vol. vi no.22 ii p3di november 2014

Upload: infosingkat

Post on 09-Oct-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hk_kesepakatan kmp-kih (Shanti)HI_Pengawasan wilayah udara (Rizki )KS_Upacara bendera & nasionalisme (Lukman nul hakim)EKP_ Dampak kenaikan BI rate (Sony)PDN_Problematika TA (Riris)

TRANSCRIPT

  • - 1 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 22/II/P3DI/November/2014H U K U M

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    KESEPAKATAN KMP-KIHDAN REVISI UU MD3

    Shanti Dwi Kartika*)Abstrak

    Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat telah mencapai titik temu untuk mengakhiri pertikaian setelah ditandatanganinya kesepakatan damai oleh mereka. Kesepakatan itu bersifat keperdataan. Namun demikian, ia mempunyai implikasi pada penyelengaraan negara oleh lembaga legislatif. Salah satu isi kesepakatan itu adalah perubahan atas UU MD3. Ini berarti telah terjadi politik hukum di lembaga legislatif dengan adanya perubahan ius constitutum dari undang-undang yang mengatur lembaga legislatif di Indonesia melalui revisi UU MD3. Revisi UU MD3 ini harus memperhatikan prosedur dan ketentuan yang diatur dalam UU P3 dan Tata Tertib DPR RI. Seharusnya, proses perubahan UU MD3 ini dilakukan melalui Prolegnas. UU P3 dan Tata Tertib DPR RI memang memberikan kemungkinan suatu RUU di luar Prolegnas sehingga hal ini tidak bertentangan dengan Konstitusi. Diperlukan komitmen kuat anggota DPR RI dan pemerintah untuk melakukan pembahasan Revisi UU MD3 mengingat kendala waktu yang dibatasi penyelesaian revisi itu paling lambat tanggal 5 Desember 2014.

    PendahuluanKonik antara Koalisi Merah Putih (KMP)

    dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di parlemen telah mencapai titik temu. Ini terjadi setelah ada kesepakatan di antara keduanya yang ditandatangani pada tanggal 17 November 2014. KMP dan KIH telah menyepakati adanya perubahan sejumlah pasal yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Kesepakatan tersebut mempunyai prinsip bahwa hak anggota dewan yang melekat tidak dihilangkan. Kedua pihak tersebut menyerahkan

    wewenang pembahasan revisi UU MD3 untuk segera dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg).

    Revisi UU MD3 yang disepakati hanya dilakukan pada Pasal 74, Pasal 84, dan Pasal 98, khususnya yang mengatur mengenai pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) dan penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Adapun lima butir kesepakatan KMP-KIH, yaitu:a. segera mengisi anggota fraksi pada AKD

    sehingga DPR RI dapat segera bekerja sesuai fungsinya secara optimal;

    b. menambah satu wakil ketua pada 16 AKD melalui perubahan UU MD3 dan perubahan Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang

    *) Peneliti Muda Hukum pada Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected].

  • - 2 -

    Tata Tertib DPR RI (Tata Tertib DPR RI) terkait dengan pimpinan AKD;

    c. segera mengisi Pimpinan AKD dan menambah satu wakil ketua pada setiap AKD yang ditentukan secara musyawarah mufakat, tanpa mengubah komposisi pimpinan yang sudah ada sebelumnya;

    d. melakukan perubahan Pasal 74 ayat (3) sampai dengan ayat (6) dan Pasal 98 ayat (7) sampai dengan ayat (9) UU MD3, serta ketentuan Pasal 60 ayat (2) sampai dengan ayat (4) Tata Tertib DPR RI untuk dihapus, karena secara substansi sudah diatur pada Pasal 79, dan Pasal 194 sampai dengan Pasal 227 UU MD3; dan

    e. teknis pelaksanaan kesepakatan ini dituangkan dalam kesepakatan Pimpinan Fraksi dari KMP dan KIH serta diketahui oleh Pimpinan DPR RI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kesepakatan ini.

    Politik Hukum Revisi UU MD3Salah satu isi dari kesepakatan KMP-KIH,

    yaitu melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam UU MD3. Ini berarti bahwa kesepakatan tersebut akan mempengaruhi politik hukum penyelenggara negara pada lembaga legislatif yang menghasilkan suatu legal policy, yang ditentukan oleh ius constitutum, ius constituendum, perubahan masyarakat, proses perubahan dari ius contitutum menjadi ius constituendum, dan produk yang dihasilkan dari proses perubahan tersebut. Selain itu, dipengaruhi juga oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, perubahan sosial, dinamika regulasi, dan kepentingan dalam masyarakat termasuk kepentingan politik. Ini mengingat UU MD3 berkedudukan sebagai ius constitutum bagi lembaga legislatif. Atas dasar itu, politik hukum revisi UU MD3 perlu dilihat dari latar belakang dan pertimbangan lahirnya perubahan ius constitutum menjadi ius constituendum.

    Pemicu politik hukum revisi UU MD3 adalah perubahan masyarakat yang sangat dinamis karena kekuasaan dan kepentingan politik sehingga melahirkan perpecahan di parlemen dan muncul KMP-KIH. Konik KMP dan KIH harus segera diakhiri, agar DPR RI dapat terus bekerja sesuai dengan amanat UUD Tahun 1945 dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kesepakatan tersebut dibuat dan ditandatangani untuk kepentingan pelaksanaan tugas DPR RI secara kekeluargaan. Selain itu, untuk menghadapi tantangan dalam pelaksanaan tanggung jawab konstitusionalnya, DPR RI perlu segera mendorong KMP-KIH untuk

    membangun ikhtiar politik agar pelaksanaan fungsi DPR RI dapat berjalan secara efektif. Atas dasar itu, kesepakatan tersebut merupakan solusi tetap berjalannya demokrasi di negeri ini dan tercapai kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok/golongan. Dengan kesepakatan ini, DPR RI bisa menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan amanat UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, kedua kubu ini akan melakukan perubahan terhadap UU MD3 yang selama ini menjadi akar permasalahan dari konik tersebut.

    Kesepakatan KMP-KIH tersebut menunjukkan bahwa perdamaian KMP-KIH merupakan kesepakatan politik untuk sebuah kekuasaan legislatif yang dituangkan dalam kesepakatan yang mengikat kedua pihak sehingga bersifat privat antara KMP dengan KIH. Kesepakatan tersebut bersifat keperdataan, meskipun dibuat pada lingkup hukum publik untuk mengatasi pertikaian yang terjadi di parlemen dan keberlangsungan penyelenggaraan negara oleh lembaga legislatif. Kesepakatan ini hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya, mempunyai kekuatan hukum mengikat kedua pihak, serta harus dijalankan dengan itikad baik, karena telah terpenuhinya syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian tersebut meliputi kesepakatan dan kecakapan bertindak untuk saling mengikatkan diri, obyek tertentu berupa perubahan UU MD3 dan Tata Tertib DPR RI, dan causa halal untuk mengakhiri pertikaian di DPR RI agar DPR RI dapat bekerja kembali menjalankan fungsinya, sesuai dengan Pasal 1320, Pasal 1339, dan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua pihak yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua pihak atau alasan yang ditentukan oleh undang-undang, sesuai dengan asas pacta sunt servanda dalam Pasal 1338 KUHPerdata sebagai asas kepastian hukum.

    Substansi Revisi UU MD3Berdasarkan kesepakatan KMP dan

    KIH, akan dilakukan perubahan terhadap UU MD3 terkait dengan penghapusan sejumlah ketentuan dalam Pasal 74 dan Pasal 98. Hal itu menimbulkan beberapa pendapat. Menurut Margarito Kamis, Pasal 98 ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) UU MD3 memang bertentangan dengan Pasal 20A UUD Tahun 1945, karena hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat adalah hak anggota DPR RI bukan hak kelembagaan atau alat kelengkapan DPR

  • - 3 -

    RI. Rey Harun menilai bahwa Pasal 74 dan Pasal 98 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) memang mengancam sistem presidensial, karena menjadikan DPR RI mempunyai kuasa untuk menekan para menteri, pejabat eksekutif, dan bisa menjebak presiden. Namun, jika tujuannya hanya untuk mengakomodasi isi kesepakatan KMP-KIH dan untuk penyempurnaan UU MD3, sebaiknya tidak perlu dilakukan revisi UU MD3. Lebih lanjut Rey Harun mengatakan bahwa perubahan UU MD3 seharusnya dilakukan secara total dengan proses legislasi yang benar karena sejak UU MD3 diundangkan, undang-undang ini sudah bermasalah dari sisi demokrasi. Adapun ketentuan dalam UU MD3 yang akan dilakukan perubahan, yaitu: a. Pasal 84 ayat (1) tentang pimpinan alat

    kelengkapan dewan. Ketentuan ini diubah dengan menambahkan satu orang wakil ketua pada setiap alat kelengkapan dewan; dan

    b. Pasal 74 ayat (3) sampai dengan ayat (6) serta Pasal 98 ayat (7) sampai dengan ayat (9) tentang hak-hak DPR RI. Ketujuh ketentuan ini akan dihapus sehingga diharapkan sistem pemerintahan presidensial akan berjalan semakin kuat, efektif, dan stabil.

    Ketentuan tentang hak DPR RI yang diatur dalam Pasal 74 dan Pasal 98 dapat ditafsirkan bahwa akan ada intervensi dari legislatif kepada domein eksekutif dan masyarakat karena parlemen dapat memberikan sanksi instansi, pejabat pemerintah, dan pejabat negara. Pemberian sanksi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, dan instansi, yang melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan negara secara eksekutif merupakan hak presiden, sedangkan DPR RI hanya melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Selain itu, pengaturan hak DPR RI ini dilakukan secara berulang dengan Pasal 79 dan Pasal 194 sampai dengan Pasal 227 UU MD3 sehingga dinilai redundant oleh KMP-KIH. Oleh karena itu ketentuan tersebut disepakati untuk dihapus dari UU MD3. Namun, ketiga hak DPR RI ini perlu diatur lebih lanjut tentang pembatasan jangkauan haknya dan pembatasan obyek hak atau isu agar ketiga hak tersebut dapat digunakan. Jika pembatasan ini tidak dilakukan dapat mengancam berlangsungnya sistem pemerintahan presidensial di negeri ini.

    Pengaturan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat dalam UU MD3 merupakan hak konstitusional yang diberikan pada DPR RI yang diamanat untuk diatur lebih lanjut dengan UU MD3, sebagaimana diatur

    dalam Pasal 20A ayat (2) dan ayat (4) UUD Tahun 1945. Amanat konstitusi mengenai hak DPR RI ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 74, Pasal 79, Pasal 98, dan Pasal 194 sampai dengan Pasal 227 UU MD3. Oleh karena itu, apabila ketiga hak tersebut akan dihapus dari ketentuan Pasal 74 dan Pasal 98 UU MD3 tidak akan bertentangan dengan konstitusi karena UU MD3 masih mengatur hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat yang diatur secara umum pada Pasal 79 dan untuk pelaksanaannya diatur dalam Pasal 194 sampai dengan Pasal 227 UU MD3.

    Perubahan UU MD3 ini harus melalui serangkaian proses sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan Tata Tertib DPR RI. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah merancang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang akan dibahas dan disepakati oleh Pemerintah dan DPR RI. Perubahan atas UU MD3 harus dimasukkan sebagai salah satu rancangan undang-undang (RUU) dalam Prolegnas dan dijadikan sebagai RUU prioritas. Namun, target jangka waktu yang telah disepakati yaitu paling lambat tanggal 5 Desember 2014 relatif singkat sehingga tidak sebanding dengan waktu yang diperlukan untuk serangkaian proses pembuatan atau perubahan undang-undang, mengingat untuk melakukan perubahan atas undang-undang tidak mudah meskipun hanya satu pasal yang diubah. Hal ini karena setelah ditetapkan RUU Perubahan atas UU MD3 dalam Prolegnas, ada mekanisme dan prosedur yang harus dijalankan mulai dari tahap penyusunan, perancangan, harmonisasi/sinkronisasi, pembahasan tingkat I, dan pembahasan tingkat II. Semua tahapan ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. Proses revisi juga dipengaruhi oleh faktor perkembangan yang terjadi selama pembahasan atau isu-isu lainnya yang terjadi dan dapat menimbulkan polemik baru. Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang kuat dari anggota DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahasnya sesuai dengan ketentuan UU P3 dan Tata Tertib DPR RI. Hal-hal tersebut merupakan das sollen untuk pembentukan RUU.

    Secara das sein, proses revisi UU MD3 telah dimulai meskipun Prolegnas belum terbentuk, karena telah disepakati oleh Baleg dan telah ada persetujuan bersama antara DPR RI dengan Pemerintah untuk segera melakukan perubahan atas UU MD3. Ini merupakan kondisi dalam keadaan tertentu, sehingga perubahan UU

  • - 4 -

    MD3 dilakukan untuk mengatasi permasalahan di lembaga legislatif agar dapat segera bekerja sesuai dengan amanat konstitusi. Pembentukan atau perubahan undang-undang di luar prolegnas dimungkinkan untuk dilakukan. Ini didasarkan pada ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU P3 serta Pasal 104 ayat (2) dan Pasal 111 ayat (3) Tata Tertib DPR. Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam keadaan tertentu DPR RI dan Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas, yaitu (a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konik, atau bencana alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh AKD DPR RI yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

    Keadaan tertentu, terkait dengan kondisi parlemen saat ini yang belum mampu bekerja secara optimal karena adanya konik kepentingan antara KMP dengan KIH dan keduanya telah menyepakati dilakukannya perubahan terhadap sejumlah ketentuan dalam UU MD3. Ini merupakan urgensi nasional agar lembaga legislatif dapat menjalankan fungsi dan program kerja yang diberikan padanya secara representatif. Artinya perubahan atas UU MD3 tidak bertentangan dengan konstitusi dan ketentuan peraturan perundang-undangan, karena prinsip membentuk dan membahas RUU berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945 adalah adanya persetujuan bersama antara DPR RI dengan Presiden serta ketentuan dalam UU P3 dan Tata Tertib DPR RI yang mengatur mengenai RUU di luar Prolegnas.

    PenutupKMP dan KIH telah mencapai kesepakatan

    untuk mengakhiri pertikaian diantara keduanya, agar DPR RI dapat kembali menjalankan kewajiban konstitusional. Kesepakatan ini berdampak pada penyelenggaraan negara oleh legislatif meskipun pada dasarnya kesepakatan bersifat keperdataan. Salah satu isi kesepakatan, yaitu melakukan revisi terhadap UU MD3 tentang pimpinan dan hak-hak DPR yang diatur Pasal 74, Pasal 84, dan Pasal 98. Penghapusan tujuh ketentuan dalam Pasal 74 dan Pasal 98 UU MD3 tentang hak-hak DPR tidak bertentangan dengan konstitusi, karena UU MD3 tetap menjalankan amanat konstitusi dan mengatur lebih lanjut hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Ini merupakan politik hukum di lembaga legislatif karena akan ada perubahan ius constitutum menjadi ius constituendum dari UU MD3 di luar Prolegnas yang telah

    disepakati oleh DPR RI dan Pemerintah sebagai prioritas. Perubahan UU MD3 di luar Prolegnas tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, karena prinsip membentuk undang-undang adalah ada persetujuan bersama antara DPR RI dan Pemerintah. Selain itu, UU P3 dan Tata Tertib DPR RI memungkinkan untuk dilakukan pembahasan RUU di luar Prolegnas jika terjadi keadaan tertentu. Revisi UU MD3 sebaiknya tidak dibatasi dengan target waktu karena proses perubahan undang-undang harus melalui beberapa tahapan dan memerlukan waktu yang cukup lama. Namun, ini dilakukan dalam kondisi urgensi nasional yang terjadi di DPR RI maka pembahasan revisi UU MD3 harus diprioritaskan dan diperlukan komitmen dari DPR dan Pemerintah untuk segera membahasnya.

    ReferensiKMP-KIH Capai Titik Temu, Kompas, 16

    November 2014.Mendekat, Polarisasi di DPR: KMP Siap Bahas

    Usulan KIH Soal Perubahan Tiga Pasal UU MD3, Kompas, 15 November 2014.

    Dinamika Parlemen: KIH-KMP di DPR Sepakat Melebur, Kompas, 18 November 2014.

    Penyatuan di DPR: Sistem Presidensial akan Semakin Kuat, Kompas, 17 November 2014.

    Islah di DPR Libatkan Revisi UU MD3, diakses melalui http://www.bbc.co.uk/indonesia/b e r i t a _ i n d o n e s i a / 2 0 1 4 / 1 1 / 1 4 1 1 1 6 _indonesia_islah_dpr, 17 November 2014.

    Pakar Menilai UU MD3 Benar-Benar Ancam Sistem Presidensial, diakses melalui http://www.gresnews.com/berita/politik/1201711-pakar-nilai-uu-md3-benar-benar-ancam-sistem-presidensial/, 18 November 2014.

    Pakar: Tidak Gampang Mengubah UU, diakses melalui http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/11/17/129955/pakar-tidak-gampang-mengubah-uu/#.VGsMJsmbDNE, 18 November 2014.

    Isi Lengkap Draf Kesepakatan Damai KMP dan KIH, diakses melalui http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/17/isi-lengkap-draf-kesepakatan-damai-kmp-dan-kih, 18 November 2014.

    KMP-KIH Sepakat Damai, Hatta: Demi Kepentingan Bangsa, diakses melalui http://news.detik.com/read/2014/11/17/141504/2750339/10/kmp-kih-sepakat-damai-hatta-ini-solusi-demi-kepentingan-bangsa?nd771104bcj, 18 November 2014.

  • - 5 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 22/II/P3DI/November/2014HUBUNGAN INTERNASIONAL

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    PENGAWASAN WILAYAHUDARA INDONESIA

    Rizki Roza*)Abstrak

    Sejumlah pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pesawat asing kembali terjadi dalam beberapa waktu lalu. Insiden tersebut mengingatkan pemerintahan Jokowi bahwa kemampuan TNI AU dalam melakukan pengawasan wilayah udara perlu mendapat perhatian serius. Di sisi lain, Doktrin Poros Maritim pemerintahan Jokowi menempatkan pembangunan kekuatan pertahanan maritim sebagai prioritas. Dengan kondisi demikian, pemerintahan Jokowi harus memastikan bahwa pembangunan kekuatan pertahanan maritim dijalankan tanpa mengabaikan kebutuhan peningkatan kemampuan TNI AU dalam menjaga kedaulatan wilayah udara Indonesia.

    PendahuluanPada 3 November 2014 lalu, radar TNI

    AU mendeteksi sebuat pesawat asing yang memasuki wilayah udara Indonesia tanpa izin. Merespon hal tersebut, TNI AU mengirimkan dua pesawat Sukhoi untuk melakukan penyergapan dan akhirnya berhasil memaksa pesawat asing tersebut untuk mendarat di Lanud El Tari. Pelanggaran wilayah udara semacam ini bukanlah sesuatu yang baru tetapi telah terjadi berulang-ulang. Keterbatasan radar militer TNI AU dan keterbatasan dukungan anggaran untuk melakukan penindakan, menyebabkan pesawat-pesawat asing dapat melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin. Insiden ini menjadi peringatan bagi pemerintahan Jokowi mengenai pentingnya peningkatan kemampuan pengawasan wilayah udara Indonesia yang sangat luas. Sementara itu di sisi lain, pemerintahan Jokowi

    dengan Doktrin Poros Maritim-nya menempatkan pembangunan kekuatan pertahanan maritim sebagai prioritas.

    Pelanggaran Wilayah Udara Indonesia

    Wilayah udara mempunyai nilai strategis yang harus diamankan. Melalui wilayah udara, musuh dapat dengan mudah melakukan penghancuran dengan cepat dan tepat di seluruh wilayah yang merupakan wilayah kedaulatan suatu negara. Untuk menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional, TNI AU saat ini didukung oleh 24 radar militer yang mencakup sebagian besar wilayah udara Indonesia. TNI AU juga memiliki total delapan skuadron tempur yang tersebar di berbagai kawasan Indonesia. Akan tetapi, TNI AU belum mencapai kondisi ideal

    *) Peneliti Muda Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, E-mail: [email protected].

  • - 6 -

    untuk mampu meliputi seluruh wilayah Indonesia dan menindak semua potensi pelanggaran di wilayah udara Indonesia, terutama kawasan timur. Kemampuan yang dimiliki TNI AU saat ini tidak sebanding dengan wilayah udara Indonesia yang sangat luas sehingga hanya sebagian potensi pelanggaran wilayah udara yang dapat dideteksi dan ditindak. Dokumen pembangunan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force) Kementerian Pertahanan menyebutkan bahwa untuk dapat menangkal berbagai ancaman aktual dan selaras dengan keterbatasan sumber daya, hingga tahun 2024 kekuatan udara minimal TNI AU harus sudah didukung oleh 32 satuan radar dan 11 skuadron tempur.

    Insiden pelanggaran wilayah udara yang terjadi beberapa waktu lalu mengingatkan pemerintah akan rentannya wilayah udara Indonesia. Sebagai contoh, sebuah pesawat sipil jenis Gulfstream IV terdeteksi telah memasuki wilayah udara Indonesia tanpa izin. Pesawat dengan Nomor HZ-103 itu berangkat dari Singapura menuju Darwin, Australia, sebelum menuju tujuan akhir di Brisbane. TNI AU mengirimkan dua pesawat tempur Sukhoi milik TNI AU dari Skuadron 11 Makasar untuk melakukan penyergapan dan pendaratan paksa. Menyadari berada dalam pengejaran, pesawat asing tersebut malah meningkatkan kecepatan, bukan memberi informasi kepada pesawat TNI AU yang mendekatinya. Melakukan pengejaran hingga melewati El Tari, Kupang, kedua pesawat Sukhoi TNI AU berhasil memaksa pesawat asing tersebut untuk mendarat di Lanud El Tari.

    Sikap pesawat asing tersebut mencerminkan rendahnya penghormatan mereka terhadap kedaulatan wilayah udara Indonesia. Keterbatasan radar militer mengakibatkan pelanggaran semacam itu sering sekali terjadi ditandai dengan seringnya pesawat-pesawat asing melintasi wilayah udara Indonesia tanpa dokumen dan izin lengkap.

    Dalam tahun 2014 saja, TNI AU telah beberapa kali melakukan pengejaran terhadap pesawat asing yang melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin, antara lain terhadap pesawat latih jenis Beechcraft asal Singapura pada bulan Oktober lalu. Dua pesawat Sukhoi dari Lanud Batam melakukan pengejaran yang akhirnya memaksa pesawat asing tersebut mendarat di Lanud Supadio, Pontianak. Sepekan sebelumnya, Sukhoi TNI AU juga mengejar pesawat latih asing dengan rute Australia-Filipina. Sebelum berhasil dipaksa untuk mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, pilot Sukhoi sempat mengunci sasaran pesawat tersebut karena mereka menolak

    untuk mendarat. Pada awal tahun 2014 TNI AU juga mendeteksi sebuah pesawat asing jenis Swearingen SX 300 yang memasuki wilayah udara Indonesia tanpa izin. Pelanggaran tersebut direspon TNI AU dengan menerbangkan dua pesawat tempur F-16 dan mencegat pesawat asing tersebut di sebelah barat Meulaboh, Aceh, yang kemudian mendaratkan paksa mereka di Lanud Soewondo, Medan.

    Pelanggaran wilayah udara bukan hanya terjadi pada tahun 2014 saja, tetapi juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh, pada Mei 2013 TNI AU Sultan Iskandara Muda menahan sementara pesawat jenis Dornier 328 milik militer AS di Bandara Sultan Iskandar Muda karena tidak memiliki izin terbang dalam wilayah Indonesia. Pada awal tahun 2012, dua pesawat Sukhoi TNI AU juga memaksa mendarat sebuah pesawat Cessna 208 milik AS. Radar Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) juga mendeteksi keberadaan pesawat angkut C17 Globemaster milik AU Amerika Serikat yang masuk melanggar wilayah udara Indonesia lewat Pekanbaru, Riau pada November 2011. Melalui jalur diplomasi dengan pihak AS, akhirnya TNI AU sepakat untuk menuntun Globemaster keluar dari wilayah udara sampai Morotai. Pemerintah Indonesia kemudian mengirimkan nota protes diplomatik terkait insiden tersebut.

    Uraian di atas mengenai pelanggaran-pelanggaran oleh pesawat asing terhadap wilayah udara Indonesia mempertegas bahwa persoalan ini bukan merupakan hal yang baru, dan bukan tidak mungkin jika ada lebih banyak lagi pelanggaran yang tidak terdeteksi. Akibat terbatasnya fasilitas radar TNI AU, diakui bahwa terdapat sejumlah wilayah udara Indonesia yang rawan pelanggaran. Sebagai wujud penjagaan dan pengelolaan kedaulatan Indonesia atas wilayah udara nasional, TNI AU telah beberapa kali memaksa pesawat asing yang melanggar wilayah udara Indonesia untuk mendarat dan pihak pelanggar pun dikenakan sejumlah denda, namun pada kenyataannya pelanggaran masih saja terus terjadi.

    Penambahan Besaran Dendaterhadap Pelanggar

    Pesawat-pesawat asing yang melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin dan berhasil dipaksa mendarat oleh TNI, dapat kembali melanjutkan penerbangan setelah mereka melengkapi dokumen-dokumen perizinan yang semestinya mereka miliki dan membayarkan sejumlah denda. Tindakan ini dibenarkan menurut hukum internasional, yaitu merujuk

  • - 7 -

    pada Konvensi Chicago 1944 dan UNCLOS 1982.Penerbangan sipil internasional diatur

    terutama melalui Konvensi Chicago 1944. Menurut Konvensi ini, setiap pesawat udara sipil memiliki hak untuk melakukan terbang lintas damai (the right of innocent passage), yaitu berhak untuk terbang melintasi ruang udara negara lain, tanpa mengadakan pendaratan asalkan negara yang dilintas terbangi itu sebelumnya diberitahu dan memberikan izin. Sementara itu, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 yang telah Indonesia ratikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS telah mengatur mengenai wilayah udara yang menjadi kedaulatan Indonesia. Dan merujuk pada kedua rezim internasional tersebut, Indonesia telah memiliki UU No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. UU ini menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara untuk mengatur penggunaan wilayah udara Indonesia, di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah NKRI tanpa izin dapat dikenakan pidana penjara atau sejumlah denda. UU ini lah yang menjadi dasar penetapan denda yang dikenakan terhadap pesawat-pesawat sipil asing yang melanggar wilayah udara Indonesia.

    Melihat pada perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, sebagian pihak mulai mempertimbangkan penambahan besaran denda yang dikenakan pada pihak pelanggar wilayah udara Indonesia. Tingginya biaya yang dihabiskan untuk setiap operasi pengejaran, tidak sebanding dengan jumlah denda yang dikenakan terhadap para pelanggar. Denda yang dikenakan pada pihak pelanggar adalah sebesar 60 juta rupiah, sementara biaya operasi satu unit pesawat tempur mencapai 400 juta rupiah. Kondisi ini memicu sebagian pihak untuk mengusulkan kenaikan besar denda yang dikenakan kepada pihak pelanggar guna memperbesar efek jera. Namun, apakah kebijakan itu dapat membantu menjaga wilayah udara Indonesia dari berbagai ancaman keamanan karena ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan terhadap penerbangan sipil?

    Detterent eect yang efektif terhadap pesawat-pesawat militer asing hanya dapat dihasilkan oleh sistem pertahanan udara yang kuat. Hanya kehadiran TNI AU di wilayah udara Indonesia yang dapat menjaga kedaulatan Indonesia. Dengan demikian, menjadi tuntutan pada pemerintah untuk dapat meningkatkan kemampuan deteksi, identikasi dan penindakan TNI AU terhadap pelanggar-pelanggar wilayah udara Indonesia jika ingin menegakkan

    kedaulatan di ruang udara Indonesia yang sangat luas. Peningkatan jangkauan radar-radar militer maupun memperbesar kekuatan pesawat tempur, serta sistem pertahanan udara lainnya menjadi kebutuhan mutlak TNI AU dalam menjalankan tugasnya, yang tentunya juga harus didukung oleh sumber daya manusia yang memadai.

    Pembangunan Kekuatan Pertahanan Maritim

    Kebutuhan peningkatan kemampuan penjagaan wilayah udara Indonesia harus berhadapan dengan prioritas pemerintahan Jokowi untuk membangun kekuatan pertahanan maritim. Pada pertemuan puncak East Asia Summit di Myanmar beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyampaikan kepada para pemimpin negara-negara Asia Timur mengenai Doktrin Poros Maritim yang akan menjadi arah kebijakan pemerintahannya dalam lima tahun kedepan. Dalam pidatonya, Jokowi memaparkan lima pilar Poros Maritim, yaitu pembangunan kembali budaya maritim Indonesia, komitmen menjaga sumber daya laut, membangun infrastruktur maritim, diplomasi maritim, dan pembangunan pertahanan maritim. Doktrin Poros Maritim dengan sendirinya menempatkan pembangunan kekuatan angkatan laut sebagai prioritas dalam membangun kemampuan militer Indonesia.

    Berada di kawasan yang tengah menghadapi ketegangan terkait persoalan sengketa batas maritim, maka pembangunan kekuatan pertahanan maritim Indonesia merupakan salah satu pilar Doktrin Poros Maritim yang tidak dapat diabaikan. Doktrin Poros Maritim mengharuskan terjadinya pergeseran prioritas pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia menuju laut. Dengan membangun kekuatan pertahanan maritim yang nantinya merupakan kombinasi antara coast guard dan angkatan laut, Pemerintahan Jokowi mengharapkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki jumlah kapal perang maupun kapal patroli yang signikan. Pembangunan kekuatan pertahanan maritim yang memadai tidak hanya penting untuk mengamankan kedaulatan maritim Indonesia, tetapi juga akan menopang upaya Indonesia untuk turut mempengaruhi masa depan kawasan Samudera Hindia dan Pasik, yaitu menjadi kawasan yang aman dan damai bagi perdagangan dunia bukan kawasan yang rawan perebutan sumber daya alam, konik teritorial, dan dominasi satu kekuatan.

    Bagi negara-negara Asia Tenggara,

  • - 8 -

    pembangunan kekuatan angkatan laut memang tengah menjadi prioritas, terutama bagi negara-negara yang terlibat sengketa wilayah maritim. Vietnam misalnya, dengan pertumbuhan ekonominya yang cukup baik dalam beberapa dekade terakhir telah memungkinkan Vietnam untuk menaikkan anggaran pertahanan secara signikan dan menempatkan modernisasi kekuatan angkatan laut sebagai prioritas. Vietnam berupaya membangun sejumlah kapal perang baru, melakukan peremajaan terhadap kapal-kapal perang yang sudah ada, serta melakukan modernisasi jaringan radar pengawas pantainya. Program modernisasi kekuatan angkatan laut Vietnam akan memungkinkan mereka untuk menjalankan operasi militer di kawasan maritim Vietnam, serta meningkatkan kemampuan pengawasan wilayah maritim melalui pengadaan sejumlah pesawat patroli maritim.

    PenutupSejumlah insiden-insiden pelanggaran

    wilayah udara Indonesia kembali terjadi dan mengingatkan bahwa wilayah udara Indonesia yang begitu luas sangat rentan dimasuki oleh pesawat asing, dan bahwa kemampuan Indonesia untuk mengawasi dan menjaga kedaulatan wilayah udara masih sangat terbatas. Penambahan besaran denda terhadap pesawat yang melanggar wilayah udara Indonesia dapat saja dilakukan guna menimbulkan efek jera. Perlu pula kiranya pemerintahan Jokowi mendesak negara-negara dimana pesawat asing yang melanggar tersebut terdaftar agar bertindak tegas terhadap mereka yang melanggar wilayah udara Indonesia demi menjaga hubungan baik dengan Indonesia. Negara-negara tersebut harus menghormati kedaulatan wilayah udara Indonesia dan memastikan operator maskapai penerbangan yang terdaftar di negaranya untuk mematuhi ketentuan penerbangan sipil internasional, terutama yang terkait perizinan melintasi ruang udara negara lain.

    Kebijakan penambahan besaran denda hanya akan efektif mencegah pelanggaran oleh pesawat-pesawat sipil, tidak terhadap pesawat militer. Dengan demikian, dibutuhkan peningkatan kehadiran TNI AU di wilayah udara Indonesia demi menjaga kedaulatan Indonesia di udara. Sementara itu, Doktrin Poros Maritim pemerintahan Jokowi telah menempatkan pembangunan pertahanan maritim sebagai prioritas pembangunan kekuatan militer Indonesia. Dengan kondisi demikian, menjadi

    keharusan bagi pemerintahan Jokowi untuk menjaga keseimbangan antara program pembangunan kekuatan pertahanan maritim dengan upaya meningkatkan kemampuan penjagaan wilayah udara Indonesia. Penting bagi DPR RI untuk terus mengawasi dan mengingatkan pemerintahan Jokowi agar tidak mengabaikan pentingnya membangun kemampuan pengawasan wilayah udara walaupun memberikan prioritas pada pembangunan kekuatan pertahanan maritim.

    Referensi"Keberadaan dan Peran ICAO dalam Penerbangan Sipil

    Internasional", http://tabloidaviasi.com/safety/keberadaan-dan-peran-icao-dalam-penerbangan-sipil-internasional/, diakses tanggal 20 November 2014.

    "Kedaulatan Udara, Kepentingan Bangsa", Kompas, 15 November 2014.

    "Kekuatan Udara Indonesia Kecil untuk Pengawasan", http://www.tempo.co/read/news/2014/11/04/078619509/Kekuatan-Udara-Indonesia-Kecil-untuk-Pengawasan, diakses tanggal 20 November 2014.

    "Menjaga Langit Indonesia", http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/11/13/neyls82-menjaga-langit-indonesia,diakses tanggal 20 November 2014.

    "Paskhas TNI AU Kepung Pesawat Latih Singapura", http://www.tempo.co/read/news/2014/10/29/078617829/Paskhas-TNI-AU-Kepung-Pesawat-Latih-Singapura, diakses tanggal 20 November 2014

    "Pesawat Arab Saudi di Kupang Akhirnya dilepas", http://www.tempo.co/read/news/2014/11/04/078619355/Pesawat-Arab-Saudi-di-Kupang-Akhirnya-Dilepas-, diakses tanggal 20 November 2014.

    "Pesawat Australia Mendarat karena Diancam Ditembak", http://www.tempo.co/read/news/2014/10/23/058616573/Pesawat-Australia-Mendarat-karena-Diancam-Ditembak, diakses tanggal 15 November 2014.

    "Pesawat Amerika Langgar Wilayah, Panglima TNI Protes", http://www.tempo.co/read/news/2011/07/20/078347476/Pesawat-Amerika-Langgar-Wilayah-Panglima-TNI-Protes, diakses tanggal 15 November 2014.

    "Presenting Maritime Doctrine", http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/14/presenting-maritime-doctrine.html

    "Respons Negara lain jika pesawat asing masuk", http://www.tempo.co/read/news/2014/10/24/078616802/R e s p o n s - N e g a r a - L a i n - J i k a - P e s a w a t - A s i n g -Masuk,diakses tanggal 20 November 2014

    "Syarat Agar Pilot Pesawat Australia Bebas", http://www.tempo.co/read/news/2014/10/24/058616796/Syarat-Agar-Pilot-Pesawat-Australia-Bebas, diakses tanggal 20 November 2014

    "Sukhoi Paksa Pesawat AS Mendarat, http://nasional.kompas.com/read/2012/10/01/16133041/Sukhoi.Paksa.Pesawat.AS.Mendarat.

  • - 9 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 22/II/P3DI/November/2014KESEJAHTERAAN SOSIAL

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    UPACARA BENDERADAN NASIONALISME

    Lukman Nul Hakim*)

    Abstrak

    Saran Menko Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani agar Kementrian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah kembali mewajibkan upacara bendera di institusi pendidikan perlu dikaji kembali. Upacara bendera dianggap dapat membantu menumbuhkan nasionalisme yang mulai luntur pada generasi sekarang. Sejauh ini belum ada penelitian ilmiah yang meyakinkan hal tersebut. Melalui wawancara dan kajian kepustakaan, penulis menganalisa pelaksanaan upacara bendera di sekolah Indonesia selama ini. Sebuah pembelajaran dapat diambil dari negara yang mendapat rangking teratas di dunia dalam hal nasionalisme dan patriotisme rakyatnya, yaitu Amerika Serikat (AS). Di AS, aktivitas Pledge of Allegiance merupakan ikrar personal yang dilakukan setiap hari. DPR RI perlu mendorong pemerintah untuk mengkaji upaya yang efektif dan esien untuk menanamkan nasionalisme.

    PendahuluanEverything changes but change itself,

    segala sesuatu berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian sebuah kata mutiara dari Jhon F. Kennedy. Jaman terus berubah sehingga tatanan kehidupan terus berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Perubahan jaman ini menjadi tantangan bagi tingkat nasionalisme bangsa, di mana ikatan seseorang terhadap tanah kelahirannya semakin renggang. Pada awal kemerdekaan, nasionalisme terbentuk dengan sendirinya karena bangsa Indonesia merasakan penjajahan selama ratusan tahun. Penindasan dan penderitaan tersebut menyatukan tujuan, yaitu untuk merdeka, bebas, dan maju. Adanya

    musuh bersama yang bersifat konkret, yaitu penjajah, memudahkan bangsa untuk bersatu untuk melawan. Saat ini, musuh bersama kita bersifat abstrak, yaitu keterbelakangan, kemiskinan, perilaku koruptif yang mengindikasikan lunturnya nasionalisme bangsa.

    Kegelisahan akan memudarnya nasionalisme masyarakat Indonesia disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani, dalam sebuah wawancara dengan media pada tanggal 31 Oktober 2014 atau empat hari setelah dilantik menjadi menteri. Puan menyampaikan bahwa dalam rangka menumbuhkan nasionalisme

    *) Peneliti Muda Psikologi pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, E-mail: [email protected]

  • - 10 -

    sejak usia sekolah ia telah meminta Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan menengah untuk kembali mewajibkan semua sekolah menggelar upacara bendera pada setiap pekannya. Menurut Puan melalui tradisi upacara bendera diharapkan anak-anak sekolah hapal dan memahami esensi dari lagu Indonesia Raya. Pernyataan tersebut menunjukkan Menko PMK meyakini bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara pelaksanaan upacara bendera dengan nasionalisme seseorang, dengan menjadikan hapal lagu Indonesia Raya sebagai salah satu variabel yang menjadi indikator nasionalisme seseorang.

    Pernyataan Menko PMK tersebut sebenarnya telah diutarakan Menteri Pendidikan Nasional M Nuh pada tahun 2010 yang menekankan institusi pendidikan untuk melakukan upacara bendera mulai tahun ajaran 2011/2012. Komentar yang dilansir Kompas, 30 April 2011 tersebut dikemukakan karena ditemukan kasus sekolah yang menolak melakukan upacara bendera. Sekolah tersebut menganggap menghormat bendera merupakan sesuatu yang dilarang.

    Pertanyaannya, adakah korelasi antara upacara bendera dan peningkatan nasionalisme seseorang? Apakah upacara bendera merupakan cara yang efektif untuk membangun nasionalisme? Tulisan ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara terhadap 3 partisipan dan kajian kepustakaan.

    Globalisasi dan NasionalismeKegelisahan Menteri PMK perihal akan

    tergerusnya nasionalisme oleh arus globalisasi juga telah dirasakan oleh Y.B. Mangunwijaya sejak tahun 1986 dan kemudian dibukukan pada tahun 1999. Pada tulisannya yang berjudul Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein ia menyatakan:

    maka dengan datangnya budaya informatika dan elektronika yang langsung mendambakan diri dalam penghayatan globalisasi seluruh aspek kehidupan sampai ke pelosok, jelaslah otomatis struktur nation dan nasionalisme dipertanyakan oleh generasi pasca zaman industri, pasca-Indonesia, pasca-nasionalis, yang sudah masuk ke dalam dunia informatika elektronik dan sudah menghayati budaya globalisasi.

    Lebih lanjut ia menuliskan:

    Generasi budaya informatika semakin merasa betapa nasionalisme ayah bunda mereka semakin lebih menjadi penghalang

    daripada penolong perkembangan diri mereka, bukan karena mereka mengalami erosi patriotisme, tetapi karena memang patriotisme kaum agraris, kaum industri, dan kaum informatika sudah menjadi lain: dari kepompong menjadi kupu-kupu. Identitas sama, tetapi gaya hidup lain. Dan panggilan sejarahnyapun sudah lain.

    Namun demikian, ada pandangan yang melihat justru sebaliknya. Barber (1995) dan Friedman (dalam Reier, 2003) justru mengatakan bahwa globalisasi akan berdampak pada revitalisasi identitas lokal. Arus globalisasi menurut Barber dan Friedman akan membuat masyarakat semakin menyadari dan memperkuat identitasnya, sehingga justru akan berdampak positif bagi masyarakat. Pendapat tersebut tidak salah, karena memang di tengah-tengah kuatnya arus globalisasi selalu ada individu-individu yang gelisah dan menentang arus dengan menghidupkan kembali identitas lokal. Namun demikian, individu-individu tersebut jumlahnya sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang memilih menikmati arus global. Bagaimana pun, upaya Menteri PMK dalam berbagi kegelisahannya itu patut dihargai agar upaya menjaga nasionalisme dapat dilakukan dengan sistematis dan berkesinambungan melalui kebijakan pemerintah.

    Upacara Bendera dan Nasionalisme

    Pada tahun 2010, Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional mencantumkan upacara bendera di sekolah sebagai kegiatan rutin peserta didik dalam program pengembangan diri, perencanaan, serta pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan.

    Upacara merupakan aktivitas yang dilakukan di waktu-waktu tertentu untuk memperingati sebuah kejadian. Aktivitas ini terkait dengan ritual adat, agama, atau kenegaraan. Secara resmi, upacara bendera Merah Putih di Indonesia dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini menandakan perjuangan panjang negara kita dalam meraih kemerdekaan. Untuk memperingati nilai-nilai kebangsaan itu, upacara benderapun diwajibkan di institusi pendidikan.

  • - 11 -

    Meskipun demikian, kewajiban ini tidak seluruhnya dilakukan oleh sebagian sekolah lainnya yang melaksanakan upacara hanya dua kali sebulan. Di Tawangmangu, Jawa Tengah, bahkan ada dua sekolah yang tidak melaksanakan upacara sama sekali meskipun setelah dibina oleh Pemerintah Daerah setempat pada akhirnya mau kembali melaksanakannya.

    Padahal, menurut Nurhayati (2013) yang melakukan penelitian kuantitatif terhadap peserta didik SMP 14 Bandung, upacara bendera berpengaruh positif terhadap peningkatan sikap nasionalisme peserta didik. Hal ini diperlihatkan dengan sikap menjaga dan melindungi negara, rela berkorban, bersatu, melestarikan budaya Indonesia, cinta tanah air, bangga berbangsa Indonesia, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Namun demikian, Nurhayati hanya mampu memotret nasionalisme mereka yang mengikuti upacara, ia tidak mengukur faktor lain yang mungkin

    menyebabkan peningkatan sikap nasionalisme.Dalam wawancara penulis dengan

    3 peserta didik sekolah menengah atas, ditemukan bahwa upacara bendera melatih kedisiplinan, membiasakan baris berbaris, melatih kepercayaan diri bagi petugas upacara, dan kebanyakan peserta didik menyatakan bahwa upacara bendera membuat mereka menghapal lagu Indonesia Raya, teks Pancasila, dan teks Undang-undang Dasar 1945. Akan tetapi, pelaksanaan upacara yang tidak efektif menyebabkan peserta didik tidak mendapat manfaat yang diharapkan. Upacara juga mengurangi waktu belajar, apalagi jika sekolah tidak memiliki sarana yang memadai sehingga harus menggunakan tempat di luar sekolah.

    Berdasarkan temuan di atas, penulis memetakan kebijakan upacara bendera di sekolah dasar dan menengah dalam diagram SWOT (Strength, Weakness, Opportunity & Threat) berikut.

    S melatih kedisiplinan, peserta didik juga menjadi terbiasa dengan

    baris berbaris, melatih kepercayaan diri bagi yang menjadi

    petugas upacara, dan kebanyakan peserta didik menjadi hapal

    lagu Indonesia Raya, teks Pancasila, dan teks Undang-undang Dasar 1945.

    W Partisipan tidak merasa mendapatkan manfaat yang besar dari upacara.Arahan pembina upacara yang membosankan karena topiknya tidak banyak berubah dari satu hari senin ke hari senin lainnya

    Upacara juga mengurangi waktu belajar Sarana tidak memadai: lapangan sempit

    O Kesempatan bagi guru yang bertugas sebagai pembina upacara untuk memperbaiki keterampilan berkomunikasi di depan massa

    Memberikan kesempatan bagi petugas upacara untuk melatih kemampuan paskibraka

    T Resistensi dari sudut pandang keagamaan Tidak ada tempat yang dapat dibangun untuk

    dijadikan lapangan

    Belajar dari Negara LainUntuk mempelajari bagaimana negara

    lain menanamkan nasionalisme ada baiknya kita mulai dari negara dengan tingkat nasionalisme paling tinggi di dunia. Menurut berbagai survei peringkat tertinggi adalah Amerika Serikat. The International Social Survey Program (ISSP) mempublikasikan hasil survei mereka yang mengukur nasionalisme dan patriotisme warga negara. Survei dilakukan di 33 negara dengan dua pertanyaan. Pertama, seberapa bangga seorang warga tinggal di negaranya tersebut? Kedua, apakah menurut mereka negara mereka superior dibandingkan negara lain? Hasilnya, urutan pertama adalah Amerika Serikat (AS), nomor dua Venezuela, dan nomor tiga Australia. AS juga menempati urutan pertama dalam hal nasionalisme dan patriotisme berdasarkan survei The Borgen Project dan majalah Forbes.

    Menarik untuk dikaji mengapa warga AS paling nasionalis di dunia. Apakah peserta didik di AS melakukan upacara bendera? Ternyata tidak. Di AS peserta didik diwajibkan untuk menyebutkan Pledge of Allegiance atau ikrar kesetiaan, sambil tangan kanan memegang dada kiri, menyatakan Saya berjanji setia kepada bendera Amerika Serikat, dan republik dimana saya berdiri, satu bangsa di bawah Tuhan, tak terpisahkan, dengan kebebasan dan keadilan bagi semua. Tradisi ikrar ini dimulai sejak tahun 1892. Sejak saat itu ikrar tersebut dilakukan secara rutin tidak hanya di sekolah-sekolah, bahkan sering juga dilakukan di perusahaan swasta maupun instansi pemerintahan sebagai ritual sebelum dimulainya rapat-rapat.

    Ikrar di AS tersebut memiliki beberapa kelebihan, Secara khusus kelebihan itu terkait dengan terciptanya hubungan yang lebih

  • - 12 -

    personal dengan peserta didik karena ada kata saya di dalamnya. Sebuah ikrar ataupun sumpah akan mengakibatkan disonansi kognitif bagi setiap orang yang telah membaca sumpah tersebut untuk tidak berperilaku sesuai ikrar tersebut.

    Walaupun Indonesia dan AS sama-sama memiliki ritual rutin dalam menumbuhkan rasa nasionalisme pada peserta didiknya, ritual di AS lebih berorientasi kepada substansi. Hal ini berbeda dengan upacara bendera di Indonesia yang terdiri dari serangkaian aktivitas yang dilakukan secara masif sehingga peserta didik merasa anonim dan tidak merasa penting untuk berpartisipasi. Dalam upacara bendera peserta upacara juga hanya pasif berdiri dan mendengarkan arahan pembina upacara.

    PenutupBelum ada dukungan ilmiah terhadap

    tesis pelaksanaan upacara bendera dapat meningkatkan nasionalisme. Oleh karena itu, saran Menko PMK masih perlu dikaji lebih lanjut. Namun demikian, kegiatan tersebut cukup memberikan dampak positif terhadap pembentukan sikap terkait nasionalisme. Upacara bendera yang dilaksanakan secara efektif dan esien dapat menjadi latihan bagi peserta didik, sehingga terbangun sikap-sikap positif, seperti peningkatan kepercayaan diri, tumbuhnya rasa tanggung jawab, dan menegakkan disiplin. Apalagi jika semua peserta didik diberikan kesempatan untuk menjadi petugas upacara, sehingga dapat melatih kepercayaan diri dan sikap kepemimpinan. Peran pembina upacara menjadi vital untuk mengkomunikasikan ide-ide yang dapat menginspirasikan peserta didik.

    Sesuai fungsi pengawasannya DPR RI perlu mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait upacara bendera. DPR RI dapat memberikan masukan kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mengkaji kembali upaya-upaya apa saja yang efektif dan esien dalam rangka menanamkan nasionalisme kepada peserta didik. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan sosial dan psikologis untuk mengembangkan sikap nasionalisme generasi muda.

    ReferensiBarber, B. 1995. Jihad vs McWorld: Terrorism

    Challenge to Democracy. New York: Ballantine Books.

    Mangunwijaya, Y.B. 1999. Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein: Esei-esei tentang Kebudayaan Indonesia Abad ke-21. Kanisius: Jakarta.

    Nurhayati, Y. 2013. Pengaruh Upacara Bendera terhadap Sikap Nasionalisme Peserta didik di SMPN 14 Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia: Skripsi.

    Rieer, B.A.J. 2003. "Religion and Nationalism: Understanding the consequences of a complex relationship. Ethnicities", Vol 3 (2), 215-242. DOI: 10.1177/1468796803003002003

    Sarwono, S. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka

    Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional

    Wajib, Upacara Bendera di Sekolah, h t t p : / / e d u k a s i . k o m p a s . c o m /read/2011/04/30/03111372/twitter.com, diakses tanggal 25 November 2014.

    Puan Maharani Ingin Wajibkan Semua Sekolah Lakukan Upacara Bendera,http://nasional.kompas.com/read/2014/11/02/16264921/Puan.Maharani.Ingin.Wajibkan.Semua.Sekolah.Lakukan.Upacara.Bendera, diakses tanggal 21 November 2014.

    Sekolah Tanpa Upacara Bendera,http://www.indosiar.com/fokus/sekolah-tanpa-upacara-bendera--_90939.html , diakses tanggal 20November 2014.

    Top 25 Most Patriotic Countries,http://www.tailribbons.com/blogs/news/12766957-top-25-most-patriotic-countries diakses tanggal 21 November 2014.

    10 Most Patriotic Countries in the World,http://www.borgenmagazine.com/10-patriotic-countries-world/, diakses tanggal 20 November 2014.

    World's Most And Least Patriotic C o u n t r i e s , h t t p : / / w ww . f o r b e s .com/2008/07/02/world-national-pride-oped-cx_sp_0701patriot.html diakses tanggal 20 November 2014.

  • - 13 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 22/II/P3DI/November/2014EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    DAMPAK KENAIKAN SUKU BUNGA ACUAN (BI RATE)

    Sony Hendra Permana*)

    Abstrak

    Pasca-naiknya harga BBM bersubsidi, otoritas moneter juga mengumumkan kebijakan kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) dari sebesar 25 basis poin (bps) ke level 7,75 persen. Kebijakan ini ditempuh dalam rangka menjangkar ekspektasi inasi dan memastikan bahwa tekanan inasi pasca-kenaikan harga BBM ini tetap terkendali. Namun demikian, kebijakan ini juga akan memberikan sejumlah dampak lain seperti kredit macet akibat kenaikan suku bunga kredit perbankan, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan potensi menurunnya penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan utang luar negeri. Selain itu, kenaikan BI Rate ini juga akan memukul industri akibat naiknya harga BBM bersubsidi, upah buruh, dan tarif listrik.

    PendahuluanBerselang satu hari setelah diumumkan

    kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia (BI), juga mengumumkan kenaikan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 bps menjadi 7,75 persen. Suku bunga lending facility juga mengalami kenaikan sebesar 50 bps menjadi 8,00 persen, sementara suku bunga deposit facility tetap pada level 5,75 persen berlaku efektif sejak 19 November 2014. Dalam siaran pers-nya, BI menyatakan kenaikan BI rate ditempuh untuk menjangkar ekspektasi inasi dan memastikan bahwa tekanan inasi pasca-kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan dapat segera kembali pada lintasan sasaran yaitu 41 persen pada tahun

    2015. Kenaikan lending facility yang lebih tinggi dari BI rate dan tidak dinaikkannya deposit facility karena untuk menjaga agar perbankan lebih memilih untuk meminjam/menempatkan ekses likuiditasnya melalui pasar uang antarbank.

    Selain itu, kebijakan menaikkan BI rate adalah untuk memastikan bahwa desit neraca transaksi berjalan tetap terkendali di sekitar 2,5 3 persen dari PDB dan tidak membesar, serta menjaga agar kepercayaan investor tetap kuat untuk mendukung pembiayaan pembangunan. Desit neraca transaksi berjalan atau current account desit (CAD) yang terkendali sangatlah penting untuk memastikan perekonomian nasional dapat menciptakan pertumbuhan kuat dan berimbang, serta penciptaan lapangan kerja

    *) Peneliti Muda Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, E-mail: [email protected] / [email protected].

  • - 14 -

    dapat terus berlanjut. Selain itu, kebijakan ini juga dibutuhkan untuk mempertahankan kepastian kepercayaan investor tentang keseluruhan konsistensi dan kualitas pengelolaan kebijakan ekonomi makro Indonesia di tengah-tengah semakin dekatnya peningkatan suku bunga global. Kepercayaan investor ini penting, agar likuiditas global yang mengalir ke pasar saham dan obligasi, terutama obligasi negara, tetap tinggi. Dengan demikian, kondisi ini pada akhirnya akan mengurangi beban pembiayaan pembangunan melalui Surat Berharga Negara.

    Dalam kurun waktu 2 tahun ini terjadi tren peningkatan BI rate yang cukup signikan, dari 5,75 persen di awal tahun 2013 menjadi 7,75 persen di akhir tahun ini (Gambar 1). Hal ini terjadi karena adanya tekanan dari dalam negeri seperti kenaikan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL), dan tekanan dari luar negeri.

    Dampaknya Terhadap Sektor Keuangan

    Kenaikan BI rate juga akan sangat berpengaruh terhadap sektor keuangan, khususnya perbankan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, kenaikan BI rate (25 bps) di atas steady state akan menyebabkan kenaikan bunga pinjaman sebesar 20 bps di atas steady state dan secara bertahap kembali ke keadaan steady state. Namun demikian, beberapa kalangan perbankan menilai peningkatan BI rate kali ini tidak akan berpengaruh secara signikan terhadap suku bunga kredit dan simpanan karena kedua suku bunga tersebut telah mengalami penyesuaian yang signikan sepanjang tahun ini. Namun demikian, jika kita melihat pengalaman kenaikan BI rate di awal bulan November 2013, beberapa bank langsung merespon kenaikan BI rate terhadap suku bunga dasar kreditnya, khususnya pada kredit modal kerja (lihat Gambar 2).

    Gambar 1. Pergerakan BI Rate Tahun 2013-2014

    Sumber: Bank Indonesia (diolah)

    Gambar 2. Suku Bunga Dasar Kredit Beberapa Bank Periode Oktober 2013 Januari 2014

    Nama BankSuku Bunga Dasar Kredit (%)

    Kredit Modal Kerja Kredit Konsumsi Okt 13 Nov 13 Des 13 Jan 14 Okt 13 Nov 13 Des 13 Jan 14

    BANK MANDIRI 14.92 14.92 14.92 14.92 11.63 11.62 11.63 11.63 BRI 13.67 13.83 13.83 13.83 11.13 11.13 11.13 11.25BCA 10.50 10.88 11.00 11.00 9.34 9.34 9.34 10.11 DANAMON 14.23 14.23 14.50 14.51 12.23 12.25 12.25 12.25CITIBANK 8.65 9.15 9.15 9.15 11.50 11.50 11.50 11.50 BPD JATIM 10.57 10.22 11.46 9.67 9.85 9.53 10.60 8.97

    Sumber: Bank Indonesia (diolah)

    0, 00

    1, 00

    2, 00

    3, 00

    4, 00

    5, 00

    6, 00

    7, 00

    8, 00

    9, 00

    10 Ja

    n - 1

    2 Jun

    13

    13 Ju

    n - 1

    0 Jul

    13

    11 Ju

    l - 28

    Ags

    13

    29 A

    gs - 1

    1 Sep

    t\ 13

    12 Se

    p - 1

    1 Nov

    13

    12 N

    ov 13

    - 17 N

    ov 14

    18 N

    ov 14

  • - 15 -

    Sementara itu pada pasar saham, kenaikan BI rate ini dinilai akan menekan pasar saham secara jangka pendek. Margin laba emiten pada kuartal IV/2014 hingga kuartal I/2015 diperkirakan akan tertahan. Pendanaan emiten akan tertahan akibat biaya (cost of fund) penerbitan surat utang tinggi. Kenaikan BI rate ini juga dinilai tidak berdampak baik pada pasar saham karena investor cenderung beralih ke deposito perbankan dibandingkan saham yang berisiko. Namun demikian, dalam jangka panjang, peningkatan BI rate ini akan menstabilkan ekonomi. Meskipun akan memberikan sedikit tekanan pada margin laba emiten, namun perubahan BI rate tidak akan memberikan pengaruh yang signikan terhadap perubahan IHSG keseluruhan mengingat pada dasarnya investor akan termotivasi untuk membeli saham perusahaan yang memiliki kinerja baik dan memiliki prospek usaha yang baik.

    Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia

    Secara teoritis, bank sentral menggunakan instrumen suku bunga acuan untuk menstabilkan (menahan) laju inasi. Kebijakan yang ditempuh otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan secara tidak langsung akan mengurangi jumlah uang beredar di pasar melalui dua mekanisme. Pertama, pemberian insentif kepada masyarakat untuk menabung dan mengurangi permintaan masyarakat untuk mengambil kredit. Kedua, karena jumlah uang yang beredar berkurang, maka secara otomatis nilai uang akan bertambah sehingga nilai barang dan jasa relatif menurun. Pada akhirnya, harga barang dan jasa juga akan mengalami penurunan sehingga laju inasi dapat ditahan. Namun demikian, dampak kenaikan BI rate terhadap inasi tidak akan secara langsung terjadi, setidak-tidaknya tidak baru akan terasa dua bulan setelah kebijakan tersebut dilakukan.

    Selain meredam laju inasi, kenaikan BI rate ini juga diharapkan mampu menciptakan stabilitas nilai tukar dan neraca pembayaran yang sehat. Naiknya BI rate akan memicu naiknya suku bunga di dalam negeri yang diharapkan mampu menahan capital outow dan menarik capital inow yang pada akhirnya akan memperbaiki desit neraca transaksi berjalan dan menguatkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.

    Namun demikian, beberapa kalangan menilai kebijakan moneter kali ini dinilai terlalu ketat mengingat proyeksi pertambahan inasi hanya sekitar 2 persen, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan inasi pada 2013 yang mencapai 8,28 persen pasca-kenaikan BBM pada bulan Juni 2013. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan akan memberikan tekanan yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang telah menunjukkan tren perlambatan. Pada kuartal III/2014 tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 5,01 persen atau menurun dibandingkan kuartal I dan II yang masing-masing sebesar 5,21 persen dan 5,12 persen. Diperkirakan pertumbuhan akan tertekan sebesar 0,5 persen akibat kebijakan tersebut.

    Dampak lain yang mungkin ditimbulkan dari kebijakan ini adalah kekhawatiran terhadap terdorongnya kecenderungan para pengusaha untuk memilih pinjaman dari luar negeri dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah. Hal ini akan mengakibatkan utang luar negeri akan semakin membesar. Berdasarkan data BI, posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir September 2014 tercatat sebesar USD 292,3 miliar, meningkat USD 6,1 miliar atau 2,1 persen dibandingkan dengan posisi akhir triwulan II/2014 senilai USD 286,2 miliar.

    Selain itu, naiknya BI rate dinilai akan melemahkan industri di dalam negeri. Kebijakan ini akan menambah beban lebih berat, khususnya bagi industri padat karya, karena saat ini pelaku usaha sedang mengalami tekanan yang sangat besar setelah kenaikan harga BBM naik, upah buruh, dan tarif listrik. Kenaikan BI rate akan berpotensi menimbulkan kredit macet, terutama di sektor kecil karena kenaikan BI rate ini akan berpengaruh pada meningkatnya suku bunga bank pada umumnya.

    Tekanan yang dialami oleh industri yang bertubi-tubi ini dikhawatirkan akan menyebabkan sejumlah usaha pada beberapa sektor usaha mengalami kepailitan. Meskipun shock yang disebabkan oleh kenaikan BI rate ini hanya dalam jangka pendek, namun beberapa usaha yang tidak memiliki ketahanan terhadap tekanan eksternal, khususnya UMKM, akan mendapat kesulitan dari kebijakan ini. Perlambatan pertumbuhan ekonomi juga akan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan

  • - 16 -

    angkatan kerja yang tinggi tidak dapat diserap sepenuhnya oleh dunia usaha akibat dari berkurangnya kegiatan ekonomi masyarakat.

    Salah satu sektor yang akan terkena dampak secara langsung akibat naiknya BI rate ini adalah sektor otomotif. Kenaikan BI rate ini dikhawatirkan akan mempengaruhi acuan kredit kepemilikan mobil ke pelanggan. Selain itu juga akan mempengaruhi suku bunga kredit untuk pendanaan perbankan ke sektor otomotif. Sektor properti juga merupakan sektor yang menghadapi tekanan berat terhadap kenaikan BI rate. Diperkirakan setiap kenaikan satu persen suku bunga akan menurunkan daya beli masyarakat sebesar 4-5 persen terhadap sektor properti.

    Untuk itu, agar pelaku usaha tidak terlalu lama menanggung beban akibat melonjaknya ongkos produksi karena kenaikan BI rate, BBM bersubsidi, dan tarif dasar listrik, pemerintah perlu melakukan akselerasi percepatan pembangunan infrastruktur agar alur distribusi barang dan jasa dapat lebih lancar, sehingga dapat mengurangi biaya bagi pelaku usaha. Dengan demikian, kegiatan ekonomi dapat tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.

    PenutupKenaikan harga BBM bersubsidi

    pertengahan bulan ini segera direspons oleh otoritas moneter dengan menaikkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 7,75 persen. Kenaikan ini ditempuh dalam rangka menjangkar ekspektasi inasi dan memastikan bahwa tekanan inasi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan dapat segera kembali pada lintasan sasaran yaitu 41 persen pada tahun 2015. Kenaikan BI rate juga bertujuan untuk memastikan bahwa desit neraca transaksi berjalan tetap terkendali di sekitar 2,5 3 persen dari PDB. Terhitung sejak awal tahun 2013 sampai saat ini, otoritas moneter telah menaikkan BI rate sebesar 2 persen.

    Kenaikan BI rate ini akan berpengaruh secara signikan terhadap perubahan suku bunga kredit perbankan. Sementara itu di pasar saham, secara jangka pendek margin laba emiten akan tertahan akibat biaya penerbitan surat utang tinggi. Namun, kenaikan BI rate ini juga memberikan tekanan bagi perekonomian yang akan mengurangi penyerapan tenaga kerja. Selain itu juga dikhawatirkan akan meningkatkan hutang

    luar negeri sebagai akibat beralihnya para pengusaha dalam mengakses pembiayaan ke luar negeri karena tingkat suku bunga di luar negeri lebih rendah. Bagi industri, kenaikan BI rate ini akan semakin memberikan pukulan pasca mendapatkan tekanan yang sangat besar setelah harga BBM naik, upah buruh naik, dan kenaikan tarif listrik.

    DPR RI perlu melakukan pengawasan lebih ketat terhadap kinerja pemerintah khususnya dalam pengelolaan anggaran negara. DPR RI juga perlu mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan proyek-proyek pembangunan infrastruktur agar menjadi insentif bagi pengusaha dalam melakukan kegiatan usahanya pascakenaikan tersebut. Momentum ini perlu diupayakan sehingga kegiatan ekonomi dapat bertumbuh dengan baik yang pada akhirnya berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

    Referensi"Bank Indonesia, Bauran Kebijakan Bank

    Indonesia Merespon Kebijakan Reformasi Subsidi BBM Pemerintah", 18 November 2014, http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_169214.aspx, diakses tanggal 20 November 2014

    "BI Rate Lemahkan Industri", Kompas, 20 November 2014

    BI Rate Naik, Kadin Indonesia: waktunya Salah, 20 November 2014, http://nansial.bisnis.com/read/20141120/9/274205/bi-rate-naik-kadin-indonesia-waktunya-salah, diakses tanggal 20 November 2014

    "Bankir: Tidak Pengaruhi Suku Bunga Bank. Kendalikan Inasi, BI Rate Naik ke 7,75 persen", Suara Pembaruan, 19 November 2014

    Umar Juoro, "Model Kebijakan Moneter Dalam Perekonomian Terbuka Untuk Indonesia", Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan Volume 16 Nomor 1 Juli 2013, Jakarta: Bank Indonesia, 2013.

    "Kenaikan BI Rate: Bank Indonesia Overdosis", Bisnis Indonesia, 19 November 2014.

    "Dampak BI rate | BEI Yakin Likuiditas Saham Tidak Akan Berkurang. Laba Emiten Akan Tergerus", Koran Jakarta, 20 November 2014.

    "Kebijakan BBM dan Kenaikan BI Rate Akan Redam Pertumbuhan Ekonomi", 19 November 2014, http://katadata.co.id/berita/2014/11/19/kebijakan-bbm-dan-kenaikan-bi-rate-akan-redam-pertumbuhan-ekonomi#sthash.aU2g2p7n.dpuf, diakses tanggal 20 November 2014.

  • - 17 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 22/II/P3DI/November/2014PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    PROBLEMATIKATENAGA AHLI DI DPR RI

    Riris Katharina*)Abstrak

    Tuntutan DPR RI akan dukungan keahlian yang semakin baik telah menimbulkan munculnya problematika terhadap keberadaan Tenaga Ahli (TA) di parlemen. Ada empat problematika besar yang dihadapi, yaitu soal jumlah, rekrutmen, manajemen kerja, dan kapasitas. Tulisan ini membahas satu per satu problematika tersebut. Agar tujuan dari hadirnya para TA DPR RI tercapai, yaitu membantu anggota DPR bekerja efektif, tulisan ini merekomendasikan agar pengaturan mengenai TA mengikuti UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan demikian, TA DPR RI merupakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, yang jumlah kebutuhannya harus didasarkan kepada analisis beban kerja; rekrutmennya didasarkan pada objektivitas; manajemen kerja menjadi jelas; dan peningkatan kapasitas dapat terus dilakukan.

    PendahuluanDalam perkembangan DPR RI dari

    masa ke masa terlihat adanya tuntutan kebutuhan dukungan keahlian dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya. Kesadaran akan pentingnya peran dukungan keahlian sesungguhnya sudah diawali pada masa DPR RI kepemimpinan Kharis Suhud pada tahun 1990-an. Hadirnya Bidang Pengkajian dan Analisis di bawah Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) yang berisikan para peneliti lulusan perguruan tinggi dari berbagai macam jurusan merupakan bukti adanya tuntutan kebutuhan DPR RI pada masa itu. Para peneliti ini memberikan dukungan keahlian kepada para anggota DPR RI melalui hasil riset, analisis, kajian, penyusunan naskah

    akademis, bahkan sampai pada perancangan undang-undang.

    Dalam perjalanan panjang DPR RI berikutnya, tuntutan akan dibutuhkannya dukungan keahlian kembali hadir dengan diaturnya mengenai keberadaan Tenaga Ahli (TA) yang semula diperuntukkan untuk alat kelengkapan dan fraksi pada tahun 1999. Tuntutan itu kemudian berkembang menjadi kebutuhan para anggota DPR RI yang direalisasikan dengan menyediakan TA bagi para anggota DPR RI sejak tahun 2004. Semula berjumlah 1 (satu) orang dan kemudian bertambah menjadi 2 (dua) orang untuk 1 (satu) anggota DPR RI pada tahun 2014. Jumlah TA di DPR RI periode 2009-

    *) Peneliti Madya Bidang Administrasi Negara pada Bidang Politi Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected].

  • - 18 -

    2014 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.Tabel 1 Jumlah TA di DPR RI

    Periode 2009-2014Penempatan TA Jumlah

    Pimpinan DPR 21Komisi (11 Komisi) 77Badan-Badan (7 Badan) 57Fraksi ( 9 Fraksi) 77Anggota DPR 1.110

    Total 1.342Sumber: Bagian Sekretariat tenaga ahli Sekretariat

    Jenderal DPR, 2014.

    Seiring dengan perkembangan waktu, beberapa masalah muncul terkait dengan keberadaan TA. Riset UNDP pada tahun 2008 misalnya, memperlihatkan beberapa permasalahan tersebut. Permasalahan tersebut antara lain soal alokasi staf, rekrutmen, manajemen, dan kapasitas. Dari sisi internal Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI, sebagai unit sistem pendukung DPR RI, permasalahan yang muncul selain beberapa hal yang menjadi temuan UNDP juga menyangkut nomenklatur TA (padahal para peneliti juga memberikan dukungan keahlian), disiplin kerja, dan mekanisme kerja antara TA dengan sistem pendukung di Setjen DPR RI.

    Problematika TA DPR RIBeberapa problematika terkait dengan

    keberadaan TA DPR RI, yaitu: pertama, alokasi TA. Jumlah TA yang disediakan selalu dirasa kurang dari yang dibutuhkan. Jumlah ini diukur dari beban kerja yang terdapat di masing-masing alat kelengkapan, fraksi, dan anggota. Akan tetapi, belum pernah ada pengukuran yang jelas mengenai ini.

    Kedua, rekrutmen. Praktek perekrutan untuk TA yang berkualitas dan bisa bekerja dengan esien dan memenuhi syarat serta transparan belum diterapkan. Perekrutan TA belum sepenuhnya dilakukan secara terbuka bagi semua pelamar yang memenuhi syarat, bahkan lebih banyak yang berasal dari para aktivis partai. Prinsip profesionalitas sangat jauh diterapkan.

    Ketiga, manajemen kerja. Hingga saat ini belum ada struktur organisasi yang jelas untuk dapat mengelompokkan TA tersebut. Rantai komando untuk memperlancar jalur komunikasi dan alur informasi antara anggota dengan TA dan para pendukung keahlian di Setjen DPR RI tidak ada sehingga selalu menimbulkan salah paham.

    Keempat, kapasitas. Rekrutmen yang kurang baik berakibat pada munculnya masalah dalam hal kapasitas TA. Celakanya, karena sebutan TA sehingga dianggap sudah ahli, tidak ada perencanaan pelatihan pengembangan keahlian oleh pihak Setjen DPR RI dalam rangka peningkatan kapasitas mereka .

    Posisi TA DPRDalam UU Nomor 17 Tahun 2014

    tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ketentuan mengenai sistem pendukung diatur dalam Bab VII. Dalam Pasal 413 disebutkan bahwa organisasi sistem pendukung di DPR RI yaitu Setjen DPR RI dan Badan Keahlian DPR. Pasal 415 menegaskan bahwa pegawai Setjen DPR RI dan Badan Keahlian DPR RI terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai tidak tetap. Tidak berhenti sampai di sini, pengaturan mengenai sistem pendukung juga mengatur kelompok pakar atau tim ahli di dalam Pasal 416 dan TA di dalam Paragraf 5 Pasal 417.

    Dalam Pasal 417 disebutkan bahwa TA alat kelengkapan DPR, TA anggota DPR, dan TA fraksi adalah tenaga yang memiliki keahlian tertentu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi alat kelengkapan DPR, anggota dan fraksi. Rekrutmen TA dilakukan oleh alat kelengkapan DPR, anggota, dan fraksi yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Sekretaris Jenderal DPR.

    Merujuk kepada UU MD3 kita dapat mengatakan bahwa TA merupakan bagian dari sistem pendukung yang secara organisasi berada di luar Setjen DPR RIdan Badan Keahlian DPR RI, mengingat pengaturannya berbeda paragraf. Organisasi diatur di Paragraf 1 sedangkan TA diatur dalam Paragraf 5. Bahkan, para perancang UU MD3 membuat pemisahan antara pegawai DPR RI yang tercantum dalam Paragraf 3 dengan TA. Seolah-olah mereka hendak mengatakan bahwa TA bukan bagian dari pegawai DPR RI. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah kalau TA bukan bagian dari pegawai DPR RI, lalu bagaimana posisinya? Bagaimana mengatasi masalah yang dihadapi selama ini?

    Sebagai orang yang bekerja di lembaga DPR RI, yang notabene bukan merupakan instansi swasta, maka kedudukan TA di

  • - 19 -

    DPR RI tidak bisa terlepas dari pengaturan UU UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa yang melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu diserahkan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara. Adapun yang dimaksud dengan tugas pelayanan publik, yaitu memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif. Tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan (dalam rangka) pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

    Berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat mengatakan bahwa TA DPR RI juga merupakan pegawai ASN karena mereka melaksanakan tugas pembangunan tertentu. Tugas pembangunan tertentu setidak-tidaknya dapat dimaknai bahwa para TA tersebut mendukung tugas-tugas konstitusional anggota DPR RI dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat. Sebagai pegawai ASN, menurut Pasal 6 UU ASN, TA masuk ke dalam kategori PPPK, yaitu Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dikatakan demikian, karena mereka diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Hal ini sejalan dengan ketentuan di dalam Pasal 415, di mana Setjen DPR juga memiliki pegawai tidak tetap.

    Dengan demikian, jika TA di DPR RI merupakan PPPK, beberapa problematika yang dihadapi oleh TA selama ini sudah terjawab. Pertama, alokasi TA. Pasal 94 UU ASN jelas menyatakan bahwa Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan. Itu artinya, tidak akan terjadi kekurangan TA di DPR RI, baik yang di alat kelengkapan, fraksi, ataupun yang

    melekat pada anggota DPR RI. Analisis jabatan dan analisis beban kerja tentu akan memperhatikan juga beban kerja yang sudah dibagi dengan PNS yang bekerja di lingkungan DPR RI dengan sektor pekerjaan yang sama. Misalnya, yang mendukung fungsi keahlian di bawah Setjen DPR RI antara lain peneliti, perancang undang-undang, dan analis APBN.

    Jumlah orang tentu akan mempengaruhi bentuk organisasi. Dengan demikian kiranya menjadi hal yang aneh seandainya jumlah TA besar namun tidak ada organisasi yang mengaturnya. Penambahan jumlah pegawai akan membuat ukuran organisasi menjadi lebih besar, yang menunjukkan adanya hubungan antara kompleksitas horisontal dengan ukuran organisasi. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa dalam banyak parlemen, kebutuhan akan pegawai harus memperhatikan tujuan akhir yaitu agar para anggota DPR bekerja dengan efektif dalam mewujudkan tanggung jawabnya.

    Kedua, rekrutmen. Pasal 96 ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa Pengadaan calon PPPK dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan pengangkatan. Pasal 97 menyatakan bahwa Penerimaan calon PPPK dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualikasi, kebutuhan Instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. Ketentuan ini sudah jelas mengatur mengenai proses rektrutmen bagi PPPK. Apabila TA merupakan PPPK, rekrutmennya harus jelas didasarkan pada penilaian objektif, mempunyai kompetensi tertentu, kualikasi, kebutuhan, dan yang paling penting persyaratan tambahan yang bagi anggota serta fraksi yang sangat kental nuansa politiknya akan mempunyai kriteria tambahan. Misalnya, sesuai dengan garis partai atau dapat bekerja sama dengan penggunanya. Di parlemen Jerman, Bundestag, para anggotanya merekrut TA sesuai dengan peraturan yang pelaksanaannya diawasi oleh pihak Setjen. Menurut anggota Bundestag, hal tersebut bukan menghambat mereka, namun menjaga mereka agar tidak melanggar hukum.

    Ketiga, manajemen kerja. Selama ini

  • - 20 -

    belum ada peraturan yang mengatur mengenai manajemen kerja TA. Itu sebabnya, hingga saat ini tidak ada hubungan kerja antara PNS yang memberikan pelayanan keahlian di DPR seperti peneliti dan perancang undang-undang dengan para TA sehingga mekanisme kerjanya tidak sinergis dan bahkan terkesan tidak saling terkait.

    TA juga tidak dikenakan penilaian kinerja atau aturan disiplin sebagaimana PNS, di mana ada penilaian kinerja yang dievaluasi setiap tahun dan disiplin berupa ketentuan untuk masuk jam kerja tepat waktu. Namun demikian, di sisi lain, TA juga tidak mendapatkan penghargaan, ketentuan yang tegas mengenai pemutusan hubungan perjanjian kerja, atau perlindungan. Dalam UU ASN sudah jelas mengatur mengenai hak dan kewajibannya. Dalam UU ASN disebutkan bahwa PPPK berhak atas gaji dan tunjangan; cuti; perlindungan; dan pengembangan kompetensi.

    Keempat, kompetensi. Dalam Pasal 102 UU ASN disebutkan bahwa PPPK diberikan kesempatan untuk pengembangan kompetensi. Kesempatan untuk pengembangan kompetensi direncanakan setiap tahun oleh Instansi Pemerintah. Pengembangan kompetensi tersebut harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk perjanjian kerja selanjutnya. Dengan demikian, tidak ada lagi permasalahan bahwa TA tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kompetensinya seperti yang selama ini dirasakan.

    PenutupTuntutan DPR RI untuk meningkatkan

    kinerjanya dengan menaikkan jumlah TA tidak akan dapat berjalan sinergi, apabila pengaturan mengenai TA tidak dipandang dari penyelesaian atas problematika yang dihadapi selama ini. Posisi TA menurut UU MD3 terlihat tidak mampu menjawab permasalahan yang ada selama ini. Dengan pengaturan TA menurut UU MD3, problematika yang dihadapi oleh TA akan terus terjadi tanpa solusi yang baik. Saat ini DPR RI baru saja menetapkan Peraturan DPR RI tentang Pengelolaan TA dan Staf Adminstrasi Anggota DPR RI. Namun demikian, berbagai problematika TA di DPR RI sebagaimana dikemukakan dalam tulisan ini perlu kiranya diperhatikan.

    Tulisan ini merekomendasikan agar pengaturan mengenai TA untuk memperhatikan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Dengan demikian, segala problematika yang ada diharapkan akan dapat diselesaikan. TA dapat bekerja dengan tenang dan tentunya dapat memberikan dukungan maksimal kepada para anggota DPR karena terdapat kepastian hukum atas kerjanya. Di lain pihak, DPR RI juga akan mendapat kontribusi positif dari hal tersebut sehingga diharapkan para anggota DPR RI menjadi lebih mampu bekerja secara efektif, situasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas kerja DPR RI dan menimbulkan efek hadirnya tanggung jawab anggota DPR RI akan kewajibannya ke depan.

    Referensi A.F Leemans, The Management of Change

    in Government, Martinus Nijho, The Hague, 1976.

    David Beetham, Parliament and Democracy in the Twenty-First Century: a Guide to Good Practice, Inter Parliamentary Union, Switzerland, 2006.

    Laporan Studi Banding Pansus RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD ke Jerman, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2008.

    Patrick R Cadle, Staf Fraksi: Wilayah Kerja dan Praktek-Praktek Terbaik (Best Practices), UNDP, Jakarta, 2008.

    Ribuan Staf Ahli DPR RI Goblok?, http:/ /endibiaro. blogdetik. com/ index.php/2013/03/19/staf-ahli/comment-page-1/, diakses tanggal 20 November 2014.

    S.B Hari Lubis, Martani Husein, Pengantar Teori Organisasi: Suatu Pendekatan Makro, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Depok, 2009.

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.