penyadaran masyarakat sudah tepat. Hanya saja program ini belum optimal untuk menghentikan pembakaran hutan. Kampanye penyadaran masyarakat sebaiknya diikuti dengan pemberdayaan, sehingga masyarakat mempunyai mata pencaharian lain yang tidak merusak hutan. Mekanisme imbal jasa lingkungan juga dapat diterapkan untuk memberikan stimulus kepada masyarakat agar mau menjaga kelestarian hutannya.

    Terkait kebakaran hutan dan lahan akibat sengketa lahan, reformasi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan sangat diperlukan. Pengkajian ulang izin pemanfaatan hutan dan lahan yang tumpang tindih harus segera dilakukan, terutama pada lahan-lahan yang bertumpang tindih dengan tanah ulayat masyarakat adat. Selama sengketa lahan belum terselesaikan, kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan terus berulang.

    Penutup Kebakaran hutan dan lahan sudah

    menjadi bencana rutin secara nasional. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan pembentukan kelembagaan. Namun demikian, pengendalian yang dilakukan lebih mengedepankan upaya represif daripada preventif sehingga kurang efektif untuk menangani kebakaran hutan dan lahan selama ini.

    Perlu ada evaluasi terhadap kebijakan penanganan kebakaran hutan dan lahan. Upaya pertama adalah melakukan reformasi terhadap kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengkajian ulang terhadap izin-izin pemanfaatan lahan yang telah diterbitkan untuk mengatasi tumpang-tindih izin pemanfaatan lahan serta izin pemanfaatan lahan gambut. Selain itu, perlu pula diupayakan penyelesaian terhadap sengketa lahan, pemberdayaan masyarakat, dan penegakkan hukum. Terkait hal ini, DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan perlu mendesak pemerintah untuk segera menangani secara optimal dan terukur terhadap masalah kebakaran hutan yang telah meresahkan dan merugikan masyarakat.

    Rujukan 1. Wahyu Catur Adinugroho, I. N. Panduan

    Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut, Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia, Bogor, Indonesia: Wetlands Internasional-Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005.

    2. Chaidir Anwar Tanjung, Siklon Gillian Berpotensi Picu Bertambahnya Titik Api di Riau, http://news.detik.com/read/2014/03/23/173944/2534076/10/siklon-gillian-berpotensi-picu-bertambahnya-titik-api-di-riau, diakses tanggal 24 Maret 2014.

    3. Derizon Yazid, 10 Kota/Kabupaten di Sumbar Terkena Dampak Kabut Asap, Jumat 14 Maret 2014, http://www.antaranews.com/berita/424089/10-kotakabupaten-di-sumbar-terkena-dampak-kabut-asap, diakses tanggal 25 Maret 2014.

    4. Ikwan Wahyudi, Kerugian Kebakaran Hutan Riau Capai Rp. 10 Triliun, Senin, 17 Maret 2014, http://www.antaranews.com/berita/424579/kerugian-kebakaran-hutan-riau-capai-rp10-triliun, diakses tangga 17 Maret 2014.

    5. Riyan Nofitra, Ini Partikel Berbahaya Dalam Kabut Asap Riau, Rabu 19 Februari 2014, http://www.tempo.co/read/news/2014/02/19/058555516/Ini-Partikel-Berbahaya-Dalam-Kabut-Asap-Riau, diakses tanggal 25 Maret 2014.

    6. Vera Erwaty Ismainy, Inpres Soal Asap Majal, Jumat, 14 Maret 2014, http://www.m e d i a i n d o n e s i a . c o m / h o t t o p i c / r e a d / 2 3 7 /Inpres-soal-Asap-Majal/2014/03/14, diakses tanggal 17 Maret 2014. 9.

    7. Wira Saut Perianto Simanjuntak. Kebijakan Dan Perundang-Undangan Kementerian Kehutanan Dalam Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan, http://bbksdajatimwil1.wordpress.com/2011/03/31/artikel-penyuluh-kehutanan/, diakses tanggal 24 Maret 2014.

    8. Asap Terus Berulang, Presiden Tegur Aparat Riau, Senin , 17 Maret 2014, http://regional.k o m p a s . c o m / r e a d / 2 0 1 4 / 0 3 / 1 7 / 11 2 7 5 9 9 /Asap.Terus.Berulang.Presiden.Tegur.Aparat.Riau, diakses tanggal 17 Maret 2014.

    9. Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan di Indonesia http://ekosistem-ekologi.blogspot.c o m / 2 0 1 3 / 0 4 / p e n y e b a b - d a n - d a m p a k -kebakaran-hutan-di.html, diakses tanggal 17 Maret 2014.

  • - 13 -

    Vol. VI, No. 06/II/P3DI/Maret/2014EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat J enderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    PUNGUTAN OTORITASJASA KEUANGAN

    Yuni Sudarwati*)

    Abstrak

    Pengenaan pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan pengawas industri keuangan akan diberlakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Oleh OJK. Pungutan tersebut harus dibayarkan oleh pelaku industri jasa keuangan ke OJK sebagai biaya operasional. Pungutan ini menimbulkan kekhawatiran adanya pengaruh terhadap independensi OJK sebagai pengawas dengan menerima pungutan dari industri yang diawasi. Permasalahan berikutnya, beberapa pelaku industri jasa keuangan merasa keberatan karena sudah membayar iuran ke LPS, membayar jasa transaksi, pajak, dan lain-lain sehingga dikhawatirkan beban pungutan ini akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Oleh karena itu, OJK dituntut mampu menjaga sikap keterbukaan dan kewajaran (transparency dan fairness) untuk tetap menjaga kredibilitasnya.

    PendahuluanPer 15 April 2014, OJK akan

    memberlakukan pungutan terhadap industri keuangan untuk keperluan biaya operasional OJK. Pungutan ini berdasarkan PP No. 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan Oleh OJK. PP ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Sementara ini, OJK telah mendapatkan alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 sebesar Rp2,4 triliun. Dana APBN tersebut tidak akan dipergunakan sebagai biaya operasional OJK, namun untuk mendukung pelaksanaan sasaran strategis OJK dan pengalihan fungsi, tugas,

    dan wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia (BI) ke OJK.

    Biaya operasional OJK akan memanfaatkan dana pungutan yang sudah ditetapkan sebesar 0,030 persen sampai 0,045 persen dari total aset industri keuangan. Dengan demikian, dalam jangka panjang OJK diharapkan tidak lagi menggunakan biaya yang berasal dari sumber APBN.

    Mekanisme pembayaran pungutan dilakukan dalam empat tahap masing-masing sebesar 25 persen mulai tahun ini, dengan rincian tahap I paling lambat 15 April, tahap II paling lambat 15 Juli, tahap III paling lambat 15 Oktober, dan tahap IV paling

    *) Peneliti Muda bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

  • - 14 -

    lambat 31 Desember. Pungutan tahunan yang diberlakukan ini belum termasuk pungutan yang terkait dengan pengajuan perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan lembaga. Hal itu semua belum termasuk juga perizinan dan pendaftaran orang perorangan, biaya pendaftaran, dan biaya penelaahan rencana aksi korporasi.

    Menurut Sadar Subagyo, anggota Komisi XI DPR RI, pemberlakuan dan pengenaan iuran OJK kepada lembaga jasa keuangan bertujuan agar ada hubungan timbal-balik dan saling menguntungkan. OJK bisa memberikan layanan, pembinaan, dan pengawasan terbaiknya dengan mendapatkan iuran. Sebaliknya para pelaku jasa keuangan juga bisa meminta layanan dan pengawasan yang baik dari OJK sehingga industri jasa keuangan dan perusahaan berkembang dengan baik sebagai sebuah entitas.

    Dasar Hukum Pungutan OJKPungutan OJK yang akan diberlakukan

    ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Sesuai Pasal 34 ayat (2), disebutkan bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

    Sementara penjelasan lebih rinci mengenai pungutan ada di Pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: 1) OJK mengenakan pungutan kepada

    pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

    2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.

    4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.

    5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara.

    6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka kemudian pemerintah menetapkan PP No. 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan Oleh OJK.

    Potensi Permasalahan Pengurangan dana APBN untuk biaya

    operasional OJK dengan memanfaatkan pungutan dari industri keuangan bukan merupakan ide buruk. Pengalihan dana APBN ini diharapkan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan yang lain. Namun, pungutan ini juga perlu dilakukan secara berhati-hati karena ada beberapa potensi permasalahan yang bisa muncul.

    Permasalahan pertama terkait dengan independensi OJK. Sebagai sebuah badan yang memiliki kekuasaan sangat besar dalam industri jasa keuangan tentu saja sangat rentan dengan adanya pungutan yang akan diterima OJK. Independensi OJK menjadi hal yang akan dipertanyakan karena dikhawatirkan akan memunculkan relasi conflict of interest. Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan akan melakukan penawaran umum, maka perusahaan tersebut akan dikenakan pungutan biaya pendaftaran sebesar 0,05 persen dari total nilai emisi (nilai saham/obligasi yang akan dijual oleh perusahaan kepada masyarakat umum).

    Keberadaan pungutan semacam ini juga dikhawatirkan mengganggu independensi OJK sebagai pengawas pasar modal. Pungutan, terutama pungutan terhadap aksi korporasi, dikhawatirkan akan membuka peluang penyalahgunaan dari oknum tertentu untuk melancarkan suatu aksi korporasi. Sebagai sebuah lembaga pengawas yang memiliki posisi yang lebih tinggi, OJK seharusnya tidak bersentuhan langsung dengan pelaku industri jasa keuangan.

    Permasalahan kedua berkaitan dengan kemungkinan pembebanan pungutan kepada konsumen. Pungutan oleh OJK dianggap memberatkan pelaku industri jasa keuangan yang sudah mendapatkan beban atas pembayaran pajak, iuran ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk perbankan, iuran jasa transaksi untuk pasar modal, dan lain-lain.

    Isakayoga, Direktur Eksekutif AEI, berpendapat ketentuan soal pungutan OJK cukup adil, terutama dengan adanya penyesuaian besarnya pungutan. Namun demikian, secara

  • - 15 -

    keseluruhan, beban yang akan dikenakan kepada emiten bisa membuat kenaikan beban. OJK memungut iuran rutin setiap tahun sebesar 0,03 persen dari total nilai emisi efek atau minimal Rp15 juta dan maksimal Rp150 juta. Tidak hanya itu, OJK juga akan mengenakan biaya bagi emiten yang akan melakukan aksi korporasi.

    Direktur Utama HSBC Securities Hari Mantoro, mengatakan bahwa Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) akan memperjuangkan keinginan pelaku industri sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terbit. Anggota Bursa akan kembali berdiskusi dengan OJK agar pungutan ini bisa diperingan.

    Penolakan juga dilakukan oleh pihak perbankan. Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, mengungkapkan pungutan OJK akan memberatkan konsumen. Hal ini karena industri bakal membebankan pungutan kepada konsumen. Pungutan OJK akan mendorong industri perbankan untuk menaikkan suku bunga dan cost of fund yang merupakan biaya untuk memperoleh simpanan setelah ditambah dengan cadangan wajib yang ditentukan oleh pemerintah.

    Upaya Meminimalisasi Permasalahan

    Pada awal pembentukannya, OJK dipersiapkan sebagai sebuah lembaga pengawas. Namun demikian, sebagai lembaga yang menjalankan fungsi ini seharusnya tidak secara otomatis menjadi beban bagi pelaku industri jasa keuangan yang diawasi karena pada akhirnya juga akan dibebankan kepada konsumen. Secara implisit, situasi seperti ini juga dapat disimpulkan bahwa jika mau diawasi maka harus membayar pungutan. Jika sebaliknya maka OJK tidak akan bisa melakukan pengawasan.

    Permasalahan terkait independensi OJK dan pembebanan pungutan ke konsumen akan bisa diminimalisasikan jika diberlakukan prinsip transparency (transparansi) dan fairness (kewajaran) dalam operasional OJK. Prinsip transparency ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa semua kegiatan OJK terutama terkait dengan informasi penggunaan biaya operasional yang merupakan hasil dari pungutan bisa diakses oleh semua pemangku kepentingan. Laporan keuangan, baik yang sudah diaudit maupun yang belum diaudit, dan laporan kegiatan OJK sebagai bukti akuntabilitas pelaksanaan

    dan penggunaan pungutan yang dilakukan OJK harus bisa dengan mudah diakses oleh semua pemangku kepentingan.

    Transparansi informasi harus secara jelas menyebutkan berapa total nilai pungutan yang diperoleh dan dari mana sumber pungutan tersebut. Kalaupun ada industri jasa keuangan yang melakukan pelanggaran dan mendapatkan sanksi, maka harus juga secara jelas disebutkan jenis pelanggaran dan sanksinya. Dengan demikian, setiap pelaku industri jasa keuangan akan melihat apa yang telah dilakukan OJK atas pungutan yang dibebankan kepada mereka dan merasa bahwa pungutan yang mereka berikan memang dipergunakan secara benar oleh OJK.

    Transparansi informasi ini juga untuk memastikan bahwa semua pemangku kepentingan melihat posisi OJK sebagai pengawas memang benar-benar dilaksanakan sesuai porsinya sebagai pengawas sehingga mengurangi kekhawatiran pelaku industri jasa keuangan atas penyalahgunaan pungutan oleh oknum tertentu di lingkungan OJK. Di sinilah arti pentingnya OJK untuk memastikan bahwa prinsip transparency dilakukan dengan baik.

    Hal kedua yang harus dilakukan adalah melakukan prinsip fairness. Prinsip ini terkait salah satunya adalah bahwa pungutan diambil sebesar 0,030 persen sampai 0,045 persen atas aset. Pertanyaannya adalah apakah jika sebuah perusahaan memiliki aset besar namun tidak mendapatkan keuntungan pada tahun berjalan juga wajib membayarkan iuran sejumlah yang ditentukan? Apakah jika tidak membayarkan pungutan dengan alasan tersebut juga akan tetap dikenai sanksi?

    Penetapan pungutan atas aset tentu saja akan memberatkan bagi pelaku industri jasa keuangan dengan kondisi tersebut. Hal ini akan berbeda jika penetapan yang dilakukan adalah pada pendapatan. Dengan demikian, setiap pelaku industri jasa keuangan tentu tidak akan terbeban terlalu banyak jika sedang tidak mendapatkan keuntungan. Begitu juga bagi yang sedang mendapatkan keuntungan yang besar tentu saja tidak menjadi masalah besar untuk membayarkan pungutan sebesar yang ditentukan. Oleh karena itu sebaiknya penetapan pungutan atas pendapatan bukan atas aset.

  • - 16 -

    Pelaksanaan prinsip fairness ini juga bisa dilakukan dengan menyatukan semua pungutan yang harus diberikan oleh pelaku industri jasa keuangan ke dalam satu buah jenis pungutan, misalnya dalam bentuk pajak. Pajak yang masuk dari pelaku industri jasa keuangan ini akan masuk ke APBN yang nantinya juga akan menjadi biaya operasional bagi OJK. Besaran pajak tentunya akan lebih besar dari pajak yang sekarang.

    Secara teknis, penyatuan pungutan dalam satu bentuk pajak tentu akan memudahkan pelaku industri jasa keuangan karena tidak harus berulang-ulang melakukan transaksi pembayaran. Selain itu, beban pelaku industri jasa keuangan juga diharapkan tidak terlalu besar. Penyatuan pungutan ini juga akan menjaga independensi OJK karena tidak secara langsung menerima dana dari masing-masing pelaku industri jasa keuangan. OJK tidak akan mengetahui secara langsung porsi pungutan dari masing-masing pelaku industri jasa keuangan yang berkontribusi terhadap dana APBN yang disalurkan ke OJK, sehingga memperkecil kemungkinan penyalahgunaan oknum yang memanfaatkan peluang dari pungutan untuk mempengaruhi kebijakan OJK.

    PenutupPembuatan sebuah peraturan dan

    kebijakan pada awalnya adalah untuk kepentingan masyarakat. Begitu juga Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang OJK dan peraturan di bawahnya khususnya PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan OJK. Namun demikian, pungutan ini berpotensi menimbulkan conflict of interest baik bagi OJK sebagai pengawas maupun bagi pihak yang diawasi, yaitu pelaku industri jasa keuangan. Selain itu, karena pelaku industri merasa keberatan dengan pungutan tersebut, akhirnya pelaku industri akan membagi beban ini kepada masyarakat sebagai konsumen. Oleh karena itu, dalam rangka penerapan PP ini, OJK harus menerapkan prinsip transparency untuk menjaga independensi dan akuntabilitasnya serta fairness dengan penerapan pungutan pada pendapatan bukan pada aset.

    Penerapan pungutan OJK memerlukan pengawasan terutama dalam pelaporan keuangan. DPR RI sebagai lembaga tinggi

    negara yang mempunyai fungsi pengawasan sebaiknya selalu memantau kinerja OJK. Hal ini untuk memastikan bahwa OJK benar-benar memiliki andil untuk menciptakan pasar yang kondusif, sehingga bukan hanya sebagai lembaga baru yang akan menjadi beban negara.

    Rujukan1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

    tentang Otoritas Jasa Keuangan2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun

    2014 tentang Pungutan oleh OJK. 3. Iuran OJK Bebani Industri, Suara

    Pembaruan, 18 Maret 2014, hal B1.4. Pungutan Tak Kurangi Independensi

    OJK, Suara Pembaruan, 19 Maret 2014, hal B4.

    5. OJK Harus Hidup dari APBN, Neraca, 18 Maret 2014, hal. 1.

    6. Pelaku Pasar Keluhkan Pungutan OJK, Neraca, 4 Maret 2014, hal. 5

    7. OJK Kini Jadi Beban Nasabah, Neraca, 20 Februari 2014, hal. 1.

    8. Tarik Pungutan, OJK Tak Lagi Gunakan APBN, http://economy.okezone.com/read/2014/03/17/457/956452/tarik-pungutan-ojk-tak-lagi-gunakan-apbn, diakses tanggal 23 Maret 2014.

    9. Anggota Bursa: Pungutan OJK Memberatkan, http://investasi.kontan. co.id/news/anggota-bursa-pungutan-ojk-memberatkan, diakses tanggal 23 Maret 2014.

    10. Pungutan dari OJK Menuai Kritik , http://investasi.kontan.co.id/news/pungutan-dari-ojk-menuai-kritik, diakses tanggal 23 Maret 2014.

    11. Ini Tanggapan Asosiasi Emiten atas Pungutan OJK, http://investasi.kontan.co.id/news/ini-tanggapan-asosiasi-emiten-atas-pungutan-ojk, diakses tanggal 23 Maret 2014.

    12. Alokasi anggaran OJK Rp. 2,4 Triliun, http://www.carikabar.com/ekonomi/171-perbankan/5684-alokasi-anggaran-ojk-rp-24-triliun, diakses tanggal 24 Maret 2014.

  • - 17 -

    Vol. VI, No. 06/II/P3DI/Maret/2014PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat J enderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    KAMPANYE PEMILU 2014 DAN KONGLOMERASI

    MEDIA MASSAAryojati Ardipandanto*)

    Abstrak

    Dalam kampanye Pemilu 2014, salah satu isu yang banyak disorot adalah masalah konglomerasi media massa oleh kandidat peserta pemilu yang notabene menguasai perusahaan-perusahaan penyiaran besar di Indonesia. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi alat bagi para kandidat tersebut untuk menjadikan lembaga penyiaran menjadi tidak independen dan digunakan untuk kepentingan pribadi sehingga menjadikan proses pemilu tidak berjalan dengan adil. Hal ini sebenarnya dapat dicegah dengan memperkuat pengaturan mengenai kampanye menggunakan media massa, dengan syarat bahwa semua pengaturan itu harus terpadu dan tidak saling berbenturan satu sama lain. Untuk mencapai ini, lembaga-lembaga terkait seperti KPU, KPI, Bawaslu, dan Dewan Pers harus bekerja secara sinergis.

    Pendahuluan

    Sorotan terhadap dampak konglomerasi media massa kembali mengemuka menjelang Pemilu 2014. Peranan media massa baik cetak maupun elektronik yang strategis dalam sosialisasi dan pencitraan politik membuat semua kekuatan politik berupaya memanfaatkan dan menguasai media massa. Persoalannya, tidak semua partai politik memiliki tokoh yang menguasai media massa terutama private

    ownership terhadap suatu media. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan karena masuknya para pemilik media massa ke kancah politik akan menimbulkan situasi yang tidak fair dan menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi akibat monopoli media massa untuk kepentingan politik partai atau tokoh tertentu.

    Fenomena ini tidak lepas dari terjunnya sejumlah pebisnis media dalam politik kepartaian seperti Hary Tanoesoedibyo pemilik MNC Group (RCTI, MNC TV, Global TV) yang

    *) Peneliti bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

  • - 18 -

    bergabung ke Partai Hanura, Aburizal Bakrie pemilik TV One dan ANTV yang sekaligus menjabat posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar maupun Surya Paloh sebagai pemilik Media Group (MetroTV dan Media Indonesia) yang kini juga sebagai Ketua Umum Partai Nasdem.

    Dalam sistem demokrasi, media massa dapat menjadi kekuatan sosial yang menjalankan fungsi pengawasan sosial jika dikelola dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang ketat. Namun demikian, kemungkinan besar media massa juga menjadi kekuatan yang mengabdi kepada kepentingan ideologi politik modal yang menggerakkannya sekaligus tunduk pada mekanisme pasar untuk mencapai keuntungan yang maksimum. Dalam konteks itu, konglomerasi media massa di Indonesia memperlihatkan bagaimana media massa didominasi oleh kepentingan politik pemiliknya sekaligus menjadi instrumen bisnis untuk meraup keuntungan melalui komodifikasi informasi dalam pasar yang oligopolistik. Potensi konflik kepentingan dalam konglomerasi media massa ini secara faktual dapat dilihat dari munculnya sikap media massa yang cenderung partisan dan tidak netral dalam pemberitaan.

    Lihat saja keberadaan Aburizal Bakrie sebagai pemilik TV One dan ANTV sekaligus Ketua Umum Golkar yang sedikit banyak memberi insentif politik tersendiri baik bagi kepentingan politiknya secara pribadi maupun Golkar. Sebelum tahapan kampanye pemilu dimulai, mereka sudah dapat memanfaatkan media massa yang dikuasai guna sosialisasi, pencitraan, meng-counter opini sekaligus propaganda politik dengan menyeleksi informasi yang akan diberitakan pada publik melalui media mereka. Begitu pula dengan MNC Group yang kini gencar menopang pencitraan politik Hanura maupun Wiranto dan Hary Tanoesudibyo yang telah mendeklarasikan diri sebagai pasangan calon presiden (capres) dan cawapres (calon wakil presiden) dalam Pemilihan Presiden 2014. Hal serupa terjadi dengan media massa di bawah kendali Media Group yang sulit untuk menghindari tudingan sebagai mesin kampanye dan pencitraan Surya Paloh maupun Partai Nasdem.

    Secara formal beberapa pemilik media massa di Indonesia seperti MNC Group, Bakrie Group maupun Media Group tidak pernah

    menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan afiliatif maupun partisan terhadap kekuatan politik. Namun demikian, relasi antara pemilik modal yang merangkap politisi membuat para pengelola media massa tidak bisa netral dari kepentingan politik pemilik modalnya sehingga konflik kepentingan antara media massa yang harus tunduk pada kaidah-kaidah jurnalistik dalam menyajikan informasi kepada publik dengan kepentingan politik dari pemilik media tersebut menjadi tidak terhindarkan. Apabila hal tersebut terjadi secara masif dan mengabaikan kode etik jurnalistik maka dikhawatirkan konglomerasi media massa akan mampu merusak kualitas demokrasi.

    Pengaturan Terpadu Kampanye melalui Media Massa

    Sangat disayangkan bahwa regulasi kampanye, terutama yang terkait dengan penggunaan media massa, masih banyak yang tumpang-tindih. Salah satunya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Roy Thaniago, Anggota Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), yaitu bahwa Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang iklan kampanye partai politik di lembaga penyiaran masih tidak sinkron antara ketentuan yang satu dengan yang lainnya. Isi pasal satu dengan yang lainnya banyak yang saling bertolak belakang.

    Dicontohkan bahwa ada pasal yang melarang program kampanye politik kecuali dalam bentuk iklan. Namun demikian, pasal selanjutnya justru melarang seluruh program yang berbau kampanye. Ini bisa dijadikan celah bagi stasiun televisi untuk tetap berbuat curang. Jadi, aturan sekarang justru lebih ambigu. Contoh konkretnya adalah sebuah pasal yang menegaskan bahwa di luar siaran iklan, semua program untuk kampanye tidak dibolehkan. Itu artinya acara Kuis WIN-HT lolos karena itu bagian dari iklan. Sebaliknya, di pasal lain, justru mengatakan semua program yang bersifat kampanye dilarang ditampilkan.

    Perihal kampanye politik, peraturan dan perundang-undangan yang menjadi acuan bukan hanya terbatas pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

  • - 19 -

    Daerah,melainkan juga merujuk pada UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terlebih apabila hal itu menyangkut media massa. Dalam upayanya untuk mewujudkan kebebasan pers dan tinjauan positif atas pelaksanaan kampanye di media massa, maka sudah semestinya KPI, KPU, Banwaslu, Dewan Pers untuk duduk bersama menyiapkan beberapa aturan tentang batasan kampanye di media massa.

    Sebenarnya, di dalam UU No. 8 Tahun 2012 ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meskipun masih melahirkan banyak problematika. Misalnya, Pasal 96 mengatur soal larangan menjual blocking segment dan blocking time, menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan iklan kampanye pemilu, serta menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya. Pasal 97 menegaskan batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari pada masa kampanye. Di radio, 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.

    Soal durasi ini, KPI tentu harus melengkapinya dengan aturan tentang waktu siaran iklan kampanye pemilu ditambah dengan iklan komersial ataupun iklan layanan masyarakat lain maksimal 20 persen dari seluruh waktu siaran per hari selama masa kampanye di lembaga penyiaran yang bersangkutan. Hal ini penting dilakukan agar tidak menabrak UU penyiaran. KPI juga perlu mengatur secara lebih operasional tentang beberapa hal, antara lain berapa kali diperbolehkannya running text dan superimpose dalam sehari, penyiaran jajak pendapat, dialog/talkshow, dan jenis siaran lain yang sangat mungkin menjadi kampanye terselubung para kontestan pemilu.

    Penutup Guna memperbaiki kualitas kampanye

    di media penyiaran, ada beberapa faktor yang harus menjadi perhatian bersama. Hal-hal penting yang harus diutamakan adalah dalam proses implementasi regulasi kampanye, harus ada koordinasi yang lebih intensif, fungsional, dan komplementer antar-penyelenggara pemilu; dalam hal ini KPU dan Bawaslu dengan KPI dan

    Dewan Pers. KPU telah menetapkan peraturan No

    1/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Legislatif. Rambu-rambu yang sudah disusun KPU ini tentu harus dikoordinasikan dengan KPI, terutama menyangkut aturan kampanye di media penyiaran sehingga aturan main yang disusun kedua lembaga ini berbenturan sehingga menjadi pintu masuk bagi para kontestan untuk mencari celah untuk memainkannya. Harus pula dilakukan penjelasan soal persepsi program siaran pemilu selain iklan, kewenangan antar-lembaga KPU dan KPI, sanksi atas pelanggaran oleh lembaga penyiaran dan partai kontestan, serta sejumlah aturan teknis operasional KPI. MoU antarkelembagaan jangan semata-mata bersifat seremonial dan formalistik, atau lebih menunjukkan ego kelembagaan tetapi harus dalam koridor kebersamaan sehingga meningkatkan kualitas kampanye.

    Dari segi substansi, hal yang perlu diperhatikan yakni menyangkut sejumlah aturan yang memerlukan ketatnya sistem pengawasan di lapangan. Intinya, regulasi kampanye di media penyiaran harus dibuat jelas, tegas, dan operasional sehingga turut menyumbang perbaikan kualitas pemilu.

    Harus diperhatikan bahwa masih banyak pekerja di media penyiaran yang memiliki idealisme tinggi dan berorientasi pada kerja profesional. Namun demikian, jika aturan main kampanye ambigu dan KPU dan KPI menutup mata dalam mengatur kepentingan para politisi selama kampanye, media seperti digambarkan Antonio Gramsci bisa menjelma menjadi tangan-tangan kelompok berkuasa yang berwatak hegemonik.

    Batasan waktu kampanye seharusnya dihormati semua kontestan. Terlebih untuk media penyiaran karena spektrum frekuensi itu terbatas sebagaimana diatur dalam pertimbangan UU Nomor 32 Tahun 2002. Jadi, akan menjadi kekeliruan besar jika frekuensi yang terbatas dimanfaatkan secara semena-mena oleh segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan partai mereka.

  • - 20 -

    Rujukan1. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu

    Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    2. UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

    3. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.4. Gun Gun Heryanto,Regulasi Kampanye,

    http://www.rumahpemilu.org/read/1209/Regulas i -Kampanye-Oleh-Gun-Gun-Heryanto, diakses tanggal 24 Maret 2014.

    5. Hendra Sunandar, Regulasi Kampanye ; Analisis terhadap Aturan Main Kampanye Pemilu 2014, http://www.academia.edu/4969929/Regulasi_Kampanye, diakses tanggal 24 Maret 2014.

    6. Aturan Iklan Kampanye di Televisi Tumpang Tindih, http://www.portalkbr.com/berita/beritapemilu/3110387_6033.html, diakses tanggal 24 Maret 2014.