perspektif vol.2

9
Buletin Departemen Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwiijaya Vol. 2 PERSPEKTIF

Upload: kajian-strategis-bem-fk-unsri

Post on 13-Mar-2016

230 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Buletin Dept. Kajian Strategis BEM FK Unsri

TRANSCRIPT

Page 1: Perspektif Vol.2

Buletin Departemen Kajian Strategis

Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwiijaya

Vol. 2

PERSPEKTIF

Page 2: Perspektif Vol.2

“Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo

Mangun Karso, Tut Wuri

Handayani.”

– Ki Hajar Dewantara

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL!

Pendidikan dibuat bukan untuk memproduksi jutaan cetakan berulang yang isinya persis

dan serupa. Justru, keberagaman dan kemampuan dari setiap produk dalam menemukan

ciri khasnya masing-masing lah yang patut dijadikan tolak ukur keberhasilan.

Pendidikan dibuat bukan untuk membesarkan manusia-manusia yang hanya bisa menelan

bulat-bulat apa yang diberikan kepada mereka. Rasa keingintahuan yang besar untuk

membuktikan berbagai teori serta keberanian yang besar untuk terlepas dari “kebiasaan

yang sudah ada” lah yang patut dijadikan tolak ukur keberhasilan.

Pendidikan selama ini terlalu melekat dengan kesan cara belajar yang formal. Pendidikan

selalu dikait-kaitkan dengan sarjana, seolah-olah orang pasti akan lebih sukses jika sudah

menamatkan jalur pendidikan formal. Padahal ilmu yang terbaik adalah ilmu yang dipungut

dari jalanan. Ada jurang perbedaan yang sangat nampak di antara orang-orang teoritis

dan orang-orang praktis. Dan keduanya pantas untuk disebut orang berpendidikan.

Pendidikan itu dilakukan bukan untuk membuat kepala kita semakin mendongak ke atas.

Didikan yang benar akan menyadarkan kita bahwa terlalu banyak hal yang belum

tersentuh oleh makhluk ciptaan Tuhan yang tidak ada apa-apanya.

Pendidikan adalah sebuah kebutuhan primer. Setiap manusia butuh dididik untuk menjadi

manusia seutuhnya. Karena itu, perbaikan dari bidang pendidikan tidak dan jangan sampai

pernah terhenti selama kita masih mau menjadikan manusia dalam wujud yang lebih baik

lagi.

SEMOGA ENGKAU BUKAN HANYA SEORANG PENONTON YANG TERDIDIK TAPI JUGA SEORANG

YANG MAMPU MENJADI PELAKU DARI KEMAJUAN PENDIDIKAN DI NEGERI INI.

Redaksi: Sriwulan R. Putri (PDU R/10) ● Dwi Utami P.(PDU NR/10) ● Rizky Amellia Andreasari (PDU R/10) ●

Retno Susilowati (PDU R/10) ● Fakrocev Charlie G. (PDU R/10)● Amelia (PSIK/10)

Page 3: Perspektif Vol.2

Efektivitas OSCE Nasional sebagai Penyetaraan Kualitas Profesi

Dokter di Indonesia Masih Dipertanyakan

Mahasiswa kedokteran tentunya mendambakan masa depan sebagai seorang dokter yang sukses baik dalam profesi ataupun kehidupan pribadinya. Namun, tahukah Anda untuk mencapai kesuksesan tersebut dibutuhkan jalan yang panjang untuk meraihnya?

Skema di atas menunjukkan jalan yang harus ditempuh oleh seorang mahasiswa kedokteran produk KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) untuk menjadi seorang dokter yang diakui secara oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Diawali dengan pendidikan pre-klinik lalu pendidikan profesi dan akhirnya memperoleh gelar “dokter” di depan nama masing-masing. Namun setelah memperoleh gelar tersebut, seorang dokter tidak dapat serta merta dapat membuka praktek karena walaupun setelah lulus para dokter ini belum memperoleh ijazah. Seorang dokter haruslah mengikuti UKDI yaitu Uji Kompetensi Dokter Indonesia yang dilaksanakan dengan Computer BasedTesting. Apabila seorang dokter berhasil melalui UKDI ini barulah dengan ijazah dokter bersama sertifikat kompetensi sementara diberikan hanya untuk menjalankan intership. Setelah selesai intership, barulah sertifikat kompetensi diberikan untuk menerbitkan STR (Surat Tanda Registrasi). Panjang kan jalannya? Nah lebih lengkapnya lihat skema di atas ya J Namun apakah Anda tahu bahwa UKDI mengalami transformasi dari tahun ke tahun pelaksanaannya?

UKDI mulai dilaksanakan sejak tahun 2007. Pada mulanya, UKDI dilakukan dengan metode Paper Based Testing

(dengan menggunakan kertas ujian). Lalu UKDI bertransformasi dari yang semula berupa PBT (Paper Based Test)

menjadi CBT (Computer Based Test) dengan kata lain ujiannya sudah tidak lagi menggunakan kertas melainkan

langsung mengerjakan didepan komputer. Sistem CBT ini sudah dimulai pada periode UKDI XVII Agustus 2011. Pada

periode ini tampak kenaikan jumlah retakers dengan angka kegagalan 41,44% dari seluruh peserta se-Indonesia.

Tidak hanya itu, UKDI akan mengalami perubahan lain berupa penambahan penilaian pencapaian keterampilan klinik

Page 4: Perspektif Vol.2

dengan penambahan OSCE (Objective Structural Clinical Examination) yang dilaksanakan secara nasional. Osce nasional

merupakan OSCE yang memiliki standard setting untuk semua institusi pelaksana. Jumlah station maksimal adalah 7

station dengan tetap memiliki standar pasien simulasi. Isi soal setiap putaran yaitu: History taking minimal 4 station,

Physical Examination minimal 4 station, Tests & Procedures minimal 2 station, Management minimal 2 station, Commu-

nication & Patient Education minimal 2 station, Perilaku Profesional ada pada setiap station. Beberapa instrumen yang

ada dalam penyelenggaraan OSCE nasional adalah Persyaratan Penguji, Pemilihan Penguji, Pelatihan Penguji Nasional,

Evaluasi Penguji, Supervisor, Prosedur Penyelenggaraan Ujian, Tata Tertib Penguji, Kode Etik Penguji, Instrumen

Penilaian, Instruksi Penguji, Instruksi Kandidat, Skenario, Pasien Simulasi. Tempat penyelenggaraannya memiliki be-

berapa syarat yang harus dipenuhi, seperti: Tersedia minimal 12 ruang yang memadai, Ruangan dalam satu lantai, Per-

alatan dan bahan sesuai standar yang ditetapkan oleh pengembang soal beserta cadangannya, Bersedia menerima kan-

didat dari institusi pendidikan kedokteran lain dengan biaya mengikuti standar nasional, Menyiapkan panitia penye-

lenggara lokal dan staf pendukung penyelenggaraan OSCE: staf pengumpul data hasil ujian, kebersihan, penyiapan alat,

dll. Adapun Syarat khusus sebagai penyelenggara OSCE : Menyediakan standardized patient (SP) sesuai standar yang

ditetapkan oleh pengembang soal (minimal 15 pasien simulasi), Memiliki penguji yang bersertifikat dari yang berwe-

nang di tingkat nasional (minimal 26 orang).

Tujuan OSCE yaitu menilai kompetensi dan ketrampilan klinis mahasiswa secara objektif dan terstruktur. Pelatihan dan

percobaan OSCE Nasional pun telah dilaksanakan mulai dari Juli 2011, Oktober 2011, dan Januari 2012 ini. Tahun 2013,

Dikti akan melaksanakan OSCE Nasional sebagai salah satu syarat menjadi dokter setelah dinyatakan lulus/kompeten

dari ujian OSCE ini.

Keunggulan OSCE adalah valid, reliable serta setting klinik yang nyata dan menarik. Berbagai ketrampilan klinis

kompetensi dokter dapat diujikan dalam waktu relatif singkat. Beberapa setting kompetensi standard dapat ditetapkan

secara objektif. Variasi pasien dan penguji dapat dikurangi dan format OSCE bersifat fleksibel. Selain itu, pengamatan

langsung pada tiap mahasiswa terstruktur/terencana dan feasibility.

Dibandingkan dengan keunggulan tersebut, masih ada beberapa hal yang harus disoroti dalam pelaksanaan OSCE

nasional ini. Pertama, kesiapan dari masing-masing fakultas untuk melengkapi sarana dan prasarana yang berkaitan

dengan OSCE tersebut. Apakah skill lab yang selama ini diajarkan sudah memenuhi standar OSCE nasional? Apakah

sarana dan prasarana yang digunakan sudah sesuai dengan sarana yang nanti akan digunakan pada saat OSCE

nasional? Lalu bagaimana dengan pelaksanaan skill lab pada universitas yang akreditasinya lebih rendah dan terletak di

daerah? Apakah sama pelaksanaannya? Jika jawabannya tidak, maka OSCE nasional ini perlu diperjelas dan diperbaiki.

Pelaksanaan OSCE Nasional juga tentunya membutuhkan biaya yang besar dan fasilitas yang memadai seperti ruangan

sebanyak 12 ruang dalam 1 lantai, standardized patients yang tentunya membutuhkan bantuan ahli teater yang cukup

banyak, penguji yang kompeten dan masih banyak lagi. Apakah masing-masing institusi dapat menyiapkan semua

sarana dan prasarana tersebut? Bagaimana dengan Universitas kita (Unsri)?

Kedua, kesiapan dari tenaga pendidik dan penguji OSCE Nasional di masing-masing institusi. Apakah tenaga pendidik

tersebut sudah menyamaratakan detail skill lab yang mereka ajarkan kepada mahasiswa? Dan bagaimana dengan

universitas yang hanya memiliki sedikit Guru Besar? Apakah keadaan tersebut akan berimbas pada keberhasilan OSCE

universitasnya? Secara tidak langsung, keberhasilan OSCE Nasional juga dapat melihat kompetensi dokter-dokter

sebagai tenaga pendidik apakah telah membekali mahasiswanya dengan ilmu yang memadai atau tidak. Pengaruh

akreditasi fakultas juga akan berpengaruh terhadap angka keberhasilan ini karena biasanya fakulatas kedokteran

dengan akreditasi yang baik akan memiliki tenaga pendidik yang lebih berpengalaman dan tentunya tenaga pendidik

Page 5: Perspektif Vol.2

tersebut juga akan dipercaya sebagai penguji yang kompeten. Apakah setiap fakultas kedokteran di masing-masing

universitas mampu untuk menyanggupi hal tersebut? Apakah kesenjangan akreditasi akan menjadi titik permasalahan

keberhasilan lulusan OSCE nasional?

Ketiga, persiapan dari mahasiswa itu sendiri. Dengan adanya OSCE Nasional, seorang mahasiswa kedokteran dituntut

untuk memiliki kemampuan yang tidak hanya mengutamakan penguasaan prinsip-prinsip dasar mekanisme timbulnya

penyakit, clinical reasoning, serta critical thinking dalam kerangka pemecahan masalah/problem solving tetapi juga

kemampuan untuk melakukan pemeriksaan secara klinis. Nah, apakah seorang dokter yang mengikuti OSCE nasional ini

sudah siap? Apakah bekal yang diberikan di masing-masing universitas sudah memadai? Keberagaman pendapat dari

para ahli dalam melakukan pemeriksaan menjadi titik lemah dari OSCE asional karena dapat menimbulkan subjektivitas

dari penguji yang sekaligus memberikan nilai. Memang subjektivitas ini dapat dikurangi dengan adanya checklist yang

diseragamkan di seluruh universitas pelaksana OSCE nasional namun kecenderungan untuk menimbulkan subjektivitas

mungkin terjadi. Tidak hanya itu, keanekaregaman teknik yang diajarkan dalam melakukan pemeriksaan di masing-

masing institusi juga menjadi salah satu kendala dilaksanakannya OSCE Nasional. Selain itu, pelaksanaan OSCE nasional

di masing-masing institusi akan mengalami keberagaman mulai dari fasilitas, penguji, pasien, dan lain sebagainya.

Dari hal-hal yang telah dijelaskan di atas, apakah Indonesia sudah cukup siap untuk melakukan OSCE secara Nasional?

Apakah solusi penyamarataan kualitas kompetensi dokter melalui UKDI berupa ujian tertulis secara CBT dan OSCE

nasional merupakan solusi yang tepat? Bagaimana dengan kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia? Apakah

sudah tidak perlu diperbaiki lagi? Lalu, bagaimana pendapat kalian mengenai sistem pendidikan kedokteran yang kita

alami? Sudah sesuai standarkah? Siapkah Anda untuk menghadapi OSCE Nasional?

Masih banyak hal yang dapat dipertanyakan mengenai pelaksanaan OSCE Nasional. Kejelasan mengenai hal-hal yang

mendetail pun masih belum ada. Jadi, mulai saat ini, tingkatkan kepedulian Anda terhadap nasib kita sebagai calon

dokter di masa depan. Buka wawasan Anda terhadap apa yang terjadi di sekitar terutama yang berkaitan dengan

profesi kita kelak.

Ayo jadi mahasiswa kedokteran yang Kritis, Aktif, Selektif, Terbuka, Rasional, Arif, dan Tanggap!

Kastrat BEM FK Unsri Retno Susilowati

Sumber : http://fk.ugm.ac.id/2011/10/16/fk-ugm-sebagai-center-uji-coba-osce-nasional/ http://forumfkunsyiah.com/threads/ku-letakkan-kiprahku-di-ukdi-osce-nasional-dan-internship.4203/ http://sibermedik.com/simulasi-cbt-ukdi-di-rekansejawat-com http://www.fk.unair.ac.id/index.php/Kilasan/uji-kompetensi-dokter-indonesia-ukdi.html http://inamc.or.id/?open=detHome&id=220

Page 6: Perspektif Vol.2

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER

Dewasa ini masih banyak teman sejawat yang bertanya-tanya tentang apa itu Program Internship Dokter

(PID). Meskipun semua mahasiswa kedokteran pastinya sudah sering mendengar tentang PID, tetapi masih ada

sebagian mahasiswa yang belum mengetahui informasi lengkap seputar PID. Dasar Program Internship Dokter

ini adalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, sesuai dengan amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun

2003, peningkatan kualitas tenaga dokter ini akan dilakukan melalui penerapan program Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK) oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005

maupun yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2006.

Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) sejak tahun 2003 hingga 2008 telah

menjalankan proyek yang bernama Health Worksforce and Service (HWS). HWS ini adalah suatu proyek yang

didalamnya mempersiapkan dan menerapkan KBK di seluruh Institusi Pendidikan Dokter. Program ini pada

awalnya dilakukan secara bertahap, tetapi pada hasil akhirnya, seluruh Institusi Pendidikan Dokter telah

berhasil menerapkannya. Dalam sistem HWS ini, mahasiswa yang mengikuti KBK harus melanjutkan program

pemutakhiran kompetensi melalui Internship.

Sesuai Perkonsil Pasal 1 Nomor 1 Tahun 2010, definisi Internsip adalah pelatihan keprofesian berbasis

kemandirian pada pelayanan primer guna memahirkan kompetensi, meningkatkan kinerja, dan menerapkan

standar profesi pada praktik kedokteran setelah selesai pendidikan dokter dan uji kompetensi. Peserta PID

adalah dokter yang telah lulus program studi pendidikan dokter dan telah lulus uji kompetensi namun belum

mempunyai kewenangan untuk praktik mandiri. Kegiatan internsip dilakukan terpisah dari program

pendidikan dokter yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan kedokteran.

Jangka waktu pelaksanaan PID adalah 1 tahun dan apabila kompetensi belum dapat dicapai sesuai ketentuan,

Page 7: Perspektif Vol.2

maka dapat diperpanjang sesuai waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya. Setelah melewati jangka waktu

tertentu, peserta PID yang tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan maka dinyatakan tidak dapat

melanjutkan PID dan tidak boleh berpraktik profesi dokter (Perkonsil Pasal 6 Nomor 1 Tahun 2010). PID

dapat dilaksanakan di rumah sakit (RS), klinik dokter keluarga, pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), balai

kesehatan masyarakat, dan klinik layanan primer lainnya milik pemerintah atau swasta.

Penyelenggaraan pelaksanaan PID dilakukan oleh Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) bekerjasama

dengan pemangku kepentingan dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota

(Perkonsil Pasal 9 Nomor 1 Tahun 2010).

Sebagai informasi tambahan, rekomendasi penyelenggaraan Internship merupakan hasil dari studi orientasi

proyek HWS Dikti ke 4 negara yaitu Inggris, Belanda, Australia, dan Singapura. Hasil dari studi orientasi ini

kemudian dijadikan masukan bagi Kolegium Dokter Indonesia. Meskipun setiap negara memiliki PID yang

berbeda, tetapi terdapat suatu kesamaan prinsip bahwa PID merupakan program pelatihan lanjutan untuk

praktek mandiri sebelum mendapatkan kewenangan dan izin praktek mandiri sebagai dokter pelayan primer

(general practice).

Di Indonesia, FK Universitas Andalas, Padang menerapkan program Problem Based Learning untuk pertama

kalinya. Lulusan pertamanya di tahun 2009 mengikuti Uji Kompetensi di awal 2010 dan menjadi lulusan

pertama yang mengikuti PID.

PID diharapkan agar menghasilkan dokter yang semakin kompeten untuk memberikan layanan kesehatan

primer bagi masyarakat luas, sehingga cita-cita untuk mewujudkan Indonesia sehat akan segera tercapai.

(@liandreas)

Rizky Amellia Andreasari (@liandreas)

Referensi:

www.infokedokteran.com

Perkonsil Nomor 1 Tahun 2010

Page 8: Perspektif Vol.2

INTERNSHIP? Jangka waktu pelaksanaan program internsip

dilaksanakan dalam 1 tahun. Waktu pelaksanaan internsip selama 1 tahun. Selama 8 bulan di RS dan 4 bulan di Puskesmas. Bisa diperpanjang kalau belum memenuhi kriteria pencapaian sasaran. Kalau belum sampai 1 tahun tapi semua kriteria pencapaian udah terpenuhi gimana? Jawabannya: internsip tetap dilanjutkan sampai selesai 1 tahun. Dan ada wacana mulai dari 2013 nanti, jangka waktu ini akan diperpanjang jadi 2 tahun.

KRITERIA PENCAPAIAN KOMPETENSI

a. Mengelola kasus dengan jumlah dan jenis yang cukup, dengan sebaran imbang. Dalam masa satu tahun, secara keseluruhan telah menangani sekurang-kurangnya 400 kasus

Berdasarkan umur: Bayi – anak 25-40% Dewasa (15-60 th) 40-60% Tua (>60 th) 15-25% Berdasarkan jenis kelamin: Kasus laki-laki dan perempuan 50% + 10% Berdasarkan kelompok: Medik 50-60% Bedah 40-50% Kegawat-daruratan 5-20% Kejiwaan 1- 5% Dicatat dalam logbook, paling sedikit setiap 3 bulan dilaporkan kepada dan ditandatangani oleh dokter pendamping. b. Membuat dan menyajikan sekurang-kurangnya 5 laporan kasus dalam pertemuan klinik, Dalam laporan kasus tersebut dinilai aspek kognitif, sikap dan perlaku peserta oleh pendamping. Pelaporan menggunakan format portofolio.

EVALUASI PESERTA INTERNSHIP

- Asesmen peserta didasarkan atas tercapainya tujuan Internsip sesuai standar kompetensi dokter layanan primer yang dipahami baik oleh

peserta maupun Pendamping. - Peserta mendapat umpan balik secara teratur, baik dari Pendamping maupun dari tenaga kesehatan lain dalam bentuk pengamatan langsung maupun tidak langsung. - Format asesmen menggunakan antara lain buku log dan portofolio untuk kasus-kasus yang akan memberikan manfaat bagi peserta. - Buku log berisi catatan harian dari waktu ke waktu yang menggambarkan kegiatan dan tugas-tugas yang perlu dan telah dilaksanakan peserta selama mengikuti Internsip. - Portofolio berisi uraian lengkap dari kegiatan yang dianggap peserta dapat mencerminkan perkembangan profesionalisme sebagai seorang dokter, (misalnya kasus-kasus menarik) yang disertai umpan balik dari Pendamping.

Di rumah sakit tempat kita internship nanti,

peserta memeliki kewenangan sebagai dokter umum penuh dengan pengawasan. Peserta sudah harus bertanggungjawab secara etik, moral, dan medikolegal. Jadi setiap nyawa yang hilang merupakan tanggung jawab diri kita sendiri, bukan konsulen!

Selama mengikuti internship, komite internship

melalui Kemenkes akan memberikan yang besarnya Rp1.200.000,-/bulan untuk menunjjang pemenuhan kebutuhan sehari-hari peserta selama internsip. Uang ini akan ditransfer langsung ke rekening tiap peserta. Penerimaan gaji ini bisa saja dirapel 2-4 bulan.

Menurut pasal 1 Permenkes No. 299 Th. 2010,

“Peserta Program Internsip adalah dokter yang baru lulus Program Studi Pendidikan Dokter berbasis kompetensi yang akan menjalankan praktik kedokteran dan/atau mengikuti pendidikan dokter spesialis.”

Jadi, program internsip ini wajib hanya untuk lulusan kedokteran yang ingin membuka praktik mandiri atau melanjutkan spesialis. Tidak ada kewajiban jika lebih berminat menjadi dosen, researcher, tapi tidak ingin membuka praktik.

Ada 2 macam program internsip, ikatan dinas

Page 9: Perspektif Vol.2

dan mandiri, perbedaannya: Internsip Ikatan Dinas: Wahana internip ditentukan oleh depkes/KIDI Biaya hidup dan transportasi ditanggung pemerintah Wajib ikut program penempatan pasca internsip Internsip Mandiri: Wahana internsip boleh pilih sendiri Biaya hidup dan transportasi tidak ditanggung Tidak wajib ikut penempatan pasca internsip.

Kedua program ini memang tercantum dalam Permenkes, namun belum sepenuhnya dijalankan mengingat belum semua provinsi/daerah layak dijadikan wahana internsip.

Selama mengikuti program internsip, peserta tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sampingan yang berbau praktik kedokteran. Jika dilakukan maka dianggap telah melakukan tindakan ilegal dan akan berurusan dengan MKDKI.

Begitu banyak lulusan dokter yang dihasilkan tiap tahun di Indonesia. Bahkan satu fakultas

kedokteran dapat menghasilkan hingga 300 lulusan dokter per tahun. Adakah daftar distribusi

dokter untuk meratakan lulusan dokter di Indonesia?

Peserta program internship harus menangani kasus dengan sebaran merata sekurang-

kurangnya 400 kasus per tahun. Apakah Indonesia memiliki Rumah Sakit tipe C/D atau

Puskesmas yang cukup sebagai wahana internship ribuan lulusan dokter per tahun di

Indonesia?

Peserta program internship akan mendapat dana insentif sebesar Rp 1.200.000/bulan.

Bagaimana pendapat Anda dengan dana insentif tersebut? Sudah layakkah?